Anda di halaman 1dari 28

Referat

ASMA BRONKIALE

Disusun Oleh:
Febiyola - 112021090
Pembimbing:
dr. Nur Hidayah Sp.A

Kepaniteraan Klinik Departemen IlmuKesehatan Anak


RSAU dr. Esnawan Antariksa
Periode 18 April - 26 Juni 2022
Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana

1
BAB I
PENDAHULUAN

Latar Belakang
Asma merupakan salah satu penyakit kronik yang tersebar diseluruh belahan dunia dan
sejak 20 tahun terakhir prevalensinya semakin meningkat pada anak-anak baik di negara maju
maupun negara sedang berkembang. Peningkatan tersebut diduga berkaitan dengan pola hidup
yang berubah dan peran faktor lingkungan terutama polusi baik indoor maupun outdoor.
Prevalensi asma pada anak berkisar antara 2-30%. Di Indonesia, prevalensi asma pada anak
sekitar 10% pada usia sekolah dasar dan sekitar 6,5% pada usia sekolah menengah pertama.1,2
Pada awal tahun 60-an, bronkokonstriksi merupakan dasar patogenesis asma, kemudian
pada 70-an berkembang menjadi proses inflamasi kronis, sedangkan tahun 90-an selain inflamasi
juga disertai adanya remodelling. Berkembangnya patogenesis tersebut berdampak pada
tatalaksana asma secara mendasar, sehingga berbagai upaya telah dilakukan untuk mengatasi
asma. Pada awalnya pengobatan hanya diarahkan untuk mengatasi bronkokonstriksi dengan
pemberian bronkodilator, kemudian berkembang dengan antiinflamasi sehingga obat
antiinflamasi dianjurkan diberikan pada asma, kecuali pada asma yang sangat ringan.2,3
Pengetahuan mengenai definisi, cara mendiagnosis, pencetus, patogenesis dan tatalaksana
yang tepat dapat mengurangi kesalahan berupa underdiagnosis dan overtreatment serta
overdignosis dan undertreatment pada pasien. Sehingga diharapkan dapat mempengaruhi kualitas
hidup anak dan keluarganya serta mengurangi biaya pelayanan kesehatan yang besar.

2
Definisi

GINA (Global Initiative For Asthma) mendefinisikan asma sebagai penyakit


heterogen, yang biasanya memiliki karakteristik berupa gangguan inflamasi kronis saluran nafas.
Hal ini ditandai dengan adanya gejala saluran nafas berupa episode mengi berulang, sesak nafas,
rasa dada tertekan, dan batuk. Gejala tersebut biasanya berhubungan dengan penyempitan jalan
napas yang luas namun bervariasi, yang paling tidak sebagian bersifat reversibel baik secara
spontan maupun dengan pengobatan. Inflamasi tersebut juga berhubungan dengan
hiperreaktivitas jalan nafas terhadap berbagai rangsangan.4
Berdasarkan PNAA (Pedoman Nasional Asma Anak), asma didefinsikan sebagai
penyakit saluran respiratori dengan dasar inflamasi kronik yang mengakibatkan obstruksi dan
hiperreaktivitas saluran respiratori dengan derajat bervariasi. Manifestasi klinis asma dapat
berupa batuk, wheezing, sesak napas, dada tertekan yang timbul secara kronik dan atau
berulang, reversibel, cenderung memberat pada malam atau dini hari, dan biasanya timbul jika
ada pencetus.5

Epidemiologi
Prevalensi total asma di dunia diperkirakan 7,2% (6% pada dewasa dan 10% pada
anak). Prevalensi pada anak menderita asma meningkat 8-10 kali di negara berkembang
dibanding negara maju. Prevalensi tersebut sangat bervariasi. Di Indonesia, prevalensi asma pada
anak berusia 6-7 tahun sebesar 3% dan untuk usia 13-14 tahun sebesar 5,2%. Berdasarkan
laporan National Center for Health Statistics (NCHS), prevalensi serangan asma pada anak usia
0-17 tahun adalah 57 per 1000 anak (jumlah anak 4,2 juta) dan pada dewasa > 18 tahun adalah
38 per 1000 (jumlah dewasa 7,8 juta). Sebelum masa pubertas, prevalensi asma pada laki-laki 3
kali lebih banyak dibanding perempuan, selama masa remaja prevalensinya hampir sama dan
pada dewasa laki-laki lebih banyak menderita asma dibanding wanita.6

3
Klassifikasi
Asma dapat diklasifikasikan pada saat tanpa serangan dan pada saat serangan.m
Tidak ada satu pemeriksaan tunggal yang dapat menentukan berat-ringannya suatu penyakit,
pemeriksaan gejala-gejala dan uji faal paru berguna untuk mengklasifikasi penyakit menurut
berat ringannya. Klasifikasi itu sangat penting untuk penatalaksanaan asma. Berat ringan asma
ditentukan oleh berbagai faktor seperti gambaran klinis sebelum pengobatan (gejala, eksaserbasi,
gejala malam hari, pemberian obat inhalasi b-2 agonis, dan uji faal paru) serta obat-obat yang
digunakan untuk mengontrol asma (jenis obat, kombinasi obat dan frekuensi pemakaian obat).
Asma dapat diklasifikasikan menjadi intermiten, persisten ringan, persisten sedang dan persisten
berat.9
Global Initiative for Asthma (GINA) melakukan pembagian derajat serangan asma
berdasarkan gejala dan tanda klinis, uji fungsi paru, dan pemeriksaan laboratorium. Derajat
serangan menentukan terapi yang akan diterapkan. Klasifikasi tersebut adalah asma serangan
ringan, asma serangan sedang, dan asma serangan berat.7 Dalam hal ini perlu adanya pembedaan
antara asma kronik dengan serangan asma akut. Dalam melakukan penilaian berat ringannya
serangan asma, tidak harus lengkap untuk setiap pasien. Penggolongannya harus diartikan
sebagai prediksi dalam menangani pasien asma yang datang ke fasilitas kesehatan dengan
keterbatasan yang ada. 7,10
Tabel 1. Klasiikasi Asma pada Anak10

