Anda di halaman 1dari 34

“STATISTIKA MAXWELL-BOLTZMANN”

OLEH :
KELOMPOK I
1. NUR MILDATIN NISA (F1B1 17 034)
2. NUR ILMA KHAIRANI (F1B1 17 008)
3. KHARISMA MARLINDAH (F1B1 17 030)
4. WA ODE DARNIATI (F1B1 17 022)
5. DESI CHRISMIWAHDANI (F1B1 17 002)
6. ALI SADIKIN (F1B1 17 024)
7. SULISTIAWAN (F1B1 17 018)

JURUSAN FISIKA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN
UNIVERSITAS HALU OLEO
KENDARI
2019
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas limpahan rahmat, karunia
dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini dengan tepat
waktu dan tanpa halangan apapun. Makalah ini berjudul “Statistika Maxwell-
Boltzmann” sebagai salah satu tugas yang diberikan oleh dosen mata kuliah Fisika
Statistik. Shalawat serta salam juga penulis haturkan kepada Nabi Muhammad SAW
beserta keluarga dan para sahabat.
Dalam penyelesaian makalah ini tidak jarang penulis menemukan kesulitan-
kesulitan. Akan tetapi, berkat motivasi dan dukungan dari berbagai pihak, kesulitan-
kesulitan tersebut akhirnya dapat teratasi. Maka, melalui kesempatan ini penulis
menyampaikan rasa terima kasih sebanyak-banyaknya kepada bebagai pihak yang
telah membantu penulis dalam penyelesaian makalah ini.
Penulis menyadari selesainya makalah ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh
karena itu, kritik dan saran yang bersifat membangun sangat penulis harapkan.
Penulis berharap agar makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca.

Kendari, 16 November 2019

Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR....................................................................................
DAFTAR ISI...................................................................................................
BAB I PENDAHULUAN...............................................................................
A. Latar Belakang....................................................................................
B. Rumusan Masalah..............................................................................
C. Tujuan..................................................................................................
BAB II PEMBAHASAN.................................................................................
A. Keadaan Mikro dan Makro...............................................................
B. Distribusi Maxwell-Boltzmann..........................................................
1. Konfigurasi Penyusunan Sistem Klasik......................................
2. Konfigurasi dengan Probabilitas Maksimum............................
3. Harga Rata-rata............................................................................
C. Ruang Fasa .........................................................................................
1. Elemen Volum Ruang Fasa .........................................................
2. Energi Kinetik ..............................................................................
3. Perhitungan Jumlah Keadaan ....................................................
4. Penentuan ns .................................................................................
D. Penentuan Parameter Statistik .........................................................
1. Penentuan Parameter β ...............................................................
2. Penentuan α ..................................................................................
BAB III PENUTUP.........................................................................................
A. Kesimpulan..........................................................................................
B. Saran....................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pemahaman fisika statistik memiliki cara yang berbeda dengan mata
kuliah fisika lain seperti gelombang, termodinamika, dan mekanika. Dalam
fisika statistik akan dimulai dari persoalan abstrak yang sebenarnya
merupakan bahan kajian orang matematika seperti permutasi dan kombinasi.
Fisika statistik dapat dipandang sebagai persoalan statistik matematik yang
diberikan syarat batas fisis, sehingga persoalan matematika murni menjadi
memiliki interpretasi fisis. Diperlukan abstraksi yang cukup tinggi untuk
memahami persoalan tersebut.
Sebenarnya ketika berhadapan dengan kumpulan partikel-partikel gas,
partikel atomik atau sub atomik lainnya, tidak akan bisa menghindari dari
statistik. Sebab, jumlah partikel yang dikaji sangat besar, yaitu ordenya lebih
dari 1020 partikel. Tiap partikel memiliki enam variabel untuk
mendeskripsikan dengan lengkap keadaan geraknya, yaitu tiga koordinat
ruang dan tiga komponen momentum. Sangat tidak mungkin menjelaskan
dinamika partikel tersebut satu per satu dengan jumlah partikel yang luar biasa
banyak, meskipun menggunakan semua komputer yang ada di dunia saat ini.
Pendekatan yang diberikan oleh fisika statistik adalah melihat sifat rata-rata
dari partikel-partikel tersebut tanpa harus melihat partikel secara individual.
Dalam makalah ini hanya dasar-dasar statistik yang akan menjadi modal
awal untuk mempelajari fisika statistik lanjut yang diberikan. Topik utama yang
dibahas meliputi penurunan fungsi distribusi Maxwell-Boltzmann, Bose-einstein,
dan Fermi Dirac. Contoh aplikasi sederhana ke tiga macam statsitik tersebut juga
diberikan. Konsep ruang fasa dan kerapatan keadan dalam ruang fasa klasik serta
ruang fasa kuantum juga diberikan, karena keduanya digunakan untuk
menghitung besaran-besaran termodinamika. Agar memiliki pemahaman awal
tentang ensembel, maka salah satu jenis ensembel dibahas di sini, yaitu ensembel
kanonik.
Pada langkah penurunan distribusi Maxwell-Boltzmann, Bose-Einsetin,
dan Fermi-Dirac, modal statistik yang dibutuhkan hanya permutasi. Sebelum
masuk ke penurunan berbagai fungsi distribusi mari mendefinisikan beberapa
istilah yang akan digunakan. Pertama kita mendefinsikan sistem. Terminologi
sistem yang digunakan mengacu kepada partikel-partikel. Contohnya, jika kita
membahas tentang gas maka sistem adalah atom atau molekul gas. Untuk gas
monotonik, sistem adalah atom gas dan untuk gas diatomik atau yang
mengandung atom lebih banyak maka sistem adalah molekul gas. Jika kita
membahas tentang elektron dalam logam maka sistem adalah elektron-elektron
tersebut. Jika kita bahas tentang radiasi benda hitam maka sistem adalah foton.
Jika kita bahas getaran kisi maka sistem adalah fonon. Istilah kedua yang akan
digunakan adalah assembli. Assembli adalah kumpulah sistem-sistem. Jumlah
sistem dalam assembli sangat banyak. Ordenya sekitar sama dengan orde
bilangan Avogadro. Jumlah sistem yang sangat besar ini memungkinkan prediksi
statistik untuk sifat assembli menjadi sangat akurat. Ingat, statistik makin teliti
jika sampel yang dilibatkan makin banyak.
B. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dari makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Apa yang dimaksud dengan Statistika Maxwell-Boltzmann?
2. Apa yang dimaksud dengan keadaan mikro dang makro dari suatu
partikel?
3. Bagaimanakah distribusi dari Statistika Maxwell-Boltzman?
4. Jelaskan yang dimaksud dengan Ruang Fasa?
5. Bagaimanakah penentuan α dan β sebagai parameter dari Statistika
Maxwell-Boltzmann ?
C. Tujuan
Adapun tujuan dari makalah ini antara lain:
1. Untuk mengetahui definisi dari Statistika Maxwell-Boltzmann
2. Untuk mengetahui tentang keadaan mikro dan makro dari suatu partikel
3. Untuk mengetahui pendistribusian Statistika Maxwell-Boltzman
4. Untuk mengetahui tentang ruang fasa
5. Untuk mengetahui penentuan α dan β sebagai parameter dari Statistika
Maxwell-Boltzman
BAB II
PEMBAHASAN

Statistika Maxwell-Boltzmann meninjau partikel klasik yang “terbedakan”.


