Anda di halaman 1dari 19

Pendahuluan

Rendahnya kemampuan dan keterbatasan dalam berbahasa Indonesia,

khususnya kemampuan membaca akan mengakibatkan rendahnya mutu

pendidikan. Hal ini menunjukkan bahwa peranan kemampuan berbahasa dalam

pendidikan sangatlah besar. Menurut Supardjo (1988:11) melalui pendidikan

dapat dibentuk watak dengan cara stimulasi kegiatan berpikir. Di samping itu,

dengan bahasa, pendidikan dapat diselenggarakan dan melalui pendidikan bahasa

dapat diajarkan. Menurut Ajikusumo (Internet, Juli 2002) dan Tarigan (1989: 22)

bahwa keberhasilan peserta didik pada jenjang pendidikan dasar ditandai dengan

dimilikinya pengetahuan dan keterampilan dasar, yang salah satunya adalah

membaca. Pernyataan ini dipertegas oleh Sarief (2002) berdasarkan hasil

penelitian Internasional Association for the Assement (IAEA) pada tahun 1999

yang mengungkapkan bahwa murid-murid SD di seluruh Indonesia dinilai

mutunya sangat rendah dalam pelajaran ilmu pengetahuan alam (IPA), dan

matematika. Hal ini diakibatkan dari lemahnya pemahaman membaca.

Uraian di atas menunjukkan bahwa membaca merupakan kegiatan

mendasar dalam pendidikan, sebagaimana yang diungkapkan oleh Roger Farr

(1984) “Reading is the Heart of education”. Kegiatan membaca tidak bisa

dibiarkan dalam upaya peningkatan mutu pendidikan nasional. Negara-negara

maju, di belahan dunia sangat menekankan bahwa masyarakatnya harus menjadi

pembaca yang handal. Hartoonian (1984) menyatakan “if we want to be a super

power, we must have individuals with much higher levels of literacy” (Suryaman,

2001: 2). Rusyana (1984: 128) menegaskan tidak terbayangkan bagaimana kita

1
dapat melakukan kegiatan ilmu dan budaya tanpa menggunakan bahasa secara

tertulis, yaitu membaca dan menulis.

2.2 Membaca

2.3.1 Pengertian

Keterampilan membaca merupakan salah satu dari komponen empat

keterampilan berbahasa, yaitu keterampilan menyimak, keterampilan berbicara,

keterampilan membaca, dan keterampilan menulis. Jika disederhanakan keempat

aspek tersebut menjadi dua aspek, yaitu keterampilan produktif dan keterampilan

reseptif. Keterampilan berbahasa produktif mencakup keterampilan berbicara dan

menulis, sedangkan keterampilan berbahasa reseptif mencakum keterampilan

menyimak dan membaca.

Keempat keterampilan berbahasa tersebut tidak dapat dipisah-pisahkan

satu sama lain atau dapat dikatakan antara satu aspek dengan aspek lainnya

mempunyai hubungan yang erat. Keterampilan berbicara mempunyai hubungan

yang erat dengan keterampilan mendengarkan dan keterampilan menulis

mempunyai hubungan dengan membaca. Walaupun demikian, hal tersebut tidak

selamanya mengikat harus seperti itu, akan tetapi tidak menutup kemungkinan

bahwa keterampilan berbicara mempunyai hubungan dengan keterampilan

membaca dan seterusnya.

Banyak pengertian membaca yang dikemukakan oleh para pakar bahasa,

diantaranya Haris (1975: 8) memberikan pengertian bahwa membaca sebagai

interpretasi bermakna dari simbol-simbol verbal yang tertulis. Senada dengan

2
Haris, Fiochiaro dan Bonomo yang dikutip oleh Tarigan (1993: 8) menjelaskan

bahwa yang dimaksud dengan membaca itu adalah bringing meaning to and

getting meaning from printed or written material.

