Solusi Kekerasan Psikis Di Sekolah
Solusi Kekerasan Psikis Di Sekolah
MAKALAH
Oleh:
Penyusun
ii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL........................................................................................... i
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ......................................................................... 1
B. Rumusan Masalah ..................................................................... 2
C. Tujuan Penulisan ....................................................................... 2
BAB II PEMBAHASAN
A. Problematika Kekerasan Psikis pada Anak di Sekolah ............. 3
B. Solusi Problematika Kekerasan Psikis pada Anak di Sekolah .. 9
iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Anak merupakan seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun.
Pemahaman dan persepsi anak tentang dunia yang masih minim menyebabkan
mereka rentan terhadap perkembangan situasi sekitar yang kadang begitu
kompleks. Mereka belum cukup pengalaman untuk menelaah semua informasi
yang ada. Itulah sebabnya, anak sangat membutuhkan pendampingan orang
dewasa untuk memberikan pemahaman terhadap yang dipikirkan dan yang
ditemuinya. Namun, sebagian orang dewasa yang diharapkan dapat berperan
sebagai “guru” justru memberikan kekerasan terhadap anak yang berdampak fisik
maupun psikis hingga merenggut jiwanya (Al Adawiah, 2015).
Semakin hari semakin banyak kekerasan pada anak yang terjadi. Kekerasan
pada anak adalah setiap tindakan terhadap anak yang melanggar norma-norma
tingkah laku dan cenderung menyebabkan gangguan pada anak baik secara fisik
ataupun psikis. kekerasan terhadap anak bisa terjadi kapan saja dan dimana saja
termasuk pada saat di rumah, tempat bermain bahkan di sekolah. Padahal sekolah
merupakan tempat dimana anak menerima pendidikan moral, etika dan akademik,
bahkan menjadi rumah kedua bagi anak. Namun, kenyataannya justru di sebagian
sekolah terjadi kasus kekerasan, baik yang dilakukan oleh teman sepermainan,
senior, guru atau penjaga kebersihan sekolah (Christiana, 2019).
Kekerasan yang dialami oleh anak di sekolah akan menimbulkan beberapa
efek negatif, seperti meningkatnya tingkat depresi, penurunan nilai-nilai akademik,
bahkan dapat berhujung dengan tindakan bunuh diri (Nasir, 2018). Oleh sebab itu,
problematika kekerasan terhadap anak di sekolah harus segera diakhiri. Negara,
pemerintah dan seluruh elemen penyelenggara perlindungan anak, perlu
melakukan langkah segera untuk mengatasinya.
1
2
B. Rumusan Masalah
1. Apa saja kasus problematika kekerasan psiskis yang terjadi di sekolah?
2. Bagaimana solusi untuk mengatasi kekerasan psikis yang terjadi di sekolah?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui kasus kekerasan psikis yang ada di sekolah
2. Untuk mengetahui solusi kekerasan psiskis yang ada di sekolah
BAB II
PEMBAHASAN
3
4
mendorong semua siswi itu disarankan untuk mengenakan jilbab, Kata Kepala
Disdikpora DIY. Menurutnya, Penjualan seragam di sekolah telah melanggar
Peraturan Menteri Pendidian dan Kebudayaan (Permendikbud) Nomor 45 Tahun
2014. SEbagai turunannya, Disdikpora DIY juga telah menerbitkan surat edara
(SE) mengenai larangan menjual seragam di sekolah.
Kasus ini berakhir damai, pihak Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga
(Disdikpora) DIY, DPRD DIY, Polda DIY, TNI, Ormas Islam, KPAI, dan pihak
seklah sudah bertemu dengan orang tua siswa, Mereka sepakat untuk mengakhiri
polemic ini dan tidak perlu diperpanjang. Disdikpora memfasilitasi siswa
tersebuh untuk bersekolah di sekolah lain.