4
Tabel 2. Penilaian Derajat Serangan Asma8

5
Patofisiologi
Inflamasi saluran napas yang ditemukan pada pasien asma diyakini merupakan hal yang
mendasari gangguan fungsi. Respon terhadap inflamasi pada mukosa saluran napas pasien asma
ini menyebabkan hiperreaktifitas bronkus yang merupakan tanda utama asma. Pada saat terjadi
hiperreaktivitas saluran napas sejumlah pemicu dapat memulai gejala asma. Pemicu ini meliputi
respon hipersensitivitas tipe 1 (dimedisi 1gE) terhadap alergen debu rumah dan serbuk sari yang
tersensitisasi, iritan seperti udara dingin, polutan atau asap rokok, infeksi virus, dan aktivitas
fisik/olahraga. Hiperreaktivitas saluran napas akan menyebabkan obstruksi saluran napas
menyebabkan hambatan aliran udara yang dapat kembali secara spontan atau setelah pengobatan.
Proses patologis utama yang mendukung obstruksi saluran napas adalah edema mukosa,
kontraksi otot polos dan produksi mukus. Obstruksi terjadi selama ekspirasi ketika saluran napas
mengalami volume penutupan dan menyebabkan gas di saluran napas terperangkap. Bahkan,
pada asma yang berat dapat mengurangi aliran udara selama inspirasi. Sejumlah karakteristik
anatomi dan fisiologi memberi kecenderungan bayi dan anak kecil terhadap peningkatan risiko
obstruksi saluran napas antara lain ukuran saluran napas yang lebih kecil, recoil elastic paru yang
lebih lemah, kurangnya bantuan otot polos saluran napas kecil, hiperplasia kelenjar mukosa
relatif dan kurangnya saluran ventilasi kolateral (pori cohn) antar alveolus.5-8

Gambar 1. Gambaran saluran nafas.12

6
Patogenesis9,13,14
Pada sekitar tahun 1970, asma diartikan sebagai sumbatan jalan napas yang timbul
mendadak, dan akan membaik secara spontan atau dengan pengobatan. Mekanisme utama
timbulnya gejala asma diakibatkan hiperreaktivitas bronkus, sehingga pengobatan utama asma
adalah untuk mengatasi bronkospasme.10,13
Konsep terkini yaitu asma merupakan suatu proses inflamasi kronik yang khas,
melibatkan dinding saluran respiratorik, menyebabkan terbatasnya aliran udara dan peningkatan
reaktivitas saluran napas. Gambaran khas adanya inflamasi saluran respiratorik adalah aktivasi
eosinofil, sel mast, makrofag, dan sel limfosit T pada mukosa dan lumen saluran respiratorik.
Proses inflamasi ini terjadi meskipun asmanya ringan atau tidak bergejala.10,13
Pada banyak kasus terutama pada anak dan dewasa muda, asma dihubungkan dengan
manifestasi atopi melalui mekanisme IgE-dependent. Pada populasi diperkirakan faktor atopi
memberikan kontribusi pada 40% penderita asma anak dan dewasa.5,8
Reaksi imunologik yang timbul akibat paparan dengan alergen pada awalnya
menimbulkan fase sensitisasi. Akibatnya terbentuk IgE spesifik oleh sel plasma. IgE melekat
pada reseptor Fc pada membran sel mast dan basofil. Bila ada rangsangan berikutnya dari
alergen serupa, akan timbul reaksi asma cepat (immediate asthma reaction). Terjadi degranulasi
sel mast dan dilepaskan mediator-mediator seperti histamin, leukotrien C4 (LTC4), prostaglandin
D2 (PGD2), tromboksan A2 dan tryptase. Mediator-mediator tersebut menimbulkan spasme otot
bronkus, hipersekresi kelenjar, edema, peningkatan permeabilitas kapiler, disusul dengan
akumulasi sel eosinofil. Gambaran klinis yang timbul adalah serangan asma akut. Keadaan ini
akan segera pulih kembali serangan asma hilang dengan pengobatan.5,8
Mediator inflamasi yang berperan merupakan mediator inflamasi yang meningkatkan
proses keradangan, mempertahankan proses inflamasi. Mediator inflamasi tersebut akan
membuat kepekaan bronkus berlebihan, sehingga bronkus mudah konstriksi, kerusakan epitel,
penebalan membrana basalis dan terjadi peningkatan permeabilitas bila ada rangsangan spesifik
maupun non spesifik. Secara klinis, gejala asma menjadi menetap, penderita akan lebih peka
terhadap rangsangan. Kerusakan jaringan akan menjadi irreversibel bila paparan berlangsung
terus dan penatalaksanaan kurang adekuat.10,13
Sejalan dengan proses inflamasi kronik, perlukaan epitel bronkus merangsang proses
reparasi saluran respiratorik yang menghasilkan perubahan struktural dan fungsional yang
menyimpang pada saluran respiratorik yang dikenal dengan istilah remodeling atau repair. Pada
proses remodeling yang berperan adalah sitokin IL4, TGF beta dan Eosinophil Growth Factor

7
(EGF). TGF beta merangsang sel fibroblast berproliferasi, epitel mengalami hiperplasia,
pembentukan kolagen bertambah. Akibat proses remodeling tersebut terjadi pelepasan epitel
yang rusak, jaringan membrana basalis mukosa menebal (pseudothickening), hiperplasia
kelenjar, edema submukosa, infiltrasi sel radang dan hiperplasia otot. Perubahan semacam ini
tidak memberikan perbaikan klinis, tetapi mengakibatkan penyempitan lumen bronkus yang
persisten dan memberikan gambaran klinis asma kronis.10,13
Menurut paradigma yang lampau, proses remodeling terjadi akibat kerusakan epitel
bronkus yang disebabkan oleh proses inflamasi kronis. Sehingga apabila obat antiinflamasi tidak
diberikan sedini mungkin sebagai profilaksis, maka inflamasi berlangsung terus dan obstruksi
saluran napas menjadi irreversibel dan proses remodeling bertambah hebat. Pada penelitian
terhadap anak dengan riwayat keluarga atopi yang belum bermanifestasi sebagai asma ternyata
ditemukan infiltrasi eosinofil dan penebalan lamina retikularis. Hal ini mencurigakan bahwa
proses remodeling telah terjadi sebelum atau bersamaan dengan proses inflamasi. Apabila
intervensi dini diberikan segera setelah gejala asma timbul, bisa jadi tindakan kita telah terlambat
untuk mencegah terjadinya proses remodeling.10,13

