Anda di halaman 1dari 34

ANALISIS PROBLEMATIKA KEKERASAN PSIKIS DI SEKOLAH

MAKALAH

Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah

Analis Hukum dan Perlindungan Anak

Yang di Ampu oleh Dr. Muhammad Ishaq, MPd., dan Dr. H. Ahmad Samawi,
M.Hum.

Oleh:

Arini Mubarroroh 220154801900

Mu’alfani Arsana Putri 220154801972

UNIVERSITAS NEGERI MALANG


FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN
PROGRAM STUDI S2 PAUD
OKTOBER 2022
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha
Panyayang, puja dan puji syukur senantiasa tercurah atas kehadirat-Nya, yang telah
melimpahkan rahmat, hidayah, dan inayah-Nya, sehingga penyusun dapat
menyelesaikan makalah Analisis Hukum dan Perlindungan Anak tentang
“ANALISIS PROBLEMATIKA KEKERASAN PSIKIS DI SEKOLAH”

Makalah ini disusun dengan maksimal dan mendapatkan bantuan dari


berbagai pihak sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah ini. Untuk itu
penyusun menyampaikan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah
berkontribusi dalam pembuatan makalah ini. Terlepas dari semua itu, penyusun
menyadari sepenuhnya bahwa masih ada kekurangan baik dari segi susunan kalimat
maupun tata bahasanya. Oleh karena itu, dengan tangan terbuka penyusun menerima
segala saran dan kritik dari pembaca agar penyusun dapat memperbaiki makalah ini.

Akhir kata, semoga makalah ini tentang limbah dan manfaatnya untuk
masyarakan ini dapat memberikan manfaat maupun inpirasi terhadap pembaca.

Malang, 11 Oktober 2022

Penyusun

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL.........................................................................................................

DAFTAR ISI....................................................................................................................

KATA PENGANTAR....................................................................................................

BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ........................................................................................
B. Rumusan Masalah......................................................................................
C. Tujuan Penulisan.....................................................................................

BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian Kekerasan Psikis pada Anak di Sekolah ...............................
B. Faktor Penyebab Terjadinya Kekerasan Psikis pada Anak di
Sekolah....................................................................................................
C. Dampak Terjadinya Kekerasan Psikis pada Anak di Sekolah.................
D. Dasar Hukum Kekerasan Psikis pada Anak di Sekolah........................
E. Problematika Kekerasan Psikis pada Anak...........................................

BAB III PENUTUP


A. Kesimpulan............................................................................................
B. Saran......................................................................................................

DAFTAR RUJUKAN....................................................................................................

iii
4

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Masalah kekerasan terhadap anak di sekolah merupakan masalah global


terkait hak asasi manusia. Kasus kekerasan terhadap anak di sekolah yang
teridentifikasi di pelayanan kesehatan mental dasar dan di pusat-pusat pelayanan
rujukan termasuk kepolisian merupakan fenomena gunung es, karena belum
menggambarkan jumlah seluruh kasus yang ada di sekolah. Hal ini disebabkan
banyak korban dari tindak kekerasan tidak mengadukan tindak kekerasan yang
dialaminya karena berbagai alasan. Kekerasan terhadap anak didik/murid sangat
bertentangan dengan tujuan dan prinsip penyelenggaraan pendidikan yang diatur
dalam (Undang-Undang RI Tentang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20
Tahun, 2003). Karena kekerasan tidak mungkin membentuk watak kepribadian
siswa menjadi lebih baik, justru kekerasan jauh dari nilai-nilai kemanusiaan dan
akan melahirkan kekerasan baru nantinya. (Undang-Undang RI Tentang
Perlindungan Anak Nomor 23 Tahun, 2002) tidak mentolerir adanya kekerasan
terhadap anak di sekolah. Undang-Undang Perlindungan Anak Pasal 54
menyebutkan: “Anak di dalam lingkungan sekolah wajib dilindungi dari tindakan
kekerasan yang dilakukan oleh guru, pengelola sekolah atau teman-temannya di
dalam sekolah yang bersangkutan, atau lembaga pendidikan lainnya”.
Kekerasan terhadap anak semakin banyak terjadi dimana-mana. Di sekolah,
rumah serta lingkungan bermain menjadi tempat terjadinya kekerasan pada anak.
Tanpa kita sadari bahwa dilingkungan sekitar kita mungkin masih banyak
pendidik yang melakukan tindakan kekerasan. Kekerasan yang terjadi bukan
hanya kekerasan fisik saja namun kekerasan emosional atau kekerasan verbal.
Disinilah penulis memaparkan terkait kekerasan psikis di lingkungan sekolah
sekaligus problematika kekerasan psikisnya. Sebagai pengantar masalah ini
banyak pendidik dan tenaga kependidikan yang melakukan kekerasan psikis tanpa
di sadari itu melukai batin anak atau mental anak.

4
5

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas di dapatkan permasalahan sebagai berikut:
1. Apa pengertian kekerasan psikis pada anak di sekolah?
2. Apa saja faktor penyebab terjadinya kekerasan psikis pada anak di
sekolah?
3. Apa dampak terjadinya kekerasan psikis pada anak di sekolah?
4. Apa saja dasar hukum kekerasan psikis pada anak di sekolah?
5. Apa saja problematika kekerasan psikis yang terjadi pada anak?

C. Tujuan
Tujuan dari permasalahan yang dapat diambil dari pembahasan makalah ini
adalah sebagai berikut:
1. Untuk mendeskripsikan pengertian kekerasan psikis pada anak di sekolah
2. Untuk mendeskripsikan faktor penyebab terjadinya kekerasan psikis pada
anak di sekolah.
3. Untuk mendeskripsikan dampak terjadinya kekerasan psikis pada anak di
sekolah.
4. Untuk mendeskripsikan dasar hukum kekerasan psikis pada anak di
sekolah.
5. Untuk mendeskripsikan problematika kekerasan psikis pada anak.

5
BAB II
PEMBAHASAN
A. Kekerasan Psikis pada Anak di Sekolah
Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun,
termasuk anak yang masih dalam kandungan. Pemahaman dan persepsi anak
tentang dunia yang masih minim menyebabkan mereka rentan terhadap
perkembangan situasi sekitar yang kadang begitu kompleks. Mereka belum
cukup pengalaman untuk menelaah semua informasi yang ada. Itulah
sebabnya, Anak sangat membutuhkan pendampingan orang dewasa untuk
memberikan pemahaman terhadap yang dipikirkan dan yang ditemuinya.
Namun, sebagian orang dewasa yang diharapkan dapat berperan sebagai
“guru” justru memberikan kekerasan terhadap anak yang berdampak fisik
maupun psikis hingga merenggut jiwanya (Al Adawiah, 2015).
Semakin hari semakin banyak kekerasan pada anak yang terjadi.
Kekerasan pada anak adalah setiap tindakan terhadap anak yang melanggar
norma-norma tingkah laku dan cenderung menyebabkan gangguan pada anak
baik secara fisik ataupun psikis. kekerasan terhadap anak bisa terjadi kapan
saja dan dimana saja termasuk pada saat di rumah, tempat bermain bahkan di
sekolah. Padahal sekolah merupakan tempat dimana anak menerima
pendidikan moral, etika dan akademik, bahkan menjadi rumah kedua bagi
anak. Namun, kenyataannya justru di sebagian sekolah terjadi kasus
kekerasan. Baik yang dilakukan oleh teman sepermainan, senior, guru atau
penjaga kebersihan sekolah. Makalah ini bertujuan untuk mengungkap
bentuk kekerasan yang terjadi disekolah. (Christiana, 2019). Hal ini sesuai
dengan pendapat (Pramono & Dwiyanti Hanandini, 2022) tempat kejadian
tindak kekerasan terhadap anak tidak lagi hanya terjadi di ranah privat tetapi
sudah masuk ke ranah publik. Sekolah menjadi salah satu tempat terjadinya
tindak kekerasan terhadap anak yang seringkali banyak menjadi pusat
perhatian.

