Anda di halaman 1dari 12

See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.

net/publication/346405005

RELASI AGAMA DAN MEDIA

Presentation · November 2020

CITATIONS READS
0 1,402

1 author:

Sunaryanto ..
STIDDI AL-HIKMAH JAKARTA
19 PUBLICATIONS   0 CITATIONS   

SEE PROFILE

All content following this page was uploaded by Sunaryanto .. on 26 November 2020.

The user has requested enhancement of the downloaded file.


RELASI AGAMA DAN MEDIA

OLEH: SUNARYANTO
NIM: 21150510000005
Email: ibnuhazm14@gmail.com

PROGAM STUDI KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM


MAGISTER FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASI
UNIVERSITAS NEGERI SYARIAF HIDAYATULLAH JAKARTA
TAHUN 2016
Relasi Agama dan Media
Oleh: Sunaryanto
Abstract: Religion and Media Relations. The paper was made in order to
determine the relation between religion and the media. The paper also aims to
determine the development of media in society, religion in the media and the
media as a religion. The method of writing a paper using literature study
approach. That is, the primary data only using the document library then
dideskripisikan invention results to be analyzed. The conclusion is that religion
is the practice of worship to God Almighty, which has rules that are already
fixed. Media and religion does have a relationship with them significant.
However, the media can not be used as any religion. Media can only be used
as wasilah in proselytizing (dakwah).
Keywords: Relationships, Religion and New Media
Abstrak: Relasi Agama dan Media. Makalah dibuat dengan tujuan untuk
mengetahui relasi antara agama dan media. Makalah juga bertujuan untuk
mengetahui perkembangan media dalam masyarakat, agama dalam media
dan media sebagai agama. Metode penulisan makalah menggunakan
pendekatan studi pustaka. Artinya, data primer hanya menggunakan dokumen
pustaka kemudian hasil penemuan dideskripisikan untuk dianalisis.
Kesimpulannya adalah agama adalah praktik penyembahan kepada Tuhan
Yang Maha Esa, yang memiliki aturan yang sudah tetap. Media dan agama
memang memiliki relasi yang cukup siginifikan. Namun, media tidak dapat
dijadikan sebagai agama apapun. Media hanya dapat dijadikan sebagai
wasilah dalam penyebaran agama (dakwah).
Kata Kunci: Relasi, Agama dan Media Baru
Pendahuluan
Media dalam perkembangannya tidak hanya menjadi entitas yang
menghasilkan produk budaya, ekonomi dan politik.1 Namun, media saat ini
menjadi sebuah enitas yang membawa berbagai ideologi bahkan agama.2
Media baru yang dihasilkan dari teknologi baru saat ini membawa nilai-nilai
agama baru. Jika ditelusuri lebih jauh media ternyata membawa teologi baru
(new teologi) dalam beragama. Hampir secara keseluruhan masyarat mencari

1 Media tidak hanya menjadi produsen budaya populer dalam masyarakat sosial.
Media justru memberikan pengaruh tertentu pada khalayak dengan proses transfer informasi
pendidikan, budaya, sikap dan nilai-nilai kehidupan. Isi media malahan dipengaruhi oleh dua
pihak yaitu interna (pemilik modal) dan eksternal (organisasi masyarakat, lembaga swadaya
masyarakat dan pemerintah). Lihat di Muchyidin Agung Harahap, Kapitalisme Media: Ekonomi
Politik Berita dan Diskursus Televisi (Yogyakarta: Pustaka Aura, 2013), cet ke-1, hal.11
2 Dalam beberapa kasus yang terjadi masyarakat cenderung mencari informasi

tentang agama dari media bahkan media baru (internet). Sebagian masyarakat bahkan hanya
mencari rujukan dari situs-situs online di internet untuk mencari hukum keagamaan. Sehingga,
seakan-akan kitab suci laiknya Al-Qur’an dan Al-Hadits dalam bentuk teks book menjadi tidak
penting karena orang lebih memilih sumber dari situs online.