Sistem partikel klasik yang terbedakan merupakan sistem partikel yang
konfigurasinya berbeda ketika dua atau lebih partikel dipertukarkan. Dengan kata
lain, konfigurasi partikel A dalam keadaan 1 dan partikel B dalam keadaan 2 berbeda
dengan konfigurasi ketika partikel B berada dalam keadaan 1 dan partikel A dalam
keadaan 2. Ketika gagasan diatas diimplementasikan akan dihasilkan distribusi
(Boltzmann) biasa bagi partikel dalam berbagai tingkat energi. Hasil distribusi ini
menghasikan hasil yang kurang fisis untuk entropi, sebagaimana ditunjukan dalam
“Paradox Gbbs”. Namun, masalah itu tidak muncul pada peninjauan statistic ketika
semua partikel dianggap “tak terbedakan”.
Pada statistik Maxwell-Boltzmann dipandang 6 dimensi dari pergerakan
molekul ,yakni 3 dimensi kedudukan dan 3 dimensi kecepatan. Ruang 6 dimensi yang
dimaksudkan ini disebut ruang fasa. Selanjutnya ruang fasa ini masih dibagi lagi
kedalam volume kecil 6 dimensi yang disebut sel. Molekul terbagi ke dalam sel ini
dan terjadilah secara individu disebut status makro dari system sedangkan penentuan
molekul tertentu (secara individu) dalam tiap status makro disebut status makro dari
sistem.

A. Keadaan Mikro dan Makro


Dalam suatu sistem seperti gas, suatu keadaan mikro berkaitan dengan
sekumpulan posisi dan momentum dari partikel-partikel gas. Biasanya, suatu
sistem mempunyai konstrain, misalnya volume tetap, sehingga orang cukup
memperhatikan keadaan keadaan mikro pada volume tetap itu saja. Dalam
sistem kuantum, keadaan mikro adalah solusi dari persamaan Schrodinger
seperti HE. Keadaan mikro dapat dipandang sebagai satu hasil
pemotretan dimana data lengkap posisi dan kecepatan setiap molekul
diketahui. Jika pada berbagai titik waktu dilakukan pemotretan, maka setiap
hasil pemotretan ini adalah satu keadaan mikro.
Ada kemungkinan dari sekian banyak keadaan mikro sebenarnya
merepresentasikan keadaan makro yang sama. Jumlah keadaan mikro untuk
suatu keadaan makro dapat berbeda-beda. Misalnya seperti yang ditunjukkan
dalam Gambar berikut :
Ilustrasi sebuah keadaan makro

Keadaan makro adalah sekumpulan keadaan-keadaan mikro dengan


energi tertentu, U, yang memenuhi konstrain tertentu, misalnya energi U,
volume V dan jumlah partikel N yang konstan. Jumlah keadaan mikro dalam
suatu keadaan makro tertentu dinyatakan sebagai bobot statistik dari keadaan
makro tersebut dan dinyatakan dengan simbol (U,V,N). Pada keadaan
setimbang statistik, orang tak memerlukan rincian dari keadaan-keadaan
mikro; yang diperlukan hanyalah jumlah keadaan mikro dalam keadaan makro
bersangkutan.
Andaikan  N  buah molekul terbagi ke dalam n  bilik dimana masing-
masing bilik berisi  N 1 , N 2 , … … Nn molekul, maka jumlah keadaan
mikroskopik dapat dihitung sebagai berikut
N! N!
Ω= = n
N 1! N 2 ! … . Nn!
∑¿!
i=1
dimana Ω  biasa juga disebut sebagai bobot statistik (Statistical
weight). Faktorial dari bilangan yang ordernya hinggan 1023  akan sangat besar
sehingga perlu trik khusus untuk menghitungnya. Kita akan menggunakan
pendekatan Stirling yaitu
ln x !=x ln x−x
Selanjutnya, kita akan merumuskan entropi yang secara mekanika statistik
didefinsikan sebagai
S=k ln Ω
Bobot statistik suatu keadaan makro dapat ditentukan sebagai berikut.
Misalkan tiga buah patikel sejenis yang dapat dibedakan satu sama lain
(sebutlah A, B, C) akan ditempatkan pada tingkat-tingkat energi E1=, E2=2,
dan E3=3. Andaikan keadaan makro yang diinginkan mempunyai energi
U=6. Artinya, distribusi partikel adalah n1=1, n2=1 dan n3=1 sehingga
U=n1E1+n2E2+n3E3=6. Jika partikel-partikel itu identik yang dapat dibedakan
maka susunan partikel pada tingkat-tingkat energi adalah seperti berikut:
Keadaan-keadaan mikro
E3=3 C B C A A B
E2=2 B C A C B A
E1= A A B B C C
U 6 6 6 6 6 6
Terlihat keadaan makro tersebut mempunyai enam buah keadaan
mikro. Selanjutnya, andaikan keadaan makro yang diinginkan mempunyai
energi U=4. Maka distribusi partikel adalah n1=2, n2=1 dan n3=0 sehingga
U=n1E1+n2E2+n3E3=4. Susunan partikel pada tingkat-tingkat energi adalah
seperti berikut:

Keadaan-keadaan mikro
E3=3 - - -
E2=2 C B A
E1= AB AC BC
U 4 4 4
Terlihat, keadaan makro tersebut mempunyai tiga buah keadaan mikro. Untuk
dua contoh di atas, jumlah keadaan mikro dalam keadaan makro dapat
dinyatakan sebagai berikut:
3!
N=3, n1=1, n2=1, n3=1, U=6,: Ω= =6 .
1 ! 1! 1 !
3! 6
N=3, n1=2, n2=1, n3=0, U=4,: Ω= = =3
2 ! 1! 0! 2
Berdasarkan pengalaman di atas, maka untuk sistem N partikel identik
yang dapat dibedakan secara umum berlaku hal berikut. Andaikan suatu
keadaan makro mengandung m buah keadaan mikro dengan tingkat-tingkat
energi E1, E2, ......,Em. Jika distribusi partikel-partikel adalah n1, n2, ....,nm
dengan keadaan makro yang mempunyai konstrain
m
N=∑ ni Konstan
i=1
m
U =∑ ni Ei Konstan
i=1
maka jumlah keadaan mikro di dalam keadaan makro bersangkutan adalah
m
N! 1
Ω ( U )= =N ! ∏
n1 ! n2 ! … . nm ! i=1 ni !
Jika sekiranya, tingkat-tingkat energi keadaan mikro mempunya degenerasi,
misalnya gi untuk tingkat energi ke-i, maka peluang penempatan ni buah
¿
partikel di tingkat energi Ei adalah gi Dengan demikian maka persamaan diatas
harus disempurnakan menjadi
m ¿
gi
Ω ( U )=N ! ∏
i=1 n i !
Karena interaksi dan tumbukan, distribusi partikel-partikel pada tingkat-
tingkat energi keadaan mikro bisa berubah. Dapat diasumsikan bahwa pada
setiap keadaan makro dari suatu sistem, ada suatu distribusi yang lebih baik
daripada distribusi-distribusi lainnya. Artinya, secara fisis pada suatu sistem
yang memiliki sejumlah partikel dengan total energi tertentu, terdapat suatu
distribusi paling mungkin. Jika distribusi itu tercapai, sistem itu disebut dalam
keadaan setimbang statistik, dan dalam keadaan itu maksimum.

