Oleh
ii
Ada Tuhan di Facebook
Pencarian Tuhan di Era Budaya Digital
Oleh
iii
Daftar Isi
PENDAHULUAN ~ 1
Bab 1
FACEBOOK, MEDIA BARU ~ 10
Era Baru Telah Datang
Facebook, Media Baru di Era Baru
Facebook, Ruang Publik Bagi Individu
Bab 2
TUHAN DI FACEBOOK ~ 31
Tuhan yang Ditulis
Tuhan Digital
Tuhan Global, Tuhan Masa Depan?
Bab 3
MENCARI TUHAN DI DUNIA VIRTUAL ~ 63
Budaya Digital
Mencari Tuhan di Masa Transisi
Bab 4
TUHAN GLOBAL DAN PLURALISME AGAMA
BAGI MASA DEPAN ~ 104
Tuhan “Yang Diharapkan Bersama”
Pluralitas Agama dan Perannya di Masa Kini
- Agama-agama untuk Perdamaian
- Memahami Perbedaan dan Masalahnya
- Agama-agama dan Perdamaian
- Dialog Kemanusiaan Menuju Kedamaian yang
Sejati
iv
Nilai-Nilai Etis Bersama Demi Masa Depan
Masyarakat Global
1. Nilai Etis Bersama untuk Kehidupan yang
Egaliter dan Inklusif
2. Nilai Etis Bersama untuk Komunitas yang Sadar
Dialog
3. Nilai Etis Bersama untuk Komunitas yang
Berkeadilan
4. Nilai Etis Bersama untuk Komunitas yang Sadar
Ekologi
PENUTUP ~ 174
Kepustakaan ~ 189
v
Pendahuluan
1
membantu dan mempermudah manusia dalam mencapai
tujuan-tujuannya.
2
John Naisbitt di tahun 1995 mengatakan dalam bukunya
Global Paradox, “Ini adalah perubahan global dari
pentingnya negara ke pentingnya individu, dan dengan
adanya gelombang revolusi telekomunikasi, timbulah
peluang untuk kebebasan dan usaha individu yang sekali
belum pernah terjadi sebelumnya.”
3
Steve Jobs sedang berbicara tentang visinya untuk
masyarakat global bersama Apple. Pengembangan
teknologi terkini, agaknya masih dan mungkin akan selalu
berhubungan dengan apa yang sudah menjadi kesadaran
ribuan tahun manusia, yaitu gagasan tentang Tuhan.
Dengan demikian, teknologi selalu berusaha diletakkan
pada ideal-ideal yang juga menjadi visi agama-agama,
yaitu kebaikan.
57325647/what-steve-jobs-revealed-in-a-lost-interview/, (akses, 28
Maret 2012).
4
Facebook memang bukan agama dan sejatinya memang
demikian, tapi ia telah digunakan oleh orang-orang
beragama untuk mengekspresikan kerohaniaannya.
2
Lihat update pergerakan jumlah pengguna Facebook dan media
sosial lainnya pada The Statistic Portal, https://www.statista.com/statistics/272014/global-
social-networks-ranked-by-number-of-users/, (akses 31 Maret 2019)
5
dalam fenomena ini, pendekatan kajian budaya dan
jurnalisme penting untuk dijadikan sebagai alat pembedah.
Buku ini bermaksud mendiskusikan fenomena keagamaan
yang diekspresikan melalui perangkat digital, internet dan
lebih khusus melalui situs jejaring sosial.
seperti Twitter.
6
dibatasi oleh perbedaan-perbedaan. Pertanyaan untuk
fenomena ini, yaitu: “Apakah ekspresi-ekspresi keagamaan
ini adalah juga bagian dari usaha pencarian Tuhan di
zaman ini, sebagaimana orang-orang beragama di zaman
yang lalu melakukannya?” “Bagaimana gagasan tentang
Tuhan oleh orang-orang beragama yang telah menjadikan
Facebook sebagai salah satu media ekspresi
keagamannya?” “Nilai-nilai etis atau spiritualitas apa saja
yang mesti dikembangkan agama-agama di masa transisi
ini sebagai bagian dari tanggungjawab globalnya bagi
masyarakat dunia yang semakin terintegrasi dengan
perkembangan teknologi informasi?”
7
berbahaya karena ia makin memperkuat agenda-agenda
globalisasi dengan neoliberalisme atau apa saja
dampaknya, satu hal yang pasti ia telah menjadi alat
komunikasi untuk menghubungkan umat manusia.
8
“maha hadir” – melainkan kehidupan bersama itu. Jika
demikian ini persoalan kebudayaan, karena ia menyangkut
manusia dan kehidupannya. Ini adalah “sebuah
panggilan” pada tanggung jawab bersama, sebagai
penghuni planet ini.
9
Bab 1
Facebook, Media Baru
10
informasi, gaya hidup, budaya, ilmu pengetahuan dan
nilai-nilai keagamaan sudah semakin deras di masa ini.
11
Pada 9 November 1989, tembok Berlin (yang memisahkan
rakyat Jerman Barat dan Jerman Timur) runtuh, yang
menjadi awal reunifikasi Jerman. Tahun 1991 Uni Soviet
runtuh dengan ditandai lahirnya negara-negara baru yang
terdiri dari bangsa-bangsa yang dulunya membentuk Uni
Soviet pada tahun 1922. Peristiwa ini disebut sebagai tanda
berakhirnya Perang Dingin (1947–1991), yaitu sebuah
periode konflik dan ketegangan antara Amerika Serikat
beserta sekutunya (Blok Barat) dan Uni Soviet beserta
sekutunya (Blok Timur).
12
“Our war on terror begins with Al Qaida," tegas Presiden
George W. Bush ketika berbicara di hadapan Kongres 20
September 2001.6
13
gereja se-Dunia di Jenewa, menyebutnya sebagai “The
New Rome”.7
14
dengan miliaran penduduk dunia. Sebab, hanya tiga tahun
dari ramalan itu muncul situs jejaring sosial pertama,
www.sixdegrees.com pada tahun 1997. Facebook, situs
jejaring sosial terbesar sekarang ini diluncurkan untuk
pertama kali tahun 2004, atau sepuluh tahun dari ramalam
Naisbitt itu.
15
Tirai Bambu itu memegang rekor 48% pangsa pasar di
seluruh dunia.11
16
6. 100.000 tweet baru yang diposting di situs micro-
blogging dan sekitar 320 + account Twitter baru
diciptakan dalam satu menit.
7. Hampir 100 + akun LinkedIn baru diciptakan
dalam satu menit. Secara keseluruhan user-dasar
LinkedIn diperkirakan sekitar 259.000.000.12
17
perusahaan-perusahaan media. Masing-masing orang yang
aktif menggunakan new media meliput, menulis dan
menyebarkan informasi. Dampaknya, tidak semua
informasi dapat diyakini kebenarannya. Subjektivitas
menjadi persoalan dalam cara memproduksi berita
tersebut. Dalam hal ekspresi keagamaan yang ditampilkan
dalam bentuk tulisan, gambar dan video, orang-orang
beragama kini menggunakan new media sebagai
perangkatnya.
ke-21, (Jakarta: Dian Rakyat, 2006), hlm. 8- .Lihat juga bukunya yang
terbit lebih dulu, The Lexus and The Olive Tree, (New York: Farrar, Straus
Giroux, 1999.), 8-11.
18
dibantu oleh perkembangan teknologi dengan
menyebarnya telegraf, telepon, PC, Satelit, serat optic, World
Wide Web. Pasar global pun segera terwujud. “Kekuatan di
balik globalisasi masa ini adalah terobosan di bidang
perangkat keras, berawal dari kapal uap dan kereta api,
hingga kemudian telepon dan komputer induk,” tambah
Frideman.
19
Ketika Friedman menerbitkan buku The Lexus and The Olive
Tree tahun 1999, Facebook belum lahir. Namun, ketika
buku The World Is Flat diterbitkan pertama kali pada tahun
2005, Facebook baru kira-kira setahun ketika Mark
Zuckerberg meluncurkannya dari kamar asrama Harvard
pada tanggal 4 Februari 2004. Edisi revisi buku ini terbit
pada tahun 2006, tahun yang sama ketika Facebook untuk
pertama kali dibuka untuk setiap orang yang berusia 13
tahun ke atas.
20
Waktu saya sedang menulis buku ini pada 13 Maret 2012,
saya mendapat informasi dari seorang teman, ada situs
jejaring sosial baru yang dibuat oleh mahasiswa Fakultas
Teknik Universitas Negeri Manado di Tondano. Alamat
situsnya www.lifedeary.com. Luar biasa. Di bagian “tentang”
situs itu tertulis:
21
di atas tentang kemunculan lifedeary.com, situs jejaring
sosial baru produk para mahasiswa Unima.
22
2011, pengguna Facebook seluruh dunia sudah mencapai
845 juta pengguna aktif. Sekitar 80% pengguna aktif
bulanan Facebook berada di luar AS dan Kanada. Ada 483
juta pengguna aktif harian pada bulan Desember 2011.
Sekitar 425 juta pengguna aktif bulanan yang
menggunakan Facebook produk mobile. Facebook tersedia
lebih dari 70 bahasa.
23
The Statistic Portal memberi catatan kritisnya: “Karena
kehadiran yang konstan dalam kehidupan penggunanya,
jejaring sosial memiliki dampak sosial yang jelas kuat.
Keburaman antara kehidupan offline dan virtual serta
konsep identitas digital dan interaksi sosial online adalah
beberapa aspek yang muncul dalam diskusi baru-baru
ini.18
18
The Statistic Portal, “Most famous social network sites
worldwide as of January 2019, ranked by number of active users (in
millions)”, https://www.statista.com/statistics/272014/global-social-
networks-ranked-by-number-of-users/, (akses 31 Maret 2019).
24
siswa. Diskusi dan belajar bersama menjadi model sekolah
ini.
25
Arthur M. Lipkint, Charles J. Pintel, Maurice Plager, Emil
Lustgarten, dan Hyman Shulman.
26
buku yang diberikan kepada mahasiswa pada tahun
akademik pertama oleh administrasi universitas di AS
dengan tujuan membantu mahasiswa mengenal satu sama
lain. Facebook memungkinkan setiap orang berusia
minimal 13 tahun menjadi pengguna terdaftar di situs ini.
27
ideal mestinya menjamin individu-individu untuk
berinteraksi dalam kesetaraan.
28
berkomunikasi, cara kita bekerja, cara kita berteman dan
cara kita jatuh cinta.“
29
Tahun 2007 Barack Obama menggunakan Facebook
sebagai salah satu media kampanye. Dia menang, dan
menjadi presiden Amerika Serikat. Waktu kampanye tahun
2012, kembali Obama menggunakan situs jejaring sosial,
yaitu Facebook, Twitter, Youtube, dan Goggle+. Teman-
temannya bermacam-macam latar belakang. Di Facebook
orang-orang menjadi setara.
