Anda di halaman 1dari 48

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan tentang Low Back Pain


1. Definisi Low Back Pain

Nyeri punggung bawah (low back pain) adalah nyeri di daerah

punggung bawah, yang mungkin disebabkan oleh masalah saraf, iritasi otot atau

lesi tulang.Nyeri punggung bawah dapat mengikuti cedera atau trauma

punggung, tapi rasa sakit juga dapat disebabkan oleh kondisi degeneratif seperti

penyakit artritis,osteoporosis atau penyakit tulang lainnya, infeksi virus, iritasi

pada sendi dan cakram sendi, atau kelainan bawaan pada tulang

belakang.Obesitas, merokok, berat badan saat hamil, stres, kondisi fisik yang

buruk, postur yang tidak sesuai untuk kegiatan yangdilakukan, dan posisi tidur

yang buruk juga dapat menyebabkan nyeri punggung bawah (Anonim, 2014).

a. Spasme

Ketegangan di dalam sistem neuromuskular dapat

dimanifestasikan sebagai kontraksi otot secara isometrik yang

terus-menerus. Kontraksi isometrik adalah kontraksi serabut otot

tanpa adanya perubahan panjang otot dan tanpa perubahan posisi

sendi sehingga tidak ada gerakan yang terjadi namun tension


dapat berkembang di dalam serabut ekstra pusat otot. Keadaan ini

biasa dikenal dengan spasme otot.

Spasme otot adalah kontraksi otot secara terus menerus

sebagai respon terhadap perubahan sirkulasi lokal dan perubahan

metabolik yang terjadi ketika otot dalam keadaan kontraksi terus

menerus. Nyeri merupakan hasil dari adanya perubahan sirkulasi

dan metabolik sehingga kontraksi otot menjadi proteksi lesi

utama. Spasme juga sebagai respon otot terhadap infeksi, virus,

dingin, masa immobilisasi yang lama, emosional tension atau

trauma langsung pada otot.

Ketegangan otot sebagai hasil kontraksi otot yang terus

menerus dapat menyebabkan terjadiya iskemik pain karena disana

tidak terjadi siklus rileksasi diantara kontraksi sehingga terjadi

penimbunan sisa sisa metabolik yang dapat menimbulkan nyeri.

Zat zat metabolik yang masih ada dalam otot dapat menjadi lokal

iritasi sepesrti asam laktat dan potassium.

Pada kondisi nyeri pinggang, spasme otot dapat bersifat

sekunder dan primer. (Diana Samara 2004).

b. Nyeri
The International Association for the Study of Pain

memberikan definisi nyeri, yaitu : Suatu perasaan pengalaman

sensorik dan emosional yang tidak menyenangkan akibat adanya

kerusakan suatu jaringan yang nyata atau yang berpotensi rusak

atau menggambarkan seperti itu.

Nyeri adalah pengalaman sensorik dan emosional yang

tidak menyenangkan akibat kerusakan jaringan, baik aktual

maupun potensial, atau yang digambarkan dalam bentuk

kerusakan tersebut.Perasaan nyeri dapat sangat mengganggu

kualitas hidup seseorang.Nyeri merupakan faktor komorbiditas

penting berbagai penyakit. Nyeri dapat dipengaruhi oleh usia,

jenis kelamin, pekerjaan, tingkat pendidikan, budaya, serta

kebiasaan atau gaya hidup individu. Beberapa studi

epidemiologi menunjukan bahwa terdapat variasi faktor-faktor

yang memengaruhi nyeri dalam prevalensi atau insidensi nyeri

di beberapa negara. Jenis penelitian ini ialah deskriptif

retrospektif, dengan menggunakan data rekam medik pasien

nyeri berdasarkan diagnosis, usia, jenis kelamin, pekerjaan, dan

tingkat pendidikan.( Annisa F. Amalia, Theresia Runtuwene, dan

Mieke A. H. N. Kembuan, 2016 ).


c. Penurunan Aktivitas Fungsional

Aktivitas fungsional adalah suatu gambaran kemampuan

pasien low back pain dalam melakukan aktivitas fungsional

sehari-hari seperti perawatan diri, aktivitas mengangkat,

berjalan, duduk, berdiri, tidur dan jongkok. Adapun aktivitas

fungsional yang berhubungan dengan mobilitas lumbal yaitu

aktivitas yang menimbulkan terjadinya gerakan pada daerah

lumbal, misal gerakan mengangkat, mambungkuk, memutar, dan

jongkok (Pramita, 2015).

Aktivitas fungsional yang menggunakan otot yang

berlebihan dapat terjadi pada saat tubuh mempertahankan posisi

dalam jangka waktu yang lama, di mana pada saat itu otot-otot

daerah punggung bawah akan berkontraksi secara terus menerus

untuk mempertahankan postur yang normal. Keadaan tersebut

dapat terjadi pada saat melakukan gerakan yang menimbulkan

beban berlebihan di daerah punggung bawah, misalnya

mengangkat berat dengan posisi yang salah atau gerakan pada

saat aktivitas atau olahraga yang menimbulkan cidera seperti

spasme, tightness, strain atau sprain lumbal. Penggunaan otot-

otot punggung bawah secara berlebihan dapat menimbulkan


nyeri. Adanya nyeri dan spasme otot akan membuat seseorang

takut menggunakan otot punggungnya untuk melakukan

aktivitas fisik secara normal, selanjutnya akan mengakibatkan

perubahan fisiologis pada otot-otot tersebut, yaitu berkurangnya

massa otot (atropi) dan menurunnya kekuatan otot (weakness),

akhirnya individu tersebut akan mengalami penurunan tingkat

aktivitas fungsional (Hills,2006).

d. Penurunan fleksibilitas

Penurunan fleksibilitas erector spine yang disebabkan oleh

adanya problem keterbatasan gerak dapat diatasi oleh berbagai

intervensi fisioterapi, antara lain pemberian latihan William

Flexion exercise. Latihan William Flexion merupakan program

latihan yang bertujuan untuk mengurangi nyeri dan meningkatkan

fleksibilitas. (Mustari Gani, dkk. 2010)

2. Etiologi Low Back Pain

Low Back Pain dapat disebabkan oleh berbagai kelainan yang


terjadi pada tulang belakang, otot, diskus intervertebralis, sendi,
maupun struktur lain yang menyokong tulang belakang.

