Anda di halaman 1dari 9

TEORI-TEORI HUKUM INTERNASIONAL

Pada kenyataannya hukum internasional tidak memiliki Lembaga legislative, eksekutif,


yudisial maupun kepolisian tetapi pada kenyataanya pula hukum internasional itu bersifat
mengikat. Seperti yang telah diketahui, masyarakat internasional dalam bentuknya
sekarang merupakan suatu tertib hukum koordinasi dari sejumlah negara yang masing-
masing berdaulat. Semua kelemahan kelembagaan (institusional) ini telah menyebabkan
beberapa pemikir mulai dari Hobbes dan Spinoza hingga Austin menyangkal sifat mengikat
hukum internasional. Bagi mereka hukum internasional itu bukan hukum.1
Mengenai hal ini telah dikemukakan beberapa teori. Diantaranya teori hukum alam, teori
kehendak, teori mazhab wiena, teori fakta kemasyarakatan, dan teori-teori baru /
kontemporer hukum internasional. Berikut penjelasan mengenai beberapa teori tersebut :
1. Teori hukum alam
Hukum alam diartikan sebagai hukum ideal yang didasarkan atas hakikat manusia
sebagai makhlukk yang berakall atau kesatuan kaidah yang diilhamkann alam pada akal
manusia. Menurut pendukung ajaran hukum alam, hukum internasional itu diterapkan
pada kehidupan masyarakat bangsa-bangsa.
Teori hukum alam (the natural right/natural law) dikenalkan pertama kali oleh
Aristoteles. Aristoteles membagi sifat hukum ke dalam hukum yang bersifat khusus dan
universal. Hukum bersifat khusus yang dimaksud adalah hukum positif, yang dengannya
suatu negara tertentu dijalankan. Sementara hukum yang bersifat universal adalah hukum
alam, yang dengannya prinsip-prinsip yang tidak tertulis diakui oleh semua umat
manusia.2
Berlandaskan pada konsep yang dikemukakan Mochtar Kusumaatmadja, bahwa
hukum secara umum berfungsi sebagai sarana pembaharuan masyarakat, di samping
fungsi dasarnya yaitu untuk menjamin kepastian dan ketertiban. Hal ini berarti bahwa
hukum dalam arti kaidah atau peraturan hukum memang dapat berfungsi sebagai alat

1
Mochtar Kusumaatmadja dan Etty R. Agoes, Pengantar Hukum Internasional. Jakarta: Alumni, 2002, hlm. 45.
2
Khoirur Rizal Lutfi, “Teori Hukum Alam Dan Kepatuhan Negara Terhadap Hukum Internasional”, Jurnal Yuridis, Volume
1 No.1, hal. 96
(pengatur) atau sarana pembangunan dalam arti penyalur arah kegiatan manusia maupun
subjeknya ke arah yang dikehendaki oleh pembangunan atau pembaharuan. 3
Dengan kata lain negara itu terikat atau tunduk pada hukum internasional dalam
hubungan antara mereka satu sama lain karena hukum internasional itu merupakan
bagian dari hukum yang lebih tinggi yaitu hukum alam. 4 Tokoh-tokoh dari teori ini
diantaranya Cicero, Thomas Aquinas, Hugo Grotius, Thomas Hobbes, dan Jeremy
Bentham.
2. Teori kehendak/ teori hukum positif
Aliran lain mendasarkan kekuatan mengikat hukum internasional itu atas kehendak
negara itu sendiri untuk tunduk pada hukum internasional. Menurut mereka, pada
dasarnya negara yang merupakan sumber segala hukum, dan hukum internasional itu
mengikat karena negara itu atas kemauan sendiri mau tunduk pada hukum internasional.
Menurut teori ini, hukum internasional bukan sesuatu yang lebih tinggi yang mempunyai
kekuatan mengikat di luar kemauan negara. 5 Ada beberapa teori yang termasuk ke
dalamteori hukum positif, yaitu :
a. Teori Kehendak Negara atau Teori Kedaulatan Negara
b. Teori Kehendak Bersama Negara-negara
c. Teori Wina (Vienna School of Thought)

