Anda di halaman 1dari 14

Berteologi di Ruang Publik:

Suatu Eksplorasi Awal Terhadap Teologi Publik Berdasarkan Sudut Pandang Teologi Injili

Adrianus Yosia, M.T.S.


Tulisan ini dibuat untuk mengeksplorasi lebih jauh pertanyaan dari Febrianto di dalam artikelnya:
teologi publik injili, mungkinkah?1 Febrianto menjawab pertanyaan ini dengan mengusulkan cara
pandang bumi baru sebagai titik tolak teologis untuk salah satu model teologi publik injili.2
Maksudnya, dengan melihat bahwa seluruh sejarah bumi akan menuju kepada langit dan bumi yang
kedua, Febrianto mengusulkan agar setiap orang Kristen dapat mengusahakan penebusan yang
menuju kepada penciptaan kedua tersebut.3 Saya sendiri sudah pernah mengusulkan salah satu
kehadiran wujud etis kaum injili di ruang publik sambil mempertahankan identitas injili di dalamnya.4
Saya juga sudah mengusulkan penggunaan metode inter-disiplin interseksionalitas, di dalam konteks
identitas Tionghoa-Injili, sebagai cara “mendaratkan” teologi injili di ruang publik.5 Saya juga sudah
mencoba untuk mengeksplorasi metode dramatis sebagai salah satu wujud teologi injili di ruang
publik.6 Namun, baik saya dan Febrianto masih masuk ke paparan usulan mengenai salah satu cara
berteologi publik bagi kaum injili di ruang publik. Pertanyaan dari Febrianto membuat saya berpikir
lebih jauh, bahwa, seperti apakah teologi publik Injili, lebih jauh lagi, teologi publik Injili?
Untuk menjawab pertanyaan ini, saya akan membagi tulisan ini ke dalam tiga bagian besar. Pada
bagian pertama, saya ingin mencoba menafsir kondisi masyarakat Indonesia secara intuitif dengan
berbagai pandangan dari kajian kemasyarakatan dan juga sosiologi. Lewat bagian ini, saya ingin
menjawab pertanyaan seberapa besarkah peranan agama di dalam masyarakat? Dengan ide ini,
mengacu kepada pandangan Ninian Smart bahwa teologi atau dogmatika merupakan salah satu
dimensi dari agama,7 teologi publik injili sejatinya mempunyai peluang untuk didengungkan. Pada
bagian kedua, saya akan mencoba untuk memberikan napak tilas dan penjelasan singkat mengenai
teologi publik, salah satu gerakan teologi yang mulai bergerak di dalam kancah percaturan teologi
dunia. Tentu, ada para pemikir Injili yang sudah mencoba memikirkan ide ini secara khusus baik di
Indonesia ataupun di dunia, namun ide ini masih sangat jarang dibahasakan.8 Sebagai catatan

1 Febrianto, “Konsep Ciptaan Baru N.T. Wright Sebagai Paradigma Teologi Publik Kaum Injili di Indonesia,”
Jurnal Amanat Agung 14, no. 1 (2018): 67–68.
2 Febrianto, “Konsep Ciptaan Baru N.T. Wright Sebagai Paradigma Teologi Publik Kaum Injili di Indonesia.”
3 Ibid.
4 lih. Adrianus Yosia, “Merupa Wujud Evangelikalisme di Indonesia: Suatu Usulan Awal,” Veritas: Jurnal Teologi

dan Pelayanan 19, no. 1 (Mei 24, 2020): 85–95, https://ojs.seabs.ac.id/index.php/Veritas/article/view/339.


5 Adrianus Yosia, “Mendedah Lokalitas, Menuju Interseksionalitas,” Indonesian Journal of Theology 8, no. 2

(Desember 31, 2020): 198–230, https://indotheologyjournal.org/index.php/home/article/view/202.


6 Adrianus Yosia, “Wahai Pengikut Kristus, Mainkanlah Drama yang Mentransformasikan Itu!,” Indonesian

Journal of Theology 3, no. 2 (Mei 1, 2016): 185–205, https://indotheologyjournal.org/index.php/home/article/view/56.


7 Ninian Smart, Dimensions of the Sacred: An Anatomy of the World’s Beliefs (London: Harper Collins, 1996).
8 Chris Green, ed., A Higher throne: Evangelicals And Public Theology (Nottingham, England: Apollos, 2008). Di

Amerika Serikat, kajian mengenai ruang publik dalam perspektif Reformed (bukan injili) juga menjadi pembahasan yang
cukup panas. Lih. Matthew Kaemingk, ed., Reformed Public Theology (Grand Rapids: Baker Academic, 2001). Di Indonesia
sendiri, kajian teologi publik sendiri sudah menjadi percakapan yang cukup luas di kalangan cendekiawan. Lih. Stella Y.
E. Pattipeilohy, Teologi Publik Asia Menurut Preman Niles: Sebauah Sketsa Membangun Teologi Publik GPIB (Yogyakarta:
Kanisius dan UKDW, 2019); Joas Adiprasetya, “In Search of a Christian Public Theology in the Indonesian Context
Today,” Diskursus 12, no. 1 (April 2013): 103–124.
hal. 1
tambahan, sudah ada juga para pemikir yang mungkin tidak menggunakan paradigma “teologi
publik” namun sudah bekerja dalam isu-isu publik dengan metode berteologi yang lain. Dengan
demikian, pada bagian ini, saya berharap untuk mengonstruksi ide mengenai teologi publik. Terakhir,
saya ingin mengusulkan empat ide dari Bebbington sebagai landasan fondasi dari teologi publik injili.
Berikutnya, saya ingin mengusulkan bahwa kajian teologi publik injili juga perlu berwatak tiga hal
yaitu: lokal, transdenominasional, dan interdisipliner.

Masyarakat Indonesia Semakin Religius?


Apakah peranan agama di Indonesia masih besar di dalam kehidupan bermasyarakat di Indonesia?
The Global God Divide, suatu survei yang dilakukan oleh Pew Research Center pada tahun 2020
menunjukkan bahwa 96% responden dari Indonesia menyatakan bahwa kepercayaan kepada Allah
(God) masih berhubungan dengan moralitas seseorang.9 Artinya, para responden dari Indonesia
tersebut percaya bahwa kepercayaan terhadap Allah masih diperlukan untuk membentuk moralitas
seseorang. Sebagai catatan tambahan, survei ini dilakukan untuk mengukur persepsi komunitas
global mengenai perlu atau tidaknya Allah di dalam pembentukan konsep moralitas manusia.10
Misalkan, pada survei tersebut juga menyoroti adanya penurunan jumlah di negara-negara Eropa dan
Amerika Serikat, namun terjadi peningkatan di negara-negara eks-Uni Soviet.11
Di dalam konteks yang berbeda, survei yang dilakukan oleh Varkey Foundation menunjukkan bahwa
93% generasi-Z12 Indonesia percaya bahwa iman kepercayaan dapat membawa kebahagiaan.13 Data
ini menarik karena generasi-Z di Indonesia ternyata mempunyai indeks kebahagiaan tertinggi di
dalam survei tersebut.14 Data ini menarik mengingat bahwa berdasarkan data Sensus Penduduk 2020,
generasi-Z berjumlah sekitar 27% dari populasi Indonesia.15 Walaupun terdapat perbedaan definisi
Gen-Z yang digunakan oleh BPS dan juga Varkey Foundation, perihal yang dapat diambil di sini
adalah, Gen-Z sebagai generasi “termuda” pada masa ini, tiang fondasi berikutnya dari masa depan
Indonesia ternyata percaya bahwa agama tetap mempunyai pengaruh besar.
Terakhir, selain dua survei yang membahas bagaimana peranan agama dapat mempengaruhi
moralitas dan juga kebahagiaan di tengah-tengah masyarakat Indonesia, survei yang dilakukan oleh

