Anda di halaman 1dari 190

i

Ada Tuhan di Facebook


Pencarian Tuhan di Era Budaya Digital

Oleh

Denni H.R. Pinontoan

Mawale Cutural Center


2014

ii
Ada Tuhan di Facebook
Pencarian Tuhan di Era Budaya Digital

Oleh

Denni H.R. Pinontoan

iii
Daftar Isi

PENDAHULUAN ~ 1

Bab 1
FACEBOOK, MEDIA BARU ~ 10
Era Baru Telah Datang
Facebook, Media Baru di Era Baru
Facebook, Ruang Publik Bagi Individu

Bab 2
TUHAN DI FACEBOOK ~ 31
Tuhan yang Ditulis
Tuhan Digital
Tuhan Global, Tuhan Masa Depan?

Bab 3
MENCARI TUHAN DI DUNIA VIRTUAL ~ 63
Budaya Digital
Mencari Tuhan di Masa Transisi

Bab 4
TUHAN GLOBAL DAN PLURALISME AGAMA
BAGI MASA DEPAN ~ 104
Tuhan “Yang Diharapkan Bersama”
Pluralitas Agama dan Perannya di Masa Kini
- Agama-agama untuk Perdamaian
- Memahami Perbedaan dan Masalahnya
- Agama-agama dan Perdamaian
- Dialog Kemanusiaan Menuju Kedamaian yang
Sejati

iv
Nilai-Nilai Etis Bersama Demi Masa Depan
Masyarakat Global
1. Nilai Etis Bersama untuk Kehidupan yang
Egaliter dan Inklusif
2. Nilai Etis Bersama untuk Komunitas yang Sadar
Dialog
3. Nilai Etis Bersama untuk Komunitas yang
Berkeadilan
4. Nilai Etis Bersama untuk Komunitas yang Sadar
Ekologi

PENUTUP ~ 174

Kepustakaan ~ 189

v
Pendahuluan

Saya menaruh sebuah pernyataan menarik dari Ahmad


Wahib di akun Facebook saya. "Tuhan, murkakah Engkau
bila aku berbicara dengan-Mu dengan hati dan otak yang
bebas, hati dan otak yang Engkau sendiri telah berikan
padaku dengan kemampuan-kemampuannya bebas
sekali"? (Ahmad Wahib, 9 Juni 1969)

Saya suka dengan kutipan itu karena ia memberi


pembelaan pada penggunaan akal namun tidak mematikan
intuisi. Tuhan adalah persoalan iman, namun usaha
mengenal dan memaknai keimanan (agama) sebagai nilai
dan spirit adalah persoalan kultural. Optimalisasi akal
menghasilkan ilmu pengetahuan, dan optimalisasi intuisi
menghasilkan iman. Keduanya tidak perlu dibenturkan
sebenarnya, ketika akal dan intuisi dipahami bagian
integral dalam diri manusia.

Ilmu pengetahuan terus berkembang, mengiringi


penemuan dan pengembangan teknologi. Teknologi adalah
hasil berpengetahuan dan juga berkebudayaan manusia.
Upaya untuk melanjutkan proses kehidupan, dengan
mengoptimalkan kemampuan nalar dan sumber daya
alam, lahirlah teknologi. Teknologi dikembangkan untuk

1
membantu dan mempermudah manusia dalam mencapai
tujuan-tujuannya.

Ilmu pengetahuan atau teknologi dan iman atau agama


dalam kenyataannya dapat dianalogikan seperti Tom dan
Jerry, kucing dan tikus animasi dalam film serial animasi
Amerika Serikat hasil produksi MGM itu. Agama sering
menuduh, dengan ilmu pengetahuan orang bisa
menyingkirkan Tuhan dalam hidupnya. Memang
kemudian muncul para saintis yang ‘menolak’ adanya
Tuhan karena capaian-capaiannya dalam pengembangan
ilmu pengetahuan. Namun, pada kenyataanya, orang-
orang beragama membutuhkan ilmu pengetahuan untuk
mengetahui sejarah dan tradisi atau bahkan untuk
“menalar” gagasan tentang Tuhan itu sendiri.

Ilmu dan iman mestinya adalah dua kesadaran dalam diri


manusia yang tidak bisa dipisahkan dalam proses-proses
hidupnya, meskipun pada dirinya kedua hal itu masih bisa
dibedakan. Ilmu memiliki sistem kerjanya sendiri,
demikian juga dengan iman. Dan, keduannya mestinya
bukan soal nalar atau intuisi saja. Ilmu pengetahuan tanpa
kepekaan pada kemanusiaan berbahaya, sama halnya,
iman yang membabibuta, juga tidak kalah bahayanya.
“Ilmu tanpa agama adalah lumpuh, agama tanpa sains
adalah buta," ujar Albert Einstein di tahun 1941.

Terkini, dan ini bukan akhir berpengetahuan umat


manusia, perangkat-perangkat digital untuk membantu
orang-orang berkomunikasi dikembangkan dan
dimutakhirkan setiap hari. Tuhan tidak mati terbunuh dan
agama-agama tidak lenyap dengan semakin
berkembangnya perangkat-perangkat digital itu.

2
John Naisbitt di tahun 1995 mengatakan dalam bukunya
Global Paradox, “Ini adalah perubahan global dari
pentingnya negara ke pentingnya individu, dan dengan
adanya gelombang revolusi telekomunikasi, timbulah
peluang untuk kebebasan dan usaha individu yang sekali
belum pernah terjadi sebelumnya.”

Naisbitt berbicara tentang zaman yang berubah dengan


drastis. Meskipun sebenarnya semua yang dianggap baru
(ditemukan) sekarang ini bermula dari gagasan dan ideal-
ideal manusia tentang hidupnya. Pesawat terbang
ditemukan, bermula dari keinginan untuk menjangkau
suatu tempat yang jauh dalam waktu yang cepat. Telepon
ditemukan untuk menjawab keinginan berkomunikasi
jarak jauh secara praktis. Demikian juga pengembangan
selanjutnya dari apa saja yang kita sebuah sebagai
perangkat teknologi canggih sekarang ini.

Pada sebuah wawancara tahun 1995, Steve Jobs berkata


kepada Bob Cringely, “Kami berada dalam sebuah misi
dari Tuhan untuk menyelamatkan Apple. Saya tidak
peduli untuk menjadi salah. Saya hanya perduli
kesuksesan. Kami juga tidak tahu banyak. Kami dapat saja
menciptakan benda kecil untuk mengkontrol raksasa. Cara
kami untuk memajukan umat manusia adalah dengan
mengambil yang terbaik dan menyebarkannya kepada
semua orang, hingga setiap orang menjadi dewasa dengan
hal-hal yang lebih baik."1 Bob adalah penulis buku, "Steve
Jobs: The Lost Interview."

1 “What Steve Jobs Revealed in a ‘lost’ Interview”, 16


November 2011, http://www.cbsnews.com/8301-500185_162-

3
Steve Jobs sedang berbicara tentang visinya untuk
masyarakat global bersama Apple. Pengembangan
teknologi terkini, agaknya masih dan mungkin akan selalu
berhubungan dengan apa yang sudah menjadi kesadaran
ribuan tahun manusia, yaitu gagasan tentang Tuhan.
Dengan demikian, teknologi selalu berusaha diletakkan
pada ideal-ideal yang juga menjadi visi agama-agama,
yaitu kebaikan.

Banyak kritik yang muncul pada teknologi yang terus


berevolusi, terutama datang dari agama-agama. Sisinya
yang satu, teknologi memang menghancurkan, semisal
pengembangan peralatan-peralatan perang, bom, senjata
api, pesawat pembom, dan teknologi digital militer.
Bahkan, internet untuk pertama kali dikembangkan
berkenaan dengan kepentingan militer Amerika. Namun,
secara jelas teknologi telah membantu mengembangkan
peradaban umat manusia. Agama-agama juga dibantu oleh
teknologi untuk menjalankan misinya, misalnya dengan
ditemukannya mesin cetak oleh Johannes Gutenberg
sekitar tahun 1440, maka kitab suci agama-agama dapat
dicetak dan disebarluaskan secara massal.

Buku ini membahas tentang persinggungan antara orang-


orang beragama dalam mengekspresikan semangat dan
keyakinan keagamaanya, terutama usaha pencarian dan
pengenalan kembali Tuhan dengan konteks zaman, yaitu
di era budaya digital. Facebook, atau situs jejaring sosial
penanda perkembangan zaman di era informasi ini.

57325647/what-steve-jobs-revealed-in-a-lost-interview/, (akses, 28
Maret 2012).

4
Facebook memang bukan agama dan sejatinya memang
demikian, tapi ia telah digunakan oleh orang-orang
beragama untuk mengekspresikan kerohaniaannya.

Facebook hanyalah salah satu dari sekian banyak media


sosial atau media komunikasi produk mutakhir teknologi
informasi. Facebook juga hanyalah salah satu dari sekian
banyak fenomena di era budaya digital. Dalam buku ini
Facebook dijadikan sampel untuk mendiskusikan tentang
gejala berkomunikasi di era budaya digital.

Facebook dapat dikatakan merepresentasi perkembangan


teknologi komunikasi di era ini. Sekitar tahun 2013, jumlah
pengguna Facebook masyarakat dunia berjumlah 1. Di
awal tahun 2019, jumlahnya meningkat dua kali lipat,
sekira 2,27 miliar.2

Perubahan dan pergerakan zaman yang semakin cepat


telah memfasilitasi orang-orang beragama untuk
menjumpai Tuhan secara kreatif, efesien dan praktis. Doa-
doa, syair-syair rohani dan kutipan ayat-ayat kitab suci
disiarkan di situs jejaring sosial. Terjadi interaksi di antara
mereka, ada diskusi, saling berbagi dan bahkan debat.
Situs jejaring sosial mengubah cara orang-orang beragama
berkomunikasi dan mengkomunikasikan keyakinannya
secara lebih terbuka dan dialogis.

Fenomena ini adalah salah satu objek kajian studi agama-


agama. Namun, untuk membantu memahami secara lebih

2
Lihat update pergerakan jumlah pengguna Facebook dan media
sosial lainnya pada The Statistic Portal, https://www.statista.com/statistics/272014/global-
social-networks-ranked-by-number-of-users/, (akses 31 Maret 2019)

5
dalam fenomena ini, pendekatan kajian budaya dan
jurnalisme penting untuk dijadikan sebagai alat pembedah.
Buku ini bermaksud mendiskusikan fenomena keagamaan
yang diekspresikan melalui perangkat digital, internet dan
lebih khusus melalui situs jejaring sosial.

Mariasusai Dhavamony menjelaskan, pendekatan


fenomenologi agama tidak hanya menghasilkan suatu
deskripsi mengenai fenomena yang dipelajari, namun
metode ini memberikan kepada kita arti yang lebih dalam
dari suatu fenomena religius, sebagaimana dihayati dan
dialami oleh manusia-manusia religius.3

Terutama yang akan dikaji adalah ekspresi-ekspresi


keagamaan melalui Facebook (terutama fitur
wall/linimasi), yaitu status-status yang menuliskan doa,
syair-syair rohani, kutipan-kutipan ayat kitab suci; gambar
dan video-video yang menampilkan simbol dann sikap
keagamaan, yang coba didiskusikan dengan konteks dan
faktor-faktor yang ikut mempengaruhinya.4 Hasil diskusi
ini kemudian direfleksikan untuk menemukan makna-
makna keagamaan dalam konteks kesadaran bersama yang
lintas batas, sebagaimana internet, situs jejaringan sosial
telah memfasilitasi orang-orang yang berbeda agama dan
keyakinan dalam perjumpaannya di dunia virtual.

Facebook adalah media jejaring sosial global yang telah


membantu orang-orang untuk saling berinteraksi tanpa

3 Mariasusai Dhavamony, Fenomenologi Agama, (Yogyakarta:

Kanisius, 1995), 43.


4 Hal yang sama juga umum di situs jejaring sosial lainnya,

seperti Twitter.

6
dibatasi oleh perbedaan-perbedaan. Pertanyaan untuk
fenomena ini, yaitu: “Apakah ekspresi-ekspresi keagamaan
ini adalah juga bagian dari usaha pencarian Tuhan di
zaman ini, sebagaimana orang-orang beragama di zaman
yang lalu melakukannya?” “Bagaimana gagasan tentang
Tuhan oleh orang-orang beragama yang telah menjadikan
Facebook sebagai salah satu media ekspresi
keagamannya?” “Nilai-nilai etis atau spiritualitas apa saja
yang mesti dikembangkan agama-agama di masa transisi
ini sebagai bagian dari tanggungjawab globalnya bagi
masyarakat dunia yang semakin terintegrasi dengan
perkembangan teknologi informasi?”

Pemahaman yang mendasarinya adalah, fenomena


perkembangan atau kemajuan zaman dan teknologi,
dalam bidang dan bentuk apapun tak harus atau bahkan
tidak lagi relevan dilihat secara hitam-putih. Agama-agama
memang yang paling peka terhadap perubahan. Karena,
agama-agama tradisional sering hanya bersibuk-sibuk
dengan usahanya mempertahankan orthodoxy dogmanya
atau tenggelam dengan romantisme masa lalu sehingga
sering gagap menghadapi perubahan zaman.

Selalu saja ada yang berubah, tak terkecuali ekspresi


keagamaan dan gagasan-gagasan di dalamnya. Facebook
adalah alat komunikasi, yang di satu pihak memang
bermasalah dengan dampak-dampak psikologi dan sosial,
serta kultural, namun di lain pihak ia adalah kenyataan
hari ini. Facebook dan media sosial pada umumnya telah
menjadi pilihan alternatif untuk mencari Tuhan dan
mungkin juga untuk mengembangkan nilai-nilai
spiritualitas yang lahir dari semangat zaman yang hampir
mendigitalisasi semua sendi kehidupan. Apakah Facebook

7
berbahaya karena ia makin memperkuat agenda-agenda
globalisasi dengan neoliberalisme atau apa saja
dampaknya, satu hal yang pasti ia telah menjadi alat
komunikasi untuk menghubungkan umat manusia.

Alexander Graham Bell (1847-1922), si penemu telepon,


mengawali temuannya itu dengan sebuah panggilan
nurani, yaitu bagaimana orang-orang bisu dan tuli bisa
berkomunikasi dan memiliki bahasanya sendiri. Kata yang
ditransmit pertama ketika Bell berhasil mengembangkan
gagasan teknik dan perangkat berkomunikasi (telepon)
pada 10 Maret 1876 adalah, "Watson, come here; I want
you" (Watson, datanglah kemari, saya membutuhkanmu).
Ia memanggil Thomas Watson, asistennya itu.

Hampir seabad kemudian, Ray Tomlinson si “penemu” e-


mail itu, di tahun 1971 ketika pertama kali ia mengirimkan
surat elektronik ke komputer yang lain, dokumen teks
yang dia kirim, secara tata bahasa bahkan tidak memiliki
arti sama sekali, hanya “QWERTYUIOP.” Tapi, huruf-
huruf itu adalah penanda bagi sebuah revolusi
kebudayaan. Faktanya, teknologi mengirim surat dalam
bentuk elektronik (e-mail) kemudian bersentuhan dengan
urusan politik, ekonomi, sosial dan keagamaan. Ia
memanggil orang-orang untuk masuk dalam sebuah
perubahan besar.

“Sebuah panggilan”, mungkin begitu juga dengan status-


status Facebook bagi orang-orang beragama. Mereka saling
memanggil, saling berbagi, yang mungkin nanti akan
bermuara pada kepedulian yang sama tentang masa depan
kehidupan bersama. Tentu terutama bukan Tuhan yang
dipanggil – sebab dalam iman orang-orang beragama Ia

8
“maha hadir” – melainkan kehidupan bersama itu. Jika
demikian ini persoalan kebudayaan, karena ia menyangkut
manusia dan kehidupannya. Ini adalah “sebuah
panggilan” pada tanggung jawab bersama, sebagai
penghuni planet ini.

9
Bab 1
Facebook, Media Baru

Era Baru Telah Datang


Saya generasi yang lahir pertengahan tahun 1970-an. Di era
tahun 1980-an, saya ingat di kampung orang-orang
menonton televisi hitam-putih. Siarannya cuma satu, TVRI
dan tidak sehari penuh. Biasa dimulai sore dan berakhir
dini hari. Antara lain yang saya sangat ingat waktu itu
adalah siaran berita “Dunia dalam Berita”. Film-film
Indonesia ditayangkan setiap akhir pekan. Hari minggu
baru ada siaran sehari. Di setiap pusat kecamatan ada satu
Kantor Pos dan Giro tempat orang mengirim surat.
Saudara kami yang tinggal di Jakarta dan Papua (dulu
Irian Jaya), setiap Natal dan Tahun Baru rutin mengirim
kartu natal.

Pertengahan tahun 1990 siaran televisi pertama di


Indonesia yang mengudara untuk seluruh Indonesia, yaitu
Rajawali Citra Televisi Indonesia (RCTI). Awal tahun 1990-
an menyusul mengudara Surya Citra Televisi (SCTV).
Pertengahan tahun 1990-an, kemudian muncul Televisi
Pendidikan Indonesia (TPI). Selanjutnya mengudara
Andalas Televisi (Antv), Indosiar, Transtv, MetroTV dan
lain-lain.

Ketika bisnis tv kabel menyebar, orang-orang di pelosok


pun, asalkan sudah punya aliran listrik bisa menikmati
siaran HBO, National Geographic, Discovery, CNN, dan
lain-lain. Meski masih menolog, namun penyebaran

10
informasi, gaya hidup, budaya, ilmu pengetahuan dan
nilai-nilai keagamaan sudah semakin deras di masa ini.

Di Tomohon, sebuah kota kecil di kaki Gunung Lokon dan


Mahawu, tahun 2000-an awal saya mengenal internet.
Mungkin terlambat dibandingkan dengan anak-anak muda
sezaman di Jakarta atau kota-kota besar lainnya di
Indonesia. Sementara Jakarta atau Indonesia sudah sangat
terlambat di banding negara-negara maju, seperti Amerika
atau negara-negara Eropa. Waktu itu sebatas mengirim dan
menerima surat elektronik melalui e-mail dan browsing
informasi-informasi seperlunya. Chating atau sejenisnya
saya belum kenal. Namun, perubahan sudah semakin
terasa. Dunia luar yang dulunya hanya dikenal melalui
siaran-siaran tv, kini sudah bisa dijelajahi sambil duduk di
warnet. Mesin pencari google sangat akrab sekali waktu itu.

Saya baru menyadari kemudian ternyata itulah era baru,


era dari tv hitam putih ke era tv online, era mengirim surat
di Kantor Pos dan Giro ke era mengirim dan menerima
surat melalui e-mail, era menjelajahi perpustakaan di
kampus ke era menjelajahi pengetahuan melalui wikipedia
atau e-book online, dan era telepon umum atau warung
telepon ke era handphone, era korespodensi di majalah-
majalah remaja ke era situs jejaring sosial, dst.

Saya beruntung hadir di era transisi ini, dari abad 20 ke


abad 21. Sebuah era yang ditandai dengan sejumlah
peristiwa yang mengubah dunia. Tahun 1978 hingga 1979
terjadi revolusi Iran, yaitu perubahan sistem pemerintahan
dari rezim Shah Mohammad Reza Pahlavi menjadi
Republik Islam yang dipimpin oleh Ayatullah Agung
Ruhollah Khomeini.

11
Pada 9 November 1989, tembok Berlin (yang memisahkan
rakyat Jerman Barat dan Jerman Timur) runtuh, yang
menjadi awal reunifikasi Jerman. Tahun 1991 Uni Soviet
runtuh dengan ditandai lahirnya negara-negara baru yang
terdiri dari bangsa-bangsa yang dulunya membentuk Uni
Soviet pada tahun 1922. Peristiwa ini disebut sebagai tanda
berakhirnya Perang Dingin (1947–1991), yaitu sebuah
periode konflik dan ketegangan antara Amerika Serikat
beserta sekutunya (Blok Barat) dan Uni Soviet beserta
sekutunya (Blok Timur).

Sepuluh tahun kemudian, tepatnya 11 September 2001


gedung kembar World Trade Center yang berada di jantung
pusat distrik finansial New York City runtuh ditabrak oleh
pesawat yang disandera teroris. Peristiwa itu dinilai oleh
banyak kalangan telah membenarkan tesis Samuel
Huntington dengan apa yang disebutnya “A Clash of
Civilizations”.5 Banyak yang mengkritik tesis Huntington
ini. Namun satu yang pasti, peristiwa itu berdampak pada
permusuhan Amerika Serikat terhadap (negara-negara)
Islam. Sejak saat itu Amerika mengumumkan perang
terhadap terorisme.

5 Tesis ini diperkenalkan oleh Samuel Huntington untuk

pertama kalinya dalam sebuah artikelnya berjudul “A Clash of


Civilizations” pada Foreign Affairs, Summer 1993. Tahun 1996 ia
menerbitkan buku dengan judul, The Clash of Civilazations: and The
Remaking of World Order, (New York: Simon & Schuster).

12
“Our war on terror begins with Al Qaida," tegas Presiden
George W. Bush ketika berbicara di hadapan Kongres 20
September 2001.6

Bush menegaskan lagi, perang Amerika melawan terror


tidak akan berakhir pada Al Qaeda. Perang akan terus
dilaksanakan sampai setiap kelompok teroris telah
ditemukan, berhenti, dan dikalahkan.

Bagi Bush, perang ini bukan hanya untuk Amerika. Ini


adalah pertarungan dunia. Ini adalah pertarungan
peradaban. Ini adalah perjuangan semua orang yang
percaya kemajuan dan pluralisme, toleransi dan kebebasan.
“This is the world's fight. This is civilization's fight. This is
the fight of all who believe in progress and pluralism,
tolerance and freedom,” kata Bush.

Kembali sebelum 11 September. Dengan runtuhnya


tembok Berlin dan Uni Soviet, maka datanglah era baru,
era kemenangan kapitalisme. Denganya, Amerika Serikat
memegang kendali globalisasi untuk kepetingan ekspansi
ekonomi dan politiknya. Abad 21 disambut dengan
kapitalisme baru ala Amerika Serikat, yang oleh Ninan
Koshy seorang spesialis dalam urusan internasional dan
mantan Direktur Hubungan Internasional Dewan Gereja-

6 “President Bush Declares ‘War on Terror’: Speech to a Joint

Session of Congress, Sept. 20, 2001”,


http://middleeast.about.com/od/usmideastpolicy/a/bush-war-on-
terror-speech.htm, (akses, 25 Maret 2012)

13
gereja se-Dunia di Jenewa, menyebutnya sebagai “The
New Rome”.7

Tahun 1994 buku John Naisbitt Global Paradox diterbitkan.


Buku ini mengulas beberapa paradoks dunia global
dengan beberapa perubahan mendasar dunia yang sedang
dan akan terus berlangsung. Kemajuan di bidang ekonomi
global dan teknologi informasi (akan) berdampak pada tata
kehidupan masyarakat global. Satu hal yang paradoks di
era global ini, bahwa justru semakin mengglobal,
masyarakat dunia akan semakin berorientasi pada
lokalitasnya. “Semakin kita menjadi universal, tindakan
kita semakin bersifat kesukuan.”8

Perubahan yang sangat besar akan terjadi di era baru ini.


Salah satu tesis Naisbitt perubahan di bidang teknologi
komunikasi berbunyi, “Telekomunikasi adalah kekuatan
penggerak yang secara serentak akan menciptakan
ekonomi global yang besar sekali dan menjadikan bagian-
bagiannya lebih kecil dan lebih kuat.9

Naisbitt meramalkan, bahwa akan berkembang suatu


susunan hebat hibrida telepon, televisi dan komputer.
Mungkin yang dia maksud adalah sebuah teknologi
komunikasi yang dapat menggabungkan apa yang ada
pada telepon, televisi dan komputer ditambah internet.
Dan, itulah situs jejaring sosial yang sekarang sudah akrab

7 Ninan Koshy, ”The global empire: an overview”, dalam

Reformed World, Volume 54, No 4, December, 2006, (Geneva: WARC,


2006), 339.
8 John Naisbitt, Global Paradox, terj. Budijanto, (Jakarta:

Binarupa Aksara, 1994), hlm. 20.


9 Naisbitt, Global Paradox, 51.

14
dengan miliaran penduduk dunia. Sebab, hanya tiga tahun
dari ramalan itu muncul situs jejaring sosial pertama,
www.sixdegrees.com pada tahun 1997. Facebook, situs
jejaring sosial terbesar sekarang ini diluncurkan untuk
pertama kali tahun 2004, atau sepuluh tahun dari ramalam
Naisbitt itu.

Kemajuan yang semakin pesat di bidang teknologi


informasi telah turut mempercepat globalisasi. Jaringan
internet yang terus meluas menghubungkan semakin
banyak orang. Globalisasi, yang sebenarnya tidak terutama
ekonomi, akan semakin nyata dengan revolusi yang akan
berlanjut terus menerus. Naisbitt di pertengahan tahun
1990-an itu bahkan sudah menegaskan apa yang telah
menjadi kenyataan sekarang yaitu kegiatan komunikasi
yang tidak lagi dibatasi oleh ruang dan waktu. Naisbitt
mengatakan, pada awal abad informasi ini, orang-orang
akan saling berkomunikasi dari atas meja kerja, di dalam
mobil atau di telapak tangan.10

Ketika perusahaan-perusahaan seluler seperti, Nokia,


Motorola, Sony Ericsson berlomba-lomba memenangkan
pasar, maka lahirlah beragam jenis dan tipe handphone yang
semakin canggih dengan aplikasi-aplikasi dan fitur-fitur
yang terus berkembang dan bentuk yang makin simple.
Bahkan beberapa tahun terakhir ini ponsel-ponsel Cina
membanjiri pasar ponsel dunia. Data tahun 2017
menyebutkan, beberapa merek telepon pinter dari negeri

10 Naisbitt, Global Paradox, 53.

15
Tirai Bambu itu memegang rekor 48% pangsa pasar di
seluruh dunia.11

Peningkatan pemasaran ponsel-ponsel pinter tersebut


memberi pengaruh signifikan bagi aktivitas manusia
dengan internet. Ini berhubungan dengan pola komunikasi
yang terus berkembang. Situs www.nextdigital.co.id milik
sebuah perusahaan pemasaran digital terkemuka di
Indonesia melansir tentang hal-hal yang terjadi di internet
dalam setiap satu menit:
1. Lebih dari 639.800 GB transfer data IP global terjadi
di internet dalam setiap menit. Sekitar 47.000 app
downloads di internet terjadi setiap menit.
2. Sekitar 2 juta pencarian di Google dalam satu menit,
sekitar 1,3 juta penayangan video dan video di
upload berlangsung setiap 1 menit.
3. 6 artikel Wikipedia baru diterbitkan setiap menit
internet, serta 204 juta e-mail terkirim dalam durasi
yang sama.
4. Dalam rentang waktu satu menit internet (60 detik),
sekitar 1.300 pengguna ponsel baru ditambahkan.
Sekitar 135 infeksi Botnet diidentifikasi dan 20
pengguna web baru menjadi korban pencurian
identitas.
5. Sekitar 277.000 user Facebook login dan sekitar 6
juta tampilan Facebook berlangsung hanya dalam
satu menit.

11 Counterpointm, “Q2 2017 Global smartphones: Chinese brand

propelling growth outside of China,”


https://www.counterpointresearch.com/q2-2017-global-smartphones-
chinese-brand-propelling-growth-outside-of-china/, (akses 31 Maret
2019). Peningkatan yang luar biasa dibanding tahun 2011 yang baru
berkisar 13%.

16
6. 100.000 tweet baru yang diposting di situs micro-
blogging dan sekitar 320 + account Twitter baru
diciptakan dalam satu menit.
7. Hampir 100 + akun LinkedIn baru diciptakan
dalam satu menit. Secara keseluruhan user-dasar
LinkedIn diperkirakan sekitar 259.000.000.12

Kegiatan komunikasi masyarakat dunia semakin muda


dan cepat. Dunia benar-benar sudah digenggaman tangan!

Bill Kovach dan Tom Rosentiel, wartawan senior dan pakar


media dari Amerika dalam buku mereka Blur menyebut
gejala ini sebagai “era banjir informasi” (the age
information overload). Era ini antara lain ditandai dengan
kemunculan new media: Facebook, Twitter, Youtube, Skype,
dll. Media lama, seperti koran, televisi dan radio harus
berhadapan dengan munculnya media baru yang berbasis
internet. Media lama tak akan menghilang, namun ia akan
berusaha menyesuaikan dengan perubahan. Ciri dari era
ini kecepatan informasi, kemudahan dalam mengaksesnya,
dan semakin beragamnya penyedia informasi. Persoalan
dengan perubahan teknologi informasi ini, dari sudut
pandang jurnalisme menurut Kovach dan Rosentiel adalah
tentang “kebenaran” informasi.