a. Teori Kehendak Negara atau Teori Keadaulatan Negara


Secara umum inti dari mazhab ini adalah oleh karena negara adalah pemegang
kedaulatan, maka negara adalah juga sumber dari segala hukum. Hukum internasional itu
mengikat negara-negara karena negara-negara itu atas kehendak atau kemauannya
sendirilah tunduk atau mengikatkan diri kepada hukum internasional. 6
George Jellinek, yang juga dikenal sebagai penganut teori kedaulatan negara (state
sovereignty), berpendapat, bahwa negara-negara sebagai pribadi hukum yang memiliki
3
Mochtar Kusumaatmadja, Hukum Masyarakat dan Pembinaan Hukum Nasional. Bandung: Binacipta, 1976, hlm. 13.
4
Mochtar Kusumaatmadja dan Etty R. Agoes, Op.cit., hlm. 46.
5
Ibid,hlm. 49.
6
Fakultas Hukum Universitas Udayana, Buku Ajar Hukum Internasional, Denpasar: 2017, hlm. 58.
kedaulatan bersedia untuk tunduk dan terikat pada hukum internasional, oleh karena
negara-negara itu sendirilah yang menghendakinya. Ini merupakan manifestasi dari
kedaulatannya. Sebaliknya, jika pada suatu waktu nanti, negara atau negara-negara
memandang tidak ada manfaatnya lagi untuk tunduk dan terikat pada hukum
internasional, negara-negara itupun memiliki kehendak bebas untuk tidak mau lagi terikat
pada hukum internasional. Jadi berdasarkan kehendaknya itu, negara-negara bebas untuk
menyatakan dan untuk tunduk dan terikat ataukah tidak pada hukum internasional.
Apabila suatu negara memandang perlu untuk tunduk dan terikat pada hukum
internasional, negara itu bisa saja menyatakan dirinya bersedia untuk terikat. Jadi negara
bersedia secara sukarela untuk dibatasi oleh hukum internasional. Sebaliknya, jika pada
suatu waktu kemudian, negara yang bersangkutan memandang tidak perlu lagi untuk
terikat, maka negara itupun bisa saja sewaktu-waktu menyatakan dirinya tidak mau lagi
terikat pada hukum internasional.7
b. Teori Kehendak Bersama Negara-negara
Menurut mazhab ini, hukum internasional itu mengikat bukan karena kehendak
negara-negara secara sendiri-sendiri melainkan karena kehendak bersama negara-negara
itu di mana kehendak bersama ini lebih tinggi derajatnya dibandingkan dengan kehendak
negara secara sendiri-sendiri. Dikatakan pula oleh mazhab ini bahwa, berbeda halnya
dengan kehendak negara secara sendiri-sendiri, kehendak bersama ini tidak perlu
dinyatakan secara tegas atau spesifik.8
Meskipun teori kehendak bersama ini lebih ideal dibandingkan dengan teori kehendak
sepihak negara yang dikemukakan oleh George Jellinek, tetapi tetap masih ada
kelemahannya. Dalam beberapa hal, kehendak bersama itu seringkali tidak mudah untuk
diketemukan. Mungkin untuk perjanjian-perjanjian internasional, seperti konvensi,
traktat, charter, agreement dan lain-lain, teori kehendak bersama ini mengandung
kebenaran, sebab dalam perjanjian internasional, kehendak negara untuk membuat,