Kegiatan membaca bukan hanya keterampilan mekanis yang sederhana,

melainkan kegiatan membaca merupakan kegiatan aktif, sewaktu membaca, otak

dan mental bekerja secara intensif untuk menerima gagasan yang terdapat dalam

bacaan. Hal tersebut sebagaimana yang diungkapkan oleh Smith dan Robinson

(1980) dalam Gani (1992: 15) bahwa membaca merupakan kegiatan aktif untuk

dapat mengerti dan memahami pesan atau informasi yang hendak disampaikan

oleh penulis. Proses membaca menuntut aplikasi, analisis, evaluasi, dan imajinasi

(Pumfrey, 1977: 2).

Dari uraian di atas, terdapat kesamaan memandang dan menilai kegiatan

membaca. Pada intinya bahwa membaca merupakan kegiatan untuk mendapatkan

informasi yang disampaikan penulis. Agar pemahaman terhadap informasi tidak

mengalami distorsi, maka diperlukan aktivitas pengalaman pengalaman dan

pengetahuan yang melibatkan indera penglihatan dan kapasitas intelektual.

Berdasarkan aspek membaca, Tarigan (1993: 12) membagi keterampilan

membaca ini menjadi dua bagian, seperti yang tertuang dalam bagan di bawah ini

- Pengenalan bentuk huruf


- Pengenalan unsur-unsur linguistik
Keterampilan
Mekanis - Pengenalan hubungan bunyi dan
hurup
Aspek-aspek
Membaca - Kecepatan membaca: lambat

3
- Pemahaman pengertian sederhana
Keterampilan
- Pemahaman makna
Pemahaman
- Evaluasi isi dan bentuk
- Kecepatan membaca: fleksibel

Sesuai dengan ruang lingkup penelitian ini, maka kajian keterampilan membaca

yang akan dibahas, yaitu keterampilan membaca pemahaman.

2.3.2 Membaca Pemahaman

Kegagalan siswa dalam belajar salah satunya ditandai dengan lemahnya

membaca pemahaman (Pikiran Rakyat, 19 Maret 2002), ini menunjukkan bahwa

keterampilan membaca pemahaman dapat dianggap berada pada urutan yang

paling tinggi. Kemudian apa yang dimaksud dengan membaca pemahaman itu?

Banyak para ahli yang telah memberikan jawaban terhadap pertanyaan tersebut.

dalam beberapa buku kadang menggunakan istilah reading comprehension,

kadang pula hanya menggunakan istilah reading saja dengan alasan bahwa

membaca tanpa pemahaman bukan membaca yang sesungguhnya. Bedasarkan

pertimbangan di atas, pada bagian ini secara akan dikemukakan beberapa

pendapat ahli tentang membaca yang dinyatakan sebagai reading comprehension.

Menurut Weiner (1985: 243) yang dimaksud dengan membaca

pemahaman, yaitu

Reading comprehension is a complex process in which the reader uses his


mental content to obtain meaning from written material. He must be able
to recognize and decode words, annd be able to relate the ideas to his
previous knowledge.

4
Pengertian di atas menjelaskan bahwa membaca pemahamn itu merupakan

proses yang rumit berlangsung dalam diri seorang yang melakukan kegiatan

membaca dengan mendayagunakan segala kapasitas mental yang dimilikinya

untuk memperoleh makna pemahaman dari bahan yang dibacanya. Broughton

(1978) berpendapat bahwa dalam keterampilan membaca pemahaman, pembaca

diharapkan dapat memahami pengertian sederhana, memahami makna, mampu

mengevaluasi, dan mampu membaca dengan kecepatan yang fleksibel (Tarigan,

1993: 12).

Dengan demikian bahwa definisi tersebut memberikan satu jawaban

terhadap perbedaan antara membaca biasa (umum) dengan membaca pemahaman.

Dalam membaca pemahaman disamping prosesnya, juga diperlukan syarat-syarat

yang harus dimiliki pembaca, agar proses membaca yang dilaluinya menghasilkan

pemahaman.