6
7

Kekerasan psikis tidak begitu mudah untuk dikenali. Akibat yang


dirasakan oleh korban tidak memberikan bekas yang tampak jelas bagi orang
lain. Wujud konkret kekerasan atau pelanggaran bentuk ini adalah
penggunaan kata-kata kasar, penyalahgunaan kepercayaan, mempermalukan
orang di depan orang lain atau di depan umum, melontarkan ancaman dengan
kata-kata, dan sebagainya (Rionika & Dermawan, 2019). Menurut (Siregar,
2016), kekerasan ini dianggap paling berbahaya karena tidak tertangkap mata
atau telinga jika kita sendiri tidak cukup cakap dalam mendeteksinya. Bentuk
kekerasan psikis memiliki dampak negatif pada anak, yaitu rasa sakit, rasa
tidak aman, dendam, menurunnya semangat belajar, daya konsentrasi,
kreativitas, hilang inisiatif, daya tahan, menurunnya rasa percaya diri, stress,
depresi, dsb. Dalam jangka panjang bisa berakibat pada penurunan prestasi,
perubahan prilaku.
Anak yang mendapatkan kekerasan psikis umumnya menunjukkan gejala
perilaku maladaftif, seperti menarik diri, pemalu, menangis jika didekati, takut
keluar rumah dan takut bertemu orang lain. Berikut ini merupakan bentuk
kekerasan psikis yang terjadi pada anak, antara lain (Sururin, 2016):
a. Dihina,
b. Dicaci Maki,
c. Diejek,
d. Dibentak,
e. Dimarahi,
f. Diancam,
8

B. Faktor Penyebab Terjadinya Kekerasan Psikis pada Anak di Sekolah


Tindak kekerasan seringkali dilakukan di satuan pendidikan. Perlakuan
kekerasan yang anak didik dapatkan beraneka ragam mulai verbal hingga
fisik. Tak lain lagi di sekolahpun ada tindakan kekerasan dimana lembaga
pendidikan merupakan kepercayaan orang tua untuk mendapatkan didikan
dan pembelajaran. Hal berikut merupakan pemicu terjadinya kekerasan
psikis di sekolah:
1. Kekerasan Psikis Yang Dilakukan Oleh Guru Kepada Anak Didik
Perlakuan kekerasan dapat dilakukan siapa saja, namun pada
pembahasan kali ini menekankan pada kekerasan yang berada di sekolah
yang dapat dilakukan oleh guru. Seperti hal yang dianggap sepele namun
sering terjadi sebagai bagian dari pendidikan ataupun pembentukan perilaku.
Adapun bentuk-bentuk kekerasan yang dapat teridentifikasi adalah bentuk
kekerasan verbal, termasuk di dalamnya adalah memberi julukan yang tidak
disukai, memanggil dengan nama orang tua, serta memanggil dengan nama
lain yang tidak sesuai, memberi label dengan menyebut 'malas', 'goblok', dan
'nakal'. Bentuk yang kedua adalah bentuk kekerasan psikologis, seperti
mengabaikan atau tidak memperdulikan, serta melontarkan kata-kata yang
tujuannya mengancam atau mengintimidasi, seperti 'awas kamu'.
Selanjutnya, bentuk yang ketiga adalah kekerasan fisik, seperti menjewer,
memukul, serta mendorong kepala.
Penyebab munculnya tindak kekerasan guru terhadap anak didik
menurut survei diantaranya adalah karena kesalahan yang dilakukan anak
didik, temperamen guru, dan berbagai alasan lain yang merujuk pada
perilaku anak didik yang tidak disukai guru, seperti perilaku malas, ramai di
dalam kelas, tidak memperhatikan, serta alasan yang tidak diketahui anak
didik. Berkaitan dengan hal tersebut, diketahui pula apa yang dirasakan anak
didik sebagai dampak atau akibat dari tindak kekerasan guru terhadap
mereka. Anak didik diantaranya mengaku merasa minder atau rendah diri,
marah, sakit hati, sedih, dan ingin balas dendam. Akan tetapi, ada pula anak
9

didik yang mengatakan biasa saja, atau dengan kata lain, tidak menganggap
serius tindakan guru terhadap mereka. Sebagian anak didik mungkin
memaknai tindak kekerasan yang mereka alami sebagai bentuk hukuman
atas perilaku mereka yang tidak pada tempatnya. Hal ini terlihat dari
kemampuan anak didik untuk mengidentifikasi perilaku-perilaku yang
memicu munculnya tindak kekerasan tersebut. Dengan demikian, anak didik
sebenarnya dapat mengenali perilaku yang secara normatif salah, akan tetapi
ada faktor-faktor lain yang menyebabkan mereka tidak dapat mengendalikan
diri dan menghindari perilaku-perilaku tersebut. Salah satunya dapat
disebabkan kurang efektifnya pengelolaan kelas, yang dapat dipengaruhi
oleh tidak memadainya rasio antara guru dengan anak didik dalam satu
kelas. Padatnya anak didik dalam satu kelas, dapat memicu berbagai
permasalahan dalam upaya pengelolaan kelas yang dapat berdampak pada
perilaku anak didik (Muis dkk., 2011).
2. Kekerasan Psikis Yang Dilakukan Oleh Anak Didik Kepada Anak
Didik

