Anda di halaman 1dari 24

SOLUSI PROBLEMATIKA KEKERASAN PSIKIS DI SEKOLAH

MAKALAH

Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah


Analis Hukum dan Perlindungan Anak
Yang di Ampu oleh Dr. Muhammad Ishaq, M.Pd., dan Dr. H. Ahmad Samawi,
M.Hum.

Oleh:

Arini Mubarroroh 220154801900

Mu’alfani Arsana Putri 220154801972

UNIVERSITAS NEGERI MALANG


FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN
PROGRAM STUDI S2 PAUD
NOVEMBER 2022
KATA PENGANTAR
Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha
Panyayang, puja dan puji syukur senantiasa tercurah atas kehadirat-Nya, yang telah
melimpahkan rahmat, hidayah, dan inayah-Nya, sehingga penyusun dapat
menyelesaikan makalah Analisis Hukum dan Perlindungan Anak tentang “SOLUSI
PROBLEMATIKA KEKERASAN PSIKIS DI SEKOLAH”

Makalah ini disusun dengan maksimal dan mendapatkan bantuan dari


berbagai pihak sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah ini. Untuk itu
penyusun menyampaikan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah
berkontribusi dalam pembuatan makalah ini. Terlepas dari semua itu, penyusun
menyadari sepenuhnya bahwa masih ada kekurangan baik dari segi susunan kalimat
maupun tata bahasanya. Oleh karena itu, dengan tangan terbuka penyusun menerima
segala saran dan kritik dari pembaca agar penyusun dapat memperbaiki makalah ini.
Akhir kata, semoga makalah ini tentang limbah dan manfaatnya untuk masyarakan ini
dapat memberikan manfaat maupun inpirasi terhadap pembaca.

Malang, 24 November 2022

Penyusun

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL........................................................................................... i

DAFTAR ISI ...................................................................................................... ii

KATA PENGANTAR ...................................................................................... iii

BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ......................................................................... 1
B. Rumusan Masalah ..................................................................... 2
C. Tujuan Penulisan ....................................................................... 2

BAB II PEMBAHASAN
A. Problematika Kekerasan Psikis pada Anak di Sekolah ............. 3
B. Solusi Problematika Kekerasan Psikis pada Anak di Sekolah .. 9

BAB III PENUTUP


A. Kesimpulan .............................................................................. 19
B. Saran ........................................................................................ 20

DAFTAR RUJUKAN ...................................................................................... 21

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Anak merupakan seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun.
Pemahaman dan persepsi anak tentang dunia yang masih minim menyebabkan
mereka rentan terhadap perkembangan situasi sekitar yang kadang begitu
kompleks. Mereka belum cukup pengalaman untuk menelaah semua informasi
yang ada. Itulah sebabnya, anak sangat membutuhkan pendampingan orang
dewasa untuk memberikan pemahaman terhadap yang dipikirkan dan yang
ditemuinya. Namun, sebagian orang dewasa yang diharapkan dapat berperan
sebagai “guru” justru memberikan kekerasan terhadap anak yang berdampak fisik
maupun psikis hingga merenggut jiwanya (Al Adawiah, 2015).
Semakin hari semakin banyak kekerasan pada anak yang terjadi. Kekerasan
pada anak adalah setiap tindakan terhadap anak yang melanggar norma-norma
tingkah laku dan cenderung menyebabkan gangguan pada anak baik secara fisik
ataupun psikis. kekerasan terhadap anak bisa terjadi kapan saja dan dimana saja
termasuk pada saat di rumah, tempat bermain bahkan di sekolah. Padahal sekolah
merupakan tempat dimana anak menerima pendidikan moral, etika dan akademik,
bahkan menjadi rumah kedua bagi anak. Namun, kenyataannya justru di sebagian
sekolah terjadi kasus kekerasan, baik yang dilakukan oleh teman sepermainan,
senior, guru atau penjaga kebersihan sekolah (Christiana, 2019).
Kekerasan yang dialami oleh anak di sekolah akan menimbulkan beberapa
efek negatif, seperti meningkatnya tingkat depresi, penurunan nilai-nilai akademik,
bahkan dapat berhujung dengan tindakan bunuh diri (Nasir, 2018). Oleh sebab itu,
problematika kekerasan terhadap anak di sekolah harus segera diakhiri. Negara,
pemerintah dan seluruh elemen penyelenggara perlindungan anak, perlu
melakukan langkah segera untuk mengatasinya.

1
2

B. Rumusan Masalah
1. Apa saja kasus problematika kekerasan psiskis yang terjadi di sekolah?
2. Bagaimana solusi untuk mengatasi kekerasan psikis yang terjadi di sekolah?