Berkaitan dengan syarat membaca pemahaman, Colincoff (1975)

mengatakan bahwa ada tiga komponen utama dalam membaca pemahaman, yaitu

pertama, pembaca harus dapat menangkap makna kata tunggal; kedua, pembaca

harus memahami keterkaitan kata-kata dalam bacaan; dan ketiga, pembaca harus

mampu menarik makna dari rangkaian kata (Akil, 1993: 59). Jika ini dapat

dilakukan, maka terjadilah membaca pemahaman.

Untuk memahami ketiga komponen, maka pembaca perlu memahami

bermacam-macam makna dan cara pemaknaan menurut konteks bahan yang

dibaca tersebut. Geoffry Leech (1981) dalam Akil (1993: 60) menyodorkan tujuh

macam makna, yaitu: (1) makna denotatif; (2) makna konotatif; (3) makna

5
berdasarkan lingkungan sosial pemakai bahasa; (4) makna menurut persaan/sikap

pembicara; (5) makna yang berkaitan pernyataan yang lain atau yang terpantul

dari pernyataan tetentu; (6) makna yang berkaitan dengan makna kata lain yang

sering muncul dalam lingkungan/konteks yang sama; dan (7) makna menurut cara

penyampaian atau urutan penekanan pesan.

Tidak semua pembaca dapat menguasai makna-makna tersebut karena

keterbatasan intelektual, maka dalam memahami satu bacaan terjadi tingkatan

pemahaman yang berbeda-beda. Gray dalam Garddner (1978: 65-81)

mengemukakan tingkatan pemahaman pembaca terhadap bacaannya dapat

dikalasifikasikan menjadi lima tingkatan, yaitu:

a. persepsi awal yang terdiri dari pemahaman kosa kata, pengenalan struktur

bacaan, membuat ringkasan dari apa yang dibaca, dan memahami serta

mengikuti petunjuk yang terdapt dalam bacaan;

b. pemahaman atau interpretasi terhadap bahan bacaan yang terdiri dari

merasakan atau mengetahui tujuan yang hendak dicapai penulis,

menemukan hubungan sebab akibat, yang terdapat dalam bacaan,

mengetahui suasana atau perasaan penulis, menganalisis karakter dan

motif yang terdapat dalam bacaan, mencatat kriteria-kriteria dan

hubungan-hubungan yang ada dalam bacaan, membuat kesimpulan

bacaan, dan mampu serta mau berspekulasi dengan peristiwa dan

kenyataan;

c. mengadakan evaluasi, yaitu seberapa jauh pembaca dapat menilai baik

tidaknya bacaan yang dibacanya;

6
d. memberikan reaksi terhadap apa yang dibacanya. Reaksi ini dapat bersifat

emosional dan dapat bersifat intelektual; dan

e. mengadakan integrasi bacaan dengan latar belakang pembaca (Gani, 1992:

20-21).

Dari uraian di atas dapat dikatakan bahwa membaca pemahaman

merupakan suatu proses yang rumit dan melibatkan pembaca dengan

mendayagunakan semua kapasitas mental, teks, dan isi pesan yang ingin

disampaikan oleh penulis. Terakhir, yang terpenting dalam membaca pemahaman

yaitu pembaca harus mampu menghubungkan ide-ide yang terdapat di dalam

bacaan dengan pengetahuan yang telah dimilikinya.

2.3.3 Pentingnya Membaca Pemahaman

Kemajuan teknologi informasi telah mengantarkan manusia untuk selalu

ingin tahu terhadap berbagai perkembangan, sehingga dituntut untuk senantiasa

mencari informasi yang terbaru. Penyajian informasi bukan hanya sekedar melalui

media elektronik akan tetapi juga media cetak, seperti koran dan majalah. Untuk

menyerap dari media informasi tersebut terutama dari media cetak dan internet

diharuskan seseorang untuk membaca. Rusyana (1984: 189) menegaskan bahwa

kemampuan membaca merupakan kemampuan yang sangat penting bagi kita di

masa lalu, dan lebih-lebih di masa sekarang dan akan datang.