Kebanyakan kasus kekerasan psiskis terhadap anak didik kepada


teman sebayanya di sekolah mayoritas adalah tindak bullying. Beberapa
faktor penyebab menurut (Zakiyah dkk., 2017) bulliying, antara lain:

a. Keluarga.
Pelaku bullying seringkali berasal dari keluarga yang bermasalah: orang
tua yang sering menghukum anaknya secara berlebihan, atau situasi
rumah yang penuh stress, agresi, dan permusuhan. Anak didik akan
mempelajari perilaku bullying ketika mengamati konflik-konflik yang
terjadi pada orang tua mereka, dan kemudian menirunya terhadap
teman-temannya. Jika tidak ada konsekuensi yang tegas dari lingkungan
terhadap perilaku coba-cobanya itu, ia akan belajar bahwa “mereka yang
memiliki kekuatan diperbolehkan untuk berperilaku agresif, dan
10

perilaku agresif itu dapat meningkatkan status dan kekuasaan


seseorang”. Dari sini anak didik mengembangkan perilaku bullying.
b. Sekolah
Pihak sekolah sering mengabaikan keberadaan bullying ini. Akibatnya,
anak didik sebagai pelaku bullying akan mendapatkan penguatan
terhadap perilaku mereka untuk melakukan intimidasi terhadap anak
didik lain. Bullying berkembang dengan pesat dalam lingkungan
sekolah sering memberikan masukan negatif pada anak didik, misalnya
berupa hukuman yang tidak membangun sehingga tidak
mengembangkan rasa menghargai dan menghormati antar sesama
anggota sekolah;
c. Faktor Kelompok Sebaya.
Anak didik ketika berinteraksi dalam sekolah dan dengan teman di
sekitar rumah, kadang kala terdorong untuk melakukan bullying.
Beberapa anak didik melakukan bullying dalam usaha untuk
membuktikan bahwa mereka bisa masuk dalam kelompok tertentu,
meskipun mereka sendiri merasa tidak nyaman dengan perilaku tersebut.
d. Kondisi Lingkungan Sosial
Kondisi lingkungan sosial dapat pula menjadi penyebab timbulnya
perilaku bullying. Salah satu faktor lingkungan sosial yang
menyebabkan tindakan bullying adalah kemiskinan. Mereka yang hidup
dalam kemiskinan akan berbuat apa saja demi memenuhi kebutuhan
hidupnya, sehingga tidak heran jika di lingkungan sekolah sering terjadi
pemalakan antar anak didiknya.
e. Tayangan Televisi Dan Media Cetak
Televisi dan media cetak membentuk pola perilaku bullying dari segi
tayangan yang mereka tampilkan. Survei yang dilakukan kompas
memperlihatkan bahwa 56,9% anak didik meniru adegan-adegan film
yang ditontonnya, umumnya mereka meniru geraknya (64%) dan kata-
katanya (43%). menyikut, meninju, menendang, menggigit, memiting,
11

mencakar, serta meludahi anak didik yang ditindas hingga ke posisi


yang menyakitkan, serta merusak dan menghancurkan pakaian serta
barangbarang milik anak didik yang tertindas. Semakin kuat dan
semakin dewasa sang penindas, semakin berbahaya jenis serangan ini,
bahkan walaupun tidak dimaksudkan untuk tidak melukai korban secara
serius.

Adapun penyebab terjadinya kekerasan psikis berdasarkan latar


belakang anak didik yang menjadi bahan olokan menurut pendapat (Erniwati,
2020) faktor-faktor tersebut antara lain:

1. Anak mengalami cacat tubuh, retardasi mental, gangguan tingkah laku,


autisme, anak terlalu lugu, memeiliki tempramen lemah, ketidaktahuan
anak terhadap hak-haknya, anak terlalu bergantung kepada orang dewasa.
Kondisi tersebut membuat anak mudah diperdayai.
2. Kemiskinan keluarga, orang tua menganggur, penghasilan tidak cukup,
banyak anak. Kondisi ini banyak menyebabkan kekerasan pada anak baik
di lingkungan sekolah ataupun masyarakat.
3. Keluarga tunggal atau keluarga pecah (broken home), misalnya
perceraian, ketiadaan ibu untuk jangka panjang atau keluarga tanpa ayah
dan ibu tidak mampu memenuhi kebutuhan anak secara ekonomi.
4. Keluarga yang belum matang secara psikologis, (unwanted child), anak
yang lahir diluar nikah.
5. Penyakit parah atau gangguan mental pada salah satu atau kedua orang
tua, misalnya tidak mampu merawat dan mengasuh anak karena gangguan
emosional dan depresi.
6. Kondisi lingkungan sosial yang buruk, pemukiman kumuh, tergusurnya
tempat bermain anak, sikap acuh tak acuh terhadap tindakan eksploitasi,
pandangan terhadap nilai anak yang terlalu rendah, meningkatnya faham

Demikianlah beberapa pokok pikiran terkait kekerasan pada anak,


khususnya pespektif psikologi. Anak adalah amanah dan hadiah terindah
12

yang diberikan Tuhan kepada manusia. Anak juga merupakan investasi bagi
bangsa, oleh karena di hari akhir nanti, doa dan kerja keras anak sholeh akan
terus mengalir. Semoga anak didik di berbagai lembaga sekolah, selamat dari
kekerasan dan menjadi generasi penerus yang berkualitas bagi bangsa, orang
tua, dan agama.

C. Dampak Terjadinya Kekerasan Psikis pada Anak di Sekolah


Kekerasan psikis adalah situasi perasaan tidak aman dan nyaman yang
dialami anak. Kekerasan psikis dapat berupa menurunkan harga diri serta
martabat korban; penggunaan kata-kata kasar; penyalahgunaan kepercayaan,
mempermalukan orang di depan orang lain atas di depan umum, melontarkan
ancaman dengan kata-kata dan sebagainya.
Dampak kekerasan psikis akan membekas dan mengakibatkan trauma,
sehingga mempengaruhi perkembangan kepribadian anak. Kekerasan emosi
adalah sekiranya terdapat gangguan yang keterlaluan yang terlihat pada fungsi
mental atau tingkah laku, termasuk keresahan, murung, menyendiri, tingkah
laku agresif atau mal development, Menurut (Pramono dkk., 2016), dampak
secara psikologis pada anak yang mengalami kekerasan psikis akan
menimbulkan:
a. Trauma psikologis;
b. Rasa takut;
c. Rasa tidak aman;
d. Dendam;
e. Menurunnya semangat belajar, daya konsentrasi, kreativitas, hilangnya
inisiatif, serta daya tahan (mental) siswa;
f. Menurunnya rasa percaya diri, inferior, stress, depresi.
g. Dalam jangka panjang, dampak ini bisa terlihat dari penurunan prestasi,
perubahan perilaku yang menetap.
13

