Anda di halaman 1dari 16

TUJUAN HUKUM

Makalah ini dibuat untuk memenuhi salah satu tugas


Mata Kuliah Sosiologi Hukum Islam
Semester Ganjil 2022/2023

Dosen Pengampu :

Ahmad Masyhadi, M.H.

Oleh :

Ma’sum Jauhari (21742340004)

PROGRAM STUDI
HUKUM EKONOMI SYARI’AH
FAKULTAS SYARI’AH
INSTITUT AGAMA ISLAM TARBIYATUT THOLABAH
KRANJI PACIRAN LAMONGAN
NOVEMBER 2022

2
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT, yang senantiasa memberikan rahmat dan
hidayah-Nya kepada Penulis, sehingga Penulis mampu merampungkan salah satu
tugas yang berbentuk makalah sebagai salah satu persyaratan untuk menempuh
mata kuliah Sosiologi Hukum Islam
Makalah ini bertujuan untuk menjelaskan tentang Tujuan Hukum.
Terselesaikannya makalah ini tidak lepas dari sumbangsih orang-orang terdekat
Penulis, karena itu dengan tulus Penulis sampaikan banyak terima kasih kepada:
1. Dosen pengampu mata kuliah Sosiologi Hukum Islam semester III IAI
TABAH Kranji Parican Lamongan yang telah membimbing penulis dengan
penuh kesabaran.
2. Para Pegawai perpustakaan IAI TABAH Kranji Paciran Lamongan yang telah
membantu kami untuk menemukan referensi yang akurat.
3. Teman-teman sekelas Semester III HES fakultas Syari’ah IAI TABAH Kranji
Paciran Lamongan yang selalu mengarahkan dan mengingatkan penulis jika
penulis terdapat kekurangan.
Segala upaya telah dilakukan untuk menyempurnakan makalah ini, namun
tidak mustahil dalam makalah ini masih terdapat kekurangan dan kesalahan. Hal
itu dikarenakan kelemahan dan keterbatasan kemampuan Penulis semata. Saran
dan kritik yang konstruktif tetap kami harapkan dari audien/peserta diskusi yang
budiman. Akhirnya semoga makalah ini membawa manfaat tidak hanya bagi
Penulis namun juga bagi pengembangan ilmu pengetahuan.

Lamongan, 13 November 2022


Penulis,

i
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL...................................................................................i
KATA PENGANTAR.................................................................................ii
DAFTAR ISI..............................................................................................iii

BAB I PENDAHULUAN...........................................................................1
A. Latar Belakang.........................................................................................1
B. Rumusan Masalah....................................................................................2
C. Tujuan Penulisan Makalah.......................................................................2
BAB II PEMBAHASAN............................................................................3
A. Penimbunan barang.................................................................................3
B. Barang yang haram ditimbun...................................................................7
C. Hukum penimbunan barang dagang........................................................8
BAB III PENUTUP..................................................................................11
A. Kesimpulan............................................................................................11
B. Saran......................................................................................................11
DAFTAR PUSTAKA.................................................................................12

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Hukum Islam adalah seperangkat peraturan berdasarkan wahyu
Allah dan Sunnah Rasul tentang tingkah laku manusia.1 Ada dua
pengertian hukum Islam, yaitu hukum Islam yang disebut dengan
syari’ah, yaitu hukum-hukum Islam yang dijelaskan dalam Al-Quran dan
Sunnah, baik dalam bentuk garis-garis besar maupun dalam bentuk
terperinci. Hukum dalam pengertian yang pertama ini tidak akan pernah
berubah. Di samping itu hukum Islam yang disebut dengan ijtihad (fiqh),
yaitu hukum Islam yang merupakan hasil ijtihad para fuqaha’ semenjak
masa sahabat Nabi hingga waktu ini. Hukum Islam dalam bentuk kedua
ini berbentuk pendapat hukum atau fatwa dari para fuqaha’ dalam rangka
menjelaskan, menguraikan, memperinci aturan-aturan yang bersifat
global. Syari’ah dapat ditemukan langsung dalam Al-Quran dan Sunnah,
sedangkan hasil ijtihad, yang disebut fiqh, berada pada karya para
fuqaha’ maupun kumpulan-kumpulan fatwa mereka.2
Hukum Islam memiliki ciri khas sifat dan karakteristik tersendiri,
dalam kaitan ini dijumpai pendapat yang mengatakan bahwa hukum
Islam atau fiqh adalah sekelompok dengan syari’ah-syari’ah yang
berkaitan dengan amal perbuatan manusia yang di ambil dari nash Al-
Quran dan Sunnah. Hukum Islam dapat berkembang untuk
menanggulangi semua persoalan yang berkembang dan yang berubah
terus mengikuti zaman.3

B. Rumusan Masalah
1
Musnad Rozin, Karakteristik Hukum Islam Dalam Perubahan Sosial, (Jurnal Hukum, Vol. 13,
No. 2, 2016), hal. 303
2
Suparman Usman, dan Itang, Filsafat Hukum Islam, (Jakarta: Laksita Indonesia, 2015), hal. 62
3
Ibid., hal. 74

1
1. Apa pengertian penimbunan barang?
2. Apa saja barang yang haram ditimbun?
3. Bagaimana hukum penimbunan barang dagang?