Kelainan yang terjadi dapat berupa:

a. Kelainan kongenital seperti: kelainan pada facet dan kelainan


pada vertebra (sakralisasi, lumbalisasi, skoliosis)
b. Trauma, gangguan metabolik, degenerasi
c. Infeksi, tumor, kelainan pada alat viscera
d. Kelainan psikogen Kelainan biomekanik, merupakan penyebab
terbanyak. (Djohan Aras, dkk. 2009)

Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi low back pain, sebagai


berikut:

a. Usia

Semakin tua seseorang, semakin tinggi risiko orang tersebut


mengalami penurunan elastisitas pada tulang yang menjadi
pemicu timbulnya gejala LBP. Pada umumnya keluhan
muskuloskeletal mulai dirasakan pada usia kerja yaitu 25-65
tahun.

b. Indeks massa tubuh

Indeks massa tubuh (IMT) merupakan kalkulasi angka dari


berat dan tinggi badan seseorang. Seseorang yang overweight
lebih berisiko 5 kali menderita LBP dibandingkan dengan orang
yang memiliki berat badan ideal. Ketika berat badan bertambah,
tulang belakang akan tertekan untuk menerima beban yang
membebani tersebut sehingga mengakibatkan mudahnya terjadi
kerusakan dan bahaya pada stuktur tulang belakang. Salah satu
daerah pada tulang belakang yang paling berisiko akibat efek
dari obesitas adalah vertebrae lumbal.

c. Beban kerja.
Beban kerja adalah sejumlah kegiatan yang harus
diselesaikan oleh seseorang ataupun sekelompok orang, selama
periode waktu tertentu dalam keadaan normal. Pekerjaan atau
gerakan yang menggunakan tenaga besar akan memberikan
beban mekanik yang besar terhadap otot, tendon, ligamen dan
sendi. Beban yang berat akan menyebabkan iritasi, inflamasi,
kelelahan otot, kerusakan otot, tendon dan jaringan lainnya.

d. Posisi kerja

Posisi janggal adalah posisi tubuh yang menyimpang secara


signifikan dari posisi tubuh normal saat melakukan pekerjaan.
Posisi janggal dapat menyebabkan kondisi dimana transfer
tenaga dari otot ke jaringan rangka tidak efisien sehingga mudah
menimbulkan kelelahan. Termasuk ke dalam posisi janggal
adalah pengulangan atau waktu lama dalam posisi menggapai,
berputar, memiringkan badan, berlutut, jongkok, memegang
dalam posisi statis dan menjepit dengan tangan. Posisi ini
melibatkan beberapa area tubuh seperti bahu, punggung dan
lutut karena daerah inilah yang paling sering mengalami cedera.
(Fauzia Andini, 2015)

3. Anatomi Otot Erector Spine


Merupakan group otot yang luas dan terletak
dalam pada facia lumbodoral, serta muncul dari sesuatu
aponeurosis pada sacrum, crista illiaca dan procesus
spinosus thoraco lumbal. Otot terdiri atas : m.transverso
spinalis, m.longissimus, m.iliocostalis, m.spinalis,
m.paravertebral. Group otot ini merupakan penggerak
utama pada gerakan ekstensi lumbal dan sebagai
stabilisator vertebra lumbal saat tubuh dalam keadaan
tegak (Palastanga &Soames 2012).

Gambar 2.5 M. Erector Spine

(Palastanga & Soames 2012)


4. Biomekanik Lumbal

a. Gerakan fleksi lumbal

Gerakan ini dilakukan oleh otot fleksor yaitu otot

rectus abdominis pada saat gerakan fleksi lumbal, mucleus

palposus akan bergerak kearah posterior sehingga mengulur

serabut annulus fibrosus bagian posterior. Pada sat yang

sama, prosesus artikularis inferior dari vertebra bagian atas

akan bergeser kearah superior dan cenderung bergerak

menjauhi proccssus artikularis superiordari vertebra bagian


bawah sehingga kapsular-ligamenter sendi facet akan

mengalami peregangan secara maksimal serta ligament pada

arcus vertebra bagian (flavum), ligament interspinosus,

ligament supraspinosus dan ligament longitudinal posterior

(Hamill.Jet al,2015).

b. Gerakan Ekstensi lumbal

Gerakan ini dilakukan oleh otot spinalis dorsi, otot

longisimus dorsi dan iliocostalis lumborum. Pada saat

ekstensi lumbal, nucleus pulposus akan mendorong serabut

annulus fibrosus bagian anterior sehingga terjadi penguluran

sementara ligament longitudinal posterior relaks. Pada saat

yang sama, prosesus artikularis dari vertebra bagian bawah

dan atas menjadi saling terkunci, dan prosessus spinosus

dapat saling bersentuhan satu sama lain (Hamill.Jet al,2015).

c. Gerakan rotasi lumbal

Penggerak utama m. iliocostalislumborum untuk

rotasi ipsilateral dan kontralateral, bila otot berkontraksi

terjadi rotasi ke pihak berlawanan oleh m. obliqus eksternus

ahdominis. Pada saat rotasi lumbal, vertebra bagian atas

berotasi terhadap vertebra bagian bawah, tetapi gerakan


rotasi ini hanya terjadi di sckitar pusat rotasi antara

prosessus spinosus dengan prosessus articularis. Diskus

intervertebralis tidak berperan dalam gerakan axial rotasi,

sehingga gerakan rotasi sangat dibatasi oleh orientasi sendi

facet vertebra lumbal (Hamill.J et al,2015).

d. Gerakan Lateral Fleksi

Otot penggerak m. obliqus internus adominis, m.

Rectus abdominis (Hislop and Montgomery, 2013). Pada

saat gerakan lateral fleksi lunbal, corpus vertebra bagian atas

akan bergerak kearah ipsilateral sementara diskus sisi

kontralateral mengalami ketegangan karena nucleus bergeser

kerah kontralateral. Ligament intertransversal sisi

kontralateral mengalami peregangan sementara sisi

ipsilateral relaks. Pada saat yang sama, processus articular

relatif bergeser satu sama lain sehingga processus articularis

inferior sisi ipsilateral dari vertebra atas akan bergerak naik

sementara sisi kontralateral akan bergerak turun (Hamill.J et

al,2015).
Gambar 2.10Arah gerak vertebra
(Hamill.J et al,2015)

