Anda di halaman 1dari 4

Kelompok 2

Nama : Michael Richardo Aritonang

: Julietta Engelbertha Wiraputri

: EM. Swarintha Sinulingga

: Krista Hulu

Dosen : Handi Hadiwitanto, Ph.D

Refleksi

Gereja, Komunitas dan Pelayanan Hybrid

Hidup Menggereja Di Era Digital-Modern.

1. Gambaran Allah, Gereja dan Pelayanan dimasa Pandemi

Gereja dan pelayanan online adalah gereja yang memiliki kemampuan jelajah yang amat
luas karena dapat menjangkau setiap orang lintas batas dan waktu. Pengelolaan pelayanan
digital/online dengan baik dapat menampilkan persekutuan-persekutuan baru secara virtual yang
juga bermanfaat untuk proses komunikasi iman (bdk.Spadaro 2014, Prescher 2011). Yang
menjadi tantangan gereja ialah bukan hanya memberikan penyampaian suatu pesan melalui
internet namun memberikan pemahaman dan menjalin komunikasi iman yang relasional dengan
kultur dan bahasa baru (bdk Spadaro 2014:17).

Sikap untuk selalu datang pada ibadah onsite berada pada persentase 64.3%, sedangkan
yang akan datang tetapi dengan pertimbangan berada pada persentase 32,5%. Terdapat dua sisi
yang dapat digunakan untuk memahami:

1) bersyukur karena sebagian besar umat GKI masih ingin datang ibadah tatap muka
pasca pandemi, dan

2) bagaimana mengembalikan persentase menjadi 100% bersedia kembali beribadah tatap


muka. Poin kedua menjadi sebuah kesulitan tersendiri karena banyak Pendeta atau aktivis
gereja yang sangat mendorong semua jemaat kembali beribadah tatap muka, tetapi di saat
yang sama terdapat berbagai pertimbangan.

1
Kelompok 2

Dari segi kapasitas gereja, gereja masih perlu melakukan pembatasan kapasitas, sehingga
secara nalar saja tidak dapat menampung jumlah jemaat yang hadir sebelum pandemi. Jika mau,
maka satu-satunya solusi adalah menambah jam ibadah, yang juga menjadi dilema tersendiri
karena perlu memperhatikan kesehatan dan kemampuan penatalayan ibadah, termasuk
pengkotbah yang bertugas. Dari segi jemaat pun, ada dua hal yang saya temui menjadi alasan
tidak lagi ingin rutin beribadah Minggu: 1) teknologi yang semakin maju dapat membuat umat
dapat beribadah dari manapun, bahkan ketika di luar kota pun dapat beribadah di gereja asal
(pertimbangan ini sudah saya temukan sejak sebelum pandemi), dan 2) rasa takut yang masih ada
terkait dengan pandemi. Hal ini juga tidak dapat begitu saja diabaikan dan disalahkan oleh para
petinggi gerejawi.

Kami melihat bahwa ketegangannya terjadi pada pertanyaan 7 ada pada angka 35,7
(persentase yang menjawab Tidak Tahu tidak kelihatan angkanya), dan di pertanyaan 9 ada
diangka 74,54% diluar yang menjawab “ya dan tidak akan”. Menurut kami ketegangannya
ada pada titik ini, karena komunitas hybrid itu ada titik ini. disinilah perlunya gereja tidak hanya
berbicara kontekstual, tetapi juga percakannya sampai kepada konteks-aktual. Pertimbangannya
ada pada ranah media sosial yang sering pada masa kini telah bergeser bukan lagi sekadar sarana,
tetapi mengarah ke komunitas, komunitas media sosial. Sehingga, gereja diajak untuk berbenah
untuk menghadirkan E-klesiology yang relevan pada konteks saat ini. hal ini dilakukan dalam
rangka untuk tetap mempertahankan eksistensi gereja pada konteks kekinian. Tidak ada yang
statis dalam era saat ini, semuanya dinamis mengikuti perkembangan zaman, begitu juga dengan
gereja.

Jadi dapat ditarik pemahaman bahwa, pandemi turut serta dalam menyumbang hybriditas
dalam beribadah, baik online maupun onsite. Tetapi yang perlu disadari bahwa dalam
perkembangannya spiritualitas tidak lagi dibatasi oleh institusi. Kegagalan gereja sebagai
institusi (bukan hanya GKI) adalah tidak mampu membaca tanda-tanda zaman yang
membuatnya tidak relevan lagi. Pasca kehadiran Yesus didunia tempat sakral tidak lagi menjadi
relevan. Yohanes 4:21b saatnya akan tiba, bahwa kamu akan menyembah Bapa bukan di gunung
ini dan bukan juga di Yerusalem. Yesus telah mematahkan konsep etika kuno yang mewajibkan
untuk beribadah di satu tempat, penyembahan kepada Yesus tidak lagi terkungkung didalam
ruangan gereja, tetapi dimanapun dan kapanpun. Sehingga, pasca pandemi gereja dapat

2
Kelompok 2

menerima keberadaan ibadah onsite ataupun online dan meramu konsep ibadah yang dapat
dipergunakan oleh jemaat.