7
Prof. Dr. S.M. Noor, S.H., M.H., “Daya Mengikat Hukum Internasional”, https://www.negarahukum.com/hukum/daya-
mengikat-hukum-internasional-2.html , downloaded on June 28, 2012
8
Fakultas Hukum Universitas Udayana, Op.cit., hlm. 58.
tunduk, dan terikat pada penjanjian internasional, secara jelas dan tegas dapat diketahui.
Akan tetapi, jika menyangkut hukum kebiasaan internasional (international customary
law), agak sukar untuk menjelaskan, bahwa tunduk dan terikatnya negara-negara pada
hukum kebiasaan internasional disebabkan karena ada kehendak bersama untuk tunduk
dan terikat. Negara-negara tidak pernah menyatakan kehendaknya secara tegas untuk
tunduk dan terikat pada hukum kebiasaan internasional. Terhadap sanggahan ini, teori
kehendak bersama ini menjawab, bahwa tunduk dan terikatnya negara-negara pada
hukum kebiasaan internasional, di dalamnya terkandung suatu persetujuan atau
kehendak bersama secara diam-diam (implied or tacit consent). 9

c. Teori Wina
Kelemahan-kelemahan yang melekat pada mazhab-mazhab yang meletakkan dasar
kekuatan mengikat hukum internasional pada kehendak negara (yang kerap juga disebut
sebagai aliran voluntaris) melahirkan pemikiran baru yang tidak lagi meletakkan dasar
mengikat hukum internasional itu pada kehendak negara melainkan pada adanya norma
atau kaidah hukum yang telah ada terlebih dahulu yang terlepas dari kehendak atau tidak
oleh negara-negara (aliran pemikiran ini kerap disebut sebagai aliran objektivist). Tokoh
terkenal dari aliran ini adalah Hans Kelsen yang mazhabnya dikenal dengan sebutan
Mazhab Wina (Vienna School of Thought).10
Hukum internasional mengikat negara-negara menurut teori ini karena sesuai
penjabaran teori wina diatas bahwa dalam meletakan dasar mengikat hukum
internasional itu pada norma atau kaidah hukum yang telah ada sebelumnya daripada
kehendak negara dalam menentukan untuk tunduk atau tidaknya kepada hukum
internasional yang berlaku.
9
Prof. Dr. S.M. Noor, S.H., M.H., Loc.Cit.
10
Fakultas Hukum Universitas Udayana, Op.cit., hlm. 59.
3. Teori Kemasyarakatan
Kekuatan mengikat Hukum Internasional seperti juga segala hukum, adalah pada
faktor biologis, sosial, sejarah kehidupan manusia yang dinamakan fakta kemasyarakatan
(fait social), yaitu bahwa mengikatnya hukum itu mutlak perlu untukdapat terpenuhinya
kebutuhan manusia (bangsa) untuk hidup bermasyarakatan. Ajaran ini mendasarkan
kekuatan mengikatnya Hukum Internasional pada faktor biologis, sosial dan sejarah
kehidupan manusia yang dinamakan fakta kemasyarakatan. Dasar kekuatan mengikat
Hukum Internasional adalah karena Hukum Internasional mutlak diperlukan guna
memenuhi kebutuhan bangsa-bangsa untuk hidup bermasyarakat. 11
Menurut aliran sosiologis, masyarakat bangsa-bangsa selaku makhluk sosial selalu
membutuhkan interaksi satu dengan yang lain untuk memenuhi kebutuhannya. Dalam
berinteraksi tersebut masyarakat internasional membutuhkan aturan hukum untuk
memberikepastian hukum pada apa yang mereka lakukan. Pada akhirnya dari aturan
tersebutmasyarakat internasional akan merasakan ketertiban, keteraturan, keadilan,
dankedamaian. Demikianlah menurut aliran ini dasar kekuatan mengikatnya HI adalah
kepentingan dan kebutuhan bersama akan ketertiban dan kepastian hukum
dalammelaksanakan hubungan internasional. Kebutuhan inilah yang menjadikan
masyarakat internasional mau tunduk dan mengikatkan diri pada HI.12
Dasar mengikatnya hukuminternasional itu dapat dikembalikan kepada sifat alami
manusia sebagai mahluk sosial yang senantiasa memiliki hasrat untuk hidup bergabung
dengan manusia lain dan kebutuhan akan solidaritas. kebutuhan dan naluri sosial manusia
sebagai individu itu juga dimiliki oleh negara-negara atau bangsa-bangsa (yang merupakan
kumpulan manusia). Dengan kata lain, menurut mazhab ini, dasar mengikatnya hukum