B. Distribusi Maxwell-Boltzmann
Distribusi Maxwell-Boltzmann menggambarkan kecepatan partikel
dalam gas, dimana partikel tidak terus-menerus berinteraksi satu sama lain,
tetapi bergerak bebas antara tabrakan pendek. Ini menggambarkan
kemungkinan kecepatan partikel (besarnya vector kecepatan) yang dekat
dengan nilai yang diberikan sebagai fungsi dari suhu sistem massa partikel.
Distribusi probabilitas ini dikemukakan pertama kali oleh James Clerk
Maxwell dan Ludwig Boltzmann.
Distribusi Maxwell-Boltzmann biasanya dianggap sebagai distribusi
kecepatan molekul, kadang juga merujuk kepada distribusi untuk kecepatan,
momentum, dan besarnya momentum molekul , yang masing-masing akan
memiliki fungsi probabilitas distribusi yang berbeda. Distribusi ini dapat
dianggap sebagai besaran vektor 3 dimensi yang komponennya adalah
independent dan terdistribusi normal dengan mean 0 dan standar deviasi a.
Turunan asli oleh Maxwel diasumsikan bahwa ketiga arah akan
memiliki perilaku yang sama, tetapi turunan selanjutnya yang dikembangkan
oleh Boltzmann mematahkan asumsi ini dengan teori kinetik. Distribusi
Maxwell-Boltzmann (untuk energi) sebagian besar dapat langsung diturunkan
dari distribusi Boltzmann untuk energi:

Dimana :
 i = microstate (menunjukan satu konfigurasi partikel dalam keadaan
kuantum-lihat fungsi partisi).
 Ei = tingkat energidari microstate i.
 T = temperature kesetimbangan system.
 gi = factor degenerasi atau jumlah dari microstate yang mengalami
degenerasi yang memiliki tingkat energi yang sama.
 k = konstanta Boltzmann.
 Ni = jumlah molekul dalam kesetimbangan T, dalam keadaan i yang
memiliki energy Ei dan degenerasi gi.
 N = jumlah total molekul dalam system.
Ingat bahwa kadang-kadang persamaan diatas ditulis tanpa faktor
degenerasi gi. Dalam hal ini, I akan menentukan keadaan masing-masing,
bukan satu set keadaan gi yang memiliki energi Ei yang sama. Karena vektor
kecepatan berkaitan dengan energi, maka persamaan 1 dapat digunakan untuk
menurunkan hubungan antara suhu dan kecepatan molekul dalam gas.
Penyebut dalam persamaan ini dikenal sebagai fungsi partisi kanonik.
Berikut adalah perumusan statistik Maxwell-Boltzmann untuk
assembli yang mengandung sistem (partikel) klasik. Contoh partikel klasik
adalah atom atau molekul-molekul gas. Untuk memahami penurunan fungsi
distribusi Maxwell-Boltzmann sangat diperlukan untuk memahami prinsip
permutasi pada benda-benda yang dapat dibedakan, sifat yang ditunjukkan
oleh sebuah besaran yang nilainya kekal (konstan), serta bagaimana mencari
nilai maksimum dari sebuah fungsi.

1. Konfigurasi Penyusunan Sistem Klasik


Pertama dimulai dari asumsi bahwa energi yang dimiliki sistem-
sistem dalam assembli dianggap terdiri atas tingkat-tingkat energi.
Tingkat-tingkat energi tersebut berada dalam rentangan dari nol sampai
tak berhingga. Gambar 2.1 adalah ilustrasi tingkat-tingkat energi yang
dimiliki assembli.
Untuk sistem klasik, seperti atom gas, perbedaan energi dua
tingkat berdekatan mendekati nol, atau εi+1 – εi → 0. Perbedaan energi
yang mendekati nol memiliki makna bahwa tingkat energi sistem klasik
bersifat kontinu. Sistem menempati salah satu dari keadaan energi di atas.
Dalam sistem klasik juga tidak ada batasan jumlah sistem yang dapat
menempati satu keadaan energi. Satu keadaan energi dapat saja kosong,
atau ditempati oleh satu sistem, oleh dua sistem, dan seterusnya. Bahkan
semua sistem berada pada satu keadaan energi pun tidak dilarang.
Gambar 2.1 Tingkat-tingkat energi yang dimiliki assembli

Agar sifat fisis dari assembli dapat ditentukan maka kita harus
mengetahui bagaimana penyusunan sistem pada tingkat-tingkat energi yang
ada serta probabilitas kemunculan masing-masing cara penyusunan
tersebut. Pemahaman ini perlu karena nilai terukur dari besaran yang
dimiliki assembli sama dengan perata-rataan besaran tersebut terhadap
semua kemungkinan penyusunan sistem pada tingkat-tingkat energi yang
ada.
Cara menghitung berbagai kemungkinan penyusunan sistem
serta probabilitas kemunculannya menjadi mudah bila tingkat-tingkat
energi yang dimiliki assembli dibagi atas beberapa kelompok, seperti
diilustrasikan pada Gbr 2.2. Tiap kelompok memiliki jangkauan energi
yang cukup kecil.

Kelompok pertama memiliki jangkauan energi : 0 sampai dε


Kelompok kedua memiliki jangkauan energi : dε sampai 2dε
Kelompok ketiga memiliki jangkauan energi : 2dε sampai 3dε
.
.
.
Kelompok ke-s memiliki jangkauan energi : (s-1)dε sampai sdε
.
.
.
Kelompok ke-N memiliki jangkauan energi : (N-1) dε sampai Ndε
Gambar 2.2 Kelompok-kelompok energi dalam assembli

Satu kelompok energi mengandung sejumlah keadaan energi.


Jumlah keadaan energi pada kelompok yang berbeda bisa sama dan bisa
berbeda. Misalkan jumlah keadaan energi pada tiap-tiap kelompok
tersebut sebagai berikut:
Jumlah keadaan pada kelompok pertama : g1

Jumlah keadaan pada kelompok kedua : g2

Jumlah keadaan pada kelompok ketiga : g3


.
.
.
Jumlah keadaan pada kelompok k-s : gs
.
.
.
Jumlah keadaan pada kelompok ke-N : gN
Energi keadaan yang berbeda dalam satu kelompok umumnya
berbeda. Tetapi karena perbedaan energi keadaan yang berbeda dalam
satu kelompok sangat kecil (mendekati nol) maka kita dapat mengasumsi
bahwa energi dalam satu kelompok diwakili oleh satu nilai energi saja.
Energi tersebut dianggap sebagai energi rata-rata keadaan dalam
kelompok yang bersangkutan. Jadi,
Energi rata-rata kelompok pertama : E1
Energi rata-rata kelompok kedua : E2
Energi rata-rata kelompok ketiga : E3
.
.
.
Energi rata-rata kelompok ke-s : Es
.
.
.
Energi rata-rata kelompok ke-M : EM
Misalkan pada konfigurasi tertentu tiap-tiap kelompok energi telah
ditempati oleh sejumlah sistem sebagai berikut:
Jumlah sistem pada kelompok energi pertama : n1
Jumlah sistem pada kelompok energi kedua : n2