1
sumber hukum agama atau dasar teologi dari media baru (teologi on new
media). Kondisi tersebut semakin nampak nyata dengan munculnya internet
atau yang disebut dengan media baru (new media).
Media baru atau internet membawa nilai baru dalam beragama bagi
sebagian masyarakat. Sehingga dengan kehadiran media baru tersebut
sebagain orang cenderung mengambil nilai agama melalui media. Sebagai
contoh adalah dengan berkembanganya media online yang menggunakan
pendekatan Islam. Media ini menggunakan menggunakan konten yang
menggunakan ajaran Islam. Bahkan seseorang yang ingin mencari referensi
Al-Qur’an dan Al-Hadits hanya perlu mengklik sebuah situs online, maka
referensi yang dicari akan muncul.
Media baru (internet) juga berfungsi sebagai entitas untuk
menyebarkan ajaran agama. Jika dahulu seseorang yang ingin menyebarkan
agama harus menempuh dengan jalan kaki, maka sangat berbeda dengan
saat ini. Media baru (internet) sudah menyediakan ruang bagi
orang/kelompok/lembaga yang akan menyebarkan agama. Dengan
menggunakan situs online maka seseorang dapat membuat progam
penyebaran konten keagamaan. Konten yang dibuat tersebut menembus
batas ruang, waktu dan bahkan sekat-sekat negara.
Sebagai contoh adalah penggunan media online atau youtube untuk
menyebarkan berbagai video dakwah Islam. Jika dahulu, ceramah atau
dakwah dilakukan dengan ceramah di mimbar, maka sekarang cara tersebut
sudah tidak efektif dilakukan. Dakwah atau penyebaran agama Islam akan
lebih efektif dengan memanfaatkan media baru atau internet. Selain itu,
hasilnya akan dilihat oleh orang lain dalam jumlah yang tidak terbatas.
Penyebaran dakwahnya pun melampui batas negara dengan hitungan detik.
Hal tersebut menunjukkan bahwa agama dan media memiliki relasi yang cukup
signifikan.
Dari latar belakang tersebut dapat disimpulkan bahwa pada saat ini
agama dan media memiliki relasi yang signifikan. Perkembangan media baru
(internet) turut menambah keunikan relasi antar agama dan media. Pada tahap
perkembangannya, justru akan nampak bahwa media akan berubah menjadi
agama bagi sebagian masyarakat. Media baru tidak hanya berfungsi sebagai
etintas yang memproduksi budaya3, namun beralih fungsi menjadi
agama/teologi baru bagi sebagian masyarakat. Agama dan media merupakan
diskursus yang sangat menarik untuk terus dilihat perkembangannya.

3 Soerjono Soekanto mengutip pendapat Bronislaw menyebutkan bahwa unsur-

unsur kebuadayaan dalam masyakarat dengan sebutan culuture universal. Unsur-unsur


kebudayaan tersebut adalah 1) sistem norma-norma yang memungkinkan kerja sama antara
para anggota masyarakat agar menguasai alam dan sekelilingnya, 2) organisasi ekonomi, 3)
alat-alat dan lembaga-lembaga atau petugas-petugas untuk pendidikan, dan 4) organisasi
kekuatan. Lihat di Soerjono Soekanto, Sosisologi Suatu Pengantar (Jakarta: CV Rajawali,
1987), cet ke-8, hal. 157