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian penimbunan barang.
2. Untuk mengetahui apa saja barang yang haram ditimbun.
3. Untuk mengetahui hukum penimbunan barang dagang.

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Penimbunan Barang
1. Pengertian Penimbunan Barang
Penimbunan barang adalah pembelian bahan makanan secara besar-
besaran, kemudian ditimbun sehingga harganya naik. Menurut mazhab
Hambali penimbunan barang yaitu membeli lalu menyimpan bahan
makanan untuk diperdagangkan dan ditimbun agar barang langka dan
harganya meningkat, untuk mendapatkan keuntungan yang besar.
Sedangkan dalam undang-undang penimbunan barang yaitu pengusaan
atas produksi, pemasaran barang dan atas penggunaan jasa tertentu oleh
satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha.4
Dalam pandangan Qaradhawi, praktik penimbunan barang
bersumber dari egoisme dan kekerasan hati terhadap manusia. Pelaku
monopoli menambah kekayaan dengan mempersempit kehidupan orang
lain. Dari beberapa pandangan diatas, maka secara umum dapat
dipahami, monopoli dalam pandangan Islam yaitu menimbun barang atau
bahan pokok atau komoditi apapun yang dihajatkan masyarakat agar
menjadikan harganya melambung naik karena ada motif ekonomi untuk
mencari keuntungan setinggi mungkin. Penimbunan barang timbul
karena adanya beberapa hal, yaitu;

a. Faktor Alam

Keadaan alam dapat menimbulkan monopoli bagi suatu


daerah, misalnya: kesuburan tanah dan ikim yang cocok dengan
jenis tanaman tertentu menyebabkan suatu daerah memonopoli
hasil produksi pertanian tertentu seperti bawang merah di Brebes.

4
Suherman Rosyidi, Pengantar Teori Ekonomi Pendekatan Kepada Teori Mikro dan
Makro (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2001), 362-363.

3
b. Peraturan Pemerintah

Misalnya, hak paten untuk melindungi suatu penemuan


baru agar perusahaan pemilik tidak dirugikan oleh pihak lain
yang menghasilkan produk tiruan dengan harga yang jauh lebih
murah. Hak patenmemiliki batas waktu dan dapat diwariskan.
Bagi penciptanya, diperbolehkan untuk member izin ataulisensi
kepada pihak lain untuk mencipta dan menjual produk yang
sama.

c. Monopoli Alamiah

Kemajuan teknologi yang semakin canggih akan


mengakibatkan perusahaan mampu menekan pengeluaran,
sehingga perusahaan dapat lebih efesien dan berkembang
karena laba yang diperoleh semakin besar. Apabila perusahaan
mampu memperluas produksi dan memasarkannya dengan
harga yang terjangkau konsumen dengan kualitas yang
memuaskan, hasil produksinya akan mendapat kepercayaan
masyarakat. Dengan demikian, hasil produksinya akan
menguasai pasar dan perusahaan mampu menentukan harga di
pasar. Perusahaan yang baru timbul biasanya sulit bersaing
dengan perusahaan yang telah berkembang dan memegang
monopoli tersebut. Monopoli alamiah antara lain dalam
memproduksi air minum, gas, listrik dan lainnya.

2. Penimbunan Barang dalam Perspektif Islam

Ikhtikar (‫ ) االحتكار‬artinya zalim (aniaya) dan merusak pergaulan ( ‫اساء‬


‫)المعاشر‬, upaya penimbunan barang dagangan untuk menunggu
melonjaknya harga barang penimbunan barang adalah salah satu perkara
dalam perdagangan yang diharamkan oleh agama karena bisa membawa
mudhorot.