Kegiatan membaca merupakan kegiatan mendasar dalam pendidikan,

sebagaimana yang diungkapkan oleh Roger Farr (1984) “Reading is the Heart of

education”. Kegiatan membaca tidak bisa dibiarkan dalam upaya peningkatan

7
mutu pendidikan nasional, karena membaca merupakan sumber informasi dalam

situasi belajar (Dupuis & Askov, 1982: 17). Negara-negara maju, di belahan dunia

sangat menekankan bahwa masyarakatnya harus menjadi pembaca yang handal.

Hartoonian (1984) menyatakan “if we want to be a super power, we must have

individuals with much higher levels of literacy” (Suryaman, 2001: 2). Rusyana

(1984: 128) menegaskan tidak terbayangkan bagaimana kita dapat melakukan

kegiatan ilmu dan budaya tanpa menggunakan bahasa secara tertulis, yaitu

membaca dan menulis.

Kemampuan membaca pemahaman sangat besar peranannya dalam dunia

pendidikan. Hampir seluruh kegiatan belajar tidak dapat dilepaskan dari kegiatan

membaca, dan membaca pemahaman dapat menentukan berhasil atau tidaknya

dalam pendidikan, sebagaimana yang diungkapkan Sarief (Pikiran Rakyat, 19

Maret 2002) berdasarkan hasil penelitian Internasional Association for the

Assement (IAEA) pada tahun 1999 mengungkapkan bahwa murid-murid SD di

seluruh Indonesia dinilai mutunya sangat rendah dalam pelajaran ilmu

pengetahuan alam (IPA), dan matematika. Hal ini diakibatkan dari lemahnya

pemahaman membaca.

Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa pentingnya membaca

pemahaman dalam pendidikan untuk mendapatkan ilmu pengetahuan. Tanpa

kemapuan membaca yang baik seorang pembelajar akan selalu ketinggalan dalam

banyak hal. Ketinggalan ini tentu akan menghambat kemajuan belajarnya, secara

tidak langsung telah menghambat pembentukan manusia yang berkualitas dalam

pembangunan nasional yang dicanangkan beberapa tahun lalu.

8
Sebagai paragraf terakhir dari pentingnya membaca pemahaman ini, yaitu

bahwa pentingnya membaca bukan sesuatu yang baru karena dorongan kemajuan

ilmu pengetuan dan teknologi, akan tetapi dalam Islam bahwa membaca telah

menjadi ajaran dan anjuran dari Allah SWT. bagi hamba-hamba-Nya,

sebagaimana yang diungkapkan dalam ayat pertama dari surat Al-Alaq, yang

artinya “bacalah oleh kamu dengan menyebut nama Tuhanmu”. Kata iqra yang

berati bacalah diulang sebanyak dua kali, yaitu dalam ayat pertama dan ayat

ketiga. Semuanya berbentuk fiil amer atau kata perintah (imperatif). Hal ini

menunjukan untuk mempertegas bahwa membaca itu adalah penting terutama

dalam membaca pemahaman.

2.3.4 Tingkatan Membaca Pemahaman

Barrett (1972) dalam konsep Taksonomy of Reading Comprehension

membagi tingkatan membaca pemahaman menjadi empat, yaitu literal, inferensi,

evaluasi, dan apresiasi. Pemahaman literal adalah pemahaman yang membutuhkan

ingatan gagasan-gagasan, informasi, kejadian-kejadian yang dinyatakan secara

jelas pada bahan bacaan. Pemahaman inferensial merupakan pemahaman yang

ditunjukkan ketika pembaca menggunakan sintesis pada isi literal tersebut pada

suatu seleksi, pengetahuan personalnya, intuisinya, dan imajinasinya sebagai suatu

dasar untuk penghubung-penghubung hipotesis-hipotesis. Pada pemahaman

inferensial ini, pertanyaan-pertanyaan imajinasi dan pemikiran. Evaluasi

merupakan pemahaman yang ditunjukkan ketika pembaca menilai isi suatu

bacaan. Ia membandingkan kriteria eksternal dan internal. Eksternal ditunjukkan

9
dari subjektivitas pengarang, sedangkan internal berdasarkan pengalaman

pembaca, pengetahuannya yang mennghubungkan antara yang ditulis dengan

pembaca. Apresiasi adalah pemahaman yang berkaitan dengan kesadaran teknik-

teknik sastra, bentuk-bentuk, gaya-gaya, dan struktur-struktur yang dikerjakan

pengarang untuk mendorong respon-respon emosional pembaca (Dupuis, 1982:

24-28).