Jumlah sistem pada kelompok energi ketiga : n3


.
.
.
Jumlah sistem pada kelompok energi ke-s : ns
.
.
.
Jumlah sistem pada kelompok energi ke-M : n M
Jumlah total sistem dalam assembli adalah N. Karena N sistem
tersebut terdistribusi pada semua kelompok energi maka terpenuhi
M
N=∑ ns
s=1
Energi total assembli memenuhi
M
U=∑ ns Es
s=1

nilai dari besaran-besaran yang dimiliki assembli kita harus menentukan


berapa probabilitas munculnya masing-masing konfigurasi dalam assembli.
Tiap penyusunan sistem dalam assembli mempunyai peluang kemunculan
yang persis sama. Dengan demikian, probabilitas kemunculan sebuah
konfigurasi sebanding dengan jumlah penyusunan sistem yang dapat
dilakukan untuk membangun konfigurasi tersebut.
Dengan demikian, mencari probabilitas kemunculan konfigurasi
dengan kondisi
Ada n1 sistem pada kelompok energi 1
Ada n2 sistem pada kelompok energi 2
Ada n3 sistem pada kelompok energi 3
Ada ns sistem pada kelompok energi s
.
.
.
Ada nM sistem pada kelompok energi M
ekivalen dengan mencari berapa cara penyusunan:
n1 sistem pada g1 keadaan energi di kelompok energi 1
n2 sistem pada g2 keadaan energi di kelompok energi 2
n3 sistem pada g3 keadaan energi di kelompok energi 3
.
.
.
ns sistem pada gs keadaan energi di kelompok energi s
.
.
.
nM sistem pada gM keadaan energi di kelompok energi M
Selanjutnya kita akan menentukan jumlah cara penyusunan system-
sistem yang tersebar pada tingkat-tingkat energi di atas. Untuk maksud
tersebut, mari kita mulai dengan menganggap semua keadaan energi kosong
(tidak di tempati sistem) dan di luar ada sejumlah sistem yang akan diisi pada
keadaan-keadaan tersebut. Di sini ada dua tahap proses yang terjadi, yaitu:
proses I adalah membawa N buah sistem dari luar ke dalam assembli dan
proses II adalah menyusun sistem pada kempompok-kelompok energi yang
ada di dalam assembli.

 Proses I : Membawa N buah Sistem kedalam Assembli

Mari kita hitung jumlah cara yang dapat ditempuh pada tiap
proses pertama yaitu membawa buah sistem dari luar ke dalam
assembli. Proses ini tidak bergantung pada konfigurasi assembli. Yang
terpenting adalah bagaimana membawa masuk N buah sistem ke
dalam assembli. Untuk menentukan jumlah cara tersebut, perhatikan
tahap-tahap berikut ini. N
Ambil satu sistem N dari daftar buah sistem yang berada di
luar assembli. Kita bebas memilih satu sistem ini dari N buah
sistem yang ada tersebut. Jadi jumlah cara pemilihan sistem
yang pertama kali dibawa masuk ke dalam assembli adalah N
cara.
Setelah sistem pertama dimasukkan ke dalam assembli maka
tersisa N-1 sistem dalam daftar di luar. Ketika membawa
masuk sistem keduake dalam assembli kita dapat memilih
salah satu dari N-1 buah sistem dalam daftar. Jumlah cara
pemilihan sistem ini adalah N-1 cara.
Begitu seterusnya.
Akhirnya, ketika sistem ke-N akan dimasukkan ke dalam
assembli hanya ada satu sistem yang tersisa di luar. Tidak ada
pilihan-pilihan yang mungkin sehingga jumlah cara
memasukkan sistem ke-N ke dalam asembli adalah hanya 1
cara.
Dengan demikian, jumlah total cara membawa masuk N buah
sistem ke dalam assembli adalah
N X (N-1) X (N-2) X ... X 2 X 1= N!

Gambar 2.3. Cara membawa N sistem diluar masuk ke assembli

 Proses II : Menyusun Sistem di Dalam Kelompok-kelompok


Energi

Selanjutnya kita tinjau proses kedua. Tahapan yang ditempuh


sebagai berikut.
Tinjau kelompok 1 yang mengandung g1 keadaan dan
ditempati oleh n1 sistem. Sebagai ilustrasi lihat Gbr. 2.4.

Gambar 2.4. Menentukan cara menyusun n1 sistem dalam keadaan g1


Ambil partikel pertama. Kita dapat menempatkan partikel ini
entah di keadaan ke-1, keadaan ke-2, keadaan ke-3, dan
seterusnya hingga keadaan ke-g1. Jadi jumlah cara
menempatkan partikel pertama pada kelompok-1 yang
memiliki g1 keadaan adalah g1 cara. Setelah partikel-1
ditempatkan, kita ambil partikel 2. Partikel ini pun dapat
ditempatkan di keadaan ke-1, keadaan ke-2, keadaan ke-3, dan
seterusnya hingga keadaan ke-g1. Dengan demikian, jumlah
cara menempatkan partikel kedua juga g1 cara. Hal yang sama
juga berlaku bagi partikel ke-3, partikel ke-4, dan seterusnya,
hingga partikel ke-g1. Akhirnya, jumlah cara menempatkan n1
partikel pada g1 buah keadaan adalah

g1 × g1 × g1 × … × g1 ( n1 buah perkalian ) =gn1 1

Sejumlah gn1 1 cara di atas secara implisit mengandung makna


bahwa urutan pemilihan partikel yang berbeda menghasilkan
penyusunan yang berbeda pula. Padahal tidak demikian.
Urutan pemilihan yang berbeda dari sejumlah partikel yang ada
tidak berpengaruh pada penyusunan asalkan jumlah partikel
pada tiap bangku tetap jumlahnya. Urutan pemilihan sejumlah
partikel menghasilkan macam cara penyusunan. Dengan
demikian, jumlah riil cara penyusunan partikel pada buah
keadaan seharusnya adalah
n1
g1
n1 !

Penjelasan yang sama juga berlaku bagi n 2 buah partikel yang


disusun pada g2 keadaan. Jumlah cara penyusunan partikel
tersebut adalah

gn22

n2 !

Secara umum jumlah cara menempatkan n s partikel di dalam


kelompok energi yang mengandung gs keadaan adalah
ns
gs
ns !
Akhirnya jumlah cara mendistribusikan secara bersama-sama
n1 sistem pada kelompok dengan g1 keadaan, n2 sistem pada
kelompok dengan g2 keadaan, .. , ns sistem pada gs keadaan
adalah
n1 n2 n3 M nM ns
g1 g g g g
× 2 × 3 ×.. × M =∏ s
n1 ! n2 ! n3 ! n M ! s=1 ns !

Dengan demikian, jumlah total cara menempatkan N buah


sistem ke dalam konfigurasi yang mengandung n1 sistem pada
kelompok dengan g1 keadaan, n2 sistem pada kelompok dengan
g2 keadaan, .., ns sistem pada kelopmok dengan gs keadaan
adalah
M ns
gs
W =N ! ∏
s =1 ns !

Kita tinjau asembli yang terisolasi dari lingkungan. Tidak ada


pertukaran partikel maupun energi antara assembli dan
lingkungan. Dengan demikian, jumlah sistem N dan energi
total U yang dimiliki assembli konstan. Akibatnya,
M
δN =∑ δ n s=0
s=1

M
δU =∑ E s δ n s=0
s=1

2. Konfigurasi dengan Probabilitas Maksimum


Sekarang kita mencari konfigurasi yang memiliki probabilitas
kemunculan paling besar. Kita menganggap bahwa konfigurasi yang
dibentuk oleh sistem-sistem dalam assembli yang menghasilkan besaran
maksroskopik adalah konfigurasi dengan probabilitas maksimum tersebut.
Cara yang dilakukan adalah mencari kumpulan ns sedemikian sehingga W
maksimum. Tetapi karena W merupakan perkalian sejumlah faktor maka
akan lebih mudah jika kita memaksimalkan ln W . Karena jika ln W
maksimum maka W pun maksimum. Kita peroleh
M n
g s

ln W =¿ ln N ! +ln ∏ s ¿
s=1 n s !
{ }
n1 n2 n3 nM
g g g g
¿ ln N !+ ln 1 × 2 × 3 ×.. × M
n1 ! n2 ! n 3 ! nM !
n1 n2 n3 nM
g g g g
¿ ln N !+¿ ln ( 1 )+ ln ( 2 )+ ln ( 3 )+..+ ln ( M )¿
n1! n2 ! n3! nM !
M
g ns s

