Anda di halaman 1dari 15

ENDOKRINOLOGI

DIABETES MELITUS TIPE 2 DAN DISFUNGSI SEKSUAL


PADA WANITA

PEMBIMBING
dr. I Gusti Ngurah Pramesemara, S.Ked, M.Biomed, Sp. And

DISUSUN OLEH
dr. Prisca Angelina Kanggriani 2180711019

PROGRAM MAGISTER ILMU BIOMEDIK


KEKHUSUSAN ANTI-AGING MEDICINE
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan rahmatnya penulis dapat

menyelesaikan tugas Endokrinologi yang berjudul “Diabetes Melitus Tipe 2 dan Disfungsi

Seksual pada Wanita”.

Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada dr. I Gusti Ngurah Pramesemara,

S.Ked, M.Biomed, Sp. And atas bimbingan beliau selama perkuliahan dan juga semua pihak

yang telah berkontribusi dalam penyelesaian tugas ini.

Penulis berharap agar tulisan ini dapat menambah wawasan dan pengetahuan bagi

pembaca mengenai kaitan kondisi diabetes dengan kejadian disfungsi seksual pada wanita yang

seringkali diabaikan.

Penulis menyadari banyak kekurangan dalam penyusunan tugas ini. Oleh sebab itu,

penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun untuk perbaikan tulisan ini. Akhir

kata, semoga tulisan ini dapat berguna untuk penulis dan pembaca.

Surabaya, 8 Mei 2022

Penulis

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL .......................................................................................................... i

KATA PENGANTAR ........................................................................................................ ii

DAFTAR ISI....................................................................................................................... iii

DAFTAR SINGKATAN .................................................................................................... iv

BAB I PENDAHULUAN ................................................................................................... 1

BAB II KAJIAN PUSTAKA .............................................................................................. 3

2.1. Diabetes Melitus .................................................................................................... 3


2.2. Disfungsi Seksual Wanita ...................................................................................... 5

BAB III KESIMPULAN..................................................................................................... 10

DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................................... 11

iii
DAFTAR SINGKATAN

DM : Diabetes melitus

FDA : Food and Drug Administration

FOD : Female Orgasmic Disorder

FSD : Female Sexual Dysfunction

FSAD : Female Sexual Arousal Disorder

FSFI : Female Sexual Function Index

FSIAD : Female Sexual Interest/Arousal Disorder

GPPPD : Genito-Pelvic Pain/Penetration Disorder

HSDD : Hypoactive Sexual Desire Disorder

IDA : International Diabetic Association

IDDM : Insulin Dependent Diabetes Mellitus

NDRI : Norepinephrine-Dopamine Reuptake Inhibitor

NIDDM : Non-Insulin Dependent Diabetes Mellitus

WHO : World Health Organization

iv
BAB I

PENDAHULUAN

Diabetes melitus tipe 2 merupakan salah satu penyakit kronis yang paling banyak terjadi

pada masyarakat di seluruh dunia. Kondisi ini ditandai dengan peningkatan kadar gula darah

kronis, terutama disebabkan karena resistensi insulin. Diabetes melitus dapat menimbulkan

berbagai komplikasi fisik dan psikologis. Salah satu komplikasi jangka panjang yang dapat

dialami wanita dengan diabetes melitus adalah disfungsi seksual (Kandjani et al., 2018; Bąk

et al., 2021).

Wanita yang mengalami diabetes melitus lebih banyak mengeluhkan masalah terkait

dengan hasrat, kegembiraan, orgasme, kepuasan, kekeringan, dan nyeri vagina dibandingkan

dengan wanita normal. Penderita diabetes mengalami penurunan kualitas hidup seksualnya,

yang juga termasuk dalam salah satu komponen kesejahteraan manusia (Rahmanian et al.,

2019; Bąk et al., 2021).

Disfungsi seksual wanita merupakan masalah kesehatan masyarakat dengan prevalensi

global 30-78%. Sekitar 25-68% wanita dengan diabetes melitus tipe 2 mengalami disfungsi

seksual. Disfungsi seksual menjadi masalah yang sangat umum terjadi pada wanita dengan

diabetes melitus, namun kondisi ini seringkali tidak terdiagnosis dan tidak tertangani.

