Anda di halaman 1dari 15

Referat

PENYAKIT GINJAL KRONIK


Diajukan Sebagai Salah Satu Tugas Dalam Menjalani Kepaniteraan Klinik Senior
Pada Bagian/SMF Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Unsyiah/
RSUD dr. Zainoel Abidin Banda Aceh

Disusun Oleh:

Cut Putroe Chalid (1907101030033)


Nadhila (1907101030112)
Rizkia Putri (1907101030124)

PEMBIMBING:

dr. Siti Adewiah, Sp.PD

SMF BAGIAN PENYAKIT DALAM

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SYIAH KUALA

RSUD dr. ZAINOEL ABIDIN BANDA ACEH

2020
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kepada Allah SWT. atas berkat rahmat dan ridha-Nya penulis
dapat menyelesaikan penulisan referat dengan judul “Penyakit Ginjal Kronis”.
Shalawat beserta salam kepada Rasulullah SAW. yang telah membawa umat manusia
dari zaman jahiliyah ke zaman yang penuh ilmu pengetahuan seperti saat ini.
Referat ini disusun berdasarkan salah satu kasus terbanyak di bagian ilmu
penyakit dalam RSUD dr. Zainoel Abidin Banda Aceh. Diharapkan dengan adanya
referat ini, dapat memberikan manfaat dan menambah informasi mengenai penyakit
ginjal kronik. banyaknya kasus.
Selama penulisan referat ini, penulis mendapatkan banyak bimbingan, arahan,
serta ilmu dari banyak pihak. Oleh karena itu, penulis ingin menyampaikan
terimakasih yang sebesar-besarnya kepada pembimbing, yaitu dr. Siti Adewiah,
Sp.PD. Yang telah meluangkan waktunya untuk membimbing dan memberikan
arahan kepada penulis untuk menyelesaikan referat ini. Penulis juga mengucapkan
banyak terimakasih kepada orangtua, keluarga, serta teman-teman yang terus
memberikan motivasi, semangat, dan doa.
Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dan kelemahan dalam
penulisan referat ini. Maka dari itu, dengan segala kerendahan hati penulis
mengharapkan saran dan masukan yang membangun demi penyempurnaan tulisan
ini. Akhir kata, penulis berharap semoga referat ini dapat memberi manfaat bagi
pembaca. Terimakasih.

Banda Aceh, 11 Mei 2020

Penulis

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR............................................................................................................ii
DAFTAR ISI..........................................................................................................................iii
BAB 1......................................................................................................................................1
PENDAHULUAN..................................................................................................................1
BAB II.....................................................................................................................................2
TINJUAN PUSTAKA............................................................................................................2
2.1 Definisi..........................................................................................................................2
2.2 Etiologi..........................................................................................................................2
2.3 Epidemiologi.................................................................................................................3
2.4 Faktor Resiko...............................................................................................................4
2.5 Patofosiologi..................................................................................................................4
2.6 Klasifikasi.....................................................................................................................6
2.7 Diagnosis.......................................................................................................................7
2.8 Tata Laksana................................................................................................................8
BAB III.................................................................................................................................11
KESIMPULAN....................................................................................................................11
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................................12