2
Kerangka Dasar Teori
Definisi Relasi
Mendefinisikan makan relasi dapat dilakukan melalui pendekatan
sosial. Relasi dalam hal ini termasuk ruang lingkup komunikasi yang dilakukan
dalam ranah sosial. “Relasi sosial merupakan hubungan antar manusia,
dimana relasi tersebut menentukan struktur masyarakat. Relasi sosial ini
didasarkan pada komunikasi antar individu dalam masyarakat. Oleh karena itu
dapat disebutkan bahwa komunikasi merupakan dasar eksistensi suatu
kelompok masyarakat. Relasi sosial atau hubungan dalam masyarakat ini, baik
dalam bentuk individu atau perorangan maupun dengan kelompok-kelompok
dan antar kelompok manusia itu sendiri mewujudkan segi dinamika perubahan
dan perkembangan masyarakat.”4
Definisi Agama
Agama didefinisikan sebagai ajaran atau sebuah sistem yang
mengatur tata tata keimanan (kepercayaan) dan peribadatan kepada Tuhan
Yang Maha Kuasa serta tata kaidah yang berhubungan dengan pergaulan
manusia dan manusia serta manusia dengan lingkungannya.5 Sedangkan
dalam Islam agama lebih dekat dengan sebutan diin (dienul Islam). Kalimat
diin dalam Bahasa Arab mengandung tiga pengertian yaitu kekuasaan, tunduk
(QS 9: 29), balasan (QS 1: 4), dan undang-undan/peraturan (QS 12: 76).6 Jadi,
agama adalah sebuah tata aturan dan ajaran untuk menyembah Tuhan Yang
Maha Esa.
Pada tataran diskursus akademik, makna religion (agama) di Barat
memang memang problematik. Selama bertahun-tahun Barat mencoba
mencoba membuat definisi religion namun masih gagal. Sehingga bagi para
sosiolog dan antropolog, religion bukan seperangkat ide-ide tentang
ketuhanan.7 Jadi, religion bagi mereka merupakan praktik sosial yang
dihasilkan oleh budaya. Agama bukan merupakan hal yang harus dihubungkan
dengan penyembahan pada Tuhan. Mereka mempercayai Tuhan, tetapi
mereka tidak menganggap Tuhan berperan dalam kehidupan dunia.
Karen Amstrong menjelaskan bahwa agama atau kepercayaan
manusia ada Tuhan Tertinggi sudah dimiliki oleh sepanjang sejarah manusia
walaupun pada awalnya masih dipahami secara primitif.8 Beberapa makna

4 Shandra Khaterine, “Proses Sosial dan Interaksi Sosial”, diakses 30 Maret 2016
dari https://shandrakatherine.wordpress.com/2012/09/19/sosiologi-proses-sosial-dan-interaksi-sosial/
5 Depertemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: PT

Gramedia Pustaka Utama, 2008), hal. 15


6 Arif Ma’ruf, Aqidah Islam (Jakarta: STID DI Al-Hikmah Jakarta, 2016), hal. 14-15
7 Hamid Fahmy Zarkasyi, Misykat: Refleksi Tentang Westernisasi, Liberalisasi dan

Islam (Jakarta: Insist, 2012), cet ke-1, hal. 20-21


8 Karen Amstrong, Sejarah Tuhan: Kisah 4.000 Tahun Pencarian dalam Agama-

Agama Manusia, Terj. Zaimul Am (Bandung: PT. Mizan Pustaka, 2012), cet ke-4, hal. 27