Berbeda dengan Barrett, Anderson membagi tingkat membaca

pemahaman ini menjadi tiga tingkatan, yaitu reading the lines, reading between

the lines, dan reading beyond the lines. Bloom (1979) mengemukakan pendapat

yang senada yang diuraikan dengan rinci. Bloom menguraikan pemahaman

sebagai subranah kognitif, yaitu terjemahan, interpretasi, dan ekstrapolasi

(Susetyo, 1992: 14).

Penerjemahan merupakan pemahaman yang diidentifikasi kan oleh

perhatian dan ketepatan komunikasi yang dinyatakan sendiri atau dari bahasa satu

ke bahasa lain. Penerjemahan ini ditimbang atas dasar kesaksamaan dan

ketepatan, yakni sejauh mana materi dalam komunikasi yang asli masih tetap

terpelihara, sekalipun bentuk komunikasi tersebut sudah diubah. Misalnya,

keterampilan menerjemahkan materi verbal matematis ke dalam pernyataan-

pernyataan simbolis atau sebaliknya.

Interpretasi adalah penjelasan atau perangkuman suatu komunikasi.

Seperti kemampuan menafsirkan berbagai tipe data sosial.

Ekstrapolasi adalah pemanjangan kecenderungan-kecenderungan untuk

menentukan implikasi-implikasi, akibat-akibat, pengaruh-pengaruh, dan

10
sebagainya yang sesuai dengan kondisi-kondisi sebagaimana digambarkan dalam

komunikasi aslinya. Sebagai contoh, kemampuan bekerja dengan kesimpulan-

kesimpulan yang ditarik dari suatu karya ilmiah, artinya dapat melakukan sesuatu

berdasarkan tafsiran dari pernyataan-pernyatan yang tersurat.

Dupuis (1982: 28) menegaskan bahwa taksonomi pemahaman


Barrett mempunyai hubungan dengan taksonomi Bloom,
hubungan tersebut digambarkan dalam bagan di bawah ini.
Bloom’s Taxonomy of Barrett’s Taxonomy of
the Cognitive Domain Reading Comprehension

6 Evaluation
3 Evaluation
5 Synthesis
4 Analysis
2 Inferential
3 Application
2 Comprehension
1 Literal
1 Knowledge

Pendapat lain berkenaan dengan pembagian tingkat membaca

pemahaman ini dikategorikan menjadi tiga tingkatan, yaitu literal, inferensial, dan

elaboratif. Pada tingkat literal siswa diharapkan dapar memfaraprasekan arti yang

diberikan dengan jelas dalam wacana. Inferensial merupakan pencarian beberapa

jenis organisasi dari bahan dan mencari ide-ide dari informasi yang ada dalam

bacaan. Sedangkan elaboratif adalah pemahaman proses berpikir baru yang

memungkinkan siswa mengetahui hasil berpikirnya tentang bacaan tersebut

(Smith, 1985: 231-234).

Berdasarkan uraian di atas bahwa tingkat membaca pemahaman itu

dapat diklasifikasikan sebagai berikut, yaitu literal, inferensial, dan

11
ekstrapolasi/evaluasi/elaboratif. Barrett dalam Dupuis (1982: 28) berpendapat

bahwa membaca pemahaman literal merupakan membaca pemahaman yang

paling dasar, pernyataan tersebut diungkapkan dalam bentuk piramida di bawah

ini.

3 Evaluation
Divergent

2 Inferential
Convergent

1 Literal

2.3.5 Penghambat Membaca Pemahaman

Membaca pemahaman merupakan kegiatan yang melibatkan beberapa

faktor, faktor tersebut meliputi faktor internal dan faktor eskternal pembacanya.