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui kasus kekerasan psikis yang ada di sekolah
2. Untuk mengetahui solusi kekerasan psiskis yang ada di sekolah
BAB II

PEMBAHASAN

A. KASUS KEKERASAN PSIKIS YANG TERJADI PADA ANAK DI SEKOLAH


1. Kasus Siswi yang Dipaksa Memakai Jilbab Oleh Guru BK
Siswi SMAN 1 Banguntapan Bantul depresi dan menangis di toilet sekolah
selama satu jam karena diduga dipaksa memakai jilbab. Yuliani mengatakan
pada hari pertama masuk sekolah 18 juli 2022, siswi tersebut menjalani masa
pengenalan lingkungan sekolah (MPLS) sebagiamana siswa baru pada umumnya.
Kemudian pada 19 Juli 2022, siswi tersebut dipanggil guru BP. Dia ditanya
kenapa tidak memakai jilbab, lalu dia menjawab belum mau. Siswi tersebut
diinterogasi lama dan merasa dipojokkan. Setelah itu, dia dipaksa memakai jilbab
dan merasa tidak nyaman. "Gurunya memakaikan jilbab ke siswi tersebut, sudah
pemaksaan oleh guru BP. Setelah itu anak tersebut izin ke toilet dan menangis
hingga sekitar satu jam," ungkapnya, Jumat (29/7/2022).
Pekan berikutnya pada 25 Juli 2022, murid baru itu masih masuk sekolah,
namun saat upacara dia pingsan. Orang tuanya tidak diberi tahu. Kini, siswi yang
menolak pemaksaan pemakaian jilbab itu menjalani pendampingan psikologis
secara intensif karena depresi. Atlet sepatu roda itu bersiap pindah ke sekolah
lain supaya bisa melanjutkan pendidikan. Perpindahan itu muncul dari usulan
Komisi Perlindungan Anak Indonesia dan pendamping. “Pindah supaya
kesehatan mentalnya kondusif,” ujar pendamping siswa, Yuliani Putri Sunardi.
Sekolah tersebut melakukan pelanggaran disiplin yang dilakukan oleh empat
orang, yakitu kepala sekolah sebagai penanggung jawab, dua guru BK, dan wali
kelas yang seluruhnya telah dinonaktifkan sementara.
Dinas Pendidikan, Pemuda, dan Olahraga Daerah Istimewa Yogyakarta
menemukan fakta peanggaran disiplin berupa penjuakan seraga sekolah dalam
kasus dugaan pemkasaan memakai jilbab terhadap siswi di SMAN 1
Banguntapan, Kabupaten Bantul. Dalam sekolah tersebut terdapat penjualan
seragam yang di dalam penjualan seragam tersebut ada paket jilbab, sehingga

3
4

mendorong semua siswi itu disarankan untuk mengenakan jilbab, Kata Kepala
Disdikpora DIY. Menurutnya, Penjualan seragam di sekolah telah melanggar
Peraturan Menteri Pendidian dan Kebudayaan (Permendikbud) Nomor 45 Tahun
2014. SEbagai turunannya, Disdikpora DIY juga telah menerbitkan surat edara
(SE) mengenai larangan menjual seragam di sekolah.
Kasus ini berakhir damai, pihak Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga
(Disdikpora) DIY, DPRD DIY, Polda DIY, TNI, Ormas Islam, KPAI, dan pihak
seklah sudah bertemu dengan orang tua siswa, Mereka sepakat untuk mengakhiri
polemic ini dan tidak perlu diperpanjang. Disdikpora memfasilitasi siswa
tersebuh untuk bersekolah di sekolah lain.

2. Siswi SMAN Sragen Dirundung gegara Tak Berjilbab Kini Ogah Sekolah
Siswi SMAN 1 Sumberlawang Kaupaten Sragen, S (15), yang diduga menjadi
korban perundungan sampai sekarang enggan masuk sekolah. Diduga siswa
tersebut menjadi korban perundungan guru matematikanya lantaran tak mengenai
jilbab. Orang tua siswa tersebut, AP (47) mengatakan bahwa dugaan
perundungan itu terjadi saat kegiatan belajar mengajar (KBM) yang berlangusng
selama dua jam di dalam ruang kelas. Guru matematika yang memarahi (S)
sudah cenderung kearah bullying. Waktu pelajaran matematika selama dua jam
penuh, S dimarahi sampai ketakutan, nangis sampai gemetar ketakutan karena
kata-kata guru tersebut yang berlebihan (membentak-bentak).
AP menyampaikan, bukan kali ini saja anaknya menjadi korban perundungan
di sekolah itu. Sejmulah teman-temannya disebut telah beberapa kali merundung
sang anak sejak awal masuk sekolah. Awal masuk sekolah ada temannya yang
mengadang di lorong kelas, kemudian bertanya “Agamamu apa?” karena
anaknya tidak berjilbab dan hal tersebut tidak ditanggapi oleh S. Kedua, pada
saat di kelas, ada kakak kelas datang kekelasnya dan bertanya juga “sebelahmu
kenapa tidak berjilbab?” dan yang terakhir yaitu kejadian guru matematika
tersebut. Lebih lanjut AP menjelaskan, sehari setelah dirundung oleh gurunya,
korban masi mendapatan perlakuan serupa, sehingga anaknya pun memohon izin
5