Dengan kemunculan new media masing-masing orang


adalah ‘pewarta.” Pengumpul dan penyebar berita atau
informasi tidak lagi dimonopoli wartawan dan

12 “Apa yang terjadi di Internet dalam 1 menit?”,


http://www.nextdigital.co.id/blog/2013/12/apa-yang-terjadi-di-
internet-dalam-1-menit/ (akses 16 Mei 2014)

17
perusahaan-perusahaan media. Masing-masing orang yang
aktif menggunakan new media meliput, menulis dan
menyebarkan informasi. Dampaknya, tidak semua
informasi dapat diyakini kebenarannya. Subjektivitas
menjadi persoalan dalam cara memproduksi berita
tersebut. Dalam hal ekspresi keagamaan yang ditampilkan
dalam bentuk tulisan, gambar dan video, orang-orang
beragama kini menggunakan new media sebagai
perangkatnya.

Facebook, Media Baru di Era Baru


Globalisasi sesungguhnya sudah lama lahir. Prosesnya
tidak sekali jadi. Yang kita alami dan saksikan adalah
perubahannya yang terkini. Thomas L. Friedman
menyebut tiga tahap globalisasi. 13 Tahap pertama terjadi
tahun 1492, yaitu ketika Colombus berlayar dan membuka
perdagangan antara apa yang disebutnya “dunia lama”
dan “dunia baru”. Masa ini berlangsung sampai tahun
1800. Dia menyebut ini sebagai “Globalisasi 1.0”.

Masa selanjutya disebut “Globalisasi 2.0”, berlangsung dari


tahun 1800 sampai tahun 2000. Masa yang ditandai oleh
antara lain Depresi Besar dan Perang Dunia I dan II. “Masa
ini menyusutkan dunia dari ukuran sedang ke ukuran
kecil,” tulis Friedman.

Globalisasi 2.0, ditandai dengan hadirnya perusahaan-


perusahaan multinasional. Berikut proses penyatuan global

13 Thomas L. Friedman, The World Is Flat: Sejarah Ringkas abad

ke-21, (Jakarta: Dian Rakyat, 2006), hlm. 8- .Lihat juga bukunya yang
terbit lebih dulu, The Lexus and The Olive Tree, (New York: Farrar, Straus
Giroux, 1999.), 8-11.

18
dibantu oleh perkembangan teknologi dengan
menyebarnya telegraf, telepon, PC, Satelit, serat optic, World
Wide Web. Pasar global pun segera terwujud. “Kekuatan di
balik globalisasi masa ini adalah terobosan di bidang
perangkat keras, berawal dari kapal uap dan kereta api,
hingga kemudian telepon dan komputer induk,” tambah
Frideman.

Globalisasi 3.0 menyusutkan dunia dari ukuran kecil


menjadi sangat kecil. Dunia benar-benar menjadi datar.
Internet dan e-commerce lepas landas di masa ini. Friedman
menulis:

Sebagai bocoran, ‘tatanan dunia datar’ adalah


konvergensi (penyatuan) antara komputer pribadi yang
memungkinkan setiap individu dalam waktu singkat
menjadi penulis materi mereka secara digital, serat optic
yang memungkinkan mereka untuk mengakses lebih
banyak materi di seluruh dunia dengan murah secara
digital, serta work flow software (perangkat lunak alur
kerja) yang memungkinkan individu-individu di seluruh
dunia untuk bersama-sama mengerjakan suatu materi
secara digital dan dari manapun, tanpa menghiraukan
jarak antar mereka.

Kalau Globalisasi 1.0 yang berperan adalah negara dan


Globalisasi 2.0 yang berperan adalah perusahaan, maka
Glovalisasi 3.0, masing-masing individu ditantang dan
berusaha mencari peluang untuk era yang sudah benar-
benar mengglobal. Kelompok dan individu yang beragam
mendapat peluang untuk berperan di era ini. Setidaknya,
begitu optimisme Friedman terhadap era Globalisasi 3.0
ini.

19
Ketika Friedman menerbitkan buku The Lexus and The Olive
Tree tahun 1999, Facebook belum lahir. Namun, ketika
buku The World Is Flat diterbitkan pertama kali pada tahun
2005, Facebook baru kira-kira setahun ketika Mark
Zuckerberg meluncurkannya dari kamar asrama Harvard
pada tanggal 4 Februari 2004. Edisi revisi buku ini terbit
pada tahun 2006, tahun yang sama ketika Facebook untuk
pertama kali dibuka untuk setiap orang yang berusia 13
tahun ke atas.

Namun Friedman mengenal Facebook. Meski hanya sekali


menyebut di bukunya The World is Flat, Friedman punya
rasa optimis besar terhadap situs jejaring sosial ini.
Friedman merasakan masa depan Facebook untuk menjadi
salah satu situs berbasis uploading yang akan sangat
memainkan peran dalam pendataran lebih lanjut dunia ini.
Ia disebut dalam “Pendatar No. 4”, Uploading:
mengendalikan kekuatan masyarakat. Situs-situs yang
memfasilitasi uploading, yang semakin banyak tumbuh
akan memotong media-media tradisional, seperti koran.
Ada ancaman bagi jurnalisme tradisional. Inilah era New
Media.

“Tidaklah mungkin kita membayangkan kejadian sepuluh


tahun lagi, bila setiap orang mempunyai blog. Meskipun
demikian, itulah arah kita yang kita tuju. Jika kita melihat
fenomena Facebook.com, sebuah direktori sosial online
yang menyebar seperti virus di sekolah dan perguruan
tinggi, jutaan pemuda saat ini memiliki tatanan sendiri
untuk mengemukakan cerita masing-masing,” ujar
Friedman di tahun 2005 itu14.

14 Friedman, The World Is Flat...

20
Waktu saya sedang menulis buku ini pada 13 Maret 2012,
saya mendapat informasi dari seorang teman, ada situs
jejaring sosial baru yang dibuat oleh mahasiswa Fakultas
Teknik Universitas Negeri Manado di Tondano. Alamat
situsnya www.lifedeary.com. Luar biasa. Di bagian “tentang”
situs itu tertulis:

Life Deary begitulah kami menyebutnya. Merupakan


sebuah situs jejaring sosial yang hadir pertama kali di
lingkup lembaga pendidikan Universitas Negeri
Manado. Kata Life Deary mempunyai filosofi yakni
cerita tentang hidup yang dapat di ceritakan atau
dibagikan tentunya bersama Life Deary. Sehingga sangat
cocok bila kita ingin curhat bersama teman, berkenalan,
bermain games, dan terutama bisa menyimpan tulisan
diary kita tanpa takut hilang bukunya.15

Menurut para perancangnnya, ide pembuatan situs ini


pertama tercetus tahun 2010. Para perancangnnya adalah
mahasiswa-mahasiswi yang tergabung dalam Cyber Clone,
sebuah komunitas Mahasiswa Fakultas Teknik Univesitas
Negeri Manado, di Tondano yang bergerak bidang
Teknologi Informasi dan Komunikasi, yaitu teknisi
komputer, web design, programming, internet, dan lain-
lain.

Facebook sebenarnya hanyalah salah satu dari begitu


banyak situs jejaring sosial yang sudah ada dan akan
muncul lagi. Seperti informasi terakhir yang saya sebutkan

15 “Tentang Life Deary”, http://www.lifedeary.com/


bloglifedeary/ index.php (akses 13 Maret 2012)

21
di atas tentang kemunculan lifedeary.com, situs jejaring
sosial baru produk para mahasiswa Unima.

Danah M Boyd dan Nicole B. Ellison mendefinisikan situs


jejaring sosial sebagai layanan berbasis web yang
memungkinkan individu untuk: (1) membangun profil
publik atau semi-publik dalam sistem yang dibatasi, (2)
mengartikulasikan daftar pengguna lain dengan siapa
mereka berbagi jaringan, dan (3) melihat dan melintasi
daftar jaringan mereka dan yang dibuat oleh orang lain
dalam sistem.16

Situs jejaring sosial, seperti Facebook, membuat orang


semakin aktif dalam berhubungan, berkomunikasi dan
membangun pertemanan. Meskipun tidak melibatkan
emosi pribadi, namun pertemanan di dunia maya sering
juga dilanjutkan dalam pertemuan di dunia nyata.
Beberapa grup Facebook telah digunakan oleh kelompok-
kelompok masyarakat untuk membangun solidaritas
kemanusiaan. Pada sisinya yang positif, Facebook
membantu orang-orang untuk berhubungan. Di halaman
depan situs jejaring sosial ini ada tertulis, “Facebook
membantu Anda terhubung dan berbagi dengan orang-
orang dalam kehidupan Anda.”

Kini Facebook.com benar-benar telah mendunia. Situs


newsroom.fb.com17 menyebutkan, pada akhir Desember

16 Danah M. Boyd, Nicole B. Ellison, “Department of

Telecommunication, Information Studies, and Media”,


http://jcmc.indiana.edu/vol13/issue1/boyd.ellison.html, (akses, 27
Maret 2012).
17 Situs ini berisi informasi-informsi mengenai perkembangan

Facebook. Didirikan sebagai bagian dari pengembangan Facebook.

22
2011, pengguna Facebook seluruh dunia sudah mencapai
845 juta pengguna aktif. Sekitar 80% pengguna aktif
bulanan Facebook berada di luar AS dan Kanada. Ada 483
juta pengguna aktif harian pada bulan Desember 2011.
Sekitar 425 juta pengguna aktif bulanan yang
menggunakan Facebook produk mobile. Facebook tersedia
lebih dari 70 bahasa.

Tidak sampai 10 tahun kemudian (tahun 2019), jumlah


pengguna Facebook sedunia sudah menjadi 2,27 miliar. The
Statistic Portal menyebut, jejaring sosial paling populer
biasanya menampilkan jumlah akun pengguna yang tinggi
atau keterlibatan pengguna yang kuat. Facebook misalnya,
lebih 1 miliar pengguna aktif perbulan. Sedangkan
pendatang baru Pinterest adalah situs yang diluncurkan
secara independen paling cepat untuk mencapai 10 juta
pengunjung unik setiap bulan. Mayoritas jejaring sosial
dengan lebih dari 100 juta pengguna berasal dari Amerika
Serikat, tetapi layanan Eropa seperti VK atau jejaring sosial
Cina Qzone dan Renren juga telah mengumpulkan daya
tarik utama di wilayah mereka karena konteks dan konten
lokal.

Penggunaan jaringan sosial oleh konsumen sangat


beragam: platform seperti Facebook atau Google+ sangat
terfokus pada pertukaran antara teman dan keluarga dan
terus-menerus mendorong interaksi melalui fitur seperti
berbagi foto atau status dan permainan sosial. Jejaring
sosial lain seperti Tumblr atau Twitter semuanya tentang
komunikasi cepat dan secara tepat disebut microblog.
Beberapa jejaring sosial fokus pada komunitas; yang lain
menyoroti dan menampilkan konten yang dibuat
pengguna.

23
The Statistic Portal memberi catatan kritisnya: “Karena
kehadiran yang konstan dalam kehidupan penggunanya,
jejaring sosial memiliki dampak sosial yang jelas kuat.
Keburaman antara kehidupan offline dan virtual serta
konsep identitas digital dan interaksi sosial online adalah
beberapa aspek yang muncul dalam diskusi baru-baru
ini.18

Misi Facebook, menurut newsroom.fb.com adalah untuk


membuat dunia lebih terbuka dan terhubung. Orang-orang
menggunakan Facebook agar (tetap) terhubung dengan
teman dan keluarga, untuk menemukan apa yang terjadi di
dunia, dan untuk berbagi dan mengungkapkan apa yang
penting bagi mereka.

Facebook awalnya didirikan oleh Mark Elliot Zuckerberg


bersama teman sekamarnya dan sesama mahasiswa ilmu
komputer Eduardo Saverin, Dustin Moskovitz dan Chris
Hughes.

Sebelum kuliah di Harvard, Zuckerberg sekolah di Phillips


Exeter Academy, sebuah sekolah menengah swasta yang
terletak di Exeter, New Hampshire, Amerika Serikat.
Sekolah ini khas dengan metode pembelajarannya yang
disebut pendidikan Harkness, sebuah sistem yang
didasarkan pada format konferensi guru dan interaksi

18
The Statistic Portal, “Most famous social network sites
worldwide as of January 2019, ranked by number of active users (in
millions)”, https://www.statista.com/statistics/272014/global-social-
networks-ranked-by-number-of-users/, (akses 31 Maret 2019).

24
siswa. Diskusi dan belajar bersama menjadi model sekolah
ini.

Di sekolah ini, ia dan rekannya, D'Angelo, membuat plug-


in untuk MP3 player Winamp. Plug-in adalah program
komputer yang bisa berinteraksi dengan aplikasi host
seperti web browser atau email untuk keperluan tertentu. Di
sekolah ini ia mengembangkan sebuah direktori
mahasiswa sendiri, semacam buku angkatan yang oleh
siswa disebut sebagai "The Facebook". Direktori foto
semacam itu merupakan bagian penting pengalaman sosial
bagi kebanyakan siswa di sekolah swasta. Dengan hal
tersebut, siswa dapat mendaftar berbagai hal seperti tahun
angkatan, kedekatan mereka dengan teman-teman, dan
nomor telepon mereka. Nama Facebook bermula dari sini.

Di sekolah ini ia menunjukkan minat dan kemampuannya


di bidang sains. Ia memperoleh banyak penghargaan
dalam bidang matematika, astronomi, dan fisika dan ilmu
klasik. Ketika mendaftar di perguruan tinggi, Zuckerberg
memasukkan bahasa Perancis, Ibrani, Latin, dan Yunani
Kuno dalam kolom bahasa non-Inggris yang bisa ia baca
dan tulis. Di bidang olahraga, Zuckerber gemar anggar,
bahkan ia pernah menjadi kapten tim anggar.

Pemuda brilian yang lahir lahir 14 Mei 1984 ini adalah


anggota Alpha Epsilon Pi (ΑΕΠ atau AEPi). AEPI
merupakan satu-satunya perkumpulan perguruan tinggi
Yahudi internasional di Amerika Utara. AEPi berdiri
tahun 1913. Pendirinya Charles C. Moskowitz dan 10
orang Yahudi lainnya: David K. Schafer, Isador M. Glazer,
Herman L. Kraus, Arthur E. Leopold, Benjamin M. Meyer,

25
Arthur M. Lipkint, Charles J. Pintel, Maurice Plager, Emil
Lustgarten, dan Hyman Shulman.

Zuckerberg lahir dari keluarga keturunan Yahudi. Ia anak


kedua dari pasangan Edward, seorang dokter gigi dan
Karen Zuckerberg, seorang psikiater. Ia lahir di kawasan
bernama Dobbs Ferry, Westchester County, kota New
York.

Minat pada computer sudah sejak kecil. Ia suka mengutak-


atik komputer, mencoba berbagai program komputer dan
belajar membuatnya. Ayahnya membelikan dia komputer
sejak ia berusia delapan tahun.

Di Harvard, sebagai mahasiswa, ia mengembangkan apa


yang pernah ia pernah coba ketika masih di Phillips Exeter
Academy. Situs jejaring sosial ini, awalnya hanya eksklusif
Harvard. Ia lalu memutuskan untuk menyebarkan ke
sekolah lain, mendaftar dengan bantuan dari teman
sekamarnya Dustin Moskovitz. Pertama kali dimulai dari
Stanford, Dartmouth, Columbia, New York University,
Cornell, Brown, dan Yale, dan kemudian di sekolah lain
yang memiliki kontak sosial dengan Harvard University.

Facebook diluncurkan pada Februari 2004 yang


dioperasikan dan dimiliki oleh Facebook, Inc. Pengguna
dapat membuat profil pribadi, menambahkan pengguna
lain sebagai teman dan bertukar pesan, termasuk
pemberitahuan otomatis ketika mereka memperbarui
profilnya. Selain itu, pengguna dapat bergabung dengan
grup pengguna yang memiliki tujuan tertentu, diurutkan
berdasarkan tempat kerja, sekolah, perguruan tinggi, atau
karakteristik lainnya. Nama layanan ini berasal dari nama

26
buku yang diberikan kepada mahasiswa pada tahun
akademik pertama oleh administrasi universitas di AS
dengan tujuan membantu mahasiswa mengenal satu sama
lain. Facebook memungkinkan setiap orang berusia
minimal 13 tahun menjadi pengguna terdaftar di situs ini.

Facebook semakin mudah di akses. Semakin banyak orang


yang punya smartphone. Seluler seperti Samsung, Nokia,
Sonny Ericsson, dan lain sebagainya berlomba-lomba
berkreasi, antara lain dengan menambah aplikasi situs
jejaring sosial, seperti Facebook. Sehingga, di mana saja
dan kapan saja orang-orang bisa saling berinteraksi dengan
menggunakan Facebook. Jaringan kabel fiber optic semakin
diperluas menjangkau hingga ke pelosok-pelosok.

Sebuah perubahan yang benar-benar semakin


mendatarkan dunia. Facebook merangkum semua yang
ada pada media cetak, radio, dan televisi. Di dinding (wall)
orang-orang saling berbagi link situs-situs lain, terutama
situs-situs berita atau situs-situs yang menyimpan gambar
dan video. Para penggunanya juga bisa menuliskan status.
Sehingga, masing-masing pengguna Facebook telah
menjadi pewarta, paling tidak seperti memberitakan berita
straight news. Di catatan, orang menulis lebih panjang
tentang apa saja.

Facebook, Ruang Publik


Last Moyo, merujuk pada Habermas mengatakan, ruang
publik adalah ruang di mana individu-individu bertemu
dan saling berdiskusi. Ruang publik, menurut Moyo
mestinya menjadi media partisipasi, bebas diskriminasi,
otonom dan wacana kritis rasional. Ruang publik yang

27
ideal mestinya menjamin individu-individu untuk
berinteraksi dalam kesetaraan.

Internet, menurut Moyo, juga termasuk ruang publik.


Perbedaan dengan media lama, media baru melalui
internet membuat antara penyampai dan penerima pesan
(pembaca) saling berinteraktif dua arah, tidak hanya satu
arah seperti media cetak atau jenis media elektronika
tradisional lainnya.19

Facebook dengan fitur-fitur dan aplikasi yang


disediakannya memfasilitasi individu-individu dari
berbagai latar belakang dan yang datang dari berbagai
tempat dan ruang untuk saling berdiskusi, berbagi dan
bahkan sampai jatuh cinta. Namun, ia sebenarnya ruang
publik yang terbatas. Dibatasi oleh sistem yang dibangun
oleh Facebook itu sendiri.

Teman saya bilang, Facebook itu, “Membuat orang yang


jauh menjadi dekat, dan membuat orang dekat menjadi
jauh.”

Vilie Farah dalam artikelnya, “Effects Facebook has had on


Society”20 mengatakan, “Facebook telah sangat
memengaruhi kehidupan individu. Ia mengubah cara kita

19 Last Moyo, “Digital Democracy: Enhancing the Public


Sphere” dalam Digital Cultures:Understanding New Media, (New York,
2009), hlm. 139-150.
20 Vilie Farah, “Effects Facebook has had on Society”, 2

September 2010, http://www.helium.com/items/1940499-facebook-


and-society-how-facebook-affects-society-has-facebook-changed-society.

28
berkomunikasi, cara kita bekerja, cara kita berteman dan
cara kita jatuh cinta.“

Farah mengulas dua sisi dari Facebook. Ia telah membantu


orang-orang dari berbagai latar belakang bersama-sama
dalam sebuah “dunia virtual”. Namun, di sisinya yang
sebelah, Facebook telah memberi dampak bagi perubahan
perilaku dan gaya hidup manusia-manusia global. Situs
jejaring sosial ini telah meruntuhkan batas-batas antara
individu, namun sebaliknya bersamaan dengan itu ia
membangun tembok baru. Sungguh paradoks.

Sebagai media yang membantu globalisasi, “Facebook


adalah satu alat lagi yang telah berhasil mempercepat
proses ini,” tulis Farah.

Facebook membantu individu-individu untuk


berkomunikasi terbuka dengan yang lain. Meski hampir
semua sudah ada pada Facebook, namun satu yang tidak
ada dan bahkan tidak akan pernah ada padanya yaitu
perjumpaan nyata, fisik dengan fisik. Facebook seolah
membawa manusia pada dunia yang dibentuk oleh sistem
konstruksi Facebook itu sendiri. “Membuat orang yang
dekat menjadi jauh, dan membuat orang yang jauh menjadi
jauh,” bukan komentar asalan. Ini refleksi atas apa yang
sedang berlangsung dalam dunia Facebook.

Facebook adalah temuan generasi yang sedang


“memberontak” terhadap kemapanan status dan
ketertutupan ideologi, agama dan politik, hirarki. Teman-
teman dari seorang pengguna Facebook yang berjumlah
ribuan, bisa teman sehari-hari, dosen, selebritis, tokoh
politik, bahkan bupati, gubernur dan presiden sekalipun.

29
Tahun 2007 Barack Obama menggunakan Facebook
sebagai salah satu media kampanye. Dia menang, dan
menjadi presiden Amerika Serikat. Waktu kampanye tahun
2012, kembali Obama menggunakan situs jejaring sosial,
yaitu Facebook, Twitter, Youtube, dan Goggle+. Teman-
temannya bermacam-macam latar belakang. Di Facebook
orang-orang menjadi setara.

Dengan begitu, Facebook berhasil membangun pola


hubungan komunikasi yang baru. Orang-orang yang
memiliki masalah komunikasi di dunia nyata secara
psikologis, misalnya malu, takut atau ragu-ragu, di
Facebook itu (hampir) lenyap. Para pengguna Facebook
saling berhubungan secara aktif dan semakin berani. Para
mahasiswa misalnya, ada yang mungkin berani mengkritik
dosen atau profesornya melalui komunikasi di Facebook.
Hampir hilang apa yang sering disebut strata sosial dalam
berkomunikasi.

Seperti misi Facebook, keterbukaan menjadi kata kunci


fenomena ini. Keterbukaan berpikir, berpendapat dan
bahkan menampilkan apa yang dirasa indah, provokatif
dan menggoda banyak orang. Kekuatan uploading seperti
bahasa Friedman, sedang mengubah masyarakat dunia
menuju keterbukaan, dunia yang tidak dibatasi oleh sekat-
sekat territorial negara, moral, etika, dan dogma-dogma
agama. Sebuah dusun global benar-benar sedang datang.

30
Bab 2:
Tuhan di Facebook

Jumat, 9 Maret 2012. Jalan Samratulangi, Manado. Hari


sudah malam, kira-kira pukul 07.00. Saya dan Erny, istri
saya menumpang sebuah mobil angkot menuju terminal
Karombasan. Kami duduk di kursi paling belakang. Di
depan kami, duduk seorang perempuan muda memakai
kaos oblong hitam dan bercelana jeans. Jari-jemarinya
lincah mengetik huruf-huruf di keyped Blackberry berwarna
hitam. Saya penasaran apa yang ditulisnya di status
Facebooknya. Ternyata dia menulis, “Orang sabar
disayang Tuhan.”

Hari-hari ini, orang-orang muda atau juga yang sudah


tergolong setengah tua sudah sangat muda menuliskan apa
yang dia rasa atau yakini untuk dibagikan kepada orang
banyak. Tak perlu kalimat-kalimat panjang untuk
mengungkapkan isi hati dan otak. “Dunia sudah
digenggaman tangan,” begitu orang menyebut era
informasi ini.

Facebook, telah mempengaruhi cara orang berkomunikasi


dan membuat dunia hanya selebar layar handphone. Orang-
orang dari berbagai belahan dunia, dari beraneka latar
belakang saling terhubungan.

Hari-hari hidup mereka dengan Facebook. Bekerja sambil


menyapa teman dengan Facebook. Di ruang kuliah, para
mahasiswa yang menggenggam smartphone mungkin
sedang mengupload gambar dosennya yang sedang di
depan kelas itu. Di kantor-kantor, dari office boy sampai bos

31
besarnya punya akun Facebook. Para pendeta, pastor, kyai
atau ustad, juga tak mau kalah. Inilah era di mana orang-
orang saling berhubungan. Mereka saling berbagi cerita,
foto dan video.

Perempuan muda di mobil angkot itu adalah satu dari


43.523.740 pengguna Facebook di Indonesia pada awal
2012, menurut rilis www.socialbakers.com.21 Perkembangan
sekira 7 tahun kemudian cukup signifikan. Data dari The
Statistic Portal per Januari 2019, jumlah pengguna Facebook
di Indonesia sebanyak 130 juta. Angka ini menempatkan
Indonesia pada urutan keempat. Urutan pertama ditempat
oleh India yaitu sebanyak 300 juta; urutan kedua Amerika
Serikat sebanyak 210 juta, dan urutan ketiga adalah Brasil
sebanyak 130 juta.22

Dia mungkin berteman dengan 1000, 2000 atau 3000


pengguna Facebook lainnya. Statusnya, “Orang sabar
disayang Tuhan,” bisa dibaca dalam waktu bersamaan oleh

21“Indonesia Facebook Statistics”,


http://www.socialbakers.com/facebook-statistics/indonesia
(akses 9 Maret 2012). Situs newsroom.fb.com menyebutkan, pada
akhir Desember 2011, pengguna Facebook seluruh dunia sudah
mencapai 845 juta pengguna aktif. Sekitar 80% pengguna aktif
bulanan Facebook berada di luar AS dan Kanada. Ada 483 juta
pengguna aktif harian pada bulan Desember 2011. Sekitar 425
juta pengguna aktif bulanan yang menggunakan Facebook
produk mobile. Facebook tersedia di lebih dari 70 bahasa.
22
The Statistic Portal, “Leading countries based on
number of Facebook users as of January 2019 (in millions)”,
https://www.statista.com/statistics/268136/top-15-countries-
based-on-number-of-facebook-users/, (akses 31 Maret 2019).

32
jutaan pengguna Facebook lainnya, meskipun tidak
berteman di akunnya.

Bahasa tak lagi menjadi penghambat. Jika hanya untuk


menerjemahkan atau menulis status pendek ke dalam
bahasa asing ada google translate.23 Sebuah situs yang
disediakan oleh Google dengan layanan terjemahan bahasa.
Selain bahasa Inggris, google translate menyediakan layanan
terjemahan ke 63 bahasa lainnya.

Facebook menjadi gaya hidup baru bagi masyarakat dunia.


Facebook benar-benar telah menjadi media berkomunikasi
antar individu, media mengekspresikan minat, rasa, selera
termasuk keyakinan ideologi dan agama.

Namun, kehadiran Facebook dirasa berwajah ganda. Di


satu pihak ia dinilai baik untuk orang-orang beragama,
namun di lain pihak ia dirasa telah membawa persoalan
baru, yaitu sebagai media menyebarkan kebencian dan
kemarahan. Ada sebuah halaman (Page) Facebook yang
dibuat khusus untuk menolak tindakan saling hina di
Facebook. Nama halaman itu, “Hentikan Ajang Hina
Menghina Agama Di Facebook!”