iii
BAB 1
PENDAHULUAN

Ginjal adalah organ yang penting untuk tubuh manusia yang salah satunya
berfungsi untuk dapat mengatur dan mempertahankan volume, komposisi dan
distribusi cairan tubuh. Kerusakan pada ginjal membuah sampah metabolisme dan air
tidak lagi dikeluarkan. Dalam kadar tertentu sampah yang tidak dikeluarkan akan
menjadi racun bagi tubuh yang dapat menyebabkan kerusakan jaringan bahkan
kematian. [1]
Penyakit Ginjal Kronik (PGK) merupakan sebuah sindrom klinis yang
menyebabkan penurunan fungsi ginjal secara progresif dan bersifat persisten serta
berlangsung lebih dari 3 bulan.[2] Penyakit ginjal kronik dapat terjadi jika terdapat
adanya tanda kerusakan ginjal seperti penampakan albuminuria, abnormalitas pada
sedimen urin, elektrolit, histologi, struktur ginjal, penurunan laju filtrasi glomelurus
serta adanya riwayat transplantasi ginjal. [3]
Saat ini prevelensi terjadinya PGK meningkat di berbagai kalangan wilayah
dunia. Menurut World Health Organization (WHO) penyakit ini berkontribusi dalam
beban penyakit dengan kematian sebesar 850.000 jiwa pertahun. [4] Menurut Annual
Data Repert United Atates Renal Data System memperkirakan peningkatan PGK
terjadi dua kali lipat pada tahun 1998-2008 yaitu sebesar 20-25%/ tahunnya.
Indonesia adalah salah satu dari berbagai negara yang memiliki prevelensi tinggi
pada penyakit gagal ginjal kronik. Hasil survey yang dilakukan perhimpunan
Nefrologi Indonesia (Pernefri) memperkirakan terdapat 12,5% dari populasi atau 25
juta penduduk indonesia mengalami penurunan fungsi ginjal.[5][6]
Kidney Disease Outcomes Quality Initiative membagi gagal ginjak kronik
menjadi lima stadium berdasarkan glomerular filtrate rate (GFR) dimana Ens Stage
Renal Disease (ERDS) adalah stadium terakhir dari PGK yang ditandai adanya
kerusakan ginjal yang terjadi secara permanen. Seluruh populasi yang telah mencapai
stadium akhir dari kerusakan ginjal akan membutuhkan terapi khusus sebagai
pengganti ginjal seperti hemodialisis, peritoneal dialysis dan transplantasi ginjal.[5]

1
BAB II
TINJUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Penyakit Ginjal Kronik (PGK) didefinisikan sebagai penyakit yang dapat
menyebabkan penurunan fungsi ginjal dan kerusakan ginjal secara progresif dengan
Glomerulus Filtrate Rate <60 ml/menit/1,73 yang terjadi selama 3 bulan atau lebih,
sehingga tubuh tidak dapat mempertahankan metabolism serta keseimbangan cairan
elektrtolit yang dapat menyebabkan uremia.[2]

2.2 Etiologi
Penyakit ginjal kronis disebabkan oleh hilangnya sejumlah besar nefron
fungsional yang bersifat irreversibel. Gejala- gejala yang berat akan timbul apabila
jumlah nefron yang berfungsi optimal menurun hingga minimal 70 persen di bawah
normal.[7]
Terdapat begitu banyak penyakit yangg dapat menyebabkan penyakit ginjal
kronis, namun hasilnya sama yaitu penurunan jumlah nefron fungsional. Berikut
beberapa penyebab penyakit ginjal kronis.[7]
1. Gangguan imunologis
a. Glomerulonefritis
b. Poliartritis nodosa
c. Lupus eritematous
2. Gangguan metabolik
a. Diabetes Mellitus
b. Amiloidosis
c. Nefropati Diabetik
3. Gangguan Kardiovaskular
a. Hipertensi

2
3

4. Gangguan pembuluh darah ginjal


a. Arterisklerosis
b. Nefrosklerosis
5. Infeksi
a. Pielonefritis
b. Tuberkulosis
6. Gangguan tubulus primer
a. Nefrotoksin (analgesik, logam berat)
7. Obstruksi traktus urinarius
a. Batu ginjal
b. Hipertopi prostat
c. Konstriksi uretra
8. Kelainan kongenital
a. Penyakit polikistik
b. Tidak adanya jaringan ginjal yang bersifat kongenital (hipoplasia renalis)

2.3 Epidemiologi
Prevalensi dari penyakit ginjal kronik susah untuk ditentukan, karena gejala
yang asimtomatik pada tahap awal dan sedang penyakit. Pada populasi umum,
prevalensi penyakit ginjal kronik diperkirakan sebanyak 10 sampai 14%. Demikian
pula dengan albuminuria dan LFG <60 ml/menit/1,73 m2, masing-masing memiliki
prevalensi 7% dan 3 sampai 5%.[8]
Menurut CDC, diperkirakan ada 37 juta orang di Amerika Serikat yang
mengalami penyakit ginjal kronis dan banyak di antaranya yang tidak terdiagnosis.
Dalam 24 jam terdapat 340 orang yang dilakukukan dialisis yang diakibatkan oleh
penyakit ginjal kronik.[9]