D. Dasar Hukum Kekerasan Psikis pada Anak di Sekolah


Dasar hukum UU 35 tahun 2014 membahas perubahan atas UU 23
tahun 2002 tentang Perlindungan Anak sebagai berikut: anak adalah bagian
yang tidak terpisahkan dari keberlangsungan hidup manusia dan
keberlangsungan sebuah bangsa dan negara. Agar kelak mampu bertanggung
jawab dalam keberlangsungan bangsa dan negara, setiap Anak perlu mendapat
kesempatan yang seluas-luasnya untuk tumbuh dan berkembang secara
optimal, baik fisik, mental, maupun sosial. Untuk itu, perlu dilakukan upaya
perlindungan untuk mewujudkan kesejahteraan. Anak dengan memberikan
jaminan terhadap pemenuhan hak-haknya tanpa perlakuan diskriminatif.
Negara menjunjung tinggi hak asasi manusia, termasuk di dalamnya hak asasi
Anak yang ditandai dengan adanya jaminan perlindungan dan pemenuhan
Hak Anak dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 dan beberapa ketentuan peraturan perundang-undangan baik
yang bersifat nasional maupun yang bersifat Internasional. Jaminan ini
dikuatkan melalui ratifikasi konvensi internasional tentang Hak Anak,
yaitu pengesahan Konvensi Hak Anak melalui Keputusan Presiden
Nomor 36 Tahun 1990 tentang Pengesahan Convention On The Rights
Of The Child (Konvensi Tentang Hak-Hak Anak) tentang Perlindungan
Anak mengatakan bahwa anak didalam dan di lingkungan sekolah wajib
dilindungi dari tindakan kekerasan yang dilakukan oleh guru, pengelola
sekolah atau teman-temannya di dalam sekolah yang bersangkutan , atau
lembaga pendidikan lainnya.
Secara eksplisit UU No 35/2014 tentang Perlindungan Anak ada 3
pasal yang mengupas perihal larangan kekerasan pada anak dalam satuan
pendidikan, yakni Pasal 54 : Anak di dalam dan di lingkungan sekolah wajib
dilindungi dari tindakan kekerasan yang dilakukan oleh Guru, pengelola
sekolah atau teman-temanhya di dalam sekolah yang bersangkutan atau
lembaga pendidikan lainnya (Christiana, 2019).
14

E. Problematika Kekerasan Psikis yang Terjadi pada Anak di Sekolah

KASUS I

Judul: Dipaksa Pakai Jilbab, Murid SMAN 1 Banguntapan Bantul Depresi


dan Nangis di Toilet Sekolah (Ilahi, 2022)

Kronologi

Harianjoja.com, BANTUL-Murid SMAN 1 Banguntapan Bantul depresi dan


menangis di toilet sekolah selama satu jam karena diduga dipaksa memakai
jilbab. Ombudsman Republik Indonesia (ORI) DIY sudah memanggil Kepala
SMAN 1 Bantul untuk meminta penjelasan. Pendamping siswi dari Persatuan
Orangtua Peduli Pendidikan (Sarang Lidi), Yuliani mengatakan pada hari
pertama masuk sekolah 18 juli 2022, siswi tersebut menjalani masa
pengenalan lingkungan sekolah (MPLS) sebagiamana murid baru pada
umumnya. Kemudian pada 19 Juli 2022, siswi tersebut dipanggil guru BP.
Dia ditanya kenapa tidak memakai jilbab, lalu dia menjawab belum mau.
Siswi tersebut diinterogasi lama dan merasa dipojokkan. Setelah itu, dia
dipaksa memakai jilbab dan merasa tidak nyaman. "Gurunya memakaikan
jilbab ke siswi tersebut, sudah pemaksaan oleh guru BP. Setelah itu anak
tersebut izin ke toilet dan menangis hingga sekitar satu jam," ungkapnya,
Jumat (29/7/2022).

Pekan berikutnya pada 25 Juli 2022, murid baru itu masih masuk
sekolah, namun saat upacara dia pingsan. Orang tuanya tidak diberi tahu.
Yuliani menyebut Sarang Lidi sudah dipertemukan dengan sekolah dan dinas
untuk menjernihkan masalah itu. "Sekolah mengambing-hitamkan seolah ada
persoalan keluarga, padahal enggak," jelasnya. Akibat peristiwa ini,
menurutnya, anak tersebut sangat trauma dan tidak mau sekolah di SMAN 1
Banguntapan lagi. Sarang Lidi kemudian mengadu kepada ORI DIY. Kasus
ini juga ditangani KPAI. "Pelan-pelan kami memperbaiki mental anak
tersebut, paling tidak dapat sekolah [baru] dulu. Dia sangat depresi, dia
15

dipakaikan jilbab oleh guru BP, jadi ada pemaksaan," ujar dia. Kepala ORI
DIY, Budhi Masturi, mengatakan lembaganya sudah meminta penjelasan dari
kepala sekolah mengenai peristiwa tersebut. Namun, kepada awak media,
Kepala SMAN 1 Banguntapan Agung Istianto menolak memberikan komentar
terkait dugaan pemaksaan ini. Dia Langsung masuk mobil dan pergi
meninggalkan ORI DIY tanpa keterangan apa pun.

Dikutip dari Harianjogja.com, JOGJA—Ibu dari murid SMAN 1 Banguntapan


Bantul yang dipaksa memakai jilbab mengirimkan surat terbuka berisi
curahan hati dan menceritakan penderitaan anaknya. Kasus ini sekarang
ditangani Ombudsman RI Perwakilan (ORI) DIY. SMAN 1 Banguntapan
Bantul membantah gurunya memaksa memakai jilbab. Siswi tersebut depresi
dan menangis di toilet. Namun, sekolah menuding masalah keluarga menjadi
penyebab depresi si anak. Namun, ibu di murid yang menjadi korban
pemaksaan berkata lain. Dia juga mempersoalkan tuduhan sekolah ihwal
persoalan keluarga yang membuat anaknya depresi. Ibu tersebut kemudian
melayangkan surat kepada media massa agar disampaikan kepada publik
secara terbuka. Berikut isi suratnya.

“Nama saya, Herprastyanti Ayuningtyas, seorang ibu, perempuan Jawa,


tinggal di Yogyakarta, yang sedang sedih dengan trauma, yang kini dihadapi
putri saya, dampak dari memperjuangkan hak dan prinsipnya.

Putri saya adalah anak yang jadi perhatian media di sekolah di SMAN1
Banguntatapan, Bantul. Bagi kami orang tuanya, dia bukan anak yang lemah
atau bermasalah. Dia terbiasa dengan tekanan. Saya dan ayahnya bercerai
namun kami tetap bersama mengasuh anak kami. Dia atlet sepatu roda. Dia
diterima di SMAN1 Banguntapan 1 sesuai prosedur.

Pada Selasa, 26 Juli 2022, anak saya menelepon, tanpa suara, hanya
terdengar tangisan. Setelahnya baru terbaca WhatsApp, “Mama ak mau
pulang, ak ga mau dsni.”
16

Ibu mana yang tidak sedih baca pesan begitu? Ayahnya memberitahu, dari
informasi guru, bahwa anak kami sudah satu jam lebih berada di kamar
mandi sekolah.

Saya segera jemput anak saya di sekolah. Saya menemukan anak saya
di unit kesehatan sekolah dalam kondisi lemas. Dia hanya memeluk saya,
tanpa berkata satu patah kata pun. Hanya air mata yang mewakili
perasaannya.

Awal sekolah dia pernah bercerita bahwa di sekolahnya “diwajibkan” pakai


jilbab, baju lengan panjang, rok panjang. Putri saya memberikan penjelasan
kepada sekolah, termasuk walikelas dan guru bimbingan penyuluhan, bahwa
dia tidak bersedia. Dia terus-menerus dipertanyakan, “Kenapa tidak
mau pakai jilbab?”

Dalam ruang bimbingan penyuluhan, seorang guru menaruh sepotong jilbab


di kepala anak saya. Ini bukan “tutorial jilbab” karena anak saya tak pernah
minta diberi tutorial. Ini adalah pemaksaan.