30
Bab 2:
Tuhan di Facebook
31
besarnya punya akun Facebook. Para pendeta, pastor, kyai
atau ustad, juga tak mau kalah. Inilah era di mana orang-
orang saling berhubungan. Mereka saling berbagi cerita,
foto dan video.
32
jutaan pengguna Facebook lainnya, meskipun tidak
berteman di akunnya.
23 http://translate.google.co.id/
33
tidak tahu apa yang sebenarnya telah mereka lakukan
adalah SALAH”24
24 Lihat https://www.facebook.com/pages/HENTIKAN-
AJANG-HINA-MENGHINA-AGAMA-DI-FACEBOOK/
137513086261987?sk= info
25 “Pemuka Agama Kecam Karikatur Nabi Di Facebook”, 24
34
tidak semua harus ditulis di dinding (wall) Facebook.
“Tapi bukankah diari yang biasa digunakan buat nulis itu
kebanyakan memiliki gembok supaya orang lain tidak bisa
membacanya? Tapi kenapa kita membiarkan orang lain
‘membaca’ keseharian kita dalam facebook?” tulis Gani.27
35
terutama menurutnya, bagi mereka yang tidak mampu
memilih teman yang baik untuk menjadi teman
“mudzakaroh”.
28http://globalkhilafah.blogspot.com/2011/12/ status-fb-mu-
cerminan-pribadi-mu.html, (akses 15 Maret 2012)
36
Sebuah halaman Facebook bahkan dibuat khusus untuk
menayangkan kutipan ayat-ayat Alkitab. Nama halaman
ini sesuai dengan isinya, yaitu “Ayat Alkitab”29. Ia dibuat
13 Juni 2009. Pengunjungnya banyak. Jumlah pengguna
Facebook yang telah menyatakan “suka” sebanyak 525.088
(waktu saya kunjungi 15 Maret 2012). Jumlah yang telah
“membicarakan” atau berkomentar di grup ini sebanyak
17.372.
30 https://www.facebook.com/pages/Indah-NYA-Ayat-Ayat-
Al-Quran/154629551225834
37
dinding atau halaman catatan Facebook mereka menulis
status tentang Tuhan dalam kalimat doa dan puisi atau
kutipan ayat kitab suci. Di halaman catatan pengguna
Facebook menulis esai, renungan atau pemikiran mengenai
sikap keagamaannya.
38
pendek. Isi atau ayat yang dipilih disesuikan dengan
suasana hati.
39
medianya adalah perangkat digital. Pembaca kalimat-
kalimat itu dalam sekejap bisa dalam jumlah yang banyak.
40
Namun, yang menarik, kalau status-status itu sifatnya
subjektif dan sebenarnya pribadi, kenapa harus
ditampilkan di Facebook, sebuah situs jejaring sosial yang
merupakan media publik?
41
media publik, maka yang membaca dan menikmati
kiriman itu adalah banyak orang. Di Facebook orang-orang
saling berbagi tulisan, gambar dan video, yang
kesemuanya itu adalah “tanda-tanda” digital.
42
disampaikan adalah keagamaan. Agama memang
membutuhkan tanda untuk menyampaikan makna.
43
sebelumnya sangat pribadi atau sakral dibagikan untuk
banyak orang. Ia menjadi sekuler dan relatif.
44
dinilai dengan alat ukur apapun. Hanya satu kalimat, dan
ia adalah doa.
45
Karena ia diyakini sebagai pesan untuk Sang Misteri, yang
hanya keyakinan yang memastikan bahwa Tuhan
“membacanya.” Sepintas, ini mengambarkan sebuah usaha
pencariah Tuhan. Tuhan selalu berusaha dicari dalam
konteks kehidupan dan ketersedian perangkat-perangkat
yang dapat membantu.
46
untuk berlomba-lomba menampilkan diri. Status, catatan,
gambar dan video yang berisi kata Tuhan atau kutipan
ayat-ayat kitab suci adalah tanda dari sebuah penampilan
atau pencitraan diri.
47
Facebook, dibaca oleh banyak orang, berharap orang lain
mengetahui apa yang sedang dirasakan.
48
Tuhan yang diproklamasikan adalah Tuhan yang tidak
perlu menjawab. Hubungan tidak lagi dialogis. Bukan lagi
“hamba” yang memohon dan bersyukur kepada subjek
“Yang Maha Kuasa” itu. Inilah Tuhan yang “aku” miliki. Ia
bukan subjek yang ada di luar diri manusia. Sehingga,
jawaban atas doa-doa di status itu ada pada si penulis
status itu sendiri. Ia yang bertanya, ia yang menjawab.
49
Tuhan di Facebook adalah Tuhan untuk menghibur hati.
Ia memang masih sakral dan mistis. Namun, ia rupanya
tidak lagi transenden. Di status Ia menjadi imanen, menjadi
sangat dekat, bahkan Ia adalah pikiran kita yang berbicara.
50
dipikirkan, Tuhan yang ditayangkan dalam bentuk tanda.
Bukan lagi Tuhan yang disembah karena Kemahkuasaan-
Nya. “Aku” menjadi dominan dalam proyeksi dan
penyusunan kalimat status-status itu.
Tuhan Digital?
51
On Faith Panelists Blog31 tahun 2009 menyiarkan sebuah
diskusi yang cukup panjang antara beberapa tokoh
intelektual lintas agama di Amerika. Diskusi online itu
dimulai dengan pertanyaan, “Apakah alat-alat media sosial
berkat atau kutukan bagi orang-orang beriman? Haruskah
kita menggunakan teknologi digital untuk berkomunikasi
dengan Tuhan? Apakah Allah berkicau?” Pertanyaan ini
mengeksplorasi pemikiran para panelis mengenai agama,
Tuhan dan situs jejaring sosial, seperti Facebook dan
Twitter.
52
memandang fenomena ini. Menurut dia, alasan teologisnya
adalah: “Sebagai seorang Kristen, saya percaya bahwa
doktrin inkarnasi - Allah mengambil bentuk manusia -
adalah prinsip utama. Allah memilih untuk menjelma
dalam diri Yesus. Firman itu menjadi daging dan diam di
antara kita - bukan pesan teks atau ‘tweet’," kata Balmer.
53
“Pencarian ini telah menyebabkan munculnya nabi baru,
agama, denominasi, teks yang dianggap suci atau benar,
jenis praktik, dan komunitas agama. Sementara ada orang-
orang yang melihat langkah ini sebagai kebenaran atau
melawan Allah, pendekatan baru telah memberikan arti
bagi kehidupan orang lain yang tak terhitung jumlahnya,”
tulisnya.
54
namun tidak cukup “besar” untuk memahami doa
umatnya dalam bahasa dan metode apapun.
55
teks-teks lisan hafal di gulungan dan buku, ke Facebook
dan media sosial lainnya dan akhirnya ke Twitter, itu
hubungan spiritual yang harus diperhitungkan.”
56
perangkat-perangkat kebudayaan terkini, semisal melalui
media digital.
57
bukan sebagai sarana atau media untuk memengaruhi
keimanan namun ia bisa membentuk cara pandang
keagamaan.
58
pengguna tak bisa keluar dari sistem yang didesain oleh
Facebook. Orang-orang yang berbeda agama, ras, suku,
ideologi dan status sosial dihubungkan oleh Facebook
untuk berteman, saling berbagi dan berdiskusi.
59
iman. Dalam situasi ini, Tuhan “Yang Maha” itu akan
dimaknai sebagai Tuhan bersama yang diiterpretasi
menjadi nilai-nilai etis dan tindakan solidaritas. Inilah
spiritualitas bersama di era digital.
60
Yang Diharapkan” bersama. Dan Ia bukan lagi Tuhan yang
jauh dari kehidupan manusia, dan sesekali (di)datang(kan)
dengan sifat dan karakternya yang keras, atau juga lembut
dan maha pengampun melainkan Tuhan yang telah sangat
dekat dengan manusia, bersama-sama dalam dinamika
manusia. Tuhan itulah yang dimaknai sebagai
“Kebenaran” bumi.
61
Bab 3
Mencari Tuhan di Dunia Virtual
Budaya Digital
Saya sudah bilang di bagian awal (bab 1) mengenai sebuah
perubahan yang global di era ini. Inilah era baru, era
budaya digital, era new media. Era dari tv hitam putih ke
era tv online; era mengirim surat di Kantor Pos dan Giro ke
era mengirim dan menerima surat melalui e-mail; era
menjelajahi pengetahuan di rak-rak buku perpustakaan di
kampus ke era menjelajahi pengetahuan melalui wikipedia
atau e-book online; era telepon umum atau warung telepon
ke era handphone, ipad dan tablet; era berbelanja hanya di
pasar tradisional, supermarket, mall, ke era memilih,
memesan dan membeli barang-barang di toko-toko online;
era korespodensi di majalah-majalah remaja ke era situs
jejaring sosial.
62
Indonesia dan juga situs ebay.com33 sebuah situs web lelang
dalam jaringan (daring). Teman ini melakukan
perdagangan (jual-beli) kamera dengan segala
perangkatnya dan juga kadang-kadang barang-barang
elektronik lainnya.
berkembang hingga saat ini. Kaskus dikunjungi sedikitnya oleh 900 ribu
orang, dengan jumlah page view melebihi 15.000.000 setiap harinya.
Hingga bulan September 2011, Kaskus sudah mempunyai lebih dari 416
juta posting. Menurut Alexa.com, pada bulan September 2011 Kaskus
berada di peringkat 251 dunia dan menduduki peringkat 7 situs yang
paling banyak dikunjungi di Indonesia. (sumber:
http://id.wikipedia.org/wiki/Kaskus)
33 eBay didirikan pada 1995 oleh Pierre Omidyar sebagai
63
Itulah buah dari perubahan yang dratis itu. Era ini
digambarkan oleh Charlie Gere, “Seperti kilatan petir yang
datang dalam sebuah adegan gelap.” Sebuah transformasi
total yang menerpa hampir semua masyarakat dunia. Di
beberapa negara maju, tulis Gere, hal itu dapat diamati di
hampir setiap aspek kehidupan modern. Kebanyakan
bentuk media massa, televisi, rekaman musik, film,
diproduksi dan didistribusikan secara digital. Media-media
ini mulai menyatu dalam bentuk digital, seperti Internet,
World Wide Web, dan permainan video untuk menghasilkan
mediascape digital.34
64
Teman Greenhill terkejut bukan karena belum pernah
melihat sebelumnya sebuah sistem parkir berbasis
komputer, melainkan terutama soal begitu cepatnya
perangkat ini menjadi bagian dari sistem ekonomi di
Manado. Dengan sistem ini maka tidak lagi dibutuhkan
seorang penjaga. Tidak adalah lagi kontak dengan
manusia, yang ada tinggal tombol-tombol digital.