Di Indonesia, menurut Riskesdas tahun 2018 kejadian penyakit ginjal kronis


terbanyak adalah pada rentang usia 64 sampai 75 tahun (8,23%). Angka kejadian
4

lebih banyak pada laki-laki yaitu 4,17% dan perempuan 3,52%. Penduduk yang
tinggal di perkotaan lebih banyak kejadiannya daripada penduduk yang tinggal di
pedesaan. Sedangkan berdasarkan riwayat pekerjaan, didapatkan bahwa tidak bekerja
(4,76), petani (4,64%), PNS/ TNI/Polri/ BUMN/BUMD (4,59%). Untuk prevalensi pasien
yang pernah atau sedang menjalani cuci darah terbanyak adalah provinsi Jakarta, Bali, dan
Yogyakarta.[10]

2.4 Faktor Resiko


Beberapa faktor resiko yang dapat menyebabkan terjadinya penyakit ginjal
kronik adalah :
1. Jenis Kelamin
Secara klinis laki-laki mempunyai risiko lebih tinggi dari pada perempuan.
Hal ini dimungkinkan karena perempuan lebih memperhatikan kesehatan dan
menjaga pola hidup sehat dibandingkan laki-laki. Perempuan juga diketahuilebih
patuh dibandingkan laki-laki dalam menggunakan obat. [4]
2. Usia
Prevelensi PJK meningkat tajam pada kelompok usia 35-44 tahun (0,3%), usia
45-54 tahun (0,4%) dan prevensi tertinggi terajdi pada usia >70 tahun (0,6%). [5]
3. Hipertensi
Hipertensi yang berlangsung lama akan dapat menyebabkan perubahan
resistensi arteriol aferen dan dapat terjadi penyempitan arteriol aferen karena
adanya perubahan srtuktur mikrovaskuler[11]
4. Perokok Aktif
Merokok diketahui sangat berhubungan dengan terjadinya peningkatan
tekanan darah tinggi akibat kandungan nikotin pada rokok. [11]

2.5 Patofosiologi

Patofisiologi penyakit ginjal kronis bergantung pada penyakit yang


mendasarinya, tetapi proses selanjutnya kurang lebih sama yaitu menyebabkan
kerusakan ataupun cedera pada ginjal. Kerusakan pada ginjal akan mengaktifkan
upaya kompensasi berupa hipertofi struktural dan fungsional nefron yang masih

4
5

tersisa. Upaya kompensasi ini diperantarai oleh molekul vasoaktif seperti sitokin dan
growth factors. Sehingga terjadi peningkatan filtrasi dan tekanan kapiler serta aliran
darah reabsorbsi glomerulus dalam setiap nefron yang masih bertahan. Proses
adaptasi ini mampu membuat seseorang mengeksresi air dan zat terlarut dalam
jumlah normal walau dengan penurunan massa ginjal 20- 30 persen normal. Namun,
proses ini hanya berlangsung singkat. Akhirnya akan diikuti oleh proses maladaptasi
berupa sklerosis pada sisa nefron yang ada. Walaupun penyakit dasarnya sudah tidak
aktif lagi, proses ini akan menyebabkan kerusakan lebih lanjut pada sisa nefron.[7,12]
Selain itu, peningkatan filtrasi glomerulus akan mengaktifkan Renin
Angiotensin Aldosteron System (RAAS) yang diperantarai oleh transforming growth
factor β (TGF-β). Peningkatan RAAS berperan dalam terjadinya hipertensi dan
peningkatan permeabilitas glomerulus berperan dalam terjadinya proteinuria.
Beberapa faktor seperti hipertensi, albuminuria, hiperlipidemia, hiperglikemia,
hiperfosfatemia dan diabetes yang tidak terkontrol dapat meningkatkan progresifitas
penyakit ginjal kronis hingga menyebabkan sklerosis dan fibrosis glomerulus maupun
tubulointerstisial.[12]
Pada stadium paling dini PGK, terjadi kehilangan daya cadang ginjal (renal
reserve) dimana LFG masih normal atau meningkat. Tetapi, perlahan akan terjadi
penurunan fungsi nefron yang profresif yang dapat dilihat dari kadar urea dan
kreatinin serum yang meningkat. Ketika LFG mencapai 60%, pasien masih belum
merasakan keluhan, tapi kadar urea dan kreatinin serum sudah meningkat. Hingga
LFG mencapai 30%, mulai timbul keluhan pada pasien seperti mudah lelah, mual,
nafsu makan berkurang, banyak buang air kecil, dan berat badan menurun. Kemudian
perlahan pasien mulai memperlihatkan gejala terhadap cairan tubuh seperti hipo atau
hipervalemia, gangguan keseimbangan elektrolit natrium dan kalium, anemia,
tekanan darah tinggi, gangguan metabolisme fosfor dan kalsium, dan lain-lain. Pasien
juga mudah terinfeksi seperti infeksi saluran nafas, infeksi saluran cerna, infeksi
saluran kemih, dan lain-lain. Ketika LFG mencapai 15% akan timbul tanda, gejala
dan komplikasi yang lebih berat dan pasien memerlukan terapi pengganti ginjal
seperti transplantasi ginjal atau dialisis.[12]
6