4
Namun demikian keharaman ikhtikar harus memenuhi beberapa
ketentuan berikut:

a. Harus diperoleh dengan cara membeli, bukan hasil panen atau


menerima hibah dari orang lain.
b. Barang yang ditimbun harus dibutuhkan oleh masyarakat umum,
bukan barangyang dibutuhkan dalam keadaan tertentu atau yang
menjadi konsumsi masyarakat tertentu.
c. Barang tersebut dibeli ketika harganya melonjak tinggi (melebihi
harga normal di pasaran), bukan ketika harganya sedang stabil.
d. Ada tujuan untuk dijual kembali dengan harga yang lebih tinggi
dan harga pasar, bukan untuk konsumsi pribadi atau dijual
kembali dengan harga normal.5

Dengan melihat definisi dan beberapa ketentuan ini, maka praktek


penimbunan yang sering di tanah air adalah tepat untuk diharamkan oleh
karena penimbunan tersebut dilakukan ketika kondisi ekonomi tengah
mengalami inflasi. Berbeda halnya jika salah satu dari beberapa elemen
ini tidak terpenuhi, maka hukum ihtikâr tidak diharamkan.

Misalnya seseorang menimbun barang yang ia peroleh darihasil


panen, atau menimbun barang yang menjadi konsumsi masyarakat
tertentu atau dalamkeadaan tertentu, atau barang yang ditimbun dibeli
ketika harga pasar sedang stabil, atau barang yang ditimbun ditujukan
untuk konsumsi pribadi atau dijual kembali dengan harga yangtidak lebih
tinggi dari harga pasar.6

Monopoli atau ihtikar artinya menimbun barang agar yang beredar


di masyarakat berkurang, lalu harganya naik. Yang menimbun
memperoleh keuntungan besar, sedang masyarakat dirugikan. Menurut
Adimarwan "Monopoli secara harfiah berarti di pasar hanya ada satu
penjual.

5
Ahmad Mustaq,Etika Bisnis dalam Islam Terjemahan Zainal Arifin ( Jakarta: Gema Insani Press,
1997). 70
6
Ahmad Mustaq, Etika Bisnis dalam Islam Terjemahan Zainal Arifin, 71.

5
Berdasarkan hadits yang artinya : Dari Sa'id bin Musayyab ia
meriwayatkan: Bahwa Ma'mar, ia berkata, "Rasulullah saw. bersabda,
'Barangsiapa menimbun barang, maka ia berdosa'," (HR Muslim).7
Jelas monopoli seperti ini dilarang dan hukumnya adalah haram,
karena perbuatan demikian didorong oleh nafsu serakah, dan tamak, serta
mementingkan diri sendiri dengan merugikan orang banyak. Selain itu
juga menunjukan bahwa pelakunya mempunyai moral dan mental yang
rendah.
Para ulama mengemukakan arti atau definisi ikhtikar (menimbun)
berbeda-beda sepertinya halnya yang diterangkan dibawah ini Imam
Muhammad bin Ali Asy-Syaukani mendefinisikan: Penimbunan atau
penahanan barang dagangan dari peredarannya. Imam Al-Ghazali
mendefinisikan: Penyimpanan barang dagangan oleh penjual makanan
untuk menunggu melonjaknya harga dan penjualannya ketika harga
melonjak.8
Dari terminologi di atas dapat dipahami bahwa al-Ikhtikar dalam
dataran konseptual berbeda dengan monopoli, namun jika dilihat dari
dataran faktualnya memiliki banyak persamaan, sedangkan perbedaannya
adalah sangat tipis sekali. Adapun persamaannya adalah:
Monopoli dan al-ihtikar sama-sama memiliki unsur kepentingan
sepihak (motivasi yang kuat) dalam mempermainkan harga (price
maker). Pelaku monopoli dan al-ikhtikar sama-sama memiliki hak opsi
untuk menawarkan barang-barang ke pasaran atau tidak.
Monopoli dan Ihtikar dapat mengakibatkan polemik dan ketidakpuasan
pada masyarakat.

7
Imam Taqiyuddin Abu Bakar bin Muhammad al-Husaini, Terjemah Kfayatul Akhyar jilid 2
(Surabaya: Bina Iman), 45.
8
Ahmad Mustaq,Etika Bisnis dalam Islam Terjemahan Zainal Arifin, 71-72.