9 Christine Tamir, Aidan Connaughton, dan Ariana Monique Salazar, “The Global God Divide,” last modified
Juli 2020, diakses September 15, 2021, https://www.pewresearch.org/global/2020/07/20/the-global-god-divide/.
10 Jacob Poushter, “‘The Global God Divide’ – Analyzing Belief in God and Morality: An Interview with the

Pew Research Center,” last modified September 3, 2020, diakses Maret 10, 2021,
https://www.reviewofreligions.org/24551/the-global-god-divide-an-interview-with-the-pew-research-center/.
11 Tamir, Connaughton, dan Salazar, “The Global God Divide.”
12 Varkey Foundation meneliti anak-anak muda dengan tahun kelahiran 1997-2001 di dalam penelitian ini.

Varkey Foundation sendiri adalah suatu lembaga yang fokus kepada pendidikan dan sedang mengadakan penelitian pada
masyarakat global yang dimulai dari generasi Z (dengan definisi di atas). lih. Varkey Foundation, What the World’s Young
People Think and Feel: Global Citizenship Survey (UK: Varkey Foundation, 2017), diakses September 15, 2021,
https://www.varkeyfoundation.org/media/4487/global-young-people-report-single-pages-new.pdf.
13 Devina Hariyanto, “Indonesian Youths Say Religion Key to Happiness, Bucking Global Trend,” last

modified 2018, diakses Mei 5, 2021, https://www.thejakartapost.com/news/2018/06/01/indonesian-youths-say-


religion-key-to-happiness-bucking-global-trend.html; Varkey Foundation, What the World’s Young People Think and Feel.
14 Varkey Foundation, What the World’s Young People Think and Feel, 15. Di dalam laporan tersebut, Varkey

Foundation sendiri kaget bahwa Gen-Z di negara berkembang justru mempunyai angka kebahagiaan yang tinggi,
kebalikan dari Gen-Z dari negara maju.
15 Badan Pusat Statistik, “Hasil Sensus Penduduk 2020,” Berita Resmis Statistik 7, no. 1 (Januari 2021).

hal. 2
kementerian agama baru-baru ini menunjukkan bahwa 81% responden menyatakan bahwa mereka
merasa lebih religius semasa pandemi. Ternyata, tingkat religiositas di masyarakat Indonesia pun
bertambah tinggi.
Fragmentasi-fragmentasi data hasil survei yang tertera di atas tentu tidak dapat menyatakan realitas
religiositas bangsa Indonesia secara riil dan komprehensif, namun, minimal tiga survei tersebut
menggambarkan bahwa agama tetaplah mempunyai pengaruh yang besar di tengah-tengah
masyarakat Indonesia, terutama di dalam ranah etis (kebahagiaan dan moralitas). Tambah lagi,
penguatan religiositas ini pun menguat dikarenakan faktor eksternal seperti pandemi COVID-19
yang sedang berlangsung saat ini, yang mana setiap manusia di dunia dihadapkan kepada kematian di
dalam kesehariannya begitu juga di Indonesia. Namun, apakah data-data tersebut dapat dibenarkan?
Secara intuitif, data-data tersebut dapat dibenarkan.
Penyelisikan Dua Kasus
Sinyalemen bahwa agama tetap mempunyai dampak bahkan dapat mengarahkan opini di tengah-
tengah masyarakat Indonesia ini dapat dilihat juga di dalam dua kasus sosial-politik yang sempat
heboh pada tahun 2016 yaitu, tuduhan penistaan agama yang dilakukan oleh Basuki Tjahya Purnama
(Ahok) dan juga keluarnya surat pastoral PGI. Hemat saya, kedua kasus yang sudah saya sebutkan di
atas sebetulnya mempunyai dimensi sosial-politis yang lebih kental. Namun, dengan menelisik lebih
jauh, nuansa teologis tetaplah terasa di dalamnya.
Kasus pertama yang bagi saya menarik adalah kasus tuduhan penistaan agama yang disematkan pada
Basuki Tjahya Purnama. Pada bulan September 2016, Purnama menyebut dan menafsir surat Al-
Maidah pasal 51 di dalam pidatonya di Kepulauan Seribu. Lalu, karena dianggap menista agama,
terjadilah gelombang protes yang bertujuan untuk memenjarakan Purnama. Kasus ini erat sekali
dengan problem politik dan hukum yang ada di ruang publik.16 Misalkan Priyadharma menyatakan
bagaimana gerakan penistaan agama ini sarat dengan muatan politis yang didasarkan pada ketakutan.
Tidak hanya itu, terdapat framing yang dilakukan oleh surat kabar, setidaknya hal inilah yang diamati
oleh Mayasari.17 Namun, motif-motif teologis juga digunakan untuk menggerakkan massa. Dengan
demikian, motif teologis terlihat mengambil andil di dalam aksi pemenjaraan Purnama. Respons dari
teolog Kristen untuk membahas problem Purnama pun menjadi tanda bahwa memang ada
perkelindanan unsur teologis di dalam kasus Ahok.18
Kasus kedua yang ingin saya ungkap adalah problem surat pastoral PGI terhadap kaum LGBTQ.
Berbicara mengenai komunitas LGBTQ, tentunya ada banyak penolakan yang terjadi pada
komunitas ini. Misalkan saja, Pew Research Center pada tahun 2013 dalam survei The Global Divide on
Homosexuality menyatakan bahwa 93% responden menolak kehadiran homoseksualitas di Indonesia.19

16 Subekti W. Priyadharma, “Against Ahok: An Analysis of Emotion-Driven Movements and Network Power

in Jakarta’s 2017 Gubernatorial Election,” Salasika 1, no. 1 (2018).


17 Silvina Mayasari, “Konstruksi Media Terhadap Berita Kasus Penistaan Agama Oleh Basuki Tjahaja Purnama

(Ahok): Analisis Framing Pada Surat Kabar Kompas dan Republik,” Jurnal Komunikasi VIII, no. 2 (September 2017).
18 Gerith Singgih, “What Has Ahok to Do with Santa? Contemporary Christian and Muslim Public Theologies

in Indonesia,” International Journal of Public Theology 13, no. 1 (2019): 25–39.