untuk pulang lebih awal. Setelah kejadian guru (matematika), korban ke ruang
BP dan meminta izin pulang karena ketakutan. Namun pada saat ini, ada guru
lagi tanya “sebenarnya agamamu apa? Dijawab oleh korban bahwa gamanya
Islam, namun gurunya meambahkan dengan pertanyaan lagi “Kok belum
berjilbab? Oh, berarti belum dapat hidayah.”
Sebagai orangtua korban, pihaknya menyayangkan tindakan guru yang
mempersoalkan agama para siswa yang bukanlah urusan guru, dia menekankan
paru guru cukup mendidik anaknya sesuai dengan Undang-Undang (UU) yang
berlaku. AP menambahkan “Sejak kapan guru SMA Negeri mengurusi
permasalahan Agama dan Hidayah itu kan urusan Allah”. AP selama ini telah
mengedukasi putrinya perihal jilbab, namun AP enggan memaksakan hal itu dan
menghargai keputusan yang dipilih oleh putrinya. AP mengaku telah melaporkan
kasuss ini dugaan perundungan kepada Kepolisian Resor Sragen Unit
Perlindungan Perempuan Anak (PPA).
Menyikapi hal tersebut, pihak sekolah melakukan Deklarasi Sekolah Ramah
Anak dengan mengundang Bupati Sragen, Kusdinar Untung Yuni Sukowati dan
pihak Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Disdikbud) Provinsi Jawa Tengah
pada Rabu (9/11/2022). Namun deklaraasi itu bukan solusi dari persoalan
perundungan yang dialami S. Hal inilah yang kemudian dipersoalkan orang tua
siswi tersebut. Pihak sekolah menjelaskan apa yang terjadi, dan meminta maaf.
Sebagai orang tua, AP meminta ada ruang diskusi karena hanya ingin
memastikan anaknya (S) bisa bersekolah denga naman, nyaman, dalam sistem
pendidikan yang dijanjikan oleh negara, Namun, ruang diskusi tersebut tidak
diiyakan oleh pihak sekolah. Deklarasi tersebut hanya terkesan seremonial, tidak
ada dialog. PAdahal seharusnyam menurut AP, ada solusi bagaiamana cara
menangani kasus tersebut dan memberikan kesadaran kepada guru dan anak.
Korban Tak Sekolah
Korban sudah sepekan ini tidak masuk sekolah dan tidur larut malam. AP
mengatakan pihak sekolah tidak ada yang menanyakan kabar anaknya. Namun,
para siswa satu kelas yang berjumlah 34 siswa sempat mengunjungi rumahnya
6

untuk memberikan surat menyemangati S. Untuk sementara, putrinya tersebeut


kini belajar dari rumah dengan mengikuti les yang dilakukan sepekan bisa 3-4
kali.

3. Kasus Penyimpangan Seksual (Gay) Oknum Guru Yang Menyebarkan


Video Tak Senonoh Seorang Murid Laki-Laki Di Bangku SMA Tanjung
Pinang, Kepulauan Riau (Senja, 2020)
Ceritanya berawal dari seorang guru honorer di salah satu sekolah menengah atas
Tanjungpinang menyukai anak didiknya beriinisialkan A (17) dengan usaha
mendekati korban dengan cara mengajak ngobrol (curhat), namun korban lama
kelamaan sadar bahwasanya ada prilaku yang mengganjal pada oknum guru
tersebut. Oknum guru tersebut menyatakan bahwa suka dengan korban. Alhasil,
cinta oknum guru cabul berinisial P (25) ini tak diindahkan oleh korban A (17)
Akhirnya P menjebak si A dan terjadilah pelecehan seksual pada bulan
November 2018. Aksi tak senonoh yang dilakukan terhadap anak didiknya itu
mulai disuruh mengemut dada oleh pria bertubuh gemuk itu, hingga kemaluan
muridnya yang 'digitukan' oleh pria ini. Dilihat dari kronologinya, guru ini 20
diduga LGBT berasal dari singkatan lesbian, gay, biseksual dan
transgender/transeksual, kasus ini terfokuskan pada oknum guru gay.
Setelah berhasil menjebak korbannya, P mengikat dan memaksa si A berbuat
cabul di depan pelaku lalu merekamnya. Dalam rekaman tersebut P memaksa A
melayaninya dengan mengancam akan memberi nilai buruk pada pelajaran
Bahasa Inggris adapun ancaman lain agar korban A mengikuti keinginan P
dengan mengancam menggunakan pisau. Kekerasan seksual tersebut dilakukan P
sebanyak 16 kali dan berlangsung di rumah terduga pelaku.
Sayangnya tindak kekerasan ini berlangsung selama 3 tahun dari usia 17
tahun hingga 19 tahun, dimana korban A menutup rapat-rapat dan memendam
perlakuan pahit yang dialaminya. Setelah usaha korban memberontak perlakuan
oknum guru gay ini yang mulanya ancaman akhirnya jadi kenyataan rekaman
7

dan foto tersebut sudah di sebar luas oleh oknum guru gay. Pada akhirnya foto
dan video tersebut sampai ke keluarga korban.
Barulah korban mengakui dan menceritakan kejadian yang dialaminya, mulai
dari perlakuan yang tidak normal oknum guru gay ini. Tindakan orang tuanya
kemudian adalah melaporkan kepada pihak berwajib ke Mapolres Tanjung
pinang pada 29 Mei 2019 lalu. Setelah kejadian seksual tersebut korban A
mengalami Mental Down. Orang tuanya khawatir dan 21 sedih akan
perkembangan psikologis sang anak, akhirnya memutuskan memindahkan sang
anak ke daerah lain. Tujuannya tidak lain menyelamatkan kondisi psikologis
anak supaya kembali normal seperti sebelum kejadian itu terjadi.