3
tersebut dapat disimpulkan bahwa agama merupakan sebuah sistem
kepercayaan, ajaran dan penyembahan kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Agama secara umum adalah ajaran yang mengakui bahwa manusia hidup di
dunia karena kekuasan Tuhan. Agama memiliki hubungan atau relasi yang
empiris untuk mengenal alam sekitar.
Stewart M. Hoover9 menjelaskan, perdebatan antara agama dan
media pertama kali datang ke publik dan perhatian ilmiah di pertengahan abad
kedua puluh. Pada waktu itu, yang menjadi masalah adalah munculnya siaran
agama tidak disetujui oleh otoritas keagamaan yang sekuler. Kasus itu
memuncak di saat ada fenomena baru tentang televangelism, dikenal oleh
masyarakat. Di samping diskusi ini kegunaan agama media, perdebatan
muncul tentang liputan media agama pada saat agama memainkan peran yang
semakin penting di dalam negeri dan politik internasional.
Definisi Media Baru
Makna media sesungguhnya dapat dipahami dari berbagai sudut
pandang baik sosial, politik, ekonomi dan ideologi. Makna media juga dapat
dipahami dari sudut pandang perkembangan teknologi yang menyertainya.
Sehingga, saat era internet belum muncul, media hanya dipahami sebagai
entitas sederhana sebagai penyalur pesan. Media hanya dimaknai sebagai
entitas untuk berkomunikasi dua arah antar orang, kelompok atau lembaga.
Media belum mengalami perkembangan teknologi seperti yang terjadi pada
saat ini yang cenderung sangat liberal.
Saat media baru (internet) berkembang, makna media menjadi sangat
berbeda dengan media pendahulunya. Media yang dahulu berbentuk
konvensional, saat ini telah berubah menjadi media yang sifatnya massa. Rully
Nasrullah menyebutkan keterkatian antara media dan komunikakasi massa,
“Terkadang pengertian media ini cenderung lebih dekat terhadap sifatnya yang
massa karena terlihat berbagai teori yang muncul dalam komunikasi massa.
Namun, semua definisi yang ada memiliki kecenderungan yang sama bahwa
ketika disebut media, yang muncul bersamaan dengan itu adalah sarana
disertai dengan teknologinya”.10
“Salah satu konsep mutakhir yang ditawarkan untuk melihat internet
sebagai media komunikasi adalah konsep computer mediated
communications (CMC). Konsep CMC yang ditawarkan oleh John
December3 sebenarnya masih bersifat mentah dan cenderung
menerjemahkan konsep CMC dari alur logika teknis jaringan internet.
Apalagi konsepkonsep yang ditawarkan dalam CMC tidak melihat
komunikasi melalui internet adalah bersifat virtual (maya). Konsep

9 Stewart M. Hoover, et. al, Practicing Religion in The Age of The Media: Explorations
in Media, Religion and Culture (New York: Columbia University Press, 2001), page. 2
10 Rully Nasrullah, Media Sosial: Perspektif Komunikasi, Budaya dan Sosioteknologi

(Bandung: Simbiosa Rekatama Media, 2015), cet ke-1, 3

4
CMC juga tidak memberi penjelasan tentang level dan konteks
komunikasi, unsur-unsur komunikasi yang terlibat, serta model yang
berlaku dalam komunikasi menggunakan internet.”11
Rully Nasrullah menyebutkan “Teori cyberculture menegaskan per-
kembangan teknologi internet pada dasarnya melahirkan apa yang disebut
informational capitalism. Teknologi dan entitas yang berada di dalamnya
seperti pro-dusen, distributor, pengiklan, maupun peng-guna merupakan
model ekonomi baru me-landaskan produk dan komoditasnya pada informasi.
Namun patut dicatat, teknologi informasi tidaklah serta merta mengubah kultur
yang ada di tengah masyarakat dan jika ada perubahan kultur pun disebabkan
oleh interaksi yang terjadi di antara keduanya”.12
Nicholas Gane dan David Beer menjelaskan13, studi awal dapat
diambil antara media komunikasi digital dan teknologi analog yang lebih tua
(konvensional). perbedaan ini, bagaimanapun, telah menjadi subyek
perdebatan sengit dalam disiplin studi media, paling tidak karena jelas
'kebaruan' komputer berbasis Teknologi telah diperdebatkan dengan alasan
bahwa ada poin penting kontinuitas antara analog dan digital media. Tokoh
sentral dalam hal ini adalah Lev Manovich, yang berpendapat bahwa teknologi
bioskop awal diantisipasi banyak dari sifat-sifat yang seharusnya unik untuk
digital media.
Manovich tidak mengakui, bahwa ada satu perbedaan mendasar
antara bentuk media baru dan lama: mantan mengoperasikan melalui proses
'representasi numerik' sedangkan yang kedua tidak terjadi. Membuat media
baru artinya beroperasi melalui produksi dan pengolahan numerik (terutama
biner) kode. Kondisi tersebut muncul dalam bentuk-bentuk budaya (termasuk
seni, musik, teks) dalam kode numeric memungkinkan untuk direproduksi,
dimanipulasi dan ditransmisikan dengan belum pernah terjadi sebelumnya
memudahkan.
Pembahasan
Perkembangan Media dalam Masyarakat
Media atau media massa konvensional pada awalnya hanya
berfungsi sebagai sarana berkomunikasi serta sebagai saluran informasi.
Media pada waktu itu tidak menjadi entitas yang memiliki watak ideologis bagi
penggunanya. Tentu saja sangat berbeda dengan media massa yang
berkemang saat ini, sangat memiliki kepentingan ideologis dan politis. Media
massa memiliki hubungan timbal balik dengan masyarakat. Media

