Anda di halaman 1dari 8

1

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Demam Berdarah Dengue (DBD) masih merupakan masalah kesehatan masyarakat dan menimbulkan dampak sosial maupun ekonomi. Jumlah kasus yang dilaporkan cenderung meningkat dan daerah penyebarannya bertambah luas, sejalan dengan meningkatnya morbilitas dan kepadatan penduduk. Menurut WHO, penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD)

merupakan salah satu masalah kesehatan yang sangat penting di Indonesia dan bahkan juga merupakan suatu masalah kesehatan masyarakat yang mendunia (Nawi, 2005). Penyakit ini ditemukan nyaris di seluruh belahan dunia terutama di negara tropik dan subtropik baik secara endemik maupun epidemik dengan outbreak yang berkaitan dengan datangnya musim penghujan. (Djunaedi, 2006). Beberapa dekade terakhir ini, insiden demam dengue

menunjukkan peningkatan yang sangat pesat di seluruh penjuru dunia. Sebanyak dua setengah milyar atau dua perlima penduduk dunia berisiko terserang demam dengue. Sebanyak 1,6 milyar (52%) dari penduduk yang berisiko tersebut hidup di wilayah Asia Tenggara. Selanjutnya menurut WHO (2002), terdapat 2.500 juta atau 2/5 penduduk dunia mempunyai resiko untuk terserang DBD dengan perkiraan 50 juta kasus

setiap tahunnya dan 24 juta kematian diseluruh dunia. Bahkan menurut Nawi (2005) dan Hadinegoro (2002), rata-rata 23.000 orang penderita yang mesti dirawat karena DBD dengan kematian yang mencapai 15.231 orang selama 30 tahun sejak tahun 1968, membuat WHO

mengkategorikan Indonesia bersama negara-negara lainnya sebagai negara dengan kasus tertinggi di dunia. Penyakit DBD pertama kali ditemukan di Indonesia sendiri dilaporkan pertama kali tahun 1968 di Surabaya. Sejak pertama ditemukan penyakit DBD di Indonesia yaitu di Surabaya dan Jakarta pada tahun 1968, jumlah kasus yang dilaporkan cenderung meningkat dan daerah penyebarannya bertambah luas, sehingga pada tahun 1994 DBD telah tersebar ke seluruh propinsi di Indonesia. Pada tahun 1968 jumlah kasus yang di laporkan sebanyak 58 kasus dengan jumlah kematian 24 orang. Diantaranya meninggal dengan Case Fatality Rate (CFR) = 41,32 %. Beberapa tahun kemudian penyakit ini menyebar ke beberapa propinsi di Indonesia, dengan jumlah kasus yang slalu meningkat. Sejak itu penyakit DBD menunjukkan kecenderungan peningkatan jumlah kasus dan luas daerah terjangkit, dan secara sporadis selalu terjadi KLB setiap tahun serta sering menimbulkan penderita dan kematian yang besar (Yudhastuti, 2005). Meskipun sudah lebih dari 35 tahun berada di Indonesia, DBD bukannya terkendali, tetapi semakin mewabah. Pada tahun 2005, Kejadian Luar Biasa (KLB) DBD di Indonesia telah menyerang 95.279