4. Kasus Kekerasan Fisik Seorang Oknum Guru SD Di Kabupaten Malang


Memukul Muridnya Hingga Babak Belur Di Area Kepala Yang
Berpengaruh Terhadap Psikis Anak
Kekerasan ini bermula di daerah Kabupaten Malang tepatnya di sebuah Sekolah
Dasar X yang bekerjasama dengan Pondok Pesantren Y. Ketika pagi hingga
siang hari belajar di SD X dan setelah pulang sekolah beraktivitas di Pondok
Pesantren Y. Suatu hari ketika kelas 3 pelajaran ada siswa di sana tidak dapat
berbahasa jawa halus dengan lancar karena memang masih awal masuk pondok
Y dan sekolah di SD X, tanpa pikir panjang sang guru berinisial D (guru honorer
sekaligus guru kelas 3) memukul dengan tongkat kasti di bagian yang sangat fital
yaitu belakang kepala dan sekitarnya hingga menyebabkan memar, bengkak, dan
luka. Menurut pendapat salah satu siswa di sana guru tersebut memang biasa
memukul dengan kayu rotan jika melakukan sedikit kesalahan atau tidak bisa
menggunakan Bahasa jawa halus dan rata-rata siswa kelas 3 dan kelas lain yang
diajar oleh oknum guru ini dipukul di bagian belakang kepala (tengkuk leher).
Pada saat setelah memukul oknum guru ini mengancam kepada siswa-siswanya
agar tidak bilang kepada guru lain atau orang tuanya ketika sambang (menjenguk
anaknya di pondok). Sehingga memunculkan trauma psikis terhadap anak seperti
korban yang dipukul menggunakan tongkat kasti memendam peristiwa yang
8

dialaminya selama 2 minggu. Ciri-ciri lain yang didapat dari kekerasan tersebut
terlihat juga ketika jadwal video call Whatsapp anak hanya bisa diam, pandangan
kosong, dan hanya bisa meneteskan air matanya saja. Selain itu korban jadi tidak
betah tinggal di pondok, penurunan motivasi belajar dan tertekan. Trauma ini
juga dirasakan semua anak kelas 3 yaitu jika bertemu guru D ini mereka akan
ketakutan jika melakukan kesalahan dan mengalami masalah berbicara
(membisu). Tibalah waktu sambang ke pondok Y korban tersebut hanya bisa
menangis terus dan meminta untuk pulang, kemudian ada siswa lain yang bilang
kepada orang tua korban kalau korban tersebut dipukul guru D hingga babak
belur. Orang tua korban tidak terima dan melakukan demo ke pihak kepala
sekolah SD X dan Yayasan pondok Y. Seketika karena orang tua korban trauma
dan takut anaknya mengalami kejadian serupa sampai dampak psikis lainnya, 3
anak langsung pindah sekolah. Proses lebih lanjut menurut orang tua salah satu
korban yang pindah ini sekarang Oknum Guru D sudah di drop out demi
membersihkan nama baik SD X dan Pondok Pesantren Y.

Foto ketika wawancara salah satu siswa SD X dan Pondok Y beserta ibunya
9

B. SOLUSI KEKERASAN PSIKIS DI SEKOLAH


Maraknya kasus kekerasan di sekolah makin sering ditemui baik melalui informasi
di media cetak maupun yang ditayangkan di layar televisi. Selain tawuran antar
pelajar sebenarnya ada bentuk-bentuk perilaku agresif atau kekerasan yang mungkin
sudah lama terjadi di sekolah-sekolah, namun tidak mendapat perhatian, bahkan
mungkin tidak dianggap sesuatu hal yang serius. Misalnya bentuk intimidasi dari
teman-teman atau pemalakan, pengucilan diri dari temannya, sehingga anak menjadi
malas pergi ke sekolah karena merasa terancam dan takut yang pada
perkembangannya akan mempengaruhi psikologis anak, anak menjadi depresi tahap
ringan dan tentunya akan berakibat pada hasil belajar di kelas. Kekerasan yang
dialami siswa di sekolah akan menimbulkan beberapa efek negatif, seperti
meningkatnya tingkat depresi, penurunan nilai-nilai akademik, bahkan dapat
berhujung dengan tindakan bunuh diri (Nasir, 2018).
Kekerasan di wilayah sekolah sering terjadi dengan berbagai macam bentuk, mulai
dari fisik, psikis, hingga kekerasan seksual. Terhadap berbagai bentuk kekerasan itu,
anak berperan menjadi korban atau pelaku, atau korban dan sekaligus sebagai seorang
pelaku. Banyak terjadi kasus perundungan anak yang melibatkan guru sebagai
pelaku, dimana guru melakukan tindakan yang tidak terpuji sebagai orang tua anak di
sekolah (Laurensius Arliman S, 2017), seperti:
1. Guru memukul anak muridnya
2. Guru mencabuli anak muridnya;
3. Guru menghardik anak muridnya;
4. Guru mengeluarkan kata-kata yang tidak pantas kepada muridnya;
5. Guru melakukan pembiaran kepada tingkah laku anak muridnya, serta lain
sebagainya dalam konteks merugikan anak.
Selain dari guru, lingkungan sekolah juga melakukan tindakan yang
melanggar perlindungan anak di sekolah, seperti:
1. Teman-teman memukuli salah seorang temannya;
2. Siswa melakukan tindakan bullying;
3. Siswa melakukan kekerasan seksual kepada sesama siswa;
10