65
Di era ini orang-orang akan semakin sering berjumpa
hanya dengan robot atau perangkat-perangkat yang
dikendalikan oleh komputer. Manusia akan semakin sering
melakukan banyak hal dengan kemajuan teknologi
informasi dan transportasi. Konsekuensinya tenaga
manusia akan semakin banyak diganti oleh perangkat-
perangkat yang digitalisasi atau dikomputerisasi. Sehingga
jangan heran kalau nanti akan semakin banyak
pengalaman manusia yang tidak lagi karena interaksinya
dengan sesama manusia yang lain. Orang-orang akan
semakin sering berjumpa dengan bukan manusia lagi,
melainkan alat yang kendalikan oleh komputer.
66
Piliang sebetulnya sedang mengambarkan sebuah
perubahan dalam hal bagaimana manusia
“memberadakan’ diri dalam kehidupannya. Ketika yang
dianggap “kebenaran” adalah konstruksi untuk
memenangkan wacana dan menaklukan kesadaran; atau
ketika yang dianggap realitas hanyalah gambar yang
menipu inderawi, maka makna dan tujuan hidup menjadi
persoalan. Inilah konsekuensi yang ditimbulkan oleh
perubahan zaman itu. Dari apa yang biasa disebut orang,
dari era industri menuju ke era informasi. Teknologi
informasi di satu pihak sebagai perangkat yang membantu
memudahkan manusia untuk berkomunikasi secara cepat
dan massal, namun di pihak lain ia berbahaya
mendestruksi hakekat kemanusiaan itu sendiri.
67
Perubahan-perubahan itu akan dimungkinkan dengan
kemajuan teknologi dalam berbagai bentuknya.37
68
kata “digital” ini tidak melulu hanya berhubugan dengan
teknologi komputer.
69
Menurut situs dictionary.reference.com istilah “new media”
menunjuk pada internet dan dan bentuk-bentuk lain
telekomunikasi pascaindustri (postindustrial).40 Atau dari
media berbasis cetak ke digital dan online.
70
Screeber menambahkan, website seperti YouTube,
MySpace dan Facebook hadir untuk mencerminkan
pemahaman baru dari 'partisipatif budaya', yang bukan
hanya menciptakan komunitas virtual tapi juga
memungkinkan para pengunjung untuk menjadi
'produsen' serta 'penerima' dari media.43
71
beralih dari cetak ke digital. Padahal Ensiklopedia ini
sudah sangat tua. Terbit pertama tahun 1768 di Edinburgh.
Menurut Presiden Encyclopædia Britannica, Inc, Jorge
Cauz maksud dari penerbitan dalam bentuk digital ini
adalah untuk menjangkau lebih banyak pembacanya. 45
72
signifikan dalam pengaksesan berita online, 28 persen pada
2009 dan 37 persen pada 2010. Di sisi lain, jumlah pembaca
media cetak terus menurun.
47 Ibid.
73
hidup dan isu yang sebelumnya telah diberitakan oleh
media arus utama (mainstream). Persoalan lain adalah
berbagai kebijakan telematika yang ada atau yang sedang
dirancang pemerintah. “Singkat kata, pertarungan wacana
antara publik dan konglomerasi new media adalah sebuah
ajang pertarungan yang jauh dari seimbang,” tulis
Cahyadi.
74
imanen, bertumpangtindihnya hasrat rendah dengan
kesucian, sehingga perbedaan di antara keduanya
menjadi kabur.48
75
Tuhan, Sang Misteri itu. Karen Armstrong menulis panjang
lebar bagaimana sejarah pencarian Tuhan oleh umat
manusia sepanjang masa yang selalu bersinggung dengan
konteks zaman dan kebudayaannya.
76
Tuhan (tetap) ada menurut para fundamentalis. Begitu
juga dengan agama-agama atau umat beragama yang
mainstream. Hasil kerja kerasnya mempertahankan
keberadaan Tuhan menghasilkan bentuk agama yang lebih
moderat. Duel antara iman dan nalar itu memengaruhi
cara tafsir terhadap kitab suci oleh aliran Kristen
mainstream.
77
Kebangkitan dalam bentuk yang tidak jauh berbeda dari
apa yang sudah berkembang sejak akhir abad 19 hingga
abad 20. Manusia semakin ekspresif dalam mencari
Tuhannya. Ibadah-ibadah umat beragama semakin
emosional, dan dalam bentuknya yang lain semakin keras
dan kasar.
Kapitalisme, Tujuh Trend Baru yang akan Mengubah Strategi Kerja, Investasi
dan Gaya Hidup Anda, (Jakarta: Transmedia, 2006), hlm. 5
78
kehidupan masyarakat. Internet membantu manusia antar
peradaban untuk saling berhubungan.51
51 Marie Lebert, From the Print Media to the Internet, edisi Bahasa
79
pribadi melalui situs jejaring sosial telah memberikan
kontribusi terhadap komunikasi dalam bentuk dialog,
pertukaran, solidaritas dan penciptaan hubungan positif.
Namun, ada pertanyaan reflektif yang diajukan oleh Paus,
“Apakah kita punya waktu untuk merefleksikan secara
kritis pilihan dan membina hubungan manusia yang benar-
benar mendalam dan abadi?”
http://www.helium.com/items/1940499-facebook-and-society-how-
facebook-affects-society-has-facebook-changed-society, (akses 11 Maret
2012).
80
Sebagian besar dari pengguna Facebook adalah orang-
orang beragama. Di Indonesia, sudah pasti para
penggunanya semuanya beragama (lepas dari benar-benar
beragama dalam pengertian agama-agama itu sendiri atau
hanya sebatas identitas sosial). Agama, seperti pada abad-
abad lampau adalah sistem kepercayaan dan juga institusi
yang sangat memengaruhi kehidupan manusia sejagad.
Setelah itu mungkin adalah politik, ilmu pengetahuan,
teknologi dan ideologi. Maka, adalah wajar jika agama juga
hadir di Facebook sebagai media digital.
81
Ekspresi keagamaan dalam bentuk teks status atau catatan,
gambar dan video yang berisikan “Tuhan” sebagai tanda
di Facebook adalah fenomena usaha manusia mencari
Tuhan di era ini. Institusi keagamaan bukan lagi satu-
satunya yang menyediakan ruang pencarian itu. Internet
lebih khusus situs jejaring sosial seperti Facebook telah
menjadi wadah alternatif. Kalau di dunia nyata, Facebook
mungkin bisa dianalogikan seperti tanah lapang: bisa
untuk menjadi pasar, bisa untuk menjadi tempat adu
ayam, bisa juga untuk tempat beragama, dan lain
sebagainya. Namun karena ia di dunia maya, maka
Facebook tidak memungkinkan manusia berjumpa secara
nyata. Jadi, Tuhan di Facebook adalah tuhannya orang-
orang yang tidak nyata, meskipun pribadi-pribadi itu ada
secara nyata di kehidupan mereka masing-masing.
Perjumpaan dan interaksi itu yang tidak nyata, karena
tidak melibatkan kontak fisik dan perasaan.
82
globalis tidak lagi saling berhubungan secara nyata.
Akibatnya, yang dikonsumsi hanyalah “kehampaan”.
83
Yasraf Amir Piliang menyebut ‘kehampaan” itu dengan
“posrealitas.” Dunia posrealitas, menurut Piliang adalah,
“dunia yang di dalamnya antara realitas, realitas palsu,
dan realitas artificial (dalam media, produk) tumpang
tindih sehingga batas antara keduanya menjadi kabur.”56
84
adalah kesemuan bukan realitas itu sendiri. Tuhan
dihadirkan secara spontan dalam kalimat-kalimat pendek
dan sesuai selera serta keinginan. Entah Tuhan “Yang
Maka Kuasa” dalam arti sebagai penghayatan
sesungguhnya atas adanya kuasa yang mengatasi semua
kemampuan manusia, atau Tuhan bikinan sendiri, itu
semua menjadi kabur dalam Facebook.
85
cepat. Orang-orang yang tercabut dari realitas menemukan
kepuasaan ketika berselancar di dunia digital ini.
86
masing-masing berlomba menunjukkan diri. Namun, di
dunia digital agama-agama ini sebenarnya sedang
dimekanisasi menjadi mesin-mesin hasrat. Agama-agama
sedang ditantang, sebagai institusi yang memproklamirkan
diri sebagai yang paling punya kompetensi untuk
menyuarakan “suara” Tuhan “Yang Maha Kuasa” yang
bertakhta di langit sana. Visinya adalah pemulihan
martabat manusia sebagai makhluk yang memiliki
kesatuan dengan kosmik, alam dan Tuhan yang disembah
dengan beragam nama itu.
87
Abdul Munir Mulkhan, guru besar UIN Sunan Kalijaga,
Yogayakarta, bahkan mensinyalir akibat ketidakmampuan
agama-agama untuk berpihak kepada kemanusiaan atau
keberadaannya yang terasing dari dunia obyektif dan
kesadaran hidup warga masyarakat dan umatnya sendiri
akan menyebabkan kemunculan “agama baru.”
Kebangkitan spiritualitas dan keagamaan baru akan
menjadi tantangan serius bari bagi tradisi dan ritual
agama-agama konvesional tersebut.57
88
kebebasan yang lebih untuk mengekspresikan
kerohaniaanya secara bebas dan mandiri. Sebagai elit
orang-orang itu justru adalah penjaga orthodoksi
agamanya. Ritual agama-agama kaku dan terkendali.
Ketika Facebook sebagai buah dari perkembangan
teknologi informasi, orang-orang beragama menemukan
media alternatif untuk mengekspresikan kerohanian yang
memang sedang membutuhkan saluran atau wadah
ekspresi.
89
Hudjolly dalam bukunya Imagologi: Strategi Rekayasa Teks
(2011) mengulas mengenai fenomena keagamaan di era ini
dalam persinggungannya dengan apa yang dia sebut
“teknologi layar”. Teknologi ini menurut Hudjolly dalam
kenyataannya telah berpengaruh pada perubahan budaya
dan perilaku. Hal ini terutama ketika teknologi layar
mengemas dan menyajikan kebudayaan, gaya hidup,
pengetahuan, informasi, dan kegiatan keagamaan.
“Teknologi layar mengemas semua fenomena kehidupan
menjadi serpihan-serpihan diafragma layar,” tulis
Hudjolly.59
Ruzz Media, 2011), hlm. 19. Teknologi layar yang dimaksud oleh
Hudjolly menunjuk pada layar yang paling sederhana sampai yang
paling canggih, misalnya: lembaran pamflet, buletin, spanduk, surat
kabar, billboard di tepi jalan, digital handphone (PDA, virtuephone,
smartphone, atau PC tablet), komputer, laptop, internet, videotron, dan
lain-lain.
60 Ibid., hlm. 20.
90
yang bukan realitas itu sendiri. Realitas terwakilkan oleh
“(pen)citra(an)”.
91
langsung yang dialogis antara si penyampai dan penerima
pesan.