2. Siswi SMAN Sragen Dirundung gegara Tak Berjilbab Kini Ogah Sekolah
Siswi SMAN 1 Sumberlawang Kaupaten Sragen, S (15), yang diduga menjadi
korban perundungan sampai sekarang enggan masuk sekolah. Diduga siswa
tersebut menjadi korban perundungan guru matematikanya lantaran tak mengenai
jilbab. Orang tua siswa tersebut, AP (47) mengatakan bahwa dugaan
perundungan itu terjadi saat kegiatan belajar mengajar (KBM) yang berlangusng
selama dua jam di dalam ruang kelas. Guru matematika yang memarahi (S)
sudah cenderung kearah bullying. Waktu pelajaran matematika selama dua jam
penuh, S dimarahi sampai ketakutan, nangis sampai gemetar ketakutan karena
kata-kata guru tersebut yang berlebihan (membentak-bentak).
AP menyampaikan, bukan kali ini saja anaknya menjadi korban perundungan
di sekolah itu. Sejmulah teman-temannya disebut telah beberapa kali merundung
sang anak sejak awal masuk sekolah. Awal masuk sekolah ada temannya yang
mengadang di lorong kelas, kemudian bertanya “Agamamu apa?” karena
anaknya tidak berjilbab dan hal tersebut tidak ditanggapi oleh S. Kedua, pada
saat di kelas, ada kakak kelas datang kekelasnya dan bertanya juga “sebelahmu
kenapa tidak berjilbab?” dan yang terakhir yaitu kejadian guru matematika
tersebut. Lebih lanjut AP menjelaskan, sehari setelah dirundung oleh gurunya,
korban masi mendapatan perlakuan serupa, sehingga anaknya pun memohon izin
5
untuk pulang lebih awal. Setelah kejadian guru (matematika), korban ke ruang
BP dan meminta izin pulang karena ketakutan. Namun pada saat ini, ada guru
lagi tanya “sebenarnya agamamu apa? Dijawab oleh korban bahwa gamanya
Islam, namun gurunya meambahkan dengan pertanyaan lagi “Kok belum
berjilbab? Oh, berarti belum dapat hidayah.”
Sebagai orangtua korban, pihaknya menyayangkan tindakan guru yang
mempersoalkan agama para siswa yang bukanlah urusan guru, dia menekankan
paru guru cukup mendidik anaknya sesuai dengan Undang-Undang (UU) yang
berlaku. AP menambahkan “Sejak kapan guru SMA Negeri mengurusi
permasalahan Agama dan Hidayah itu kan urusan Allah”. AP selama ini telah
mengedukasi putrinya perihal jilbab, namun AP enggan memaksakan hal itu dan
menghargai keputusan yang dipilih oleh putrinya. AP mengaku telah melaporkan
kasuss ini dugaan perundungan kepada Kepolisian Resor Sragen Unit
Perlindungan Perempuan Anak (PPA).
Menyikapi hal tersebut, pihak sekolah melakukan Deklarasi Sekolah Ramah
Anak dengan mengundang Bupati Sragen, Kusdinar Untung Yuni Sukowati dan
pihak Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Disdikbud) Provinsi Jawa Tengah
pada Rabu (9/11/2022). Namun deklaraasi itu bukan solusi dari persoalan
perundungan yang dialami S. Hal inilah yang kemudian dipersoalkan orang tua
siswi tersebut. Pihak sekolah menjelaskan apa yang terjadi, dan meminta maaf.
Sebagai orang tua, AP meminta ada ruang diskusi karena hanya ingin
memastikan anaknya (S) bisa bersekolah denga naman, nyaman, dalam sistem
pendidikan yang dijanjikan oleh negara, Namun, ruang diskusi tersebut tidak
diiyakan oleh pihak sekolah. Deklarasi tersebut hanya terkesan seremonial, tidak
ada dialog. PAdahal seharusnyam menurut AP, ada solusi bagaiamana cara
menangani kasus tersebut dan memberikan kesadaran kepada guru dan anak.
Korban Tak Sekolah
Korban sudah sepekan ini tidak masuk sekolah dan tidur larut malam. AP
mengatakan pihak sekolah tidak ada yang menanyakan kabar anaknya. Namun,
para siswa satu kelas yang berjumlah 34 siswa sempat mengunjungi rumahnya
6
dan foto tersebut sudah di sebar luas oleh oknum guru gay. Pada akhirnya foto
dan video tersebut sampai ke keluarga korban.