Terjadinya disfungsi seksual pada wanita juga berkorelasi positif dengan kejadian depresi. Di

samping itu pada wanita menopause, depresi juga dapat menjadi salah satu indikator disfungsi

seksual wanita (Rochester-Eyeguokan & Meade, 2017; Kandjani et al., 2018; Bąk et al., 2021).

Meskipun berbagai penelitian telah melaporkan tingginya prevalensi disfungsi seksual

pada wanita diabetes, masalah seksual pada wanita diabetes dan faktor risiko terkait belum

diteliti dengan baik. Disfungsi seksual pada wanita diabetes juga kemungkinan dianggap

1
sebagai hal yang tabu untuk dibicarakan sehingga seringkali diabaikan dalam perawatan pasien

tersebut (Rahmanian et al., 2019).

Dalam review ini, penulis akan membahas kaitan diabetes terhadap kejadian disfungsi

seksual pada wanita serta penanganan yang diperlukan terkait dengan kondisi tersebut.

2
BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1. Diabetes Melitus

Diabetes melitus (DM) adalah penyakit metabolik yang ditandai dengan hiperglikemia

kronis yang dapat menyebabkan kerusakan berbagai macam organ dan penurunan usia harapan

hidup. Diabetes melitus dapat dikategorikan menjadi diabetes melitus tipe 1 atau Insulin

Dependent Diabetes Mellitus (IDDM), diabetes melitus tipe 2 atau Non-Insulin Dependent

Diabetes Mellitus (NIDDM), dan diabetes gestasional (Kandjani et al., 2018).

Diabetes melitus tipe 2 merupakan salah satu penyakit kronis yang paling banyak terjadi

di dunia. Prevalensinya yang semakin meningkat membuat World Health Organization (WHO)

menggambarkan kejadian diabetes ini sebagai epidemi tersembunyi. Prevalensi global DM tipe

2 pada tahun 2010 adalah 6,4% di antara kelompok usia 20-79 tahun. Angka ini diproyeksikan

akan meningkat menjadi 7,7% (439 juta per tahun) pada tahun 2030 dan lebih dari 600 juta per

tahun pada tahun 2035. Laporan International Diabetic Association (IDA) pada tahun 2015

memperkirakan jumlah penderita diabetes dapat meningkat menjadi 642 juta pada tahun 2040.

Di Amerika Serikat, angka ini diperkirakan mencapai 29,1 juta orang (9,3% dari total populasi).

Data dari International Federation of Diabetes menunjukkan bahwa sekitar 5 juta orang

berusia 20-79 tahun di Iran mengalami diabetes dengan prevalensi 8,5% (Asefa et al., 2019;

(Rahmanian et al., 2019).

Diabetes melitus dapat menimbulkan komplikasi makrovaskular dan mikrovaskular.

Komplikasi makrovaskular yang paling penting adalah hipertensi dan penyakit arteri koroner

sedangkan komplikasi mikrovaskular yang penting adalah nefropati, retinopati, dan neuropati

berat sehingga dapat menyebabkan kebutaan, penyakit ginjal dan kardiovaskular, amputasi,

3
serta disabilitas. Hal ini dapat mempengaruhi kemampuan individu dalam melakukan aktivitas

sehari-hari sehingga juga dapat mempengaruhi kualitas hidupnya (Rahmanian et al., 2019).

Salah satu komplikasi jangka panjang dari diabetes adalah disfungsi seksual. Adanya

penurunan produksi nitrit oksida akibat disfungsi vaskular akan menurunkan relaksasi vaskular

vagina dan menyebabkan gangguan neurologis, vaskular, dan psikiatri yang merupakan

penyebab utama berkurangnya hasrat seksual, gairah seksual, orgasme, keputihan dan lubrikasi

pada wanita dengan diabetes. Diabetes juga mempengaruhi sekresi hormon ovarium dan

sekresi kelenjar endokrin pada vagina sehingga dapat menyebabkan kurangnya hasrat seksual,

vagina kering, iritasi vagina, dan dapat mengalami nyeri pada saat berhubungan intim. Selain

itu, penyebab nyeri saat berhubungan intim lainnya adalah infeksi pada pelvis, tuba, vagina,

dan uterus yang lebih sering terjadi pada wanita diabetes dibandingkan dengan wanita normal

sehingga dapat menyebabkan penurunan hasrat seksual, menopause dini, gangguan ovulasi,

dan infertilitas (Rahmanian et al., 2019).