Saya seorang perempuan, yang kebetulan memakai jilbab, tapi saya


menghargai keputusan dan prinsip anak saya. Saya berpendapat setiap
perempuan berhak menentukan model pakaiannya sendiri.

Kini anak saya trauma, harus mendapat bantuan psikolog. Saya ingin sekolah
SMAN 1 Banguntapan, Pemerintah Yogyakarta, serta Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan, bertanggung jawab. Kembalikan anak saya
seperti sediakala.

Beberapa guru menuduh putri saya punya masalah keluarga. Ini bukan
masalah keluarga. Banyak orang punya tantangan masing-masing. Guru-
guru yang merundung, mengancam anak saya, saya ingin bertanya, “Punya
masalah apa Anda di keluarga sampai anak saya jadi sasaran? Bersediakah
bila kalian saya tanya balik seperti ini?”
17

Dikutip dari TEMPO.CO, Jakarta - Kasus siswi SMAN 1 Banguntapan,


Bantul, Yogyakarta yang dipaksa pakai jilbab sampai saat ini masih dalam
proses penyelidikan di Dinas Pendidikan, Pemuda, dan Olahraga Yogyakarta.
Kini, siswi yang menolak pemaksaan pemakaian jilbab itu menjalani
pendampingan psikologis secara intensif karena depresi. Atlet sepatu roda itu
bersiap pindah ke sekolah lain supaya bisa melanjutkan pendidikan.
Perpindahan itu muncul dari usulan Komisi Perlindungan Anak Indonesia dan
pendamping. “Pindah supaya kesehatan mentalnya kondusif,” ujar
pendamping siswa, Yuliani Putri Sunardi pada Selasa, 2 Agustus 2022.

Di rumahnya di Kota Yogyakarta, siswi yang menolak pemaksaan


jilbab sempat mengurung diri di kamar dan tidak mau makan. Dia juga
menolak untuk bersekolah di SMAN 1 Banguntapan Bantul karena trauma.
“Dia sempat tidak mau berkomunikasi dengan orang tua dan siapa pun,” ujar
anggota Aliansi Masyarakat Peduli Pendidikan Yogyakarta itu. Yuliani
bersama seorang anggota KPAI harus berjibaku untuk mendekati siswi
tersebut agar lebih tenang. Butuh tiga hari setelah peristiwa pemaksaan
pemakaian jilbab itu untuk bisa berkomunikasi dengan sang siswi. Yuliani
menjelaskan dia bersama seorang anggota KPAI datang ke rumah siswi itu
pada 26 dan 27 Juli. Tapi, remaja putri itu menolak menemui mereka dan
mengunci pintu kamarnya. Yuliani dan anggota KPAI itu kemudian
berinisiatif menulis surat untuk mencoba berkomunikasi. Surat itu berisi
dukungan agar dia tidak takut dan mendapat perlindungan KPAI. Yuliani juga
menyertakan nomor teleponnya. “Surat kami taruh di pintu kamar siswi,” kata
Yuliani. Sehari setelahnya, siswi itu berkirim pesan kepada Yuliani yang
menyatakan ingin pindah sekolah. Yuliani menawarkan beberapa pilihan
sekolah di Kota Yogyakarta. Siswi tersebut mengalami tekanan karena guru
bimbingan konseling dan wali kelas memaksanya memakai jilbab di ruangan
guru BK pada Selasa pagi, 26 Juli 2022. Guru BK tersebut memakaikan jilbab
ke siswi tersebut.
18

Terjadi Perundungan

Menurut Yuliani, perundungan terjadi terhadap siswa beragama Islam


tersebut sejak 19 Juli sebelum guru BK memaksanya mengenakan jilbab.
Sejumlah guru di sekolah itu menegur siswa itu, lalu guru BK dan wali kelas
mengundangnya datang ke ruangan melalui pesan WhatsApp. Kepada siswi
berumur 16 tahun itu, guru-guru menyatakan bila tidak mengenakan jilbab
maka dia menjadi berbeda dan kapan lagi bisa belajar kalau tidak sekarang.
Siswi tersebut menolak hingga menjadi omongan para guru. “Siswi tambah
stres karena guru-guru ngrasani. Puncaknya tanggal 26 dia mengurung diri di
toilet,” ujar Yuliani. Selain itu, guru BK tersebut juga melontarkan kalimat,
"bapak ibumu tidak salat kan, bapakmu mualaf". Perundungan hingga
pemaksaan itulah yang membuat siswa tersebut depresi berat. Yuliani dan
orang tua siswa kini rutin mengantarnya menemui psikolog dari KPAI. “Dia
sudah mau keluar kamar. Tapi, kondisinya masih labil,” kata Yuliani.

Untuk memulihkan kondisi kesehatan mentalnya, Yuliani juga berencana


mengajaknya untuk bersepeda. Yuliani menunjukkan kegemaran siswa
tersebut bermain sepatu roda.

Dinas Pendidikan Turun Tangan

Kepala Dinas Pendidikan, Pemuda, dan Olahraga DIY, Didik Wardaya


mengatakan akan menjalankan rekomendasi dari psikolog ihwal pindah
sekolah. “Kami akan carikan tempat belajar yang nyaman,” kata dia. Didik
menyebutkan Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak dan
Pengendalian Penduduk DIY telah turun untuk mendampingi siswa. Fokusnya
membawa suasana ceria hingga dia bisa kembali belajar. Timnya juga telah
memanggil kepala sekolah, pendamping siswa, dan orang tua untuk
mendapatkan keterangan. Didik menekankan sekolah negeri tidak boleh
memaksa siswa mengenakan jilbab karena bukan sekolah berbasis agama.
“Sekolah harus mereplikasi suasana kebhinekaan,” kata dia. Bila sekolah
19

tersebut terbukti bersalah, maka Dinas Pendidikan, kata dia akan


menggunakan Peraturan Pemerintah Nomer 94 Tahun 2021 tentang Disiplin
Pegawai Negeri Sipil. Sanksi terhadap pelanggar aturan itu kata dia
disesuaikan dengan tingkat kesalahannya.

Kepala SMA N 1 Banguntapan, Bantul, Agung Istiyanto membantah


guru BK dan wali kelas di sekolahnya memaksa siswa memakai jilbab. Guru
BK hanya menyarankan siswa untuk mengenakan jilbab sebagai bagian dari
pembentukan karakter.

Saat siswa itu datang ke ruangan, guru BK, kata Agung dengan nada guyon
menanyakan siswa itu pernah tidak memakai jilbab. Lalu guru BK tersebut
mencontohkan pemakaian jilbab. “Sekolah tidak pernah memaksa. Kalau
menyarankan iya sebagai sesama Muslim,” kata dia.