2. Komunitas iman dan masyarakat digital pasca pandemi

Gereja sebagai komunitas iman pasca pandemi diperhadapkan untuk memilih ibadah
secara online atau onsite. Semenjak menurunnya angka Covid-19 dan kebijakan dari pemerintah
untuk memperbolehkan ibadah secara onsite, dengan mengikuti protokol kesehatan yang berlaku
dan secara ketat. Semua gereja bergegas mengadakan persiapan untuk memberlakukan ibadah
secara onsite. Setiap jemaat memiliki pemilihannya sendiri untuk memilih mengikuti ibadah
online atau onsite. Suatu pendapat yang begitu ekstrim memberikan anggapan bahwa pelayanan
digital gereja yang menuju ke gereja online akan membuat gereja sekedar menjadi “penjual”
yang memberikan penawaran program tanpa memberikan kepedulian kepada persekutuan
(Bdk.Kim 2020). Pendapat lain mengatakan adanya dorongan luar biasa untuk melihat pelayanan
digital dan gereja online sebagai wujud dan kesempatan gereja di tengah masyarakat digital
untuk berkarya.

Dari sisi ini, dapat ditarik refleksi bahwa diperlukan konsep “digitalisasi Yesus”.
Kehadiran Yesus yang melampaui ruang dan waktu. Pneumatology dapat menggantikan
Kristologi yang telah lama dianut oleh gereja-gereja pada umumnya. Dalam Matius 18:20 Sebab
di mana dua atau tiga orang berkumpul dalam nama-Ku, di situ Aku ada di tengah-tengah
mereka.". Disini peranan gereja perlu divitalkan, terkhusus pada saat ini gereja tidak lagi menjadi
satu-satunya sarana bagi jemaat untuk meningkatkan spiritualitasnya. Salah satu kelebihan yang
dimiliki oleh gereja yang perlu di vitalkan adalah anggota jemaat (member), sesuatu hal yang
perlu digali oleh gereja untuk dapat menambah energy bagi spiritualitas jemaat

3. Usulan Aksi Pembangunan atau Transformatif Jemaat

Pandemi menimbulkan banyak persoalan dan penderitaan bagi manusia. Bukan hanya
soal ekonomi, kehilangan pekerjaan, kehilangan mata pencaharian, tetapi juga sampai pada
kedukaan. Banyak orang kehilangan anggota keluarganya karena covid 19, bahkan ada yg
kehilangan lebih dari satu orang anggota keluarga dalam waktu yg berdekatan. Ada yg
kehilangan ayah & ibunya sekaligus. Hidup mereka tidak lagi sama. Banyak doa dinaikkan

3
Kelompok 2

memohon kesembuhan tetapi jawabannya sebaliknya. Di dalam kesulitan hidup yang berat &
kedukaan yang dalam, orang bisa saja meragukan Tuhan atau paling tidak menjadi malas untuk
berdoa kepada Tuhan. Buat apa berdoa kalau doa tidak dijawab.
Tetapi sepertinya hal ini tidak membuat jemaat berhenti berdoa atau malas ikut
kebaktian. Mereka tetap mau beribadah. Tetapi pemahaman mereka tentang Allah, setelah
berbagai pengalaman selama pandemi, pasti mengalami perubahan, disadari atau tidak disadari.
Ketika mereka mau terus beribadah, pasti ada yg mereka harapkan: bahwa Allah akan memberi
kekuatan untuk bangkit kembali & bisa menjalani kehidupan dengan normal. Maka gereja harus
mampu memberi jawaban atas hal ini melalui berbagai pelayanannya
Melalui penyajian data yang sudah ada dan terkait dengan refleksi teologis, maka kami
akan menggunakan pendekatan gereja yang intergenerasional dapat mempererat kedekatan setiap
kelompk usia dan memotivasi untuk saling belajar bersama. Pelayanan integenerasi dapat
melibatkan seluruh generasi dalam aktivitas dan kehidupan gereja. Misalnya generasi baby
boomer dan generasi X dapat berpartisipasi dalam kegiatan paduan suara, pembacaan liturgi dan
memandu ibadah. Generasi milenial mengambil bagian dalam pelayanan musik, pemandu lagu,
liturgos dan generasi Z menambil bagian dalam pelayanan drama, multimedia dan audio visual.
Disinilah peran pelayan gereja untuk melihat lebih menyeluruh mengenai peran keluarga sangat
penting untuk mendorong mereka supaya berperan aktif dalam meresponi ibadah
intergenerasional.

Jadi kesimpulannya, kelompok II sepakat agar ibadah hybrid tetap diteruskan, walaupun
nantinya pandemi sudah berakhir. Ini peluang yang sangat terbuka untuk gereja memberi ruang
kepada jemaat yang memiliki keterbatasan untuk bisa beribadah bersekutu seperti biasa, tetapi
tetap dapat merasakan sentuhan Tuhan melalui gereja. Nah, tugas gereja adalah mencari formula
yang aktual, agar tidak sekadar memindahkan ibadah dari gereja melalui media sosial, tetapi
kehangatannya tetap terjaga. Formula inilah yang harus menjadi keresahan kita bersama, agar
gereja tetap menjaga eksistensinya pasca pandemi berakhir.

Anda mungkin juga menyukai