Barulah korban mengakui dan menceritakan kejadian yang dialaminya, mulai
dari perlakuan yang tidak normal oknum guru gay ini. Tindakan orang tuanya
kemudian adalah melaporkan kepada pihak berwajib ke Mapolres Tanjung
pinang pada 29 Mei 2019 lalu. Setelah kejadian seksual tersebut korban A
mengalami Mental Down. Orang tuanya khawatir dan 21 sedih akan
perkembangan psikologis sang anak, akhirnya memutuskan memindahkan sang
anak ke daerah lain. Tujuannya tidak lain menyelamatkan kondisi psikologis
anak supaya kembali normal seperti sebelum kejadian itu terjadi.
dialaminya selama 2 minggu. Ciri-ciri lain yang didapat dari kekerasan tersebut
terlihat juga ketika jadwal video call Whatsapp anak hanya bisa diam, pandangan
kosong, dan hanya bisa meneteskan air matanya saja. Selain itu korban jadi tidak
betah tinggal di pondok, penurunan motivasi belajar dan tertekan. Trauma ini
juga dirasakan semua anak kelas 3 yaitu jika bertemu guru D ini mereka akan
ketakutan jika melakukan kesalahan dan mengalami masalah berbicara
(membisu). Tibalah waktu sambang ke pondok Y korban tersebut hanya bisa
menangis terus dan meminta untuk pulang, kemudian ada siswa lain yang bilang
kepada orang tua korban kalau korban tersebut dipukul guru D hingga babak
belur. Orang tua korban tidak terima dan melakukan demo ke pihak kepala
sekolah SD X dan Yayasan pondok Y. Seketika karena orang tua korban trauma
dan takut anaknya mengalami kejadian serupa sampai dampak psikis lainnya, 3
anak langsung pindah sekolah. Proses lebih lanjut menurut orang tua salah satu
korban yang pindah ini sekarang Oknum Guru D sudah di drop out demi
membersihkan nama baik SD X dan Pondok Pesantren Y.
Foto ketika wawancara salah satu siswa SD X dan Pondok Y beserta ibunya
9
Selain solusi diatas (Siregar, 2016), memberikan solusi alternatif untuk mengatasi
kekerasan pada siswa di sekolah, yaitu:
1. Sekolah
a. Menerapkan pendidikan tanpa kekerasan di sekolah;
b. Mendorong/mengembangkan humaniasi pendidikan, menyatu padukan
kesadaran hati dan pikiran, membutuhkan dan keterlibatan mental dan tindakan
sekaligus, suasana belajar yang meriah, gembira dengan memadukan potensi
fisik, psikis, suatu kekuatan yang integral;
c. Hukuman yang di berikan berkolerasi dengan tindakan anak;
d. Terus menerus membekali guru untuk menambah wawasan pengetahuan,
kesempatan, pengalaman baru untuk mengembangkan kreativitas mereka;
e. Konseling, bukan siswa saja membutuhkan konseling, tapi juga guru. Sebab
guru juga mengalami masa sulit yang membutuhkan dukungan, penguatan,
atau bimbingan untuk menemukan jalan keluar yang terbaik;
f. Segera memberikan pertolongan bagi siapapun yang mengalami tindakan
kekerasan di sekolah, dan menindak lanjuti serta mencari solusi alternatif yang
terbaik.
Adapum solusi menurut Putranto (2022) dalam identifikasi solusi awal pelaku
dan korban kekerasan dijabarkan sebagi berikut.
19
20
B. SARAN
Undang-undang ini telah dibuat dengan baik dan memperhatikan atau peduli
terhadap hak-hak anak namun pemerintah kurang mensosialisasikan dan
merealisasikan isi undang-undang ini. Pemerintah, satuan pendidikan, dan
masyarakat kurang berperan dalam menjalankan undang-undang ini sebab ada
beberapa kekerasan yang memang tak terlihat namun berdampak pada ksehatan
psikisnya. Sehingga kebijakan di level satuan pendidikan harus terus-menerus
mengedukasi kepada anak-anak kita agar mereka bijak menyikapi apa yang ada di
media sosial atau perilaku buruk yang di lakukan seluruh warga sekolah. Persiapkan
anak-anak kita bekal yang sesuai dengan usia mereka. Maka terciptalah konsep
literasi yang menguatkan anak-anak menjalani langkah-langkah selanjutnya baik
dalam satuan pendidikan SD, SMP, SMA, ataupun perkuliahan.
DAFTAR PUSTAKA
21