8
Manifestasi Klinis1,7,9
Anamnesis harus dilakukan secara tepat agar memperoleh riwayat penyakit yang akurat
pada pasien asma. Anamnesis pada pasien asma terutama mengenai gejala sulit bernafas, mengi,
atau batuk yang bersifat episodik dan berkaitan dengan musim. Setelah memastikan seorang
anak mengalami mengi atau batuk, selanjutnya adalah mengidentifikasi pola dan derajat gejala.
Pola gejala dibedakan gejala timbul saat infeksi virus atau timbul di antara batuk pilek biasa.
Apabila tidak bersamaan dengan infeksi virus, faktor pencetus timbulnya gejala batuk dan mengi
tersebut harus ditentukan. Faktor pencetus tersebut dapat berupa aktivitas, emosi, debu, bulu
binatang, suhu lingkungan, aerosol/aroma yang tajam, asap rokok atau asap dari perapian.
Derajat berat ringannya gejala harus ditentukan untuk menentukan penatalaksanaan yang akan
diberikan. Adanya faktor risiko seperti riwayat penyakit alergi lainnya (rhinitis dan atopic
dermatitis) dan riwayat asma pada keluarga juga mendukung diagnosis asma.
1. Apakah anak mengalami serangan mengi atau serangan mengi berulang?
2. Apakah anak sering terganggu oleh batuk pada malam hari?
3. Apakah anak mengalami mengi atau batuk setelah berolahraga?
4. Apakah anak mengalami gejala mengi, dada terasa berat, atau batuk setelah terpajan
alergen atau polutan?
5. Apakah jika mengalami pilek, anak membutuhkan >10 hari untuk sembuh?
6. Apakah gejala klinis membaik setelah pemberian pengobatan anti-asma?

Gejala asma terdiri dari trias dispnea, batuk dan mengi. Pada bentuk yang paling khas,
asma merupakan penyakit episodik dan keseluruhan tiga gejala tersebut dapat timbul bersama-
sama. Berhentinya episode asma kerapkali ditandai dengan batuk yang menghasilkan lendir atu
mukus yang lengket seperti benang yang liat. (Tabel 4)7
Tabel 4. Manifestasi Klinis 7
Parameter klinis,
fungsi paru, Ringan Sedang Berat
Laboratorium
Ancaman
Tanpa
ancaman henti

9
henti napas napas

Sesak (breathless) Berjalan Berbicara Istirahat


Bayi: menangis Bayi: - tangis
keras pendek dan Bayi: tidak mau
lemah minum/makan
- kesulitan
menyusu/
makan

Posisi Bisa berbaring Lebih suka duduk Duduk bertopang


Lengan

Bicara Kalimat Penggal kalimat Kata-kata

Kesadaran Mungkin irritable Biasanya iritable Biasanya iritable Kebingungan


Sianosis Tidak ada Tidak ada Ada Nyata
Mengi Sedang, sering Nyaring, Sangat nyaring, Sulit/tidak
hanya pada akhir sepanjang
ekspirasi ekspirasi terdengar tanpa terdengar
stetoskop
+ inspirasi sepanjang
Ekspirasiodan
inspirasi
Gerakan
Penggunaan otot Biasanya tidak Biasanya ya Ya paradoks
torako-
bantu respiratorikk abdominal

10
Dangkal /
Retraksi Dangkal, Sedang, Dalam, hilang
retraksi intercostal ditambah retraksi ditambah napas
suprasternal cuping hidung

Frekuensi napas Takipnea Takipnea Takipnea Bradipnea

Diagnosis1,7,14
Diagnosis asma didasari oleh gejala yang bersifat episodik, gejala berupa batuk, sesak
napas, mengi, rasa berat di dada dan variabilitas yang berkaitan dengan cuaca. Anamnesis yang
baik cukup untuk menegakkan diagnosis, ditambah dengan pemeriksaan jasmani dan pengukuran
faal paru terutama reversibiltas kelainan faal paru akan lebih meningkatkan nilai diagnostik.
Rumusan dari alur diagnostik pada pasien anak menurut IDAI adalah seperti berikut. (Gambar
4)7

11
Gambar 2. Alur Diagnostik IDAI untuk Pasien Anak.7

 Riwayat penyakit atau gejala :


1. Bersifat episodik, seringkali reversibel dengan atau tanpa pengobatan.
2. Gejala berupa batuk berdahak, sesak napas, rasa berat di dada.
3. Gejala timbul/memburuk terutama malam/dini hari.
4. Diawali oleh faktor pencetus yang bersifat individu.
5. Responsif terhadap pemberian bronkodilator.
 Hal lain yang perlu dipertimbangkan dalam riwayat penyakit
1. Riwayat keluarga (atopi).
2. Riwayat alergi/atopi.
3. Penyakit lain yang memberatkan.
4. Perkembangan penyakit dan pengobatan.

Serangan batuk dan mengi yang berulang lebih nyata pada malam hari atau bila ada
beban fisik sangat karakteristik untuk asma. Walaupun demikian cukup banyak asma anak
dengan batuk kronik berulang, terutama terjadi pada malam hari ketika hendak tidur, disertai
sesak, tetapi tidak jelas mengi dan sering didiagnosis bronkitis kronik. Pada anak yang demikian,
yang sudah dapat dilakukan uji faal paru (provokasi bronkus) sebagian besar akan terbukti
adanya sifat-sifat asma. Batuk malam yang menetap dan yang tidak tidak berhasil diobati dengan
obat batuk biasa dan kemudian cepat menghilang setelah mendapat bronkodilator, sangat
mungkin merupakan bentuk asma.

Pemeriksaan fisik
o Gejala asma bervariasi sepanjang hari sehingga pada asma ringan dan sedang tidak
ditemukan kelainan fisik di luar serangan.
o Pada inspeksi terlihat pernapasan cepat dan sukar, disertai batuk-batuk paroksismal,
kadang-kadang terdengar suara mengi, ekspirasi memanjang, terlihat retraksi daerah
supraklavikular, suprasternal, epigastrium dan sela iga. Pada asma kronik bentuk toraks
emfisematous, bongkok ke depan, sela iga melebar, diameter anteroposterior toraks
bertambah.

12
o Pada perkusi terdengar hipersonor seluruh toraks, terutama bagian bawah posterior.
Daerah pekak jantung dan hati mengecil.
o Pada auskultasi bunyi napas kasar/mengeras, pada stadium lanjut suara napas melemah
atau hampir tidak terdengar karena aliran udara sangat lemah. Terdengar juga ronkhi
kering dan ronkhi basah serta suara lender bila sekresi bronkus banyak.
o Pada serangan ringan, mengi hanya terdengar pada waktu ekspirasi paksa. Mengi dapat
tidak terdengar (silent chest) pada serangan yang sangat berat disertai gejala sianosis,
gelisah, sukar bicara, takikardi, hiperinflasi dan penggunaan obat bantu napas.
Tinggi dan berat badan perlu diperhatikan dan bila mungkin bila hubungannya dengan
tinggi badan kedua orang tua. Asma sendiri merupakan penyakit yang dapat menghambat
perkembangan anak. Gangguan pertumbuhan biasanya terdapat pada asma yang sangat berat.
Anak perlu diukur tinggi dan berat badannya pada tiap kali kunjungan, karena akibat pengobatan
sering dapat dinilai dari perbaikan pertumbuhannya.