92
menyembahnya sedang terpenjara dalam sistem digital
yang memproduksi imajinasi. Namun, sebenarnya Tuhan
“Yang Maha Kuasa” itu memang selalu berusaha
dihadirkan oleh manusia dalam media dan persona yang
beragam. Persoalan sebenarnya ada pada manusia dan
agamanya, yaitu sampai kapan si manusia dan agamanya
(mau) terpenjara dalam situasi itu?
93
Kedua, kegagalan institusi-institusi agama dalam usaha
mengendalikan hasrat-hasrat rendah menjadi pencarian
spiritualitas yang berkualitas tinggi, yaitu kesadaran pada
hakekat kemanusiaan yang memanusiakan. Tafsir
terhadap kitab suci kadang hanya menghasilkan dogma-
dogma yang tidak menyentuh persoalan kekinian manusia.
Orthodoksi dogma agama pada banyak hal justru hanya
melestarikan kekuasaan agama memenjara manusia pada
mimpi-mimpi semu mengenai kehidupan yang akan
datang sementara kehidupan kekinian dalam keadaan
darurat akibat kekuasaan materialisme tidak banyak
diperhatikan. Situasi ini justru membuka jalan bagi
umatnya untuk mencari ruang-ruang ekspresi baru, yang
sebenarnya bukan benar-benar ekspresi keagamaan.
94
bukunya The History of God (1993). Armstrong mengatakan
di bagian awal bukunya, “Gagasan manusia tentang Tuhan
memiliki sejarah, karena gagasan itu mempunya arti yang
sedikit berbeda bagi setiap kelompok manusia yang
menggunakannya di berbagai periode tertentu.”61
95
umat manusia dan membutuhkan kecerdasan manusia
pula untuk mengatasinya.
96
di sisinya yang lain kita diperhadapkan dengan berbagai
persoalan karena perubahan itu. Uraian-uraian saya di atas
mengambarkan persoalan krusial, yaitu bahaya-bahaya
atau dampak budaya digital dan globalisasi bagi manusia
dalam dia memahami hal kemanusiaan, ketuhanan, dan
kehidupan bersama.
97
dari modernitas itu sendiri kemudian melahirkan hal-hal
baik lainnya bagi kehidupan beragama di masyarakat.
98
Dengan demikian, daripada menghabiskan energi
menentang sesuatu yang memang akan menjadi sebuah
keniscayaan (dalam arti sebuah proses yang tidak bisa
dielakan lagi), bukankah lebih baik yang dilakukan adalah
dengan menanggapinya secara kritis dan konstruktif. Hal-
hal yang perlu ditanggapi secara kritis adalah dampak-
dampak buruk yang diakibatkan oleh kekuatan-kekuatan
yang menyusup dalam proses itu. Sementara karena ia
adalah proses, maka pemikiran-pemikiran kritis atas
proses itu mestinya menghasilkan sebuah pengetahuan
yang baik dan benar untuk proses selanjutnya.
99
keagamaan yang dihasilkan menjawab perubahan-
perubahan tersebut. Kadang-kadang juga, secara tidak
sadar situasilah yang berperan dalam perubahan itu.
100
Bab 4
Tuhan Global dan Pluralisme Agama
Bagi Masa Depan
101
kebutuhan dasar manusia yang lahir dari yang paradoks
pada manusia itu sendiri, yaitu kebutuhan pada kepuasaan
rohani di kekinian dan harapan selamat pada keakanan, di
sini dan kini. Mesin-mesin hasrat hanya mampu memenuhi
kesementaraan manusia, demikian juga dengan media-
media digital yang hanya mampu memenuhi fantasi dan
imajinasi-imajinasi sesaat.
Kalau kita sepakat roh itu yang kekal, karena dia suci
adanya, maka roh inilah yang sebenarnya menuntun
manusia melakukan kebaikan-kebaikan. Sementara tubuh,
daging yang fana, penuh dengan hasrat-hasrat untuk
dipuaskan. Justru karena tubuh tidak akan pernah
102
sempurna, maka selalu saja muncul usaha memuaskan diri.
Kepuasan hasrat jasmaniah: kaya, berkuasa, populer.
agama monoteis sebagai surga tidak bisa disamakan dengan apa yang
103
asal roh yang baik itu dari surga atau yang suci itu?
Begitulah agama-agama memercayaianya. Agama-agama
primitif juga berhadapan dengan persoalan bagaimana
mendamaikan manusia dalam hubungannya dengan ”Sang
Maha Kuasa” dan alam. Gagasan-gagasan modern, juga
bicara soal kebaikan-kebaikan yang sudah pasti intisari
dari nilai-nilai agama dan budaya, seperti kesetaraan,
persaudaraan, keadilan, kemerdekaan dan hidup yang
lestari bersama alam.
104
mistis telah berhubungan dengan Tuhan, banyak di antara
mereka membagi pengalaman itu dalam khotbah,
pengajaran atau tulisan. Tuhan dicari di gunung-gunung
yang tinggi, di hutan-hutan, di tempat-tempat yang
disakralkan, di dalam mimpi tidur atau dalam sebuah
kesendirian di tempat yang sangat sunyi. Kegelisahan
mengenai tujuan hidup, penderitaan, alam sering marah,
kekaguman pada jagad raya atau dalam sebuah kebuntuan
nalar membuat manusia terus tergerak untuk mencari
Tuhan.
105
menghasilkan persona-persona tentang Tuhan “Yang Maha
Kuasa” itu.
Saya kira, para nabi dan nabiah, para resi dan sufi serta
leluhur kita yang mencoba menyatukan diri dalam tatanan
kosmis sebagai usaha menyelami kekuasaan yang tak
terbatas “Sang Maha Kuasa”itu, yang paling menyelami
makna adanya “Sang Maha Kuasa.” Yesus, Sidharta
Gautama, Kong Hucu, Muhammad, yang mesti dirujuk
sebagai yang telah menyatu dengan “Yang Tak
Terjangkau” itu.
Buku John Hick God Has Many Names serta buku Karen
Armstrong, The History of God memberi kita pemahaman
mengenai bagaimana manusia beragama sepanjang
sejarahnya mengkonsepsikan, memproyeksikan dan
mempersonifikasikan Tuhan dalam pergulatan hidup
komunitas dan kebudayaanya.
106
dikonsepsikan ada dalam diri manusia sebagai atman.
Sidharta Gautama membiarkan Tuhan itu jauh, dan dia
hanya ada di absraksi manusia. Nirvana mungkin
diproyeksikan sebagai “Yang Sempurna” itu.
107
terpuaskan. Tuhan hasil proyeksi nalar dan intuisi.
Namun, daripada dibunuh lebih baik tuhan-tuhan itulah
yang dipakai sebagai pembenar untuk perang melawan
yang lain. Maka, perang atas nama tuhan itulah yang
terjadi, bukan Tuhan “Yang Maha Kuasa” yang telah
mencipta kebaikan.
108
keniscayaan, yang tidak perlu melulu ditanggapi secara
pesimis. Karena globalisasi adalah produk manusia maka
usaha untuk mengatur dan menatanya mestinya juga dari
manusia.
109
Platform dunia nyata dengan dunia maya berbeda.
Plaftform dunia maya akan mengarah pada bentuk
sebuah masyarakat yang tidak berkelas, masyarakat
yang sederajat, sejajar, setiap orang tidak lebih baik dan
tidak lebih kurang dari yang lain, kembali ke fitrahnya
sebagai manusia di muka bumi untuk beramal secara
horizontal antar sesama umat dan beribadah secara
vertikal kepada penciptanya.”68
110
Ada kritik, bahwa di status-status Facebook, Tuhan-tuhan
itu adalah konstruksi nalar dan intuisi. Namun, bukankah
sebenarnya begitu yang dilakukan oleh para pendahulu
agama dalam usahanya mengenal Tuhan “Yang Maha
Kuasa” itu? Mereka memproyeksikan, mencitrakan dan
mempersonifikasi “kuasa” yang tak terjangkau. Maka,
lahirlah “realitas” religius, yaitu “Tuhan Ada” atau “Ada
Tuhan”. “Kuasa” yang dibayangkan itu, kemudian
menjadi realitas bagi umat beragama. Kesadaran “Ada
Tuhan” atau “Tuhan Ada” kemudian diyakini sebagai
pencipta, pelindung, pemberi berkat, dan bahkan
pengambil kehidupan.”
111
merespon perkembangan global abad ke-20 menuju ke
abad 21. Tujuan lebih spesifiknya adalah untuk mengamati
dan menjawab isu-isu dunia eksistensial yang
mengundang tanggapan aksi dari agama-agama dunia.
Hasil pertemuan tersebut adalah sebuah naskah berjudul,
Toward a Global Ethic: An Initial Declaration.
112
’Apa yang kau sendiri tidak inginkan, janganlah kau
lakukan kepada orang lain.’ (Ucapan 15: 23)
Islam:
’Tak seorang darimu adalah orang percaya selama ia
tidak mengingikan bagi sesamanya apa yang ia sendiri
inginkan bagi dirinya sendiri.’ (40 Hadits dari an-
Nawawi, 13)
Jainism:
’Manusia tidaklah berbeda dengan hal-hal duniawi dan
memperlakukan semua ciptaan di dunia ini sebagaimana
mereka ingin diperlakukan sendiri (Sutrakritanga I, 11,
33).
Agama Buddha:
’Sesuatu yang tidak menyenangkan atau tidak
mengenakkan bagi saya seharusnyalah juga tidak bagi
orang lain; bagaimana mungkin saya memaksakan bagi
orang lain sesuatu yang tidak menyenangkan atau tidak
mengenakkan bagi saya? (Samyutta Nikaya V, 353.35-
342.2)
Agama Hindu:
’Tidaklah sepantasnya seseorang melakukan kepada
sesamanya hal-hal yang dia sendiri tidak
113
menginginkannya: itulah inti moralitas.’ (Mahabharata
XIII 114,8).
114
membawa orang-orang beragama pada kesadaran dan
pemahaman yang sama mengenai Tuhan “Yang Maha
Kuasa” itu.
115
Griffin membedakan apa yang disebutnya “spiritualitas
modern” dan “spiritualitas posmodern.” Spiritualitas
modern menekankan cara pandang yang dualistis dan
supernaturalistis yang justru berakhir dengan spiritualitas
semu. Spiritualitas modern inilah yang kemudian
menghasilkan kapitalisme yang individualistis (spiritual
individualisme). Dalam hal gagasan tentang Tuhan,
spiritualitas modern memahami Tuhan itu adalah sesuatu
yang transedental. Kemudian manusia cenderung merasa
sebagai pusat realitas (subjektum) yang memunculkan
superioritas manusia atas alam. Spiritualitas macam inilah
yang mempengaruhi tata sosial masyarakat modern.