orang dengan angka kematian 1,36 persen dan incidence rate nasional sebesar 43,42 kasus per 100.000 penduduk (Kompas Cyber Media, 2008). Pada tahun 2006 selama periode Januari September tercatat 3 provinsi mengalami KLB (Kejadian Luar Biasa), yaitu Jawa Barat, Sumatera Barat, dan Kalimantan Barat di 8 Kabupaten/Kota dengan jumlah kasus 1.323 orang, 21 orang di antaranya meninggal dengan CFR (1,59%). Jumlah KLB pada tahun 2006 ini menurun tajam dibandingkan jumlah KLB pada tahun 2005 yang tejadi di 12 provinsi di 35 Kabupaten/Kota dengan jumlah kasus 3.336 orang, 55 0rang diantaranya meninggal (CFR = 1,65%). Total jumlah kasus DBD di Indonesia selama 10 tahun terakhir mencapai lebih dari 538.000 kasus dengan jumlah kematian lebih dari 8.600 orang (Depkes RI,2007). Untuk Kalimantan Timur sendiri menempati urutan ke-2 untuk angka kasus DBD terbanyak di Indonesia dengan incidence rate sebesar 121,74 per 100.000 penduduk di tahun 2005. Pada tahun 2008 tercatat Kalimantan timur memiliki kasus DBD sebanyak 5. 776 kasus dan 105 kasus kematian (CFR = 1, 82%) dengan Incidence rate (IR) 187,38 per 100.000 penduduk. Lalu pada tahun 2009 tercatat Kalimantan timur mengalami penurunan kasus DBD dimana pada tahun ini jumlah kasus yang ada sebanyak 5. 342 kasus dan 68 kasus kematian (CFR = 1, 27% , IR = 173,58 per 100.000 penduduk). Dan pada tahun 2010 tercatat Kalimantan Timur mengalami peningkatan kasus dimana pada tahun ini terdapat 5.860 kasus dengan 43 kematian.

Berdasarkan data dari Dinas Kesehatan Kabupaten Kutai Timur, kasus DBD di Kabupaten Kabupaten Kutai Timur paling banyak terdapat di kecamatan Sangatta Utara. Hasil rekapitulasi laporan Dinkes Kabupaten Kutai Timur pada tahun 2008, jumlah kasus DBD yang terjadi di Kabupaten Kutai Timur adalah sebanyak 344 kasus, dimana kasus yang paling banyak terdapat di daerah kecamatan Sangatta Utara pada tahun 2008 yaitu sebanyak 254 kasus dan 3 kasus kematian. Untuk tahun 2009 Kejadian DBD mengalami penurunan dimana pada tahun ini jumlah kasus DBD yang terjadi sebanyak 275 kasus. Dengan kasus paling terbanyak di daerah kecamatan Sangatta Utara pada tahun 2009 yaitu sebanyak 233 kasus dan 0 kematian. Lalu pada tahun 2010 jumlah kasus DBD yang terjadi di Kabupaten Kutai Timur adalah 427 kasus DBD dan 7 Kasus Kematian. Dimana dalam hal ini kasus DBD banyak terdapat di daerah kecamatan Sangatta Utara pada tahun 2010 dengan jumlah 56 kasus dan 2 kasus kematian untuk periode Juni - Desember. (Dinas Kesehatan Kabupaten Kutai Timur, 2010). Dalam hal ini Kabupaten Kutai Timur khususnya Sangatta Utara merupakan daerah yang memiliki curah hujan yang lumayan tinggi. Hal ini tentunya akan berdampak pada penyebaran penyakit DBD. Tingginya angka kejadian DBD di Kecamatan ini tentu dapat dikaitkan dengan adanya beberapa faktor seperti sanitasi lingkungan yang buruk, adanya keberadaan jentik ,kurangnya perhatian masyarakat terhadap Tindakan

3M (mengubur, menutup, dan menguras tempat penampungan air ) dan sebagainya. Dalam hal ini sanitasi lingkungan yang dapat berkaitan dengan timbulnya penyakit DBD mencakup penyediaan air bersih, sampah, dan lingkungan sekeliling rumah. Pada dasarnya di sangatta utara

penduduknya masih banyak menggunakan air sumur bor dan tampungan air hujan. Karena penggunaan fasilitas air PDAM masih minim didaerah sangatta. Dengan adanya tampungan air bersih tersebut setidaknya dapat menjadi tempat tumbuh kembang nyamuk aedes aegepty. Disamping itu pula rumah-rumah di Sangatta Utara memiliki jarak yang lumayan dekat satu sama lain sehingga hal tersebut dapat memudahkan terjadinya penularan penyakit demam berdarah dengue. Selain itu keberadaan akan jentik nyamuk merupakan salah satu pemicu timbulnya penyakit demam berdarah dengue. Dimana dengan adanya jentik nyamuk maka akan menambah populasi vektor nyamuk yang dapat membawa virus dengue sehingga dalam jangka waktu tertentu jumlah nyamuk semakin banyak sehingga penularan DBD akan semakin cepat. Keberadaan jentik di suatu wilayah dapat diketahui dengan indikator Angka Bebas Jentik (ABJ). Menurut Sutomo (2005), angka bebas jentik (ABJ) dapat dijadikan sebagai indikator pelaksanaan 3M. Standar ABJ bagi setiap daerah adalah minimal 95% yaitu setiap 100 rumah minimal 95 rumah harus bebas dari jentik nyamuk Aedes aegypti.