Pemeriksaan Penunjang
Fungsi Paru
Diagnosis asma biasanya berdasarkan diagnosis klinis, namun pemeriksaan fungsi paru
akan sangat mendukung diagnosis asma. Tujuan pemeriksaan fungsi paru adalah untuk menilai
derajat obstruksi jalan nafas, reversibilitas dan variabilitasnya. Berguna untuk menilai asma
meliputi diagnosis dan penatalaksanaannya. Pengukuran faal paru digunakan untuk menilai :
1. Derajat obstruksi bronkus
2. Menilai hasil provokasi bronkus
Pemeriksaan faal paru yang penting pada asma adalah PEFR, FEV1, PVC, FEV1/FVC.
Sebaiknya tiap anak dengan asma di uji faal parunya pada tiap kunjungan. “peak flow meter”
adalah yang paling sederhana, sedangkan dengan spirometer memberikan data yang lebih
lengkap. Volume kapasitas paksa (FVC), aliran puncak ekspirasi (PEFR) dan rasio FEV1/FVC
berkurang > 15% dari nilai normalnya. Perpanjangan waktu ekspirasi paksa biasanya ditemukan,
walaupun PEFR dan FEV1/FVC hanya berkurang sedikit. Inflasi yang berlebihan biasanya
terlihat secara klinis, akan digambarkan dengan meningginya isi total paru (TLC), isi kapasitas
residu fungsional dan isi residu. Di luar serangan faal paru tersebut umumnya akan normal
kecuali pada asma yang berat. Uji provokasi bronkus dilakukan bila diagnosis masih diragukan.

13
Tujuannya untuk menunjukkan adanya hiperreaktivitas bronkus. Uji Provokasi bronkus dapat
dilakukan dengan :
1. Histamin
2. Metakolin
3. Beban lari
4. Udara dingin
5. Uap air
6. Alergen
Yang sering dilakukan adalah cara nomor 1, 2 dan 3. Hiperreaktivitas positif bila PEFR, FEV1
turun > 15% dari nilai sebelum uji provokasi dan setelah diberi bronkodilator nilai normal akan
tercapai lagi. Bila PEFR dan FEV1 sudah rendah dan setelah diberi bronkodilator naik > 15%
yang berarti hiperreaktivitas bronkus positif dan uji provokasi tidak perlu dilakukan.

Penilaian status alergi


Asma berhubungan kuat dengan rhinitis alergi, oleh karena itu adanya alergi
meningkatkan kemungkinan diagnosis asma, alergi pada pasien dapat diidentifikasi melalui tes
kulit dan pemeriksaan IgE spesifik dalam serum, selain itu penilaian status alergi ini dapat
membantu mengidentifikasi faktor pencetus yang menyebabkan asma pada pasien. Komponen
alergi pada asma dapat diidentifikasi melalui pemeriksaan uji kulit atau pengukuran IgE spesifik
serum.
Uji kulit adalah cara utama untuk mendignosis status alergi/atopi, umumnya dilakukan
dengan prick test. Alergen yang digunakan adalah alergen yang banyak didapat di daerahnya.
Walaupun uji kulit merupakan cara yang tepat untuk diagnosis atopi, dapat juga mendapatkan
hasil positif palsu maupun negative palsu. Sehingga konfirmasi terhadap pajanan alergen yang
relevan dan hubungannya dengan gejala klinik harus selalu dilakukan. Untuk menentukan hal itu,
sebenarnya ada pemeriksaan yang lebih tepat, yaitu uji provokasi bronkus dengan alergen yang
bersangkutan. Reaksi uji kulit alergi dapat ditekan dengan pemberian antihistamin
Pemeriksaan IgE spesifik dapat memperkuat diagnosis dan menentukan
penatalaksaannya. Pengukuran IgE spesifik dilakukan pada keadaan uji kulit tidak dapat
dilakukan (antara lain dermatophagoism, dermatitis/kelainan kulit pada lengan tempat uji kulit
dan lain-lain). Pemeriksaan kadar IgE total tidak mempunyai nilai dalam diagnosis alergi/atopi.

14
Penilaian status alergi dengan uji kulit atau pemeriksaan IgE spesifik dalam serum tidak
banyak membantu diagnosis asma, tetapi pemeriksaan ini dapat membantu menentukan faktor
risiko atau pencetus asma. Tes alergi untuk kelompok usia <5 tahun dapat digunakan untuk hal-
hal berikut ini:
1. menentukan apakah anak atopi,
2. mengarahkan manipulasi lingkungan,
3. memprediksi prognosis anak dengan mengi.
Uji kulit maupun pemeriksaan kadar IgE total mempunyai nilai negatif palsu yang tinggi,
tetapi jika positif, hasilnya bermakna. Penelitian TCRS menunjukkan bahwa nilai IgE total yang
tinggi pada usia <1 tahun (tetapi tidak pada saat lahir) merupakan faktor yang dapat
memprediksi tingginya IgE pada usia 6 tahun dan 11 tahun dan berhubungan dengan mengi
berkepanjangan, sebaliknya anak dengan mengi pada tahun pertama kehidupan tetapi memiliki
IgE normal, akan sembuh dari gejala mengi.

Tatalaksana
Sebelum memberikan terapi, tujuan terapi harus jelas terlebih dahulu. Pembagian tingkat
pengendalian adalah seperti di bawah.10

15
Tatalaksana Medikamentosa
Tatalaksana dari GINA untuk umur anak ≤ 5. (Gambar 3)1

Tatalaksana dari GINA untuk umur anak 12 tahun ke atas.1

16
Gambar 4. Tatalaksana (12 tahun ke atas)1

Tatalaksana dari GINA untuk umur anak 6-11 Tahun. 1

Gambar 5. Tatalaksana (6-11 tahun)