2.6 Klasifikasi
Klasifikasi penyakit ginjal kronis dilakukan berdasarkan derajat (stage)
penyakit yang dibuat berdasarkan laju filtrasi glomerulus (LFG). LFG dapat dihitung
menggunakan rumus Kockcroft-Gault, sebagai berikut:
LFG (ml/menit/1,73 m2) = (140 – umur) x berat badan
72 x kreatinin plasma (mg/dl)[13]
Berikut klasifikasi Chronic Kidney Disease berdasarkan Kidney Disease
Outcomes Quality Initiative (KDOQI):

Tabel 1. Klasifikasi penyakit ginjal kronik berdasarkan LFG


Klasifikasi Berdasarkan Keparahan

Deraja LFG
Deskripsi
t Keadaan Klinis
mL/min/1.73
m2

1 Kerusakan ginjal dengan Albuminuria,


GFR Normal atau ≥ 90 proteinuria, hematuria
meningkat

2 Kerusakan ginjal dengan Albuminuria,


60-89
penurunan GFR ringan proteinuria, hematuria

3 Penurunan GFR sedang Insufisiensi ginjal


30-59
kronik

4 Penurunan GFR berat Insufisiensi ginjal


15-29
kronik, pre-ESRD

5 Gagal ginjal < 15 Gagal ginjal, uremia,


ESRD
Atau dialisis

Berdasarkan peningkatan albumin dalam urin, KDIGO 2012


mengklasifikasikan PGK menjadi tiga kategori. Klasifikasi tersebut dapat dilihat pada
tabel 2.[8]

6
7

Tabel 2. Klasifikasi PGK berdasarkan albuminuria


Kategori AER (Albumin ACR (Albumin creatinine Penjelasa
Excretion rate) ratio) (albuminuria)
mg/24jam mg/mmol mg/g
1 < 30 <3 < 30 Normal atau
meningkat
2 30 - 300 3 – 30 30 – 300 Peningkatan
sedang
3 > 300 >30 > 300 Peningkatan
berat

2.7 Diagnosis
1) Gambaran klinis
Biasanya, pada tahap awal penyakit ginjal kronis tidak memperlihatkan gejala.
Gejala sering muncul pada saat stage 4 atau 5. Gejala umum yang sering muncul
yaitu, mual, muntah, kehilangan nafsu makan, mudah lelah, oliguri, dan gangguan
saat tidur. Gejala penyakit ginjal kronis juga sesuai dengan penyakit yang
mendasarinya seperti hipertensi, diabetes mellitus, hiperurikemi, infeksi pada traktus
urinarius, sistema lupus eritomatosus, dan sebagainya. Bila terjadi sindroma uremia,
maka gejala yang terlihat yaitu terdiri dari lemah, anoreksia, mual, muntah, kelebihan
volume cairan (volume overload), nokturia, pruritus, uremic frost, neuropati perifer,
perikarditis, kejang-kejang sampai koma. Bila terjadi komplikasi, maka gejala yang
mungkin timbul adalah seperti hipertensi, anemia, asidosis metabolik, gangguan
keseimbangan metabolik (sodium, kalium, klorida), osteodistrofi renal, dan payah
jantung.[13]