19 Pew Research Center, “The Global Divide on Homosexuality,” last modified Juni 2013, diakses Oktober 21,

2021, https://www.pewresearch.org/global/2013/06/04/the-global-divide-on-homosexuality/.
hal. 3
Tentunya, penolakan ini dapat menyebabkan tekanan besar bagi kaum LGBTQ di Indonesia. Narasi
penolakan ini misalkan pernah diutarakan oleh Hendri Yulius ataupun Bunda Mayora di dalam kisah
hidup mereka.20 Menurut saya, titik problem sosial-politis inilah yang menjadi latar belakang isu yang
ingin diangkat oleh PGI lewat surat pastoralnya.21 Namun, tampaknya problem teologis juga ikut
membalut isu ini mengingat ada para teolog yang memperbincangkannya sebagai problem teologis,
walaupun ada perkelindanan isu sosial-politis di dalamnya.22
Akankah Fenomena ini akan Berlanjut?
Apakah keadaan ini hanya akan terjadi saat ini saja ataupun berkelanjutan? Ada kemungkinan bahwa
pengaruh agama akan semakin menguat di dalam waktu-waktu ke depan walaupun diterpa badai
modern. Istilah modernitas yang saya maksudkan berhubungan dengan kemajuan IPTEK ataupun
ekonomi. Misalkan saja, seorang sosiolog agama seperti Peter Berger perlu merevisi klaimnya bahwa
agama akan punah di tengah-tengah kemajuan manusia.23 Berger akhirnya melihat bahwa ternyata
agama tetap mempunyai taji di tengah-tengah modernisme saat ini. Senada dengan Berger, Jose
Cassanova, seorang sosiolog yang kondang pun sudah lama menyatakan bahwa ternyata di tengah
gemerlap kemajuan modernisme tidak semerta-merta menenggelamkan agama dari ruang publik.24
Ternyata, sekularisme tidak dapat menghilangkan agama dari ruang publik.
Fenomena perkelindanan antara agama di tengah-tengah masyarakat majemuk pun disorot oleh para
teolog. Misalkan saja, hal ini pun sudah disoroti oleh Sathianathan Clarke, seorang teolog Anglikan
yang mengamati bahwa peranan agama di dalam wujud fanatisme dan fundamentalisme malah
semakin menjamur di tengah-tengah dunia yang semakin “modern” ini.25 Clarke mengambil tiga
komunitas sebagai kasus, misalkan bangkitnya fundamentalisme Islam di Mesir, Kristen di Amerika
Serikat, dan juga Hindu di India.26 Walaupun ketiganya tidak menyatakan diri sebagai negara agama,
ternyata tetap saja ada problem fundamentalisme yang merebak di sana. Dengan demikian, keadaan
yang sudah dinyatakan di atas mempunyai suatu dampak kontinuitas ke depannya.

20 Hendri Yulius, Coming Out (Jakarta: Gramedia, 2015); Hendrika Mayora Victoria Kelan, “Christaphany:

Intersectional Spirituality in Public,” @Theovlogy, last modified 2021, diakses Oktober 21, 2021,
https://www.youtube.com/watch?v=EXm5a_B_Xe4&t=222s.
21 Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia, “Pernyataan Pastoral PGI tentang LGBT,” Juni 2016, diakses

September 15, 2021, http://pgi.or.id/wp-content/uploads/2016/06/Pernyataan-Sikap-PGI-tentang-LGBT.pdf.


22 Binsar A. Hutabarat, “Evaluasi Terhadap Rumusan Pernyataan Pastoral PGI Tentang LGBT,” Societas Dei 6,

no. 2 (2019): 136–151.


23 “Further Thoughts on Religion and Modernity,” Society 49, no. 4 (2012): 313–316,

http://search.proquest.com/docview/1022373330?accountid=25704.
24 José Casanova, Public Religions in the Modern World (Chicago: University of Chicago Press, 1994).
25 Sathianathan Clarke, Competing Fundamentalism (Louisville, Kentucky: Westminster John Knox Press, 2017).

Hal yang terkait dengan perihal ini adalah berkembangnya fundamentalisme di Indonesia juga. Fundamentalisme Islam
sudah masuk di dalam kajian Fundamentalism Project di Harvard yang diasuh oleh Martin E Marty dan Scott Appleby. Lih.
Manning Nash, “Islamic Resurgence in Malaysia and Indonesia,” in Fundamentalism Observed, ed. Martin E. Marty dan R.
Scott Appleby, vol. 1 (Chicago and London: University of Chicago Press, 1991). Salah satu penelitian yang pernah
dilakukan di LIPI adalah data mengenai fundamentalisme yang menjamur di sekolah-sekolah. Lih. Endang Turmudi,
“Waspadai Paham Radikalisme di Sekolah,” last modified Februari 22, 2016, diakses Juli 13, 2021,
http://lipi.go.id/berita/single/Waspadai-Paham-Radikalisme-di-Sekolah/15080. Lewat data yang dimiliki oleh
Walaupun tidak ada data yang lebih komprehensif di seluruh Indonesia, tampaknya
26 Clarke, Competing Fundamentalism.

hal. 4
Teologi Publik: Salah Satu Diskursus Teologi Masa Kini?
Fenomena kebangkitan agama di Indonesia tentunya bukanlah isu yang baru. Secara intuitif para
cendekiawan di Indonesia tentunya sudah melihat kecenderungan tersebut. Sebelum saya membahas
perihal tersebut lebih jauh pada bagian berikutnya, saya ingin membahas salah satu diskursus teologi
di dunia yang disebut sebagai teologi publik pada bagian ini. Data ini akan menjadi pelengkap ide
yang saya ingin capai pada bagian berikutnya juga.
Napak Tilas Sejarah Teologi Publik Secara Singkat
Teologi publik merupakan salah satu kajian yang berkembang dengan cepat pada saat ini.
Sebagaimana yang diutarakan Sebastian Kim dan Katie Day, istilah teologi publik sendiri (Public
Theology) pertama kali muncul di Amerika Serikat di dalam tulisan dari Martin E. Marty, “Two Kinds
of Two Kinds of Public Religions,” sebagai respons terhadap tulisan Robert Bellah mengenai agama
publik (civil religion), pada tahun 1974.27 Menurut Kim dan juga Day, perkembangan berikutnya dari
teologi publik di Amerika Serikat diinisiasi oleh David Tracy yang terkenal dengan menjelaskan tiga
jenis publik (gereja, akademi, dan masyarakat) di dalam buku Analogical Imagination.28 Setelah itu,
gelombang pemikiran yang melibatkan tokoh-tokoh teologi publik seperti Max Stackhouse, Jürgen
Moltmann, Dorothee Soelle, John Neuhas, Nico Koopman, Miroslav Volf, ataupun Elaine Graham
menghiasi diskursus teologi publik sebagai nama-nama penting yang masuk dalam diskursus teologi
publik.29 Di Indonesia sendiri, para teolog yang secara langsung berkecimpung di dalam teologi
publik dapat dilihat lewat karya dari Joas Adiprasetya dan juga Stella Pattipeilohy.30
Kebangkitan teologi publik di dalam diskursus teologis saat ini juga disebabkan oleh para tokoh
aktivis-teolog seperti Dietrich Boenhoeffer, Martin Luther King, Jr., Leonardo Boff, ataupun
Gustavo Guitérrez lewat nilai-nilai teologis yang dihidupinya. Di Indonesia sendiri, tokoh-tokoh
seperti Romo Mangunwijaya ataupun Johannes Leimena dapat menjadi contoh dari arus ini. Tidak
hanya itu, kehadiran teologi di ruang publik ini pun ditandai dengan berbagai teologi yang mencoba
bergumul dengan konteks lokal seperti black theology di Amerika Serikat yang menentang rasisme,
teologi pembebasan yang mencoba melawan kemiskinan struktural, ataupun teologi minjung yang
senada dengan teologi pembebasan.
Pada tahun 2007, para teolog yang tertarik dengan teologi publik membuat organisasi Global
Network for Public Theology (https://gnpublictheology.net/) dan jurnal International Journal of Public
Theology yang diterbitkan oleh Brill sebagai salah satu ruang diseminasi pengetahuan di dalam teologi