11 Mukhtar Effendi, “Peranan Media Internet Sebagai Media Komunikasi”, Jurnal

Komunika, Jurusan Dakwah STAIN Purwokerto, Vol.4 No.1 Januari-Juni 2010 pp.130-142
12 Qariah A Siregar, “Resensi Buku Komunikasi Antar Budaya (Di Era Budaya Siber)”

Jurnal Sosioteknologi, Volume 13, Nomor 3, Desember 2014


13 Nicholas Gane and David Beer, New Media the Key Concepts (New York: Berg,

2008), page. 6

5
membutuhkan kehadiran masyarakat (khalayak), sebaliknya masyarakat
(khalayak) membutuhkan kehadiran media baru.
Munculnya media baru (internet) dengan media sosial sebagai
turunannya, budaya masyarat berubah menjadi lebih dinamis. Komunikasi
yang pada awalnnya hanya terbatas, sekarang ini cenderung tidak terbatas.
Dengan internet, seseorang dapat melakukan komunikasi dengan orang lain
yang berada di benua lain. Proses komunikasi dilakukan dengan sangat
mudah tanpa terhalang oleh waktu dan sekat negara. Media baru berkembang
menjadi piranti yang memiliki efek global. Media baru membawa kebebasan
berkomunikasi bagi masyarakat dunia.
Perkembangan internet dengan piranti media sosialnya
memunculkan relatias baru yang berbeda dengan sebelum media sosial
muncul. Meminjam istilah yang digagas oleh Rully Nasrullah, bahwa saat ini
kencenderungannya disebut dengan era media siber. Media sosial yang
memunculkan era media siber merupakan ranah komunikasi massa yang akan
terus berubah secara dinamis. Era media siber telah memunculkan budaya
baru bagi sebagain masyakarat pengguna internet (netlingo). Para netlingo
memanfaatkan jejaring sosial sehingga membentuk komunitas dan budaya
populer yang relatif baru.
Perkembangan media dengan kehadiran internet membuka peluang
bagi tercipatanya warung digital. Sebagai contoh adalah dengan kehadiran
berbagai toko online di Indonesia, seperti lazada.com, bukalapak.com dan lain-
lain. Kondisi seperti ini juga menimbulkan kegiatan ekonomi yang berpusat dari
media online. Dua keuntungan yang dari warung digital adalah kemudahan
bagi penjulan dan kemudahan bagi pembeli. Bagi penjual, maka biaya yang
digunakan akan semakin murah. Jika dahulu harus membuka toko dengan
harga milyaran rupiah, maka dengan warung digital biaya tersebut dapat
dihemat.
Selain itu dengan kehadiran media siber, dapat memunculkan era baru
dalam kegiatan politik. Sebagai contoh kasus adalah penggunaan media sosial
dalam pemilu tahun 2014. Kampanye politik yang dahulu dilakukan secara
konvensional dengan turun di lapangan, sekarang bergeser menggunakan
media sosial. Media sosial dan media lain yang merupakan turunan dari
internet berperan serta menentukan citra calon presiden atau citra calon
anggota legislatif. Sehingga, citra calon presiden maupun calon anggota
legislatif sangat ditentukan olah progadanda media.
Pada awalnya media berfungsi sebagai media penyalur pesan, media
hiburan dan kontrol sosial. Media pada awalnya juga berfungsi sebagai bagian
dari demokrasi yang ikut mengontrol tugas pemerintahahan. Pada saat ini,
justru media berfungsi sebagai alat untuk melanggengkan kekuasaan. Media
menggunakan hegemoninya untuk memperkuat kekuasaan pemerintah. Media
tidak pernah memiliki sikap netral dalam berbagai bidang karena media bukan