5 Fakta Pemaksaan Jilbab Siswi SMAN 1 Banguntapan: Depresi Hingga


Pindah Sekolah

TEMPO.CO, Jakarta - Kasus pemaksaan penggunaan jilbab kepada seorang


siswi SMA Negeri 1 Bantul, Yogyakarta sempat membuat heboh masyarakat.
Kasus tersebut sampai saat ini masih dalam proses penyelidikan di Dinas
Pendidikan, Pemuda, dan Olahraga Yogyakarta. Berikut ini merupakan lima
fakta dari kasus pemaksaan penggunaan jilbab kepada siswi yang merupakan
atlet sepatu roda tersebut.

1. Siswi mengalami depresi


Menurut Aliansi Masyarakat Peduli Pendidikan Yogyakarta
(AMPPY), siswi itu mengalami depresi usai dipaksa memakai hijab.
Adapun pemaksaan terjadi saat Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah
(MPLS). Koordinator AMPPY yang juga pendamping siswi dalam kasus
ini, Yuliani Putri Sunardi, menceritakan peristiwa itu terjadi pada 18 Juli
2022. Saat itu siswi masuk sekolah tanpa mengenakan hijab. Hal itu lantas
20

membuatnya mendapat panggilan dari bagian Bimbingan Konseling (BK)


di sekolahnya.
Setelah menerima panggilan itu, siswi itu disebut menangis selama 1
jam di toilet sekolah karena depresi. "Izin ke toilet kok enggak masuk-
masuk kan mungkin BK ketakutan terus diketok, anaknya mau bukain
pintu dalam kondisi sudah lemas terus dibawa ke UKS. Dia baru
dipanggilkan orang tuanya," kata Yuli.
Yuli menduga siswi itu mengalami trauma karena dua kali dipanggil oleh
BK. Selain itu, siswi juga mengurung diri seharian di kamar rumahnya
pada 24 Juli 2022 dan tidak mau berbicara dengan keluarga.

2. Sekolah klaim hanya memberikan tutorial bukan pemaksaan


Kepala SMAN 1 Banguntapan Bantul, Agung Istiyanto membantah
guru BK dan wali kelas di sekolahnya memaksa siswa memakai jilbab.
Guru BK hanya menyarankan siswa untuk mengenakan jilbab sebagai
bagian dari pembentukan karakter. Saat siswa itu datang ke ruangan, guru
BK, kata Agung dengan nada guyon menanyakan siswa itu pernah tidak
memakai jilbab. Lalu guru BK tersebut mencontohkan pemakaian jilbab.
“Sekolah tidak pernah memaksa. Kalau menyarankan iya sebagai sesama
Muslim,” kata dia. Namun pernyataan Agung ini dibantah oleh Yuliani. Ia
menyebut ada indikasi sekolah memaksa siswi mengenakan jilbab. Seperti
misalnya label sekolah yang ada di jilbab.  "Jilbab wajib dibeli (di
sekolah). Dari situ sudah jelas, kalau dia memaksakan kenapa bikin hijab.
Dan itu kan sudah melanggar di aturan PP dan Permendikbud itu kan jelas
enggak boleh kayak gitu," kata Yuliani
3. Siswi disebut alami perundungan 
Yuliani menyebut siswi tersebut mengalami perundungan lantaran
menolak memakai jilbab. Hal itu terjadi terhadap siswa beragama Islam
tersebut sejak 19 Juli sebelum guru BK memaksanya mengenakan jilbab.
Sejumlah guru di sekolah itu menegur siswa itu, lalu guru BK dan wali
21

kelas mengundangnya datang ke ruangan melalui pesan WhatsApp.


Kepada siswi berumur 16 tahun itu, guru-guru menyatakan bila tidak
mengenakan jilbab maka dia menjadi berbeda dan kapan lagi bisa belajar
kalau tidak sekarang. Siswi tersebut menolak hingga menjadi omongan
para guru. “Siswi tambah stres karena guru-guru ngrasani. Puncaknya
tanggal 26 dia mengurung diri di toilet,” ujar Yuliani. Selain itu, guru BK
tersebut juga melontarkan kalimat, "bapak ibumu tidak salat kan, bapakmu
mualaf". Perundungan hingga pemaksaan itulah yang membuat siswa
tersebut depresi berat. Yuliani dan orang tua siswa kini rutin
mengantarnya menemui psikolog dari KPAI. “Dia sudah mau keluar
kamar. Tapi, kondisinya masih labil,” kata Yuliani.
4. Dinas pendidikan turun tangan 
Kepala Dinas Pendidikan, Pemuda, dan Olahraga DIY, Didik Wardaya
mengatakan akan menjalankan rekomendasi dari psikolog ihwal pindah
sekolah. Didik menyebutkan Dinas Pemberdayaan Perempuan,
Perlindungan Anak dan Pengendalian Penduduk DIY telah turun untuk
mendampingi siswa. Fokusnya membawa suasana ceria hingga dia bisa
kembali belajar. “Kami akan carikan tempat belajar yang nyaman,” kata
dia. Timnya juga telah memanggil kepala sekolah, pendamping siswa, dan
orang tua untuk mendapatkan keterangan. Didik menekankan sekolah
negeri tidak boleh memaksa siswa mengenakan jilbab karena bukan
sekolah berbasis agama. “Sekolah harus mereplikasi suasana
kebhinekaan,” kata dia. Bila sekolah tersebut terbukti bersalah, maka
Dinas Pendidikan, kata dia akan menggunakan Peraturan Pemerintah
Nomer 94 Tahun 2021 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil. Sanksi
terhadap pelanggar aturan itu kata dia disesuaikan dengan tingkat
kesalahannya. 

5. Siswi bakal pindah sekolah 


22

Yuliani menyatakan siswi tersebut telah menyampaikan keinginan


untuk pindah sekolah. Yuliani lantas menawarkan beberapa pilihan
sekolah di Kota Yogyakarta. Selain itu, Komisi Perlindungan Anak
Indonesia juga telah menyarankan agar siswi dipindahkan ke sekolah
lain.“Pindah supaya kesehatan mentalnya kondusif,” ujar pendamping
siswa, Yuliani. 

KASUS II

Judul: Kasus Penyimpangan Seksual (Gay) Oknum Guru Yang Menyebarkan


Video Tak Senonoh Seorang Murid Laki-Laki Di Bangku SMA Tanjung
Pinang, Kepulauan Riau (Senja, 2020)

Kronologi: Tanjungpinang - Polisi sudah merampungkan berkas penyidikan


kasus pencabulan murid oleh guru di Tanjungpinang. Pd (25), tersangka yang
merupakan seorang guru Bahasa Inggris itu diduga gay. Satreskrim Polres
Tanjungpinang sudah melimpahkan berkas perkara ke Kejaksaan Negeri
Tanjungpinang, Kamis (7/11/2019).
Ceritanya berawal dari seorang guru honorer di salah satu sekolah
menengah atas Tanjungpinang menyukai anak didiknya beriinisialkan A (17)
dengan usaha mendekati korban dengan cara mengajak ngobrol (curhat),
namun korban lama kelamaan sadar bahwasanya ada prilaku yang mengganjal
pada oknum guru tersebut. Oknum guru tersebut menyatakan bahwa suka
dengan korban. Alhasil, cinta oknum guru cabul berinisial P (25) ini tak
diindahkan oleh korban A (17).
Akhirnya P menjebak si A dan terjadilah pelecehan seksual pada bulan
November 2018. Aksi tak senonoh yang dilakukan terhadap anak didiknya itu
mulai disuruh mengemut dada oleh pria bertubuh gemuk itu, hingga kemaluan
muridnya yang 'digitukan' oleh pria ini. Dilihat dari kronologinya, guru ini
diduga LGBT berasal dari singkatan lesbian, gay, biseksual dan
transgender/transeksual, kasus ini terfokuskan pada oknum guru gay. `
23