Di bagian keterangan halaman ini disebutkan demikian:

“semua agama mengajarkan semua umatnya untuk


berbuat KEBAIKAN, TIDAK MEMBENCI, TIDAK
MENHINA DAN TIDAK MENYAKITI. tapi kenapa
banyak sekali HINAAN2 tentang agama2 eksis di
facebook?? kita harus tunjukan pada semua "pelaku2" yg

23 http://translate.google.co.id/

33
tidak tahu apa yang sebenarnya telah mereka lakukan
adalah SALAH”24

Contoh lain adalah pergelaran lomba Draw Mohammed Day


di Facebook yang memunculkan reaksi keras dari para
pemimpin lintas agama di Indonesia ataupun para
pengguna Facebook lainnya se-dunia. Di Indonesia, pada
20 Mei 2010 para tokoh dan pemimpin lintas agama
berkumpul dan bersatu menyatakan penolakan terhadap
rencana tersebut.25

Draw Mohammed Day adalah sebuah kegiatan menggambar


karikatur Nabi Muhammad, SAW yang digagas pertama
kali oleh kartunis AS, Molly Norris. Pada awalnya kartun-
kartun Nabi Muhammad ditayangkan di blog-blog milik
para blogger yang berbasis di Seatle. Menurut Norris, ide
tersebut bukan dalam rangka untuk tidak menghormati
agama Islam, namun ini menurut dia sebagai cara untuk
mendukung kebebasan berekspresi bagi setiap orang.26

Seorang penulis di situs media.kompasiana.com, Muhsin


Abdul Gani ikut mengamati status-status para pengguna
Facebook. Gani menyoal isi status yang menurut dia, apa
yang dialami dan dirasakan oleh seseorang sebenarnya

24 Lihat https://www.facebook.com/pages/HENTIKAN-
AJANG-HINA-MENGHINA-AGAMA-DI-FACEBOOK/
137513086261987?sk= info
25 “Pemuka Agama Kecam Karikatur Nabi Di Facebook”, 24

Mei 2010, http://www.cathnewsindonesia.com/2010/05/24/pemuka-


agama-kecam-karikatur-nabi-di-facebook/, (akses 15 Maret 2010)
26 “Cartoonist overwhelmed by response to "Everybody Draw

Mohammed Day", 27 April 2010, http://mynorthwest.com/


?sid=313601&nid=11 (akses 15 Maret 2012)

34
tidak semua harus ditulis di dinding (wall) Facebook.
“Tapi bukankah diari yang biasa digunakan buat nulis itu
kebanyakan memiliki gembok supaya orang lain tidak bisa
membacanya? Tapi kenapa kita membiarkan orang lain
‘membaca’ keseharian kita dalam facebook?” tulis Gani.27

Gani merasa tidak sedap dengan sesuatu yang sebenarnya


bersifat pribadi atau tidak penting untuk diketahui oleh
orang banyak ditulis di status situs jejaring sosial. Banyak
status-status “sampah” yang bertebaran di dinding-
dinding para pengguna Facebook. “Sampah”, begitu Gani
menyebut status-status yang tidak berguna untuk dibaca
oleh orang lain. Namun, ada juga status-status yang
“bukan sampah” menurut dia.

Status yang bukan sampah itu menurut Gani adalah,

“Status seperti ini berisi nasehat yang simpel, cerita-


cerita lucu yang nggak garing, ayat-ayat dalam kitab suci
yang mengajak kamu berbuat baik atau quote-quote dari
tokoh terkenal yang isinya biasa kamu jalani sehari-hari.
Dengan membacanya, wawasan dan ketakwaan kamu
bertambah. Selain itu kamu juga mendapatkan Sesuatu!
dari status kawan-kawanmu.”

Sebuah blog beralamat globalkhilafah.blogspot.com juga


menyoal isi dan cara orang menulis status di Facebook.
Pengelola blog tersebut dalam catatannya, “Status FBmu,
Cerminan Pribadimu” menuliskan, Facebook ibarat pedang
bermata dua. Sisinya yang satu bisa bisa menjadi negatif,

27 Muhsin Abdul Gani, “Menyampah di Facebook”, 22 Februari

2012, http://media.kompasiana.com/mainstream-media/ 2012/ 02/


22/ menyampah -di-facebook/, (akses 15 Maret 2012).

35
terutama menurutnya, bagi mereka yang tidak mampu
memilih teman yang baik untuk menjadi teman
“mudzakaroh”.

“Facebook bisa berubah menjadi sebuah “racun” yang


membawa penggunanya memasuki pergaulan yang
tidak sesuai dengan syari’at Islam, terlebih itu Facebook
bisa menjadi sarana yang bisa merusak akidah, akhlak
dan jiwa seseorang dalam prosesnya, sekali lagi,
facebook hanyalah benda mati yang tidak bisa
dipersalahkan, namun yang harus diperhatikan adalah
bagaimana dalam menggunakan Facebook itu sendiri. 28

Sebuah blog lain yang pemiliknya bernama Petrus


Wijayanto beralamat pewijayanto.wordpress.com justru
mengarsipkan status-status yang dia tulis di dinding
Facebook selama tahun 2010. Salah satu arsip status
Facebook yang dia tayangkan di blog itu berisi kutipan dari
buku Karen Armstrong, “Tidak ada pandangan yang
obyektif tentang ‘Tuhan’: setiap generasi harus
menciptakan citra Tuhan yang sesuai baginya. (Karen
Amstrong: A History of God).” Status ini ditulis di dinding
Facebooknya pada 14 Desember 2010.

Facebook benar-benar telah memengaruhi orang-orang


beragama. Entah ia ditanggapi dalam kewaspadaan penuh,
atau justru dianggap sebagai bagian dari cara beragama di
era ini. Bagi yang menerima secara posifif, Facebook
menjadi media yang praktis untuk mengekspresikan
semangat keagamaannya.

28http://globalkhilafah.blogspot.com/2011/12/ status-fb-mu-
cerminan-pribadi-mu.html, (akses 15 Maret 2012)

36
Sebuah halaman Facebook bahkan dibuat khusus untuk
menayangkan kutipan ayat-ayat Alkitab. Nama halaman
ini sesuai dengan isinya, yaitu “Ayat Alkitab”29. Ia dibuat
13 Juni 2009. Pengunjungnya banyak. Jumlah pengguna
Facebook yang telah menyatakan “suka” sebanyak 525.088
(waktu saya kunjungi 15 Maret 2012). Jumlah yang telah
“membicarakan” atau berkomentar di grup ini sebanyak
17.372.

Bagi para pengguna Facebook yang beragama Islam juga


tersedia sebuah halaman yang berisi ayat-ayat Al Qur’an.
Nama halamannya “Indahnya Ayat-ayat Al Qur’an”.30
Waktu saya kunjungi pada 15 Maret 2012 jumlah orang
yang menyukai sebanyak 14.207, dan yang
membicarakannya sebanyak 660.

Beberapa grup Facebook dikelola oleh lebih dari satu orang


untuk kepentingan komunitas mereka. Grup Facebook
digunakan untuk menjadi media komunikasi anggota
komunitas, saling berbagi informasi dan pemikiran. Ada
grup yang dimaksudkan untuk membangun solidaritas
yang lebih luas, namun banyak pula grup yang dibuat
sebagai ajang saling serang, saling fitnah.

Tuhan yang Ditulis


Facebook telah digunakan oleh banyak orang sebagai
media mengekspresikan keagamaan atau iman mereka. Di

29 https://www.facebook.com/ pages/ AYAT-ALKITAB/


93311846117

30 https://www.facebook.com/pages/Indah-NYA-Ayat-Ayat-
Al-Quran/154629551225834

37
dinding atau halaman catatan Facebook mereka menulis
status tentang Tuhan dalam kalimat doa dan puisi atau
kutipan ayat kitab suci. Di halaman catatan pengguna
Facebook menulis esai, renungan atau pemikiran mengenai
sikap keagamaannya.

Di Facebook, Tuhan tidak lagi disapa dengan suara seperti


dalam doa-doa dan khotbah-khotbah di ritual-ritual
keagamaan. Di Facebook, Tuhan ditulis dan orang banyak
membacanya. Orang-orang mendapat semacam kepuasan
rohani ketika menulis kata Tuhan di Facebook. Mengakhiri
kerja di siang hari, Tuhan disapa di Facebook dengan
kalimat pendek. Menyatakan cinta kepada kekasih dengan
penuh jiwa dan iman, Tuhan ditulis di Facebook. Ketika
hati sedang gundah karena sebab-sebab tertentu, doa
disampaikan kepada Tuhan melalui Facebook.

Menulis ayat-ayat atau kalimat-kalimat doa sebenarnya


bukan hal baru. Cara ini sudah sejak kitab suci itu ditulis
dan kemudian dicetak menjadi buku. Orang-orang
beragama dahulu menulis ayat-ayat atau doa-doanya
dalam sebuah relief, kertas atau media apa saja yang dapat
dipakai menulis di masa itu. Kemudian, di dinding-
dinding ruang tamu keluarga-keluarga beragama di
Indonesia, terdapat hiasan berisi tulisan-tulisan ayat-ayat
kitab suci, seperti kaligrafi Arab atau kutipan ayat-ayat
dari Alkitab yang ditambah dengan gambar-gambar
menarik.

Di Facebook kalimat-kalimat doa, puisi dan kutipan ayat


kitab suci di tulis secara spontan, dan dalam waktu sekejap
bisa dibaca oleh banyak orang. Kalimatnya pendek-

38
pendek. Isi atau ayat yang dipilih disesuikan dengan
suasana hati.

Era ini adalah era digital. Menuliskan ayat-ayat kitab suci,


kalimat-kalimat doa yang memuat kata Tuhan di media
digital adalah sebuah gejala baru dalam beragama. Menulis
di status di dinding Facebook tentu berbeda dengan
menulis di secarik atau sebundel kertas, apalagi menulis di
atas relief atau dinding gua, misalnya. Tindakan ini tidak
lagi sepenuhnya pribadi. Ketika hal yang dulunya
merupakan sesuatu yang sakral, pribadi dan tidak
sembarangan itu, kini dilakukan di dinding situs jejaring
sosial yang dapat dibaca secara bersamaan oleh banyak
orang, sudah tentu ada perubahan makna yang terjadi di
dalamnya.

Diskusi terjadi secara tidak langsung. Pertukaran


pemikiran tidak melibatkan emosi dan kehadiran diri.
Namun dengan demikian, percakapan tentang doktrin,
ayat-ayat kita suci, dan makna Tuhan menjadi semakin
terbuka dan partisipatif.

Inilah sebuah fenomena baru dalam hal ekspresi


keagamaan seperti halnya Facebook adalah media baru di
era yang sudah berubah ini. Tuhan, sudah dari dulu ada
dalam simbol-simbol kata dan kalimat atau bahasa. Kitab
suci agama-agama ditulis. Tentu saja, menulis kalimat yang
terdapat kata Tuhan di dalamnya mengandung arti rohani
bagi penulisnya. Namun, rasanya ada sesuatu yang
berbeda ketika ayat-ayat kitab suci ditulis pertama kali
dibanding menulis ulang ayat-ayat itu di status Facebook.
Yang berbeda itu adalah soal media dan pembacanya. Kini

39
medianya adalah perangkat digital. Pembaca kalimat-
kalimat itu dalam sekejap bisa dalam jumlah yang banyak.

Fenomena ini sebenarnya juga menggambarkan cara


mengekspresikan semangat keagamaan. Bagi orang-orang
beragama Facebook adalah media terkini untuk
menunjukkan kerohaniannya. Pembaca tak perlu tahu di
mana dan dalam situasi apa ketika status-status itu ditulis.
Pembaca juga tak perlu tahu “Tuhan” yang ditulis itu
adalah “Tuhan” siapa dan bagaimana. Sebuah teks, pun
oleh yang menulisnya dianggap sakral, jika hanya sebatas
teks, tetap saja teks. Memang orang yang membaca bisa
saja bermacam-macam pemaknaanya namun, bagi si
penulis tentu punya maknanya sendiri.

Maknanya tergantung motivasi dan situasi ketika si


pemilik akun Facebook menulis status, catatan, komentar,
mengirim gambar atau video. Pembaca setidaknya hanya
dapat menangkap makna yang tidak utuh dari teks,
gambar dan suara yang ditayangkan itu. Di Facebook,
Tuhan menjadi kata dalam kalimat, gambar dan video
yang menampilkan proklamasi iman atau bisa pula
ungkapan kegelisahaan rohani. Kenyataannya, sepanjang
masa manusia-manusia beragama selalu berusaha mencari
cara dan media untuk mengekspresikan kerohaniannya.
Terkini, di era budaya digital (digital culture), orang-orang
beragama menemukan media untuk menampilkan citra
keagamaannya, yaitu Facebook.

Status-status yang berupa kutipan ayat kitab suci atau


kalimat-kalimat doa yang ditampilkan di dinding Facebook
bersifat multi interpretatif. Status-status itu sangat subjektif
sekali. Hanya si penulis status yang tahu maknanya.

40
Namun, yang menarik, kalau status-status itu sifatnya
subjektif dan sebenarnya pribadi, kenapa harus
ditampilkan di Facebook, sebuah situs jejaring sosial yang
merupakan media publik?

Seiring perubahan model berkomunikasi di zaman ini,


perubahan juga terjadi dalam hal orang “berkomunikasi”
dengan Tuhan. Berdoa atau menyatakan kerohanian diri
tidak lagi hanya di gedung-gedung keagamaan, seperti di
gereja, mesjid dan lain sebagainya. Facebook seolah telah
menjadi “rumah doa”, seperti jemaat Kristen atau umat
beragama lainnya yang berdoa di tempat-tempat
ibadahnya. Menjumpai Tuhan di Facebook adalah
alternatif praktis di era ini.

Ada perubahan dari cara verbal ke cara tulis atau gambar


dan video. Berdoa atau menyatakan kerohanian diri tak
lagi dengan ucapan atau bicara dalam hati. Facebook
hanya bisa dengan tulisan, gambar dan video. Pun ketika
Facebook menambah fitur telepon video yang bisa
digunakan untuk berbicara dan melihat wajah lawan
bicara, hal itu tidak dapat menghadirkan pihak-pihak yang
berkomunikasi secara utuh.

Dalam menulis orang membutuhkan media. Berdoa tak


lagi langsung kepada Sang Kuasa yang dituju, tapi harus
melalui media. Soal apakah Tuhan mendengar atau tidak
itu persoalan keyakinan.

Status, catatan, gambar atau video yang berisi doa dan


puisi ini tentu adalah ekspresi keagamaan. Tujuan ekspresi
itu, bagi yang melakukannya mungkin adalah Tuhan
dalam imannya. Namun, ketika ia hadir di Facebook,

41
media publik, maka yang membaca dan menikmati
kiriman itu adalah banyak orang. Di Facebook orang-orang
saling berbagi tulisan, gambar dan video, yang
kesemuanya itu adalah “tanda-tanda” digital.

Orang lain yang menyimak kiriman itu bisa individu yang


berdekatan, bisa pula yang berjauhan. Pengiriman tanda
tidak mengenal para pembacanya secara mendalam.
Facebook hanya menyediakan ruang komentar dan
menyukai sebagai tanda orang membaca dan menyimak
kiriman tersebut. Tidak ada ekspresi wajah atau bahasa
tubuh lainnya yang utuh. Sehingga, Tuhan dalam tanda-
tanda digital itu sebetulnya pertama-tama adalah
kebutuhan rohani individu, si pemilik pengirim.

Dalam kasus ini, meski nama Tuhan disebut, namun “Yang


Maha Kuasa” yang melampaui diri manusia bukan sasaran
utama. Tuhan” di sini adalah sebuah “tanda”, bukan
pribadi atau sesuatu yang sakral di seberang sana. Tanda
ini adalah ciptaan manusia. Diciptakan dari sebuah
spiritualitas atau kerohaniaan untuk menemukan
eksistensi diri. Namun, eksistensi ini tidak utuh. Sebab,
dunia virtual membelah manusia dalam dua dunia, yaitu
dunia nyata dan dunia maya. Media digital adalah media
ekspresi sebuah kesemuan dalam tanda.

Tampaknya itu semua adalah gejala kerohanian atau


keagamaan. Namun, gejala kerohanian ini diwakilkan oleh
tanda-tanda digital. Di media digital, gejala itu adalah
tanda dari sebuah cara berekspresi, yang karena kalimat-
kalimat itu adalah kutipan ayat-ayat kitab suci atau
bentuknya adalah doa maka ekspresi yang mau

42
disampaikan adalah keagamaan. Agama memang
membutuhkan tanda untuk menyampaikan makna.

Makna apa yang ingin disampaikan oleh para pengguna


Facebook dengan kiriman-kirimannya itu? Sangat sulit
menemukan makna dalam kalimat-kalimat pendek,
gambar atau video kiriman itu. Di sinilah persoalan
dengan tanda sebagai ekspresi keagamaan di media digital.
Makna menjadi tidak jelas. Mungkin inilah konsekuensi
semakin terpotong-potongnya sebuah narasi keagamaan.
Makna kebenaran keagamaan tereduksi dalam tanda-tanda
digital itu.

Era ini adalah era kuantitas. Orang-orang tidak lagi terlalu


memperhatikan aspek kualitas dari kiriman-kiriman yang
dibagikan di Facebook. Artinya, dengan mengirim tulisam,
gambar atau video di Facebook dan orang banyak
membacanya, maka tampaklah “aku” adalah orang
beragama yang saleh. Alat ukurnya, pertama jumlah orang
yang berteman, jumlah teman yang menyukai atau lebih
bagus lagi jika banyak orang yang memberi komentar dan
memuji-muji kiriman-kiriman tersebut. Munggkin inilah
penyebab sehingga makna kebenaran agama di Facebook
menjadi reduktif atau tidak utuh.

Pada sisinya yang lain, gejala ini mungkin juga sedang


menggambarkan cara orang-orang beragama yang sedang
mencari dan berusaha menjumpai Tuhannya dalam pribadi
yang bebas, tidak terikat pada tradisi dan tatacara
keagamaan yang lazim. Media digital adalah ruang
terbuka. Orang-orang kini bebas menyatakan ekspresi
keagamannya. Dalam sebuah keterbukaan, sesuatu yang

43
sebelumnya sangat pribadi atau sakral dibagikan untuk
banyak orang. Ia menjadi sekuler dan relatif.

Facebook memberi kemudahan dalam berkomunikasi. Ia


memberi ruang dan kesempatan yang sama bagi masing-
masing pengguna Facebook untuk menjadi penulis.
Dibandingkan dengan media-media lama, orang sangat
sukar untuk menulis kalimat doa dan puisi yang menyapa
Tuhan untuk disiarkan ke publik secara mudah. Ketika new
media hadir, antara lain Facebook, maka orang-orang
kemudian memilihnya menjadi ruang ekspresi keagamaan
yang praktis.

Facebook, sebagai produk teknologi, ia selalu berusaha


memperbaharui diri. Ketika Facebook mulai dikenal, ia
hanya memberi batas 140 kata untuk masing-masing
penulis status. Sekarang, Facebook sudah memberi ruang
yang sedikit banyak untuk penulisan status (beda dengan
catatan). Namun karena cara-cara instant telah menggejala
di hampir semua dimensi kehidupan, begitulah dengan
penulisan status. Facebook bertanya: “Apa yang Anda
pikirkan”? Seperti mengharapkan jawaban yang spontan.
Dan, begitulah jawaban kebanyakan para pengguna
Facebook, kalimatnya spontan dan ringkas.

“Terimakasih Tuhan untuk semua kebaikanMu pada kami...”

Sebuah status, yang oleh penulisnya mungkin sudah


dianggap doa, tak perlu panjang. Dengan kalimat pendek
mungkin dirasa sudah bisa mengungkap rasa hati. Hanya
tujuh kata dirasa sudah bisa merangkum semua rasa
syukur kepada Tuhan. Meski pendek, tapi itu berisi
ungkapan keyakinan. Sangat subjektif sekali. Tidak bisa

44
dinilai dengan alat ukur apapun. Hanya satu kalimat, dan
ia adalah doa.

HikmatMu Tuhan sangat kuperlukan saat ini..... (Status


seorang pengguna FB, 10 Maret 2012)

Ada yang lebih pendek lagi:


tanks God is Friday (Status seorang pengguna FB, 17 Februari,
2012)

Tuhan disapa hanya dengan kalimat pendek. Tuhan dalam


status adalah Tuhan yang diproyeksi dapat dimengerti
sampai jauh ke dalam hati sehingga hanya dengan kalimat
pendek dirasa Tuhan sudah tahu apa yang “aku” mau.
Inilah cara berkomunikasi orang-orang beragama di tengah
kesibukan hidupnya.

Tuhan dalam kalimat pendek seolah menggambarkan


bahwa Tuhan sangat mudah untuk dijumpai. Facebook
memang memberi kemudahan untuk beragama. Namun,
ini juga menggambarkan bahwa Tuhan adalah teman yang
sangat dekat sekali. Dia tidak lagi jauh di sana. Tuhan
sudah dekat, sudah digenggaman tangan. Bahkan, Tuhan
adalah apa yang “aku” pikirkan. “Apa yang Anda
pikirkan?” tanya Facebook. Dan jawabannya, apa yang
spontan terpikirkan. Tuhan ada dalam pikiran yang
diterjemahkan dalam kalimat pendek, ditulis pada status
Facebook untuk dibaca oleh banyak orang. Memang, ini
semacam doa. Tapi, doa ini tidak seperti doa dalam ritual
di rumah-rumah ibadah. Ini doa seorang yang sedang
berada di mana saja dengan suasana yang tidak perlu
mistis. Tidak perlu dalam suasana semacam orang sedang
beribadah. Namun, sebenarnya kalimat itu adalah mistis.

45
Karena ia diyakini sebagai pesan untuk Sang Misteri, yang
hanya keyakinan yang memastikan bahwa Tuhan
“membacanya.” Sepintas, ini mengambarkan sebuah usaha
pencariah Tuhan. Tuhan selalu berusaha dicari dalam
konteks kehidupan dan ketersedian perangkat-perangkat
yang dapat membantu.

Fenomena ini juga memperlihatkan cara orang


memperlakukan “Tuhan”, narasi-narasi dan makna
keagamaan. Namun ada persoalan ketika ayat-ayat yang
dikutip dari kitab suci dipilih sesuai dengan keinginan atau
situasi hati. Bukan lagi soal apa yang mestinya bermakna
untuk orang lain. Makna kebenaran agama menjadi
terpotong-potong, menjadi keping-keping teks. Apa yang
disebut kebenaran agama ditampilkan kalimat per kalimat
yang terpisah dari konteks narasinya. Teks kitab suci
dipahami dan dipublikasikan secara harafiah. Seolah
kebenaran yang asasi dari kitab suci itu ada di ayat-ayat
yang ditayangkan di dinding Facebook secara sepotong-
sepotong. Keyakinan agama sedang disimulasi melalui
simbol huruf yang dibentuk menjadi kalimat. Iman sedang
digitalisasi yang mungkin sedang mengarah ke pencitraan
diri, untuk menunjukkan ke publik tentang “iman” dalam
simbol.

Apakah makna yang hendak disampaikan adalah sebuah


kepercayaan atau iman kepada Sang Kuasa, atau ini hanya
sebuah ekspresi biasa saja? Kalau setiap hari orang-orang
beragama pengguna Facebook memperbaharui statusnya,
maka agaknya makna bukan lagi prioritas, melainkan
terutama adalah tampilan atau citra. Orang-orang
beragama sekarang ini sepertinya sedang menjebakkan diri
dalam sebuah sistem yang sedang membawa mereka

46
untuk berlomba-lomba menampilkan diri. Status, catatan,
gambar dan video yang berisi kata Tuhan atau kutipan
ayat-ayat kitab suci adalah tanda dari sebuah penampilan
atau pencitraan diri.

Kehadiran diri diganti dengan status di dinding Facebook.


Dunia digital memisahkan kehadiran, eksistensi seseorang
dengan dunia nyata. Perjumpaan tak lagi terjadi antara diri
yang utuh, namun hanya diwakilkan oleh tanda-tanda
digital. Yang (di)hadir(kan) bukan lagi diri yang
sesungguhnya namun sebuah tampilan yang tekstual.
Tuhan hanyalah bagian dari sebuah pencitraan diri itu.

Sebuah status sepintas seperti sedang memproklamasikan


kepercayaan. Semacam pengakuan iman. Ia juga
mengungkapkan harapan. Status-status itu tidak perlu
dikomentari, kalau banyak orang mengklik “suka”,
mungkin itu yang diharapkan. Tidak ada yang perlu
didiskusikan mengenai keyakinan iman subjektif
seseorang. Sebab, tanda-tanda itu adalah “citra” bukan
terutama makna sesungguhnya dari iman itu.

Tuhan atau Allah yang disebut tentu tak akan memberi


komentar atau menyukai status itu. Sebab, nama Sang
Kuasa yang disebut itu bukan subjek. Ia adalah objek, teks
yang disakralkan. Allah cukup “mendengar” saja apa yang
menjadi ungkapan hati. Jawaban-Nya tidak perlu
berbentuk material-empiris, sebab Ia ada dalam bahasa
iman. Facebook memberi ruang bagi orang-orang yang
sedang mencari sandaran hidup, bagi orang-orang yang
membutuhkan sarana mengungkapkan isi hati. Ada
semacam kepuasan rohani ketika “doa” itu ditayangkan di

47
Facebook, dibaca oleh banyak orang, berharap orang lain
mengetahui apa yang sedang dirasakan.

Beragama di era digital ini tak membutuhkan jawaban


yang rasional-material. Justru, era ini hal beragama
semakin subjektif. Ini urusan pribadi dengan Sang Pribadi
yang diyakini itu. Terpenting, bahwa orang lain tahu
bahwa “aku” beragama, religius. Padahal, antara yang
disebut “beragama” dan “religiositas” itu berbeda. Yang
pertama lebih ke soal bentuk, namun yang terakhir adalah
nilai, semangat yang esensial.

Namun bukan berarti menurut orang beragama Tuhan


tidak menjawab doa-doa mereka. Orang beragama
meyakini Tuhan menjawab dengan berkat, anugerah,
kesuksesan atau kesembuhan. Sehingga, status-status doa
itu bisa berupa ungkapan syukur atau permohonan. Tak
perlu ada pembuktian yang logis korelasi antara doa
dengan yang disebut sebagai jawaban-jawaban itu. Ini
pengalaman keagamaan yang sangat pribadi sekali.

Allah adalah satu-satunya yg memberi hidup dan napas dan


segala sesuatu kepada manusia. (status seorang pengguna FB,
10 Maret 2012).

Tuhan dalam Facebook diproklamasikan sebagai Yang


Maha Kuasa. Ia yang memberi kehidupan kepada manusia.
Tuhan yang seperti ini adalah Tuhan proklamasi iman.
Keyakinan kepada Yang Misteri itu adalah bahasa iman.
Namun, di status Facebook ia menjadi hanya sebatas tanda.
Facebook adalah ruang orang untuk berbahasa,
mengkomunikasikan apa yang ia pikirkan.

48
Tuhan yang diproklamasikan adalah Tuhan yang tidak
perlu menjawab. Hubungan tidak lagi dialogis. Bukan lagi
“hamba” yang memohon dan bersyukur kepada subjek
“Yang Maha Kuasa” itu. Inilah Tuhan yang “aku” miliki. Ia
bukan subjek yang ada di luar diri manusia. Sehingga,
jawaban atas doa-doa di status itu ada pada si penulis
status itu sendiri. Ia yang bertanya, ia yang menjawab.

Tuhan dalam tanda digital bukanlah Tuhan yang


disembah. Ia adalah konstruksi sebuah kepercayaan yang
kemudian membentuk teks atau gambar. Tuhan ini adalah
Tuhan proyeksi, yang dicitrakan, bukan subjek yang
dijumpai dalam keyakinan iman. Sebab kata dalam sebuah
kalimat status ketika ditayangkan di dinding Facebook,
akan menjadi sebatas tanda. Dalam bentuk kalimat doa,
puisi atau ayat yang dikutip dari kitab suci, Tuhan ini
menjadi tanda di antara sekumpulan tanda.

“Tuhan” yang ditayangkan di Facebook sebenarnya


adalah Tuhan warisan agama (agama) yang dianut secara
turun temurun. “Tuhan” itulah yang diajarkan,
dikhotbahkan, didoktrinkan atau yang diperkenalkan oleh
agama. Namun, sebagai sebuah tanda yang disiarkan di
Facebook, Tuhan warisan agama itu sepertinya berubah
status. Ia kini adalah kepunyaan dari “aku” yang
memohon dan bersyukur.

Jadi jika demikian Allah mendandani rumput di ladang, yang


hari ini ada dan besok dibuang ke dalam api, tidakkah Ia akan
terlebih lagi mendandani kamu, hai orang yang kurang percaya?
Matius 6:30 (Status seorang pengguna FB, 9 Maret 2012).

49
Tuhan di Facebook adalah Tuhan untuk menghibur hati.
Ia memang masih sakral dan mistis. Namun, ia rupanya
tidak lagi transenden. Di status Ia menjadi imanen, menjadi
sangat dekat, bahkan Ia adalah pikiran kita yang berbicara.

Tuhan di Facebook menjadi tak lagi institusional dan


dogmatis. Ia sudah berubah menjadi sebuah kalimat yang
subjektif dipilih atau dikreasikan. Ia dikonstruksi untuk
melayani kebutuhan rohani si “aku”. Sebuah ingatan yang
dibahasakan kemudian disakralkan. Semacam sebuah
benda yang difetiskan. Namun, ini adalah ingatan dan
tanda. Seolah dengan mengkreasikan “Tuhan” dalam
bentuk tanda digital bumi dan langit menjadi satu, si “aku”
menjadi bagian dari kesatuan itu. Ini sebuah bentuk
keagamaan.