4. Masyarakat sekolah (security, penjaga sekolah, pembersih sekolah, dan


lainnya) melakukan hal yang tidak senonoh kepada anak

Problematika kekerasan terhadap anak di sekolah harus segera diakhiri. Negara,


pemerintah dan seluruh elemen penyelenggara perlindungan anak, perlu melakukan
langkah segera untuk mengatasinya. Atas dasar itu menurut Sutanto, KPAI mencoba
memberikan solusi untuk pencegahan kasus perlindungan anak di dunia sekolah:
1. Tingginya angka kekerasan terhadap anak di sekolah menunjukkan tingginya
pelanggaran hak anak. Dalam hal ini, negara perlu memiliki langkah agar
kekerasan dapat diakhiri. Upaya strategis yang perlu dilakukan adalah penerbitan
peraturan minimal peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan yang bersifat
imperatif untuk mencegah terjadinya kekerasan di satuan pendidikan;
2. Manajemen sekolah berbasis perlindungan anak perlu segera menjadi kebijakan
nasional; Kekerasan terhadap anak di sekolah selama ini masih kurang mendapat
perhatian dari para stakeholder pendidikan. Dampak kekerasan sangat serius
terhadap anak. Oleh karena itu, pendekatan manajemen sekolah harus holistik dan
didekati dengan berbagai perspektif, tidak hanya berorientasi akademik, tetapi juga
penguatan keterampilan karakter serta memastikan perlindungan anak terwujud di
semua sekolah. Ketersediaan norma ramah anak, penguatan perspektif tenaga
pendidik dan kependidikan tentang perlindungan anak, pelibatan anak dalam
perumusan norma sekolah serta budaya ramah anak.
3. Pendisiplinan anak seringkali justru menjadi referensi bagi anak untuk melakukan
hal yang sama pada teman sebayanya atau kepada yang lebih muda. MOS yang
penuh kekerasan adalah salah satu bukti konkretnya. Pengalaman menjadi korban
kekerasan dapat mendorong anak menjadi pelaku kekerasan, dari yang ringan
hingga menjadi anak yang berhadapan dengan hukum (ABH). Merujuk pada
pendapat Sigmund Freud, anak akan memperlakukan orang lain di masa
dewasa seperti ketika ia diperlakukan orang lain pada masa anak-anak Dengan
demikian, pengembangan disiplin positif perlu segera dikembangkan di seluruh
11

sekolah agar tradisi kekerasan terbungkus pendisiplinan tak lagi mengakar


dalam dunia pendidikan;
4. Otonomi daerah dan otonomi sekolah merupakan tantangan tersendiri dalam upaya
penghapusan kekerasan di sekolah secara nasional. Dalam banyak kasus masalah
kekerasan di wilayah atau sekolah tertentu tidak bisa disentuh dan diselesaikan
karena pemaknaan otonomi ini. Bahkan tidak jarang anak korban kekerasan,
khususnya kekerasan seksual, mengalami perlakuan diskriminatif dan kekerasan-
kekerasan yang lain, justru oleh sekolah atau pemegang otoritas kebijakan
pendidikan di daerahnya. Dengan demikian, penerbitan peraturan daerah yang
berwawasan perlindungan anak perlu segera dilakukan agar tak ada celah sekecil
pun penyelenggara pendidikan melakukan kekerasan dan diskriminasi terhadap
anak usia sekolah;
5. Banyaknya tayangan televisi, film dan gambar yang memuat konten kekerasan
membuat anak belajar kekerasan setiap saat. Kemajuan teknologi informasi sangat
memudahkan anak mengakses konten kekerasan, demikian pula game online
banyak mengeksploitasi kekerasan. Semua ini sudah menjadi konsumsi anak sejak
usia dini. Oleh karena itu, Komisi Penyiaran Indonesia dan Pemerintah perlu
memaksimalkan proteksi agar anak tak menjadi korban dari bisnis yang
bemuatan kekerasan;
6. Tingginya tingkat kesibukan orangtua dewasa ini cenderung menyebabkan
lembaga pendidikan sebagai pelaksana sub kontrak pendidikan anak. Sementara
posisi orang tua sendiri tak lebih sekadar berfungsi sebagai penyandang dana.
Keadaan ini menyebabkan anak kurang mendapatkan perhatian di rumah, dan
menanggung beban berat di sekolah, yang memicu mudahnya anak tersulut
melakukan kekerasan. Oleh karena itu, sinergi orangtua dan sekolah perlu
dimaksimalkan agar tumbuh kembang anak dapat terfasilitasi, terpantau dan
terkontrol dengan baik.
12

Selain solusi diatas (Siregar, 2016), memberikan solusi alternatif untuk mengatasi
kekerasan pada siswa di sekolah, yaitu:
1. Sekolah
a. Menerapkan pendidikan tanpa kekerasan di sekolah;
b. Mendorong/mengembangkan humaniasi pendidikan, menyatu padukan
kesadaran hati dan pikiran, membutuhkan dan keterlibatan mental dan tindakan
sekaligus, suasana belajar yang meriah, gembira dengan memadukan potensi
fisik, psikis, suatu kekuatan yang integral;
c. Hukuman yang di berikan berkolerasi dengan tindakan anak;
d. Terus menerus membekali guru untuk menambah wawasan pengetahuan,
kesempatan, pengalaman baru untuk mengembangkan kreativitas mereka;
e. Konseling, bukan siswa saja membutuhkan konseling, tapi juga guru. Sebab
guru juga mengalami masa sulit yang membutuhkan dukungan, penguatan,
atau bimbingan untuk menemukan jalan keluar yang terbaik;
f. Segera memberikan pertolongan bagi siapapun yang mengalami tindakan
kekerasan di sekolah, dan menindak lanjuti serta mencari solusi alternatif yang
terbaik.