27 Sebastian Kim dan Katie Day, “Introduction,” in A Companion to Public Theology, ed. Sebastian Kim dan Katie
Day (Leiden: Brill, 2017), 3. Di Indonesia sendiri, pengembangan dari agama publik ini dapat dilihat pada karya
Benyamin F. Intan di dalam disertasinya (Benyamin F. Intan, “Public Religion” and the Pancasila-Based State of Indonesia [New
York: Peter Lang, 2006]). Lih. juga Benyamin F. Intan, “‘A Public Religion’ and the Pancasila-Based State of Indonesia:
A Theological-Ethical Analysis,” Verbum Christi 1, no. 1 (2014): 24–44.
28 Kim dan Day, “Introduction,” 3–4. Lihat juga pengembangan ide yang sudah dibuat oleh Tracy pada David

Tracy, “Three Kinds of Publicness in Public Theology,” International Journal of Public Theology 8, no. 3 (Agustus 26, 2014):
330–334, https://brill.com/view/journals/ijpt/8/3/article-p330_5.xml.
29 Sebagian nama yang diujar di sini merupakan tokoh dari Teolog politik. Sebagaimana
30 Adiprasetya, “In Search of a Christian Public Theology in the Indonesian Context Today”; Pattipeilohy,

Teologi Publik Asia Menurut Preman Niles: Sebauah Sketsa Membangun Teologi Publik GPIB.
hal. 5
publik. Tidak sedikit nama-nama Indonesia yang sudah menyumbangkan ide di sana, seperti: Binsar
Pakpahan, Adrianus Sunarko, ataupun Gerrith Singgih.
Pemaknaan Teologi Publik
Napak tilas kesejarahan dari teologi publik ini sejatinya menyiratkan pengertian dari teologi publik itu
sendiri. Secara gamblang, teologi publik secara sederhana dapat dilihat sebagai kehadiran teologi di
ruang publik.31 Sebagaimana contoh yang sudah saya utarakan di atas, kehadiran “teologi” di ruang
publik ini dapat dilihat dalam kehadiran karya akademik ataupun aktivisme sosial yang ada di dalam
ruang publik yang bermotifasikan keagamaan. Di dalam karyanya yang lain, Kim dan Day
menjelaskan bahwa wujud teologi publik dapat dinyatakan dengan pernyataan: show us what theology
looks like.32 Pandangan Kim dan Day ini sebenarnya dapat dibahasakan dengan baik oleh Moltmann
ketika ia menyatakan bahwa setiap teologi sejatinya adalah teologi publik.33
Sebagai kesimpulan kecil, minimal terdapat dua cara untuk melihat bagaimana teologi dapat hadir di
tengah-tengah masyarakat, yaitu suatu usaha untuk menyumbangkan butir-butir akademis di dalam
ruang publik. Berikutnya, teologi dapat hadir juga dengan aktivitas “kristiani” lewat orang-orang yang
menghidupi imannya.
Dari pengertian ini, teologi publik merupakan suatu ruang berdialog inter-disiplin ilmu, antara
teologi dan kajian sosial politik ataupun ilmu-ilmu lainnya. Namun, ruang berdialog yang luas ini pun
disertai dengan kerumitan-kerumitan untuk memberikan batasan, katakanlah sebagai contoh, teologi
politik, teologi kontekstual, ataupun teologi konstruktif. Saya akan mencoba menjelaskan perihal ini
dengan contoh di bawah ini.
Tugas Berteologi Lewat Sudut Pandang Teologi Publik
Sebagaimana yang saya utarakan sebelumnya, frasa “teologi publik” memiliki banyak pengertian,
bergantung kepada definisi dari setiap teolog yang mengkajinya ataupun menghidupinya, bahkan
bergantung kepada wilayah geografis yang mana sang teolog tinggal.34 Selain masalah pendefinisian,
tujuan ataupun “ tugas berteologi” publik sendiri beragam, bergantung kepada wilayah dan juga
pergumulan dari sang teolog. Tugas berteologi sendiri di sini maksudnya adalah fokus yang ingin
dicapai lewat aktivitas berteologi dari seorang teolog publik. Sebagai contoh, di wilayah Oceania dan
Australia, fokus dari berteologi publik salah satunya adalah problem kesetaraan dan pembelaan hak
asasi dari suku-suku “primitif,” seperti suku Aborigin yang mengalami diskriminasi oleh para

31 Sebastian Kim, Theology in the Public Sphere: Public Theology as a Catalyst for Open Debate (Norwich: SCM Press,
2011).
32 Kim dan Day, “Introduction,” 2.
33 Jürgen Moltmann, God for a Secular Society: The Public Relevance of Theology, trans. Margareth Kohl (Minneapolis,
MN: Fortress Press, 1999), 5.
34 Di dalam percakapan mengenai teolog publik sendiri, frasa ini seringkali menggunakan istilah-istilah seperti

public discourse ataupun public witness yang sebenarnya ingin menyatakan peran serta komunitas kristen dalam ruang
publik. Tidak hanya itu, di dalam kajian teologi sendiri, teologi publik seringkali disamakan dengan Civil Religion di
Amerika ataupun teologi politik yang berkembang di Eropa. Max L. Stackhouse, “Civil Religion, Political Theology And
Public Theology: What’s The Difference?,” Political Theology 5, no. 3 (2004): 275–293. Dengan demikian, persinggungan
ini menandakan bahwa diskursus yang ada di dalam teologi publik sebenarnya sangatlah luas, mulai dari dialog antar-
agama, problem sosial (seperti kemiskinan dan diskriminasi), dan lain-lain. Tidak hanya itu, persinggungan ini juga
menandakan bahwa kajian teologi publik selalu bersifat inter-disiplin. Inilah sebabnya ada begitu banyak definisi,
bergantung dari sang teolog ataupun pemikir, terhadap isu teologi publik ini
hal. 6
pendatang berkulit putih dari Eropa.35 Contoh lainnya, fokus dan tujuan dari berteologi publik
terutama di wilayah Asia Timur, Selatan, ataupun Tenggara biasanya berhubungan dengan dialog
antar-agama ataupun konsep Allah di tengah-tengah kemajemukan dan juga kemiskinan.36 Eropa,
fokus dari isu teologi publik ini lebih kepada bagaimana peranan agama di tengah-tengah masyarakat
yang sekuler ala Eropa.37 Walaupun terdapat ragam pendekatan dan juga tujuan berteologi dari setiap
teolog publik, minimal persamaan dari semuanya adalah teolog publik berusaha untuk mencari solusi
dari problem sosial yang ada di konteks lokalnya masing-masing. Mengacu kembali kepada ujaran
Moltmann, di dalam hal inilah teologi menjadi bagian untuk menyelesaikan problem yang ada di
masyarakat.
Metode dalam Teologi Publik
Apakah ada satu metode untuk berteologi publik? Saya dapat menyatakan dengan cepat bahwa tidak
ada satu metode yang dapat mewakili teologi publik. Lewat contoh-contoh di atas, sejatinya tugas
berteologi yang beragam ini pun menyertakan metodologi yang beragam. Misalkan saja, Elaine
Graham, lebih menggunakan pendekatan pasca-sekularisme yang memang menjadi konteks dari
ruang publik di Eropa.38 Dengan demikian, tampaknya Graham menggunakan pendekatan yang lebih
merangkul pendekatan filsafat dan juga sosiologi agama untuk menyatakan gagasan bahwa teologi
memang hadir di dalam ruang publik. Tentunya pendekatan ini pun sudah dilakukan oleh Budi
Hardiman sebagai salah satu diskursus berteologi publik di Indonesia.39 Lain halnya dengan
pendekatan yang dilakukan oleh Jione Havea dan kawan-kawan yang lebih banyak mengusung
pembacaan kehadiran ruang publik lewat tafsir-tafsir pasca-kolonial sebagai cara yang digunakannya
untuk berteologi publik.40