Ada beberapa teori tentang bagaimana hubungan diabetes melitus dapat mempengaruhi

fungsi seksual. Di satu sisi, beberapa teori berfokus pada etiologi organik. Teori ini

mengusulkan bahwa perubahan vaskular yang terjadi selama proses berkembangnya diabetes

melitus berkontribusi pada perubahan signifikan dalam sistem saraf, yang secara tidak

langsung mempengaruhi fungsi seksual wanita, seperti hasrat, gairah, lubrikasi, orgasme,

kepuasan, dan kemampuan untuk melakukan hubungan seksual tanpa menimbulkan nyeri. Di

sisi lain, beberapa teori menyatakan adanya faktor lain yang dapat berkontribusi terhadap

disfungsi seksual pada wanita dengan DM tipe 2 seperti depresi dan kecemasan. Teori ini

didasarkan pada etiologi psikologis disfungsi seksual wanita (Alazawi et al., 2020).

Berdasarkan penelitian meta-analisis yang dilakukan oleh Rahmanian et al. (2019)

didapatkan skor FSFI (Female Sexual Function Index) di semua aspek (hasrat seksual, gairah

seksual, lubrikasi vagina, orgasme, kepuasan seksual, dan nyeri) lebih rendah pada wanita

4
dengan diabetes dibandingkan dengan wanita non-diabetes. Hasil penelitian di Amerika Serikat

melaporkan 43% wanita Amerika berusia 18-59 tahun memiliki keluhan seksual namun

Dennerstein et al. melaporkan bahwa 42-88% wanita menderita disfungsi seksual selama siklus

menstruasi. Studi yang dilakukan Pontiroli et al. melaporkan peluang orang dengan diabetes

tipe 2 untuk mengalami disfungsi seksual adalah 2,4% lebih besar dibandingkan dengan orang

sehat, dimana peluang wanita dengan diabetes adalah 2 kali lebih banyak dibandingkan wanita

nondiabetes (Rahmanian et al., 2019).

2.2. Disfungsi Seksual Wanita

Seksualitas bukan hanya dasar dari kelangsungan hidup manusia, melainkan juga dasar

dari reproduksi dan memiliki konotasi spiritual dan budaya yang mendalam. Kesehatan seksual

menurut WHO adalah kondisi kesejahteraan fisik, psikologis, emosional, dan sosial berkenaan

dengan hasrat seksual, bukan hanya sekedar penyakit, disfungsi, atau disabilitas. Kesehatan

seksual merupakan hasil interaksi faktor hormonal, kardiovaskular, dan neurologis serta

dipengaruhi oleh faktor individu, hubungan interpersonal, budaya, agama, dan tradisi yang ada

di keluarga dan masyarakat (Lou et al., 2017; Rahmanian et al., 2019).

Faktor-faktor yang mempengaruhi fungsi seksual antara lain usia, kadar hormon, status

reproduksi, metode kontrasepsi, perilaku dan pengetahuan seksual, faktor sosial ekonomi, serta

kesehatan fisik dan mental seseorang. Di samping itu, faktor psikologis dan adanya gangguan

endokrin seperti diabetes juga dapat mempengaruhi fungsi seksual (Kandjani et al., 2018).

Disfungsi seksual menurut WHO didefinisikan sebagai gangguan dalam hasrat seksual

dan perubahan psiko-fisiologis yang menjadi ciri siklus respon seksual dan mengakibatkan

penderitaan yang nyata serta kesulitan interpersonal. Disfungsi seksual wanita merupakan

masalah yang sangat umum namun sering diremehkan (Lou et al., 2017).

5
Berdasarkan DSM-5, disfungsi seksual wanita (female sexual dysfunction/FSD)

diklasifikasikan menjadi empat domain, yaitu kombinasi gangguan hasrat seksual hipoaktif

(hypoactive sexual desire disorder/HSDD) dan gangguan gairah seksual wanita (female sexual

arousal disorder/FSAD) menjadi gangguan minat/gairah seksual wanita (female sexual

interest/arousal disorder/FSIAD), gangguan orgasme wanita (female orgasmic

disorder/FOD), genito-pelvic pain/penetration disorder (GPPPD), dan substance/medication-

induced sexual dysfunction (Sağlam, 2018).