2. Orang tua dan keluarga


a. Perlu hati-hati dan penuh pertimbangan dalam memilih sekolah untuk anak-
anaknya agar tidak mengalami kekerasan di sekolah;
b. Menjalani komunikasi yang efektif antara guru dan orang tua untuk memantau
perkembangan anaknya;
c. Orang tua menerapkan pola asuh yang lebih menekankan pada dukungan
daripada hukuman, agar anak-anaknya bertanggung jawab secara sosial;
d. Hindari tayangan TV yang tidak mendidik, bahkan mengandung unsur
kekerasan;
e. Setiap masalah yang ada, sebaiknya dicarikan solusi alternatif yang terbaik dan
jangan sampai berlarut-larut;
13

Pencegahan kekerasan di satuan pendidikan menurut Pangestu (2022) dibagi


menjadi 4 bagian yakni sebagai berikut.
1. Pemahaman Pendidik Terhadap Anak Dan Perlindungannya
a. Peserta didik memiliki hak untuk berpendapat dan berpartisipasi. Bukan
sebagai objek penerima semata, oleh karena itu hargai dan dengarkan
pandangannya.
b. Peserta didik perlu dilindungi karena merupakan kelompok rentan yang masih
dalam masa tumbuh kembang dan bergantung pada orang dewasa, oleh karena
itu tahan ego serta pahami kebutuhannya sesuai perkembangan usianya.
c. Pahami bahwa setiap peserta didik memiliki kemampuan, kekuatan dan bakat
yang unik sehingga setiap tindakan pendidikan bertujuan untuk membangun
kemampuan dan kapasitas peserta didik.
d. libatkan peserta didik dalam membuat keputusan terkait kebutuhan dalam
pembelajarannya, berikan bimbingan dan kehangatan tanpa merendahkan
martabatnya.

2. Penerapan Disiplin Positif


a. Mulailah dengan berpikir positif bahwa peserta didik dapat berubah dengan
pemberian kehangatan dan bimbingan yang berulang.
b. Miliki pola pikir bahwa peserta didik mampu memahami bagaimana
berperilaku yang pantas, perlu dilatih (berulang kali) bertanggungjawab
sehingga anak mampu mengendalikan dirinya.
c. Berikan kehangatan dengan cara:
1) Memperlakukan peserta didik adalah sebagai manusia,
2) Membantu peserta didik saat menghadapi masalah,
3) Memotivasi mereka saat mengalami kesulitan,
4) Mengakui dan mengapresiasi usaha dan capaian peserta didik,
5) Meminta maaf jika melakukan kesalahan.
6) Humoris dan
14

7) Mendengarkan pendapat peserta didik dan mempertimbangkannya


dengan serius
d. Berikan bimbingan dengan membangun komunikasi yang baik serta
memahami kebutuhan bimbingannya sesuai perkembangan usianya.
Contoh penerapan disiplin positif seperti; (1) Membuang sampah
sembarangan ditangani dengan mengambil sampah dan membuang ke
tempat sampah serta menjelaskan konsekuensinya dan dampak bahaya
membuang sampah sembarangan. (2) Terlambat, identifikasi penyebabnya
lalu komunikasi dan evaluasi dengan Orangtua menjelaskan konsekuensinya.
(3) Mengganggu teman di kelas dengan cara memberi nasehat untuk
meminta maaf kepada semua teman di kelas dan menjelaskan
konsekuensinya, dan (4) Tidak bisa menjawab pertanyaan terkait
pembelajaran, memotivasi anak untuk selalu semangat dalam belajar, dan
menjelaskan konsekuensinya misalnya dengan membaca buku pelajaran
yang tidak dimengerti atau ada tambahan belajar di luar pelajaran kelas
(LES).

3. Satuan Pendidikan Memiliki Kebijakan Keselamatan Peserta Didik (Child


Safeguarding Policy)
a. Dokumen internal satuan pendidikan yang menyangkut prosedur, kebijakan,
dan panduan untuk memastikan bahwa satuan pendidikan tersebut aman dan
membawa keselamatan bagi peserta didik dalam keseluruhan interaksi dan
proses belajar di satuan Pendidikan.
b. Berlaku bagi seluruh warga sekolah termasuk mitra satuan Pendidikan untuk
menciptakan sikap dan perilaku yang pro perlindungan anak dan
menghindarkan anak dari risiko kekerasan yang dapat terjadi di lingkungan
satuan Pendidikan.
c. Belum ada sistem yang dapat memeriksa apakah seseorang pernah
melakukan kekerasan pada anak, termasuk kejahatan seksual, oleh karena itu
perlu mengikat staf dan orang yang bekerja dan berhubungan dengan peserta
15

didik melalui kebijakan keselamatan peserta didik agar kekerasan dapat


dicegah.
d. Contoh Praktik: Adanya kebijakan keselamatan anak yang jelas, materi
informasi yang mudah diakses oleh publik, melakukan sosialisasi,
menandatangani kode perilaku keselamatan peserta didik.
16