Sehingga, kegiatan keagamaan itu bukan lagi tentang


“hamba” yang menyembah “Sang Tuhan”, melainkan
“aku” yang mengkonstruksi sebuah hubungan yang mistis.
Bukanlah lagi sebuah bentuk ketergantungan pada “Sang
Maha Kuasa” yang mengatasi semua realitas, melainkan
“aku” yang mengkonstruksi hubungan untuk merasakan
sebuah kepuasan rohani. “Aku” menjadi pencipta
hubungan segitiga itu, “aku”, langit (Tuhan) dan bumi
(kebutuhan rohani). Tak ada lagi yang “luar biasa” dari
yang Sang Maha Kuasa itu, sebab Ia adalah hasil
konstruksi nalar dan kebutuhan rohani. Makanya, tak
perlu status doa itu sampai di langit, sebab Dia sudah
turun ke bumi, bagian dari kebutuhan rohani itu.

“Tuhan” dalam tanda-tanda digital di Facebook adalah


tuhan yang diproduksi dari jari-jemari yang lincah di atas
keyboard laptop atau keyped handphone. Inilah Tuhan yang

50
dipikirkan, Tuhan yang ditayangkan dalam bentuk tanda.
Bukan lagi Tuhan yang disembah karena Kemahkuasaan-
Nya. “Aku” menjadi dominan dalam proyeksi dan
penyusunan kalimat status-status itu.

Fenomena “Tuhan” dalam tanda-tanda digital itu


setidaknya mengungkap beberapa hal: Pertama, sebagai
usaha mencari Tuhan, maka fenomena ini mengambarkan
bagaimana manusia selalu berusaha kreatif untuk
menyatakan keimanannya. Sepanjang masa manusia
beragama selalu berusaha menghadirkan Tuhan “Yang
Maha” itu dalam bentuk tanda-tanda sebagai produk
kebudayaan. Kedua, media digital dalam hal ini teknologi
layar tidak pernah mampu mengungkap realitas atau
makna yang sesungguhhnya. Kenyataan hidup, di layar-
layar digital diwakilkan dengan tanda sehingga yang
tampak adalah citra. Ketiga, namun dengan keterbukaan
yang terjadi melalui media digital, Tuhan yang dulunya
dihayati secara eksklusif kini menjadi inklusif untuk semua
orang. Sebelumnya, Tuhan kebudayaan sebagai tanda dari
Tuhan “Yang Maha” itu dipenjara oleh agama-agama dan
budaya dalam arogansi atau klaim-klaim superioritasnya
terhadap yang lain. Media sosial, seperti Facebook
memfasilitas orang-orang beragama, sadar atau tidak sadar
untuk menghadirkan Tuhan “Yang Maha” itu sebagai
tanda yang terbebas dari klaim atau klaim kelompok-
kelompok keagamaan terbatas. Perlahan, proses itu sedang
berlangsung.

Tuhan Digital?

51
On Faith Panelists Blog31 tahun 2009 menyiarkan sebuah
diskusi yang cukup panjang antara beberapa tokoh
intelektual lintas agama di Amerika. Diskusi online itu
dimulai dengan pertanyaan, “Apakah alat-alat media sosial
berkat atau kutukan bagi orang-orang beriman? Haruskah
kita menggunakan teknologi digital untuk berkomunikasi
dengan Tuhan? Apakah Allah berkicau?” Pertanyaan ini
mengeksplorasi pemikiran para panelis mengenai agama,
Tuhan dan situs jejaring sosial, seperti Facebook dan
Twitter.

Richard Mouw, seorang filsuf, sarjana dan penulis, dan


Presiden Fuller Theological Seminary, Pasadenna Amerika
berpendapat, tidak ada alasan teologis yang baik mengapa
kita tidak dapat menggunakan teknologi baru untuk
berkomunikasi dengan Allah. Mouw bahkan berpendapat,
Tuhan adalah Realitas Akhir yang berkomunikasi secara
pribadi dengan manusia. “Dan kita bisa berkomunikasi
kembali - bahkan dengan cara baru dan menarik untuk
dilakukan hari ini,” katanya.

Randall Balmer, seorang professor dari Universitas


Columbia, pendeta Episkopal, dan juga profesor sejarah
agama di Barnard College, dan profesor tamu di Yale
Divinity School yang telah menulis banyak buku agak sinis

31 On Faith adalah sebuah blog (onfaith.washingtonpost.com)

bagian dari washingtonpost.com, sebuah situs yang menjadi media diskusi


online tentang untuk memahami dan menggambarkan pengaruh agama
pada kehidupan dunia. Tokoh-tokoh terkemuka, yaitu akademisi,
teologi, filsuf dan jurnalis sering menjadi panelis dalam diskusi tersebut.
Menurut pengelolah situs ini, dunia online, dengan ruang yang tak
terbatas, memberikan kesempatan yang unik untuk membicarakan hal-
hal menarik dalam percakapan yang.

52
memandang fenomena ini. Menurut dia, alasan teologisnya
adalah: “Sebagai seorang Kristen, saya percaya bahwa
doktrin inkarnasi - Allah mengambil bentuk manusia -
adalah prinsip utama. Allah memilih untuk menjelma
dalam diri Yesus. Firman itu menjadi daging dan diam di
antara kita - bukan pesan teks atau ‘tweet’," kata Balmer.

Dengan alasan teologis ini, Balmer berpendapat bahwa, ia


belum menemukan cara untuk menguduskan atau untuk
berkomunikasi (dalam arti sakramental) melalui media
elektronik dengan Tuhan.

Lain dengan apa yang dikemukakan oleh Ramdas Lamb,


seorang Hindu, professor di University of Hawaii, dan
professor agama dunia dan agama kontemporer Amerika.
Menurut dia, dalam pandangan agama-agama teistik besar,
Allah itu Maha Hadir. “Jika ini terjadi, maka Tuhan tidak
hanya hadir di seluruh alam semesta dan di dalam diri kita
masing-masing tetapi juga di Twitter dan Facebook serta
seluruh Internet.”

Allah juga Maha Tahu, seperti kata para teolog, lanjut


Lambs. Karena itu mungkin dia tahu semua "tweets,"
semua entri blog, dan bahkan semua e-mail.

Internet, menurut Lambs adalah juga bagian penting dari


usaha pencarian Tuhan oleh manusia. Pendekatan
tradisional dalam usaha mencari dan mengenal-Nya sudah
kehilangan popularitas dalam praktek sebagian besar
orang. Orang-orang beragama telah memilih cara baru
untuk menemukan atau mengenal Allah yang lebih
bermakna, mampu, dan relevan untuk mereka daripada
metode yang lebih tradisional.

53
“Pencarian ini telah menyebabkan munculnya nabi baru,
agama, denominasi, teks yang dianggap suci atau benar,
jenis praktik, dan komunitas agama. Sementara ada orang-
orang yang melihat langkah ini sebagai kebenaran atau
melawan Allah, pendekatan baru telah memberikan arti
bagi kehidupan orang lain yang tak terhitung jumlahnya,”
tulisnya.

Bagi Lambs, kuncinya adalah apa yang ada dan sedang


terjadi di dalam pikiran dan hati bagi mereka yang terlibat
dalam pencarian Tuhan di internet. “Jika saya
menggunakan internet untuk lebih terlibat dalam
pencarian spiritual saya dan menemukan halaman atau
orang-orang yang menginspirasi dalam diri saya ke arah
itu, lalu apa masalahnya?”

Internet adalah alat dan situs jejaring sosial seperti,


Facebook atau Twitter dapat sangat berguna untuk
berkomunikasi, baik menyangkut kebenaran maupun
ketidakbenaran, hal-hal ilahi atau hal-hal jahat. “Pada saat
yang sama, jika tujuan seseorang adalah untuk
mendapatkan pemahaman yang lebih dalam hubungan
dengan Yang Ilahi, internet bisa menjadi alat untuk ini
juga,” tambah Lambs.

Brad Hirschfield, seorang rabbi Yahudi dan President Of


The National Jewish Center For Learning And Leadership,
berpendapat, persoalan teknologi, iman, Tuhan dan agama,
adalah persoalan manusia itu sendiri, bukan Tuhan.
Hirschfield menegaskan, aneh jika orang-orang beragama
membayangkan Tuhan itu sebagai Yang Maha Besar

54
namun tidak cukup “besar” untuk memahami doa
umatnya dalam bahasa dan metode apapun.

“Tapi tentu saja, pertanyaan ini tidak benar-benar tentang


Allah, ini tentang kita,” tulis Hirschfield.

Hirschfield, bahkan menegaskan, media sosial, seperti


Facebook dan perangkat-perangkat teknologi lain yang
bisa membantu orang-orang beragama untuk mempelajari
teks-teks suci dengan teman di Facebook, atau untuk
mengekspresikan iman adalah sesuatu yang harus
dirayakan. Pada kenyataannya, menurut dia, setiap
perubahan atau pergeseran zaman selalu menantang
agama-agama. Semuanya itu tergantung dari manusia
yang menggunakannya atau bagaimana tranformasi positif
yang terjadi bersama tantangan-tantangan itu.

Susan Brooks, professor dari Chicago Theological Seminary


mengemukakan pemikirannya yang cukup menarik.
Persoalan ini, menurut Brooks, mungkin pertanyaan yang
sama, seperti yang dikemukakan oleh Johannes Gutenberg
(1398-1468) ketika dia mendapat ide untuk mencetak secara
massal alkitab dalam bentuk buku dengan mesin cetak.
“Mungkinkah Tuhan dijumpai dalam sebuah buku yang
diproduksi secara massal bukan dengan naskah yang
dihias buatan tangan oleh biarawan?”

Temuan-temuan ilmu pengetahuan berupa perangkat


teknologi, sejatinya adalah untuk membantu manusia,
termasuk dalam hal keagamaan.

“Jadi, secara bertahap, kita datang kepada Allah di Twitter.


Teknologi ini tidak masalah. Dari membaca dan menghafal

55
teks-teks lisan hafal di gulungan dan buku, ke Facebook
dan media sosial lainnya dan akhirnya ke Twitter, itu
hubungan spiritual yang harus diperhitungkan.”

Para pakar yang berdiskusi di blog


onfaith.washingtonpost.com tersebut menanggapi
perkembangan dan perubahan cara berkomunikasi dan
berhubungan dengan Tuhan melalui media sosial dari
perspektif mereka masing-masing. Secara iman atau
teologis, pada umumnya menganggap ekspresi keagamaan
di situs jejaring sosial, seperti Facebook dan Twitter adalah
sah-sah saja. Mereka melihat itu bagian dari usaha
pencarian Tuhan dan spiritualitas yang sesuai dengan
perkembangan zaman. Mereka tidak mendiskusikan
mengenai dampak-dampak psikologi dan lebih luas sosial
dan kultural dari fenomana itu.

Bagaimana Tuhan itu hadir, sesungguhnya bukan urusan


Dia. Inilah adalah urusan manusia yang merefleksikan
Tuhan dalam kehidupan dan kebudayaanya. Tuhan “Yang
Maha” itu melampaui “perangkat” atau “tempat.” Tuhan
sebagai “Yang Maha” itu diluar kesadaran, perangkat dan
tempat yang dibuat oleh manusia. Namun, Dia menjadi
perbicangan ketika manusia berusaha menghadirkan-Nya
dalam iman yang tidak terlepas konteks kebudayaan.
Ketika kebudayaan telah berkembang hingga ke era digital,
maka usaha pencarian manusia terhadap Tuhan sebagai
cara yang terus menerus dilakukan oleh manusia
sepanjang masa untuk menghadirkan makna-makna
ketuhanan dalam kebudayaan. Tuhan “Yang Maha” itu
rasanya tidak akan pernah terdigitalisasi. Tuhan dalam
bahasa kebudayaanlah yang selalu dibaca dalam

56
perangkat-perangkat kebudayaan terkini, semisal melalui
media digital.

Tuhan Global, Tuhan Masa Depan?


Dalam imanensi-Nya di status Facebook, Tuhan sebagai
ungkapan iman sudah dikeluarkan dari dogma dan tradisi
agama. Memang yang menulis status adalah orang-orang
beragama dari berbagai macam institusi keagamaan.
Namun, sebagai sebuah status di media global Tuhan yang
mistis itu sedang disekularisasi. Facebook tentu bukan
agama dan memang tidak beragama. Ia media terbuka bagi
siapa saja. Sehingga, pun orang masih bisa membedakan
mana status yang ditulis oleh orang Kristen, Islam, Hindu,
Budha, Konghucu dan lain sebagainya, namun ia tetap saja
teks yang ditulis di status Facebook.

Secara tekstual memang kadang masih bisa dibedakan


mana status yang ditulis oleh yang beragama Kristen,
Islam, Budha, Hindu, Khonghucu atau dengan jalan
keyakinan apa saja. Namun sebagai sebuah teks di media
digital yang mengglobal, Tuhan sudah didatarkan serata
tanah pijakan umat manusia.

Sebagai status Facebook, Tuhan dalam kutipan-kutipan


ayat dan kalimat-kalimat doa adalah teks ciptaan manusia.
“Tuhan” atau “Allah” yang ditulis di status itu adalah
untuk dibaca semua orang. Keimanan menjadi urusan
pribadi si penulis status. Di status Facebook orang
membaca teks bukan menghayati iman.

“Tuhan” dalam Facebook sedang dicitrakan sebagai Tuhan


untuk semua. Masing-masing orang dengan bebas bisa
memproyeksikan dan mencitrakan Tuhan. Status Facebook

57
bukan sebagai sarana atau media untuk memengaruhi
keimanan namun ia bisa membentuk cara pandang
keagamaan.

Tanpa disadari, tanpa disengaja, Tuhan di status Facebook


sedang menjadi sebuah citra yang seragam. Tuhan
diproyeksikan oleh manusia sebagai pencipta, pengawal
kehidupan, pemberi berkat, yang akan bersama-sama
dengan manusia menuju masa depan, dan juga sebagai
penentu hidup matinya manusia. Namun, sebagai
penghayatan iman yang subjektif, citra-citra itu lahir dari
kebutuhan dan penghayatan masing-masing individu.

Sepanjang sejarah umat manusia dalam usaha mengenal


Tuhannya, “Yang Maha Kuasa” itu selalu berusaha
dihadirkan dalam semangat zaman, bahasa kebudayaan
dan pergulatan hidup individu dan masyarakat. Ketika
masyarakat dunia (mulai) dipersatukan dalam sebuah
dusun global, proyeksi serta penghayatan terhadap Dia
juga akan disesuaikan dengan perkembangan dan
semangat zaman. Tuhan sedang menjadi “Sang
Kebenaran” bersama untuk masyarakat global. Sebab ia
dihadirkan di media global dengan bahasa global pula.

Sampai di sini, misi Facebook tercapai. “I'm trying to make


the world a more open place,” tulis Mark Zuckerberg di
akun Facebooknya. Facebook menjadi media yang terbuka
bagi orang-orang dengan latar belakang yang beragam
untuk mengemukakan sudut pandang dan cara serta isi
pemaknaannya tentang sesuatu.

Pengguna Facebook yang telah mencapai 1 miliar, banyak


yang menggunakan media secara eksklusif. Namun, para

58
pengguna tak bisa keluar dari sistem yang didesain oleh
Facebook. Orang-orang yang berbeda agama, ras, suku,
ideologi dan status sosial dihubungkan oleh Facebook
untuk berteman, saling berbagi dan berdiskusi.

Dalam perbedaan proyeksi, mereka saling berbagi tentang


citra-citra Tuhan. Eksklusivisme tak ada ruang di
Facebook. Orang-orang yang tertutup akan terpental
dengan sendirinya oleh dinamika pertukaran dan interaksi
di Facebook. Situs jejaring sosial yang satu ini memang
dirancang untuk menjadi media saling berhubungan,
saling berbagi dalam keterbukaan. Demikian juga dengan
hal “Tuhan”, status-status yang menuliskan kata “Tuhan”,
“Allah” atau sejenisnya memang adalah untuk semua
orang. Tuhan ini memang sering diperdebatkan karena
perbedaan konstruksi citra warisan agama-agama produk
masa lalu itu. Namun dengan demikian perlahan ia sedang
diseragamkan, diglobalkan dalam sebuah proses dan
interaksi yang terbuka. Mendebatkan Tuhan di Facebook
adalah bagian dari proses membuka diri. Model beragama
yang eksklusif memang sedang ditantang. Orang-orang
berproses bersama, baik dalam harmoni maupun dalam
konflik wacana.

Pencitraan terhadap “Tuhan Yang Maha” dalam proses


seperti itu saya kira baik. Ini yang mungkin bisa dikatakan
“berkat” dari globalisasi yang dibantu oleh media digital.
Kedepan, mudah-mudahan tidak akan lagi pertentangan
mengenai Tuhan, seperti yang masih dirasakan di masa
awal millennium ini, yaitu perang atas nama Tuhan. Akan
tiba suatu masa orang-orang beragama akan lebih fokus
pada persoalan bersama, seperti krisis kemanusiaan dan
ekologi, ketimbang perang karena klaim-klaim kebenaran

59
iman. Dalam situasi ini, Tuhan “Yang Maha” itu akan
dimaknai sebagai Tuhan bersama yang diiterpretasi
menjadi nilai-nilai etis dan tindakan solidaritas. Inilah
spiritualitas bersama di era digital.

Ketika tembok agama-agama, budaya dan batas-batas


negara perlahan mulai diruntuhkan oleh media-media
digital yang menjangkau dan menembus sampai ke
kedalaman konstruksi-konstruksi ideologi masyarakat
masa lalu itu, maka spiritualitas atau nilai kehidupan yang
mendasari gerak dan rasa manusia akan semakin
universal. Bersamaan dengan itu, sesuatu yang
diproyeksikan sebagai sumber nilai itu akan juga menjadi
universal.

Di masa transisi ini memang belum terlalu kentara atau


faktual hal itu, namun tanda-tanda menuju ke arah sana
mulai tampak. Misalnya, ketika bahaya pemanasan global
dikampanyekan secara massal, sebagian besar masyarakat
dunia seolah seperti sengaja diorganisir untuk memberi
perhatian dan mengambil tindakan untuk mengantisipasi
kehancuran bumi. Begitu pula dengan beberapa isu,
misalnya mengenai semakin menipisnya sumber daya
alam yang tidak terbaharui karena eksploitasi besar-
besaran di masa pembangunanisme, beramai-ramai
masyarakat dunia mengusahakan sumber-sumber daya
yang dapat diperbaharui.

Kesadaran pada masa depan hidup bersama sebagai


masyarakat bumi sedang menjadi spiritualitas di era ini.
“Tuhan Yang Satu” masyarakat bumi akan benar-benar
terwujud ketika destruksi kapitalisme akan menghamtam
lebih parah lagi masyarakat dunia. Akan muncul “Satu

60
Yang Diharapkan” bersama. Dan Ia bukan lagi Tuhan yang
jauh dari kehidupan manusia, dan sesekali (di)datang(kan)
dengan sifat dan karakternya yang keras, atau juga lembut
dan maha pengampun melainkan Tuhan yang telah sangat
dekat dengan manusia, bersama-sama dalam dinamika
manusia. Tuhan itulah yang dimaknai sebagai
“Kebenaran” bumi.

Mungkin akan muncul pertanyaan, apakah itu sama


dengan kematian agama-agama dan keyakinan dari tradisi
dan pengetahuan tua yang diwariskan beribu-ribu tahun
itu? Pendapat saya, dengan munculnya konsepsi “Tuhan
Global” atau juga mungkin “agama global”, nilai-nilai dan
keyakinan-keyakinan lama tidak akan segera mati. Bahkan,
ia akan semakin penting untuk memberi kontribusi pada
konsepsi “Tuhan Global” dan juga mungkin “agama
global” yang tidak terinstitusional itu.

Facebook adalah media di mana “Tuhan” itu ditayangkan,


didiskusikan, diperdebatkan secara terbuka. Sesuatu yang
baru dalam hal beragama. Kini, Tuhan tak lagi sulit dicari
di tempat-tempat sunyi, di gunung-gunung yang tinggi
atau di tempat-tempat yang mistis seperti para pertapa
atau sufi dulu atau juga di lembaga-lembaga agama yang
kaku, dogmatis dan politis. Tuhan, kini (di)hadir(kan) di
ruang terbuka. Sebab, “Tuhan” itu adalah Tuhan yang
diproyeksikan dalam sebuah gerak dan semangat zaman.

61
Bab 3
Mencari Tuhan di Dunia Virtual

Budaya Digital
Saya sudah bilang di bagian awal (bab 1) mengenai sebuah
perubahan yang global di era ini. Inilah era baru, era
budaya digital, era new media. Era dari tv hitam putih ke
era tv online; era mengirim surat di Kantor Pos dan Giro ke
era mengirim dan menerima surat melalui e-mail; era
menjelajahi pengetahuan di rak-rak buku perpustakaan di
kampus ke era menjelajahi pengetahuan melalui wikipedia
atau e-book online; era telepon umum atau warung telepon
ke era handphone, ipad dan tablet; era berbelanja hanya di
pasar tradisional, supermarket, mall, ke era memilih,
memesan dan membeli barang-barang di toko-toko online;
era korespodensi di majalah-majalah remaja ke era situs
jejaring sosial.

Saya punya dua teman yang sehari-hari bekerja di depan


layar laptop atau blackberry. Teman yang satu aktif di situs
www.kaskus.us32 sebuah situs forum komunitas terbesar di

32 Kaskus adalah situs forum komunitas maya terbesar dan

nomor 1 Indonesia dan penggunanya disebut dengan Kaskuser. Kaskus


lahir pada tanggal 6 November 1999 oleh tiga pemuda asal Indonesia
yaitu Andrew Darwis, Ronald Stephanus, dan Budi Dharmawan, yang
sedang melanjutkan studi di Seattle, Amerika Serikat. Situs ini dikelola
oleh PT Darta Media Indonesia. Kaskus memiliki lebih dari 3,4 juta
pengguna terdaftar. Pengguna Kaskus umumnya berasal dari kalangan
remaja hingga orang dewasa yang berdomisili di Indonesia maupun di
luar Indonesia. Kaskus, yang merupakan singkatan dari Kasak Kusuk,
bermula dari sekedar hobi dari komunitas kecil yang kemudian

62
Indonesia dan juga situs ebay.com33 sebuah situs web lelang
dalam jaringan (daring). Teman ini melakukan
perdagangan (jual-beli) kamera dengan segala
perangkatnya dan juga kadang-kadang barang-barang
elektronik lainnya.

Teman saya yang lain, seorang perempuan, bahkan sudah


punya situs sendiri. Dia berdagang barang-barang
aksesoris. Pelanggannya datang dari beberapa daerah se-
Indonesia. Dia menikmati betul pekerjaan ini. Hanya dari
rumah bermodalkan modem, dia bisa mempromosikan
barang dagangannya, orang membeli dan dia mengirim
barangnya. Transaksi terjadi secara online.

berkembang hingga saat ini. Kaskus dikunjungi sedikitnya oleh 900 ribu
orang, dengan jumlah page view melebihi 15.000.000 setiap harinya.
Hingga bulan September 2011, Kaskus sudah mempunyai lebih dari 416
juta posting. Menurut Alexa.com, pada bulan September 2011 Kaskus
berada di peringkat 251 dunia dan menduduki peringkat 7 situs yang
paling banyak dikunjungi di Indonesia. (sumber:
http://id.wikipedia.org/wiki/Kaskus)
33 eBay didirikan pada 1995 oleh Pierre Omidyar sebagai

"AuctionWeb", bagian dari situs pribadi yang termasuk, tulisan


sumbangan Omidyar terhadap virus Ebola. Awalnya situs ini dimiliki
oleh Echo Bay Technology Group, firma konsultasi Omidyar. Omidyar
telah mencoba mendaftar nama domain "EchoBay.com" namun nama itu
telah dimiliki orang lain, jadi dia memendekkan namanya menjadi
"eBay.com". eBay bermarkas di San Jose, California, Meg Whitman telah
menjadi presiden eBay dan CEO-nya sejak Maret 1998. Kesuksesan e-
bay ini menjadi inspirasi bagi banyak perusahaan lelang lainnya yang
menyebar keseluruh dunia. Ide daripada eBay ini merupakan salah satu
contoh dari fenomena "Long Tail" yang dipaparkan oleh Chris Andersen
lewat bukunya yang berjudul sama "The Long Tail", dimana pasar ideal
akan tercipta dimana keragaman barang yang dijual akan semakin
banyak, sementara jumlahnya semakin sedikit.sumber pendapatan
banyak berasal dari paypal. (sumber:
http://id.wikipedia.org/wiki/EBay)

63
Itulah buah dari perubahan yang dratis itu. Era ini
digambarkan oleh Charlie Gere, “Seperti kilatan petir yang
datang dalam sebuah adegan gelap.” Sebuah transformasi
total yang menerpa hampir semua masyarakat dunia. Di
beberapa negara maju, tulis Gere, hal itu dapat diamati di
hampir setiap aspek kehidupan modern. Kebanyakan
bentuk media massa, televisi, rekaman musik, film,
diproduksi dan didistribusikan secara digital. Media-media
ini mulai menyatu dalam bentuk digital, seperti Internet,
World Wide Web, dan permainan video untuk menghasilkan
mediascape digital.34

Digitalisasi dapat dianggap sebagai penanda budaya


karena ia meliputi baik perangkat, sistem makna maupun
komunikasi kontemporer yang membedakan cara hidup
masing-masing orang. Hampir semua aspek hidup
manusia-manusia kontemporer bergantung, dihubungkan
dan dimudahkan dengan perangkat-perangkat digital.
Manusia-manusia di era ini sedang “menjadi digital” pula.

Suatu hari, teman saya Greenhill Weol terkejut ketika


memasuki sebuah kawasan perbelanjaan di Kota Manado.
“Saya heran, tidak sampai setahun yang lalu saya masih
melihat ada perempuan muda sebagai penjaga di tempat
ini (maksudnya di pintu masuk area parkir mall tersebut).
Namun sekarang, tidak ada lagi manusia di sini. Yang ada
hanya sebuah palang, kita tekan tombolnya keluar
semacam nota, lalu dengan sendirinya palang terangkat
dan mobil seolah dipersilakan ke area parkir.”

34 Charlie Gere, Digital Culture, second edition, (London:


Reaktion Books, 2008), hlm. 13-14.

64
Teman Greenhill terkejut bukan karena belum pernah
melihat sebelumnya sebuah sistem parkir berbasis
komputer, melainkan terutama soal begitu cepatnya
perangkat ini menjadi bagian dari sistem ekonomi di
Manado. Dengan sistem ini maka tidak lagi dibutuhkan
seorang penjaga. Tidak adalah lagi kontak dengan
manusia, yang ada tinggal tombol-tombol digital.

Sekarang ini, di kantor-kantor swasta atau pemerintahan


semakin banyak yang menggunakan daftar hadir sistem
sidik jari (finger print). Sebagai tanda kehadiran di kantor
dan itu juga berarti sebagai tanda aktif bekerja adalah
dengan menaruh jari jempol di sebuah perangkat digital.
Ini salah satu bukti bahwa manusia sudah sementara
dikontrol oleh mesin.

Pemerintah juga sedang menggalakan e-KTP, atau electronic


Kartu Tanda Penduduk. Fungsinya tetap sama seperti KTP
lama, namun ia ditambah dengan chip sehingga berfungsi
sebagai smart card. Foto dalam bentuk digital demikian
juga dengan tanda tangan. Ini juga sebagai bukti terdekat
mengenai manusia-manusia yang sedang digitalisasi.

Beberapa hal yang saya sebutkan itu memang masih baru


di beberapa daerah di Indonesia. Namun, di beberapa
negara maju itu sudah lama diterapkan. Ini artinya,
digitalisasi atau komputerisasi pendukung atau pengendali
aktifitas manusia sudah semakin massal di era ini. Semua
itu membawa konsekuensi pada kehidupan sosial, budaya,
politik dan agama umat manusia.

65
Di era ini orang-orang akan semakin sering berjumpa
hanya dengan robot atau perangkat-perangkat yang
dikendalikan oleh komputer. Manusia akan semakin sering
melakukan banyak hal dengan kemajuan teknologi
informasi dan transportasi. Konsekuensinya tenaga
manusia akan semakin banyak diganti oleh perangkat-
perangkat yang digitalisasi atau dikomputerisasi. Sehingga
jangan heran kalau nanti akan semakin banyak
pengalaman manusia yang tidak lagi karena interaksinya
dengan sesama manusia yang lain. Orang-orang akan
semakin sering berjumpa dengan bukan manusia lagi,
melainkan alat yang kendalikan oleh komputer.