5. Patofisiologi
Berbagai struktur yang peka terhadap nyeri terdapat di punggung
bawah. Struktur tersebut adalah periosteum, 1/3 bangunan luar
anulus fibrosus, ligamentum, kapsula artikularis, fasia dan otot.
Semua struktur tersebut mengandung nosiseptor yang peka terhadap
berbagai stimulus (mekanikal, termal, kimiawi). Bila reseptor
dirangsang oleh berbagai stimulus lokal, akan dijawab dengan
pengeluaran berbagai mediator inflamasi dan substansi lainnya, yang
menyebabkan timbulnya persepsi nyeri, hiperalgesia maupun
alodinia yang bertujuan mencegah pergerakan untuk memungkinkan
perlangsungan proses penyembuhan. Salah satu mekanisme untuk
mencegah kerusakan atau lesi yang lebih berat ialah spasme otot
yang membatasi pergerakan. Spasme otot ini menyebabkan iskemia
sekaligus menyebabkan munculnya titik picu (trigger points) yang
merupakan salah satu kondisi nyeri.
Postur membungkuk yang dipertahankan dalam jangka waktu
yang lama disertai dengan kelemahan otot-otot paravertebral
memicu proses adaptasi postur yang berkontribusi terhadap
terjadinya pembebasan abnormal pada tepi anterior dari korpus
vertebra. Pembebanan ini ditransmisikan pada seluruh segmen
tulang belakang termasuk di dalamnya diskus intervertebralis.
Postur hiperekstensi juga berkontribusi terhadap kejadian nyeri
punggung bawah. Ketika posisi tulang belakang dalam keadaan
hiperekstensi, terjadi pembebanan yang sangat besar pada bagian
posterior pillar tulang belakang terutama permukaan processus
articularis pada tulang vertebra yang kontak dengan permukaan
pasangannya. Pembebanan ini menyebabkan stress contact yang
berlebihan antara kedua permukaan sendi, meningkatkan gaya friksi
pada setiap gerakan artokinematika lumbal. Nosiseptor pada facet
joint merespon terhadap pembeban ini dan menghasilkan nyeri pada
punggung bawah yang dikenal dengan istilah hyperextension
syndrome.
Pengaruh faktor mekanik berupa postur yang jelek dan aktifitas
fisik atau gerakan yang berlebihan dapat menyebabkan terjadinya
non spesifik low back pain. Setiap gerakan pada otot tersebut akan
menimbulkan nyeri sekaligus menyebabkan spasme otot. Adanya
spasme pada otot paravertebrae akan membatasi gerakan dari lumbal
terutama pada saat melakukan gerakan membungkuk (fleksi) dan
memutar (rotasi). Adanya nyeri dan spasme otot akan membuat
seseorang takut menggunakan otot punggungnya untuk melakukan
gerakan lumbal, selanjutnya akan terjadi adhesion pada kapsul,
ligament, facet joint dan kecendrungan terjadi crosslink pada serabut
otot. Kondisi ini menyebabkan terjadinya hambatan fungsional pada
lumbal. (Indah. 2015)
B. Tinjauan Tentang Alat Ukur

a. Visual Analog Scale (VAS)

Instrumen ini digunakan untuk menilai kualitas derajat nyeri

yang dialami penderita. Pengukuran derajat nyeri dengan cara

menunjukkan satu titik pada garis skala nyeri ( 1-10cm). satu ujung

menunjukkan tidak nyeri dan ujung lain menunjukkan nyeri hebat.

Panjang garis mulai dari titik tidak nyeri sampai titik yang ditunjuk

menunjukkan besarnya nyeri.Pasien diminta untuk menunjukkan

lokasi nyeri pada sepanjang garis tersebut kemudian diukur dan

dinyatakan dalam centimeter. Dengan keterangan 0 = tidak nyeri

sama sekali dan 10 = sangat nyeri.

Gambar 2.6.Alat Ukur Visual Analog Scale (VAS)

VAS dapat diterapkan pada semua pasien tanpa memandang

bahasa dan dipakai untuk anak berusia 5 tahun ke atas, namun usia
lanjut atau mereka yang kurang berpendidikan mungkin bisa

mengalami kesulitan dalam menggunakan alat ukur VAS (Kasrina K,

2017).

b. Schober Test
Modified schober test adalah salah satu metode yang
terkenal untuk mengukur rentang gerak lumbal karena
merupakan metode yang sederhana, pengukuran yang akurat,
dapat digunakan dimana-mana dan beban yang valid dan mudah
untuk meraba ( Komal Malik, dkk 2016)
Teknik schober test :
Posisi pasien yang di anjurkan adalah posisi berdiri
dengan cervikal, thorakal, lumbal dalam posisi 0˚
tanpa adanya lateral fleksi dan rotasi. Stabilisasi regio pelvis
untuk mencegah adanya anterior tilting.
a. Metode I :
Untuk menentukan luas gerak sendi pada fleksi
thorakal lumbal adalah mengukur jarak antara procesus
spinosus C7 dan S1 dengan alat ukur pita meteran.
Pengukuran awal dibuat saat pasien dalam posisi.
Perbedaan antara pengukuran awal dan akhir
menunjukkan besarnya jarak gerak fleksi thoracal dan lumbal.
Magee menjelaskan bahwa perbedaan 10 cm pada pita
meteran adalah normal untuk pengukuran. Kemudian
dijelaskan bahwa 4 inchi merupakan suatu pengukuran rata-
rata untuk pengukuran rata-rata orang dewasa yang sehat.Zero
starting dan pengukuran selanjutnya dibuat dalam akhir ROM
saat fleksi lumbal
b. Metode II :

Dalam metode ini yang digunakan oleh beberapa


pemeriksa untuk mengukur fleksi thoracal dan lumbal adalah
mengukur jarak antara ujung jari tengah dengan tanah lantai pada
saat akhir ROM fleksi lumbal. Ukuran ujung jari tangan dengan
lantai atau fleksi lumbal merupakan kombinasi untuk fleksi spine
dan fleksi hip sehingga membuat sulit untuk mengisolasi dan
mengukur fleksi spine, oleh karena itu test ini tidak dianjurkan
untuk mengukur fleksi thorakal dan lumbal tetapi dapat
digunakan untuk memeriksa fleksibillitas tubuh secara umum.
(Muh. Akraf. 2012)

c. Metode III :
Ada beberapa langkah dalam metode ini yaitu:
(1) Beri tanda pertama pada titik tengah antara SIPS kanan-kiri.
(2) Beri tanda kedua diatas tanda pertama dengan jarak 10cm.
(3) Beri tanda ketiga dibawah tanda pertama dengan jarak 5cm.
(4) Kemudian pasien diminta untuk fleksi trunk semaksimal
mungkin kemudian ukur jarak dari tanda ketiga ke tanda
kedua melalui tanda pertama dengan garis lurus.
(5) setelah pengukuran selesai semua tanda dihapus dengan
alkohol. ( Komal Malik, dkk 2016)

Interpretasi menurut ( Leo Muchamad Dahlan, 2009): hasil


pengukuran dikurangi 15 cm- fleksi lumbal, normal ≥ 5 cm, jika
selisih jarak kurang dari 3 cm menunjukkan adanya gangguan
fleksi pada lumbal.