Teologi Publik Injili: Suatu Refleksi Atas Identitas, Metode, Aksi


Dua pembahasan yang sudah saya utarakan di atas sejatinya memberikan dua jenis “arus” penting
yang bagi saya sangatlah menarik. Arus yang pertama adalah bagaimana peranan agama di Indonesia
ternyata masih sangat tinggi, sehingga peluang bagi teologi untuk memberikan sumbangsih di
dalamnya sangatlah besar. Arus yang lainnya adalah arus untuk mempraktikkan teologi di dalam
ruang publik yang berlangsung secara global di dunia ini. Dua arus ini, bagi saya, sejatinya dapat
menjadi peluang bagi kaum injili untuk mulai menyatakan ide-idenya di ruang publik. Namun,
sekarang isu yang menyeruak adalah apakah yang dimaksud dengan teologi publik injili?

35 Sebagai contoh, beberapa buku dari seri Misison and Context yang disunting oleh Jione Havea dapat menjadi
contoh dari isu ini. Contoh lainnya adalah tulisan dari teolog Anne Pattel-Gray, Through Aboriginal Eyes the Cry from the
Wilderness: The Cry from the Wilderness (1991). Di Asia sendiri, terutama Asia Timur, Selatan dan Tenggara, isu-isu seputar
identitas Kristen di tengah-tengah kejamakan agama menjadi isu sentral di dalam percakapan teologi publik. Misalkan
saja, Preman Niles, seorang teolog Srilanka mengarang buku is God Christian?: Christian Identity in Public Theology (2017).
Belum lagi tulisan-tulisan dari teolog Taiwan, C. S. Song (Sebutkanlah Nama-nama Kami), teolog Jepang, Kosuke Koyama
(Water Bufallo Theology), ataupun teolog-teolog lain.
36 Preman D. Niles, Is God Christian? (Minneapolis: Fortress Press, 2017).
37 Elaine Graham, Between a Rock and a Hard Place (London: SCM Press, 2013).
38 Ibid.
39 F. Budi Hardiman, Ruang Publik (Yogyakarta: Kanisius, 2010).
40 Jione Havea, ed., Mission and Context (Minneapolis: Fortress Press, 2020).

hal. 7
Lewat pengertian dari teologi publik di atas, minimal bisa terlihat dua pengertian. Pertama, teologi
publik injili berarti kajian-kajian teologi publik yang “dibaptis” dengan identitas injili. Pengertian
yang kedua adalah orang-orang yang injili yang melakukan aktivitas dengan paradigma injili. Saya
pernah mengusulkan pengertian yang kedua ini lewat artikel yang pernah saya utarakan, Merupa
Wujud Evangelikalisme Indonesia.41 Dalam tulisan ini saya membayangkan bahwa kaum injili, terlepas
dari identitasnya dapat memberikan sumbangsih dampak di dalam kehidupan bermasyarakat.
Dengan demikian, saya ingin mencoba mengeksplorasi identitas yang kedua di sini.
Saya mengusulkan bahwa teologi publik injili dapat diartikan sebagai suatu usaha dari komunitas injili
untuk menunjukkan dan juga menghidupi teologinya di dalam ruang publik. Dengan demikian, di
sini ada isu mengenai identitas, metode, dan juga bagaimana menghidupi teologi yang sudah
diusulkan di dalam ruang publik.
Isu Identitas42
Sebelum saya membahas problem ini lebih jauh, saya perlu menyatakan bahwa identitas injili sendiri
mempunyai kerumitan teologis dan juga sosiologis. Kevin J. Vanhoozer dan Daniel J. Treier
menyatakan bahwa pendefinisian karakteristik injili sangatlah rumit dari peninjauan yang dilakukan
dari sisi sejarah, sosial, biblika, ataupun teologis.43 Sebagai contoh, misalkan tokoh injili yang
mendunia seperti Alister McGrath ataupun J. I. Packer (dan Thomas C. Oden)mempunyai definisi
masing-masing mengenai karakteristik injili.44 Di Indonesia sendiri, pengertian kaum injili mengenai
identitasnya dapat berbeda, misalkan saja definisi kaum injili yang didefinisikan oleh Christian
Sulistio, dosen dari STT SAAT, dan juga Togardo Siburian, dosen dari STT Bandung.45 Walaupun
cukup menarik untuk membahas perbedaan-perbedaan ini, saya ingin menyatakan bahwa terdapat
pluralitas juga dari kaum injili sendiri untuk mendefinisikan dirinya. Terlepas dari kepelbagaian ini,
saya ingin menyarankan suatu wujud identitas minimal yang bisa menjadi karakteristik bersama.
Salah satu kesepakatan yang paling umum di dalam kesarjaanaan injili mengenai identitas kaum ini
adalah Quadrilateral Bebbington. Menurut David W. Bebbington, kaum Injili mempunyai empat
karakteristik yaitu, konversionisme (Conversionism), aktivisme (activism), biblisisme (biblicism), dan cruci-
sentrisme (cruci-centrism).46 Empat karakteristik ini biasanya disebut sebagai Quadrilateral Bebbington.
Konversionisme berarti bahwa kaum Injili percaya bahwa kehidupan seorang manusia perlu
diperbaharui.47 Lebih jauh lagi, kaum Injili menekankan adanya suatu perubahan hidup dari
keberdosaan menuju kepada kehidupan yang baru di dalam Kristus. Biblisisme berarti bahwa kaum

41 Yosia, “Merupa Wujud Evangelikalisme di Indonesia: Suatu Usulan Awal.”


42 Bagian ini pernah dituliskan pada artikel saya yang dipublikasikan di Indonesian Journal of Theology. Lih.
Yosia, “Mendedah Lokalitas, Menuju Interseksionalitas.”
43 Daniel J. Treier dan Kevin J. Vanhoozer, Theology and the Mirror of Scripture: A Mere Evangelical Account, Studies

in Chrisian Doctrine and Scripture (Downer Grove, London: Inter Varsity, Apollos, 2016).
44 J. I. Packer dan Thomas C. Oden, Satu Iman: Konsensus Injili (Jakarta: Gunung Mulia, 2011); Alister McGrath,

Evangelicalism and The Future of Christianity (Downer Grove: Inter Varsity Press, 1995).
45 Christian Sulistio, “Identitas Kaum Injili dan Perannya dalam Memperkembangkan Teologi,” Stulos 18, no. 1

(Januari 2020): 1–25; Togardo Siburian, Menjadi Protestan yang Injili, ed. Leo Nardo et al. (Bandung: CV Feniks Muda
Sejahtera, 2021).
46 David W. Bebbington, Evangelicalism in Modern Britain: A History from the 1730 to the 1980s (United Kingdom:

Routledge, 1989), 2–3.