¿ ln N !+ ∑ ln
s=1 ns!
M
¿ ln N !+ ∑ {ln g ns −ln n s !} s

s=1

M
¿ ln N !+ ∑ {ns ln gs −ln n s !}
s=1

Karena baik N maupun ns merupakan bilangan-bilangan yang


sangat besar maka untuk mempermudah perhitungan kita dapat
menggunakan pendekatan Stirling sebagai berikut
ln N ! ≅ N ln N−N
ln n s ! ≅ ns ln n s−n s
sehingga kita dapatkan bentuk approksimasi
M
ln W ≅ N ln N −N + ∑ {n s ln g s−n s ln ns +n s }
s =1
Dengan demikian, diferensial dari ln W menjadi
M
δln W ≅ δN ln N−δN + δ ∑ {n s ln g s−n s ln ns +n s }
s=1

M
¿ 0−0+ ∑ {δ n s ln g s+ ns δ ln g s−δ ns ln n s−n s δ ln ns + δns }
s=1

M
1
¿ ∑ {δ n s ln g s+ ns ×0−δ n s ln ns −ns ( δn )+ δn s }
s=1 ns s
M
¿ ∑ {δ n s ln g s−δ ns ln ns }
s=1

M
¿ ∑ {ln g s−ln ns }δ ns
s=1
M
gs
¿ ∑ ln( )δn s
s=1 ns

Karena kita harus menerapkan syarat batas kekekalan energi dan


jumlah partikel, maka solusi untuk ns dicari dengan menerapkan pengali
Langrange sebagai berikut
δ lnW +αδN + βδU =0
Substitusi persamaan (2.4), (2.5), dan (2.8) ke dalam persamaan (2.9)
diperoleh
M
gs M M

∑ ln( n )δns +α ∑ δ ns + β ∑ E s δ ns=0


s=1 s s=1 s=1
yang dapat disederhanakan menjadi
M
g
∑ ¿ ln ( n s )+α + β E s }δ n s=0 ¿
s=1 s
Karena kondisi ini berlaku untuk nilai ns berapapun maka harus terpenuhi

ln( )gs
ns
+α + β E s=0

gs
ln ( )=−α−β Es
ns

( )
gs
ns
=exp ⁡(−α −β E s)

yang menghasilkan ungkapan untuk ns sebagai


n s=g s exp ⁡(α + β E s)
Jadi konfigurasi yang memiliki peluang kemunculan paling besar adalah
yang memiliki jumlah sistem pada tiap kelompok energi yang memenuhi
persamaan (2.11). Gambar 2.5 adalah ilustrasi yang menggambarkan
jumlah partikel yang menempati berbagai kelompok energi.
Gambar 2.5 Jumlah partikel yang menempati tiap kelompok energi
3. Harga Rata-rata
Banyak sekali konfigurasi yang diperbolehkan ketika menempatkan
N sistem ke dalam M kelompok energi. Contoh konfugarasi tersebut
adalah semua sistem menempati kelompok energi pertama sedangkan
semua kelompok energi lainnya kosong, atau semua kelompok ditempati
oleh sistem dalam jumlah yang sama banyak, dan sebagainya. Tiap
konfigurasi memiliki peluang kemunculan yang berbeda-beda. Peluang
kemunculan terbesar terjadi pada konfigurasi yang mengandung sistem
pada tiap kelompok energi yang memenuhi persamaan (2.11).
Misalkan X adalah salah satu sifat sebuah assembli. Nilai X yang
kita ukur merupakan perata-rataan nilai X pada semua konfigurasi yang
mungkin. Misalkan nilai X beserta peluang kemunculan konfigurasi
dilukiskan pada Tabel 2.1.

Tabel 2.1 Nilai X beserta probabilitas kemunculannya


Konfigurasi ke-i Nilai X Probabilitas kemunculan
1 X (Konfig-1) P (Konfig-1)
2 X (Konfig-2) P (Konfig-2)
. . .
. . .
. . .
t X (Konfig-t) P (Konfig-t)
. . .
. . .
. . .
R X (Konfig-R) P (Konfig-R)

Perlu diperhatikan di sini bahwa jumlah konfigurasi yang mungkin tidak


sama dengan jumlah sistem atau jumlah kelompok energi dalam assembli.
Nilai rata-rata X memenuhi hubungan

X ( Konfig-1 ) P ( Konfig-1 ) +X ( Konfig-2 ) P ( Konfig-2 ) +…+X ( Konfig-R ) P(Konfig-R)


⟨ X⟩ =
P(Konfig-1)+P(Konfig-2)+…+P(Konfig-R)
R

∑ X ( Konfig−t ) P( Konfig−t )
⟨ X ⟩ = t =1 R

∑ P(Konfig−t)
t =1

Perhitungan nilai X di atas sangat sulit. Namun apabila kita dapat


menunjukkan bahwa salah satu konfigurasi yang mungkin, yaitu
konfigurasi dengan probabilitas maksimum,memiliki nilai yang jauh lebih
besar daripada probabilitas konfigurasi-konfigurasi lainnya, maka
perhitungan menjadi sangat sederhana.
Misalkan P(Konfig-t) = Pmaks dan terpenuhi syarat-syarat berikut ini:

P ( Konfig−1 ) ≪ Pmaks
P( Konfig−2)≪ Pmaks
.
.
.
P( Konfig−R) ≪ Pmaks

Maka

X ( Konfig-1 ) P ( Konfig-1 ) +X ( Konfig-2) P ( Konfig-2 ) +…+X ( Konfig-R ) P(Konfig-R)

≅ X(Konfig-maks) Pmaks

Dan

P(Konfig-1)+P(Konfig-2)+…+P(Konfig-R)≅ Pmaks

Dengan demikian
X (konfig−maks) Pmaks
⟨ X⟩≅ =X ¿
Pmaks

Implikasi dari persamaan diatas sangat besar, yaitu nilai rata-rata


sifat assembli sama dengan nilai sifat tersebut pada konfigurasi dengan
probabilitas terbesar. Kerumitan perata-rataan terhadap semua konfigurasi
yang mungkin muncul telah direduksi secara drastis hanya dengan
menghitung nilai pada konfigurasi maksimum. Ini adalah hasil yang luar
biasa.

C. Ruang Fasa
Sebelum masuk lebih jauh untuk mencari besaran-besaran fisis suatu
assembli, mari diskusikan terlebih dahulu satu jenis ruang yang dinamakan
ruang fasa. Ruang fasa adalah ruang yang dibentuk oleh ruang spasial dan
ruang momentum atau ruang spasial dan ruang kecepatan. Kita perlu
memahami ruang fasa karena sebenarnya keadaan sistem statistik yang telah
dan akan dibahas adalah keadaan sistem tersebut dalam ruang fasa.
Misalkan kita memiliki sebuah partikel. Posisi partikel dapat
diterangkan dengan lengkap oleh tiga koordinat ruang, yaitu x, y, dan z. Tetapi
posisi saja tidak lengkap mendeskripsikan dinamika partikel. Kita juga
memerlukan informasi tentang kecepatan partikel tersebut. Kecepatan partikel
dapat didefinisikan dengan lengkap oleh tiga koordinat kecepatan, yaitu vx, vy,
dan vz. Dengan demikian, dinamika sebuah partikel dapat dijelaskan secara
lengkap oleh enam buah koordinat, yaitu tiga koordinat ruang: x, y, dan z,
serta tiga koordinat kecepatan: vx, vy, dan vz . Kita dapat menggabungkan enam
koordinat tersebut dalam satu ungkapan, yaitu ( x,y,z, vx, vy, vz )
Karena momentum merupakan perkalian massa dan kecepatan, yaitu
p=mv maka alternatif lain untuk mendeskripsikan dinamika partikel secara
lengkap adalah memberikan tiga koordinat spasial dan tiga koordinat
momentum. Dalam deskripsi ini, dinamika partikel dapat dijelaskan dengan
lengkap jika tiga koordinat spasial dan tiga koordinat momentum dapat
ditentukan. Keenam koordinat tersebut digabung dalam satu ungkapan (x, y, z,
px, py, pz).
Gambar 2.6. Ilustrasi koordinat ruang fasa