Tingginya penyebaran penyakit DBD juga disebabkan diantaranya oleh perilaku penduduk tentang 3M yang masih rendah. Dalam hal ini beberapa penelitian menunjukkan tindakan masyarakat dalam melakukan 3M masih sangat rendah, lalu tempat penampungan air yang dibiarkan terbuka, tidak pernah dikuras dan tidak diberi abate. Tindakan untuk melakukan 3M sangatlah penting, karena pelaksanaan 3M dapat memutus siklus kehidupan nyamuk Aedes aegypty. Jika 3M gagal dilaksanakan maka akan tersedia tempat-tempat bagi nyamuk Aedes aegypty untuk berkembang biak sehingga dalam jangka waktu tertentu jumlah nyamuk semakin banyak sehingga penularan DBD akan semakin cepat. Dari uraian diatas yang menunjukkan besarnya pengaruh Sanitasi lingkungan, Keberadaan Jentik dan tindakan 3M terhadap penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) menjadi alasan penulis mengadakan penelitian ini. Dimana penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah ada hubungan antara Sanitasi Lingkungan, Keberadaan Jentik dan tindakan 3M dengan Penyakit Demam Berdarah Dengue di Kecamatan Sangatta Utara Kabupaten Kutai Timur.

B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang diatas maka dapat dirumuskan masalah penelitian ini sebagai berikut :

1. Apakah ada hubungan antara Sanitasi Lingkungan dengan kejadian demam berdarah dengue (DBD) di Kecamatan Sangatta Utara, Kabupaten Kutai Timur ? 2. Apakah ada hubungan antara tindakan 3M dengan kejadian demam berdarah dengue (DBD) di Kecamatan Sangatta Utara, Kabupaten Kutai Timur ?

C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum Mengetahui hubungan Sanitasi Lingkungan dan Tindakan 3M dengan Kejadian Demam Berdarah Dengue (DBD) di Kecamatan Sangatta Utara, Kabupaten Kutai Timur. 2. Tujuan Khusus a) Mengetahui hubungan Sanitasi Lingkungan dengan Kejadian Demam Berdarah Dengue (DBD) di Kecamatan Sangatta Utara, Kabupaten Kutai Timur. b) Mengetahui hubungan Tindakan 3M dengan Kejadian Demam Berdarah Dengue (DBD) di Kecamatan Sangatta Utara, Kabupaten Kutai Timur.

D. Manfaat penulisan a. Bagi Penulis Melatih dan mengembangkan cara berpikir serta kemampuan mengidentifikasi dan menganalisa masalah kesehatan hingga

mendapatkan solusi dari permasalahan tersebut serta memperoleh pengalaman dalam melakukan studi pustaka dan kegiatan penelitian di lapangan yang sangat berguna sebagai bekal untuk melaksanakan penelitian berikutnya. b. Bagi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Mulawarman Dapat menjadi bahan referensi untuk penelitian mahasiswa Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Mulawarman selanjutnya. c. Bagi Instansi Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi data dasar dan sumber informasi penting dalam program pemberantasan penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD). d. Bagi Masyarakat Masyarakat dapat memperoleh informasi tentang faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi kejadian Demam Berdarah Dengue (DBD) sehingga masyarakat mampu memahami pentingnya menjaga

kesehatan dan kebersihan didaerah sekitar lingkungan rumah dan dapat melakukan upaya pencegahan secara dini agar dapat terhindar dari penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD)

Anda mungkin juga menyukai