71 Ibid.
116
Sebelum melanjutkan pembahasan tentang pencarian
Tuhan di era ini, terlebih dahulu saya ingin mengajukan
argument saya tentang bahaya-bahaya dari perangkat-
perangkat digital itu. Pertama, benar ada bahaya-bahaya
yang ditimbulkan oleh digitalisasi terhadap ruang, waktu
dan manusia itu sendiri. Soal ini sudah dibahas di bagian
sebelumnya. Kedua, namun ada juga bahaya dari
“wacana” atau “kampanye” tentang bahaya dari
digitalisasi itu. Maksudnya, wacana-wacana mengerikan
dari digitalisasi ini adalah juga produk ideologi dan juga
ilmu pengetahuan. Istilah-istilah seperti “posrealitas”,
“hyperealitas”, “simulacrum”, “imagologi”, selain dari segi
kata ia sudah mengerikan, namun dampak dari wacana-
wacana yang diungkap oleh istilah-istilah itu juga seperti
“monster” yang siap memangsa manusia. Wacana-wacana
kritis terhadap bahaya digitalisasi yang kemudian
menghasilkan semacam “kebenaran” pengetahuan, juga
berbahaya mengubah kesadaran manusia.
117
Tuhan yang sedang dicitrakan dan diproyeksikan sebagai
“Sang Kebaikan”, “Sang Kebenaran”, “Sang Keadilan” di
media-media global, seperti Facebook, perlahan tapi pasti
akan menjadi “realitas religius” bagi orang-orang
beragama nantinya. Asalkan citra atau tanda itu untuk
kebaikan bersama, mengapa harus dihindari? Sebaliknya,
pun seuatu itu adalah realitas namun berbahaya bagi
kebaikan, maka adalah suatu keharusan untuk
mengubahnya. Tuhan akhirnya bukan soal apakah Ia
adalah “yang dicitrakan” atau “realitas yang
sesungguhnya.” Kepercayaan kepada Tuhan
sesungguhnya adalah soal “kebenaran”, “kebaikan”, dan
“keadilan” demi perdamain yang sejati semua umat
manusia di muka bumi ini. Itulah “Tuhan Global”, Tuhan
oleh semua umat manusia di kolong langit ini, Tuhan
“Yang Diharapkan Bersama.”
118
mengambil, atau Kuasa keseimbangan. Ada kemiripan
dengan gagasan tentang Tuhan dalam Hindu, yaitu tiga
kekuatan Brahman: Dewa Brahmana (pencipta), Dewa
Wisnu (pemelihara), Siwa (penghancur). Tapi, karena
gagasan ini lahir dari peradaban yang berbeda sudah
barang tentu dalam penghayatannya juga berbeda.
119
Pluralisme Agama dan Peran Agama
Hidup damai adalah harapan semua umat manusia.
Sementara pluralitas agama adalah keniscayaan. Hidup
damai sudah menjadi harapan sejak kehidupan itu ada,
demikian juga dengan perbedaan, juga sudah muncul
secara bersamaan. Harapan hidup “damai” dan usaha
mewujudkan “perdamaian” sebenarnya pertama-tama
adalah problem eksistensi manusia. Manusia, sebagai
makhluk paradoks, selalu bersoal bagaimana
mendamaikan “kesaatan” dan “kesesatan” versus
“keabadian” dan “kesucian” diri.
120
merupakan amanat dari Relitas Yang Tertinggi, yaitu
Tuhan) dengan fakta objektif kehidupan masyarakat atau
umatnya.
121
Nafsu-nafsu berkuasa di bidang politik dan ekonomi yang
telah mengglobal menghancurkan martabat kemanusiaan
bersamaan dengan itu terjadi eksploitasi tanpa ampun
terhadap lingkungan hidup.
122
transisi ini bakal menghasilkan sebuah kesadaran baru,
kesadaran pada nilai-nilai luhur yang terbuka dan
bertumpuh pada usaha pemulihan harkat dan martabat
kemanusiaan dan alam.
123
menjadi pelik. Gus Dur kemudian mengajukan solusi
pemikiran untuk melerai persoalan pelik tersebut.
124
institusi atau sistem kepercayaan kepada “Sang Maha
Kuasa” apapun persona atau maknanya. Jadi, panggilan ini
kepada semua agama. Globalisasi, pada sisinya yang lain
sebenarnya sedang menantang agama-agama untuk
berperan aktif bersama-sama, tanpa harus menjadi “sama”
untuk memulihkan martabat kemanusiaan demi tujuan
hidupnya yaitu perdamaian dan kelestarian alam.
125
yang terintegrasi dengan manusia itu sendiri. Agama-
agama tentu akan mendekati persoalan ini dengan nilai
dan semangat agamanya.
126
agama sekarang. Manusia-manusia semu dan penuh
topeng pencitraan semakin banyak di era digital cultures
sekarang ini. Manusia berlomba-lomba mencari
perdamaian di ruang-ruang semu. Namun, kesemuanya
itu bertemu pada soal hakekat pencarian makna hidup,
yaitu “perdamaian”, berdamai dengan diri sendiri, dengan
orang lain, dengan alam dan dengan Sang Maha Kuasa.
127
Dalam keseharian, antara kata “komunitas” (community)
dan “masyarakat” (society) sering dipahami dalam arti
yang sama. Namun bagi Ferdinand Tonnies75, seorang
sosiolog Jerman yang hidup akhir abad 19 sampai awal
abad 20, kedua hal itu berbeda.
pertama kali terbit dalam bahasa Jerman pada tahun 1887 dengan judul
Gemeinschaft und Gesellschaft, (Leipzig: Fues’es Verlag). Pada tahun 1957
diterbitkan dalam bahasa Inggris oleh Michigan State University Press
dengan judul “Community and Society”.
128
pluralisasi bagi kehidupan kelompok individu. Hampir
tidak ada lagi negara atau bangsa yang warga negaranya
hanya terdiri dari satu suku, agama, ras dan golongan.
Memang sebenarnya, komunitas di era pra modern sudah
mulai menunjukkan heterogenitasnya. Setiap komunitas,
tentu terdiri dari laki-laki dan perempuan, orientasi
berpikir yang berbeda meskipun selalu tunduk pada
otoritas agama atau politk. Namun, masyarakat
kontemporer, pluralitasnya sungguh rumit dan kompleks.
129
masih bisa dirujuk adalah, bahwa individu-individu atau
kelompok-kelompok itu adalah ”manusia,” yang laki-laki
dan perempuan (bahkan bisa ditambah dengan orientasi
seksualitasnya, LGBT). Pada awalnya, manusia-manusia
yang kemudian berbeda karakter, kekhasan dan sub-sub
identitas itu terhubung satu dengan lainnya oleh ’naluri
alamiah” untuk hidup dan berkembang, bukan terutama
oleh aturan dan hukum yang politis. Namun, di era
modern, dalam sebuah negara, individu atau kelompok
individu yang berbeda-beda itu terikat oleh hukum negara,
teritori, dan doktrin nasionalisme.77
antara lain Bikhu Parekh, Will Kymlicka, juga Charles Taylor. Dalam
mengembangkan konsep dan teori multikulturalisme, mereka
kebanyakan berangkat dari semangat pengakuan atas keberagaman
budaya.
130
kecil secara kuantitas atau lemah dalam posisi tawar politik
(kelompok minoritas). Konflik kepentingan sering menjadi
masalah dalam masyarakat multikultural seperti ini.
merujuk pada satu agama dibahas secara padat oleh Steven Grosby
dalam bukunya, Sejarah Nasionalisme: Asal usul Bangsa dan Tanah Air,
131
Masyarakat multikultural kontemporer ditandai dengan
perjuangan dari kelompok-kelompok kultural dan sub
kultural untuk menuntut haknya. Seperti kelompok
minoritas agama, etnis, perempuan dan kaum gay/lesbian.
Perjuangan menuntut kemerdekaan dari sebuah bangsa
dalam satu nation state terutama dipicu oleh pengalaman
diskriminasi di wilayah sosial, ekonomi dan politik.
Berikut, perjuangan menuntut pengakuan hak-hak adat
oleh masyarakat adat. Ini semua menandakan bahwa
negara dengan ideologi nasionalisme tidak lagi relevan
diacu sebagai identitas tunggal. Perjuangan oleh
kelompok-kelompok kultural dan sub kultural itu justru
menandakan sebuah era di mana hak hidup dalam
perbedaan semakin dirasa penting.
132
dan praktek yang berbeda dengan budaya umum yang
luas dalam masyarakat tersebut. Ini berkenaan dengan
wilayah kehidupan tertentu atau sebagai bentuk usaha
untuk menempuh cara hidup mereka sendiri yang
relatif sangat berbeda dengan budaya umum. Mereka-
mereka adalah, antara lain LGBT, kaum kaya-raya,
artis.
2. Keanekaragaman perspektif. Yaitu ”beberapa anggota
masyarakat yang sangat kritis terhadap beberapa
prinsip atau nilai-nilai sentral kebudayaan yang
berlaku dan berusaha untuk menyatakannya kembali
di sepanjang garis kelompok yang sesuai.” Misalnya,
kaum feminis yang menyerang budaya patriarkhi,
kelompok religius yang menolak sekularisasi, dan bisa
juga kelompok pecinta lingkungan hidup yang
mengkritik pandangan yang meyakini manusia sebagai
pusat dan pembangunan yang sangat mekanis karena
penggunaan mesin-mesin.
3. Keanekaragaman komunal. Yaitu kelompok-kelompok
”yang sadar diri dan lebih kurang teroganisasi dengan
baik yang menjalankan dan hidup dengan keyakinan
dan praktek berlainan. Biasanya hal ini menunjuk pada
kelompok-kelompok imigran atau pendatang, yang
selain membawa sistem keyakinan (agama atau
ideologi) tapi juga tata cara hidup yang berbeda
dengan kelompok setempat.
133
dituduh sebagai penyebabnya, yang kemudian, dan ini
sungguh membingungkan, agama-agama itu juga yang
didesak untuk berperan dalam usaha perdamaian.
Menurut saya, soal perdamaian adalah soal bersama umat
manusia, sebagai manusia yang kodratnya selalu ingin
hidup damai. Agama (-agama) adalah salah satu sumber
nilai perdamaian, yang karenanya dia harus membuka diri
pada sumber-sumber nilai yang lain.
134
kelompok yang anggotanya berjumlah banyak dan sedikit,
tapi dalam penggunaanya untuk realitas keberagaman ini
ternyata tidak mutlak, namun relatif. Satu hal yang faktual,
kelompok yang berjumlah banyak selalu punya
kecenderungan untuk mendiskriminasi kelompok yang
berjumlah sedikit.