Yasraf Amir Piliang memulai pembahasan bukunya


dengan pernyataan,

Ada sebuah perubahan besar yang terjadi awal


Millenium Ketiga, yaitu terbentuknya sebuah dunia baru
sebagai akibat dari perkembangan ilmu pengetahuan
dan teknologi mutakhir, yang di dalamnya tercipta
berbagai definisi dan pemahaman baru mengenai apa
yang disebut realitas.35

Piliang melanjutkan, di era ini, “tanda tidak lagi


merefleksikan realitas; representasi tidak lagi berkaitan
dengan kebenaran; informasi tidak lagi mengandung
objektivitas pengetahuan.” Dunia baru ini, menurut
Piliang, adalah dunia yang dibangun dari berbagai distorsi
realitas, permainan bebas tanda, penyimpangan makna
dan kesemuan makna.36

35 Yasraf Amir Piliang, Posrealitas: Realitas Kebudayaan dalam Era

Posmetafisika, (Yogyakarta: Jalasutra, 2004), hlm. 53.


36 Ibid.

66
Piliang sebetulnya sedang mengambarkan sebuah
perubahan dalam hal bagaimana manusia
“memberadakan’ diri dalam kehidupannya. Ketika yang
dianggap “kebenaran” adalah konstruksi untuk
memenangkan wacana dan menaklukan kesadaran; atau
ketika yang dianggap realitas hanyalah gambar yang
menipu inderawi, maka makna dan tujuan hidup menjadi
persoalan. Inilah konsekuensi yang ditimbulkan oleh
perubahan zaman itu. Dari apa yang biasa disebut orang,
dari era industri menuju ke era informasi. Teknologi
informasi di satu pihak sebagai perangkat yang membantu
memudahkan manusia untuk berkomunikasi secara cepat
dan massal, namun di pihak lain ia berbahaya
mendestruksi hakekat kemanusiaan itu sendiri.

Olaf Schumaan tahun 2000 menulis sebuah artikel berjudul


“Milenium Ketiga dan Tantangan Agama-agama” yang
kemudian diterbitkan dalam sebuah buku bunga rampai
berjudul Agama-agama Memasuki Milenium Ketiga, mengutip
apa yang menjadi bayangan George Orwell dalam
novelnya berjudul 1984 (1949), tentang adanya satu rezim
yang akan mengontrol segala tindak-tanduk warga negara.
Menurut Schumann, tesis Orwell itu sudah mulai tampak
memasuki millennium ketiga dengan kemajuan teknologi
informasi (elektronika). Di era baru ini, dalam
perkembangan sosial, manusia akan mengalami
perubahan-perubahan dahsyat yang akan mengubah
bagaimana manusia memahami tentang dirinya.

67
Perubahan-perubahan itu akan dimungkinkan dengan
kemajuan teknologi dalam berbagai bentuknya.37

Orwel menulis bukunya tahun 1949. Di Amerika, gejala


perkembangan menuju ke era informasi sudah semakin
kentara sejak tahun 1960-an sampai 1970-an, yaitu dengan
mulai dikembangkannya komputer pribadi dan komputer
jaringan. Hal ini ditandai dengan mulai dikembangkannya
internet oleh Departemen Pertahanan Amerika Serikat
pada tahun 1969, melalui proyek ARPA yang disebut
ARPANET (Advanced Research Project Agency Network).

Namun, menurut Charlie Gere, perkembangan tersebut


adalah juga bagian dari perubahan budaya pada generasi
baru di Amerika pasca perang dunia II. Perkembangan
pemikiran, budaya dan seni ikut mempengaruhi
pengembangan budaya digital di Amerika.38 Artinya,
perkembangan budaya digital merupakan bagian dari
usaha manusia untuk merespon dan memaknai
kediriannya dalam gerak zaman. Sehingga, seperti halnya
bentuk kebudayaan lain, budaya digital juga memiliki
wajah ganda.

Hikmat Budiman, peneliti senior pada The Interseksi


Foundation, Jakarta mengatakan, kata “digital” (yang
dipakai bersamaan pada istilah “budaya digital”) mungkin
lebih tepat dipahami sebagai “sebuah metonim untuk
banyak hal yang berasosiasi kepadanya.” Menurut dia,

37 Olaf Schumann, “Milenium Ketiga dan Tantangan Agama-

agama”, dalam Martin L. Sinaga (ed.), Agama-agama Memasuki Milenium


Ketiga, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2000), hlm. 3-4.
38 Gere, op.cit., hlm. 116-154.

68
kata “digital” ini tidak melulu hanya berhubugan dengan
teknologi komputer.

Bahwa budaya digital tidak bisa dipisahkan dari


perbincangan tentang semakin besarnya peran mesin-
mesin dalam banyak kehidupan manusia, ini
menunjukkan bahwa ia bukanlah sesuatu yang secara
radikal sama sekali baru dibandingkan dengan yang
sudah ada sebelumnya.39

Di era industri, mesin-mesin menjadi pengganti tenaga


manusia. Manusia, dalam hal ini buruh, dalam sebuah
pabrik tidak beda harganya dengan mesin. Dalam sebuah
pabrik, manusia bekerja bersama-sama dengan mesin
untuk memproduksi barang demi keuntungan besar bagi
tuannya. Di era informasi ini, orang lebih banyak bekerja di
sektor-sektor jasa. Kosumennya adalah para penikmat jasa,
tidak lagi terutama berbentuk barang. Dengan demikian
teknologi informasi memiliki peranan besar, yang oleh
karenanya perangkat-perangkat teknologi informasi terus
berkembang. Komputer dan jaringan komputer adalah
perangkat-perangkat penunjang di era ini yang sangat
penting.

Perkembangan terkini dari usaha pengembangan teknologi


informasi berbasis komputer dan internet adalah situs
jejaring sosial dan media online. Inilah era “new media.”

39 Hikmat Budiman, “Digital, Ruang, Rupa, dan Kuasa: Cerita-

cerita Ringan tentang Kamera”, http://interseksi.org/


publications/essays/ articles/digital_ruang_kuasa.html, (akses, 17
Maret 2012)

69
Menurut situs dictionary.reference.com istilah “new media”
menunjuk pada internet dan dan bentuk-bentuk lain
telekomunikasi pascaindustri (postindustrial).40 Atau dari
media berbasis cetak ke digital dan online.

Glen Creeber dalam usahanya mendefinisikan istilah “new


media” pertama-tama menjelaskan sejarah perkembangan
kebudayaan yang terjadi dari era modern ke era
posmodern atau pasca industri. Kritik filsafat terhadap
paradigma modern, perubahan masyakarat di bidang
ekonomi dan politik antara lain sebagai faktor yang
mendukung lahirnya cara baru dalam berkomunikasi.41

Bagi Creeber, “new media” adalah gejala posmodernitas,


sebaliknya media lama adalah produk modernitas.
Perkembangan teknologi komunikasi di era digital cultures,
dengan hadirnya new media, menurut Creeber, membuat
sebuah perubahan yang sangat radikal dalam hal
memahami apa yang “nyata” dan apa yang “semu”.
Semakin sulit membedakan mana realitas dan mana yang
merupakan hasil pencitraan. Dampak lain adalah
bagaimana orang lain atau diri sendiri mengidentifikasi
diri. Identitas seseorang di era posmodern ini semakin cair
dan berubah-ubah bahkan kadang-kadang bertentangan.42

40 “New Media”, http://dictionary.reference.com/ browse/


new+media?s=t, (akses, 18 Maret 2012)
41 Glen Creeber, “Digital theory: theorizing New Media”, dalam

Glen Creeber and Royston Martin (editor), Digital Cultures:


Understanding New Media, (Maidenhead, England : McGraw Hill/Open
University Press, 2009), hlm. 16.
42 Ibid., hlm. 18.

70
Screeber menambahkan, website seperti YouTube,
MySpace dan Facebook hadir untuk mencerminkan
pemahaman baru dari 'partisipatif budaya', yang bukan
hanya menciptakan komunitas virtual tapi juga
memungkinkan para pengunjung untuk menjadi
'produsen' serta 'penerima' dari media.43

Dengan perubahan yang dihasilkan oleh new media,


media-media lama yang berbasis cetak (koran, majalah
atau buku) dan televisi serta radio tradisional sedang
dalam ancaman. New media sedang menggeser peran
media cetak dalam masyarakat, yang dengannya akan
mempengaruhi cara pandang terhadap kehidupan sosial,
politik dan budaya masyarakat global.

Perlahan tradisi orang membaca buku, koran dan majalah


dalam bentuk cetak akan berganti dengan membaca secara
online. Di Indonesia misalnya, hampir semua perusahaan
media cetak, semacam Kompas sudah menyediakan layanan
online untuk pembacanya. "Penguasaan teknologi
informasi dan komunikasi menjadi pemicu pertumbuhan
penggunaan internet. Media kini harus bertransformasi.
Dulu media sangat sedikit, sekarang jumlahnya sangat
banyak, semakin spesifik dan segmented," kata CEO
Kompas Gramedia, Agung Adiprasetyo pada 25 November
2011.44

Encyclopædia Britannica, Inc pun sudah mengumumkan,


Encyclopædia Britannica yang diterbitkannya akan segera

43 Ibid., hlm. 19.


44 “Diskusi Media Baru dalam Dies Natalis UMN, 25 November
2011, (akses 18 Maret 2012).

71
beralih dari cetak ke digital. Padahal Ensiklopedia ini
sudah sangat tua. Terbit pertama tahun 1768 di Edinburgh.
Menurut Presiden Encyclopædia Britannica, Inc, Jorge
Cauz maksud dari penerbitan dalam bentuk digital ini
adalah untuk menjangkau lebih banyak pembacanya. 45

Firdaus Cahyadi, Knowledge Manager for Sustainable


Development, One World-Indonesia dalam artikelnya,
“Mempersoalkan Konglomerasi New Media” pada situs
www.tempo.co, 15 Februari 2012 mengulas perubahan pola
kosumsi media pada masyarakat Indonesia di era ini dan
konglomerasi new media perubahan dari konglomerasi
media tradisional.46

Sekali lagi, Cahyadi mau membuktikan dampak dari


pesatnya perkembangan new media, yaitu perubahan pada
pola kosumsi media, dari media cetak ke media digital atau
online. Dia kemudian mengutip hasil survei Media Index
yang dilakukan oleh Nielsen Media Survey pada 2009,
yang menunjukkan jumlah pembaca koran konvensional
menurun, sedangkan pengguna internet mengalami
kenaikan. Begitupula dengan riset yahoo.com dan TNS
mengenai tren pengguna internet di Indonesia pada 2010.
Riset itu menyebutkan bahwa telah terjadi lonjakan yang

45Husna Haq, “Encyclopedia Britannica Puts An End To Print

Publishing”, 14 Maret 2012,


http://www.csmonitor.com/Books/chapter-and-verse/ 2012/0314/
Encyclopedia-Britannica-puts-an-end-to-print-publishing, (akses, 18
Maret 2012)
46 Firdaus Cahyadi, ““Mempersoalkan Konglomerasi New

Media”, 15 Februari 2012,


http://www.tempo.co/read/kolom/2012/02/15/534/
Mempersoalkan-Konglomerasi-New-Media-, (akses 18 Maret 2012).

72
signifikan dalam pengaksesan berita online, 28 persen pada
2009 dan 37 persen pada 2010. Di sisi lain, jumlah pembaca
media cetak terus menurun.

Perubahan ini ternyata segera diantisipasi oleh para


pemilik modal di sektor media massa. Buktinya, hampir
semua konglomerasi media memiliki portal berita online.

Dampaknya bukan hanya pada efisiensi ekonomi namun


juga pada dominasi wacana di ranah publik.

Dominasi wacana ini tentu sangat berbahaya, terlebih


bila pemilik modal industri konglomerasi new media itu
juga berafiliasi dengan kekuatan politik tertentu. Pemilik
modal dari konglomerasi new media dengan dominasi
wacana di publik bisa dengan mudah mengarahkan
sebuah kebijakan publik sesuai dengan
kepentingannya.47

Menurut Cahyadi, dominasi wacana oleh konglomerasi


new media boleh dilawan oleh publik dengan new media
pula, semisal blog atau situs jejaring sosial. Namun
menurut dia, potensi publik masih lemah karena belum
banyak yang menggunakan situs-situs pribadi seperti blog
atau situs jejaring sosial lainnya untuk menulis isu-isu
pinggiran macam kasus Lapindo atau Ahmadiyah.

Cahyadi mengutip penelitian Merlyna Liem, seorang


peneliti new media dari Arizona State University, yang
mengungkapkan bahwa topik yang ramai dibicarakan
pengguna Twitter di Indonesia adalah persoalan gaya

47 Ibid.

73
hidup dan isu yang sebelumnya telah diberitakan oleh
media arus utama (mainstream). Persoalan lain adalah
berbagai kebijakan telematika yang ada atau yang sedang
dirancang pemerintah. “Singkat kata, pertarungan wacana
antara publik dan konglomerasi new media adalah sebuah
ajang pertarungan yang jauh dari seimbang,” tulis
Cahyadi.

Mencari Tuhan di Masa Transisi


Perubahan-perubahan yang terjadi di era budaya digital
tentu memengaruhi kehidupan orang-orang beragama,
mengenai konsep Tuhan, manusia, alam, keselamatan dan
ekspresi keagamaan itu sendiri. Pada bagian ini saya akan
mengulas bagaimana perkembangan itu memberi
pengaruh bagi orang-orang beragama dalam usahanya
mencari Tuhan.

Perkembangan globalisasi dengan semakin meluasnya


kapitalisme yang sedang mencipta manusia-manusia
sebagai makhluk konsumeris dan hedonis dipercepat oleh
kemajuan di bidang teknologi informasi. Agama-agama
dan spritualitas umat beragama tak luput dari pengaruh-
pengaruh perkembangan tersebut.

Spiritualitas ditantang oleh budaya digital dengan segala


perangkatnya. Digitalisasi spiritualitas dan ekspresi-
ekspresi keagamaan membawa umat beragama ke apa
yang Piliang sebut “pospiritualitas”.

Pospiritualitas adalah kondisi bercampur-baurnya nilai-


nilai spiritual dengan nilai-nilai materialisme,
bersekutunya yang duniawi dengan yang ilahiah,
bersimpangsiurnya yang transenden dengan yang

74
imanen, bertumpangtindihnya hasrat rendah dengan
kesucian, sehingga perbedaan di antara keduanya
menjadi kabur.48

Kehidupan spiritual dan keagamaan di era ini akan


dipenuhi dengan kepalsuan-kepalsuan penampilan.
Agama-agama tampak bangkit, tapi yang bangkit adalah
permukaannya, bukan spiritualitas atau makna
terdalamnya. Dengan demikian, agama-agama bahkan
justru menjadi alat untuk dikapitalisasi dan dipolitisasi,
menjadi topeng kekuasaan dan hasrat kaya. Sungguh
mengeringkan.

Spiritualitas semu dan ekspresi keagamaan palsu, yang


kemudian justru membuka jalan kapitalisasi dan politisasi
agama atau bahkan iman dan Tuhan, adalah tantangan
bagi umat manusia dan juga sebenarnya adalah persoalan
bagi agama-agama. Meminjam istilah I Bambang
Sugiharto, inilah sebenarnya salah satu bentuk “berhala
baru” di era posmodern ini.49

Seperti masa-masa sebelumnya, sejak kelahiran agama-


agama dan sejak manusia mengenal Tuhan, pencarian
Tuhan dan spiritualitas akan terus berlanjut dalam kondisi
dan situasi zaman yang bagaimanapun. Ditambah
kehidupan yang semakin rumit, dan membingungkan
sekarang ini, membuat manusia kembali melanjutkan
usaha mencari Tuhan tersebut. Pencarian itu tak pernah
berakhir. Dari dulu hingga sekarang manusia mencari

48 Piliang (2004), op.cit., hlm. 321.


49 I Bambang Sugiharto, “Berhala Baru Agama-agama,” dalam
Sinaga (ed.), op.cit., hlm. 55-62.

75
Tuhan, Sang Misteri itu. Karen Armstrong menulis panjang
lebar bagaimana sejarah pencarian Tuhan oleh umat
manusia sepanjang masa yang selalu bersinggung dengan
konteks zaman dan kebudayaannya.

Dalam pencarian itu, manusia berusaha mengkosepsikan


dan mempersonalkan Sang Maha Kuasa, yang
diproyeksikan melampaui dan mengatasi realitas atau Dia
adalah “Realitas Tertinggi”. Dan sebenarnya, proses
pencarian itu adalah bagian dari kegiatan berbudaya
manusia. Para antropolog mengatakan, agama yang di
dalamnya terdapat penyembahan terhadap Tuhan, adalah
bagian dari kebudayaan.

Sejarah manusia beragama adalah sejarah pencarian


Tuhan. Manusia mencari Tuhan dalam kebutuhannya
untuk mencapai kebahagian hidup. Namun, Sang Maha
Tinggi yang selalu berusaha didekatkan dengan kehidupan
adalah misteri abadi. Para saintis menolak Tuhan karena
pencarian manusia beragama dianggap berujung pada
kesia-siaan. Sebab, kebenaran sains adalah kebenaran
faktual. Sia-sia mencari kebenaran pada sesuatu yang tidak
ada.

Namun, era perdebatan antara nalar dan iman, di abad 18


dan 19, tidak menghasilkan kemenangan mutlak bagi salah
satu pihak: para saintis atau agamawan (teolog). Agama-
agama dan usaha manusia-manusia mencari Tuhan tidak
lenyap. Abad 20 agama-agama justru semakin
berkembang. Reaksi atas pukulan keras dari sains, lahir
fundamentalisme agama (agama). Agama, oleh
sekelompok orang beragama itu, justru semakin diperkuat
dengan doktrin yang direvitalisasi dan didogmatisasi ketat.

76
Tuhan (tetap) ada menurut para fundamentalis. Begitu
juga dengan agama-agama atau umat beragama yang
mainstream. Hasil kerja kerasnya mempertahankan
keberadaan Tuhan menghasilkan bentuk agama yang lebih
moderat. Duel antara iman dan nalar itu memengaruhi
cara tafsir terhadap kitab suci oleh aliran Kristen
mainstream.

Manusia beragama terus mencari Tuhan di tengan


perubahan zaman. Dari era primitif yang kosmosentris, era
abad pertengahan (di eropa) yang teosentris menuju ke era
modern yang antroposentris, manusia terus mencari
Tuhan. Agama-agama terus mengkhotbahkan bahwa
kehidupan ini akan lebih baik jika Tuhan tetap
dipertahankan keberadaannya. Bersamaan dengan itu
materialisme, rasionalisme dan kapitalisme membayang-
bayangi kehidupan masyarakat dunia.

Era industri, katanya sudah berakhir. Sekarang era


teknologi informasi. Bersamaan dengan itu, kapitalisme
semakin berkembang pesat. Dunia semakin mengecil oleh
globalisasi. Di depan mata ada kemiskinan, perang,
ancaman kerusakan lingkungan hidup yang terus
membayangi dan mendestruksi kemanusiaan.

Buku Patricia Aburdene, Megatrends 2010 menyebutkan


tentang kebangkitan spiritualitas di era ini. Di Amerika,
pasca peristiwa runtuhnya gedung WTC 9 September 2001,
orang-orang kembali mencari Tuhan. Aburdene mengutip
Survei Gallup pada 2004 yang menemukan bahwa 90
persen warga Amerika Serikat percaya Tuhan. Sejumlah 60
persen di antaranya bahkan memercayai Tuhan secara
absolut.

77
Kebangkitan dalam bentuk yang tidak jauh berbeda dari
apa yang sudah berkembang sejak akhir abad 19 hingga
abad 20. Manusia semakin ekspresif dalam mencari
Tuhannya. Ibadah-ibadah umat beragama semakin
emosional, dan dalam bentuknya yang lain semakin keras
dan kasar.

Manusia beragama kembali mencari Tuhannya dalam


situasi yang guncang. Kita melihat fenomena ibadah gereja
Kristen yang sangat wah, massal dan umatnya sedang
diarahkan untuk beribadah dan berperilaku secara showbiz.
Tuhan kembali berusaha dihadirkan dalam situasi dunia
yang diguncang oleh krisis ekonomi, perang dan semakin
rusaknya lingkungan hidup. Tampak sedang ada
kebangkitan spiritualitas di awal abad 21 ini. “Pencarian
spiritualitas adalah megatrend terbesar di masa sekarang
ini,” tulis Aburdene.50

Terkini, internet menjadi penghubung dan penunjang


kehidupan komunikasi manusia. Marie Lebert dalam
bukunya, From the Print Media to the Internet (1999)
mengulas perkembangan internet dan dampaknya bagi
kehidupan manusia. Internet, seperti ulasanya itu,
mempengaruhi media cetak yang meliputi percetakan dan
perdagangannya. Menurut Lebert, sejak kemunculan
internet yang menghubungkan komputer-komputer untuk
saling berbagi data, ia semakin terintegrasi dengan

50 Patricia Aburdene, Megatrends 2010: Bangkitnya Kesadaran

Kapitalisme, Tujuh Trend Baru yang akan Mengubah Strategi Kerja, Investasi
dan Gaya Hidup Anda, (Jakarta: Transmedia, 2006), hlm. 5

78
kehidupan masyarakat. Internet membantu manusia antar
peradaban untuk saling berhubungan.51

Facebook menjadi temuan terkini dalam teknologi


informasi. Manusia-manusia dari berbagai latar belakang
agama, ras, status sosial, ideologi bertemu dan berinteraksi
dalam kata, gambar dan video. Sesuatu yang belum pernah
terjadi sebelumnya. Koran sudah ada beberapa abad
lampau. Namun, orang hanya membaca tulisan dan
gambar. Tidak ada interaksi dan dialog. Radio ditemukan
sesudahnya. Radio bisa membuat orang saling berinteraksi
dengan sambungan telepon. Tapi, itu hanya suara. Televisi
dalam perkembangan terkini bisa membuat orang
berinteraksi dengan suara dan gambar. Tapi interaksi itu
tetap terbatas.

Media sosial, semisal Facebook dan Twitter merangkum


semuanya itu dalam kata, suara, gambar dan bahkan
berbicara langsung, bertatapan wajah melalui webcam
dengan fitur telepon video. Namun, Facebook bahkan
sampai kapanpun tak akan mampu mempertemukan
manusia seutuhnya. Sebab, Facebook adalah situs internet,
bukan gedung gereja, mesjid, pasar atau kampus. Individu-
individu yang bertemu di Facebook diwakili oleh huruf-
huruf, gambar dan suara.

Dalam pesan kudusnya untuk memperingati hari


Komunikasi Dunia ke-45 pada 5 Juni 2011, Paus Benediktus
XVI mengatakan, fenomena dan dinamika interaksi antar

51 Marie Lebert, From the Print Media to the Internet, edisi Bahasa

Inggris, (Canada: University of Toronto, 2001), format pdf diundung


dari situs http://www.gutenberg.org/ (Project Gutenberg eBook).

79
pribadi melalui situs jejaring sosial telah memberikan
kontribusi terhadap komunikasi dalam bentuk dialog,
pertukaran, solidaritas dan penciptaan hubungan positif.
Namun, ada pertanyaan reflektif yang diajukan oleh Paus,
“Apakah kita punya waktu untuk merefleksikan secara
kritis pilihan dan membina hubungan manusia yang benar-
benar mendalam dan abadi?”

Paus menegaskan satu hal lagi yang penting, "Penting


untuk diingat jika kontak virtual tidak bisa menggantikan
hubungan langsung antar manusia dalam setiap aras
kehidupan kita."

Dunia menjadi datar dengan alat komunikasi terbaru,


internet. Thomas L. Friedman, mengulas dalam bukunya
The World Is Flat pendataran dunia dengan internet.
Komunikasi, transaksi bisnis, pertukaran pengetahuan,
gaya hidup, budaya terjadi di internet setiap hari. Facebook
adalah sebuah situs yang terbesar di tahun-tahun ini.
Menurut newsroom.fb.com berdasarkan data Desember
tahun 2011, setiap hari 483 juta orang menggunakan
Facebook. Ia telah memengaruhi cara hidup sebagian besar
masyarakat dunia.

“Facebook telah sangat mempengaruhi kehidupan


individu. Ia mengubah cara kita berkomunikasi, cara kita
bekerja, cara kita berteman dan cara kita jatuh cinta,” tulis
Vilie Farah di situs www.helium.com.52

52 Vilie Farah, “Effects Facebook Has Had On Society”, dalam

http://www.helium.com/items/1940499-facebook-and-society-how-
facebook-affects-society-has-facebook-changed-society, (akses 11 Maret
2012).

80
Sebagian besar dari pengguna Facebook adalah orang-
orang beragama. Di Indonesia, sudah pasti para
penggunanya semuanya beragama (lepas dari benar-benar
beragama dalam pengertian agama-agama itu sendiri atau
hanya sebatas identitas sosial). Agama, seperti pada abad-
abad lampau adalah sistem kepercayaan dan juga institusi
yang sangat memengaruhi kehidupan manusia sejagad.
Setelah itu mungkin adalah politik, ilmu pengetahuan,
teknologi dan ideologi. Maka, adalah wajar jika agama juga
hadir di Facebook sebagai media digital.

Setiap hari, jutaan pengguna Facebook di Indonesia


memperbaharui statusnya. Kutipan ayat-ayat kitab suci
atau kalimat yang dikreasi sendiri mencantumkan kata
“Tuhan, “Allah” atau sejenisnya di status mereka. Selain
fenomena rill, misalnya kebaktian-kebaktian, ibadah-
ibadah, penampilan busana dengan simbol-simbol agama,
sinetron-sinetron bertemakan agama, dan kegiatan-
kegiatan keagamaan lainnya yang semakin marak, status-
status para pengguna Facebook yang menyebut kata Tuhan
adalah juga gambaran dari fenomena semakin
meningkatnya usaha manusia menemukan spiritualitas.
Memang pencarian spiritualitas tidak selalu berhubungan
dengan agama sebagai institusi, namun semua ini
menggambarkan sebuah situasi di mana manusia tampak
berusaha menemukan kesadaran spiritualitas yang
berhubungan dengan kenyamanan, kedamaian,
kebahagian dan kesejahteraan diri. Nama Tuhan disebut-
sebut dalam semua kegiatan itu. Benar apa yang dikatakan
oleh Aburdene itu, “Pencarian spiritualitas adalah
megatrend terbesar di masa sekarang ini.”

81
Ekspresi keagamaan dalam bentuk teks status atau catatan,
gambar dan video yang berisikan “Tuhan” sebagai tanda
di Facebook adalah fenomena usaha manusia mencari
Tuhan di era ini. Institusi keagamaan bukan lagi satu-
satunya yang menyediakan ruang pencarian itu. Internet
lebih khusus situs jejaring sosial seperti Facebook telah
menjadi wadah alternatif. Kalau di dunia nyata, Facebook
mungkin bisa dianalogikan seperti tanah lapang: bisa
untuk menjadi pasar, bisa untuk menjadi tempat adu
ayam, bisa juga untuk tempat beragama, dan lain
sebagainya. Namun karena ia di dunia maya, maka
Facebook tidak memungkinkan manusia berjumpa secara
nyata. Jadi, Tuhan di Facebook adalah tuhannya orang-
orang yang tidak nyata, meskipun pribadi-pribadi itu ada
secara nyata di kehidupan mereka masing-masing.
Perjumpaan dan interaksi itu yang tidak nyata, karena
tidak melibatkan kontak fisik dan perasaan.

Tuhan “Realitas Tertinggi” itu pula yang berusaha


dihadirkan dalam status-status Facebook. Dengan
Facebook orang-orang menghadirkan Tuhan itu sebagai
tanda dan citra. Ia merefleksikan bagaimana orang-orang
beragama memahami dan meyakini Tuhannya. Sebagai
ekspresi keagamaan yang dihadirkan di ruang publik,
makna-maknanya mestinya meluas menjadi praksis iman
dalam tindakan-tindakan kemanusiaan agar semua itu
tidak menjadi sebatas ekspresi iman yang semu.

Facebook salah satu situs jejaring sosial yang telah sangat


membantu terintegrasinya masyarakat dunia dalam sebuah
tatanan bersama. George Ritzer, dalam bukunya The
Globalization of Nothing (2006) mengulas realitas globalisasi
dengan implikasi kehampaannya. Manusia-manusia

82
globalis tidak lagi saling berhubungan secara nyata.
Akibatnya, yang dikonsumsi hanyalah “kehampaan”.