2) Gambaran laboratorium

Gambaran laboratorium pada pasien penyakit ginjal kronik dapat sesuai


dengan gambaran laboratorium penyakit yang mendasarinya. Peningkatan kadar
ureum dan kreatinin serum, serta penurunan LFG yang dihitung menggunakan rumus
Kockcroft-Gault dapat memperlihatkan adanya penurunan fungsi ginjal. Dapat juga
dilakukan pemeriksaan biokimiawi darah yang akan ditemukan adanya penurunan
8

kadar hemoglobin, peningkatan kadar asam urat, hiper atau hipokalemia,


hiperfosfatemia, hipokalsemia, dan asidosis metabolik. Dapat dijumpai pula kelainan
pada urinalisis, meliputi proteinuria, hematuria, leukosituria, dan cast.[13]

3) Gambaran radiologi

Pemeriksaan radiologis yang dapat dilakukan yaitu foto polos abdomen. Pada
foto polos abdomen, bisa terlihat gambaran batu radioopak. Ultrasonografi ginjal
memperlihatkan ukuran ginjal yang mengecil, menipisnya korteks, adanya
hidronefrosis atau batu ginjal, massa, kista, dan kalsifikasi. Pielografi antegrad atau
retrograd dan renografi dikerjakan bila ada indikasi.[13]

2.8 Tata Laksana


Tata laksana penyakit ginjal kronis terdiri dari: 1) Terapi yang spesifik
terhadap penyakit dasarnya. 2) Pencegahan dan terapi terhadap penyakit komorbid
pasien. 3) Perlambatan terhadap memburuknya fungsi ginjal. 4) Pencegahan dan
terapi terhadap penyakit kardiovaskular 5) Pencegahan dan terapi terhadap
komplikasi yang mungkin terjadi. 6) Terapi pengganti ginjal, yaitu seperti dialisis
atau transplantasi ginjal. Beberapa tindakan konservatif yang dapat dilakukan dengan
pengaturan diet pada pasien gagal ginjal kronis. Diet rendah protein merupakan
pilihan diet yang tepat pada kasus ini. Tata laksana sesuai derajat penyakit disajikan
pada Tabel 3.[13]

Tabel 3. Tatalaksana PGK

8
9

GFR (ml/mnt/1,73
Derajat Rencana Tatalaksana
m2)

1 ≥ 90 Terapi penyakit dasar, kondisi komorbid, evaluasi


perburukan fungsi ginjal, dan meminimalisir risiko
kardiovaskular
2 60 – 89 Menghambat perburukan fungsi ginjal
3 30 – 59 Evaluasi dan terapi komplikasi
4 15 – 29 Persiapan terapi pengganti ginjal
5 < 15 Hemodialisa, continuous Ambulatory Peritoneal
Dialyisis (CAPD) dan transplantasi ginjal.

Hemodialis merupakan sebuah cara untuk dadpat mengeluarkan produk sisa


metabolism melalui membrane semipermeable atau disebut dengan dialyzer. Sisa-sisa
metabolisme atau racun yang berasal dari peredaran darahmanusia dapat berupa air,
natrium, kalium, hydrogen, urea, kreatinin, asam urat dan zat lain. Hemodialisis telah
menjadi rutinitas perawatan medis untuk End Stage Renal Disease (ESRD). Salah
satu langkah penting sebelum memulai hemodialisis yaitu mempersiapkan akses
vascular beberapa minggu atau beberapa bulan sebelum hemodialisis. akses vascular
memudahkan dalam perpindahan darah dari mesin ke tubuh pasien. Hemodialisis
umumnya dilakukan dua kali seminggu selama 4-5 jam per sesi pada kebanyakan
pasien ESRD. [14]

Transplantasi ginjal merupakan cara pengobatan yang lebih disukai untuk


pasien gagal ginjal stadium akhir. Namun kebutuhan transplantasi ginjal jauh
melebihi jumlah ketersediaan ginjal yang ada dan biasanya ginjal yang cocok dengan
pasien adalah yang memiliki kaitan keluarga dengan pasien. Sehingga hal ini
membatasi transplantasi ginjal sebagai pengobatan yang dipilih oleh pasien.
Kebanyakan ginjal diperoleh dari donor hidup karena ginjal yang berasal dari kadaver
tidak sepenuhnya diterima karena adanya masalah sosial dan masalah budaya. Karena
kurangnya donor hidup sehingga pasien yang ingin melakukan transplantasi ginjal
harus melakukan operasi diluar negeri. [14]
BAB III
KESIMPULAN