11
Sunyowati, D. (Maret 2013). HUKUM INTERNASIONAL SEBAGAI SUMBER HUKUM DALAM HUKUM NASIONAL (Dalam
Perspektif Hubungan Hukum Internasional Dan Hukum Nasional Di Indonesia). Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 2
Nomor 1.
12
Sefriani. (JULI 2011). Ketaatan Masyarakat Internasional terhadap HukumInternasional dalam Perspekti Filsafat
Hukum. JURNAL HUKUM, NO. 3 VOL. 18 hlm. 405-427.
internasional itu, sebagaimana halnya dasar mengikatnya setiap hukum, terdapat dalam
kenyataan sosial yaitu pada kebutuhan manusia untuk hidup bermasyarakat. 13
Dalam usaha untuk memenuhinya itu, supaya tidak saling bertentangan atau
bertabrakan antara satu dengan yang lainnya, mereka membutuhkan pengaturan-
pengaturanyang berupa kaidah-kaidah hukum, supaya terwujud kehidupan sosial yang
aman, damai, adil, dan tenteram. Jika semua itu tidak diatur sedemikian rupa, maka tidak
akan terwujud kehidupan bersama seperti yang mereka inginkan. menurut madzhab
sosiologis, manusia atau masyarakat tunduk pada hukumsebab manusia atau masyarakat
itu sendiri yang membutuhkan hukum. Berkenaan dengan masyarakat internasional yang
tunduk pada hukum internasional,masalahnya juga tidak berbeda dengan masyarakat
pada umumnya, bahwa masyarakat internasional, khususnya negara-negara itu sendiri
memang membutuhkan hukum internasional untuk mengatur kehidupannya. 14
4. Teori-teori Baru/Kontemporer Hukum Internasional

a. Teori New Haven


Madzhab New Haven memandang hukum tidak lebih sebagai proses pembentukan
keputusan, yang merupakan salah satu elemen yang memberi kontribusi terhadap
penyelesaian persoalan internasional. Sumbangan pemikiran McDougal adalah anggapan
akan terdapatnya sebuah pola yang menunjukan akan terdapatnya sebuah nilai-nilai
bersama umat manusia sebagaimana yang ditunjukan oleh tindakan-tindakan dan
pernyataan-pernyataan negara-negara. Nilai-nilai tersebut oleh McDougal dinyatakan
sebagai ‘human dignity’.
New Haven menginginkan tercapainya kehormatan dan martabat manusia (human
dignity) dengan menempatkan fungsi hukum sebagai fasilitator pembuatan keputusan
negara dan masyarakat. Mazhab New Haven Iebih memiliki pengaruh yang relevan bagi
perkembangan hukum internasional kontemporer. Sebab, persoalan-persoaIan
13
Sunyowati, D. (Maret 2013). HUKUM INTERNASIONAL SEBAGAI SUMBER HUKUM DALAM HUKUM NASIONAL (Dalam
Perspektif Hubungan Hukum Internasional Dan Hukum Nasional Di Indonesia). Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 2
Nomor 1.
14
I Wayan Parthiana, Pengantar Hukum Internasional, (Bandung: Mandar Maju, 2003), hlm. 33-34
humanitarian seperti HAM merupakan persoalan yang dapat menjadi persoalan hukum
internasional dalam pandangan New Haven.15
b. Teori Restrukturisasi
Teori restrukturisasi yang mengharapkan terciptanya humanisasi hukum
internasional melalui restrukturisasi diharapkan hukum internasional akan menjadi lebih
responsif terhadap persoalan-persoalan kemanusiaan yang merupakan persoalan
sebenarnya bagi komunitas internasional. Pakar teori hukum internasional dan lnggris,
Philip Allot menginginkan adanya restrukturasi hukum internasional dengan
menempatkan individu sebagal pusat perhatian hukum internasional.16
Sebagaimana terlihat saat ini Hukum Internasional, merupakan hukum yang
melayani kepentingan pihak yang berkuasa di tingkat nasional di negara-negara non
demokratis. Dengan tuntutan akan terciptanya humanisasi hukum internasional melalui
restruksturìsasi diharapkan hukum internasional akan menjadi lebih responsifterhadap
persoalanepersoalan kemanusiaan yang merupakan persoalan sebenarnya bagi komunitas
internasional.17
c. Teori Feminisme
Sebagai counter atas dominasi nilai-nilai maskulin yang selama ini mendominasi.
Teori ini merupakan sebuah upaya dari kelompok feminist untuk melakukan sebuah
terobosan atas sistem yang selama ini telah terdistorsi oleh dikriminasi gender.
Kesenjangan antar kaum laki-laki dan kaum perempuan sering kita dapati hamper di
berbagai Negara, dimana laki-laki lebih superior atas segalanya di banding perempuan.
Di karenakan terjadinya perkembangan global banyak kaum-kaum perempuan
yang ingin bersama-sama menginginkan hak nya untuk mendapatkan kesetaraan yang
sama antar laki-laki ataupun perempuan, dan karena hal ini jugalah yang nantinya
mendorong lahirnya kaum serta teori feminism. Sekitar akhir tahun 1980-an, gerakan