Ritzer mengilustrasikan kehampaan itu, antara lain dengan


realitas ini:

Kemanapun mereka pergi di dunia ini, makin banyak


konsumen tidak mungkin menerima banyak pelayanan
dari para pegawai dan, dalam kenyataannya, konsumen
ini mungkin melayani diri mereka sendiri atau
berinteraksi dengan teknologi seperti web Site dari
penjual eceran online, ATM, pompa bensin self-service,
atau stan “speedpass” di jalan tol.53

“Kehampaan” yang dimaksud Ritzer, ”menunjuk pada


sebuah bentuk sosial yang umumnya disusun, dikontrol secara
terpusat, dan termasuk tanpa isi substantive yang berbeda”.54
Kehampaan ini menunjuk pada hubungan “bukan
tempat”, “bukan benda” “bukan barang” dan “bukan
pelayanan”.

Mengenai hubungan antara globalisasi dan internet,


menurut Ritzer, internet bahkan adalah sebuah fenomena
dan sebuah contoh yang baik sekali dari proses globalisasi.
Terutama adalah situs-situs yang mengarahkan orang
untuk melakukan konsumsi dalam skala besar. Dan ini
sangat terkait pula dengan kapitalisme.55

53 George Ritzer, The Globalization of Nothing: Mengkonsumsi

Kehampaan di Era Globalisasi, alih bahasa Lucinda, (YogyakartaL


Universitas Atma Jaya, 2006), hlm. 2.
54 Ibid., hlm. 3.
55 Ibid., hlm. 180.

83
Yasraf Amir Piliang menyebut ‘kehampaan” itu dengan
“posrealitas.” Dunia posrealitas, menurut Piliang adalah,
“dunia yang di dalamnya antara realitas, realitas palsu,
dan realitas artificial (dalam media, produk) tumpang
tindih sehingga batas antara keduanya menjadi kabur.”56

Globalisasi yang ditandai dengan semakin


berkembangannya teknologi informasi mengarahkan
manusia-manusia beragama merepresentasikan pencarian
Tuhannya dengan tanda-tanda digital. Kata-kata dan
kalimat-kalimat dalam status Facebook adalah tanda dari
sebuah makna. Apakah itu tanda dari “iman”,
“spiritualitas” atau “kesalehan”, tidak terlalu jelas.
Mungkin jelasnya, kata-kata “Tuhan, “Allah” dan
sejenisnya adalah tanda dari sebuah dinamika, proses atau
situasi keagamaan, kerohanian dan spiritualitas yang
sedang berubah. Mungkin ini juga tanda dari sebuah
pencarian oase di tengah pergerakan zaman yang semakin
rumit, membingungkan yang kerap membuat orang
frustrasi.

Facebook – sebagai bagian dari apa yang Piliang sebut


“mesin-mesin realitas” – menjadi media bagi manusia-
manusia beragama di era ini untuk menampilkan citra
keberagamaannya. Facebook menjadi media untuk
mensimulasi usaha pencarian Tuhan, yang karena ia
adalah simulasi maka tidaklah sedang menampilkan
realitas sesungguhnya. Tuhan dalam Facebook seolah-
seolah sedang menunjukkan realitas semakin religiusnya
manusia-manusia di era ini. Namun sesungguhnya ia

56 Yasraf Amir Piliang, Hantu-hantu Politik dan Matinya Sosial,


(Solo: Tiga Serangkai, 2003), hlm. 153.

84
adalah kesemuan bukan realitas itu sendiri. Tuhan
dihadirkan secara spontan dalam kalimat-kalimat pendek
dan sesuai selera serta keinginan. Entah Tuhan “Yang
Maka Kuasa” dalam arti sebagai penghayatan
sesungguhnya atas adanya kuasa yang mengatasi semua
kemampuan manusia, atau Tuhan bikinan sendiri, itu
semua menjadi kabur dalam Facebook.

Secara positif kita bisa mengajukan pertanyaan: atau


apakah ini bagian dari sebuah proses menuju sebuah
konsep bersama tentang Tuhan di era global ini? Pada hal
ini agama-agama dan umatnya ditantang untuk
melampaui tanda-tanda itu menjadi tindakan nyata
bersama.

Secara negatif, Facebook sepertinya sedang menampilkan


sebuah posrealitas. Setiap saat kiriman para pengguna
Facebook diperbaharui dan dengan cepat dia menyebar ke
seluruh pelosok. Orang-orang sudah sangat gampang
membaca dan menyimak kiriman-kiriman itu. Temuan
terkini, seperti blackberry, ipad dan tablet memudahkan
orang-orang untuk mengakses tanda-tanda digital yang
dikirim dan disebarkan tersebut. Dunia keagamaan yang
semu sedang membentuk dan mempengaruhi persepsi dan
bisa saja kesadaran masyarakat kita. Manusia sedang
mencari Tuhan dalam kesemuan. Inilah fenomena
keagamaan terkini.

Media digital adalah media virtual. Di mana kesemuan-


kesemuan ditayangkan. Citra-citra konstruksi imajinasi
yang dipicu oleh kegelisahaan jiwa, kebuntuan nalar atas
realitas yang semakin kabur menyebar secara massal dan

85
cepat. Orang-orang yang tercabut dari realitas menemukan
kepuasaan ketika berselancar di dunia digital ini.

Inilah situasi krisi di masa transisi ini.

Bukan orang-orang beragama yang salah atau mengalami


kekeliruan moral. Mereka hanya terjebak pada satu sistem
yang memberi ruang bagi individu dan komunitas yang
beragam ini untuk tampil mengekspresikan diri, meskipun
yang ditampilkan bukan realitas itu sendiri.

Sepintas memang tampak pluralisasi di dalamnya. Tapi


sesungguhnya sistem itu sedang menyeragamkan individu
dan komunitas-komunitas yang berbeda, yaitu menjadi
“manusia global” yang terhubung dan terkonstruksi oleh
sistem itu. Menjadi “manusia global” adalah menjadi
manusia yang terseragamkan. Mungkin juga, Tuhan yang
dihadirkan dalam tanda-tanda atau bahasa global itu
sedang dikonsepsikan menuju adanya “Tuhan Global”.
Kalau ini yang sesungguhnya sedang terjadi, maka agama-
agama konvesional perlu berbenah diri. Perlu melakukan
refleksi mendalam mengenai apa yang selama ini ia
ajarkan tentang Tuhan, surga, neraka, keselamatan dan
makna persekutuan atau institusinya. Era transisi ini
menantang agama-agama, apakah tetap dengan caranya
yang lama bertahan di dalam tembok-tembok orthodoksi
agama atau mau keluar menjumpai yang lain dalam
suasana yang dialogis, pertama-tama untuk mengatasi
krisis ke dalam, dan berikut krisis bersama, yaitu krisis
kemanusiaan dan krisis ekologi.

Institusi politik, sosial, budaya, agama, ilmu pengetahuan,


dan sudah tentu agama, kini seolah semakin plural karena

86
masing-masing berlomba menunjukkan diri. Namun, di
dunia digital agama-agama ini sebenarnya sedang
dimekanisasi menjadi mesin-mesin hasrat. Agama-agama
sedang ditantang, sebagai institusi yang memproklamirkan
diri sebagai yang paling punya kompetensi untuk
menyuarakan “suara” Tuhan “Yang Maha Kuasa” yang
bertakhta di langit sana. Visinya adalah pemulihan
martabat manusia sebagai makhluk yang memiliki
kesatuan dengan kosmik, alam dan Tuhan yang disembah
dengan beragam nama itu.

Namun, sekarang institusi agama-agama itu (selain karena


pengalaman ‘dosa’-nya mendestruksi martabat manusia itu
sendiri dengan memenjarakan manusia dalam dogma-
dogma dan tradisi yang ketat) sementara ditantang oleh
kebebasan, produk modernitas yang masih berlanjut
hingga kini. Kebebasan itu juga diakibatkan oleh media
ekspresi yang semakin beragam dan terbuka sebagai gejala
posmodern.

Salah satu nilai dasar agama, yaitu pembebasan dan


kebebasan yang “gagal” itu karena seperti disebutkan di
atas, sedang dikritik atau ditinggalkan dengan alasan yang
sama juga, yaitu “kebebasan.” Manusia-manusia beragama
di era ini tidak lagi mau tinggal diam di institusi
agamanya, tidak mau lagi hanya dengan satu model,
doktrin dan tradisi. Manusia-manusia beragama sedang
keluar dari “rumah” mencari “rumah-rumah singga”,
“hotel-hotel” atau ruang-ruang ekspresi hasrat kerohanian
lainnya. Bisa jadi, media yang berbasis teknologi digital
sedang mendorong agama-agama mau tidak mau, suka
tidak suka untuk membuka diri.

87
Abdul Munir Mulkhan, guru besar UIN Sunan Kalijaga,
Yogayakarta, bahkan mensinyalir akibat ketidakmampuan
agama-agama untuk berpihak kepada kemanusiaan atau
keberadaannya yang terasing dari dunia obyektif dan
kesadaran hidup warga masyarakat dan umatnya sendiri
akan menyebabkan kemunculan “agama baru.”
Kebangkitan spiritualitas dan keagamaan baru akan
menjadi tantangan serius bari bagi tradisi dan ritual
agama-agama konvesional tersebut.57

Ada sebuah perubahan, baik dalam gaya hidup maupun


orientasi beragama di era ini. Agama-agama mainstream
yang institusional, birokratis, politis dan dogmatis, yang
selama ini telah “memenjara” umatnya dalam iming-iming
surga dan menakut-nakuti mereka dengan neraka, atau
iming-iming kebahagian dan kesejahteraan, sedang
mendapat perlawanan dari umatnya yang semakin
bergantung pada teknologi. Bentuk perlawanan itu adalah
dengan keluar atau tidak mau taat lagi pada institusi.
Agama-agama ini perlahan-lahan sedang ditinggalkan oleh
umatnya. Mereka sedang mencari kebebasan berekspresi,
meluapkan ekspresi rohani di ruang-ruang yang
menyediakan itu.

Facebook hadir di situasi ini. Sebagai anggota di agama-


agama itu, manusia-manusia pengguna Facebook ini
hanyalah sebatas umat atau mungkin elit institusi agama.
Mereka ini bukan sebagai pemilik institusi agama.
Akhirnya, ekspresi keagamaan mereka dibatasi oleh
institusinya sendiri. Sebagai umat, mereka tidak memiliki

57 Abdul Munir Mulkhan, Satu Tuhan Seribu Tafsir, (Yogyakarta:


Kanisius, 2007), hlm. 122-130.

88
kebebasan yang lebih untuk mengekspresikan
kerohaniaanya secara bebas dan mandiri. Sebagai elit
orang-orang itu justru adalah penjaga orthodoksi
agamanya. Ritual agama-agama kaku dan terkendali.
Ketika Facebook sebagai buah dari perkembangan
teknologi informasi, orang-orang beragama menemukan
media alternatif untuk mengekspresikan kerohanian yang
memang sedang membutuhkan saluran atau wadah
ekspresi.

Kebebasan yang tidak dikontrol lagi oleh institusi


menemukan tempatnya di media yang memberi ruang
uploading hampir tanpa batas. Di media ini, orang bisa
bebas apa saja: mengupload tulisan, foto, video atau
gambar. Namun mereka terjebak pula pada media yang
membutuhkan sangat banyak materi. Sementara orang-
orang ini sibuk dengan kehidupan ekonomi dan politiknya
sehingga tak punya cukup waktu untuk mencari dan
menemukan materi yang benar-benar faktual yang didapat
dari realitas. Jadinya, materi yang di-upload tidak cukup.
Pada situasi yang bersamaan, Facebook sudah membawa
orang-orang ini pada sebuah alam yang menghanyutkan.

Jadinya, materi apa yang akan disebarkan, ditayangkan


dan dicitrakan? Jawabanya adalah, materi yang diproduksi
dari imajinasi. Imajinasi adalah kemampuan yang hampir
tidak terbatas. Maka, materi-materi yang ditulis dan
ditayangkan di status-status Facebook setiap hari, apalagi
yang berbau keagamaan adalah hasil dari imajinasi.58

58 “Imajinasi” yang akan saya gunakan di sini lebih menunjuk

pada sebuah rekayasa teks dan wacana yang terutama untuk


“mengelabui” tentang apa yang sejatinya terjadi dalam realitas.

89
Hudjolly dalam bukunya Imagologi: Strategi Rekayasa Teks
(2011) mengulas mengenai fenomena keagamaan di era ini
dalam persinggungannya dengan apa yang dia sebut
“teknologi layar”. Teknologi ini menurut Hudjolly dalam
kenyataannya telah berpengaruh pada perubahan budaya
dan perilaku. Hal ini terutama ketika teknologi layar
mengemas dan menyajikan kebudayaan, gaya hidup,
pengetahuan, informasi, dan kegiatan keagamaan.
“Teknologi layar mengemas semua fenomena kehidupan
menjadi serpihan-serpihan diafragma layar,” tulis
Hudjolly.59

Mengutip Marshal Mc Luhan yang membahas media


dalam bukunya Understanding Media: The Extension of Man
(1967), Hudjolly melanjutkan pembahasannya dengan
mengatakan, pada fungsinya yang pertama, layar
diperuntukkan sebagai perantara untuk menyampaikan
pesan. Tapi, ia kemudian berubah menjadi tujuan.60 Dalam
perubahan ini, layar kemudian menjadi media untuk
merekonstruksi dan menampilkan realitas sebatas tanda

Imajinasi tidak selalu berarti negatif. Para seniman dan sastrawan


berimajinasi untuk menghasilkan keindahan. Para nabi, rasul, resi, sufi
dan para pendiri agama lainnya, pada banyak hal juga menggunakan
daya imajinasi untuk memproyeksikan sebuah ideal moral yang baik,
benar dan mampu membawa manusia pada kebaikan.
59 Hudjolly, Imagologi: Strategi Rekayasa Teks, (Yogyakarta: Ar-

Ruzz Media, 2011), hlm. 19. Teknologi layar yang dimaksud oleh
Hudjolly menunjuk pada layar yang paling sederhana sampai yang
paling canggih, misalnya: lembaran pamflet, buletin, spanduk, surat
kabar, billboard di tepi jalan, digital handphone (PDA, virtuephone,
smartphone, atau PC tablet), komputer, laptop, internet, videotron, dan
lain-lain.
60 Ibid., hlm. 20.

90
yang bukan realitas itu sendiri. Realitas terwakilkan oleh
“(pen)citra(an)”.

Dalam fenomena sosial keagamaan, menurut Hudjolly,


muncul “fenomena imagologis”. Hudjolly menjelaskannya
demikian:

Khusus untuk fenomena sosial keagamaan, akibat


reduksi kenyataan hanya menjadi “hitam” atau “putih”
fenomena sosial keagamaan di dalam medium telah
mulai berbalik arah menjadi boomerang bagi agama.
Fenomena imagologis keagamaan menyebabkan
kematian agama, akibat proses pe-medium-an yang
mengkonstruksi wujud utuh keagamaan dari reaitas
faktual agama (aktivitas keagamaan) menjadi tampilan-
tampilan layar agamis semata.”

Istilah “imagologis” menunjuk pada “citra” yang


dihasilkan dari proses interaksi manusia dengan teknologi
layar. Dalam hal keagamaan, teknologi layar kemudian
dipakai untuk menampilkan “citra” keagamaan, apakah itu
gambar, tulisan, atau video yang tentu itu semua tidak
mampu menampilkan wujud, realitas atau makna yang
sebenarnya.

Di Facebook, sehari-sehari orang-orang beragama atau juga


komunitas dan institusi keagamaan (misalnya melalui fitur
grup) menampilkan dan memperbaharui kiriman-
kirimannya. Kutipan-kutipan ayat, kalimat-kalimat doa
dan dokrin, atau juga kegiatan keagamaan ditampilkan di
media ini. Waktu menulis dan membacanya, orang
berhadapan dengan teknologi layar. Tanpa perjumpaan

91
langsung yang dialogis antara si penyampai dan penerima
pesan.

Kiriman-kiriman “rohani” di Facebook itu adalah


“imagologi” atau “(pen)citra(an)” diri yang tidak
sepenuhnya menyatakan realitas keagamaan. Facebook
memungkinkan orang-orang beragama untuk hanya
menunjukkan “tanda” spiritualitas. Hal ini juga bukan
ekspresi keagamaan, sebab ia tidak lagi sakral dan mistis.

Orang-orang sejatinya tidak sedang menyampaikan


tentang Tuhan “Yang Maha Kuasa” itu. Tuhan di Facebook
adalah persona dari “Yang Maha Kuasa” itu, sehingga ia
hanyalah tanda. Sepanjang itu adalah bagian proses
pencarian dan usaha mengenal Tuhan (yang
sesungguhnya), sebenarnya tidak masalah. Dalam sejarah
pencarian Tuhan, manusia-manusia beragama sepanjang
masa telah “mencitrakan” “Yang Maha Kuasa” itu
menurut bahasa dan media kebudayaannya. Citra tentang
“Yang Maha Kuasa” itu – sebagai usaha personifikasi –
selalu berkaitan dengan pijakan kebudayaan agama-agama
tersebut. Namun hal yang perlu diwaspadai adalah ketika
tanda-tanda itu hanyalah kamuflase keagamaan. Jika itu
yang terjadi, maka kesadaran baru perlu dikembangkan,
yaitu bagaimana tanda-tanda itu ditanggapi secara arif
sebagai panggilan untuk solidaritas kemanusiaan.

Tuhan yang dipersonifikasi di teknologi layar (yang


menggunakan sistem digital) adalah representasi dari
sebuah usaha pencarian Tuhan di era di mana agama-
agama yang memenjarakan manusia dalam tembok-
tembok orthodoksi konstruksi masa lalu mulai mengalami
keruntuhan. Ada kesan bahwa Tuhan dan manusia yang

92
menyembahnya sedang terpenjara dalam sistem digital
yang memproduksi imajinasi. Namun, sebenarnya Tuhan
“Yang Maha Kuasa” itu memang selalu berusaha
dihadirkan oleh manusia dalam media dan persona yang
beragam. Persoalan sebenarnya ada pada manusia dan
agamanya, yaitu sampai kapan si manusia dan agamanya
(mau) terpenjara dalam situasi itu?

Situasi ini berbahaya bagi manusia dan agamanya. Bahwa


hasil dari reproduksi “citra” kehidupan keagamaan ini
menghasilkan kesenjangan antara spirit dan nilai-nilai
dasar agama-agama dengan realitas. Dalam situasi krisis
ini, agama-agama sedang berada dalam ketegangan: antara
kesemuan dan kehilangan daya gerak pembebasan dengan
panggilan pembebasan yang dasariah pada dirinya.
Bagaimana agama-agama ini melewati masa krisis ini tentu
sangat ditentukan oleh keterbukaannya untuk
merefleksikan secara mendalam persoalan konteks.

Dengan demikian, perkembangan teknologi informasi


tidaklah perlu disikap secara hitam-putih. Agama-agama
sepanjang sejarahnya selalu berada dalam konteks ruang
dan waktu. Konteks kini, setidaknya berkisar pada tiga
persoalan yang harus diwaspadai oleh agama-agama
dalam dia menghadirkan kesadaran Ilahi: Pertama,
destruksi terhadap kemanusiaan oleh kendali kekuasaan
ekonomi dan politik misalnya kapitalisme telah membawa
manusia pada keterasingan diri. Diri sendiri, bahkan tidak
lagi dikenal oleh karena mesin-mesin hasrat telah
memekanisasi spiritualitas keagamaan dan sosial menjadi
kesenangan demi kepuasaan sesaat dengan gaya hidup
yang serba gemerlap, serta pemburuan pada materi-materi
yang sedap dipandang, dirasa dan didicipi.

93
Kedua, kegagalan institusi-institusi agama dalam usaha
mengendalikan hasrat-hasrat rendah menjadi pencarian
spiritualitas yang berkualitas tinggi, yaitu kesadaran pada
hakekat kemanusiaan yang memanusiakan. Tafsir
terhadap kitab suci kadang hanya menghasilkan dogma-
dogma yang tidak menyentuh persoalan kekinian manusia.
Orthodoksi dogma agama pada banyak hal justru hanya
melestarikan kekuasaan agama memenjara manusia pada
mimpi-mimpi semu mengenai kehidupan yang akan
datang sementara kehidupan kekinian dalam keadaan
darurat akibat kekuasaan materialisme tidak banyak
diperhatikan. Situasi ini justru membuka jalan bagi
umatnya untuk mencari ruang-ruang ekspresi baru, yang
sebenarnya bukan benar-benar ekspresi keagamaan.

Ketiga, sistem dan perangkat-perangkat teknologi digital


memiliki kemampuan mengeksploitasi daya imajinasi
manusia yang tanpa batas itu dengan kemudahan dan
kecepatan yang disediakan dan selalu disempurnakannya.
Kekuatan uploading situs jejaring sosial, misalnya
mengantar manusia pada kesenangan yang tak terkendali,
ibarat libido yang sedang dilepaskan dalam sebuah
mastrubasi hasrat. Citra dan imagologi yang dihasilkannya
membawa dia mengalami ekstase, yaitu keadaan yang
merasa diri bebas, senang dan keriangan yang tiada tara.

Masalah-masalah ini sebetulnya ada pada manusia bukan


pada Tuhan “Yang Maha Kuasa.” Tuhan itu tak terhingga.
Karena “Ketakterhinggaannya” itulah, maka manusia
selalu berusaha mencarinya sepanjang masa. Usaha
pencarian itu selalu berkenaan dengan konteks ruang dan
waktu. Karen Armstrong membahas hal itu dalam

94
bukunya The History of God (1993). Armstrong mengatakan
di bagian awal bukunya, “Gagasan manusia tentang Tuhan
memiliki sejarah, karena gagasan itu mempunya arti yang
sedikit berbeda bagi setiap kelompok manusia yang
menggunakannya di berbagai periode tertentu.”61

Menurut Armstrong, gagasan tentang Tuhan ini pada


dasarnya terus mengalami perubahan makna. Buku John
Hick God Has Many Names (1980), juga dalam pemahaman
yang serupa. Sepanjang sejarahnya, manusia beragama
selalu berusaha mengenal Tuhan dalam konteks ruang dan
waktunya. “…Keyakinan keagamaan bukanlah suatu
aspek yang terisolasi dari kehidupan kita tetapi terkait erat
dengan sejarah dan budaya manusia yang pada gilirannya
berkaitan dengan kondisi geografis, iklim dan ekonomi.”
Karena itulah sehingga Tuhan “Yang Satu” itu ditanggapi
secara berbeda-beda yang menghasilkan pluralitas agama
sebagai bentuk respon terhadap Tuhan “Yang Satu” itu.62

Di era ini manusia beragama mencari Tuhan di media yang


kini dekat denganya, yaitu Facebook. Manusia-manusia
beragama yang terus mencari Tuhan kini berada di era
digital cultures yang semakin mengglobal. Sebuah
perubahan sedang terjadi. Apakah perubahan ini bisa
dikatakan bagian dari revolusi kebudayaan umat manusia?
Bisa muncul tanggapan yang berbeda-beda. Tapi satu yang
pasti, perubahan sedang terjadi dalam semua aspek hidup

61 Karen Armstrong, Sejarah Tuhan: Kisah Pencarian Tuhan yang

Dilakukan Orang-orang Yahudi, Kristen, dan Islam selama 4.000 tahun,


(Bandung: Mizan, 2004), hlm. 21.
62 John Hick, Tuhan Punya Banyak Nama, terj. Amin Ma’ruf dan

Taufik Aminuddin, (Yogyakarta: Dian/Interfidei, 2006), hlm. 54.

95
umat manusia dan membutuhkan kecerdasan manusia
pula untuk mengatasinya.

S.N. Eisenstadt, dalam bukunya Revolution and


Transformation yang terbit pertama kali tahun 1978,
mengkaji perubahan-perubahan yang mengakibatkan
tranformasi masyarakat. Eisenstadt menuliskan,

Revolusi terjadi karena berbagai anomali (pergeseran)


sosial atau ketimpangan yang sangat fundamental –
terutama perjuangan antar elit: perpaduan pergolakan
tersebut dengan sebuah kekuatan sosial, maupun konflik
golongan yang lebih dalam dan menyebar luar seperti
konflik kelas; dan dislokasi serta mobilisasi sosial juga
organisasi-organisasi politik dari berbagai kelompok
sosial yang lebih besar (khususnya yang baru muncul).63

Meski definisi Eisenstadt tidak seluruhnya tepat digunakan


dalam memahami perubahan sekarang ini, namun
beberapa hal yag dia sebut itu relevan dalam memahami
konteks kontemporer. Sebuah perubahan dan mobilisasi
sosial secara massal melalui new media sedang terjadi
sekarang ini. Perubahan ini ditanggapi beragam oleh para
pemikir dan pengamat, intelektual dan elit keagamaan atau
siapapun yang memikirkan masa depan hidupnya. Ada
yang menanggapi secara kritis, berhati-hati, tapi ada pula
yang berusaha menemukan peluang untuk apa yang apa
yang sudah hampir klise disebut yaitu ‘kemajuan’.

Budaya digital dan globalisasi adalah sebuah keniscayaan.


Ia akan menjadi bagian dari masa depan manusia. Namun

63S.N. Eisenstadt, Revolusi dan Tranfosrmasi Masyarakat, terj.


Chandra Johan, (Jakarta: Rajawali, 1986), hlm. 3.

96
di sisinya yang lain kita diperhadapkan dengan berbagai
persoalan karena perubahan itu. Uraian-uraian saya di atas
mengambarkan persoalan krusial, yaitu bahaya-bahaya
atau dampak budaya digital dan globalisasi bagi manusia
dalam dia memahami hal kemanusiaan, ketuhanan, dan
kehidupan bersama.

Kritik-kritik terhadap bahaya-bahaya budaya digital dan


globalisasi benar adanya. Ketika realitas hanya ditampilkan
dengan tanda-tanda, dalam hal ini kalimat-kalimat pendek,
gambar atau video, maka realitas menjadi kabur. Semakin
sulit membedakan mana keberdosaan mana kesucian;
mana yang bermoral dan mana yang tidak bermoral; mana
Tuhan “Yang Maha Kuasa” dan mana Tuhan yang sudah
disekularisasi. Manusia yang menampilkan diri melalui
teknologi layar atau perjumpaan semu di dunia virtual
sedang mengantar dia kepada alam lain, alam imajinasi.

Namun, saya akan mengambil langkah berbeda dalam


menanggapi persoalan ini. Memang benar, sedang terjadi
digitalisasi kemanusiaan, sekularisasi Tuhan atau
imagologisasi keimanan di ruang-ruang datar produk
teknologi. Tetapi, saya memahami ini sebagai sebuah masa
transisi menuju ke era yang baru. Seperti ketika manusia-
manusia beragama dan agama-agama melewati masa-masa
transisi dalam sejarah revolusi atau reformasi peradaban di
abad-abad lampau. Selalu saja ada tranformasi yang
dihasilkan.

Misalnya, pada era awal modernitas dengan rasionalisme,


sekularisme dan materialismenya. Era ini memang
mendestruksi beberapa hal “baik” dalam masyarakat,
namun juga tanpa disadari, dan bahkan ada yang bukan

97
dari modernitas itu sendiri kemudian melahirkan hal-hal
baik lainnya bagi kehidupan beragama di masyarakat.

Dalam kasus agama Kristen di Amerika, modernitas yang


sedang menguat di awal abad 20 kemudian memunculkan
reaksi dari sekelompok orang dalam agama Kristen berupa
penguatan kembali apa yang dianggap dan dirumuskan
sebagai hal-hal yang mereka sebut yang “fundamental”
dalam agama Kristen. Namun, para teolog Protestan di
Jerman, misalnya malah mengambil kekuatan kritik yang
ditawarkan oleh ilmu pengetahuan modern sehingga
kemudian mengembangkan metode hermeneutik historis
kritis dalam menelaah teks Alkitab.

Di agama Islam, modernitas yang kemudian disamakan


dengan westernisasi karena terjadi bersamaan dengan
kolonialisme bangsa-bangsa Barat, juga memunculkan
tanggapan yang beragam. Gejala fundamentalisme di
beberapa kelompok Islam adalah juga reaksi terhadap
modernitas dan kolonialisme. Namun, pemikiran-
pemikiran progresif yang muncul dari beberapa pemikir
Islam juga karena persinggungannya dengan modernitas,
setidaknya juga sebagai reaksi untuk memperkuat
intelektualitas Islam.

Artinya, dalam sebuah masa transisi, orang-orang


beragama akan selalu berusaha untuk mentranformasi diri,
entah itu sesuatu yang positif, misalnya semakin terbuka
dan progresif atau justru menjadi semakin eksklusif dan
status quo. Tentu, kita berharap masa ini akan
menghasilkan sesuatu yang positif untuk masa depan.