47 Ibid.

hal. 8
Injili menekankan Alkitab sebagai otoritas utama, “all spiritual truth is to be found in its pages.”48
Sebagai catatan penting, biblisisme di sini tidak sama dengan suatu pandangan yang menyatakan
pembacaan literal49 dari Kitab Suci sebagai cara pandang yang paling benar. Aktivisme berarti suatu
pandangan bahwa Injil perlu diekspresikan di dalam segala bidang kehidupan.50 Inti dari karakteristik
ini adalah penyebaran berita kepada “dunia” oleh orang-orang yang sudah mengalami perubahan
hidup di dalam Kristus. Cruci-sentrisme adalah pandangan yang menekankan karya pengorbanan
Kristus di kayu salib.51 Lebih lanjut, penekanan terhadap karya kematian Kristus di kayu salib dan
kebangkitan-Nya merupakan jantung pemahaman dari kaum Injili.
Usulan Basis Teologi Publik Injili: Quadrilateral Bebbington
Apabila kaum injili memang mempunyai empat karakteristik tersebut, bagaimanakah wujud
pertautan antara identitas injili yang dibangun atas identitas dari Quadrilateral Bebbington dengan
kajian di ruang publik. Saya sendiri sudah pernah mengusulkan wujud teologi publik dari Tionghoa-
Injili lewat kajian interseksionalitas. Karena ide yang dapat disesuaikan mirip, saya akan mencoba
memberikan contoh-contoh ide yang dapat menjadi perkembangan ide ini.
Biblisisme
Contoh kajian yang ada pada tulisan ini adalah ide dari Febrianto yang sudah saya utarakan di atas.52
Mengenai metode, salah satu perkembangan yang dapat dilakukan adalah dengan pendalaman dari
kajian hermeneutika yang dapat mulai merangkul lebih banyak cara pandang. Nama-nama seperti
Kevin J. Vanhoozer, Stephen Fowl, ataupun Anthony Thieselton menjadi juru kunci dari pembacaan
kajian Theological Interpretation of Scripture (TIS) di Amerika Utara. Di Indonesia sendiri, Carmia
Margaret misalkan menjelaskan salah satu metode pembacaan Theological Interpretation of Scripture (TIS)
yang mulai digandrungi oleh kaum Injili di Amerika Utara saat ini.53 Sebagaimana yang Margaret
utarakan, TIS membukakan ruang bagi refleksi teologis yang lebih luas di dalam suatu konteks
tertentu.54 Walau ia tidak membahas isu konteks secara lebih mendalam, saya melihat bahwa
pembacaan TIS ini dapat memberikan ruang juga bagi pembacaan politik ataupun sosial dengan
lebih luas lagi.
Kajian berikutnya yang dapat digunakan dalam biblisisme ini adalah penggunaan metode yang
interdisipliner. Salah satu penggunaan metode filsafat sebagai sudut pandang untuk melihat Kitab
Suci sendiri sudah dilakukan oleh Abel Kristofel Aruan.55 Aruan mengusulkan pembacaan kitab

48 Ibid.
49 Literalisme yang saya maksud adalah suatu usaha untuk mengontekskan kisah Alkitab ke dalam kehidupan
nyata tanpa mempertimbangkan konteks dari narasi Alkitab tersebut.
50 Bebbington, Evangelicalism in Modern Britain: A History from the 1730 to the 1980s, 2.
51 Ibid., 3.
52 Febrianto, “Konsep Ciptaan Baru N.T. Wright Sebagai Paradigma Teologi Publik Kaum Injili di Indonesia.”
53 Carmia Margaret, “Pendekatan Interpretasi Teologis Kitab Suci dan Prasuposisi-Prasuposisi Teologis di

Baliknya,” Veritas: Jurnal Teologi dan Pelayanan, Vol. 18, No. 2 (2019): 141-160,
https://doi.org/10.36421/veritas.v18i2.330.
54 Ibid., 146.
55 Abel Kristofel Aruan, “Surat Jerami di Meja Austin,” Indonesian Journal of Theology, Vol. 4, No. 2 (2017): 257-

279, https://doi.org/10.46567/ijt.v4i2.43.
hal. 9
Yakobus dengan metode tindakan-wacana dari J. L. Austin. Hasil akhir dari pembacaan ini adalah
tindakan (performatif) seorang Kristen yang dilandaskan pada doktrin.
Cruci-Sentrisme
Salah satu contoh buku yang baik untuk memulai hal ini adalah The Incomparable Christ karya dari
John Stott. Di dalam buku tersebut, Stott mencoba mengeksplorasi ragam penafsiran terhadap
pertanyaan siapakah Yesus. Stott mengusulkan lebih dari tiga puluh jawaban mengenai siapakah
Yesus. Misalkan, Stott melihat bahwa minimal ada enam model Yesus yang dapat dibangun dari
empat Injil yaitu: Yesus sebagai penggenapan dari Kitab Suci (Matius), Kristus sebagai hamba yang
menderita (Markus), Yesus sebagai penyelamat dunia (Lukas), Yesus sang Firman yang menjadi
manusia (Yohanes).56 Stott juga menyatakan bahwa Yesus sebagai teladan aksi nir-kekerasan bagi
Mahatma Gandhi dan Martin Luther King, Jr.57 Lebih jauh lagi, Stott juga mengelaborasi karya dari
Gustavo Gutiérrez, yaitu Kristus yang membebaskan.58
Konversionisme
Conversionisme merupakan pemahaman yang menitikberatkan perubahan hidup sebagai bagian dari
pengalaman seorang Injili. Minimal saya melihat konversionisme ini dapat dilakukan di dalam dua
lapisan di dalam kajian publik. Lapisan yang pertama adalah lapisan perubahan hidup secara individu.
Sebagai contoh, katakanlah bahwa perubahan hidup mencakup perubahan pikiran dan juga tindakan
sebagai tanda pertobatan dan juga pengudusan dari seorang percaya.
Berikutnya, lapisan kedua berbicara mengenai transformasi sosial dari masyarakat pasca kerusuhan
Mei 1998. Pertanyaan yang mungkin dapat diajukan adalah, apakah wujud nyata perubahan hidup
yang perlu diwujudnyatakan oleh kaum Tionghoa-Injili di dalam konteks pasca kerusuhan Mei 1998
ini? Secara pribadi, saya mengusulkan bahwa kaum Injili perlu melakonkan suatu drama yang
mentransformasikan sebagai salah satu wujud kesaksian publik di Indonesia.59 Selanjutnya, apa yang
Dawa dan Sin sudah utarakan di atas dapat menjadi suatu usulan mengenai rekonsiliasi sebagai
wujud dari usaha transformasi sosial.60
Aktivisme
Aktivisme berhubungan dengan paradigma Injili yang diekspresikan di dalam segala bidang
kehidupan manusia. Salah satu artikel yang penting membahas isu-isu ini pernah ditulis oleh
Bambang Budijanto.61 Budijanto menawarkan studi kasus yang pernah dilakukan di Surakarta
mengenai peranan gereja-gereja Injili di dalam partai politik. Tentu aktivisme injili ini tidak hanya
tertutup di dalam peranan politik semata. Saya sendiri mengenal rekan injili, yang bernama Risma