Ruang yang direpresentasikan oleh koordinat posisi saja disebut ruang


spasial. Ruang yang diungkapkan oleh koordinat momentum saja disebut
ruang momentum. Ruang yang direpresentasikan oleh gabungan koordinat
ruang dan momentum disebut ruang fasa. Ruang fasa sangat berguna dalam
membahas distribusi kecepatan molekul. Setiap titik dalam ruang fase adalah
representasi lengkap dari posisi dan kecepatan setiap molekul. Jika kecepatan
setiap molekul dinyatakan sebagai vektor dengan titik tangkap pada pusat
koordinat maka vektor-vektor ini akan menembus permukaan khayal tertentu.
Untuk setiap vector kecepatan berlaku

Setiap vektor yang bersesuaian dengan satu molekul dan


direpresentasikan oleh anak panah dapat diwakili oleh ujung vector berupa
titik. Titik-titik ini akan membetuk sebuah ruang yang kita sebut sebagai
ruang kecepatan (velocity space). Ruang repsentasi kecepatan adalah ruang
tiga dimensi Kartesian dengan sumbu  vx , vy  dan vz. Pada ruang kecepatan, ada
kemungkinan dua buah vektor berimpit. Keadaan ini bersesuaian dengan
keadaan bahwa dua molekul memilki kecapatan yang persis sama, kendati
posisinya berbeda. Dalam ruang fase, tidak mungkin ada dua titik representasi
berimpit sebab posisi setiap molekul unik.
1. Elemen Volum Ruang Fasa
Jika ruang fasa dibangun oleh ruang spasial tiga dimensi dan ruang
momentum tiga dimensi maka:
Elemen Volum ruang spasial adalah d V s=dxdydz
Elemen Volum ruang momentum adalah d V p=dpx dp y dp z
Elemen Volum ruang fasa adalah dГ= dV s dV p =dxdydz dp x dpy dp z
Jika ruang fasa dibangun oleh ruang spasial dua dimensi dan ruang
momentum dua dimensi maka:
Elemen Volum ruang spasial adalah d S s=dxdy
Elemen Volum ruang momentum adalah d S p=dpx dp y
Elemen Volum ruang fasa adalah dГ= dSs dSp =dxdy dp x dpy
Jika ruang fasa dibangun oleh ruang spasial satu dimensi dan ruang
momentum satu dimensi maka:
Elemen Volum ruang spasial adalah d X s=dx
Elemen Volum ruang momentum adalah d P p=dp x
Elemen Volum ruang fasa adalah dГ= dX s dPp =dx dp x
Perhatikan bahwa yang dimaksud elemen volum pada penjelasan di
atas bisa bermakna umum. Untuk kasus tiga dimensi , yang dimaksud
elemen volum adalah elemen volum yang umumnya dikenal. Untuk kasus
dua dimensi, yang dimaksud elemen volumadalah elemen luas. Sedangkan
untuk kasus satu dimensi,yang dimaksud elemen volum adalah elemen
panjang.
2. Energi Kinetik
Tinjau elemen kecil volum dalam ruang fasa yang dibatasi oleh
koordinat-koordinat berikut ini:
Antara x sampai x+dx
Antara y sampai y+dy
Antara z sampai z+dz
Antara px sampai px + dpx
Antara py sampai py +d py
Antara pz sampai pz +d pz
Volum ruang fase elemen tersebut adalah

dГ=dxdydz dpx dp y dpz

Di dalam elemen volum tersebut , komponen momentum partikel adalah


px ,py , dan pz. Dengan demikian energi kinetik partikel yang berada
dalam elemen volum tersebut adalah

1 1 1 2 2 2
E= m v = m ( v x + v y + v z )= ([ mv x ] + [ m v y ] + [ m v z ] )
2 2 2 2
2 2 2m

1
¿ ( p 2 + p2 + p2 )
2m x y z
3. Menghitung Jumlah Keadaan
Pada penurunan fungsi distribusi kita sudah membagi energi atas
kelompok-kelompok energi dari kelompok ke-1 hingga kelompok ke-M.
Tinjau sebuah sistem dengan energi E=( p2x + p2y + p2z ) / 2m . Penulisan energi
tersebut dapat dibalik sebagai berikut:
2
( p 2x + p 2y + p 2z )=(√ 2mE )
Bandingkan dengan persamaan untuk bola berikut ini:
2 2 2 2
X +Y +Z =R
Kedua persamaan diatas persis sama. Pada persamaan pertama yang
berperan sebagai jari-jari adalah √ 2 mE. Ini berarti, dalam koordinat
momentum, nilai-nilai px, py, dan pz yang memberikan E yang konstan
adalah yang berada pada permukaan bola dengan jari-jari √ 2 mE. Satu
kulit bola mewakili satu nilai energi. Makin besar jari-jari bola maka
makin besar energi yang dimiliki sistem yang berada pada kulit bola
momentum tersebut.

Gambar 2.7. Bola pada ruang momentum. Jari-jari bola adalah √ 2 mE.
Jika kita bagi energi assembli atas kelompok-kelompok energi
maka tiap kelompok akan diwakili oleh kulit bola dengan ketebalan
tertentu. Mari kita ambil elemen volum pada kulit bola dengan jari-jari
√ 2 mEdan ketebalan d ( √2 mE). Luas kulit bola tersebut adalah:
2
S p=4 π ( √ 2 mE) =8 πmE
Tebal kulit bola adalah
d ( √ 2mE ) =√ 2m d ( √ E )=√ 2 m× E−1/ 2 dE= √
1 2 m −1 /2
E dE
2 2
Dengan demikian, volum kulit bola adalah
dV p =S p d ( √2 mE )
¿ 8 πmE √
2 m −1/ 2
E dE=2 π (2m)3/ 2 E1 /2 dE
2

Gambar 2.8. Elemen Volum dalam ruang momentum berupa kulit bola
Volum ruang fasa yang ditempati oleh sistem yang berada pada
kulit bola momentum serta dalam elemen volum spasial d V s=dxdydz
adalah
3 /2 1/ 2
dГ=dxdydz 2 π (2 m) E dE
Volum ruang fasa yang ditempati oleh sistem pada semua ruang
spasial, tetapi tetap berada dalam kulit bola momentum diperoleh dengan
mengintegralkan persamaan diatas pada elemen ruang spasial hasilnya
adalah
∆ Г p=∫ dxdydz 2 π (2 m) E dE=2 πV (2 m) E dE
3 /2 1 /2 3 /2 1/ 2