Setelah berhasil menjebak korbannya, P mengikat dan memaksa si A


berbuat cabul di depan pelaku lalu merekamnya. Dalam rekaman tersebut P
memaksa A melayaninya dengan mengancam akan memberi nilai buruk pada
pelajaran Bahasa Inggris adapun ancaman lain agar korban A mengikuti
keinginan P dengan mengancam menggunakan pisau. Kekerasan seksual
tersebut dilakukan P sebanyak 16 kali dan berlangsung di rumah terduga
pelaku.
Korban akhirnya meminta kepada orang tuanya untuk pindah sekolah
di Batam, setelah bersekolah disana oknum guru tersebut tidak bisa memantau
secara langsung korban A. Sehingga ulah guru gay ini kembali lagi dengan
mengancam akan menyebarkan video mereka jika korban A tidak mau
melayaninya. Mulanya oknum guru gay ini membuat akun Facebook dengan
profil perempuan dan meminta korban mengirimkan foto dan video
terlarangnya. Setelah foto dan video tersebut siap di upload, pelaku mengajak
korban A melakukan tindakan tidak terpuji, jika menolak foto dan video
tersebut siap di sebar. Korban ketakutan kalau foto dan video disebar dan
akhirnya menuruti permintaan pelaku P.
Sayangnya tindak kekerasan ini berlangsung selama 3 tahun dari usia
17 tahun hingga 19 tahun, dimana korban A menutup rapat-rapat dan
memendam perlakuan pahit yang dialaminya. Setelah usaha korban
memberontak perlakuan oknum guru gay ini yang mulanya ancaman akhirnya
jadi kenyataan rekaman dan foto tersebut sudah di sebar luas oleh oknum guru
gay. Pada akhirnya foto dan video tersebut sampai ke keluarga korban.
Barulah korban mengakui dan menceritakan kejadian yang
dialaminya, mulai dari perlakuan yang tidak normal oknum guru gay ini.
Tindakan orang tuanya kemudian adalah melaporkan kepada pihak berwajib
ke Mapolres Tanjung pinang pada 29 Mei 2019 lalu. Setelah kejadian seksual
tersebut korban A mengalami Mental Down. Orang tuanya khawatir dan
sedih akan perkembangan psikologis sang anak, akhirnya memutuskan
memindahkan sang anak ke daerah lain. Tujuannya tidak lain menyelamatkan
24

kondisi psikologis anak supaya kembali normal seperti sebelum kejadian itu
terjadi.

"Proses penyidikan di Satreskrim Polres Tanjungpinang sudah selesai,


dan kewenangan selanjutnya di Jaksa Penuntut Umum," ucap Kasatreskrim
Polres Tanjungpinang, AKP Efendri Ali. Ali memastikan sejauh ini hanya
satu orang korban. Sebab selama proses penyidikan tidak ada laporan lain
masuk ke Satreskrim Polres Tanjungpinang."Pada awal penahanan kemarin
sempat ada informasi korban lainnya. Namun setelah kita tunggu, hingga kini
tidak ada korban melaporkan," sebutnya. "Setelah kita melakukan
penyelidikan dan berkeyakinan perkara cabul sesama jenis ini memenuhi
unsur terduga kekerasan. Maka kami melakukan penangkapan terhadap
pelaku," kata Ali. Ia menjelaskan, adapun modus yang dilakukan oknum guru
ini dengan cara mengacam seperti yang telah dijelaskan pada kronologi
kejadian (Senja, 2020). Tersangka terancam pasal 289 junto psala 294
KHUpidana ayat 2 tentang undang-undang tindak pidana umum (Afriadi,
2019).
Pasal 289 KUHP berbunyi 'Barangsiapa dengan kekerasan atau ancaman
kekerasan memaksa seseorang melakukan atau membiarkan dilakukan pada
dirinya perbuatan cabul dihukum karena menyerang kehormatan kesusilaan
dengan hukuman penjara selama-lamanya 9 tahun'.
Pasal 294 ayat (2) ke-2 KUHP menjelaskan 'Pengurus, dokter, guru,
pegawai, mandor, pengawas atau pesuruh dalam penjara, tempat pekerjaan
negara, tempat pendidikan, rumah piatu, rumah sakit, rumah sakit jiwa atau
lembaga sosial, yang melakukan perbuatan cabul dengan orang yang
dimasukkan ke dalamnya dihukum penjara paling lama 7 tahun.
25

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

Kekerasan merupakan hal yang sering terjadi dan tidak bisa dipungkiri.
Kekerasan dapat dilakukan oleh siapa saja dan di mana saja tanpa tahu kapan
kekerasan itu akan terjadi. Kekerasan juga sering terjadi di lembaga pendidikan
seperti sekolah. Bentuk-bentuk kekerasan yang dilakukan guru kepada anak
didiknya ada yang berupa fisik maupun secara psikis. Banyaknya kasus-kasus dan
fenomena kekerasan yang dilakukan oleh guru kepada anak didik di sekolah perlu
dilakukan pengkajian lebih lanjut mengenai latar belakang terjadinya kekerasan
tersebut banyak sekali aspek yang melatar belakangi terjadinya kekerasan mulai
dari aspek gurunya sendiri, aspek dari anak didiknya itu sendiri, kemudian
kebijakan pendidikan dari pemerintahan yang berlaku, bahkan lingkungan
masyarakat yang ada di sekitar sekolah, serta faktor-faktor lain yang melatar
belakangi terjadinya kekerasan di sekolah.