Penyebab FSD adalah multifaktorial, baik karena faktor biologis (biogenik), masalah

intra-psikologis atau interpersonal (psikogenik), sosiokultural/ekonomik/politik ataupun

kombinasi dari faktor-faktor tersebut yang akhirnya dapat mempengaruhi kualitas hidup (Anto-

Ocrah et al., 2020).

FSD merupakan gangguan yang umum terjadi pada wanita dengan diabetes melitus dan

secara keseluruhan mempengaruhi kualitas hidup mereka. Prevalensi disfungsi seksual wanita

dengan diabetes sekitar 25-68%. Depresi dan status perkawinan merupakan prediktor utama

FSD pada wanita DM (Rochester-Eyeguokan & Meade, 2017; Kandjani et al., 2018; Asefa et

al., 2019).

Menurut studi yang dilakukan di Etiopia Barat Daya, prevalensi disfungsi seksual pada

pasien diabetes sekitar 53,3%. Presentase ini mirip dengan studi yang dilakukan pada pasien

diabetes di Tanzania. Pada studi yang dilakukan di Iran, prevalensi disfungsi seksual

dilaporkan sekitar 88% pada wanita diabetes melitus tipe 2 yang mempengaruhi hasrat,

kepuasan, dan kemampuan mereka untuk berpartisipasi dalam aktivitas seksual. Hal ini dapat

disebabkan karena gangguan neurologis, vaskular, dan psikologis akibat diabetes ataupun efek

samping obat yang dikonsumsi (Asefa et al., 2019; Rahmanian et al., 2019).

Studi meta-analisis pada diabetes dan disfungsi seksual menunjukkan bahwa wanita

dengan diabetes 2,02 kali lebih memungkinkan mengalami disfungsi seksual dibandingkan

6
dengan wanita dalam kelompok kontrol. Di Italia, dari 595 wanita dengan diabetes, sekitar

53,4% mengalami disfungsi seksual yaitu 63% pada wanita menopause dan 41% pada wanita

non-menopause (Pretorius et al., 2021).

Disfungsi seksual pada individu dengan diabetes melitus didefinisikan sebagai

ketidakmampuan untuk mempertahankan respon seksual yang memadai untuk menyelesaikan

hubungan seksual yang dibutuhkan untuk menginduksi sensasi orgasme yang memuaskan

(Alazawi et al., 2020).

Wanita dengan DM dapat mengalami aterosklerosis, disfungsi endotel, dan neuropati

diabetes sehingga menyebabkan FSD. Aterosklerosis dapat menurunakan suplai darah arteri ke

area panggul, menghambat respon seksual terhadap rangsangan dengan mengurangi

pembengkakan vagina dan klitoris, lubrikasi vagina, gairah seksual, dan stimulasi saraf.

Hiperglikemia yang berkepanjangan dapat menyebabkan penurunan mukus dan lubrikasi

vagina serta peningkatan insiden infeksi jamur dan genitourinari (Rochester-Eyeguokan &

Meade, 2017).

Ketidakseimbangan hormonal yang menyertai DM seperti gangguan tiroid dan/atau

gangguan hipotalamus – hipofisis dapat menyebabkan hilangnya hasrat seksual, penurunan

lubrikasi vagina, kurangnya orgasme, dan meningkatnya nyeri koitus. Citra tubuh yang buruk

dan ketakutan akan hipoglikemia selama atau setelah melakukan aktivitas seksual juga

meningkatkan kecemasan dan penderitaan pada wanita dengan DM. Selain itu, variabel

psikososial juga mempengaruhi keinginan wanita seperti perasaan bersalah, malu, dan

ketidakpuasan terkait DM, hubungan dengan pasangan seksualnya, penuaan, menopause,

penyakit penyerta, dan konsumsi obat-obatan (Rochester-Eyeguokan & Meade, 2017).

Penelitian yang dilakukan oleh Kandjani et al. (2018) melaporkan bahwa seperempat

wanita dengan diabetes mengalami gangguan gairah seksual, kegagalan orgasme, dan

gangguan hasrat seksual. Prevalensi gangguan gairah seksual diyakini tiga kali lebih banyak

7
dari populasi normal. Studi yang dilakukan oleh Lauren (2010) yang mengevaluasi disfungsi

seksual pada wanita diabetes dan non-diabetes usia 30-79 tahun menyatakan bahwa ada

hubungan antara usia, status perkawinan, dan gejala depresi dengan disfungsi seksual

(Kandjani et al., 2018).