98
Dengan demikian, daripada menghabiskan energi
menentang sesuatu yang memang akan menjadi sebuah
keniscayaan (dalam arti sebuah proses yang tidak bisa
dielakan lagi), bukankah lebih baik yang dilakukan adalah
dengan menanggapinya secara kritis dan konstruktif. Hal-
hal yang perlu ditanggapi secara kritis adalah dampak-
dampak buruk yang diakibatkan oleh kekuatan-kekuatan
yang menyusup dalam proses itu. Sementara karena ia
adalah proses, maka pemikiran-pemikiran kritis atas
proses itu mestinya menghasilkan sebuah pengetahuan
yang baik dan benar untuk proses selanjutnya.

Dengan demikian, saya memahami bahwa cara, bentuk


dan pola keagamaan orang-orang beragama di era ini
adalah juga bagian dari usaha pencarian spiritualitas dan
usaha untuk meneruskan pengenalan terhadap Tuhan
“Yang Maka Kuasa” itu. Seperti yang sudah saya katakan
sebelumnya, masyarakat kita sesungguhnya berada di
sebuah masa transisi. Puluhan atau ratusan ke depan,
generasi kita memang benar-benar sudah hidup secara
akrab bersama perangkat-perangkat digital. Sudah hal
lumrah, masa peralihan akan mendestruksi beberapa
tatanan yang telah dipercayai menjadi penopang
kehidupan bersama.

Dengan demikian saya optimis, bahwa perubahan ini akan


menghasilkan sebuah transformasi mendasar dalam
kehidupan keagamaan ke depan. Seperti juga masa-masa
sebelumnya, di Eropa atau beberapa peradaban yang lain.
Akan selalu muncul pemikiran-pemikiran alternatif
sebagai penyeimbang atau yang berusaha
mengembangkan cara, pola dan pemikiran keagamaan
yang baru. Setiap massa selalu memunculkan pemikiran

99
keagamaan yang dihasilkan menjawab perubahan-
perubahan tersebut. Kadang-kadang juga, secara tidak
sadar situasilah yang berperan dalam perubahan itu.

Kini kita menyaksikan sebuah fenomena keagamaan di


masa transisi yang menampilkan Tuhan hasil dari sebuah
pencitraan, imagologi kehidupan keagamaan, narsisme
beragama atau kesenjangan antara ideal nilai-nilai agama
dengan realitas. Itu terjadi bersamaan dengan usaha orang-
orang beragama kembali mencari, mencitrakan dan
memaknai Tuhan. Ini sebetulnya sebuah “kegoncangan”
yang sedang dialami oleh orang-orang beragama di era
transisi ini yang mesti direspon dengan pemikiran kritis
dan tranformatif.

100
Bab 4
Tuhan Global dan Pluralisme Agama
Bagi Masa Depan

Tuhan “Yang Diharapkan Bersama”


Masa transisi ini pasti akan menghasilkan sesuatu yang
diharapkan bersama oleh semua umat manusia. Terutama
di wilayah kehidupan agama. Manusia, makhluk cerdas
yang selalu mentranformasi realitas dan bertransformasi
diri dalam ruang dan waktu kehidupannya. Pencarian
spiritualitas dan Tuhan akan juga mengalami tranformasi.

Sejarah telah menunjukkan, bahwa gagasan tentang


adanya Tuhan selalu mendapat tantangan. Ini akan terjadi
pula di masa ini dan akan datang. Secara cerdas orang-
orang beragama mestinya akan menanggapi tantangan-
tantangan sebagai bagian dari pergulatan iman. Masa
lampau sejarah kehidupan manusia memperlihatkan
dengan gamblang dinamika itu. Gagasan tentang Tuhan
dan institusi yang melembagakan dan menjaga
kelestariannya, serta umatnya tetap ada. Jangan-jangan
justru karena usaha “membunuh” dan “meninggalkan”
Tuhan dalam bentuk kejahatan kemanusiaan akibat
keserakahan manusia itu sendiri malah membuat orang-
orang beragama makin kuat mempercayai dan menjaga
keimanannya kepada Tuhan itu.

Paling tidak, kalau kita mau berefleksi, materialisme,


rasionalisme dan perkembangan teknologi informasi yang
menyediakan ruang pelepasan imajinasi, apapun itu tidak
akan pernah mampu memenuhi apa yang menjadi

101
kebutuhan dasar manusia yang lahir dari yang paradoks
pada manusia itu sendiri, yaitu kebutuhan pada kepuasaan
rohani di kekinian dan harapan selamat pada keakanan, di
sini dan kini. Mesin-mesin hasrat hanya mampu memenuhi
kesementaraan manusia, demikian juga dengan media-
media digital yang hanya mampu memenuhi fantasi dan
imajinasi-imajinasi sesaat.

Manusia adalah makhluk yang paradoks. Nicolaus


Driyarkara (13 Juni 1913-11 Februari 1967)64, menuliskan
dalam sebuah catatanya, manusia itu adalah ”apa”
(tubuh/materia) sekaligus ”siapa” (jiwa/roh). Manusia itu
”apa dan siapa”, katanya. Keduanya menyatu dalam diri
manusia. Namun, antara ”apa” dan ”siapa” ini saling
bertentangan, beroposisi. ”Oleh sebab itu, diri manusia
merupakan pusat pertarungan.....Karena kedua prinsip itu
berlawanan, maka manusia mengandung oposisi-oposisi
dalam dirinya. Inilah paradoks yang pertama dan
terdalam: ia adalah kesatuan, betul-betul, kesatuan dari
dua prinsip yang berlawanan itu,” demikian tulis
Driyarkara dalam sebuah catatannya.65

Kalau kita sepakat roh itu yang kekal, karena dia suci
adanya, maka roh inilah yang sebenarnya menuntun
manusia melakukan kebaikan-kebaikan. Sementara tubuh,
daging yang fana, penuh dengan hasrat-hasrat untuk
dipuaskan. Justru karena tubuh tidak akan pernah

64 Nama pemikir ini diabadikan pada sekolah tinggi filsafat di

Jakarta, yaitu STF Diryarkara.


65 A. Sudiarja, dkk (peny.), Karya Lengkap Driyarkara: Esai-esai

Filsafat Pemikir yang Terlibat Penuh dalam Perjuangan Bangsanya, (Jakarta:


Gramedia Pustaka Utama, 2006).

102
sempurna, maka selalu saja muncul usaha memuaskan diri.
Kepuasan hasrat jasmaniah: kaya, berkuasa, populer.

Diri manusia yang paradoks inilah yang membentuk


kebudayaan dalam pengertiaanya yang luas, yaitu: sistem,
ideologi dan teknologi. Ia di satu pihak telah mendestruksi
kemanusiaan dan alam. Tapi juga, keadilan, kebaikan,
kemanusiaan, kesetaraan adalah juga produk kebudayaan
yang besumber dari nurani66 manusia untuk hidup damai.
Kalau demikian, ”roh”lah yang membimbing manusia
untuk selalu berusaha melakukan yang baik, benar. Tapi,
dia harus beroposisi terus menerus dengan ”materia” atau
”tubuh” yang selalu bersama denganya. Maka,
sebagaimana diri manusia yang paradoks, demikian juga
dengan kebudayaan.

Manusia terus menerus berada dalam ketegangan itu.


Sehingga, tak heran jika usaha dari para pendiri atau yang
menginspirasi berdirinya agama, seperti antara lain
Sidharta Gautama, Konghucu, Yesus, Muhammad,
berusaha merefleksikan sedalam-dalamnya mengenai
manusia yang paradoks itu dalam terang surga atau
nirwana (pemadaman nafsu)67, sebagai yang kekal. Apakah

66 Dalam bahasa Inggris, kata “hati nurani” disebut


“conscience” yang biasa diartikan:’ perasaan benar dan salah: perasaan
internal tentang apa yang benar dan apa yang salah, bahwa pikiran
mengatur seseorang dan tindakan, mendorong dia untuk melakukan
yang benar daripada yang salah. Juga bisa diatikan sebagai kesadaran
mora atau sosial. Kata ini diambil dari kata Latin “conscientia” yang
berarti "kesadaran," dari kata “conscire" artinya “untuk menjadi sadar."
Akar katanya “scire” yang juga akar kata dari kata “science” (untuk
mengetahui).
67 Meskipun sebenarnya antara apa yang dipahami agama-

agama monoteis sebagai surga tidak bisa disamakan dengan apa yang

103
asal roh yang baik itu dari surga atau yang suci itu?
Begitulah agama-agama memercayaianya. Agama-agama
primitif juga berhadapan dengan persoalan bagaimana
mendamaikan manusia dalam hubungannya dengan ”Sang
Maha Kuasa” dan alam. Gagasan-gagasan modern, juga
bicara soal kebaikan-kebaikan yang sudah pasti intisari
dari nilai-nilai agama dan budaya, seperti kesetaraan,
persaudaraan, keadilan, kemerdekaan dan hidup yang
lestari bersama alam.

Sementara hedonisme, konsumerisme serta kepalsuan-


kepalsuan dalam wacana dan dalam segala tanda justru
akan dilawan oleh manusia yang sama dengan keinginan
terus menerus mencari yang sejati, yang suci, yang bersih
demi harapan pada kehidupan yang akan datang. Gagasan
tentang Tuhan sepanjang masa, dari dahulu, sekarang dan
akan datang tetap bertumpuh pada pergulatan manusia
mengenai kekotoran hidupnya dalam kesaatan dan
kesesatan versus keabadian dan kesejatian diri. Oleh sebab
itu, gagasan tentang Tuhan akan selalu ada, apapun
gagasan tentang Tuhan itu.

Sebab begitulah yang terjadi dalam usaha manusia


mengenal Tuhan sejak kelahiran agama-agama itu. Para
nabi, rasul, dan resi atau siapa saja manusia tempo dulu
yang mengaku telah mendapat wahyu secara khusus dan

dipahami agama Budha tentang nirvana. Bagus Takwin, mengartikan


Nirvana sebagai akhir pencapai proses pencarian makna hidup bagi
orang-orang Budha, yaitu “Kesadaraan akan kesamaan dengan isi alam
dan kebersatuannya dengan alam semesta dan realitas yang satu,
merupakan pembebasan…” Lihat bukunya Filsafat Timur: Sebuah
Pengantar Ke Pemikiran-pemikiran Timur, (Yogyakarta: Jalasutra, 2000),
hlm. 45-46.

104
mistis telah berhubungan dengan Tuhan, banyak di antara
mereka membagi pengalaman itu dalam khotbah,
pengajaran atau tulisan. Tuhan dicari di gunung-gunung
yang tinggi, di hutan-hutan, di tempat-tempat yang
disakralkan, di dalam mimpi tidur atau dalam sebuah
kesendirian di tempat yang sangat sunyi. Kegelisahan
mengenai tujuan hidup, penderitaan, alam sering marah,
kekaguman pada jagad raya atau dalam sebuah kebuntuan
nalar membuat manusia terus tergerak untuk mencari
Tuhan.

Pada mulanya adalah kesadaran adanya “Kuasa” yang


melampaui diri. “Kuasa” yang tak bernama, tak terjangkau
secara fisik, tak berjenis kelamin, tak berawal dan tak
berakhir itu, kemudian dihadirkan dalam bahasa masing-
masing kebudayaan dan dalam macam-macam
pemaknaan. “Yang Maha Kuasa” itu, bukan sekadar yang
diproyeksikan oleh kemampuan nalar, tapi juga bukan soal
kejiwaan yang gelisah atau terpesona oleh kebesaran jagad
ini. Dia mungkin saja bagian dari kesadaran akan semua
itu, tapi melampaui segala proyeksi dan gejala kejiwaan
manusia. Karena itulah sehingga Dia diakui sebagai “Yang
Maha Kuasa”.

Pun ketika “Yang Maha Kuasa” itu disebut sebagai


Yahweh, Brahman, Allah, Thian, Hiyang Widhi, Opo
Kasuruan, dll, Dia tetap saja melampaui daya ucap dan
daya ingat manusia. Dalam ruang kehidupan “Yang Maha
Kuasa” itu tak bisa ditunggalkan. Dia melampaui usaha
personifiksi manusia. Manusia yang mengaku beragama,
yang setiap hari menyebut nama-Nya, belum tentu telah
menggapai makna kesucian “Yang Maha Kuasa” itu.
Manusia-manusia berbudayalah yang kemudian

105
menghasilkan persona-persona tentang Tuhan “Yang Maha
Kuasa” itu.

Saya kira, para nabi dan nabiah, para resi dan sufi serta
leluhur kita yang mencoba menyatukan diri dalam tatanan
kosmis sebagai usaha menyelami kekuasaan yang tak
terbatas “Sang Maha Kuasa”itu, yang paling menyelami
makna adanya “Sang Maha Kuasa.” Yesus, Sidharta
Gautama, Kong Hucu, Muhammad, yang mesti dirujuk
sebagai yang telah menyatu dengan “Yang Tak
Terjangkau” itu.

Buku John Hick God Has Many Names serta buku Karen
Armstrong, The History of God memberi kita pemahaman
mengenai bagaimana manusia beragama sepanjang
sejarahnya mengkonsepsikan, memproyeksikan dan
mempersonifikasikan Tuhan dalam pergulatan hidup
komunitas dan kebudayaanya.

Tuhan dalam masing-masing kebudayaan umat manusia di


masa lampau itu adalah refleksi atas pencarian makna
hidup, bersama komunitas, alam dan harapan masa
depannya. Tuhan dicitrakan beragam sehingga kemudian
muncul nama beragam. Tuhan, tak lain adalah sebuah
kesadaran akan kuasa yang mengatasi pergulatan hidup
dan yang selalu bersama-sama dengan manusia menuju
masa depan.

Tuhan itu, sebenarnya adalah jalan kebaikan dan


kebenaran itu sendiri. Bandingkan bagaimana umat Israel
menyembah Sang Kuasa yang dinamakan tapi tidak boleh
disebut itu, YHWH. Tradisi agama-agama Timur, seperti
Hindu, di India dengan Brahman-nya. Brahman,

106
dikonsepsikan ada dalam diri manusia sebagai atman.
Sidharta Gautama membiarkan Tuhan itu jauh, dan dia
hanya ada di absraksi manusia. Nirvana mungkin
diproyeksikan sebagai “Yang Sempurna” itu.

Dalam agama-agama di era pra tulis, Tuhan adalah sesuatu


yang jauh, tapi dia dipersonifikasi pada alam, roh-roh
leluhur yang harus didekati dengan ritual pengorbanan.
Tuhan adalah asal mula komunitas suku, bahkan dia
adalah leluhur yang bersama-sama dengan manusia sejak
awal, menemani kehidupan komunitas dan akan bersama-
sama mengawal menuju masa akhir.

Agama, awalnya adalah pelembagaan ekspresi


kepercayaan terhadap “Yang Maha Kuasa” itu. Namun
karena itulah maka agamapun belum tentu sebagai
pewaris kesucian-Nya. Sebab, agama tak hanya mengurus
bagaimana warisan suci itu mendamaikan dunia. Dalam
dimensi politis dan ekonomisnya, agama dapat dengan
mudah berubah menjadi kasar dan keras. Atas nama
tuntutan kesucian, agama dengan enteng dapat
menghalakan cara-cara yang dia khotbahkan sebagai
sesuatu yang sebenarnya haram. Pada dimensi
ideologisnya, agama sering terlibat dalam pertarungan
dengan “yang lain” untuk cita-cita menunggalkan
kebenaran.

Tapi, seideologis apapun agama, seateis apapun manusia,


“Yang Maka Kuasa” itu tak dapat mati. Yang berusaha
membunuh Diapun, nanti sadar kemudian, bahwa yang
dia coba bunuh ternyata adalah tuhannya. Mereka salah
sasaran. Tuhan-tuhan yang menjadi target pembuhunan
itu sebenarnya bikinan nalar dan jiwa yang tak pernah

107
terpuaskan. Tuhan hasil proyeksi nalar dan intuisi.
Namun, daripada dibunuh lebih baik tuhan-tuhan itulah
yang dipakai sebagai pembenar untuk perang melawan
yang lain. Maka, perang atas nama tuhan itulah yang
terjadi, bukan Tuhan “Yang Maha Kuasa” yang telah
mencipta kebaikan.

Maka mestinya, sebagai “Yang Maha Kuasa”, Dia tak


pernah bisa dipenjara dalam ideologi, lembaga agama dan
tanda apapun. Dia melampaui pencitraan apapun dan dari
siapapun. Siapapun bisa saja mengklaim dirinya sebagai
yang paling religius, sebagai yang paling suci, sebagai
yang paling benar, tapi “Yang Maha Kuasa” melampaui
klaim-klaim macam itu. Kita bisa saja dengan gampang
menuduh “yang lain” kafir, sesat, ateis, dan kitalah yang
paling benar. Tapi, “Yang Maha Kuasa” menembus jauh ke
dalam setiap pribadi.

“Yang Maha Kuasa” itulah yang mestinya mengalir dalam


keadilan, kebaikan, kesetaraan, kebebasan, dan
kesejahteraan yang diperjuangkan oleh siapapun,
beragama atau tidak beragama. Maka, kebenaran itu
mestinya tak perlu dicari ke mana-mana. Di dalam pribadi
yang bebas dan merdeka kebenaran itu tersimpan dalam
nurani. Itulah kebenaran yang membebaskan dan
memerdekakan. Itulah Tuhan yang Maha itu. Tuhan yang
mengatasi semua daya pikir dan rasa manusia. Tuhan yang
melampaui tanda apapun. Tuhan yang melampau
kemampuan rasio dan intuisi manusia.

GLOBALISASI memiliki banyak efek buruk bagi


kehidupan manusia dan alam, terutama di wilayah
ekonomi, politik dan budaya. Tapi, ia adalah sebuah

108
keniscayaan, yang tidak perlu melulu ditanggapi secara
pesimis. Karena globalisasi adalah produk manusia maka
usaha untuk mengatur dan menatanya mestinya juga dari
manusia.

Globalisasi, di sisinya yang lain – selain bahaya-bahaya


yang harus diwaspadai darinya – sebenarnya sedang
mengarahkan manusia-manusia beragama untuk
menemukan gagasan tentang Tuhan yang “satu”. Tuhan
“Yang Maha Kuasa” itu adalah “Satu” dan “Abadi”. Dia
akan terus ada selama manusia terus berpikir dan merasa.
Demikian juga, perangkat digital di era ini dan seterusnya
tak akan pernah berhasil membunuhnya. Sesuatu yang
melampaui inderawi dan materi, tentu tak akan pernah
didekati apalagi dibunuh dengan konsep materialisme.

Saya merasakan sebuah optimisme tentang proses


pencarian dan usaha pengenalan manusia akan Tuhan di
masa ini dan ke depan. Bahwa, ketika Tuhan ditampilkan
melalui media global dan bahasa global, maka Tuhan
sebenarnya sedang dikonsepsikan sebagai milik bersama.
Ini berbeda ketika peradaban-peradaban tersisolir atau
mengisolir diri dalam tembok-tembok arogansi dan klaim
yang dibuatnya. Internet dan segala macam situs, termasuk
Facebook sedang membantu manusia saling terhubung
satu dengan yang lainnya. Meskipun, di masa transisi ini
berbagai persoalan dan gejolak kehidupan keagamaan
menjadi konsekuensinya.

Saya sepakat dengan apa yang dikatakan oleh Onno W.


Purbo, seorang ahli telematika Indonesia. Ia punya sikap
optimis terhadap perkembangan internet dalam hubungan
dengan kehidupan antara sesama manusia. Tulisannya:

109
Platform dunia nyata dengan dunia maya berbeda.
Plaftform dunia maya akan mengarah pada bentuk
sebuah masyarakat yang tidak berkelas, masyarakat
yang sederajat, sejajar, setiap orang tidak lebih baik dan
tidak lebih kurang dari yang lain, kembali ke fitrahnya
sebagai manusia di muka bumi untuk beramal secara
horizontal antar sesama umat dan beribadah secara
vertikal kepada penciptanya.”68

Kini, di Facebook kita membaca Tuhan yang sedang


dicitrakan dengan kalimat-kalimat doa dan puisi, gambar
dan video. Cara ini sebenarnya bukan hal baru, hanya
medianya saja yang baru. Di masa awal manusia mulai
mengenal Tuhan, “Yang Maha Kuasa” itu sudah
dipersonifikasi, maka muncullah persona-persona dalam
bentuk nama-nama Tuhan yang berbeda-beda di masing-
masing kebudayaan. Media di masa itu, bisa dinding batu,
papyrus dan kemudian kertas. Semua ini adalah upaya
untuk mendekatkan yang jauh itu dengan kehidupan
manusia.

Facebook, adalah salah satu situs jejaring sosial di era


budaya digital yang sedang membantu orang-orang
beragama untuk mengekpresikan usaha pencarian Tuhan.
Facebook juga adalah media untuk menghubungkan
orang-orang yang berbeda tempat, agama, keyakinan,
ideologi, ras dan strata sosial. Singkatnya, Facebook adalah
alat untuk membantu globalisasi. Dengan demikian, ia juga
sedang menjadi media orang-orang beragama untuk
mengglobalkan Tuhan.

68Onno W. Purbo, Filosofi Naif: Kehidupan Dunia Cyber, (Jakarta:


Penerbit Republika, 2003), hal. 66.

110
Ada kritik, bahwa di status-status Facebook, Tuhan-tuhan
itu adalah konstruksi nalar dan intuisi. Namun, bukankah
sebenarnya begitu yang dilakukan oleh para pendahulu
agama dalam usahanya mengenal Tuhan “Yang Maha
Kuasa” itu? Mereka memproyeksikan, mencitrakan dan
mempersonifikasi “kuasa” yang tak terjangkau. Maka,
lahirlah “realitas” religius, yaitu “Tuhan Ada” atau “Ada
Tuhan”. “Kuasa” yang dibayangkan itu, kemudian
menjadi realitas bagi umat beragama. Kesadaran “Ada
Tuhan” atau “Tuhan Ada” kemudian diyakini sebagai
pencipta, pelindung, pemberi berkat, dan bahkan
pengambil kehidupan.”

Dengan semakin terintegrasinya umat manusia se-bumi


maka perlahan akan muncul sebuah kesadaran bersama,
spiritualitas bersama dalam menanggapi persoalan-
persoalan yang mengglobal. Contoh untuk hal ini adalah
fenomena semakin sering dan banyaknya agama-agama
sedunia berkumpul, membahas dan merumuskan
pemikiran keagamaannya dalam merespon masalah-
masalah global.

Pada 28 Agustus – 04 September 1993 Parliament of The


World’s Religion mengadakan pertemuan di Chicago, USA.
Pertemuan tersebut dihadiri sekitar 6.500 peserta dari
berbagai penganut agama, seperti Budha, Taoisme, Hindu,
Bahai, Yahudi, Islam, Kristen (Anglikan, Orthodoks,
Protestan, Katolik Roma, dan lain-lain.)

Maksud pertemuan tersebut untuk memperingati satu


abad pertemuan parlemen agama-agama dunia tahun 1893.
Forum ini kemudian merumuskan isu bersama untuk

111
merespon perkembangan global abad ke-20 menuju ke
abad 21. Tujuan lebih spesifiknya adalah untuk mengamati
dan menjawab isu-isu dunia eksistensial yang
mengundang tanggapan aksi dari agama-agama dunia.
Hasil pertemuan tersebut adalah sebuah naskah berjudul,
Toward a Global Ethic: An Initial Declaration.

Naskah hasil pertemuan tersebut awalnya dirancang oleh


Hans Küng69. Para pemimpin agama-agama sedunia,
dalam pertemuan ini saling berbagi mengenai nilai-nilai
dasar agamanya masing-masing, terutama nilai-nilai
etisnya. Hasilnya, adalah sebuah komitmen bersama, yang
dalam naskah itu terangkum pada empat pokok besar,
yaitu:

- Komitmen pada budaya non-kekerasan dan


menghormati kehidupan
- Komitmen terhadap budaya solidaritas dan tatanan
ekonomi yang adil
- Komitmen terhadap budaya toleransi dan
kehidupan yang Sejati
- Komitmen terhadap budaya kesetaraan hak dan
kemitraan antara pria dan wanita

Deklarasi ethic global itu adalah sebuah rumusan yang


dihasilkan dari saling berbagi masing-masing agama
mengenai nilai-nilai dasar agama-agama itu, yaitu:

Confucius (c.551-489 BCE):

69 Pada awal tahun 1991-an Hans Kung menerbitkan bukunya

yang berjudul Global Responsibility: In Search of a New World Wthic, (New


York: Crossroad, 1991).

112
’Apa yang kau sendiri tidak inginkan, janganlah kau
lakukan kepada orang lain.’ (Ucapan 15: 23)

Rabbi Hilel (60 BCE – 10 CE):


’Janganlah lakukan kepada orang apa yang kau sendiri
tidak menginginkan mereka lakukan kepadamu.’
(Shabbat 31a)

Yesus dari Nazareth:


’Segala sesuatu yang kamu kehendaki supaya orang
perbuat kepadamu, perbuatlah demikian juga kepada
mereka.’ (Mat 7: 12; Luk 6: 31)

Islam:
’Tak seorang darimu adalah orang percaya selama ia
tidak mengingikan bagi sesamanya apa yang ia sendiri
inginkan bagi dirinya sendiri.’ (40 Hadits dari an-
Nawawi, 13)

Jainism:
’Manusia tidaklah berbeda dengan hal-hal duniawi dan
memperlakukan semua ciptaan di dunia ini sebagaimana
mereka ingin diperlakukan sendiri (Sutrakritanga I, 11,
33).

Agama Buddha:
’Sesuatu yang tidak menyenangkan atau tidak
mengenakkan bagi saya seharusnyalah juga tidak bagi
orang lain; bagaimana mungkin saya memaksakan bagi
orang lain sesuatu yang tidak menyenangkan atau tidak
mengenakkan bagi saya? (Samyutta Nikaya V, 353.35-
342.2)

Agama Hindu:
’Tidaklah sepantasnya seseorang melakukan kepada
sesamanya hal-hal yang dia sendiri tidak

113
menginginkannya: itulah inti moralitas.’ (Mahabharata
XIII 114,8).

Apa yang dilakukan oleh Parliament of The World’s Religions


tersebut memang masih di tataran pemimpin agama-
agama. Namun, di era ini, hampir 20 tahun dari
pelaksanaan pertemuan tersebut, internet dan situs jejaring
sosial sudah berkembang pesat. Manusia-manusia sedang
dihubungkan dan diintegrasikan oleh Facebook misalnya,
untuk secara perlahan-lahan, sadar atau tidak sadar
berbicara tentang Tuhan “Yang Satu” itu secara terbuka
dan dialogis. “Tuhan Global” yang dibahasakan dalam
perjumpaan global manusia-manusia beragama sedang
berproses.

Apakah dengan demikian akan muncul satu agama dunia


yang kemudian menghilangkan pluralitas agama yang
sudah ada sejak beribu-ribu tahun yang lalu? Saya kira,
agama-agama ini akan tetap ada sampai beberapa waktu
lamanya. Sebab sesungguhnya, proyeksi “Tuhan Global”
ini tidak sama dengan berbicara adanya satu agama.
Terutama yang sedang menggejala sekarang ini adalah
“kesadaran” bersama tentang Tuhan “Yang Diharapkan
Bersama” untuk bersama-sama dengan manusia di bumi
ini.

Gejala ini terutama menunjuk pada adanya kesadaran


spiritualitas bersama. Bahwa kesadaran itu diekspresikan
dalam bahasa-bahasa yang berbeda, itu sesuatu yang akan
tetap faktual. Orang-orang beragama memang masih
berbicara dalam pemahaman dan konstruksi dogma
agamanya tentang Tuhan. Namun, keterbukaan yang
dimungkinkan oleh Facebook, misalnya perlahan akan

114
membawa orang-orang beragama pada kesadaran dan
pemahaman yang sama mengenai Tuhan “Yang Maha
Kuasa” itu.

Sehingga pluralitas agama yang kemudian ditanggapi


secara normatif (pluralisme) sangat menentukan dalam
pencapaian ini. Agama-agama, dengan segala nilai dan
pengalaman keagamaannya akan memberi sumbangan
besar bagi nilai religius bersama.

Diakui bahwa ada banyak persoalan dengan Facebook,


atau situs jejaring sosial lainnya juga perangkat-perangkat
digital lainnya, misalnya teknologi layar, namun sebagai
perangkat itu semua tentu masih menyisahkan “kebaikan”
untuk kehidupan bersama di masa depan.

Itulah tanda-tanda munculnya sebuah spiritualitas


bersama di era ini, yaitu era budaya digital, globaliasasi
dan sering juga orang menyebutnya era posmodern.