22
26

B. Saran

C. Kekerasan
merupakan hal
yang sering
terjadi dan tidak
D. bisa dipungkiri.
Kekerasan dapat
dilakukan oleh
siapa
E. saja dan dimana
saja tanpa tahu
kapan kekerasan itu
akan
F. terjadi.
Kekerasan juga
sering terjadi di
lembaga
G. pendidikan,
seperti sekolah. Di
27

mana, sekarang ini


masih
H. banyak oknum
pendidik yang
justru melakukan
tindak
I.kekerasan tersebut.
Bentuk kekerasan
yang dilakukan
J. guru kepada
siswa, ada yang
secara fisik
maupun secara
K. psikis. Dari
banyaknya kasus-
kasus dan
fenomena
28

L. kekerasan yang
dilakukan guru
kepada siswa di
sekolah
M. perlu dilakukan
pengkajian lebih
lanjut mengenai
latar
N. belakang
terjadinya
kekerasan tersebut.
Banyak sekali
O. aspek yang
melatar belakangi
terjadinya
kekerasan, mulai
P. dari aspek
siswanya sendiri,
29

aspek dari dalam


gurunya,
Q. aspek kebijakan
pendidikan yang
berlaku bahkan
R. lingkungan
masyarakat yang
ada di sekitar
sekolah, serta
S. faktor-fakor
lain yang melatar
belakangi
terjadinya
T. kekerasan di
sekolah.
Berdasarkan kajian makalah yang kami bahas terdapat saran saran yang harus
diperhatikan oleh para pendidik terkusus guru sebagai berikut:
1. Guru harusnya melindungi anak didiknya sebagaimana yang telah dijelaskan
pada Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang perubahan atas Undang-
Undang Nomor 23 Tahun 2002 (pasal 21) tentang perlindungan anak, yang
mengatur bahwa anak wajib mendapatkan perlindungan hukum yang meliputi;
30

menghormati dan menjamin hak asasi setiap anak tanpa membedakan suku,
agama, ras, golongan, jenis kelamin, etnik, budaya dan bangsa, status hukum
anak, urutan kelahiran anak dan kondisi fisik atau mental.
2. Upaya penanggulangan kekerasan terhadap anak di sekolah menjadi kewajiban
pendidik, pemerintah, yang di dukung oleh keluarga dan paguyuban wali murid.
Kasus yang kami ambil melibatkan pendidik yang nyatanya belum memberikan
contoh serta perlindungan kepada anak didiknya, sehingga perlu adanya badan
organisasi yang menaungi kekerasan anak di masing-masing sekolah. Badan
tersebut menjadikan pelopor dan memunculkan kesadaran pendidik bahwa anak
memiliki hak penuh untuk diperlakukan dengan sebaik-baiknya. Anak harus
mendapatkan bimbingan, dan perlindungan yang baik, sehingga anak
bisa tumbuh dan berkembang dengan baik serta jauh dari berbagai tindak
kekerasan psikis ataupun fisik. Kita sadari bahwa kekerasan telah
menghancurkan masa depan anak.

Kekerasan merupakan hal yang


sering terjadi dan tidak
bisa dipungkiri. Kekerasan dapat
dilakukan oleh siapa
saja dan dimana saja tanpa tahu
kapan kekerasan itu akan
terjadi. Kekerasan juga sering
terjadi di lembaga
31

pendidikan, seperti sekolah. Di


mana, sekarang ini masih
banyak oknum pendidik yang
justru melakukan tindak
kekerasan tersebut. Bentuk
kekerasan yang dilakukan
guru kepada siswa, ada yang secara
fisik maupun secara
psikis. Dari banyaknya kasus-
kasus dan fenomena
kekerasan yang dilakukan guru
kepada siswa di sekolah
perlu dilakukan pengkajian lebih
lanjut mengenai latar
belakang terjadinya kekerasan
tersebut. Banyak sekali
aspek yang melatar belakangi
terjadinya kekerasan, mulai
32

dari aspek siswanya sendiri,


aspek dari dalam gurunya,
aspek kebijakan pendidikan
yang berlaku bahkan
lingkungan masyarakat yang ada di
sekitar sekolah, serta
faktor-fakor lain yang melatar
belakangi terjadinya
kekerasan di sekolah.
A.
33

DAFTAR PUSTAKA

Afriadi. (2019). Kasus Oknum Guru Gay Tanjungpinang Dilimpahkan Polisi ke

Jaksa. Batannews. https://www.batamnews.co.id/berita-55353-kasus-oknum-

guru-gay-tanjungpinang-dilimpahkan-polisi-ke-jaksa.html

Al Adawiah, R. (2015). Upaya Pencegahan Kekerasan terhadap Anak. Jurnal

Keamanan Nasional, 1(2), 279–296. https://doi.org/10.31599/jkn.v1i2.26

Christiana, E. (2019). Identifikasi Bentuk kekerasan dan Penangannya di Lingkungan

Sekolah Dasar. Child Education Journal, 1(2), 58–64.

https://doi.org/10.33086/cej.v1i2.1368

Erniwati. (2020). Faktor-Faktor Penyebab Orang Tua Melakukan Kekerasan Verbal

Pada Anak Usia Dini. Jurnal Pendidikan Anak Usia Dini, 4(1), 8.

Ilahi. (2022). Anak Drop Out Akibat Hijab di Yogyakarta, KPAI Soroti Prinsip

Inklusi Pendidikan. minangkabaunews. https://minangkabaunews.com/anak-

drop-out-akibat-hijab-di-yogyakarta-kpai-soroti-prinsip-inklusi-pendidikan/

Muis, T., Syafiq, M., & Savira, S. I. (2011). Bentuk, Penyebab, Dan Dampak Dari

Tindak Kekerasan Guru Terhadap Siswa Dalam Interaksi Belajar Mengajar

Dari Persektif Siswa Di SMPN Kota Surabaya: Sebuah Survei. Jurnal

Psikologi Teori dan Terapan, 1(2), 63. https://doi.org/10.26740/jptt.v1n2.p63-

74

Pramono, W., & Dwiyanti Hanandini. (2022). TINDAK KEKERASAN TERHADAP

ANAK DI SEKOLAH: Bentuk dan Aktor Pelaku. Jurnal Administrasi Publik


34

dan Pemerintahan, 1(1), 1–12. https://doi.org/10.55850/simbol.v1i1.6

Pramono, W., Hanandini, D., Elfitra, & Anggraini, N. (2016). Bahan Ajar Masalah

Sosial (Tindak Kekerasan Terhadap Anak di Lingkungan Sekolah) (Nomor

Mkb 7056).

Rionika, R., & Dermawan, R. N. (2019). Kekerasan Psikis, Penyebab, Dan

Dampaknya Terhadap Anak Dalam Novel Genduk Karya Sundari Mardjuki:

Tinjauan Psikologi Sastra. Caraka, 6(1), 142.

https://doi.org/10.30738/.v6i1.6599

Senja. (2020). The Important Of Sex Education For Kids (1 ed.). Brilliant.

Siregar, L. Y. S. (2016). Kekerasan Dalam Pendidikan. At-Turats, 3(1), 51–61.

https://doi.org/10.24260/at-turats.v3i1.252

Sururin. (2016). Kekerasan Pada Anak (Perspektif Psikologi). Institutional

Repository UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 3.

Undang-Undang RI Tentang Perlindungan Anak Nomor 23 Tahun, 23 54 (2002).

Undang-Undang RI Tentang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 Tahun, Pub. L.

No. 20, 20 (2003). https://peraturan.bpk.go.id/Home/Details/43920/uu-no-20-

tahun-2003

Zakiyah, E. Z., Humaedi, S., & Santoso, M. B. (2017). Faktor Yang Mempengaruhi

Remaja Dalam Melakukan Bulliying. Prosiding Penelitian dan Pengabdian

kepada Masyarakat, 4(2). https://doi.org/10.24198/jppm.v4i2.14352

Anda mungkin juga menyukai