Studi lain yang dilakukan oleh Schriener-Engel menyebutkan bahwa gangguan

orgasme, penurunan hasrat seksual dan penurunan lubrikasi vagina lebih banyak terjadi pada

wanita diabetes tipe 2. Wanita mengalami penurunan fungsi seksual seiring dengan

bertambahnya usia dan adanya komorbid seperti diabetes melitus mempercepat proses tersebut.

Disfungsi seksual pada wanita diabetes tipe 2 lebih sering terjadi pada pasien yang lebih tua

dan dengan durasi diabetes yang lebih lama (Bąk et al., 2017; Kandjani et al., 2018).

Karena faktor somatik, psikososial, dan neurobiologis berkontribusi terhadap FSD,

terapi yang diberikan juga harus mengikuti model biopsikososial dengan mempertimbangkan

aspek fisik, psikologis, sosial, dan situasional. Terapi seks merupakan terapi standar bagi FSD.

Hanya sedikit obat-obatan yang tersedia untuk FSD. Flibanserin merupakan satu-satunya obat

yang disetujui oleh Food and Drug Administration (FDA) untuk terapi wanita premenopause

dengan generalized acquired HSDD. Namun tidak ada obat untuk FSD yang disetujui di luar

AS. Flibanserin adalah agonis dan antagonis serotonin multifungsi (MSAA) yang dapat

meningkatkan kadar norepinefrin dan dopamin sekaligus mengurangi kadar serotonin di

korteks prefrontal, nucleus accumbens, dan area preoptik medial. Ketiga area di otak ini

merupakan area yang mengatur hasrat seksual pada wanita. Penggunaan obat ini secara statistik

signifikan dalam meningkatkan hasrat dan kepuasan seksual serta mengurangi tekanan terkait

seksual (Sağlam, 2018).

Bupropion (norepinephrine-dopamine reuptake inhibitor/NDRI) dan buspiron

(serotonin 5-HT1A partial agonist) dapat dianggap sebagai obat off-label, non-hormonal, yang

bekerja secara sentral untuk terapi HSDD meskipun keamanan dan efikasinya masih terbatas.

8
Obat lain untuk terapi HSDD adalah bremelanotide injeksi, yang bertindak sebagai agonis

reseptor melanokortin 3 dan 4 yang baru-baru ini berhasil menyelesaikan dua uji coba

multisenter fase 3 (Sağlam, 2018).

Terapi testosteron, esterogen, dan tibolon merupakan terapi hormonal untuk FSIAD.

Pilihan lain pengobatan FSIAD adalah lubrikan topikal, vasodilator/inhibitor fosfodiesterase

tipe 5, kombinasi testosteron/buspiron, dan kombinasi testosteron/sildenafil. Tidak ada obat

yang secara khusus disetujui untuk terapi FOD. Terapi seks adalah pengobatan standar untuk

GPPPD. Farmakoterapi hanya dapat digunakan bersama dengan psikoterapi untuk pasien

dengan tingkat kecemasan yang tinggi (Sağlam, 2018).

9
BAB III

KESIMPULAN

Diabetes melitus tipe 2 merupakan salah satu penyakit kronis yang banyak terjadi di

seluruh dunia. Salah satu komplikasi jangka panjang dari kondisi diabetes melitus tipe 2 adalah

disfungsi seksual. Beberapa teori yang terkait etiologi diabetes dan disfungsi seksual adalah

etiologi organik dan psikologis.

Disfungsi seksual adalah kondisi dimana seseorang tidak mampu untuk

mempertahankan respon seksual yang memadai untuk menyelesaikan hubungan seksual yang

dibutuhkan untuk menginduksi sensasi orgasme yang memuaskan. Disfungsi seksual pada

wanita diabetes tipe 2 lebih sering terjadi pada pasien yang lebih tua dan dengan durasi diabetes

yang lebih lama.

Berbagai penelitian melaporkan prevalensi disfungsi seksual yang lebih tinggi pada

wanita diabetes namun hal ini masih sering diabaikan. Oleh karena itu, penting bagi penyedia

sarana dan pelayanan kesehatan untuk tidak mengabaikan gangguan ini.