6
B. Barang yang Haram Ditimbun
Ulama sepakat bahwa ihtikâr hukumnya haram. Namun demikian
ulama memberikan rambu-rambu tertentu menyangkut masalah barang
yang haram untuk ditimbun. Menurut madzhab Hanafi, asy-Syafi'i dan
Hambali, barang yang haram ditimbun adalah makanan pokok yang
menjadi kebutuhan umum, baik itu berupa makanan pokok manusia atau
makanan pokok untuk hewan ternak. Sedangkan untuk selain makanan
pokok, hukum menimbunnya tidaklah diharamkan.
Jika mengikuti pendapat tiga ulama ini, penimbunan pupuk, minyak,
gula dll. yang tidak termasuk makanan pokok, hukumnya tidak haram.
Sementara, kebutuhan masyarakat terhadap barang-barang tersebut juga
sangat tinggi dikarenakan barang-barang yang dimaksud sudah menjadi
elemen penting dalam kehidupan mereka. Maka barangkali, untuk
menyikapi masalah penimbunan barang-barang yang tidak termasuk
makanan pokok seperti BBM dll., kita perlu merujuk pada madzhab
Maliki. Dalam madzhab Maliki keharaman penimbunan tidak
dikhusukan pada makanan pokok saja. Menurut madzhab ini semua
jenis barang yang menjadi kebutuhan umum (public goods), baik berupa
makanan pokok atau bukan, hukumnya haram ditimbun. Sehingga,
dengan mengikuti madzhab ini, penimbun (muhtakîr) tidak bisa
terhindar dari jeratan hukum haram. Di samping itu pendapat ini juga
akan memudahkan pemerintah untuk memberi sanksi pada mereka
yang melakukan kelicikan berupa ihtikâr.9

9
Akhmad Mujahdin, Ekonomi Islam ( Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2007), 43.

7
C. Hukum Penimbunan Barang Dagang
Dalam konsep Islam, istilah hukum dan syari’ah merupakan satu
kesatuan yang tidak bisa dipisahkan, karena pada sejatinya setiap kali
mengkaji suatu hukum adalah syari’ah itu sendiri. Dalam Islam, kata
“syari’at” bermakna “bahwa syari’at Islam adalah jalan atau metode
Islam.”10 Definisi syari’ah menurut bahasa memiliki beberapa makna,
diantaranya yaitu syari’ah merupakan jalan yang harus diikuti.
Syari’at ekonomi Islam sangat menghormati usaha seseorang
dan melindungi kepemilikan pribadi, tetapi Islam juga memberikan hak
kepada pemerintah untuk merampas atau memaksa pelaku penimbunan
untuk menjual barangnya dengan harga pasar. Tidak hanya itu, Islam
juga memberikan hak kepada pemerintah untuk memidanakan jika
pelaku penimbunan menolaknya karena tindakan tersebut adalah
tindakan melawan hukum.11
Hukum Islam adalah syariat yang berarti hukum-hukum yang
diadakan oleh Allah untuk umat-Nya yang dibawa oleh seorang Nabi,
baik hukum yang berhubungan dengan kepercayaan (aqidah) maupun
hukum- hukum yang berhubungan dengan amaliyah (perbuatan).12
Para ulama berbeda pendapat tentang hukum monopoli (ihtikar),
dengan perincian sebagai berikut:
1. Haram secara mutlak (tidak dikhususkan bahan makanan saja), hal
ini didasari oleh sabda Nabi SAW:
“Barang siapa yang melakukan penimbunan terhadap makanan kaum
muslimin, Allah akan menimpanya dengan kerugian atau akan
terkena penyakit lepra (hadist riwayat Imam Ahmad).”
Menimbun yang diharamkan menurut kebanyakan ulama fikih bila
memenuhi tiga kriteria:

10
Muhammad Said Al-Asymawi, Nalar Kritis Syari’ah. 21.
11
Zainuddin Ali, Hukum Ekonomi Syariah (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), 35-37.
12
Muhammad Daud Alli, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia (Jakarta: PT
Rajagrafindo Persada), 60.

8
a. Barang yang ditimbun melebihi kebutuhannya dan kebutuhan
keluarga untuk masa satu tahun penuh. Kita hanya boleh
menyimpan barang untuk keperluan kurang dari satu tahun
sebagaimana pernah dilakukan Rasulullah SAW.
b. Menimbun untuk dijual, kemudian pada waktu harganya
membumbung tinggi dan kebutuhan rakyat sudah mendesak baru
dijual sehingga terpaksa rakyat membelinya dengan harga mahal.
c. Yang ditimbun (dimonopoli) ialah kebutuhan pokok rakyat
seperti pangan, sandang dan lain-lain. Apabila bahan-bahan
lainnya ada di tangan banyak pedagang, tetatpi tidak termasuk
bahan pokok kebutuhan rakyat dan tidak merugikan rakyat. maka
itu tidak termasuk menimbun.