15
Sangkono. (2016). TEORI-TEORI DALAM HUKUM INTERNASIONAL . Hukum Internasional.
16
Ibid
17
Ibid.
feminis mulai dianggap perlu diangkat sebagai bahan kajian dalam Ilmu Hubungan
Internasional.
Seperti yang di katakana oleh Adam Jones dalam karyanya yang berjudul Does
‘Gender’ Makes the World Go Round? Yang dikatakan , bahwa perempuan memainkan
banyak peranan khususnya sebagai aktor politik. Kedua, bahwa secara keseluruhan
pengalaman dan kisah-kisah para perempuan secara epistimologi adalah sama sehingga
kemudian hal tersebut dijadikan kajian ilmiah dalam mengembangkan Ilmu Hubungan
Internasional. Ketiga, fakta bahwa perempuan secara historikal selalu dipandang rendah,
tidak diperhitungkan, dan bahkan dianggap absen keberadaannya.

DAFTAR PUSTAKA
D, S. (2013). Hukum Internasional Sebagai Sumber Hukum Dalam Hukum Nasional. Jurnal
Hukum Dan Peradilan.
Dwihandaya, G. (n.d.). Mazhab Hukum Alam. Retrieved from Webmail Universitas
Djuanda: https://sites.google.com/a/unida.ac.id/gelardwi/pengantar-ilmu-
hukum/mazhab-hukum-alam
Fakultas Hukum Universitas Udayana. (2017). Buku Ajar Universitas Udayana. In S. M.
Prof. Dr. I Made Pasek Diantha, Buku Ajar Universitas Udayana (pp. 54-60).
Denpasar: Universitas Udayana.
Kurnia, N. (2004). Representasi Maskulinitas dalam Iklan. ]urnal Ilmu Sosial dan Ilmu
Politik, 17-36.
Mochtar Kusumaatmadja, E. R. (2002). Pengantar Huku Internasional. Jakarta: Alumni.
Parthiana, I. W. (2003). Pengantar Hukum Internasional. In I. W. Parthiana, Pengantar
Hukum Internasional (pp. 33-34). Bandung: Mandar Maju.
PROF. DR. S.M. NOOR, S. M. (2012, Juni 28). Daya Mengikat Hukum Internasional.
Retrieved from Negara Hukum: https://www.negarahukum.com/hukum/daya-
mengikat-hukum-internasional-2.html
Sangkono. (2016). Teori-Teori Dalam Hukum Internasional.
Sefriani. (2011). Ketaatan Masyarakat Internasional terhadap HukumInternasional dalam
Perspekti Filsafat Hukum. JURNAL HUKUM, 405-427.

Anda mungkin juga menyukai