Anda di halaman 1dari 3

Mampukah Pendidikan Vokasi Memberikan Kesejahteraan?

Resesi dan tanda-tanda pemutusan hubungan kerja (PHK) massal sudah di depan mata.
Masyarakat banyak yang cemas bahkan para buruh mulai berdemo agar tidak mengalami
pemecatan. 

Menariknya baru-baru ini, Airlangga Hartarto, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian,


mengatakan angkatan kerja Indonesia, termasuk lulusan pendidikan kejuruan, memiliki
potensi untuk mempercepat pembangunan ekonomi. Dan mereka akan lebih mendapatkan
kesejahteraan sebelum lanjut usia. 

Apakah benar lulusan pendidikan vokasi mampu terserap baik oleh industri sehingga secara
ekonomi kesejahteraan rakyat akan meningkat?

Piter Abdullah Direktur Eksekutif Segara Institute mengatakan, Pemerintah perlu


memperkuat koordinasi menggunakan industri agar energi kerja jebolan pendidikan vokasi
sanggup terserap maksimal. Persoalan terdapat pada koordinasi, seluruh asyik jalan sendiri. 

Misalnya jaman Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menciptakan banyak Sekolah


Menengah Kejuruan (SMK), namun minim upaya mengintegrasikannya menggunakan arah
perkembangan kebijakan industri. Sehingga, hasil sekolah vokasi tidak sejalan menggunakan
kebutuhan industri (suarasurabaya.net, 31/10/2022).

Ketidaksesuaian antara pendidikan dan industri memiliki dampak besar pada masa depan
individu dan kelangsungan hidup industri tempat dia bekerja. Di Indonesia, sampai saat ini
banyak laporan tentang banyaknya pengangguran terdidik atau kurangnya keterkaitan
antara keterampilan lulusan pendidikan kejuruan dengan kebutuhan dunia industri di
Indonesia.

Pendidikan vokasi tahun 2021 dinggap gagal dilihat dari masih tingginya angka
pengangguran dari para lulusannya.  Menurut Nadiem Makarim, Mendikbudristek,
pendidikan vokasi saat ini diakuinya belum bisa memenuhi kebutuhan industri. 
Dia mengatakan institusi pendidikan vokasi masih diliputi sejumlah problematika, mulai dari
kurikulum yang tidak sesuai dengan keinginan industri, kualitas lulusan yang kurang soft
skill, mentor atau guru yang kurang mumpuni, sampai sarana dan prasana yang belum
memadai.

Negara sudah berusaha menyelesaikan masalah link and match ini seperti membuat
program SMK center of excellent pada tahun 2020. Kemudian pihak Industri dijamin akan
mendapat tenaga kerja yang sesuai melalui SMK/Politeknik mitranya, dan mendapatkan
kemudahan pengurangan pajak atau disebut juga "super tax deduction" (kptk.or.id,
13/04/2021)

Negara tampak sangat kebingungan bagaimana mengatur agar lulusan pedidikan vokasi bisa
terserap pada sektor industri secara optimal, sehingga angka pengangguran bisa dikurangi.
Dari sini kita bisa melihat bahwa kiprah pemerintah hanya menjadi regulator. 

Contohnya, mengeluarkan kebijakan buat menjembatani kebutuhan industri ketika ini


menggunakan sumber daya manusia (SDM) yang ada. Bukannya kreatif menciptakan
lapangan kerja buat rakyatnya, namun yang dilakukan sekadar menyalurkan sinkron
permintaan pasar.

Tujuan pendidikan vokasi menampakkan bahwa kesejahteraan bagi negara hanya sebatas
materi. Ketika penduduknya mampu bekerja, otomatis punya uang, uangnya dibelanjakan,
sampai akhirnya perekonomian jalan sehingga pembangunan ekonomi nasional terealisasi.

Hal ini tentu sangat riskan lantaran SDM hanya dibekali kemampuan secara materi. Keahlian
manajemen diri atau soft skill kurang diperhatikan, apalagi urusan kepribadian Islam.
Walhasil, mereka akan bekerja di sektor manapun, tanpa peduli halal atau haram asalkan
bisa mendapat banyak uang. Wajar jika akhirnya bisnis narkoba, judi online, pinjaman online
tumbuh subur ditengah masyarakat.

Peran negara semacam ini terlihat seperti mengikuti saja apa yang diminta oleh para kapital.
Negara hanya berperan menjadi regulator dan mendewakan materi. Karena kita memahami
bahwa pola pikir kapitalisme menilai bahwa kebahagiaan muncul dipengaruhi oleh
banyaknya materi yang didapatkan.
Selain itu, prinsip kapitalisme adalah untuk memakmurkan para kapitalis. Prinsip ekonomi
kapitalis pada bisnis yang terkenal yaitu mengeluarkan dana sekecil-kecilnya dan menerima
laba sebanyak-banyaknya. Walhasil, para kapitalis (korporasi) sangat senang mendapat
pekerja lulusan vokasi lantaran gaji mereka relatif murah dibandingkan lulusan akademik.
Apalagi, mereka akan mendapat pembebasan pajak, tentu hal ini sangat menguntungkan.

Di sini bisa dipahami bahwa selama pendidikan yang terselenggara masih dalam poros
sistem kapitalistik maka akan tetap gagal memberi kesejahteraan apalagi membentuk
generasi yang berkepribadian Islam.

Sedangkan dalam Islam sendiri sudah ada aturan yang jelas tentang Pendidikan. Pertama
harus diketahui bahwa peran negara dalam Islam bukan sekadar regulator, tetapi mengurusi
atau memperhatikan urusan rakyatnya secara keseluruhan. Dari konsep tersebut maka
negara wajib menyediakan pendidikan yang layak dan berkualitas kepada masyarakat secara
murah bahkan gratis.

Kurikulum dibuat tidak hanya mencetak lulusan yang mumpuni untuk dunia kerja, tetapi
juga berkepribadian Islam. Sehingga etos kerja akan baik, dan di sisi lain akan mengurangi
praktik korupsi. Tak lupa negara akan membuka lapangan kerja sesuai kebutuhan dan
memberi gaji yang layak. 

Pemerintah pun bisa memberikan bantuan jika ada rakyat yang berpotensi untuk
membangun usaha secara mandiri, tetapi tidak memiliki biaya. Bantuan ini diberikan dengan
aqad pinjam tanpa riba, atau hibah secara penuh.

Dengan demikian maka kesejahteraan yang hanya menyandarkan pada hasil pendidikan
vokasi dalam pusaran sistem kapitalisme hanyalah sebatas mimpi. Jika ingin membuat
masyarakat sejahtera, ambillah sistem pendidikan dan ekonomi Islam. Wallahu a'lam.

Anda mungkin juga menyukai