Data interpretasi mobilitas spinal di pakai parameter sebagai


berikut:

a. Normal atau derajat I apabila selisih jarak standar dengan


jarak hasil pengukuran ≥ 5cm.
b. Derajat II apabila selisih jarak standar dengan jarak hasil
pengukuran 3,1- 4,9 cm.
c. Derajat III apabila selisih jarak standar dengan jarak hasil
pengukuran 1-3 cm.
d. Derajat IV apabila selisih jarak standar dengan jarak hasil
pengukuran ≤ 1 cm dan saat melakukan fleksi lumbal, yang
fleksi hanyalah lututnya.

c. Oswertry Disability Index (ODI)


Oswestry Disability Index (ODI) adalah indeks yang berasal dari

Oswestry Low Back Pain Questionnaire yang digunakan oleh dokter

dan peneliti untuk mengukur rasa nyeri yang rendah.Pertama kali

dipublikasikan oleh Jeremy Fairbank pada tahun 1980.Oswestry

.Disability Index (ODI) saat ini dianggap sebagai salah satu standar

emas untuk mengukur derajat kecacatan dan memperkirakan kualitas

hidup seseorang yang sering terkena sakit nyeri pinggang. Dalam

penggunaan skala nyeri ini, pasien akan diberikan kuisioner untuk

menentukan intensitas nyerinya, meliputi kemampuan untuk


mengangkat anggota gerak, kemampuan untuk merawat diri sendiri,

kemampuan untuk berjalan, kemampuan untuk duduk, fungsi

seksual, kemampuan untuk berdiri, kehidupan sosial, kualitas tidur,

dan kemampuan untuk melakukan perjalanan. Setiap kategori topik

terdiri dari 6 pernyataan yang menggambarkan skenario potensial

yang berbeda dalam kehidupan pasien yang berkaitan dengan topik

(Fairbank Jeremy C. Et al .2000)

a) Intensitas Nyeri

0 = Saya dapat mentolerir nyeri tanpa menggunakan obat pereda

nyeri

1 = Nyeri terasa buruk, tetapi saya dapat menangani tanpa bat pereda

nyeri

2 = Obat pereda nyeri mengurangi nyeri saya secara keseluruhan

3 = Obat pereda nyeri mengurangi sebagian nyeri saya

4 = Obat pereda nyeri mengurangi sedikit nyeri saya

5 = Obat pereda nyeri tidak mempunyai efek terhadap nyeri yang

saya alami

b) Perawatan Diri (Misalnya ; Mandi)

0 =Saya dapat merawat diri secara normal tanpa menambah nyeri

1 = Saya dapat merawat diri secara normal, tetapi menambah nyeri


2 = Perawatan diri menyebabkan nyeri, sehingga melakukan dengan

lambat dan hati-hati

3 = Saya butuh bantuan, tetapi saya dapat menangani sebagian besar

perawatan diri saya

4 = Saya butuh bantuan dalam sebagian besar aspek perawatan diri

saya

5 = Saya tidak berpakaian, kesulitan mencuci, dan tetap ditempat

tidur

c) Berjalan

0 = Nyeri tidak menghambat saya berjalan dalam berbagai jarak

1 = Nyeri menghambat saya berjalan lebih dari 1 mil²

2 = Nyeri menghambat saya berjalan lebih dari setengah mil²

3 = Nyeri menghambat saya lebih dari ¼ mil²

4 = Saya dapat berjalan dengan kruk atau tongkat

5 = Sebagian besar waktu saya ditempat tidur dan harus merangkat

ke toilet

d) Duduk

0 = Saya dapat duduk diberbagai jenis kursi sepanjang waktu saya

suka
1 = Saya hanya dapat duduk dikursi favorit saya sepanjang waktu

saya suka

2 = Nyeri menhambat saya duduk lebih dari 1 jam

3 = Nyeri mencegah saya duduk lebih dari ½ jam

4 = Nyeri mencegah saya duduk lebih dari 10 menit

5 = Nyeri menghambat saya duduk

e) Berdiri

0 = Saya dapat berdiri selama yang saya ingikan tanpa menambah

nyeri

1 = Saya dapat berdiri selama yang saya inginkan, tetapi menambah

nyeri

2 = Nyeri menghambat saya berdiri lebih dari 1 jam

3 = Nyeri menghambat saya berdiri lebih dari ½ jam

4 = Nyeri menghambat saya berdiri dari 10 menit

5 = Nyeri menghambat saya berdiri

f) Kehidupan Sosial

0 = Kehidupan sosial normal tanpa menghambat nyeri

1 = Kehidupan sosial saya normal, tetapi tingkat nyer bertambah

2 = Nyeri menghambat saya berpartisipasi melakukan kegiatan

banyak energi (olahraga, dansa)


3 = Nyeri sering menghambat saya keluar

4 = Nyeri menghambat kehidupan social saya dirumah

5 = Saya kesulitan melakukan kehidupan sosial karena nyeri

g) Berpergian

0 = Saya dapat berpergian kemana saja tanpa menambah nyeri

1 = Saya dapat berpergian kemana saja, tetapi menambah nyeri

2 = Nyeri menghambat saya berpergian lebih dari 2 jam

3 = Nyeri menghambat saya berpergian lebih dari 1 jam

4 = Nyeri menhambat saya berpergian untuk suatu kebutuhan

dibawah setengah jam

5 = Nyeri mencegah saya berpergian kecuali mengunjungi dokter

atau terapis atau kerumah sakit

h) Pekerjaan / Rumah Tangga

0 = Pekerjaan/aktivitas kerja normal tidak menyebabkan nyeri

1 = Urusan rumah tangga/altivitas kerja normal menambah nyeri,

tetapi saya dapat melakukan semua yang membutuhkan saya

2 = Saya dapat melakukan sebagian urusan rumah tangga/tugas

rumah tetapi nyeri menghambat saya melakukan aktivitas yang


membutuhkan kegiatan fisik (misalnya

mengangkat,membersihkan rumah)

3 = Nyeri menghambat saya melakukan sesuatu kecuali kerjaan

ringan

4 = Nyeri menghambat saya melakukan aktivitas pekerjaan/urusan

rumah tangga sehari-hari

5 = Nyeri mencegah saya melakukan aktivitas pekerjaan/urusan

rumah tangga sehari-hari

Cara penghitungan menggunakan ODI :

a). Dalam ODI, tercantum 10 pertanyaan yang menggambarkan kondisi

disabilitas pada pasien. Masing-masing kondisi memiliki nilai 0 sampai

nilai 5, sehingga jumlah nilai maksimal secara keseluruhan adalah 50

poin.

b). Jika 10 kondisi dapat diisi, maka cukup langsung menjumlah seluruh

skor.

c). Jika suatu kondisi dihilangkan, maka penghitungannya adalah skor

poin total dibagi dengan jumlah kondisi yang terisi, lalu dikalikan 5.

skor poin total


x 100
jumlah kondisi yang terisi x 5
Interprestasi score pada quisioner oswestry disability index sebagai berikut:

1) 0% - 20% (Disabilitas minimal)

Merupakan ketidakmapuan pada tingkat minimal yaitu dengan angka

0%-20%.Pasien dapat melakukan sebagian besar aktifitas hidupnya.