6
ruang yang vakum. Media akan memiliki dua kepentingan yang terkait dengan
ideology pengguna media tersebut.
Agama Dalam Media
Media baru (internet) dengan media sosial sebagai turunannya
memiliki relasi yang kuat dengan agama. Informasi yang disalurkan melalui
media tidak hanya dalam bidang sosial budaya, ekonomi dan politik. Justru,
saat ini sangat mudah untuk menemukan sebaran berita yang terkait dengan
agama. Media menjadi ruang publik yang sangat bebas untuk mendefinisikan
berbagai ajaran keagamaan. Sebagai contoh adalah banyaknya media online
yang menggunakan pendekatan agama Islam. Media ini memang hadir
dengan berbagai karakter dan berbagai bentuk.
Mengutip pendapat David Morgan14 media dalam perspektif media dan
agama dapat dipahami baik secara terfokus dan spesifik atau dengan
menggunakan cara yang lebih luas dan diskursif. Artinya, memahami
perbedaan tersebut menjadi penting dalam membuat definisi tentang
perkembangan studi media dan agama. Sehingga, agama memerlukan media
(wasilah) untuk dapat disebarkan pada masyarakat. Namun, penyebaran itu
memunculkan kasus baru bahwa sesatu yang direpresentasikan oleh media
adalah bukan relaitas sebenarnya.
Media Islam contohnya, tidak selalu mewakili atau merepresentasikan
nilai Islam yang sebenarnya. Media tersebut terkadang hadir hanya mewakili
kelompok tertentu dan tidak dapat menjadi rujukan nilai Islam yang shohih
(terpercaya). Media menyalurkan pesan yang berisi tentang nilai-nilai Islam,
namun representasi maknanya menjadi bias. Sesuatu yang direpresentasikan
oleh media adalah relalitas yang dikonstruksi seolah fakta. Sehingga, khalayak
memahami pesan-pesan agama dengan cara yang berbeda. Otoritas
keagamaan menjadi sangat bebas mengarah pada bentuk yang libertarian.
Agama (sebagai contoh agama Islam), memiliki ajaran yang sudah
tetap, dengan makna yang unvirsal. Ada sejumlah pranata (model) untuk
menafsirkan ajaran agama Islam. Hal ini dilakukan agar Islam tidak dipahami
dengan cara yang salah, sehingga ajaran Islam tidak berubah sepanjang
zaman. Menafsirkan ayat Al-Quran atau hadits harus melalui proses yang
penuh kehati-hatian dan tidak boleh sembarangan. Sehingga, ajaran Islam
tidak mengalami distorsi pemaknaan.
Kehadiran media baru memunculkan beberapa masalah bagi
penyebaran informasi agama Islam. Media baru merupakan realitas yang tidak
mengenal batas wilayah dan batas waktu. Sehingga, sesuatu yang disebarkan
oleh media baru tidak selamanya sesuai dengan fakta di dunia nyata. Agama
dalam media menjadi sesuatu yang bisa saja terdistorsi. Agama yang berada