4. Tim Pencegahan Dan Penanggulangan Kekerasan Di Satuan Pendidikan


a. Permendikbud Nomor 82 Tahun 2015 tentang Pencegahan dan
Penanggulangan Tindak Kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan
(Gultom, 2014) yang paada esensinya mengatur tentang pencegahan dan
penanganan di satuan pendidikan, poin pentingnya adalah menejlasakan
“tercipta proses pembelajaran yang aman, nyaman, dan menyenangkan.
Sehingga pendidik dengan segala potensinya mampu menciptakan
kemerdekaan belajar dan menjadikan ekosistem yang membuat anak
termotivasi dalam belajar. Bebas dari kekerasan, praktik bulliying,
intoleransi, radikalisme, kekerasan seksual, dan lain sebagainya.
b. Libatkan peserta didik menjadi anggota dalam tim pencegahan kekerasan di
satuan pendidikan.
c. Satuan Pendidikan memiliki layanan pengaduan dan SOP pencegahan dan
penanggulangan kekerasan.
d. Satuan Pendidikan harus terus meningkatkan kapasitas pendidik terkait
perkembangan anak, hak-hak anak, perlindungan anak, disiplin positif
maupun penanganan kasus yang ramah anak.
e. Melakukan sosialisasi terkait SOP pencegahan dan penanggulangan
kekerasan di satuan pendidikan kepada warga sekolah termasuk orangtua,
komite dan masyarakat sekitar.
f. Menjalin kerjasama dengan lembaga psikologi, pekerja social, PK Bapas,
UPT/UPTD PPA/P2TP2A, organisasi keagamaan, pakar pendidikan dan
Lembaga lain yang relevan untuk berjejaring dalam Perlindungan Anak
mapun dalam merujuk kasus di satuan pendidikan.
g. Jika dalam keadaan bahaya langsung saja hubungi SAPA 129, yang
merupakan hotline pengaduan sahabat perempuan dan anak tlp: 129
WA:08111.129.129
17

Adapum solusi menurut Putranto (2022) dalam identifikasi solusi awal pelaku
dan korban kekerasan dijabarkan sebagi berikut.

1. Pertolongan Kepada Korban, bagi anak-anak yang menjadi korban kekerasan,


sebaiknya berikan dulu dukungan yang peka gender dan child-centered.
a. Dengarkan dengan hormat dan dengan empati.
b. Tanyakan tentang kekhawatiran dan kebutuhan siswa, serta jawab semua
pertanyaan mereka.
c. Kenali perasaan mereka dan tanggapi tanpa menghakimi mereka.
d. Mengambil tindakan untuk menjaga mereka tetap aman dan meminimalkan
bahaya;
e. Tawarkan untuk berbicara secara pribadi.
f. Memberikan dukungan emosional dan praktis dengan membantu mereka
mengakses layanan psikososial,
g. Berikan informasi yang sesuai dengan usia mereka tentang apa yang akan
Anda lakukan untuk menolong mereka.

2. Menangani Pelaku oleh (Unicef, 2019)


a. Jika terjadi kekerasan seksual / fisik yang parah, libatkan otoritas
hukum/non-hukum yang berwenang.
b. Meninjau kehidupan rumah dan pengalaman hidup anak yang
kemungkinan mempengaruhi perilaku mereka dan menunjukkan akar
penyebab mengapa mereka agresif atau brutal.
c. Berdiskusi dengan orang tua / wali dan sampaikan observasi objektif Anda.
d. Memberikan dukungan dan rujukan ke profesional jika dirasa perlu.
e. Untuk menangani kekerasan oleh guru / karyawan lain, penting bahwa
sekolah mengikuti aturan dan regulasi yang jelas dengan sanksi yang
sesuai.
f. Hindari mempertemukan pelaku dengan korba untuk menghindari balas
dendam dan trauma.
18

3. Pencegahan Kekerasan Di Lingkungan Sekolah Dasar menurut (Center for


Disease Control and Prevention, 2021)
a. Ciptakan kemitraan untuk meningkatkan langkah-langkah keamanan bagi
siswa di luar properti sekolah
b. Melakukan tinjauan tahunan terhadap semua kebijakan dan prosedur
keselamatan sekolah dan prosedur tanggap darurat.
c. Tinjau sistem komunikasi dalam sekolah juga dengan orang tua.
d. Soroti program dan kurikulum pencegahan kekerasan yang saat ini
diajarkan di sekolah. Tekankan upaya sekolah untuk mengajarkan
resolusi konflik damai dan keterampilan hubungan interpersonal yang
positif.
e. Mengembangkan asesmen ancaman dan prosedur penilaian risiko dan tim
untuk melakukan penilaian.
f. Memasang CCTV/Kamera Pengawas di sudut yang rawan.

4. Pentingnya Psychological Check-Up


Kesehatan mental sama pentingnya dengan kesehatan fisik.
Mental health check-up adalah pemeriksaan kesehatan emosional untuk
membantu mendeteksi gangguan kesehatan mental dan potensi menjadi
pelaku atau korban kekerasan. Skrining menilai faktor risiko, yang dapat
berupa genetik. perilaku, atau lingkungan. Pentingnya Psychological Check-
up untuk
a. Mengetahui kondisi kesehatan mental
b. Mencegah, mengenali, dan mengatasi tanda-tanda masalah psikologis
c. Kapabilitas menjalankan kewajiban sebagai siswa/i yang sehat mental