2. Makruh secara mutlak, Dengan alasan bahwa larangan Nabi SAW


berkaitan dengan ihtikar adalah terbatas kepada hukum makruh saja,
lantaran hanya sebagai peringatan bagi umatnya.
3. Haram apabila berupa bahan makanan saja, adapun selain bahan
makanan, maka dibolehkan, dengan alasan hadits riwayat Muslim di
atas, dengan melanjutkan riwayat tersebut yang dhohirnya
membolehkan ihtikar selain bahan makanan, sebagaimana riwayat
lengkapnya, ketika Nabi SAW bersabda:
“Barangsiapa menimbun maka dia telah berbuat dosa”, Lalu Sa'id
ditanya: “Kenapa engkau lakukan ihtikar?
Sa'id menjawab,"Sesungguhnya Ma'mar yang meriwayatkan hadits
ini telah melakukan ihtikar (HR. Muslim,1605).13
Imam Ibnu Abdil Bar mengatakan: "Kedua orang ini Said bin
Musayyab dan Ma'mar (perowi hadits) hanya menyimpan minyak,
karena keduanya memahami bahwa yang dilarang adalah khusus
bahan makanan ketika sangat dibutuhkan saja, dan tidak mungkin
13
Ibnu Rusyid, Bidayatul Mujtahid jilid 2(Jakarta: Pustaka Amani), 135.

9
bagi seorang sahabat mulia yang merowikan hadits dari Nabi SAW
dan seorang tabi'in yang bernama Said bin Musayyab, setelah
mereka meriwayatkan hadits larangan ihtikar lalu mereka
menyelisihinya (ini menunjukkan bahwa yang dilarang hanyalah
bahan makanan saja).

BAB III

10
PENUTUP
A. Kesimpulan
Rasulullah telah menjelaskan kepada kita akibat menjalankan pekerjaan
menimbun ini, bahwa harta yang dihasilkan dari usaha menimbun sama sekali
tidak akan diberkahi oleh Allah. Dan pelakunya akan tertimpa penyakit yang
paling kotor. Selain itu, pelakunya mendapat dosa yang amat besar karena
sudah keluar dari garis-garis yang telah ditentukan oleh Allah.
Islam melarang praktek yang seperti ini karena hal tersebut dapat
menimbulkan kerugian pada orang lain. Begitu juga dengan menimbun
terhadap barang-barang kebutuhan pokok sangat dikecam dalam Islam karena
biasanya apabila harga barang-barang kebutuhan pokok naik maka akan
berpengaruh frontal terhadap harga-harga barang lainnya, sehingga harga
barang menjadi tidak stabil dan dapat mengakibatkan krisis. Di dalam teori
ekonomi kepuasan seorang dalam mengkonsumsi suatu barang dinamakan
utility atau nilai guna. Maka apabila kepuasan semakin tinggi maka semakin
tinggi pula nilai gunanya. Seorang muslim untuk mencapai tingkat
kepuasannya perlu mempertimbangkan bahwa barang yang dikonsumsi bukan
merupakan barang haram termasuk di dalamnya yang diperoleh melalui al-
Ikhtikar dan monopoli yang semena-mena. Karena kepuasan seorang muslim
hendaknya bukan hanya berpatok atas banyak sedikitnya barang yang
dikonsumsi. Tapi lebih pada apa yang dilakukannya sebagai ibadah dengan
memenuhi apa yang di perintahkan oleh Allah dan menjauhi segala
larangannya.

B. Saran-saran
Demikian tugas yang dapat saya sampaikan semoga bermanfaat bagi kita
semua. Dan kami menyadari bahwa tugas ini jauh dari kata sempuna maka
dari itu kami sangat mengharapkan kritik dan saran dari pembaca.
Terimakasih.

DAFTAR PUSTAKA

11
Al-Jamal, Syaikh Sulaiman, Hasyiah al-Jamal 'ala al-Manhaj, juz 5, hal.
537 (maktabah asy-Syamilah edisi kedua).

Zuhaili, Wahbah, Al-Fiqh al-Islâmy wa Adillatuhu, juz 4, hal. 238 (maktabah asy-


Syamilah edisi kedua)

Asy-Syarwani, Abdul Hamid Makky, Al-Ubbadiy, Ahmad bin Qasim, Hawâsyi


asy-Syarwani wa al-Ubbâdiy, juz 4, hal. 317 (maktabah asy-Syamilah
edisi kedua)

Ar-Ramli, Syamsuddin Muhammad Abi al-Abbas Ahmad bin Hamzah Ibnu


Syihabuddin,Nihâyah al-Muhtâj ilâ Syarh al-Minhâj, juz 3, hal.
472 (maktabah asy-Syamilah edisi kedua)

Opcit, Al-Fiqh al-Islâmy wa Adillatuhu, juz 4, hal. 238

12

Anda mungkin juga menyukai