Biasanya tidak ada indikasi untuk pengobatan terlepas dari nasihat

untuk mengangkat dan duduk dengan cara yang benar agar tidak

bertambah parahnya tingkat disabilitas pasien

2) 21 – 40% (Disabilitas sedang)

Merupakan ketidakmampuan pada tingkat sedang yaitu dengan angka

21%-40%.Pasien merasa lebih sakit dan mengalami kesulitan dalam

melakukan aktifitas duduk, mengangkat, dan berdiri. Untuk

berpergian dan kehidupan sosial akan lebih dihindari. Sedangkan

untuk perawatan pribadi dan tidur tidak terlalu terpengaruh.

3) 41% - 60% (Disabilitas parah)

Merupakan ketidakmampuan pada tingkat yang parah, yaitu dengan

angka 41%-60%.Rasa sakit dan nyeri tetap menjadi masalah

utamanya sehingga mengganggu aktifitas sehari-hari.

4) 61% - 80% (Disabilitas sangat parah)


Merupakan ketidakmampuan yang sangat -parah dengan angka 61%

̶80%, sehingga sangat menggangu seluruh aspek kehidupan pasien.

5) 81% - 100% (Disabilitas Tak tertahankan)

Merupakan angka tertinggi untuk tingkat keparahan disabilitas adalah

81% ̶100%, dimana pasien tidak dapat melakukan aktifitas sama

sekali dan hanya tergolek ditempat tidur(Longan dalam Dewa, 2016).

C. Tinjauan Tentang Modalitas

1. TENS (Trancutaneous Electrical Nerve Stimulation)

Gambar 2.5.TENS (Transcutaneous Electrical


Nerve Stimulation)

a) Pengertian

TENS merupakan suatu cara penggunaan energy listrik

untuk merangsang system saraf melalui permukaan kulit.

Stimulasi Listrik yang diaplikasikan pada serabut syaraf akan

menghasilkan implus syaraf yang berjalan dengan dua arah

sepanjang akson syaraf yang bersangkutan, peristiwa ini

dikenal sebagai aktivasi antidromik. Inplus syaraf yang

dihasilkan oleh TENS yang berjalan menjauh dari system

syaraf pusat akan menabrak dan menghilangkan menurunkan

inplus averen yang datang dari jaringan pusat. Pada keadaan

jaringan rusak aktivasi bisa terjadi pada syaraf berdiameter

besardan TENS tipe konvensional juga akan mengaktivasi

saraf yang berdiameter besar dan menghasilkan implus

antidromik yang berdampak analgesia (Prajoto 2006).

Transcutaneous Electrical Nerve Stimulation

(TENS) adalah penerapan arus listrik melalui kulit untuk

kontrol rasa sakit, dihubungkan dengan kulit menggunakan

dua atau lebih elektroda, diterapkan pada frekuensi tinggi

(>50Hz) atau frekuensi renda (<10Hz) dengan intensitas

yang menghasilkan sensasi getar (Robinson, 2008).


Tipe TENS terbagi menjadi 3, yaitu TENS

konvensional, Intens TENS, dan Acupuntur Like TENS

(Slamet, 2008). Dari tipe TENS yang beragam, maka

terdapat indikasi dan kontra indikasi dari

penggunaanalattersebut (Amelia,2014).

b) Frekuensi

Spesifikasi mekanisme konvensional yang

merangsang serabut syaraf segmental yaitu mengaktivasi

syaraf

diameterbesar,yangmengaktivassiserabutAbeta,danmenimbu

lkan paraestesia yang kuat dan menimbulkan sedikit

kontraksi. Dengan menggunakan frekuensi tinggi (10 – 200

pps/hz), intensitass yang rendah dan berpolakontinyu

(Parjoto 2006).

c) Indikasi

1) Keluhan nyeri misalnya pada otot, tendon, ligamen,

kapsul, bursa, saraf

2) Keadaan hipertonus atau spasme otot

3) Kelemahan pada otot

d) Kontra indikasi
1) Sepsis

2) Tumor gana, TBC

3) Pada abdomen, pervis dan lumbal wanita hamil

4) Peemakaian “pace maker” pada jantung

5) Astenia, anak-anak yang kurus

6) Pasien dengan penyakit jantung yang berat

7) Trombosis arteri dan vena

8) Hipotensi dan hipertensi

9) Penderita senile

10) Demam tinggi (Mj Paliyama 2004).

e) Jenis Arus

1) High Frequency TENS :

(a) Hight frequency TENS biasa dikenal juga dengan

Conventional TENS.

(b) Menggunakan bentuk gelombang simetric biphasic

sinusoidal atau asimetric biphasic sinusoidal.

(c) Pemilihan frekuensi arus relatif tinggi yaitu 80 – 110

Hz, sedangkan pulse sebesar 50 – 80 μs.

(d) Intensitas/amplitudo arus pada level sensorik.

(e) Waktu pengobatan adalah 30 – 60 menit.


(f) Mekanisme penurunan nyeri yang digunakan adalah

Gate Control theory.

(g) Indikasi kondisi akut maupun kronik.

2) Low Frequency TENS :

(a) Biasa dikenal sebagai acupunture-like TENS.

(b) Menggunakan bentuk gelombang asimetric biphasic

sinusoidal atau simetric biphasic sinusoidal.

(c) Pemilihan frekuensi arus relatif rendah yaitu 1 – 5 Hz

atau 5 – 10 Hz, sedangkan pulse sebesar 200 – 500

μs.

(d) Intensitas/amplitudo arus sampai pada level motorik.

(e) Waktu pengobatan adalah 20 – 30 menit.

(f) Mekanisme penurunan nyeri yang digunakan adalah

Endogenous opiate

(g) Indikasi kondisi kronik

3) Burst TENS

(a) Menggunakan bentuk gelombang asimetric biphasic

sinusoidal

(b) Pemilihan frekuensi arus relatif tinggi yaitu 70 – 110

Hz, sedangkan pulse sebesar 200 – 500 μs.


(c) Pemilihan frekuensi burst adalah 1 – 5 bps.

(d) Intensitas/amplitudo arus sampai pada level motorik.

(e) Waktu pengobatan adalah 20 – 30 menit.

(f) Mekanisme penurunan nyeri yang digunakan adalah

Endogenous opiate.

(g) Indikasi kondisi kronik.

4) Brief Intense TENS :

(a) Pemilihan frekuensi arus relatif tinggi yaitu 110 –

200 Hz, sedangkan pulse sebesar 250 – 400 μs.

(b) Intensitas/amplitudo arus pada level sensorik sampai

motorik (sesuai toleransi pasien).