Tenaga kesehatan dapat dilatih untuk meningkatkan respon empatik mereka terhadap

masalah seksual pasien dengan memulai dan mempertahankan percakapan kesehatan seksual

dengan cara yang nyaman bagi wanita untuk menyampaikan kekhawatirannya. Hal ini penting

untuk membangun kepercayaan yang diperlukan bagi penyedia layanan kesehatan terlatih

untuk menilai, mendiagnosis, merawat, dan memberikan pengobatan serta konseling psikologis

pada wanita dengan disfungsi seksual sehingga dapat meningkatkan kualitas hidup perkawinan

mereka serta mencegah timbulnya gangguan psikologis terkait dengan kondisi tersebut.

10
DAFTAR PUSTAKA

Alazawi, Z., Alqudah, O., & Al-Bashaireh, A. 2020. Depression, anxiety and sexual
dysfunction among Jordanian women with type 2 diabetes mellitus. Acta Medica Iranica,
58(2), 56–63. https://doi.org/10.18502/acta.v58i2.3710
Anto-Ocrah, M., Ametepe, L. S., Okere, M., & Ibine, B. 2020. “I did not know it was a medical
condition”: Predictors, severity and help seeking behaviors of women with female sexual
dysfunction in the Volta region of Ghana. PLoS ONE, 15(1), 1–26.
https://doi.org/10.1371/journal.pone.0226404
Asefa, A., Nigussie, T., Henok, A., & Mamo, Y. 2019. Prevalence of sexual dysfunction and
related factors among diabetes mellitus patients in Southwest Ethiopia. BMC Endocrine
Disorders, 19(1), 1–9. https://doi.org/10.1186/s12902-019-0473-1
Bąk, E., Marcisz, C., Krzemińska, S., Dobrzyn-Matusiak, D., Foltyn, A., & Drosdzol-Cop, A.
2017. Relationships of sexual dysfunction with depression and acceptance of illness in
women and men with type 2 diabetes mellitus. International Journal of Environmental
Research and Public Health, 14(9), 1–15. https://doi.org/10.3390/ijerph14091073
Bąk, E., Młynarska, A., Sternal, D., Kadłubowska, M., Marcisz-Dyla, E., & Marcisz, C. 2021.
Sexual function and sexual quality of life in premenopausal women with controlled type
1 and 2 diabetes—preliminary study. International Journal of Environmental Research
and Public Health, 18(5), 1–12. https://doi.org/10.3390/ijerph18052536
Kandjani, A. S., Hosseinpour, M. R., Daneshamooz, H., Shoja, H., & Nikniaz, L. 2018. Sexual
Dysfunction Prevalence in Women with Type 2 Diabetes Mellitus. Advances in
Bioscience and Clinical Medicine, 6(4), 15.
https://doi.org/10.7575/aiac.abcmed.v.6n.4p.15
Lou, W. J., Chen, B., Zhu, L., Han, S. M., Xu, T., Lang, J. H., & Zhang, L. 2017. Prevalence
and factors associated with female sexual dysfunction in Beijing, China. Chinese Medical
Journal, 130(12), 1389–1394. https://doi.org/10.4103/0366-6999.207466
Pretorius, D., Couper, I. D., & Mlambo, M. G. 2021. Neglected sexual dysfunction symptoms
amongst chronic patients during routine consultations in rural clinics in the North West
province. African Journal of Primary Health Care & Family Medicine, 13(1), 1–8.
Rahmanian, E., Salari, N., Mohammadi, M., & Jalali, R. 2019. Evaluation of sexual
dysfunction and female sexual dysfunction indicators in women with type 2 diabetes: A
systematic review and meta-analysis. Diabetology and Metabolic Syndrome, 11(1), 1–18.
https://doi.org/10.1186/s13098-019-0469-z
Rochester-Eyeguokan, C., & Meade, L. 2017. A Practical Approach to Managing Hypoactive
Sexual Desire Disorder in Women with Diabetes. Diabetes Therapy, 8(5), 991–998.
https://doi.org/10.1007/s13300-017-0313-0
Sağlam, N. G. U. 2018. Psychopharmacological treatments in female sexual dysfunctions
Reproduced with permission of copyright owner . Further reproduction prohibited without
permission . Psychopharmacology, 92(1).

11

Anda mungkin juga menyukai