Maka dari itu, faktor-faktor yang menghambat terhadap membaca pemahaman ini

melibatkan faktor internal dan faktor eksternal pembaca.

Taylor (1988: 26-45) merinci beberapa faktor yang yang dapat

menghambat dalam membaca, yaitu dari segi neurologi, psikoemosional,

lingkungan, da pendidikan.

Permasalahan neurologi yang dapat menghambat dalam membaca, yaitu

pertama, gangguan penglihatan. Berdasarkan hasil penelitian, orang yang

penglihatannya terganggu akan mengalami kesulitan dalam pemahaman

membaca. Akan tetapi, menurut orang yang menderita penyakit mata dekat

(myopia) ternyata kemampuan membacanya tidak berbeda dengan yang normal.

Mereka hanya mengalami penyakit mata jauh (hyropia) lebih banyak mengalami
12
hambatan di dalam memahami bacaan; kedua, gangguan pendengaran. Hasil

penelitian menunjukkan bahwa gangguan pendengaran ternyata menjadi kendala

dalam memahami bacaan; dan ketiga, yaitu lateral dominance, yaitu kedominan

organ tubuh tertentu. Dalam hal ini sering disoroti ialah dominasi tangan, kaki,

mata, dan belahan otak.

Masalah psikoemosional, yang dapat menghambat membaca ialah

kurang atau tidak ada motivasi. Kurangnya motivasi untuk melakukan sesuatu

biasanya akan berpengaruh kepada hasil yang akan dicapai, termasuk dalam

membaca. Rendahnya motivasi seseorang dalam membaca secara langsung akan

mempengaruhi tingkat pemahaman membaca.

Lingkungan, lingkungan akan mempengaruhi seseorang dalam

membaca. Lingkungan yang dimaksud di sini, yaitu lingkungan kebahasaan dan

lingkungan fisik. Bagi mereka yang tinggal di lingkungan kebahasaan yang

penggunaan bahasanya kurang memperhatikan logika bahasa, akan memberi

sumbangan negatif terhadap kemampuan membacanya. Sedangkan hambatan

yang disebabkan oleh lingkungan fisik sudah jelas, seperti membaca di tempat

yang gaduh.

Terakhir adalah pendidikan, yang dimaksud pendidikan ini adalah

dampak dari kurang latihan membaca. Artinya, hambatan ini sebagian disebabkan

oleh penyelenggara pendidikan yang kurang memberikan latihan membaca

kepada siswa-siswanya.

Sedangkan Soedarso (1999: 5-8) berpendapat bahwa yang menghambat

dalam membaca cepat ialah vokalisasi, gerakan bibir, gerakan kepala, menunjuk

13
dengan jari, regresi, dan subvokalisai. Walaupun ini berada pada membaca cepat,

tapi setidaknya inipun dapat menghambat dalam membaca pemahaman. Karena

semuanya itu akan membuyarkan pada konsentrasi membaca. Padahal,

konsentrasi merupakan sarat utama dalam membaca pemahaman.

Banyak lagi faktor yang menghambat terhadap membaca pemahaman,

seperti penguasaan struktur kalimat, kesenjangan budaya, perbedaan tingkat

keilmuan antara penulis dengan pembacanya, dan kondisi seseorang dalam

keadaan membaca.

14
DAFTAR PUSTAKA

Ajikusumo. (2002) Studi Membaca Permulaan. [online]. Tersedia:


http://www.depdiknas.go.id. [13 Juli 2002].

Al-Qur an

Akil, M. (1993). Beberapa Faktor Yang Mewarnai Kemampuan Membaca. Tesis


Magister pada PPS UPI: Tidak diterbitkan.

Alwasilah, H. C. (1993). Pengantar Sosiologi Bahasa. Bandung: Angkasa.

Alwi, H. et al (1998). Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai


Pustaka.

Alwi, H. (1998). “Bahasa Indonesia Menjelang Tahun 2000”, dalam Depdikbud.


(1998), Bahasa Indonesia Menjelang Tahun 2000. Jakarta: Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan.