Dengan V =∫ dxdydz adalah volum total ruang spasial yang tidak lain
merupakan volum assembli itu sendiri.
Kita belum mengetahui berapa kerapatan keadaan dalam ruang fasa.
Untuk sementara kita menganggap kerapatan keadaan tersebut adalah B.
Jumlah keadaan dalam elemen ruang fasa ∆ Г psama dengan volumruang
fasa kali kerapatannya, yaitu
3/ 2 1 /2
B ∆ Г p=2 πVB (2m) E dE
Jika kelompok-kelompok energi yang kita bangun di dalam
assembli diwakili oleh kulit bola maka kita dapat menyamakan sg dalam
persamaan (2.11) dengan B ∆ Γ p pada persamaan (3.12). Akhirnya, kita
dapatkan ungkapan untuk sg sebagai
gs=2 πVB ¿
4. Penentuan ns
Setelah mengetahui bentuk gS dalam fungsi kontinu yaitu yang
tertuang dalam persamaan diatas, selanjutnya kita akan menentukan ns
dalam bentuk kontinu juga. Dalam bentuk dikrit, hubungan antara n s dan
gs adalah
α + βEs
n s=g s e
Pada persamaan diatas, ns adalah jumlah sistem di dalam assembli.
Sekarang kita mendefenisikan kerapatan sistem , yaitu jumlah sistem per
satuan energi. Untuk kerapatan sistem kita gabungkan simbol n(E).
Dengan demikian, jumlah sistem dalam kulit bola yang dibatasi oleh
energi E dan E + dE adalah n(E)dE. Dengan mengganti ns dengan n(E)dE
dan gs dengan persamaan (3.13) kita dapatkan hubungan antara jumlah
sistem dan kerapatan keadaan dalam bentuk kontinu sebagai berikut.

n ( E ) dE=2 πVB ¿

¿ 2 πVB ¿

D. Penentuan Parameter Statistik


Ketika mencari konfigurasi dengan probabilitas terbesar, kita
memperkenalkan dua pengali Lagrange, yaitu α dan β untuk mengakomodasi
syarat batas bahwa jumlah sistem dan energi assembli harus konstan.
Pertanyaan berikutnya adalah adakah makna fisis parameter-parameter
tersebut? Inilah yang kita bahas sekarang.
1. Penentuan Parameter β
Sudah ditunjukkan bahwa jumlah sistem yang menempati kelompok
energi dengan energi rata-rata Es dan mengandung keadaan sebanyak gs
memenuhi persamaan (2.11) yaitu n s=g s e α+ β E . Secara fisis kita meyakini
s

bahwa tidak mungkin ada sistem yang memiliki energi tak berhingga.
Oleh karena itu jika Es→∞ maka haruslah n s → 0 . Ini hanya mungkin
terpenuhi jika parameter β bernilai negatif. Lalu, bergantung pada
besaran apakah β?
Gambar 2.9. Dua buah assembli terisolasi digabung setelah membuka masing-
masing satu sisinya.pada batas dua assembli diijinkan pertukaran energi tetapi
tidak diijinkan pertukaran partikel.
Setelah mengetahui bahwa nilai parameter β harus negatif mari kita
mencari bentuk ekspresi dari parameter tersebut. Untuk mempermudah
mari kita tinjau dua assembli terisolasi dan berada pada suhu yang sama T.
Kesamaan suhu bermakna ke dua assembli berada dalam kesetimbangan
termal. Assembli pertama memiliki N1 sistem dan assembli kedua
mengandung N2 sistem. Kemudian salah satu sisi masing-masing assembli
dilepas dan dua assembli dikontakkan pada sisi yang dilepas tersebut.
Setelah dikontakkan dua assembli menjadi sebuah assembli baru yang
tetap terisolasi dari lingkungan. Misalkan pada permukan kontak dua
assembli dipasang dinding sedemikian rupa sehingga tidak ada pertukaran
sistem antara dua assembli namun pertukaran energi diperbolehkan.
Akibatnya, sebelum dan sesudah dua assembli disatukan, jumlah partikel
di assembli kiri maupun assembli kanan tidak berubah. Tetapi energi yang
dimiliki masing-masing assembli awal bisa berubah (lihat Gbr. 2.9).
Karena assembli gabungan terisolasi dari lingkungan maka
pertukaran energi antar dua assembli awal tidak mengubah energi total
assembli gabungan. Dengan persyaratan di atas kita dapatkan beberapa
konstrain berikut ini
N 1=∑ n1 s=konstan
s

N 2=∑ n2 s=konstan
s

U =U 1+ U 2=∑ n1 s E1 s +¿ ∑ n2 s E 2 s=konstan ¿
s s
Apabila kita nyatakan dalam bentuk diferensial, persamaan diatas
berbentuk
δN 1=∑ δn1 s =0
s

δN 2=∑ δn2 s =0
s

δU =∑ E 1 s δn1 s + ∑ E 2 s δn2 s =0
s s
Sebelum ke dua assembli digabung maka jumlah penyusunan
sistem pada keadaan-keadaan energi di masing-masing assembli
memenuhi
n
g1 s 1s

W 1=N 1 ! ∏
s n1s !
n2 s
g2 s
W 2=N 2 ! ∏
s n2s!

Ketika dua assembli digabung maka probabilitas penyusunan


sistem-sistem pada assembli gabungan tersebut merupakan perkalian
probabilitas penyusunan pada masing-masing assembli awal, yaitu
W =W 1 W 2
atau bila diungkapkan dalam notasi logaritma menjadi
ln W =ln W 1 +ln W 2
Kita akan mencari konfigurasi dengan probabilitas maksium dengan
memperhatikan tiga konstrain pada persamaan (4.4) sampai (4.6). Ini
menyaratkan pengenalan tiga pengali Langrange α1, α2, dan β. Syarat
maksimum memenuhi persamaan
δ lnW +α 1 δN 1+ α 2 δN 2+ βδU =0
Dengan menggunakan persamaan (4.9) maka
δ ln W 1 δ ln W 2
δln W =δ ln W 1 +δ ln W 2=∑ δn 1 s+ ∑ δn 2 s
s δn 1 s s δn 2 s

Substitusi persamaan (4.4), (4.5), (4.6), dan (4.11) ke dalam


persamaan (4.10) diperoleh
δ ln W δ ln W
s 2s s s
( s s
)
∑ δn 1 δn1 s+∑ δn 2 δn2 s +α 1 ∑ δn1 s + α2 ∑ δn2 s+ β ∑ E 1 s δn1 s +∑ E 2 s δn2 s =
s 1s

yang dapat disederhanakan menjadi


δ ln W δ ln W
∑ [ δn 1 + α1 + β E 1 s ]δn1 s + ∑ [¿ δn 2 + α2 + β E 2 s ]δn2 s =0 ¿
s 1s s 2s

Agar persamaan (4.12) selalu terpenuhi untuk variasi sn1δ dan sn2δ
berapa pun maka suku dalam kurung pada harus nol, atau
δ ln W 1
+α 1+ β E1 s=0
δn1 s
δ ln W 2
+α 2+ β E2 s=0
δn2 s

Persaman (4.13) dan (4.14) mengandung β yang sama. Ini


mengisyaratkan bahwa jika β merupakan fungsi parameter termodinamika
maka parameter yang menentukan β haruslah yang tidak berubah sebelum
dan sesudah dua assembli digabung. Parameter tersebut hanya suhu.
Sebelum dan sesudah dua assembli digabung suhunya sama. Jadi kita
simpulkan bahwa β hanya merupakan fungsi suhu, atau
β=β (T )
Setelah kita mengetahui bahwa β merupakan fungsi suhu maka
langkah selanjutnya adalah menentukan kebergantungan β terhadap suhu.
Untuk maksud mari kita lihat assembli pada Gbr. 2.10 berikut ini. Di
dalam assembli kita letakkan sebuah pemanas yang dapat mensuplai kalor
ke dalam assembli.