(c) Waktu pengobatan adalah < 15 menit.

(d) Mekanisme penurunan nyeri yang digunakan adalah

blokade tipe saraf Aδ dan C.

(e) Indikasi kondisi akut.

f) Metode Penempatan Elektroda.

1) Sekitar lokasi nyeri

2) Area dermatome

3) Segmental

g) Prosedur Aplikasi TENS


1) persiapan alat

Pastikan semua alat dalam keadaan baik (saklar,

kabel dan elektroda). Semua saklar dalam keadaaan nol.

2) Persiapan passien

Pastikan pasien bukan kontra indikasi dari terapi

ini. Test sensibilitas pasien menggunakan benda tajam

dan tumpul. Kemudian bebaskan area yang akan di

terapi dari kain. Tidak lupa jelaskan kepada pasien

tentang manfaat pemberian dan efek yang ditimbulkan

dari pemberian terapi TENS ini, yaitu timbulnya rasa

seperti tertusuk – tusuk ringan. Posisi pasien pun harus

senyaman mungkin dan jika dapat pasien diposisikan

tengkurap.

3) Pelaksanaan terapi

Pasang elektroda pada punggung bawah dan

daerah m. periformis. Tekan tombol power ke posisi on.

Atur waktu yang akan digunakan untuk terapi, yaitu

selama 10 menit. Intensitas yang digunakan sesuai

dengan batas rasa pasien. Dalam proses terapi,

monitoring terus tentang keadaan pasien, baik sebelum,


selama, dan sesudah terapi. Setelah waktu terapi selesai,

intensitas dikembalikan kedalam posisi nol dan tekan

tombol off serta rapikan alat.

2. Terapi Latihan
a. Definisi William Flexion Exercise
William Flexion Exercise diperkenalkan oleh Dr. Paul
Williams. Program latihan ini banyak ditujukan pada pasien-
pasien kronik LBP dengan kondisi degenerasi corpus vertebra
sampai pada degenerasi diskus. Program latihan ini telah
berkembang dan banyak ditujukan pd laki-laki dibawah usia 50-
an & wanita dibawah usia 40-an yang mengalami lordosis
lumbal yang berlebihan, penurunan space diskus antara segmen
lumbal & gejala-gejala kronik LBP.
William Flexion Exercise adalah program latihan yang
terdiri atas 7 macam gerak yang menonjolkan pada penurunan
lordosis lumbal (terjadi fleksi lumbal). William flexion exercise
telah menjadi dasar dalam manajemen nyeri pinggang bawah
selama beberapa tahun untuk mengobati beragam problem nyeri
pinggang bawah berdasarkan temuan diagnosis. Dalam beberapa
kasus, program latihan ini digunakan ketika penyebab gangguan
berasal dari facet joint (kapsul-ligamen), otot, serta degenerasi
corpus dan diskus. Tn. William menjelaskan bahwa posisi
posterior pelvic tilting adalah penting untuk memperoleh hasil
terbaik.

b. Tujuan
Adapun tujuan dari William Flexion Exercise adalah
untuk mengurangi nyeri, memberikan stabilitas lower trunk
melalui perkembangan secara aktif pada otot abdominal, gluteus
maximus, dan hamstring, untuk menigkatkan fleksibilitas /
elastisitas pada group otot fleksor hip dan lower back
(sacrospinalis), serta untuk mengembalikan/menyempurnakan
keseimbangan kerja antara group otot postural fleksor &
ekstensor.

c. Indikasi dan Kontraindikasi

Indikasi dari William Flexion Exercise adalah


spondylosis, spondyloarthrosis, dan disfungsi sendi facet yang
menyebabkan nyeri pinggang bawah. Kontraindikasi dari
William Flexion Exercise adalah gangguan pada diskus seperti
disc. bulging, herniasi diskus, atau protrusi diskus.

d. Prosedur Pelaksanaan

Adapun prosedur pelaksanaan William Flexion Exercise adalah


sebagai berikut :

1) Latihan I (Pelvic tilt)


Gambar 2.13 pelvic tilt
(Dapur Fisio, 2015)

Berbaring terlentang dengan lutut ditekuk, kaki rata pada


bed/lantai. Tekan atau luruskan punggung kearah bed, tanpa
menekan kaki. Tahan 5 sampai 10 detik. Gerakan pelvic tilt
juga memberikan sedikit efek massage pada punggung
sehingga dapat mengurangi spasme otot serta penguatan
otot-otot abdominal.
Frekuensi : 3 kali seminggu selama satu bulan
Intensitas : 8 kali repetisi
Teknik : pelvic tilt
Time ; 5 sampai 10 detik

2) Latihan II (Single knee to chest)


Gambar 2.14 Single knee to chest
(Dapur Fisio, 2015)

Berbaring terlentang dengan lutut ditekuk dan kaki rata


di lantai. Pelan-pelan lutut kanan ke bahu dan tahan 5 sampai
10 detik. Turunkan lutut dan ulangi dengan lutut lainnya.
Gerakan single and double knee to chest berfungsi untuk
meregangkan otot-otot punggung bawah.
Frekuensi : 3 kali seminggu selama 1 bulan
Intensitas : 8 kali repetisi
Teknik : single knee to chest
Time : 5 sampai 10 detik
3) Latihan III (Double knee to chest)

Gambar 2.15 Double knee to chest


(Dapur Fisio, 2015)
Mulailah seperti pada latihan sebelumnya. Setelah
menarik lutut kanan ke dada. Tarik lutut kiri ke dada dan
tahan kedua lutut selama 5 sampai 10 detik. Perlahan
turunkan satu kaki pada satu waktu. Gerakan single and
double knee to chest berfungsi untuk merenggangkan otot
punggung bawah.
Frekuensi : 3 kali seminggu selama 1 bulan
Intensitas ; 8 kali repetisi
Teknik : double knee to chest
Time : 5 sampai 10 detik
4) Latihan IV (Partial sit-up)

Gambar 2.16 Partial sit-up


(Dapur Fisio, 2015)

Lakukanlah pelvic tilt (latihan 1) dan sambil dalam posisi


ini, perlahan angkat kepala dan bahu dari lantai tahan
sebentar selama 8 detik, kembalilah perlahan ke posisi awal.
Frekuensi : 3 kali seminggu selama 1 bulan
Intensitas ; 8 kali repetisi
Teknik : partial sit-up
Time : 8 detik
5) Latihan V (Hamstring stretch)