135
radikalisme dan konservatisme agama. Kesemuanya ini
menunjuk pada paham dan keyakinan tentang apa yang
ditafsir, kemudian dirumuskan menjadi doktrin yang
dianggap paling benar; orientasi waktu pada masa lalu
yang diyakini ideal sepanjang massa, dan diusahakan
berlaku mutlak untuk anggota kelompok, kemudian
berubah menjadi gerakan keluar. Dalam persinggunganya
dengan politik dan ekonomi, kelompok-kelompok
fundamentalis ini menjadi ekstrim dan keras.83 Meski
selalu disebut-sebut bahwa agama tidak pernah meyetujui
tindakan kekerasan, namun ini kemudian dipahami
sebagai fenomena keagamaan juga. Sekarang untuk
memahami persoalan itu tidak cukup menunjuk hanya ke
persoalan doktrinal. Tapi juga konteks politik dan ekonomi
agama-agama dianggap penting untuk membedah
persoalan agama-agama dan kekerasan.
136
padanannya adalah kata “eirene”, yang secara konseptual
bermakna, “suatu keadaan tenang, misalnya tanpa huru-
hara atau perang, keharmonisan antar individu, keamanan,
keselamatan, kemakmuran.”85 Dalam pengertian
teologisnya, kehidupan yang damai sejahtera bahkan
menjadi visi keselamatan.
137
membebaskan diri dari kesemuan itu. Sebab, karma adalah
tingkah laku yang mengikuti nafsu. Manusia berusaha
lepas dari karma, yaitu samsara (kelahiran kembali).
Terbebasnya manusia dari keterikatan itu adalah
keselamatan. Itulah moksa, yaitu keadaan bersatunya
kembali atman (manusia) dengan Brahman (Sang Khalik).
Perdamaian terwujud ketika manusia, Tuhan, dan kosmis
berada dalam kesadaran yang bersatu. Perdamaian adalah
hidup aman, nyaman, sejahtera karena nafsu sudah
dikalahkan dengan kesadaran diri yang mendalam.
138
Dalam agama-agama pra modern, manusia selalu
menyadari hubungan dirinya dengan Tuhan dan alam
sebagai satu kesatuan. Gejala hidup sehari-hari, baik atau
buruk, selalu dilihat secara utuh, sebagai bagian yang tidak
terpisahkan dalam keberadaan dirinya dengan Tuhan dan
alam. Ritual dilakukan untuk perdamaian dengan Tuhan,
dan pada banyak hal memakai alam sebagai media.
Komunitas suku, adalah institusi religius yang meliputi
keseluruhan gerak hidup komunitas, baik dalam dimensi
sosial, politik dan ekonominya. Hidup damai, adalah
hidup yang lestari bersama alam dan Tuhan.
139
Manusia dan kelompok manusia hidup dalam agama-
agama sebagai salah satu media untuk merefleksikan
keyakinan religiusnya kepada Sang Kuasa demi
keselamatan. Dalam dimensinya yang lain, agama-agama
ini juga menjadi sarana untuk mengidentifikasi diri,
membedakan diri dengan yang lain. Doktrin dan paham
agama (-agama) kemudian meresap jauh ke dalam
kesadaran diri manusia. Sehingga, yang semula manusia
adalah sama derajatnya secara kodrati, dengan agama-
agama akhirnya menjadi berbeda-beda, dan kemudian
saling membedakan diri. Padahal, yang subtansial dari
agama-agama ini adalah spirit “perdamaian”, berdamai
dengan sesama, dengan Tuhan dan dengan alam.
140
Karena kondisi kesemuan realitas keagamaan pula agama
sering dipakai sebagai identitas politik primordial. Hal itu
tampak dalam pemilihan-pemilihan umum dari pemilihan
kepala daerah, calon anggota legislatif sampai presiden di
Indonesia. Semua cara menjadikan agama sebagai identitas
diri sendiri atau seseorang makin mengeraskan kekerasan
bernuansa agama.
141
Terutama dia bicara soal “sila Ketuhanan yang Maha Esa.”
Memang, secara konstitusional, setiap penyelenggara
negara dan institusi pemerintah terikat pada Ketuhanan
Yang Maha Esa, sebagai sila pertama Pancasila. “Namun,
dengan istilah ini, ‘ketuhanan’, setiap tipu muslihat dan
pemutarbalikan makna, baik nats maupun semangat,
konstitusi dalam bidang keagamaan dimulai.” 87
(Jakarta : BPK Gunung Mulia, 2011), hal. 544, 545. Dalam tulisannya ini,
Schumann juga mengkritik mengenai istilah “agama” yang politis
produk pemerintah yang dipakai untuk mengidentifikasi keagamaan di
Indonesia.
88 Misalnya, berdasarkan konsep “ketuhanan” itu, antara lain
142
“ketuhanan” yang abstrak dan politis itu dalam urusan
masing-masing kelompok agama tentang agamanya.
143
misinya di tengah-tengah dunia yang terus bergolak,
agama-agama, baik institusi, umatnya, nilai serta
gerakannya dituntut untuk berperan di wilayah ini. Ini
tugas dan tanggung jawab bersama. Makanya, kita tidak
bicara “agama”, sebagai sesuatu yang tunggal, tapi
“agama-agama” yang beraneka ragam. Tanggung jawab
mewujudkan kedamaian, bukan hanya antara agama yang
sering terlibat dalam percekcokan, melainkan juga peran
agama-agama pada realitas yang tidak aman, tidak
nyaman dan tidak damai. Yaitu peran agama-agama dalam
usaha mengatasi hal-hal yang membuat hidup bersama
tidak nyaman, seperti diskriminasi, eksploitasi,
peminggiran, ketidakadilan dan kekerasan yang ada di
sekitarnya.
144
Bagaimana agama-agama berperan dalam usaha itu?
Caranya, yaitu mulai dari perubahan cara pemaknaan
terhadap teks-teks kitab suci, doktrin dan tradisi agama
sendiri. Dari hanya bicara-bicara soal langit atau sorga, ke
aksi nyata untuk bumi, pijakan dan realitas yang bergolak
itu. Hal ini yang selalu disebut-sebut sebagai perubahan
paradigma berteologi. Kedua, adalah perubahan cara
pandang terhadap agama-agama lain agar dapat
membangun relasi, kerjasama dan dialog yang tulus.
Ketidaktahuan tentang apa dan bagaimana agama-agama
lain dapat melahirkan prasangka dan saling sesat-
menyesat. Saling mengkafirkan. Sangat sulit membangun
aksi bersama untuk mengatasi persoalan konteks jika
masing-masing agama tidak saling membuka diri, tidak
mau memperbaiki hubungan dan membangun cara
pandang yang positif. Maka perlu ada dialog teologis, yang
meski awalnya mungkin sulit karena beban-beban masa
lalu dan terutama doktrin-doktrin yang mapan, namun jika
dilaksanakan dengan niat yang mulia, pasti bisa. Ketiga,
perubahan cara pandang tentang hubungan agama dengan
kehidupan sekuler. Dogma agama-agama yang
dirumuskan mestilah hasil dialog aktif dengan pergumulan
konteks. Dari situ kemudian menggagas aksi bersama
untuk mengatasi berbagai persoalan kemanusiaan.
Kerjasama di bidang kemanusiaan adalah dialog kongkrit
yang teologis. Hal ini, tentu membutuhkan nilai-nilai
bersama, yang bisa kita sebut sebagai nilai etis bersama.
145
meninggalkan Tuhan dan agamanya untuk mencari kuasa
dan cara lain menuju masa depan. Namun, agama-agama
ini, setidaknya sudah teruji ketahanannya beribu-ribu
tahun lamanya untuk selalu berusaha menyesuaikan diri
dengan perubahan dan pergeseran zaman. Termasuk, saya
optimis, agama-agama ini mampu melewati masa transisi
sekarang ini.
146
serta kebudayaan sebagai pijakan perumusan gagasan itu.
Fundamentalisme, mungkin salah satu bentuk usaha
pencarian itu namun, sebagaimana sudah ditunjukkan oleh
Armstrong dalam bukunya tentang tindakan manusia
beragama meninggalkan gagasan dan makna Tuhan yang
tidak cocok bagi konteks zamannya, mungkin itulah
maksud himbauannya itu. Fundamentalisme (ber)agama
hanya memunculkan berhala baru, yaitu berhala pada teks
kitab suci, tradisi, dogma dan ambisi untuk memurnikan
sesuatu yang sebenarnya memang benar-benar sekuler
sehingga kekerasanpun sering dihalalkan. Dalam model
beragama macam ini, Tuhan dan spiritualitas keagamaan
sebenarnya telah ”mati” dibunuh oleh arogansi dan
ambisi-ambisi duniawi berjubahkan surgawi.
147
sekitar 18 orang yang lewat di tempat kejadian perkara,
tapi tak satupun dari mereka yang menolong anak itu. Yue
Yue nanti ditolong oleh seorang wanita pemulung benama
Xianmei Chen. Setelah mengalami koma beberapa hari,
nyawa gadis ciliknya itu akhirnya tak bisa tertolong lagi. Ia
tewas.
148
kemanusiaan? Kalau nilai-nilai etis disamakan dengan
hukum, yaitu hanya bicara pasal-pasal tentang apa yang
benar dan apa yang salah; apa yang boleh dan apa yang
tidak boleh, maka nilai-nilai etis memang semakin sulit
didiskusikan. Atau kalau nilai-nilai etis hanya bicara
bagaimana mengawal atau menjaga kemapanan moral dan
dogma agama, maka nilai-nilai itu akan segera runtuh
digantikan dengan gaya hidup yang hedonis dan
konsumeris. Di Facebook, misalnya nilai-nilai etis
diperhadapkan dengan kebebasan dan keterbukaan.
Dengan demikian, nilai-nilai etis, di era ini mestinya tidak
hanya bicara kesalehan pribadi, namun harus juga bicara
kesalehan sosial, yaitu perbuatan benar dan baik yang
mentransformasi masyarakat.
149
program, seperti tokoh-tokoh permainan video game dalam
sebuah dunia yang semakin mengecil.
150
Era transisi ini ditandai pula dengan kemunculan dan
perkembangan ”new media”. Di satu pihak, ia membuat
komunikasi semakin cepat, murah dan mudah. Namun di
pihak lain, dampaknya, perjumpaan antar subjek tidak lagi
terjadi secara personal, tetapi tinggal direpresentasi oleh
perangkat teknologi, seperti internet dengan berbagai situs
jejaring sosialnya, seperti Facebook. Perjumpaan terjadi
hanya dengan suara, gambar, atau kata-kata. Perjumpaan
menjadi semu. Media digital atau new media
menyebarluaskan realitas yang tidak lagi sesungguhnya.
Kita menonton tv sama dengan menonton peragaan atas
realitas. Kita berselancar di internet bertemu dengan ribuan
atau bahkan jutaan informasi. Individu-individu di dunia
maya ini berinteraksi dalam ”kesemuan.”