Penyakit Ginjal Kronis atau Chronic Kidney Disease (CKD) merupakan


penyakit ginjal yang ditandai adanya kerusakan dari struktur ginjal lebih dari 3 bulan
yang dengan atau tanpa penurunan LFG < 60 mL/min/1,73 m2, yang bersifat
progresif dan irreversible. Adapun gejala klasik CKD diantaranya adalah edema,
hipertensi dan anemia. Berdasarkan derajat penyakitnya CKD dibagi menjadi 5 stage
yang dinilai dari LFG. Gejala klinis CKD meliputi gejala penyakit dasar, gejala
sindrom uremikum serta gejala komplikasi CKD. Umunya Penatalaksanaan CKD
disesuaikan dengan derajat kerusakan fungsi ginjal. Namun penatalaksanaan gagal
ginjal kronik juga dapat dilakukan secara konsevatif dengan pengaturan diet dan
terapi pengganti ginjal dengan menggunakan hemodialisis, CAPD, dan transplantasi
ginjal.

11
DAFTAR PUSTAKA

1. Nurani VM, Mariyanti S. Gambaran Makna Hidup Pasien Gagal Ginjal Kronik
Yang Menjalani Hemodialisa. Gambaran Makna Hidup Pasien Gagal Ginjal
Kron Yang Menjalani Hemodialisa [Internet] 2013;11(1):1–13. Available
from: http://kesehatan.kompas.com
2. Fitrianasari DL, Tyaswati JE, Srisurani I, Astuti W. Pengaruh Dukungan
Keluarga terhadap Tingkat Depresi Pasien Chronic Kidney Disease Stadium
5D yang Menjalani Hemodialisis di RSD dr . Soebandi Jember Kidney Disease
Stage 5D Patient ’ s during Hemodialysis at dr . Soebandi Hospital Jember ). e-
Jurnal Pustaka Kesehat 2017;5(1):164–8.
3. Aisara S, Azmi S, Yanni M. Gambaran Klinis Penderita Penyakit Ginjal
Kronik yang Menjalani Hemodialisis di RSUP Dr. M. Djamil Padang. J
Kesehat Andalas 2018;7(1):42.
4. Arifa SI, Azam M, Handayani OWK. Faktor Yang Berhubungan Dengan
Kejadian Penyakit Ginjal Kronik Pada Penderita Hipertensi Di Indonesia.
Media Kesehat Masy Indones 2017;13(4):319.
5. Wiwit Febrina Y& SR. Korelasi Lama Hemodialisa Dengan Fungsi Kognitif
REAL. Real Nurs J 2018;1(1):1–8.
6. Ariyanto A, Hadisaputro S, Lestariningsih L, Adi MS. Beberapa Faktor Risiko
Kejadian Penyakit Ginjal Kronik (PGK) Stadium V pada Kelompok Usia
Kurang dari 50 Tahun. J Epidemiol Kesehat Komunitas 2018;3(1):1.
7. Hall G&. Fisiologi Kedokteran. Jakarta: EGC; 2016.
8. Vaidya, Satyarana R. NRA. Chronic Renal Failure. 2019;
9. CDC. Chronic Kidney Disease Initiative. 2020;
10. Riskesdas. Hasil Utama Riset Kesehatan Dasar. Kementeri. Kesehat.
RI2018;59–62.
11. Logani I, Tjitrosantoso H, Yudistira A. Faktor Risiko Terjadinya Gagal Kronik
di RSUP Prof. Dr. R. D.Kandou Manado. J Ilm Farm 2017;6(3):128–36.
12. Tarigan E, Juli T. Ketoasidosis Diabetik. 2014.
13. Ketut Suwitra. Penyakit Ginjal Kronis. In: PAPDI. page 283.
14. Putri HIA, Khairun N. Terapi Konservatif dan Terapi Pengganti Ginjal sebagai
Penatalaksanaan pada Gagal Ginjal Kronik. Majority 2015;4(7):49–54.

12
13

Anda mungkin juga menyukai