Apple, R., & Muysken, P. (1988). Language Contact and Bilingualism. London:
Edward Arnold.

Arikunto, S. (1999). Dasar-dasar Evaluasi Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta.

Arikunto, S. (1998). Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta:


Bumi Aksara.

Beardsmore, H.B. (1982). Bilingualism. England Tieto ltd.

Biro Pusat Statistik. (1990). Penduduk Jawa Barat Hasil Sensus Penduduk 1990.
Jakarta: Biro Pusat statistik.

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. (1994). Kamus Besar Bahasa


Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (1989). Undang-undang Republik


Indonesia Nomor 2 tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Jakarta.

Dharmojo. (2001). “Bahasa-bahasa Papua”. Makalah pada SemilokaTradisi Lisan,


Bogor.

Dil, A.S. (1972). The Ecology of Language. California: Standford University


Press.

15
Djiwandono, M.S. (1996). Tes Bahasa Dalam Pengajaran. Bandung: Penerbit
ITB.

Djojonegoro, W. (1988). “ Peran Bahasa Indonesia Menjelang Tahun 2000”,


dalam Depdikbud. (1998), Bahasa Indonesia Menjelang Tahun 2000.
Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Dupuis, M.M & Askov, E. N. (1982). Content Area Reading. Englewood Cliffs,
New Jersey: Prentice Hall-Inc

Effendi, S. et al. (1981). Singkatan Laporan Sosiolinguistik. Jakarta: Pusat


Bahasa.

Faisal, S., & Waseso, M.G. (1982). Metodologi Penelitian Pendidikan. Surabaya.
Usaha Nasional.

Fernandez, I.Y. (1988). “Perkembangan Pengaruh Bahasa Daerah dalam Bahasa


Indonesia”, dalam Depdikbud. (1998), Bahasa Indonesia Menjelang
Tahun 2000. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Frankel, J.R., & Wallen, N.E. (1993). How to Design and Evaluate Reseach in
Education. Singapur: McGraw-Hill Book Co.

Gani, E. (1992). Hubungan Antara Kemampuan Membaca Pemahaman dan


Kemampuan Berpikir Logis dengan Kemampuan Menulis Eksposisi.
Tesis Magister pada PPS UPI: Tidak diterbitkan.

Gardner, K. (1978). The Teaching of Comprehension. London: The British


Council

Grosjean, F. (1982). Life with Two Languages. Cambridge: Harvard University


Press.

Habibie, B.J. (1988). “Bahasa Indonesia dan Pengembangan Ilmu Pengetahuan


dan Teknologi Modern”, dalam Depdikbud. (1998), Bahasa Indonesia
Menjelang Tahun 2000. Jakarta: Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan.

Halim, A. (1980). “Fungsi dan Kedudukan Bahasa Indonesia”, dalam Pusat


Pembinaan Pengembangan Bahasa Depdikbud. (1980), Politik Bahasa
Nasional 2. Jakarta: Balai Pustaka.
Haji Abdullah, H.K. (1998). “Kedwibahasaan, Prestasi Akademik. Dan
Penguasaan Bahasa Melayu di Kalangan Penuntut-Penuntut Melayu di
Singapura”, dalam Depdikbud. (1998), Bahasa Indonesia Menjelang
Tahun 2000. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

16
Harris, A.J., & sipay, E.R. (1975). How to Increase Reading Ability: A Guide to
Develoment and Remedial Methods. Ney York: Longman.

Heryanto, A. et al. (1996). Bahasa dan Kekuasaan Politik Wacana di Panggung


Orde Baru. Bandung: Mizan.

Kridalaksana, H. (2001). Kamus Linguistik. Jakarta: Gramedia.

Moliono, A.M. (1985). Pengembangan dan Pembinaan Bahasa: Ancangan


Alternatif di dalam Perencanaan Bahasa. Jakarta: Jambatan.

Nababan, P.W.J. (1993). Sosiolinguistik Suatu Pengantar. Jakarta: Gramedia.

Natawijaja, Rochman (1988). Pengolahan Data Secara Statistik. Bandung:


Pascasarjana IKIP Bandung.