56 John R W Stott, The Incomparable Christ (Grand Rapids, MI: Inter-Varsity Press, 2001), 27-38.
57 Ibid., 137-141.
58 Ibid., 107-112.
59 Saya juga sudah mencoba untuk mengusulkan pandangan ini di dalam Adrianus Yosia, “Wahai Pengikut

Kristus, Mainkanlah Drama Yang Mentransformasikan Itu!,” Indonesian Journal of Theology, Vol. 3, No. 2 (2016): 185-205,
https://doi.org/10.46567/ijt.v3i2.56. Karya yang ada pada jurnal Veritas, seperti Herry Susanto, “Panggilan Sosial
Gereja Berdasarkan Pelayanan Yesus dalam Lukas 4:18-19: Sebuah Upaya Merevitalisasi Pelayanan Gereja,” Veritas:
Jurnal Teologi dan Pelayanan, Vol. 19, No. 1 (2020): 97-112, https://doi.org/10.36421/veritas.v19i1.356.
60 Dawa, “Rekonsiliasi Etnis”; Dawa, “Menjadi Jemaat Multikultural”; Sin, Ketika Semakin Terbuka.
61 Bambang Budijanto, “Evangelicals and Politics in Indonesia: The Case of Surakarta,” in Evangelical Christianity

and Democracy in Asia, ed. David H. Lumsdaine (Oxford: Oxford University Press, 2009).
hal. 10
Lumalessil (lih. https://gkmi-ark.org/author/risma/) yang memang melakukan aksi-aksi sosial di
Jakarta.
Tiga Kebajikan
Tampaknya, usulan Bebbington ini pun perlu dikembangkan lebih jauh lagi. Saya ingin mengusulkan
tiga tambahan yang perlu dipikirkan lebih jauh yaitu: interdispliner, transdenominasional, dan juga
lokalitas. Vincent Tanzil mengusulkan pentingnya lokalitas di dalam teologi injili di dalam konteks
globalisasi.62 Tanzil menyatakan bahwa isu-isu lokal perlu diangkat oleh kaum injili di Indonesia.
Berikutnya, Hendra Winarjo mengusulkan pentingnya transdenominasional di dalam kajian 63 Lewat
apa yang Winarjo utarakan, kejamakan di dalam komunitas Injili dapat direngkuh. Terakhir, lewat
karya Febrianto, kajian interdisipliner memang perlu untuk ditelaah lebih jauh.

Kesimpulan
Bagaimanakah wujud teologi publik injili? Di tengah-tengah arus religiositas yang terus meningkat di
Indonesia dan juga arus teologi publik yang sedang menjadi diskursus di dunia, teologi injili, menurut
saya, perlu didasarkan kepada identitas yang diusulkan oleh Bebbington sebagai dasarnya. Namun,
saya juga menawarkan tiga kebajikan yang perlu direngkuh oleh kaum injili.

Daftar Pustaka
Adiprasetya, Joas. “In Search of a Christian Public Theology in the Indonesian Context Today.”
Diskursus 12, no. 1 (April 2013): 103–124.
Aruan, Abel Kristofel. “Surat Jerami di Meja Austin.” Indonesian Journal of Theology 4, no. 2 (Desember
1, 2017): 257–279. https://indotheologyjournal.org/index.php/home/article/view/43.
Badan Pusat Statistik. “Hasil Sensus Penduduk 2020.” Berita Resmis Statistik 7, no. 1 (Januari 2021).
Bebbington, David W. Evangelicalism in Modern Britain: A History from the 1730 to the 1980s. United
Kingdom: Routledge, 1989.
Budijanto, Bambang. “Evangelicals and Politics in Indonesia: The Case of Surakarta.” In Evangelical
Christianity and Democracy in Asia, diedit oleh David H. Lumsdaine. Oxford: Oxford University
Press, 2009.
Casanova, José. Public Religions in the Modern World. Chicago: University of Chicago Press, 1994.
Clarke, Sathianathan. Competing Fundamentalism. Louisville, Kentucky: Westminster John Knox Press,
2017.
Dawa, Markus Dominggus L. “Menjadi Jemaat Multikultural : Suatu Visi untuk Gereja-Gereja
Tionghoa Injili Indonesia yang Hidup di Tengah Konflik Etnis dan Diskriminasi Rasial.”
Veritas : Jurnal Teologi dan Pelayanan 7, no. 1 (April 1, 2006): 127–144.
https://ojs.seabs.ac.id/index.php/Veritas/article/view/157.
———. “Rekonsiliasi Etnis: Misi Bersama Komunitas Kristen Tionghoa.” Veritas 2, no. 2 (2001).

62 Vincent Tanzil, “Teologi Injili di Indonesia dan Usaha Kontekstualisasinya Dalam Era Globalisasi,” Jurnal

Amanat Agung 9, no. 2 (2013): 105–124.


63 Hendra Winarjo, “Menuju Satu Tubuh Dengan Berbagai Anggota: Sikap Kaum Injili untuk Memediasi

Konflik yang Berpotensi Muncul Akibat Keragaman Denominasi Gereja di Indonesia,” Jurnal Amanat Agung 16, no. 2
(2021): 255–283.
hal. 11
Febrianto. “Konsep Ciptaan Baru N.T. Wright Sebagai Paradigma Teologi Publik Kaum Injili di
Indonesia.” Jurnal Amanat Agung 14, no. 1 (2018): 63–108.
Graham, Elaine. Between a Rock and a Hard Place. London: SCM Press, 2013.
Green, Chris, ed. A Higher throne: Evangelicals And Public Theology. Nottingham, England: Apollos,
2008.
Hardiman, F. Budi. Ruang Publik. Yogyakarta: Kanisius, 2010.
Hariyanto, Devina. “Indonesian Youths Say Religion Key to Happiness, Bucking Global Trend.”
Last modified 2018. Diakses Mei 5, 2021.
https://www.thejakartapost.com/news/2018/06/01/indonesian-youths-say-religion-key-to-
happiness-bucking-global-trend.html.
Havea, Jione, ed. Mission and Context. Minneapolis: Fortress Press, 2020.
Hutabarat, Binsar A. “Evaluasi Terhadap Rumusan Pernyataan Pastoral PGI Tentang LGBT.”
Societas Dei 6, no. 2 (2019): 136–151.
Intan, Benyamin F. “‘A Public Religion’ and the Pancasila-Based State of Indonesia: A Theological-
Ethical Analysis.” Verbum Christi 1, no. 1 (2014): 24–44.
———. “Public Religion” and the Pancasila-Based State of Indonesia. New York: Peter Lang, 2006.
Kaemingk, Matthew, ed. Reformed Public Theology. Grand Rapids: Baker Academic, 2001.
Kelan, Hendrika Mayora Victoria. “Christaphany: Intersectional Spirituality in Public.” @Theovlogy.
Last modified 2021. Diakses Oktober 21, 2021.
https://www.youtube.com/watch?v=EXm5a_B_Xe4&t=222s.
Kim, Sebastian. Theology in the Public Sphere: Public Theology as a Catalyst for Open Debate. Norwich: SCM
Press, 2011.
Kim, Sebastian, dan Katie Day. “Introduction.” In A Companion to Public Theology, diedit oleh
Sebastian Kim dan Katie Day, 1–21. Leiden: Brill, 2017.
Margaret, Carmia. “Pendekatan Interpretasi Teologis Kitab Suci dan Prasuposisi-Prasuposisi
Teologis di Baliknya.” Veritas: Jurnal Teologi dan Pelayanan 18, no. 2 (Desember 2, 2019): 141–
160. https://ojs.seabs.ac.id/index.php/Veritas/article/view/330.
Mayasari, Silvina. “Konstruksi Media Terhadap Berita Kasus Penistaan Agama Oleh Basuki Tjahaja
Purnama (Ahok): Analisis Framing Pada Surat Kabar Kompas dan Republik.” Jurnal Komunikasi
VIII, no. 2 (September 2017).
McGrath, Alister. Evangelicalism and The Future of Christianity. Downer Grove: Inter Varsity Press,
1995.
Moltmann, Jürgen. God for a Secular Society: The Public Relevance of Theology. Diterjemahkan oleh
Margareth Kohl. Minneapolis, MN: Fortress Press, 1999.
Nash, Manning. “Islamic Resurgence in Malaysia and Indonesia.” In Fundamentalism Observed, diedit
oleh Martin E. Marty dan R. Scott Appleby. Vol. 1. Chicago and London: University of
Chicago Press, 1991.
Niles, Preman D. Is God Christian? Minneapolis: Fortress Press, 2017.
Packer, J. I., dan Thomas C. Oden. Satu Iman: Konsensus Injili. Jakarta: Gunung Mulia, 2011.