Dengan memiliki kesehatan mental yang baik, maka dapat mencegah


perilaku kekerasan dan dapat mengembangkan diri dengan baik.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Setiap anak berhak memperoleh perlindungan dari keluarga, satuan
pendidikan, masyarakat maupun pemerintah. Dalam penyelenggaraan perlindungan
anak yang tercantum dalam UU No. 23 Tahun 2002 maka semua pihak mempunyai
kewajiban untuk melindungi anak dan mempertahankan hak-hak
anak. Pemberlakuan Undang-undang ini juga di sempurnakan dengan adanya
pemberian tindak pidana bagi setiap orang yang sengaja maupun tidak sengaja
melakukan tindakan yang melanggar hak anak. Dalam undang-undang ini juga
dijelaskan bahwa semua anak mendapat perlakuan yang sama dan jaminan
perlindungan yang sama pula, dalam hal ini tidak ada diskriminasi ras, etnis, agama,
suku dsb. Anak yang menderita cacat baik fisk maupun mental juga memiliki hak
yang sama dan wajib dilindungi seperti hak memperoleh pendidikan, kesehatan,
dsb.
Undang-undang No.23 tahun 2002 juga menjelaskan mengenai hak asuh anak
yang terkait dengan pengalihan hak asuh anak, perwalian yang diperlukan karena
ketidak mampuan orang tua berhubungan dengan hukum, pengangkatan anak yang
sangat memperhatikan kepentingan anak, serta penyelenggaraan perlindungan
dalam hal agama, kesehatan, pendidikan, sosial dan perlindungan khusus.
Sejalan dengan kebijakan merdeka belajar yang tercantum pada peraturan
mentri Pendidikan Dan Kebudayaan Republik Indonesia dengan nomor 82 tahun
2015 yang pada esensinya mengatur tentang pencegahan dan penanggulangan di
satuan pendidikan. Hal yang sangat penting pada peraturan ini menjelaskan “tercipta
proses pembelajaran yang aman, nyaman, dan menyenangkan” sehingga pendidik
dengan segala potensinya mampu menciptakan kemerdekaan belajar dan
menjadikan ekosistem yang membuat anak sangat bersemangat dalam belajar, bebas
dari kekerasan, praktek bullying, radikalisme, kekerasan seksual dan lain-lain.

19
20

B. SARAN

Undang-undang ini telah dibuat dengan baik dan memperhatikan atau peduli
terhadap hak-hak anak namun pemerintah kurang mensosialisasikan dan
merealisasikan isi undang-undang ini. Pemerintah, satuan pendidikan, dan
masyarakat kurang berperan dalam menjalankan undang-undang ini sebab ada
beberapa kekerasan yang memang tak terlihat namun berdampak pada ksehatan
psikisnya. Sehingga kebijakan di level satuan pendidikan harus terus-menerus
mengedukasi kepada anak-anak kita agar mereka bijak menyikapi apa yang ada di
media sosial atau perilaku buruk yang di lakukan seluruh warga sekolah. Persiapkan
anak-anak kita bekal yang sesuai dengan usia mereka. Maka terciptalah konsep
literasi yang menguatkan anak-anak menjalani langkah-langkah selanjutnya baik
dalam satuan pendidikan SD, SMP, SMA, ataupun perkuliahan.
DAFTAR PUSTAKA

Al Adawiah, R. (2015). Upaya Pencegahan Kekerasan terhadap Anak. Jurnal


Keamanan Nasional, 1(2), 279–296. https://doi.org/10.31599/jkn.v1i2.26
Center for Disease Control and Prevention. (2021). Prevention Strategies.
https://www.cdc.gov/violenceprevention/youthviolence/prevention.html
Christiana, E. (2019). Identifikasi Bentuk kekerasan dan Penangannya di Lingkungan
Sekolah Dasar. Child Education Journal, 1(2), 58–64.
https://doi.org/10.33086/cej.v1i2.1368
Gultom. (2014). Perlindungan Hukum Terhadap Anak Dalam Sistem Peradilan
Pidana Anak Indonesia (2 ed.). PT Rafika Aditama.
Laurensius Arliman S. (2017). Dinamika Dan Solusi Perlindungan Anak Di Sekolah.
Jurnal Selat, 4(2), 219–233.
Nasir, A. (2018). Konseling Behavioral: Solusi Alternatif Mengatasi Bullying Anak
Di Sekolah. KONSELING EDUKASI “Journal of Guidance and Counseling,”
2(1). https://doi.org/10.21043/konseling.v2i2.4466
Pangestu. (2022). Sekolah Bebas Dari Kekerasan, Mengenal Bentuk Kekerasan Di
Sekolah Dan Penanganannya. Wujudkan Sekolah Bebas Kekerasan
Lingkungan Belajar Aman, Nyaman, Dan Menyenangkan. Merdeka Belajar,
Subang.
Putranto. (2022). Identifikasi Awal Pelaku dan Korban Kekerasan di Tingkat Sekolah
Serta Penangannaya. Wujudkan Sekolah Bebas Kekerasan Lingkungan
Belajar Aman, Nyaman, Dan Menyenangkan.
Siregar, L. Y. S. (2016). Kekerasan Dalam Pendidikan. At-Turats, 3(1), 51–61.
https://doi.org/10.24260/at-turats.v3i1.252
Unicef. (2019). Every child is protected from violence and exploitation.
https://www.unicef.org/media/73766/file/GARR-2019-Goal-Area-3-
2020.pdf.pdf

21

Anda mungkin juga menyukai