151
sangat berubah. Ia menggambarkan ‘kerinduan’ manusia
untuk memaknai ulang Tuhan dalam kehidupannya dalam
konteks yang sudah berubah. Pencitraan ini menggunakan
media global dan bahasa global, yaitu bahasa Facebook,
maka Tuhan ini sepertinya sedang diarahkan untuk suatu
konsep dan gagasan bersama. Pencitraan Tuhan oleh para
netters atau facebookers di Facebook dalam bentuk teks,
gambar dan video, tampaknya juga sedang membebaskan
“Tuhan” itu dari penjara-penjara dogma dan tradisi
agama-agama yang sebelumnya dipahami secara eksklusif.
Kaitan dengan hal itu, tanpa juga disadari, ini sedang
mengarahkan manusia-manusia beragama ke usaha
pencarian Tuhan di era datar yang terbuka. Sepertinya,
media digital dan internet sebagai teknologi informasi
termutakhir adalah juga ”berkat” dalam hal ketika ia
memberi ruang bagi orang-orang beragama untuk saling
mendialogkan Tuhan-tuhannya dalam media komunikasi
yang memiliki kemampuan uploading. Inilah salah satu sisi
paradoks dari teknologi itu.
152
etis di era ini, sudah semestinya menyentuh sampai pada
persoalan-persoalan mendasar yang dihadapi bersama,
yaitu sebagai komunitas terbatas atau bahkan masyarakat
global. Seperti korupsi, kemiskinan, kebodohan,
peminggiran, diskriminasi, dan penghancuran lingkungan
hidup.
153
semakin mewujudkan diri, semakin menjadi individu yang
autentik. Proses ini bagian dari usaha menuju makhluk
rohani, yang melewati tiga tahap dialektika, yaitu: estetika,
etik dan religius.91
91I Bambang Sugiharto, Agus Rachmat W., Wajah Baru Etika dan
Agama, (Yogyakarta: Kanisius, 2000), hlm. 98-101.
154
Episode Ksatria, Puteri dan Bintang Jatuh” (Bandung:
Truedee, 2001).
Etika”, dalam Tim Balitbang PGI (peny.), Meretas Jalan Teologi Agama-
agama, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2003), hlm, 62-70.
155
berbintang. Sepertinya kita sedang menjadi negara
teokratis di abad pertengahan itu. Tapi, di saat yang sama,
terorisme, korupsi, konflik atas nama Tuhan dan agama
menggejala. Inilah era paradoks.
156
harapan melewati masa transisi ini. Orang-orang dipanggil
untuk mengembangkan rasa belas kasihnya, terhadap
sesama dan terhadap lingkungan tempat dia tinggal.
Berbelas Kasih, diterj. Yulianto Liputo, (Bandung: Mizan, 2012), hal. 9 dan
10. Buku ini saya nanti baca tahun 2013/2014 setelah hampir selesai
menulis naskah buku ini. Beberapa nilai etis yang saya rumuskan untuk
menjadi tawaran menjalan kehidupan keagamaan dan spiritualitas
sepertinya bersesuaian dengan gagasan dasar Karen Armstrong dalam
bukunya tersebut.
94 Kaidah Emas ini yang juga menjadi dasar yang
dikembangkan oleh pemimpin-pemimpin agama se-dunia dalam
Parliament of The World’s Religion mengadakan pertemuan di Chicago, USA,
tahun 1993.
157
merasakan penderitaannya seolah-olah itu adalah
penderitaan kita sendiri, dan secara murah hati masuk ke
dalam sudut pandangangnya.”95
95 Ibid, hal. 15
158
Armstrong mengajak kita untuk mengeksplorasi makna
terhadap dari ‘belas kasih’ yang bisa ditemukan pada
semua agama dan kebudayaan. Langkah selanjutnya
adalah usaha menerjemahkan dalam kehidupan praksis.
Ada 12 langkah yang dia usulkan untuk hidup berbelas
kasih dalam usaha mewujudkan komunitas masyarakat
global yang lebih baik. Gagasan-gagasan ini lahir dari
konteks global yang memprihatinkan: “Ada ketidak
seimbangan yang mencemaskan antara kekuasaan dan
kekayaan, kelesuan ekonomi, keterasingan, dan
keterhinaan yang telah meledak dalam kekejaman teroris
yang membahayakan kita semua.”96
159
dikonstruksi oleh kebudayaan dan lingkungan geografis
tersebut tidak serta merta membatalkan kodrat yang pada
semua manusia, sebagai makhluk yang memiliki hak dan
status yang sama sebagai penduduk bumi.
160
antar dan inter subjek. Kebenaran sesungguhnya tidak
monolitik. Pengetahuan tentang kebenaran dan tindakan
yang mengandung kebenaran, mestinya dihasilkan dari
dialog bersama dalam komunitas.
161
bicara keadilan di podium kampanye atau media, tapi
tidak begitu dalam realitas politiknya. Korupsi, kekerasan
verbal, dan kamuflase politik menggejala pada kehidupan
politik kita hari ini.
162
bagi para borjuis. Di era globalisasi, negara-negara kaya
menjalankan politik-ekonomi untuk kepentingan
sekelompok orang yang menggunakan akses-askses
kekuasaan negara. Nilai-nilai etis yang penting
dikembangkan oleh agama-agama di era ini adalah nilai-
nilai berekonomi yang berdasar pada prinsip keadilan
untuk semua. Agama-agama mau tidak mau, agar ia tidak
dituduh sebagai yang ikut mempertahankan status quo
kekuasaan para elit, maka harus terlibat pada usaha-usaha
berekonomi yang adil demi semua.
163
alam yang diskriminatif dan praktek ekonomi dan politik
yang tidak adil baik oleh negara maupun pengusaha.
Dengan demikian etika yang sadar ekologi juga dipahami
sebagai panggilan dan respon etis bersama pada
kehidupan bersama yang lestari. Dan, mau tidak mau, suka
atau tidak suka, pelestarian lingkungan sudah harus
masuk dalam perilaku beragama, berilmu pengetahuan,
berekonomi, berpolitik dan sudah tentu bersosial.
164
globalisasi dan bahaya digitalisasi kemanusiaan oleh
teknologi digital yang semakin massal.
165
bentuk penggalian dan penemuan kembali spiritualitas
baru.
166
Saya merefleksikan panggilan agama-agama di era ini dari
konteks kehidupan saya di Tanah Minahasa untuk
membuktikan bahwa hakikat dari nilai terdalam semua
agama di dunia ini adalah hubungan yang holistik antara
manusia, alam dan Tuhan. Hubungan yang direfleksikan
dengan kenyataan dan semangat pembaharuan akan
menghasilkan nilai-nilai etis yang berlaku untuk semua
sebagai spirit untuk melanjutkan kehidupan bersama yang
holistik. Era di mana bumi semakin datar dan di tengah
kesibukan ”manusia digital” mencari Tuhan, spiritualitas
dan makna hidup melalui media-media digital yang saling
terhubung secara global, sesungguhnya nilai-nilai etis itu
justru akan semakin penting dan bermakna.
167
PENUTUP
bisnis dan hiburan yang diluncurkan pada bulan Februari 2009, berbasis
di New York City.
99 “Mark Zuckerberg, Moving Fast And Breaking Things”,
168
revolusioner di Mesir dan Tunisia mengorganisir gerakan.
Karena peran Facebook, bahkan dilaporkan media, seorang
ayah di Mesir menamai bayi perempuannya dengan nama
Facebook. Situs detikINET (http://inet.detik.com)
mengutip DailyMail (www.dailymail.co.uk), Senin 21
Februari 2012, melansir, nama lengkap sang putri adalah
Facebook Jamal Ibrahim. Tercatat 32 ribu grup dan 14 ribu
halaman dibuat untuk mendukung aksi demo di sana.
Ketika revolusi berhasil dan Hosni Mubarak turun dari
kekuasaannya, Facebook pun dianggap berjasa besar dan
dielu-elukan masyarakat. 'Thank You Facebook', demikian
tulisan grafiti yang terdapat di kota Kairo. 100
http://inet.detik.com/read/2011/02/21/094619/1574802/398/revolusi
-mesir-berhasil-ayah-damai-bayinya-facebook, Senin, 21/02/2011
(akses, 29 Maret 2012).
169
Kegiatan keagamaan semacam itu sedang menunjukkan
sebuah fenomena yang kurang baik bagi kehidupan
keagamaan. Sebab, ketika tindakan-tindakan keagamaan
semakin individual maka ia berbahaya bagi komitmen
agama-agama dalam menjalankan fungsinya di ruang
publik. Namun, sebenarnya ini adalah bagian dari proses
orang-orang beragama dalam menghayati tentang adanya
Tuhan itu sebagai sebuah keyakinan yang pribadi.
Terpenting, adalah kesadaran yang lahir dari tindakan-
tindakan yang individual itu untuk membentuk kesadaran
bersama dalam implementasinya merespon realitas.
170
adalah masalah dekadensi moral dan spiritual di dunia
modern.”101
171
Agama-agama ini adalah agama-agama misioner. Sehigga
sering disebut sebagai agama-agama dunia. Ada panggilan
dari agama-agama ini untuk menyebar, pergi ke seluruh
pelosok dunia. Namun terutama perdaganganlah yang
membuat agama-agama ini melintasi samudera dan benua.
Nilai-nilai dari agamalah yang telah mempengaruhi
pergerakan sejarah. Ada perjumpaan damai dan ada juga
perang di antara mereka.
172
Facebook adalah temuan dari orang-orang yang
memahami bahwa kehidupan harus bergerak lebih cepat.
Ada banyak konsekuensi yang ditimbulkannya. Di tengah
orang lain masih mencari jawab fenomena apa Facebook
ini, lebih banyak orang sudah intim dengannya. Ia bagian
dari pergerakan zaman, sehingga usaha manusia mencari
dan mengenal Tuhannya tak tanggung-tanggung, mereka
menggunakan Facebook. Kesadarannya mungkin sama
ketika orang-orang beragama di masa lampau ke gunung-
gunung, gua-gua, tepi laut, tempat sunyi atau di mana saja
untuk mencari Tuhan, yaitu kebutuhan adanya suatu
"Kuasa" yang melampaui diri.
173
realitas. Pengalaman dalam perjumpaan diri seutuhnya
bagaimanapun masih merupakan bentuk komunikasi yang
ideal.
174
tengah situasi itu? Kedua, tantangan krisis kemanusiaan
dan ekologi yang antara lain disebabkan oleh ekspansi
ekonomi-politik negara-negara kapitalis dan perusahaan-
perusahaan transnasional, berupa kapitalisme global.
Bagaimana gagasan tentang Tuhan mestinya diarahkan
untuk merefleksikan dan melawan kehancuran-
kehancuran akibat krisis itu?
175
“Kebenaran itu akan menggantikan kebencian dengan
cinta,” jawab pemuda Sikh itu.102
176
Shenk mencoba menjawab mengapa manusia terus
mencari “kebenaran”, seperti kegelisahaan pemuda Sikh
teman sepenerbangannya itu.