Obat – obat Pereda (Reliever)1,7-9


Bronkodilator
a. Short-acting β2 agonist
Merupakan bronkodilator terbaik dan terpilih untuk terapi asma akut pada anak. Reseptor
β2 agonist berada di epitel jalan napas, otot pernapasan, alveolus, sel-sel inflamasi, jantung,
pembuluh darah, otot lurik, hepar, dan pankreas. Obat ini menstimulasi reseptor β2 adrenergik
menyebabkan perubahan ATP menjadi cyclic-AMP sehingga timbul relaksasi otot polos jalan
napas yang menyebabkan terjadinya bronkodilatasi. Efek lain seperti peningkatan klirens
mukosilier, penurunan permeabilitas vaskuler, dan berkurangnya pelepasan mediator sel mast.
Suherman SK
 Epinefrin/adrenalin
Tidak direkomendasikan lagi untuk serangan asma kecuali tidak ada β2 agonis selektif.
Epinefrin menimbulkan stimulasi pada reseptor β1, β2, dan α sehingga menimbulkan efek
samping berupa sakit kepala, gelisah, palpitasi, takiaritmia, tremor, dan hipertensi.
Pemberian epinefrin aerosol kurang menguntungkan karena durasi efek bronkodilatasinya
hanya 1-1,5 jam dan menimbulkan efek samping, terutama pada jantung dan CNS.
 β2 agonis selektif (Suherman SK. Ascobat P ; 2008)

17
Obat yang sering dipakai : salbutamol, terbutalin, fenoterol.
o Dosis salbutamol oral : 0,1 - 0,15 mg/kgBB/kali , setiap 6 jam.
o Dosis tebutalin oral : 0,05 – 0,1 mg/kgBB/kali , setiap 6 jam.
o Dosis fenoterol : 0,1 mg/kgBB/kali , setiap 6 jam.
o Dosis salbutamol nebulisasi : 0,1 - 0,15 mg/kgBB (dosis maksimum 5mg/kgBB),
interval 20 menit, atau nebulisasi kontinu dengan dosis 0,3 – 0,5 mg/kgBB/jam (dosis
maksimum 15 mg/jam). Dosis terbutalin nebulisasi : 2,5 mg atau 1 respul/nebulisasi.
Pemberian oral menimbulkan efek bronkodilatasi setelah 30 menit, efek puncak dicapai dalam 2
– 4 jam, lama kerjanya sampai 5 jam.
Pemberian inhalasi (inhaler/nebulisasi) memiliki onset kerja 1 menit, efek puncak
dicapai dalam 10 menit, lama kerjanya 4 – 6 jam.
Serangan ringan : MDI 2 – 4 semprotan tiap 3 – 4 jam.
Serangan sedang : MDI 6 – 10 semprotan tiap 1 – 2 jam.
Serangan berat : MDI 10 semprotan.
Pemberian intravena dilakukan saat serangan asma berat ksrena pada keadaan ini obat
inhalasi sulit mencapai bagian distal obstruksi jalan napas. Efek samping takikardi lebih sering
terjadi.
Dosis salbutamol IV : mulai 0,2 mcg/kgBB/menit, dinaikkan 0,1 mcg/kgBB setiap 15 menit,
dosis maksimal 4 mcg/kgBB/menit.
Dosis terbutalin IV : 10 mcg/kgBB melalui infuse selama 10 menit, dilanjutkan dengan 0,1 – 0,4
ug/kgBB/jam dengan infuse kontinu.
Efek samping β2 agonist antara lain tremor otot skeletal, sakit kepala, agitasi, palpitasi, dan
takikardi.

Methyl xanthine
Efek bronkodilatasi methyl xantine setara dengan β2 agonist inhalasi, tapi karena efek
sampingnya lebih banyak dan batas keamanannya sempit, obat ini diberikan pada serangan asma
berat dengan kombinasi β2 agonist dan anticholinergick.
Efek bronkodilatasi teofilin disebabkan oleh antagonisme terhadap reseptor adenosine
dan inhibisi PDE 4 dan PDE 5. Methilxanthine cepat diabsorbsi setelah pemberian oral, rectal,
atau parenteral. Pemberian teofilin IM harus dihindarkan karena menimbulkan nyeri setempat

18
yang lama. Umumnya adanya makanan dalam lambung akan memperlambat kecepatan absorbsi
teofilin tapi tidak mempengaruhi derajat besarnya absorpsi. Metilxanthine didistribusikan
keseluruh tubuh, melewati plasenta dan masuk ke air susu ibu. Eliminasinya terutama melalui
metabolism hati, sebagian besar dieksresi bersama urin.
Dosis aminofilin IV inisial bergantung kepada usia :
 1 – 6 bulan : 0,5mg/kgBB/Jam
 6 – 11 bulan : 1 mg/kgBB/Jam
 1 – 9 tahun : 1,2 – 1,5 mg/kgBB/Jam
 > 10 tahun : 0,9 mg/kgBB/Jam
Efek samping obat ini adalah mual, muntah, sakit kepala. Pada konsentrasi yang lebih
tinggi dapat timbul kejang, takikardi dan aritmia.
1. Anticholinergics
Obat yang digunakan adalah Ipratropium Bromida. Kombinasi dengan nebulisasi β2
agonist menghasilkan efek bronkodilatasi yang lebih baik. Dosis anjuran 0, 1 cc/kgBB,
nebulisasi tiap 4 jam.
Obat ini dapat juga diberikan dalam larutan 0,025 % dengan dosis : untuk usia diatas 6
tahun 8 – 20 tetes; usia kecil 6 tahun 4 – 10 tetes. Efek sampingnya adalah kekeringan atau rasa
tidak enak dimulut. Antikolinergik inhalasi tidak direkomendasikan pada terapi asma jangka
panjang pada anak.
2. Kortikosteroid
Kortikosteroid sistemik terutama diberikan pada keadaan :
 Terapi inisial inhalasi β2 agonist kerja cepat gagal mencapai perbaikan yang cukup lama.
 Serangan asma tetap terjadi meski pasien telah menggunakan kortikosteroid hirupan
sebagai kontroler.
 Serangan ringan yang mempunyai riwayat serangan berat sebelumnya.
Kortikosteroid sistemik memerlukan waktu paling sedikit 4 jam untuk mencapai
perbaikan klinis, efek maksimum dicapai dalan waktu 12 – 24 jam. Preparat oral yang di pakai
adalah prednisone, prednisolon, atau triamsinolon dengan dosis 1 – 2 mg/kgBB/hari diberikan 2
– 3 kali sehari selama 3 – 5 kali sehari.
Kortikosteroid tidak secara langsung berefek sebagai bronkodilator. Obat ini bekerja
sekaligus menghambat produksi sitokin dan kemokin, menghambat sintesis eikosainoid,

19
menghambat peningkatan basofil, eosinofil dan leukosit lain di jaringan paru dan menurunkan
permeabilitas vascular.
Metilprednisolon merupakan pilihan utama karena kemampuan penetrasi kejaringan paru
lebih baik, efek anti inflamasi lebih besar, dan efek mineralokortikoid minimal. Dosis
metilprednisolon IV yang dianjurkan adalah 1 mg/kgBB setiap 4 sampai 6 jam. Dosis
Hidrokortison IV 4 mg/kgBB tiap 4 – 6 jam. Dosis dexamethasone bolus IV 0,5 – 1 mg/kgBB
dilanjtkan 1 mg/kgBB/hari setiap 6 – 8 jam. (Suherman SK. Ascobat P ; 2008)