hal. 12
Pattipeilohy, Stella Y. E. Teologi Publik Asia Menurut Preman Niles: Sebauah Sketsa Membangun Teologi
Publik GPIB. Yogyakarta: Kanisius dan UKDW, 2019.
Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia. “Pernyataan Pastoral PGI tentang LGBT,” Juni 2016.
Diakses September 15, 2021. http://pgi.or.id/wp-content/uploads/2016/06/Pernyataan-
Sikap-PGI-tentang-LGBT.pdf.
Pew Research Center. “The Global Divide on Homosexuality.” Last modified Juni 2013. Diakses
Oktober 21, 2021. https://www.pewresearch.org/global/2013/06/04/the-global-divide-on-
homosexuality/.
Poushter, Jacob. “‘The Global God Divide’ – Analyzing Belief in God and Morality: An Interview
with the Pew Research Center.” Last modified September 3, 2020. Diakses Maret 10, 2021.
https://www.reviewofreligions.org/24551/the-global-god-divide-an-interview-with-the-pew-
research-center/.
Priyadharma, Subekti W. “Against Ahok: An Analysis of Emotion-Driven Movements and Network
Power in Jakarta’s 2017 Gubernatorial Election.” Salasika 1, no. 1 (2018).
Siburian, Togardo. Menjadi Protestan yang Injili. Diedit oleh Leo Nardo, Norman Kyrieleison
Nainggolan, Hardianus Age, dan Ethan Christopher. Bandung: CV Feniks Muda Sejahtera,
2021.
Sin, Sia Kok. Ketika Semakin Terbuka: Dinamika Keberadaan Etnis Tionghoa di Indonesia dan Implikasinya
Bagi Pelayanan Gereja Etnis Tionghoa. 2nd ed. Malang: MNC Publishing, 2015.
Singgih, Gerith. “What Has Ahok to Do with Santa? Contemporary Christian and Muslim Public
Theologies in Indonesia.” International Journal of Public Theology 13, no. 1 (2019): 25–39.
Smart, Ninian. Dimensions of the Sacred: An Anatomy of the World’s Beliefs. London: Harper Collins, 1996.
Stackhouse, Max L. “CIVIL RELIGION, POLITICAL THEOLOGY AND PUBLIC
THEOLOGY: WHAT’S THE DIFFERENCE?” Political Theology 5, no. 3 (2004): 275–293.
Stott, John R W. The incomparable Christ. Grand Rapids, MI: Inter-Varsity Press, 2001.
Sulistio, Christian. “Identitas Kaum Injili dan Perannya dalam Memperkembangkan Teologi.” Stulos
18, no. 1 (Januari 2020): 1–25.
Susanto, Herry. “Panggilan Sosial Gereja Berdasarkan Pelayanan Yesus dalam Lukas 4:18-19: Sebuah
Upaya Merevitalisasi Pelayanan Gereja.” Veritas: Jurnal Teologi dan Pelayanan 19, no. 1 (Mei 28,
2020): 97–112. https://ojs.seabs.ac.id/index.php/Veritas/article/view/356.
Tamir, Christine, Aidan Connaughton, dan Ariana Monique Salazar. “The Global God Divide.” Last
modified Juli 2020. Diakses September 15, 2021.
https://www.pewresearch.org/global/2020/07/20/the-global-god-divide/.
Tanzil, Vincent. “Teologi Injili di Indonesia dan Usaha Kontekstualisasinya Dalam Era Globalisasi.”
Jurnal Amanat Agung 9, no. 2 (2013): 105–124.
Tracy, David. “Three Kinds of Publicness in Public Theology.” International Journal of Public Theology 8,
no. 3 (Agustus 26, 2014): 330–334. https://brill.com/view/journals/ijpt/8/3/article-
p330_5.xml.
Treier, Daniel J., dan Kevin J. Vanhoozer. Theology and the Mirror of Scripture: A Mere Evangelical
Account. Studies in Chrisian Doctrine and Scripture. Downer Grove, London: Inter Varsity,

hal. 13
Apollos, 2016.
Turmudi, Endang. “Waspadai Paham Radikalisme di Sekolah.” Last modified Februari 22, 2016.
Diakses Juli 13, 2021. http://lipi.go.id/berita/single/Waspadai-Paham-Radikalisme-di-
Sekolah/15080.
Varkey Foundation. What the World’s Young People Think and Feel: Global Citizenship Survey. UK: Varkey
Foundation, 2017. Diakses September 15, 2021.
https://www.varkeyfoundation.org/media/4487/global-young-people-report-single-pages-
new.pdf.
Winarjo, Hendra. “Menuju Satu Tubuh Dengan Berbagai Anggota: Sikap Kaum Injili untuk
Memediasi Konflik yang Berpotensi Muncul Akibat Keragaman Denominasi Gereja di
Indonesia.” Jurnal Amanat Agung 16, no. 2 (2021): 255–283.
Yosia, Adrianus. “Mendedah Lokalitas, Menuju Interseksionalitas.” Indonesian Journal of Theology 8, no.
2 (Desember 31, 2020): 198–230.
https://indotheologyjournal.org/index.php/home/article/view/202.
———. “Merupa Wujud Evangelikalisme di Indonesia: Suatu Usulan Awal.” Veritas: Jurnal Teologi
dan Pelayanan 19, no. 1 (Mei 24, 2020): 85–95.
https://ojs.seabs.ac.id/index.php/Veritas/article/view/339.
———. “Wahai Pengikut Kristus, Mainkanlah Drama yang Mentransformasikan Itu!” Indonesian
Journal of Theology 3, no. 2 (Mei 1, 2016): 185–205.
https://indotheologyjournal.org/index.php/home/article/view/56.
Yulius, Hendri. Coming Out. Jakarta: Gramedia, 2015.
“Further Thoughts on Religion and Modernity.” Society 49, no. 4 (2012): 313–316.
http://search.proquest.com/docview/1022373330?accountid=25704.

hal. 14

Anda mungkin juga menyukai