Gambar 2.10. Kalor disuplai ke dalam assembli


Energi dalam yang dimiliki assembli adalah U. Jika ke dalam
assembli diberikan tambahan kalor dQ maka kalor akan mengubah energi
dalam assembli dan melakukan kerja pada assembli tersebut. Hubungan
antara perubahan energi dalam, kalor yang diberikan dan kerja yang
dilakukan memenuhi hukum II termodinamika, yaitu U =dQ+dW .
Dengan menggunakan definisi dW =− pdV maka
dU =dQ−pdV
Karena ada kemungkinan volum assembli berubah ketika menyerap
kalor maka tingkat energi dalam assembli juga mungkin berubah.
Akibatnya, energi rata-rata sistem dalam satu kelompok energi, yaitu Es ,
juga mungkin berubah sehingga secara umum terpenuhi δ E s ≠0 . Dengan
demikian. Mengingat U =∑
s
ns E s maka secara umum dalam bentuk

diferensial dari U adalah


δU =∑ E s δ n s+ ∑ n s δ E s
s s

Bagaimana hubungan persaman (4.16) dan (4.17)? Hubungannya


adalah Ketika dalam asembli disuplai kalor, perubahan tingkat energi
dalam assembli semata-mata disebabkan perubahan ukuran spasial
assembli. Jadi, perubahan tingkat energi dalam assembli, yaitu δEs
merupakan kontribusi dari perubahan ukuran assembli. Dengan demikian,
korelasi antara persamaan (4.16) dan (4.17) menjadi sebagai berikut:
Suku pertama pada persamaan (4.17) merupakan kontribusi dari
pemberian kalor
Suku kedua dalam persamaan (4.17) merupakan kontribusi dari
perubahan volum assembli.

Dengan demikian dapat diambil kesimpulan berikut ini:


∑ E s δ n s=dQ
s

∑ ns δ E s=− pdV
s
Jika kita menganggap bahwa dinding assembli sangat tegar
sehingga tidak terjadi perubahan volum pada saat penyerapan kalor δQ
maka
δU =δQ
Dengan demikian, syarat konfigurasi dengan probabilitas
maksimum menjadi
δ ln W +αδN + βδQ=0
Untuk assembli yang terisolasi, jumlah sistem tidak berubah
sehingga Nδ=0. Akibat dari pembatasan tersebut maka persamaan (4.21)
menjadi δ lnW + βδQ=0atau
δ lnW =−βδQ
Ingat merupakan sebuah fungsi sehingga δ ln W merupakan
diferensial sejati, yaitu merupakan selisih dua nilai berdekatan. Tetapi δQ
bukan merupakan diferensial sejati. δQ tidak dapat dinyatakan sebagai
selisih dua nilai dari suatu fungsi. Dengan demikian tampak bahwa ruas
kiri dan kanan persmaaan (4.22) tidak konsisten. Agar konsisten maka
ruas kanan pun harus merupakan diferensial sejati. Dalam pelajaran
termodinamika, sudah dibahas bahwa δQ bisa diubah menjadi diferensial
sejati jika dibagi dengan suhu. Jadi, walaupun δQ bukan diferensial sejati
tetapi δQ/T merupakan diferensial sejati. Di termodinamika dibahas
bahwa δQ/T merupakan sebuah besaran termodinamika yang bernama
entropi. Dengan demikian, agar ruas kanan persamaan (4.22) menjadi
diferensial sejati maka haruslah β∝1/T. Dan karena kita menunjukkan
bahwa β berharga negatif, maka bentuk umum β sebagai fungsi suhu
manjadi
−1
β=
kT
Dengan k sebuah konstanta. Nanti akan kita buktikan bahwa k tidak
lain daripada konstanta Boltzmann.
2. Penentuan Parameter α
Setelah mengetaui ungkapan untuk gs, kita siap menentukan parameter
pengali Lagrange α. Kita mulai dari hubungan n s=g s e α + β E . Selanjutnya
s

kita lakukan penjumlahan untuk semua yang mungkin


∑ ns=∑ g s e α +β E =eα ∑ g s e β E
s s

s s s
Penjumlahan di ruas kiri adalah jumlah total sistem. Jadi
N=e ∑ gs e
α βE s

s
Mari kita fokuskan pada suku penjumlahan di ruas kanan persamaan
(4.29). Kita ganti gs dengan bentuk kontinu yang diberikan oleh
persamaan (3.13). Penjumlahan selanjutnya diganti dengan integral pada
semua jangkauan energi yang mungkin, yaitu dari E=0 sampai E=∞.
Bentuk integral yang dimaksud adalah

N=e ∫ 2 πVB ¿ ¿
α

0
α
N=e 2 πVB ¿
Untuk menyelesaikan integral (4.30) mari kita mendefinisikan βE=-y
sehingga
−y
E=
β
−1
dE= dy
β
1/ 2 1 /2
1 /2 −y −1 1/ 2
E =( ) =( ) y
β β
Dengan mensubstitusi persamaan (4.31a) sampai (4.31c) maka suku
integral di ruas kanan persamaan (4.30) menjadi
∞ 1 ∞ 1 1

0
e βE 2
E dE= ∫
0
e ( )
− y −1 2 2 −1
β
y (
β
)dy
3 ∞ 1

( ) ( )
3
−1 2 −1 2 3
¿
β
∫ −y
e y 2 dy=
β
Г( )
2
0
di mana Г(x) adalah fungsi gamma. Dapat dibuktikan secara analitik
(walaupun agak panjang) dan juga sudah ditabelkan bahwa Г
3 √π
2
=
2 ()
sehingga
∞ 1

( )
−1 2 √ π
3
∫ e E 2 dE=
βE
β 2
0
Akhirnya, substitusi persamaan (4.32) ke dalam (4.30) diperoleh
N=e α 2 πVB ¿
Karena kita sudah membuktikan β=-1/kT maka
N=e α 2 πVB ¿
N=VB ¿

sehingga parameter α
α N
e =
VB ¿ ¿
Atau
α =ln¿ ¿

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Statistika Maxwell-Boltzmann meninjau partikel klasik yang
“terbedakan”. Sistem partikel klasik yang terbedakan merupakan sistem
partikel yang konfigurasinya berbeda ketika dua atau lebih partikel
dipertukarkan. Dengan kata lain, konfigurasi partikel A dalam keadaan 1 dan
partikel B dalam keadaan 2 berbeda dengan konfigurasi ketika partikel B
berada dalam keadaan 1 dan partikel A dalam keadaan 2. Ketika gagasan
diatas diimplementasikan akan dihasilkan distribusi (Boltzmann) biasa bagi
partikel dalam berbagai tingkat energi. Hasil distribusi ini menghasikan hasil
yang kurang fisis untuk entropi, sebagaimana ditunjukan dalam “Paradox
Gbbs”. Namun, masalah itu tidak muncul pada peninjauan statistic ketika
semua partikel dianggap “tak terbedakan”.
Statistik Maxwell-Boltzmann dipandang 6 dimensi dari pergerakan
molekul ,yakni 3 dimensi kedudukan dan 3 dimensi kecepatan. Ruang 6
dimensi yang dimaksudkan ini disebut ruang fasa. Selanjutnya ruang fasa ini
masih dibagi lagi kedalam volume kecil 6 dimensi yang disebut sel. Molekul
terbagi ke dalam sel ini dan terjadilah secara individu disebut status makro
dari system sedangkan penentuan molekul tertentu (secara individu) dalam
tiap status makro disebut status makro dari sistem.

B. Saran

DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Mikrajuddin. 2017. Pengantar Fisika Statistik untuk Mahasiswa.
Bandung:ITB

Siregar, Rustam E. 2012. Fisika Statistik. Jatinangor:Unpad Press.

Anda mungkin juga menyukai