Gambar 2.17 Hamstring stretch


(Dapur Fisio, 2015

Mulailah dengan posisi duduk dengan posisi lutut


ekstensi penuh. Perlahan fleksikan trunk kedepan di atas
kaki, dan jaga lutut tetap tegak, lengan terulur di atas kaki,
dan mata focus kedepan.
Frekuensi : 3 kali seminggu selama 1 bulan
Intensitas ; 8 kali repetisi
Teknik : hamstring stretch
Time : 5 sampai 10 detik
6) Latihan VI (Hip flexor stretch)

Gambar 2.18 Hip flexor stretch


(Dapur Fisio, 2015)
Letakan satu kaki di depan kaki yang lain dengan lutut
kiri (depan) dilipat dan lutut kanan (belakang) tetap tegak
lurus. Fleksikan trunk sampai ke lutut kiri lipatan aksila
(ketiak). Ulangi dengan kaki kanan ke depan dan kaki kiri
kembali.
Frekuensi : 3 kali seminggu selama 1 bulan
Intensitas ; 8 kali repetisi
Teknik : hip flexor stretch
Time : 5 sampai 10 detik
7) Latihan VII (Squat)

Gambar 2.19 Squat


(Dapur Fisio, 2015)

Berdiri dengan kedua kaki sejajar, selebar bahu


kemudian pertahankan trunk tegak lurus ke lantai, mata
terfokus ke depan, dan kaki rata di lantai, subjek perlahan
menurunkan tubuhnya (jongkok) dengan meregangkan
lututnya. Tahan hingga 8 detik.
Frekuensi : 3 kali seminggu selama 1 bulan
Intensitas ; 8 kali repetisi
Teknik : squat
Time : 8 detik

3. Stretching Contrac Relax Stretching


a) Pengertian

Contract relax merupakan teknik PNF yang

penerapannya menggunakan kontraksi isotonik yang optimal

dari kelompok antagonis yanng mengalami pemendekan

kemudian dilanjutkan dengan relaksasi otot tersebut (Susan

et al., 2008). Sedangkan menurut Wismanto (2011) contract

relax stretching merupakan salah satu teknik dalam PNF

yang melibatkan kontraksi isometric dari otot yang

mengalami ketegangan yang diikiuti fase relaksasi setelah itu

diberikan stretching pasif pada otot tersebut.

b) Tujuan

Contract Relax Stretching akan meningkatkan rileksasi

otot melalui pelepasan analgesik endogenus opiat sehingga

nyeri regang dapat berkurang. Contract Relax Stretching

dipakai untuk memperbaiki elastisitas dan meningkatkan

range of motion melalui autogenic inhibisi 5 dan reciprocal

inhibisi untuk memfasilitasi activasi dari golgi tendon organ


dan muscle spindle mengirim pesan ke spinal cord agar otot

diperintahkan (Nagarwal et al. 2010).

Kontraksi isometrik pada intervensi contract relax

stretching akan membantu menggerakkan stretch reseptor

dari muscle spindle untuk segera mensesuaikan panjang otot

maksimal, dan penerapan contract relax stretching juga

membantu merileksasikan otot dengan efek pumping action

yang penting selama stretching karena dapat meningkatkan

aliran darah dan mengulur otot serta memindahkan atau

menyingkirkan secara meknis asam lactat dan zat sisa hasil

metabolisme lainnya sehingga otot menjadi lebih rileks dan

meningkatkan fleksibilitas (Edwin, 2012).

c) Mekanisme Contract Relax Stretching

Mekanisme Contract Relax Stretching Menurut Hardjono

(2012) mekanisme contract relax stretching dengan adanya

komponen stretching maka panjang otot dapat dikembalikan

dengan mengaktifkan golgi tendon organ sehingga rileksasi

dapat dicapai dengan ketegangan otot yang disebabkan nyeri

dapat diturunkan dan dapat memutus mata rantai viscouse

circle. Menurut Chaitow (2001) dalam Fajarirawati (2017)


aktivasi dari golgi tendon menstimulasi impuls afferent

menuju spinal cord, impuls afferent ini akan bertemu dengan

inhibitor motor neuron. Dan menyebabkan 10 impuls

efferent terhenti dan menimbulkan kontraksi sehingga terjadi

penurunan tonus secara signifikan dan tiba – tiba.

Perlakuan pertama kali dengan metode contract relax

stretching pada serabut otot dapat mempengaruhi sarkomer

yang bertugas sebagai unit kontraksi dasar serabut otot. Pada

saat sarkomer kontraksi mengakibatkan terjadinya

penguluran atau pemanjangan area yang tumpang tindih

antara komponen miofilamen tebal dan miofilamen tipis,

menyebabkan serabut otot memanjang (Kisner dan Colby,

2007)

d) Metode Contract Relax

Stretching Contract Relax Stretching (CRS) dilakukan

dengan peregangan secara pasif hingga mencapai batasan

ROM maksimal, kemudian diperintahkan untuk melakukan

gerakan tahanan atau isometrik yang disertai dengan

penambahan peregangan lebih jauh lagi secara pasif (Feland,

2017).
Secara fisiologis setelah terjadi kontraksi berkelanjutan

lebih dari 5-6 detik yaitu kontraksi isometrik (fase penahan)

dan konsentris kontraksi (fase kontraksi) golgi tendon akan

merileksasi otot. Kemudian peregangan pasif (fase rileks)

digunakan untuk memudahkan penghambatan autogenik atau

timbal balik. Penghambatan autogenik sendiri adalah refleks

relaksasi yang terjadi pada otot yang sama, dimana setelah

golgi tendon mendapat rangsangan. Teknik peregangan pasif

dilakukan selama sekitar 10 detik (Victoria, et al., 2013)

e) Indikasi dan Kontra Indikasi

Menurut Hardjono (2012) indikasi dan kontra idikasi

dilakukannyacontract relax stretching antara lain :

1) Indikasi :

(a) Miostatik kontraktur

(b) Scar tissue contracture adhesion

(c) Fibrotic adhesion

(d) Inversibel kontraktur

(e) Pseudomiostatik kontraktur

2) Kontraindikasi

(a) Fraktur yang masih baru


(b) Post immobilisasi (otot kehilangan tensile strtenght)

(c) Tanda – tanda inflamasi akut

f) Prosedur Pelaksanaan

Menurut Sozbir et al.,(2016) penatalaksanaan

contract relax stretching adalah sebagai berikut :

1) Pertama melakukan peregangan secara pasif hingga

mencapai batas limit fleksibilitas pertama atau rasa sakit

yang dikeluhkan pertama kali oleh subjek.

2) Kemudian menambah gerakan peregangan pasif secara

perlahan hingga mencapai batas limit fleksibilitas kedua

atau batas maksimal dari kemampuan yang dimiliki

subjek.

3) Melakukan gerakan dorongan / tahanan terhadap gerakan

peregangan atau kontraksi isometrik. Dorongan dan

tahanan dari keduanya dilakukan peningkatan.