14 David Morgan, Key Word In Relegion, Media and Culture (New York dan London:
Roudledge, 2008), page 111

7
di media bukan merupakan hakikat agama yang sebenarnya. Perdebatan
seperti ini akan terus muncul seiring dengan perkembangan media baru. Media
memerlukan agama sebagai bagian dari komoditas ekonomi.
Agama merupakan praktik penyembangan pada Tuhan Yang Esa dan
bukan berasal dari produk budaya. Media baru (internet) membawa cara-cara
baru dalam praktik beragama. Agama bagi sebagian orang hanya ditentukan
oleh hasil budaya melalui media. Artinya, ketika media baru memiliki relasi
dengan praktik agama yang dilakukan oleh khalayak. Jika praktik agama hanya
dihasilkan dari hasil produk budaya media, maka agama tersebut menjadi
kurang sakral. Praktik agama seperti ini biasanya lebih mengarah pada bentuk
pluralisme agama.
Media Sebagai Agama
Media dalam perkembangannya merupakan entitas yang
menghasilkan berbagai produk budaya. Sebagai contoh budaya yang
dihasilkan oleh media adalah cara-cara berkomunikasi antar khalayak. Cara
berkomunikasi ketika internet belum muncul pasti berbeda dengan cara
berkomunikasi ketika internet sudah muncul. Bahkan, ketika era media siber
muncul, budaya yang dihasilkan mengalami perubahan. Artinya, budaya yang
ada di masyarakat akan selalu dinamis seiring dengan perkembangan media.
Ada hubungan timbal balik antara perkembangan media dengan budaya.
Fungsi media sebagai agama muncul ketika ditemukannya mesin
cetak pertama kali. Saat ini kitab suci semisal injil kemudian di bukukan melalui
kertas. Sebelumnya media penulisan injil hanya melalui tulang, batu, kulit
hewan, papirus dan lain-lain. Media tersebut sejatinya dapat dikategorikan
bahwa media sebagai agama. Sejarah telah membuktikan bahwa agama
diajarkan melalui berbagai media. Sejak era sebelum Masehi, media yang
digunakan memang masih dalam kategori sangat sederhana. Artinya,
sepanjang sejarah media memiliki hubungan timbal balik dengan agama.
Kondisi tersebut hampir sama dengan yang terjadi dengan agama
Islam. Pada awalnya, Al-Qur’an diturunkan melalui perantara malaikat Jibril
pada Muhammad SAW. Al-Qur’an dibacakan pada Muhammad kemudian
harus dihafal. Setelah beberapa lama, kemudian Al-Qur’an ditulis oleh
beberapa sahabat. Penulisan Al-Qur’an juga masih menggunakan media yang
sangat sederhana semisal tulang hewan, batu, kulit hewan, pelepah kurma dll.
Meskipun, Al-Qur’an tetap dihafal oleh para hufadz (penghafal Al-Qur’an) untuk
tetap menjaga keasliannya.
Pertanyaan yang muncul adalah bagaimana relasi antara media dan
agama? Apakah media dalam masyarakat dapat berubah menjadi agama?
Pertanyaan ini muncul karena sebagian masyarakat menggunakan media
sebagai rujukan praktik keagamaan. Agama merupakan praktik penyembahan
pada Tuhan Yang Esa, artinya agama bukan produk budaya. Makna agama ini
yang harus dipahami oleh pengguna media. Jika sudah memahami makna