Nurgiyantoro, B. (1995). Penilaian Dalam Pengajaran Bahasa dan Sastra.


Yogyakarta: BPFE.

Prawirasumantri, A., dkk. (2003). Pedoman Pengembangan Kurikulum Berbasis


Kompetensi Mata Pelajaran Bahasa Daerah. Bandunng: Geger
Sunten.

Pateda, M. (1988). “Masa Depan Bahasa Daerah dalam Kaitannya dengan


Pembinaan Bahasa Indonesia”, dalam Depdikbud. (1998), Bahasa
Indonesia Menjelang Tahun 2000. Jakarta: Departemen Pendidikan
dan Kebudayaan.

Pumfrey, P.D. (1977). Measuring Reading Competence. New York: Horder and
Stougton.

Ramirez, A.G. (1981). Bilingualism Through Schooling. Albany: State University


of New York Press.

Romaine, S. (1989). Bilingualism. New York: Basil Blackwell Ltd.

Rusyana, Y. (1984). Bahasa dan sastra dalam Gamitan Pendidikan. Bandung:


CV. Diponogoro.

Rusyana,Y. (1988) Perihal Kedwibahasaan (Bilingualisme). Jakarta: Departemen


Pendidikan dan Kebudayaan.

Sarief, E.A. (2002). Sistem Pendidikan Nasional Mengalami Degredasi. Pikiran


Rakyat (19 Maret 2002).

17
Smith, F. (1985). Reading. Great Britain: Cambridge University Press.

Soedarso. (1999). Speed Reading-Sistem Membaca Cepat dan Efektif. Jakarta:


Gramedia

Subino. (1982). Bimbingan Skripsi. Bandung: ABA Yapari Bandung.

Sudjana. (1992). Metoda Statistik. Tarsito: Bandung.

Sugiyono (1999). Statistika untuk Penelitian. Bandung: Alfabeta.

Sumarsono dan Partana, P. (2002). Sosiolinguistik. Yogyakarta: Sabda.

Supardjo. (1988). Pendidikan, Interpretasi, dan Implikasi. Bandung: FPS IKIP


Bandung.

Surakhmad, W. (1994). Pengantar Penelitian Ilmiah. Bandung: Tarsito.

Suriamihardja, B. (1984). “Politik Bahasa Nasional dan Pengembangan


Pendidikan”, dalam Pusat Pembinaan Pengembangan Bahasa
Depdikbud. (1984), Politik Bahasa Nasional 1. Jakarta: balai Pustaka.

Suryaman, M. (2001). Model Pembelajaran Membaca Berbasis Bacaan dan


Pembaca. Disertasi Doktor pada PPS UPI: Tidak diterbitkan.

Sujana, N. (2001). Tuntunan Penyusunan Karya Ilmiah. Bandung: Sinar Baru.

Suwito. (1983). Sosiolinguistik Teori dan Problema. Surakarta: Fakultas Sastra


Universitas Sebelas Maret.

Tarigan, H.G. (1988). Pengajaran Kedwibahasaan. Bandung: Angkasa.

Tarigan, H.G. (1993). Membaca Sebagai Suatu Keterampilan Berbahasa.


Bandung: Angkasa.

Tarigan dan Tarigan. (1990). Pengajaran Analisis Kesalahan Berbahasa.


Bandung: Angkasa.

Taylor, B. (1988). Reading Difficulties. New York: Random House.

Tierney, et al. (1990). Reading Strategies and Practice: A compendium. Boston:


Allyn and Bacon.

Weiner, H.S. (1985). Reading Skil Hand Book. USA: Houghton Mifflin Co.

18
Weinreich, U. (1968). Languages in Contact, Findings and Problems. Mounton:
The Hauge.

Wojowasito, S. (1980). “Fungsi dan Kedudukan Bahasa Daerah”, dalam Pusat


Pembinaan Pengembangan Bahasa Depdikbud. (1980), Politik Bahasa
Nasional 2. Jakarta: Balai Pustaka.

19

Anda mungkin juga menyukai