4) Pertahankan posisi dari tahanan tersebut selama 5 detik,

kemudian perintahkan untuk merileksasi otot yang

diregangkan dan disertai dorongan pasif selama 15 detik

secara perlahan. Tindakan seperti ini dilakukan dengan 4

kali pengulangan
e. Kerangka Pikir Penelitian
Nyeri punggung bawah (low back pain), merupakan nyeri yang
dirasakan di punggung bagian bawah. Dalam kasus ini peneliti
menggunakan TENS, William Flexion Exercise dan Stretching guna
untuk menghilangkan nyeri yang dirasakan pasien. Alat ukur yang
digunakan yaitu VAS (Visual Analog Scale) untuk menentukan skala
nyeri yang dirasakan pasien dan metode schober untuk mengetahui
meningkatnya atau menurunnya fleksibilitas pasien.

Etiologi:
 Trauma
 Posisi kerja yang salah
 Usia
 IMT
Low Back Pain

Intervensi FT:
Problematik FT:
 Spasme

Assesment

 Spasme berkurang
 Nyeri berkurang
 Meningkatnya Fleksibilitas

RUJUKAN :

Anonim. 2014. Nyeri Punggung Bawah. Diakses 20 Oktober 2014.


http://kamuskesehatan.com/arti/nyeri-punggung-bawah/ .

Mustari Gani, Arpan Jam'an, Hendrik. (2010). Media Fisioterapi. Makassar.


Fauzia Andini. (2015). Risk factors of low back pain in workers. Faculty of
Medicine, Universitas Lampung.
Palastanga.N, Soames.R. 2012. Anatomy and Human Movement structure and
function. Edition. Philadelphia: Churchill Livingstone.

Hamill. J, Knutzen. K. M, and Derrick T. R, 2015. Biomechanical Basis of


Human Movement. Fourth Edition. Philadelphia: Wolters Kluwer Health..

Indah Pramita, Alex Pangkahila, Sugijanto. 2015. Core Stability Exercise lebih
baik meningkatkan aktivitas fungsional daripada William’s Flexion
Exercise pada pasien Nyeri Punggung Bawah Miogenik. Thesis
Universitas Udayana Denpasar.
Komal Malik, et al. 2016. Normative Values of Modified- Modified test in
MeasuringLumbar Flexion and extension : A Cross – Sectional Study.
International Journal of Health Science&Research. Vol 6. Issue : 7
Akraf, Muhammad. 2012 . Schober Test. Diakses 28 Maret 2012.
http://akrafpeduli.blogspot.com/2012/03/tes-schober.html

Wewers M.E. & Lowe N.K. (1990) A critical review of visual analogue
scales in themeasurement of clinical phenomena.Research in
Nursing and Health13,227±236.

Robinson, A.J.2008. Electrical Stimulation to Augment Healing of


Chronic

Wounds. Clinical Electrophysiology: Electrotherapy and


Electrophysical Testing. A.J Robinson and L.Snyder-Mackler.
Philadelphia, Lippincott Williams & Wilkins: 27.

Amelia, Coryna Rizky. 2014. Perbedaan Efektifitas Antara Metode


TENS denganMetode sAkupresure Terhadap Penurunan
Intensitas Dysmenorrhea pada Remaja di Asrama Putri
urusan Kebidanan. Malang: Politeknik Kesehatan Kemenkes
Malang.

Susilo, Wahyu Agung. 2010. Pengaruh terapi modalitas dan terapi


latihan

terhadap penurunan rasa nyeri pada Pasien cervical root


syndrome di rsud dr. Moewardi Surakarta. Surakarta:
Universitas Sebelas Maret.

Nolan, Mary. 2004. Kehamilan & Melahirkan. Jakarta: Arcan.

Suma, Ade Putra. 2013. William Flexion Exercise. Diakses 24 Oktober


2014.

http://terapilatihan.com/2013/07/william-flexion-exercise.html.

Kisner Carolyn, dan Lynn Allen Colby. (2014). Terapi Latihan Dasar Edisi 6
Vol.2. jakarta EGC
Leo Muchamad Dachlan. 2009. Pengaruh Back Exercise pada Nyeri Punggung
Bawah. Tesis. Program Pasca Sarjana. Universitas Sebelas Maret
Surakarta.
RUJUKAN FIX

1. Anonim. 2014. Nyeri Punggung Bawah. Diakses 20 Oktober 2014.


http://kamuskesehatan.com/arti/nyeri-punggung-bawah/ .
2. Diana Samara (2004). Lama dan Sikap Duduk Sebagai Faktor Risiko

Terjadinya Nyeri Pinggang Bawah, Journal Kedokteran Universitas

Trisakti, Volume.23 No.2


3. Mustari Gani, Arpan Jam'an, Hendrik. (2010). Media Fisioterapi.
Makassar.
4. Djohan Aras, Hj. Hasniah Ahmad, Arisandi Ahmad. (2016). The New
Concept of Physical Therapist Testand Measurement. Physio Care.
5. Fauzia Andini. (2015). Risk factors of low back pain in workers. Faculty
of Medicine, Universitas Lampung.
6. Palastanga.N, Soames.R. 2012. Anatomy and Human Movement
structure and function. Edition. Philadelphia: Churchill Livingstone.
7. Hamill. J, Knutzen. K. M, and Derrick T. R, 2015. Biomechanical Basis
of Human Movement. Fourth Edition. Philadelphia: Wolters Kluwer
Health..
8. Indah Pramita, Alex Pangkahila, Sugijanto. 2015. Core Stability
Exercise lebih baik meningkatkan aktivitas fungsional daripada
William’s Flexion Exercise pada pasien Nyeri Punggung Bawah
Miogenik. Thesis Universitas Udayana Denpasar.
9. Akraf, Muhammad. 2012 . Schober Test. Diakses 28 Maret 2012.
http://akrafpeduli.blogspot.com/2012/03/tes-schober.html
10. Longan Dalam Dewa. 2016 . Saraf perifer Masalah dan Penangannya.
Jakarta: PT Indeks, hal 187-195.
11. Robinson, A.J.2008. Electrical Stimulation to Augment Healing of
Chronic
12. Amelia, Coryna Rizky. 2014. Perbedaan Efektifitas Antara Metode
TENS denganMetode sAkupresure Terhadap Penurunan Intensitas
Dysmenorrhea pada Remaja di Asrama Putri urusan Kebidanan.
Malang: Politeknik Kesehatan Kemenkes Malang.
13. Suma, Ade Putra. 2013. William Flexion Exercise. Diakses 24 Oktober
2014. http://terapilatihan.com/2013/07/william-flexion-exercise.html.

Anda mungkin juga menyukai