Obat – Obat Pengontrol


Obat – obat asma pengontrol pada anak – anak termasuk inhalasi dan sistemik
glukokortikoid, leukotrien modifiers, long acting inhaled β2-agonist, theofilin, cromones, dan
long acting oral β2-agonist.
1. Inhalasi glukokortikosteroid
Glukokortikosteroid inhalasi merupakan obat pengontrol yang paling efektif dan
direkomendasikan untuk penderita asma semua umur. Intervensi awal dengan penggunaan
inhalasi budesonide berhubungan dengan perbaikan dalam pengontrolan asma dan mengurangi
penggunaan obat-obat tambahan. Terapi pemeliharaan dengan inhalasi glukokortikosteroid ini
mampu mengontrol gejala-gejala asma, mengurangi frekuensi dari eksaserbasi akut dan jumlah
rawatan di rumah sakit, meningkatkan kualitas hidup, fungsi paru dan hiperresponsif bronkial,
dan mengurangi bronkokonstriksi yang diinduksi latihan.
Glukokortikosteroid dapat mencegah penebalan lamina retikularis, mencegah terjadinya
neoangiogenesis, dan mencegah atau mengurangi terjadinya down regulation receptor β2 agonist.
Dosis yang dapat digunakan sampai 400ug/hari (respire anak). Efek samping berupa gangguan
pertumbuhan, katarak, gangguan sistem saraf pusat, dan gangguan pada gigi dan mulut.
2. Leukotriene Receptor Antagonist (LTRA)
Secara hipotesis obat ini dikombinasikan dengan steroid hirupan dan mungkin hasilnya
lebih baik. Sayangnya, belum ada percobaan jangka panjang yang membandingkannya dengan
steroid hirupan + LABA. Keuntungan memakai LTRA adalah sebagai berikut :
 LTRA dapat melengkapi kerja steroid hirupan dalam menekan cystenil leukotriane;
 Mempunyai efek bronkodilator dan perlindungan terhadap bronkokonstriktor;
 Mencegah early asma reaction dan late asthma reaction

20
 Dapat diberikan per oral, bahkan montelukast hanya diberikan sekali per hari.,
penggunaannya aman, dan tidak mengganggu fungsi hati; sayangnya preparat
montelukast ini belum ada di Indonesia;
 Mungkin juga mempunyai efek menjaga integritas epitel, yaitu dengan meningkatkan
kerja epithel growth factor (EGF) dan menekan transforming growth factor (TGF)
sehingga dapat mengendalikan terjadinya fibrosis, hyperplasia, dan hipertrofi otot polos,
serta diharapkan mencegah perubahan fungsi otot polos menjadi organ pro-inflamator.

Ada 2 preparat LTRA :


a. Montelukast
Preparat ini belum ada di Indonesia dan harganya mahal. Dosis per oral 1 kali sehari.(respiro
anak) Dosis pada anak usia 2-5 tahun adalah 4 mg qhs. (gina)
b. Zafirlukast
Preparat ini terdapat di Indonesia, digunakan untuk anak usia > 7 tahun dengan dosis 10 mg
2 kali sehari.
Leukotrin memberikan manfaat klinis yang baik pada berbagai tingkat keparahan asma
dengan menekan produksi cystenil leukotrine. Efek samping obat dapat mengganggu fungsi hati
(meningkatkan transaminase) sehingga perlu pemantauan fungsi hati.
3. Long acting β2 Agonist (LABA)
Preparat inhalasi yang digunakan adalah salmeterol dan formoterol. Pemberian ICS
400ug dengan tambahan LABA lebih baik dilihat dari frekuensi serangan, FEV1 pagi dan sore,
penggunaan steroid oral,, menurunnya hiperreaktivitas dan airway remodeling. Kombinasi ICS
dan LABA sudah ada dalam 1 paket, yaitu kombinasi fluticasone propionate dan salmeterol
(Seretide), budesonide dan formoterol (Symbicort). Seretide dalam MDI sedangkan Symbicort
dalam DPI. Kombinasi ini mempermudah penggunaan obat dan meningkatkan kepatuhan
memakai obat.
4. Teofilin lepas lambat
Teofilin efektif sebagai monoterapi atau diberikan bersama kortikosteroid yang bertujuan
untuk mengontrol asma dan mengurangi dosis pemeliharaan glukokortikosteroid. Tapi efikasi
teofilin lebih rendah daripada glukokortikosteroid inhalasi dosis rendah.
Efek samping berupa anoreksia, mual, muntah, dan sakit kepala, stimulasi ringan SSP,
palpitasi, takikardi, aritmia, sakit perut, diare, dan jarang, perdarahan lambung. Efek samping

21
muncul pada dosis lebih dari 10mg/kgBB/hari, oleh karena itu terapi dimulai pada dosis inisial
5mg/kgBB/hari dan secara bertahap diingkatkan sampai 10mg/kgBB/hari

Algoritme Tatalaksana Kasus Asma Ringan Sedang dan Berat16

Kasus Asma Ringan


Pada serangan ringan pemberian 2-agonis sudah cukup. Pemberian 2-agonis sebaiknya
diberikan secara inhalasi (baik dengan MDI= Metered Dose Inhaler atau DPI=Dry Powder
Inhaler atau nebulisasi). Pada pasien yang menunjukkan respons baik (complete response)
setelah pemberian nebulisasi awal, mempunyai arti bahwa derajat serangannya ringan. Pasien
diobservasi selama 1−2 jam, jika respons tersebut bertahan (klinis tetap baik), pasien dapat
dipulangkan. Pasien dibekali obat bronkodilator (hirupan atau oral) yang diberikan tiap 4−6 jam.
Pada pasien dengan serangan ringan tidak memerlukan kortikosteroid oral kecuali jika pencetus
serangannya adalah infeksi virus, dan ada riwayat serangan asma berat. Kortikosteroid oral
diberikan jangka pendek (3−5 hari), dengan dosis 1−2 mg/kgBB/hari. Kortikosteroid oral yang
dianjurkan adalah golongan prednison dan prednisolon. Pemberian maksimum 12 kali (episode)
pertahun tidak mengganggu pertumbuhan anak. Pasien dianjurkan kontrol ke Klinik Rawat Jalan
dalam waktu 24−48 jam untuk re-evaluasi tatalaksananya. Apabila dalam kurun waktu observasi
gejala timbul kembali, maka pasien diperlakukan sebagai serangan sedang.