8
agama maka akan lebih mudah memberikan penjelasan manfaat media untuk
praktik keagamaan.
Media merupakan entitas yang dipergunakan untuk menyebarkan
informasi. Sehingga informasi tentang praktik keagamaan merupakan ragam
informasi bisa menjadi bagian informasi media. Namun, media bukan entias
yang berada dalam ruang bebas. Ketika informasi dibuat oleh media, di sana
ada faktor sosial yang mendukung. Informasi atau wacana yang diproduksi
oleh media tidak selalu sesuai dengan fakta yang sebenarnya. Informasi
diproduki kemudian disalurkan melalui perantara (wasilah). Sehingga, sering
terjadi distorsi fakta ketika informasi dikonsumi oleh khalayak.
Media baru (internet) yang hadir dengan media sosial sebagai
turunannya mengahasilkan ragam informasi yang lebih komplek. Muncul
berbagai situs online yang menggunakan nama agama. Bahkan, Media sosial
juga banyak menghadirkan praktik serupa. Banyak konten-konten keagamaan
yang muncul lewat media sosial. Kondisi ini dimanfaatkan oleh khalayak dalam
mencari informasi keagamaan. Ketika internet belum muncul, khalayak
mencari rujukan lewat pemuka agama (da’i) dan rujukan kitab suci. Hal ini
sangat berbeda dengan praktik ketika internet sudah berkembang.
Ada perubahan secara radikal dalam praktik keagamaan pada
beberapa masyarakat. Khalalak lebih suka mencari informasi keagamaan
melalui media sosial yang ada. Ada semacam hubungan (relasi) timbal balik
antar media dan masyarakat agama. Artinya, media dalam beberapa kasus
yang terjadi memang telah dijadikan agama oleh khalayak. Media
menghasilkan teologi baru bagi sebagian khalayak (masyarakat). Kondisi
tersebut akan terus berubah mengikuti perubahan media itu sendiri. Media
menghasilkan produk budaya yang justru dipahami sebagai agama oleh
khalayak.
Kesimpulan
Media baru akan terus berkembang secara dinamis mengikuti
perkembangan teknologi informasi. Budaya yang dihasilkan oleh media
tersebut juga akan berubah secara dinamis. Kondisi ini memunculkan produk
budaya yang justru dipahami sebagai agama oleh sebagian masyarakat.
Padahal, agama bukan merupakan dari produk budaya. Agama adalah praktik
penyembahan kepada Tuhan Yang Maha Esa, yang memiliki aturan yang
sudah tetap. Media tidak selalu dapat dijadikan sebagai pemberi otoritas
kegamaan. Karena, banyak distorsi fakta yang diciptakan oleh media.
Media dan agama memang memiliki relasi yang cukup siginifikan.
Namun, media tetap tidak dapat dijadikan sebagai agama apapun. Media
hanya dapat dijadikan sebagai wasilah dalam penyebaran agama (da’wah).
Media merupakan medium yang dapat digunakan untuk memberikan
mengajak pada toleransi keagamaan. Namun, praktik keagamaan harus
dikembalikan pada kitab suci yang dimiliki oleh agama tersebut. Sehingga,

9
agama bukan merupakan produk budaya media. Agama dan media memiliki
hubungan timbal balik dalam setiap sejarah umat manusia.

Daftar Pustaka
Buku
Amstrong, Karen. Sejarah Tuhan: Kisah 4.000 Tahun Pencarian dalam
Agama-Agama Manusia, Terj. Zaimul Am. Bandung: PT. Mizan Pustaka, 2012.
Depertemen Pendidikan Nasional. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta:
PT Gramedia Pustaka Utama, 2008.
Gane, Nicholas and Beer, David. New Media the Key Concepts. New York:
Berg, 2008.
Harahap, Agung. Kapitalisme Media: Ekonomi Politik Berita dan Diskursus
Televisi. Yogyakarta: Pustaka Aura, 2013.
M. Hoover, Stewart et. al. Practicing Religion in The Age of The Media:
Explorations in Media, Religion and Culture. New York: Columbia University
Press, 2001.
Ma’ruf, Arif. Aqidah Islam. Jakarta: STID DI Al-Hikmah Jakarta, 2016.
Morgan, David. Key Word in Relegion, Media and Culture. New York dan
London: Roudledge, 2008.
Nasrullah, Rully. Media Sosial: Perspektif Komunikasi, Budaya dan
Sosioteknologi. Bandung: Simbiosa Rekatama Media, 2015.
Soekanto, Soerjono. Sosisologi Suatu Pengantar. Jakarta: CV Rajawali, 1987.
Zarkasyi, Hamid Fahmy. Misykat: Refleksi Tentang Westernisasi, Liberalisasi
dan Islam. Jakarta: Insist, 2012.
Jurnal
Effendi, Mukhtar. “Peranan Media Internet Sebagai Media Komunikasi”, Jurnal
Komunika, Jurusan Dakwah STAIN Purwokerto, Vol.4 No.1 Januari-Juni 2010
pp.130-142
Siregar, Qariah A. “Resensi Buku Komunikasi Antar Budaya (Di Era Budaya
Siber)”. Jurnal Sosioteknologi, Volume 13, Nomor 3, Desember 2014
Internet
Khaterine, Shandra. “Proses Sosial dan Interaksi Sosial”, diakses 30 Maret
2016 dari https://shandrakatherine.wordpress.com/2012/09/19/sosiologi-proses-sosial-dan-
interaksi-sosial/

10

View publication stats

Anda mungkin juga menyukai