177
(kalooran). Itulah ‘kebenaran’, dalam pengertian orang-
orang Minahasa.
178
Kepustakaan
Aburdene, Patricia. Megatrends 2010: Bangkitnya Kesadaran
Kapitalisme, Tujuh Trend Baru yang akan Mengubah
Strategi Kerja, Investasi dan Gaya Hidup Anda. Jakarta:
Transmedia, 2006.
Antoun, Richard T. Memahami Fundamentalisme Islam,
Kristen, dan Yahudi. Surabaya: Pustaka Eureka,
2003.
Armstrong, Karen. Sejarah Tuhan: Kisah Pencarian Tuhan
yang Dilakukan Orang-orang Yahudi, Kristen, dan
Islam selama 4.000 tahun. Bandung: Mizan, 2004.
Creeber, Glen, “Digital theory: theorizing New Media”,
dalam Glen Creeber and Royston Martin (editor),
Digital Cultures: Understanding New Media.
Maidenhead, England: McGraw Hill/Open
University Press, 2009
Darmaputera, Eka. “Kebangkitan Agama dan Keruntuhan
Etika”, dalam Tim Balitbang PGI (peny.), Meretas
Jalan Teologi Agama-agama. Jakarta: BPK Gunung
Mulia, 2003.
….,………………… “Spiritualitas Baru dan Kepedulian
Terhadap Sesama: Suatu Perspektif Kristen,” dalam
Elga Sarapung, dkk., (ed.) Spiritualitas Baru, Agama
dan Aspirasi Rakyat. Yogyakarta: Dian/Interfidei,
2004.
Eisenstadt, S.N. Revolusi dan Tranfosrmasi Masyarakat, terj.
Chandra Johan. Jakarta: Rajawali, 1986.
Friedman, Thomas L. The World Is: Sejarah Ringkas abad ke-
21, Jakarta: Dian Rakyat, 2006
………………………., The Lexus and The Olive Tree. New
York: Farrar, Straus Giroux, 1999.
179
Fukuyama, Francis. The Great Disruption: Hakikat Manusia
dan Rekonsruksi Tatanan Sosial, terj. Ruslani. Jakarta:
Qalam, 2000.
Gere, Charlie. Digital Culture, second edition. London:
Reaktion Books, 2008
Griffin, David Ray, (ed.), Visi-visi Posmodern: Spiritualitas
dan Masyarakat, terj. A. Gunawan Admiranto.
Yogyakarta: Kanisius, 2005.
Grosby, Steven, Sejarah Nasionalisme: Asal usul Bangsa dan
Tanah Air. Yogyakarta Pustaka Pelajar, 2011.
Hans Kung, Global Responsibility: In Search of a New World
Ethic. New York: Crossroad, 1991.
Hick, John. Tuhan Punya Banyak Nama, terj. Amin Ma’ruf
dan Taufik Aminuddin. Yogyakarta:
Dian/Interfidei, 2006.
Hudjolly. Imagologi: Strategi Rekayasa Teks. Yogyakarta: Ar-
Ruzz Media, 2011.
Huntington, Samuel. The Clash of Civilazations: and The
Remaking of World Order. New York: Simon &
Schuster, 1996.
Knitter, Paul F., Satu Bumi, Banyak Agama: Dialog Multi-
Agama dan Tanggung Jawab Global, terj. Nico A.
Likumahuwa. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2003).
Koshy, Ninan. ”The global empire: an overview”, dalam
Reformed World, Volume 54, No 4, December, 2006.
Geneva: WARC, 2006.
Lebert, Marie. From the Print Media to the Internet, edisi
Bahasa Inggris, (Canada: University of Toronto,
2001), format pdf diunduh dari situs
http://www.gutenberg.org/(Project Gutenberg
eBook).
180
Lefebure, Leo D. Pernyataan Allah, Agama, dan Kekerasan,
terj. Bambang Subandrijo, Jakarta: BPK Gunung
Mulia, 2003
Mulkhan, Abdul Munir. Satu Tuhan Seribu Tafsir.
Yogyakarta: Kanisius, 2007.
Moyo, Last. “Digital Democracy: Enhancing the Public
Sphere” dalam Glen Creeber dan Royston Martin.
Digital Cultures: Understanding New Media.
Maidenhead, England: McGraw Hill/Open
University Press, 2009
Naisbitt, John. Global Paradox, terj. Budijanto. Jakarta:
Binarupa Aksara, 1994.
Nasution, Harun. Islam Di Tinjau Dari Bebagai Aspek.
Jakarta: Universitas Indonesia,1979.
Parekh, Bhikhu, Rethinking Multiculturalism: Keberagaman
Budaya dan Teori Politik, terj. C.B. Bambang Kukuh
Adi. Yogyakarta: Kanisius, 2008
Piliang, Yasraf Amir. Posrealitas: Realitas Kebudayaan dalam
Era Posmetafisika. Yogyakarta: Jalasutra, 2004
………,………………. Hantu-hantu Politik dan Matinya
Sosial. Solo: Tiga Serangkai, 2003.
Purbo, Onno W., Filosofi Naif: Kehidupan Dunia Cyber.
Jakarta: Penerbit Republika, 2003
Ritzer, George. The Globalization of Nothing: Mengkonsumsi
Kehampaan di Era Globalisasi, terj. Lucinda.
Yogyakarta: Universitas Atma Jaya, 2006
Schumann, Olaf. Agama-agama: Kekerasan dan Perdamaian.
Jakarta : BPK Gunung Mulia, 2011.
……………, …… “Milenium Ketiga dan Tantangan
Agama-agama”, dalam Martin L. Sinaga (ed.),
Agama-agama Memasuki Milenium Ketiga. Jakarta:
BPK Gunung Mulia, 2000
181
Shenk David W. Ilah-ilah Global: Menggali Peran Agama-
agama dalam Masyarakat Modern, terj. Agustinus
Setiawidi. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2003.
Sudiarja, A., dkk (peny.), Karya Lengkap Driyarkara: Esai-esai
Filsafat Pemikir yang Terlibat Penuh dalam Perjuangan
Bangsanya. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2006.
Sugiharto, I Bambang dan W. Agus Rachmat. Wajah Baru
Etika dan Agama. Yogyakarta: Kanisius, 2000.
Sugiharto, I Bambang. “Berhala Baru Agama-agama,”
dalam Martin L. Sinaga (ed.), Agama-agama
Memasuki Milenium Ketiga. Jakarta: BPK Gunung
Mulia, 2000.
Steve, Bruce, Fundamentalisme: Pertautan Sikap Keberagamaan
dan Modernitas, Jakarta: Gelora Aksara Pratama,
2002.
Takwin, Bagus. Filsafat Timur: Sebuah Pengantar Ke
Pemikiran-pemikiran Timur. Yogyakarta: Jalasutra,
2000.
Wahid, Abdurahman, “Agama dan Demokrasi”, dalam
Elga Sarapung, dkk. (ed.), Spiritualitas Baru, Agama
dan Aspirasi Rakyat. Yogyakarta: Dian/Interfidei,
2004.
………………………. Islam Kosmopolitan: Nilai-nilai Indonesia
dan Transformasi Kebudayaan, editor Agus Maftuh
Abegebriel dan Ahmad Suaedy. Jakarta: The Wahid
Institute, 2007.
Internet
www.businessinsider.com
Boyd, Danah M. dan Ellison, Nicole B. “Department of
Telecommunication, Information Studies, and
Media”,
182
http://jcmc.indiana.edu/vol13/issue1/boyd.elliso
n.html, (akses, 27 Maret 2012).
Budiman, Hikmat. “Digital, Ruang, Rupa, dan Kuasa:
Cerita-cerita Ringan tentang Kamera”,
http://interseksi.org/
publications/essays/articles/digital_ruang_kuasa.h
tml, (akses, 17 Maret 2012)
Cahyadi, Firdaus. “Mempersoalkan Konglomerasi New
Media”, 15 Februari 2012,
http://www.tempo.co/read/kolom/2012/02/15/5
34/ Mempersoalkan-Konglomerasi-New-Media-,
(akses 18 Maret 2012).
Gani, Muhsin Abdul. “Menyampah di Facebook”, 22
Februari 2012,
http://media.kompasiana.com/mainstream-
media/ 2012/ 02/ 22/ menyampah -di-facebook/,
(akses 15 Maret 2012).
Farah, Vilie. “Effects Facebook has had on Society”, 2
September 2010, http://www.helium.com/
items/1940499-facebook-and-society-how-facebook-
affects-society-has-facebook-changed-society.
Haq, Husna. “Encyclopedia Britannica Puts An End To
Print Publishing”, 14 Maret 2012,
http://www.csmonitor.com/Books/chapter-and-
verse/ 2012/0314/ Encyclopedia-Britannica-puts-
an-end-to-print-publishing, (akses, 18 Maret 2012)
“Ponsel China Kuasai 13% Pasar Ponsel Dunia,” Jum'at, 10
Juni 2011, http://techno.okezone.com/read/
2011/06/10/57/ 466864/ponsel-china-kuasai-13-
pasar-ponsel-dunia
“Tentang Life Deary”,
http://www.lifedeary.com/bloglifedeary/
index.php (akses 15 Maret 2012)
183
“Indonesia Facebook Statistics”,
http://www.socialbakers.com/facebook-
statistics/indonesia
https://www.facebook.com/pages/HENTIKAN-AJANG-
HINA-MENGHINA-AGAMA-DI-FACEBOOK/
137513086261987?sk= info
“Pemuka Agama Kecam Karikatur Nabi Di Facebook”, 24
Mei
2010,http://www.cathnewsindonesia.com/2010/05
/24/pemuka-agama-kecam-karikatur-nabi-di-
facebook/, (akses 15 Maret 2010)
“Cartoonist overwhelmed by response to "Everybody
Draw Mohammed Day", 27 April 2010,
http://mynorthwest.com/ ?sid=313601&nid=11
(akses 15 Maret 2012)
http://globalkhilafah.blogspot.com/2011/12/ status-fb-
mu-cerminan-pribadi-mu.html, (akses 15 Maret
2012)
https://www.facebook.com/ pages/ AYAT-ALKITAB/
93311846117
https://www.facebook.com/pages/Indah-NYA-Ayat-
Ayat-Al-Quran/154629551225834
http://id.wikipedia.org/
“New Media”, http://dictionary.reference.com/ browse/
new+media?s=t, (akses, 18 Maret 2012)
“Diskusi Media Baru dalam Dies Natalis UMN, 25
November 2011, (akses 18 Maret 2012).
http://www.thefreedictionary.com/identity, (akses, 25
Maret 2012)
“Kata salam: SYALOM” dalam
http://www.sarapanpagi.org/kata-salam-syalom-
vt196.html.
184
“Mark Zuckerberg, Moving Fast And Breaking Things”,
http://www.businessinsider.com/mark-
zuckerberg-2010-10, Oct. 14, 2010, (akses, 29 Maret
2012).
185