Kasus Asma Sedang


Pasien diberikan oksigen, kemudian pasien diobservasi dan ditangani di Ruang Rawat
Sehari. Di RRS, nebulisasi dilanjutkan dengan -agonis + antikolinergik tiap 2 jam atau
kortikosteroid sistemik (oral) metilprednisolon dengan dosis 0.5-1 mg/kgbb/hari selama 3-5 hari.
Bila responsnya baik, frekuensi nebulisasi dikurangi tiap 4 jam, kemudian tiap 6 jam. Jika dalam
12-24 jam klinis tetap baik, maka pasien dipulangkan dan dibekali obat seperti pasien serangan
ringan. Bila dalam 12 jam responsnya tetap tidak baik, maka pasien dialih rawat ke Ruang Rawat
Inap, dan mendapat tatalaksana sebagai serangan berat.

Kasus Asma Berat


Bila dengan 3 kali nebulisasi berturut turut pasien tidak menunjukkan respon (poor

22
response) yaitu gejala dan tanda serangan masih ada (penilaian ulang sesuai pedoman), pasien
harus dirawat di ruang rawt inap. Oksigen 2-4 lpm diberikan sejakawal termasuk saat nebulisasi,
Kemudian dipasang jalur parenteral dan dilakukan foto thoraks. Bila pasien menunjukkan gejala
dan tanda ancaman henti napas, pasien harus langsung dirawat diruang intensif. Pada pasien
dengan serangan berat dan ancaman henti napas, foto thoraks harus langsung dibuat untuk
deteksi komplikasi pneumothoraks atau penumomediastinum. Jika ada dehidrasi dan asidosis,
diatasi dengan pemberian cairan intravena dan koreksi asidosis. Steroid IV diberikan bolus tiap
6-8 jam, dosis 0.5-1 mg/kgbb/hari. Nebulisasi B-agonis + antikolinergik dengan oksigen
dilanjutkan tiap 1-2 jam; jika dengan 4-6 kali pemberian mulai terjadi perbaikan klinis, jarak
pemberian dapat diperlebar menjadi tiap 4-6 jam.
Aminofilin diberikan secara IV dengan ketentuan : jika pssien belum mendapat
sebelumnya diberika dosis inisial sebesar 6-8 mg/kgbb dilarutkan dalam dekstrosa 5 % atau
garam fisiologis 20 ml, diberikan dalam20-30 menit. Jika sudah mendapat sebelumnya (kurang
dari 4 jam), dosisnya setengah dari dosis inisial. Selanjutnya dosis rumatan diberikan sebesar
0.5-1 mg/kgbb/jam. Jika terjadi perbaikan klinis, nebulisasi diteruskan setaip 6 jam sampai
dengan 24 jam. Steroid dan aminofilin diganti dengan oral. Jika dalam 24 jam pasien tetap stabil,
pasien dapat dipulangkan dengan dibekali obat B-agonis (hirupan atau oral) yangdiberikan tiap
4-6 jam selama 24-48 jam. Selain itu, steroid oral dilanjutkan hingga pasien kontrol ke klinik
rawat jalan dalam 24-48 jam pertama. Untuk evaluasi ulang tatalaksana. Ancaman henti napas;
hipoksemia tetap terjadi walaupun sudah diberi oksigen (kadar PaO2 <60 mmHg atau PaCO2 >45
mmHg). Pada ancaman henti napas diperlukan ventilasi mekanik.

Tatalaksana Non Farmakologis1


Pengobatan asma menurut GINA ( Global initiative for Asma). Program penatalaksanaan
asma diantaranya melalui 3 komponen dalam dibawah ini :
1. Edukasi pada anak / keluarganya
Dengan bantuan dokter dan tenaga kesehatan lainnya, anak dan keluarganya akan secara
aktif turut serta dalam penatalaksanaan penyakit asmanya untuk mencegah timbulnya
masalah dan dapat hidup secara produktif. Sehingga dapat menjauhi faktor resiko,
berobat dengan benar, mengetahui perbedaan obat ‘controller’ dan ‘reliever’, monitoring,
mengenali gejala serangan asma dan mencari pertolongan medis secara apropriate.

23
2. Mengidentifikasi dan menghindari factor pencetus
Mengidentifikasi dan menghindari factor pencetus yang dapat menimbulkan proses
inflamasi saluran nafas merupakan tahap pertama pada penatalaksaan penyakit asma.
Menghindari factor pencetus dapat mengurangi gejala dan dalam jangka panjang dapat
menekan proses inflamasi maupun hiperreaktivitas saluran nafas. Yang termasuk induced
trigger antara lain allergen, bahan-bahan kimia yang iritatif, obat-obatan, infeksi virus.
Sedang inciter trigger antara lain exercise, udara dingin, dan emosi, dll.
3. Berobat secara teratur
Untuk memperoleh tujuan pengobatan yang diinginkan, pasien asma pada umumnya
memerlukan pengawasan yang teratur dari tenaga kesehatan. Kunjungan yang teratur
diperlukan untuk menilai hasil pengobatan, cara pemakaian obat, cara menghindari factor
pencetus serta penggunaan alat peak flow meter. Makin baik hasil pengobatan, kunjungan
ini akan semakin jarang.

Komplikasi
Terdapat beberapa komplikasi yang bisa terjadi pada kasus asma yang tidak ditangani
dengan baik. Antaranya termasuklah pneumothoraks. Pneumothoraks adalah keadaan adanya
udara di dalam rongga pleura yang dicurigai bila terdapat benturan atau tusukan dada. Keadaan
ini dapat menyebabkan kolaps paru yang lebih lanjut lagi dapat menyebabkan kegagalan napas.
Selain itu, juga terdapat resiko terjadinya pneumomediastinum dari bahasa Yunani pneuma
“udara”, juga dikenal sebagai emfisema mediastinum adalah suatu kondisi dimana udara hadir di
mediastinum. Pertama dijelaskan pada 1819 oleh Rene Laennec, kondisi ini dapat disebabkan
oleh trauma fisik atau situasi lain yang mengarah ke udara keluar dari paru-paru, saluran udara
atau usus ke dalam rongga dada. Selain itu, penyakit asma yang tidak respon pada terapi asma
yang umunya digunakan.
Status asmatikus adalah salah satu emergensi dan bisa mengakibatkan hipoximia,
hiperkapnia dan dianggap sebagai tahap pertama dari respiratory failure. Gangguan ini terjadi
karena pasien sudah menjadi resistant terhadap pengobatan asma. Tambahan, atalektasis juga
bisa terjadi. Atelektasis adalah pengkerutan sebagian atau seluruh paru-paru akibat penyumbatan
saluran udara (bronkus maupun bronkiolus) atau akibat pernafasan yang sangat dangkal.

24
Aspergilosis juga bisa terjadi yang merupakan penyakit pernapasan yang disebabkan oleh jamur
dan tersifat oleh adanya gangguan pernapasan yang berat. Penyakit ini juga dapat menimbulkan
lesi pada berbagai organ lainnya, misalnya pada otak dan mata. Istilah Aspergilosis dipakai
untuk menunjukkan adanya infeksi Aspergillus sp. Selain itu, gagal napas dapat tejadi bila
pertukaran oksigen terhadap karbodioksida dalam paru-paru tidak dapat memelihara laju
konsumsi oksigen dan pembentukan karbondioksida dalam sel-sel tubuh. Di samping itu bisa
juga terjadi bronchitis. Bronkhitis atau radang paru-paru adalah kondisi di mana lapisan bagian
dalam dari saluran pernapasan di paru-paru yang kecil (bronkhiolis) mengalami bengkak. Selain
bengkak juga terjadi peningkatan produksi lendir (dahak). Akibatnya penderita merasa perlu
batuk berulang-ulang dalam upaya mengeluarkan lendir yang berlebihan, atau merasa sulit
bernapas karena sebagian saluran udara menjadi sempit oleh adanya lender.17

Prognosis
Batuk dan mengi berulang terjadi pada 35% anak prasekolah, sepertiganya akan berlanjut
menjadi asma persisten di kemudian hari dan dua-pertiganya akan membaik seiring
pertumbuhan. Anak dengan asma sedang sampai berat dengan fungsi paru yang menurun akan
menderita asma persisten saat dewasa, sedangkan anak dengan asma ringan dan fungsi paru yang
normal akan membaik seiring pertumbuhan.9

Kesimpulan
Asma didefinisikan sebagai penyakit heterogen berupa gangguan inflamasi kronik
saluran nafas. Penyakit ini didefinisikan dengan gejala berupa mengi, sesak napas, dada terasa
berat, dan batuk yang bervariasi serta keterbatasan aliran udara yang bervariasi. Patofisiologi
asma berupa hiperresponsivitas saluran napas, obstruksi saluran napas dan hipersekresi saluran
napas. Klasifikasias menurut GINA adalah asma episodic jarang, asma episodic sering dan asma
persisten. Sedangkan derajat serangan asma terdiri dari ringan, sedang, berat dan ancaman henti
napas. Tatalaksana asma secara garis besar terdiri dari obat pereda dan obat pengendali. Obat
pereda digunakan saat serangan asma dan obat pengendali saat di luar serangan asma.
Komplikasi yang sering diwaspadai pada penyakit asma bronkiale adalah terjadinya
status asmatikus. Secara garis besar, untuk pasien status asmatikus, pengobatan yang digunakan

25
adalah B2 agonis, antikolinergik (penekanan proses konduksi pada jalur cerebral vestibular),
glukokortikoid (menurunkan produksi mucus serta membaik jalur pernapasan pasien) serta
bronkodilator (methylxanthines dan MgSo4 IV). Pada pasien status asmatikus dengan gejala
CHF, terapi imidazole phophodiesterase 2 inhibiotr digunakan. Penelitaan yang lebih lanjut
sedang dijalankan di Amerika tentang efektivitas lengkap obat enoximone (imidazole
phosphodiesterase 2 inhibitor ini.15

26
Daftar Pustaka

1. GINA. Pocket Guide for Astma Assessment and Management. 1st Ed. GINA commitee;
2020
2. Supriyanto, B. Diagnosis dan penatalaksanaan terkini asma pada anak. 2005. Majalah
Kedokteran Indonesia: 55(3): h. 234-43.

3. Wahani AMI. Karakteristik Asma pada Pasien Anak yang Rawat Inap Di RS Prof.R.D
Kandouw Malalayang, Manado. 2011. Sari Pediatri: 13(4): h. 280-4.

4. Noal RB, Menezes AMB, Macedo SEC, Dumith SC. Childhood body mass index and
risk of asthma in adolescence: a systematic review. Epidemiology Postgraduate Program,
Federal University of Pelotas, Pelotas, Brazil;2010.

5. Pedoman Pengendalian Penyakit Asma. Dapertemen Kesehatan RI. 2016

6. Global Strategy for Asthma Management and Prevention. 2018.

7. Rahajoe N, Kartasasmita CB, Supriyanto B, Setyanto DB. Pedoman Nasional ASMA


Anak. 2nd Ed. Indonesia. UUK Respiralogi PP IDAI; 2016
8. PallapiesD. Trends in childhood disease. Amerika. MutatRes; 2010
9. Andrew H, Ronina A, Spahn JD, Sicherer SH. Childhood Asthma. In: Nelson, Textbook
of Pediatrics. 20th Ed. Vol 1. Philadelphia. Elsevier; 2016
10. UKK Pulmonologi PP IDAI. Pedoman Nasional AsmaAnak. UKK Pulmonologi 2004
11. Bush A. Pathophysiological Mechanisms of Asthma. Front Pediatr. 2019;7:68. Published
2019 Mar 19. doi:10.3389/fped.2019.00068
12. Morris MJ. Asthma. Diunduh dari https://emedicine.medscape.com/article/296301-
overview. Diunduh pada 22 Oktober 2020
13. Global Initiative of Asthma. Diunduh dari https://ginasthma.org/. Diunduh pada 24
Oktober 2020
14. American Academy of Allergy. Diunduh dari https://www.aaaai.org/. Diunduh pada 25
Oktober 2020
15. Rahajoe NN. Tatalaksana jangka panjang asma pada anak. Dalam: Rahajoe NN,
Supriyatno B, Setyanto DB, editor. Buku ajar respirologi anak. Edisi pertama. Jakarta :

27
BP Ikatan Dokter anak Indonesia 2008
16. Buku Pegangan Pembimbing. Asma pada Anak. Diunduh dari
http://spesialis1.ika.fk.unair.ac.id/wp-content/uploads/2017/04/AI06_ASMA-Gabungan-Final-
edit.pdf. Diunduh pada 25 Oktober 2020
17. Saadeh CK. Status asthmaticus. Diunduh dari https://emedicine.medscape.com/article/2129484-
overview#a1. Diunduh pada 25 Oktober 2020

28

Anda mungkin juga menyukai