David Ray Griffin membantu kita memahami lebih luas


tentang spiritualitas. Bagi Griffin, apa yang kita sebut
spiritualitas tidaklah hanya berhubungan dengan sesuatu
yang dari luar dunia atau hanya mengimplementasikan
bentuk disipilin religius tertentu. Menurut Griffin,
spiritualitas mestinya berupa “…nilai-nilai dan komitmen
dasariah seseorang, apa pun isinya.”70

70 David Ray Griffin (ed.), Visi-visi Posmodern: Spiritualitas dan

Masyarakat, terj. A. Gunawan Admiranto, (Yogyakarta: Kanisius, 2005),


hlm. 15-52.

115
Griffin membedakan apa yang disebutnya “spiritualitas
modern” dan “spiritualitas posmodern.” Spiritualitas
modern menekankan cara pandang yang dualistis dan
supernaturalistis yang justru berakhir dengan spiritualitas
semu. Spiritualitas modern inilah yang kemudian
menghasilkan kapitalisme yang individualistis (spiritual
individualisme). Dalam hal gagasan tentang Tuhan,
spiritualitas modern memahami Tuhan itu adalah sesuatu
yang transedental. Kemudian manusia cenderung merasa
sebagai pusat realitas (subjektum) yang memunculkan
superioritas manusia atas alam. Spiritualitas macam inilah
yang mempengaruhi tata sosial masyarakat modern.

Sementara, spiritualitas posmodern menurut Griffin


adalah sebuah pembalikan atau dekonstruksi atas
spiritualitas modern. Spiritualitas posmodern menegaskan
hubungan yang internal, esensial dan konstitutif antar
individu. Aspek kedua dari spiritualitas posmodern adalah
organisisme, atau hubungan yang integral (kesatuan)
dengan alam dan komunitas. Berikut, spiritualitas
posmodern membangun visi dengan melakukan refleksi-
refleksi atas kehidupan masa lalu.

Dalam kesadaran religius, spiritualitas posmodern


memahami bahwa kehidupan manusia memiliki hubungan
integral dengan keilahian. Topik ini, menurut Griffin
adalah jantung dari spiritualitas posmodern. “Kita peduli
terhadap masa depan karena kita peduli terhadap relaitas
ilahi yang ada selamanya.”71

71 Ibid.

116
Sebelum melanjutkan pembahasan tentang pencarian
Tuhan di era ini, terlebih dahulu saya ingin mengajukan
argument saya tentang bahaya-bahaya dari perangkat-
perangkat digital itu. Pertama, benar ada bahaya-bahaya
yang ditimbulkan oleh digitalisasi terhadap ruang, waktu
dan manusia itu sendiri. Soal ini sudah dibahas di bagian
sebelumnya. Kedua, namun ada juga bahaya dari
“wacana” atau “kampanye” tentang bahaya dari
digitalisasi itu. Maksudnya, wacana-wacana mengerikan
dari digitalisasi ini adalah juga produk ideologi dan juga
ilmu pengetahuan. Istilah-istilah seperti “posrealitas”,
“hyperealitas”, “simulacrum”, “imagologi”, selain dari segi
kata ia sudah mengerikan, namun dampak dari wacana-
wacana yang diungkap oleh istilah-istilah itu juga seperti
“monster” yang siap memangsa manusia. Wacana-wacana
kritis terhadap bahaya digitalisasi yang kemudian
menghasilkan semacam “kebenaran” pengetahuan, juga
berbahaya mengubah kesadaran manusia.

Sebab, wacana yang berisi "kebenaran" yang lahir dari


kritik atas bahaya lain, bisa berubah menjadi bahaya baru
bagi kesadaran yang sesungguhnya. Misalnya, kritik
terhadap realitas semu, menghasilkan wacana
"posrealitas". Ketika "posrealitas" dipaksa menjadi
kebenaran kritik, dia juga bisa berubah menjadi "momok"
bagi kesadaran. Manusia kemudian dihantui oleh
konstruksi wacana. Seperti kritik atas kejahatan yang
kemudian menghasilkan "surga" dan "neraka" dalam
agama-agama. Dan, "surga" dan "neraka" itu kemudian
memenjara manusia dalam imajinasi moral. Bisa jadi, pola
kehidupan ideal sekarang dihasilkan dari realitas yang
dibayangkan, dicitrakan oleh para bijak dahulu kala."

117
Tuhan yang sedang dicitrakan dan diproyeksikan sebagai
“Sang Kebaikan”, “Sang Kebenaran”, “Sang Keadilan” di
media-media global, seperti Facebook, perlahan tapi pasti
akan menjadi “realitas religius” bagi orang-orang
beragama nantinya. Asalkan citra atau tanda itu untuk
kebaikan bersama, mengapa harus dihindari? Sebaliknya,
pun seuatu itu adalah realitas namun berbahaya bagi
kebaikan, maka adalah suatu keharusan untuk
mengubahnya. Tuhan akhirnya bukan soal apakah Ia
adalah “yang dicitrakan” atau “realitas yang
sesungguhnya.” Kepercayaan kepada Tuhan
sesungguhnya adalah soal “kebenaran”, “kebaikan”, dan
“keadilan” demi perdamain yang sejati semua umat
manusia di muka bumi ini. Itulah “Tuhan Global”, Tuhan
oleh semua umat manusia di kolong langit ini, Tuhan
“Yang Diharapkan Bersama.”

Saya membandingkan gagasan tentang Tuhan ini dengan


Tuhan dalam persona bahasa orang-orang Minahasa. Tuhan
“Yang Maha Kuasa” itu disebut oleh orang-orang
Minahasa dalam bahasa mereka sebagai “Kasuruan.” Asal
kata “kasuruan” adalah “suru” yang berarti tunas yang
timbul dari batang pohon. Gagasan mereka tentang Tuhan
menujuk pada adanya “Kuasa” yang menjadi sumber
segala suru atau segala bibit serta sumber segala sifat.

Gagasan ini kemudian dikembangkan pada pada tiga sifat


Tuhan yang membentuk keutuhannya, yaitu Kasuruan
sebagai Manalinga, Manembo dan Rengarengan. Manalinga
dipahami sebagai Kuasa yang selalu mendengar karena
mengasihi. Manembo dipercayai sebagai Kuasa yang selalu
mengawasi, mengawal dan menjaga. Rengarengan adalah
Kuasa yang berkuasa memberi, mencipta maupun

118
mengambil, atau Kuasa keseimbangan. Ada kemiripan
dengan gagasan tentang Tuhan dalam Hindu, yaitu tiga
kekuatan Brahman: Dewa Brahmana (pencipta), Dewa
Wisnu (pemelihara), Siwa (penghancur). Tapi, karena
gagasan ini lahir dari peradaban yang berbeda sudah
barang tentu dalam penghayatannya juga berbeda.

Gagasan tentang adanya “Kuasa” yang menjadi awal


kehidupan, yang menjaga dan yang mengakhiri kehidupan
telah membentuk kesadaran religius bagi manusia-
manusia sepanjang masa. Sebelum ideologi, ilmu
pengetahuan (modern), nasionalisme, dan teknologi
berkembang, manusia-manusia sudah merumuskan
sebuah gagasan tentang adanya yang “Kuasa” yang
melampaui dirinya, yang harus disembah karena
kebaikannya dan yang dipercaya sebagai sumber segala
aturan dan etika.

Hal “kebenaran”, “kebaikan”, dan “keadilan” yang


mungkin memang adalah hakekat dari kehidupan itu
kemudian mendapat legitimasi kerohanian dari “Sang
Kuasa”. Ideal-ideal inilah yang telah menjadi fondasi
terbentuknya realitas kehidupan yang sesungguhnya.
Penyimpangan terhadap itu disebut dosa. Dan itulah
bahasa kita sekarang sebagai “kepalsuan”, “kesemuan”,
“kejahatan”, dan berbagai terma yang menunjuk pada
keberdosaan lainnya. Maka, Tuhan atau “Sang Maha
Kuasa” bagi orang-orang beragama mestinya adalah
“Realitas Tertinggi” sebagai sumber realitas yang
sesungguhnya. Tuhan “Yang Maha Kuasa” itulah yang
selalu dipersonifikasi oleh manusia sepanjang masa
dengan memakai bahasa kebudayaannya.

119
Pluralisme Agama dan Peran Agama
Hidup damai adalah harapan semua umat manusia.
Sementara pluralitas agama adalah keniscayaan. Hidup
damai sudah menjadi harapan sejak kehidupan itu ada,
demikian juga dengan perbedaan, juga sudah muncul
secara bersamaan. Harapan hidup “damai” dan usaha
mewujudkan “perdamaian” sebenarnya pertama-tama
adalah problem eksistensi manusia. Manusia, sebagai
makhluk paradoks, selalu bersoal bagaimana
mendamaikan “kesaatan” dan “kesesatan” versus
“keabadian” dan “kesucian” diri.

Manusia paradoks ini yang membentuk kebudayaan yang


juga paradoks itu, termasuk sistem ekonomi, politik dan
teknologi informasi (digital) sekarang ini. Selain memang
persoalan hidup damai itu berasal dari dirinya, sebab lain
adalah juga karena interaksi dengan kebudayaanya, selain
karena sesuatu yang natural misalnya lingkungan
alamnya. Kebudayaannya, misalnya pertentangan-
pertentangan yang terjadi karena perbedaan wilayah
kekuasaan, kepemilikan, ideologi, atau agama dan
keyakinan yang saling mensubordinasi.

Di bab-bab sebelumnya saya sudah memberi gambaran


persoalan terkini manusia dan agamanya. Di era budaya
digital, kita menyaksikan ada gejala kebangkitan
spiritualitas atau keagamaan. Orang-orang berlomba-
lomba mengekspresikan kerohaniaanya dalam bentuk
bahasa, gambar dan video melalui media digital. Kritik
atas fenomena ini adalah soal simulasi atau pencitraan
kehidupan keagamaan yang kemudian menghasilkan
kesenjangan antara peran agama-agama yang ideal (yang

120
merupakan amanat dari Relitas Yang Tertinggi, yaitu
Tuhan) dengan fakta objektif kehidupan masyarakat atau
umatnya.

Sementara, globalisasi sedang menjadi kenyataan di


seantero bumi ini. Persoalan globalisasi adalah
homogenisasi dan hegemonisasi kekuatan-kekuatan
dominan di bidang politik dan ekonomi. Kenyataan
pluralitas agama atau budaya sedang berhadapan dengan
kekuatan homogenitas. Di era ini sebetulnya masyarakat
dunia sedang diperhadapkan dengan dua krisis, yaitu
krisis kemanusiaan dan krisis ekologi.

Paul F. Knitter menulis buku One Earth, Many Religion:


Multifaith Dialogue and Global Responbillity, yang diterbitkan
pertama kali tahun 1995, atau sekitar dua tahun setelah
pertemuan Parliament of The World’s Religion (1993). Tesis
dasar buku Knitter ini adalah mengenai pentingnya
agama-agama berperan dalam usaha melindungi dan
menyelamatkan lingkungan hidup dan menghapus
ketidakadilan sosial. Bagi Knitter, hal itu sama pentingnya
dengan usaha menciptakan perdamaian dan kerukunan
antar beragama dalam sebuah dialog.72

Gagasan Knitter ini mengisyaratkan perlunya ada


tanggung jawab bersama agama-agama di dunia ini untuk
merespon tantangan global, yaitu krisis kemanusiaan dan
krisis ekologi. Kedua krisis ini secara teologis mengarah ke
satu hal dasar, yaitu “keserakahan” manusia itu sendiri.

72 Paul F. Knitter, Satu Bumi, Banyak Agam: Dialog Multi-Agama

dan Tanggung Jawab Global, terj. Nico A. Likumahuwa, (Jakarta: BPK


Gunung Mulia, 2003).

121
Nafsu-nafsu berkuasa di bidang politik dan ekonomi yang
telah mengglobal menghancurkan martabat kemanusiaan
bersamaan dengan itu terjadi eksploitasi tanpa ampun
terhadap lingkungan hidup.

Teknologi terus berkembang, seiring hasrat manusia untuk


menguasai dunia. Contoh kongkrit hal itu, adalah ketika
internet pertama kali dikembangkan, yaitu untuk
kebutuhan pertahanan Amerika. Belum lagi ketika bicara
pengembangan nuklir sebagai sumber energi atau sebagai
alat pembunuh, bom. Bersamaan dengan perkembangan
teknologi informasi, teknologi transportasi juga terus
berkembang. Kata kunci untuk perkembangan itu adalah
“efisiensi” dan “efektifitas.” Inilah bagian dari
perkembangan peradaban, manusia dan agama yang
sudah melewati masa-masa pergerakan zaman
sebelumnya. Selalu muncul nilai-nilai dan bentuk-bentuk
transformasi yang positif untuk melanjutkan visinya.

Ada yang paradoks dari globalisasi demikian juga dengan


teknologi digital. Di satu pihak ia dikritik karena destruksi-
destruksi yang ditimbulkannya bagi kemanusiaan dan
alam, namun globalisasi juga memungkinkan penduduk
dunia bersama-sama melawan destruksi-desruksi itu.
Manusia cerdas selalu berusaha memberdayakan energi
positifnya untuk menggunakan semua sumber daya dalam
situasi apapun. Termasuk situasi yang sedang mengglobal
dengan setumpuk masalahnya namun juga secercah
harapan ke depan.

Dengan demikian agama-agama dunia, termasuk tradisi


atau apa yang sering disebut agama-agama lokal dengan
budayanya, adalah penting untuk berperan di era ini. Era

122
transisi ini bakal menghasilkan sebuah kesadaran baru,
kesadaran pada nilai-nilai luhur yang terbuka dan
bertumpuh pada usaha pemulihan harkat dan martabat
kemanusiaan dan alam.

Pada kajian di bawah ini, saya akan memfokuskan pada


bagaimana agama-agama ini berperan dalam usaha
perdamaian, sebagai sesuatu yang aktual sepanjang masa,
termasuk masa ini. Masa kini, masa transisi ini, problem
utamanya adalah hancurnya kesadaran spiritual yang
holistik oleh karena globalisasi dan teknologi digital yang
mengkapitalisasi dan mendigitalisasi kesadaaran
kemanusiaan. Meskipun, seperti tesis Griffin itu, era
posmodern akan ditandai dengan berkembangannya
spiritualitas integral dan holististik yang mungkin sebagai
sintesa dari perkembangan spiritualitas modern. Dengan
demikian, ada sebuah tanggung jawab bersama agama-
agama untuk memulihkan kembali kesadaran diri
manusia, dalam relasinya dengan sesama, alam dan Tuhan.

Abdurrahman Wahid, tokoh pemikir besar Islam di


Indonesia yang biasa di sapa Gus Dur itu, dalam sebuah
tulisannya yang ditulis kira-kira antara tahun 1980-
an/1990-an, memahami hubungan Islam dengan
kebudayaan merupakan sesuatu yang ambivalen. Di satu
pihak, agama menggunakan kebudayaan sebagai media
ekspresi, namun di pihak lain, antara agama dan
kebudayaan sering dalam hubungan yang tidak serasi.
Agama sering mendikte atau menghakimi kebudayaan.
Kebudayaan pada dasarnya dinamis sementara agama-
agama sering terjebak pada dogmatisme dan kaku.
Hubungan antara agama dan kebudayaan akhirnya

123
menjadi pelik. Gus Dur kemudian mengajukan solusi
pemikiran untuk melerai persoalan pelik tersebut.

Menurut pikiran saya, rumus ukurannya sangat


sederhana, yakni hal-hal yang mengagungkan
(meninggikan martabat atau posisi), kemanusiaan
haruslah diutamakan. Manifestasinya adalah
memelihara hak-hak azasi manusia dan
mengembangkan struktur masyarakat yang adil di
mana kaum muslimin hidup. Gugus ukuran di atas
berperan sebagai kuasi-norma (bukan norma, tetapi
perannya sama dengan norma). Kalau perkembangan
zaman atau kebudayaan tidak sesuai dengan ukuran
itu, maka harus dihentikan. Juga sebaliknya, jika
kebetulan ajaran agama yang justru melakukannya,
maka ukuran tadi pun mesti mengeremnya.73

Dari pernyataan tersebut, tampak sikap Gus Dur terhadap


kehidupan rill, dan realitas kebudayaan yang dinamis dan
plural. Agama, dalam hal ini Islam, idealnya harus
memberi ruang bagi perubahan dan kemajemukan budaya.
Ketegangan antara agama dan kebudayaan mestinya
dijembatani dengan panggilan kemanusiaan, keadilan,
kesetaraan dan penghargaan terhadap hak-hak azasi
manusia.

Kebudayaan di sini tentu harus dipahami secara luas, yaitu


meliputi semua yang merupakan hasil cipta dan karsa
manusia, termasuk sistem ekonomi, politik, sosial dan
teknologi. Agama juga, demikian yaitu menunjuk ke

73 Abdurahman Wahid, Islam Kosmopolitan: Nilai-nilai Indonesia

dan Transformasi Kebudayaan, editor Agus Maftuh Abegebriel dan


Ahmad Suaedy, (Jakarta: The Wahid Institute, 2007), hlm. 291-303

124
institusi atau sistem kepercayaan kepada “Sang Maha
Kuasa” apapun persona atau maknanya. Jadi, panggilan ini
kepada semua agama. Globalisasi, pada sisinya yang lain
sebenarnya sedang menantang agama-agama untuk
berperan aktif bersama-sama, tanpa harus menjadi “sama”
untuk memulihkan martabat kemanusiaan demi tujuan
hidupnya yaitu perdamaian dan kelestarian alam.

Dalam tulisannya yang lain, Gus Dur mengajak agama-


agama untuk pertama-tama melakukan tranformasi intern,
yaitu merumuskan kembali sikapnya terhadap
pergumulan zaman untuk perjuangan penegakkan
keadilan, persamaan dan solidaritas antara sesama
manusia. Bagi Gus Dur, untuk proses ini, “….tiap agama
perlu berintegrasi dengan keyakinan-keyakinan lain dalam
bentuk pencapaian sejumlah dasar universal yang akan
mendudukan hubungan antara agama pada sebuah tatatan
baru.” Katanya, “Tatanan baru itu adalah tahap pelayanan
agama kepada warga masyaraka tanpa pandang bulu
dalam bentuknya yang paling kongkret seperti
penanggulan kemiskinan, penegakan kedaulatan hukum
dan kebebasan menyatakan pendapat. Apabila sebuah
agama telah memasuki tatanan baru itu, barulah ia
berfungsi melakukan pembebasan (tahrir, liberation).”74

Agama-agama untuk Perdamaian – Saya sudah singgung


dalam pembahasan sebelumnya, bahwa panggilan bersama
agama-agama global di era ini adalah pemulihan martabat
kemanusiaan dan pelestarian alam sebagai ruang hidup

74 Abdurahman Wahid, “Agama dan Demokrasi”, dalam Elga

Sarapung, dkk. (ed.), Spiritualitas Baru, Agama dan Aspirasi Rakyat,


(Yogyakarta: Dian/Interfidei, 2004), hlm.333 dan 334.

125
yang terintegrasi dengan manusia itu sendiri. Agama-
agama tentu akan mendekati persoalan ini dengan nilai
dan semangat agamanya.

Keragaman, di satu pihak sering menimbulkan pertikaian,


karena perbedaanya namun, justru itu, agama-agama
sebenarnya adalah harapan masa depan. Memang, bukan
hanya agama-agama yang diharapkan namun, fakta bahwa
sebagian besar umat manusia sejagad ini adaah orang-
orang beragama. Meski sebenarnya, konteks kita
sebetulnya tidak hanya beragam dari segi agama, namun
juga budaya, aspirasi, paham dan status sosial. Maka, hal
“damai” dan “perdamaian” sangat berkaitan dengan
konteks agama-agama itu.

Tantangan terkini agama-agama adalah digitalisasi


manusia dan kemanusiaannya dengan perangkat-
perangkat teknologi digital. Sementara agama-agama dan
umat beragama masih bersoal dengan kekerasan warisan
sejarah, di era transisi ini ia pula diperhadapkan dengan
persoalan penghancuran eksistensi manusia (eksistensi,
seperti yang diidealkan oleh masing-masing agama-agama
itu), yaitu melalui komodifikasi oleh kapitalisme
(globalisasi ekonomi-politik) dan digitalisasi semua sendi
kehidupan dengan perangkat-perangkat teknologi digital.

Agama-agama kini, ditantang oleh citra-citra yang bukan


realitas tentang kehidupan (realitas semu). Di layar-layar
digital, kehidupan ditampilkan pada dua sisi yang
berbeda: di satu sisi kehidupan digambarkan sangat
menyeramkan, di sisinya yang lain, kehidupan
digambarkan sebagai sesuatu yang nyaman-nyaman saja.
“Kesemuan” atau “Kehampaan” menjadi persoalan agama-

126
agama sekarang. Manusia-manusia semu dan penuh
topeng pencitraan semakin banyak di era digital cultures
sekarang ini. Manusia berlomba-lomba mencari
perdamaian di ruang-ruang semu. Namun, kesemuanya
itu bertemu pada soal hakekat pencarian makna hidup,
yaitu “perdamaian”, berdamai dengan diri sendiri, dengan
orang lain, dengan alam dan dengan Sang Maha Kuasa.

Bagi saya, bicara “perdamaian dalam perbedaan” paling


kurang akan bersinggungan dengan empat hal. Pertama,
bagaimana agama-agama berhadapan dengan persoalan
penghancuran kehidupan, manusia dan alam oleh karena
pergerakan zaman yang tidak terkendali. Kedua,
bagaimana agama-agama itu terlibat dalam pertengkaran
dan kekerasan, yang dengannya, muncul harapan
perdamaian dari dan oleh agama-agama itu. Ketiga, dan ini
penting adalah bagaimana agama-agama berperan dalam
usaha mewujudkan perdamaian dalam konteks
masyarakat multikultur, yang perbedaannya rumit dan
kompleks. Keempat, bagaimana agama-agama, dalam
semua dimensinya terlibat dalam usaha mewujudkan
perdamaian yang sejati itu.

Memahami Perbedaan dan Masalahnya - Secara natural,


semua manusia adalah sama. Namun, secara kultur
manusia itu kemudian menjadi berbeda. Manusia inilah
yang kemudian membentuk kebudayaan, yang di
dalamnya ada agama. Manusia juga yang membentuk
komunitas dan masyarakat. Namun, kemudian
kebudayaanlah yang mengkonstruksi manusia dan
identitasnya.

127
Dalam keseharian, antara kata “komunitas” (community)
dan “masyarakat” (society) sering dipahami dalam arti
yang sama. Namun bagi Ferdinand Tonnies75, seorang
sosiolog Jerman yang hidup akhir abad 19 sampai awal
abad 20, kedua hal itu berbeda.

Komunitas, menurut Tonnies menunjuk pada kumpulan


individu yang mendiami sebuah wilayah geografis yang
berdekatan. Batasan teritorial merupakan elemen penting
dalam sebuah komunitas. Sebuah komunitas adalah unit
sosial terkecil yang akan terus bersama-sama. Sebuah
komunitas adalah semacam kelompok individual. Mereka
diikat oleh ingatan kolektif melalui mitos dan tradisi serta
kemauan hidup bersama secara kultural.

Komunitas pramodern, berbeda dengan “masyarakat”


modern. Masyarakat modern adalah sebuah kumpulan
individu atau kelompok masyarakat yang tidak lagi terikat
hanya pada kemauan untuk hidup bersama (secara
alamiah), namun terutama diikat atau terhubung oleh
aturan dan hukum negara. Masyarakat inilah yang tidak
lagi homogen pada banyak hal sebab telah terdiri dari
beragam individu dan kelompok masyarakat dari latar
belakang dan identitas atau aspirasi yang berbeda-beda.

“Komunitas” yang relatif homogen tampaknya semakin


hilang di era ini, sebab globalisasi telah membawa dampak

75 Buku Ferdinand Tonnies yang membahas tema tersebut

pertama kali terbit dalam bahasa Jerman pada tahun 1887 dengan judul
Gemeinschaft und Gesellschaft, (Leipzig: Fues’es Verlag). Pada tahun 1957
diterbitkan dalam bahasa Inggris oleh Michigan State University Press
dengan judul “Community and Society”.

128
pluralisasi bagi kehidupan kelompok individu. Hampir
tidak ada lagi negara atau bangsa yang warga negaranya
hanya terdiri dari satu suku, agama, ras dan golongan.
Memang sebenarnya, komunitas di era pra modern sudah
mulai menunjukkan heterogenitasnya. Setiap komunitas,
tentu terdiri dari laki-laki dan perempuan, orientasi
berpikir yang berbeda meskipun selalu tunduk pada
otoritas agama atau politk. Namun, masyarakat
kontemporer, pluralitasnya sungguh rumit dan kompleks.

Contohnya, seorang individu A dari segi kewarganegaraan


adalah Indonesia (sebagai institusi modern, negara
bangsa); dari segi bangsa Minahasa; agama, Kristen
Protestan; dari denominasi gereja tertentu; olahraga yang
digemari sepak bola; makanan favorit RW dan Tinoransak;
pilihan ideologi, misalnya sosialis. Sementara individu B
yang hidup dalam institusi masyarakat yang sama,
misalnya dari Gorontalo atau Jawa, beragama Islam,
Islamnya bisa NU atau Muhammadiya, selera makan
ayam lalapan. Dan seterusnya.

”Identitas”76 dalam masyarakat ini tidak lagi tunggal.


Tidak bisa lagi kita mengatakan misalnya, karena individu-
invidu itu beragama Kristen atau Islam, maka identitasnya
Kristen atau Islam. Begitu juga, tidak hanya karena hidup
di wilayah etnis Jawa, kemudian kita mengatakan orang-
orang itu beridentitas Jawa. Sebab, ternyata dari segi
pilihan ideologis, pilihan kuliner, dan lain-lain, masing-
masing individu ini berbeda-beda. Maka, identitas yang

76 “Identitas” dari kata Latin ”idem” yang berarti ’yang sama.”

Sumber: http://www.thefreedictionary.com/identity, (akses, 25 Maret


2012)

129
masih bisa dirujuk adalah, bahwa individu-individu atau
kelompok-kelompok itu adalah ”manusia,” yang laki-laki
dan perempuan (bahkan bisa ditambah dengan orientasi
seksualitasnya, LGBT). Pada awalnya, manusia-manusia
yang kemudian berbeda karakter, kekhasan dan sub-sub
identitas itu terhubung satu dengan lainnya oleh ’naluri
alamiah” untuk hidup dan berkembang, bukan terutama
oleh aturan dan hukum yang politis. Namun, di era
modern, dalam sebuah negara, individu atau kelompok
individu yang berbeda-beda itu terikat oleh hukum negara,
teritori, dan doktrin nasionalisme.77

Gejala sosial itulah yang disebut oleh sejumlah teoretisi


sebagai masyarakat multikultural.78 Dengan demikian,
berbicara agama-agama sebenarnya tidak bisa dipisahkan
dengan konteks pijakan agama-agama itu. Masyarakat
modern atau bahkan postmodern adalah masyarakat yang
terdiri dari dua atau lebih kelompok kultural. Dalam
kenyataannya, kelompok-kelompok kultural ini sering
berada dalam hubungan yang saling mensubordinasi.
Kelompok kultural yang kuat secara kuantitas keanggotaan
atau kuat secara politik (kelompok mayoritas) sering
mendominasi atau bahkan meminggirkan kelompok yang

77 Tentang nasionalisme, Richard T. Antoun, dalam karyanya

Memahami Fundamentalisme: Gerakan Islam, Kristen dan Yahudi, (Surabaya:


Eureke, 2003), khusus pada halaman 17 mengatakan, “Nasionalisme
sekuler, seperti agama, juga merupakan kerangka bagi tata moral yang
mengesahkan kekerasan dan kesyahidan.”
78 Beberapa intelektual yang konsern dengan persoalan ini,

antara lain Bikhu Parekh, Will Kymlicka, juga Charles Taylor. Dalam
mengembangkan konsep dan teori multikulturalisme, mereka
kebanyakan berangkat dari semangat pengakuan atas keberagaman
budaya.

130
kecil secara kuantitas atau lemah dalam posisi tawar politik
(kelompok minoritas). Konflik kepentingan sering menjadi
masalah dalam masyarakat multikultural seperti ini.

Di era negara modern (nation state) yang terinspirasi dari


Revolusi Amerika (1775–1783) dan revolusi Perancis (1789
dan 1799) dengan proklamasi kebebasannya, ditambah
dengan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM)
pada 10 Desember 1948, kelompok-kelompok kultural
minoritas yang sering mengalami penindasan dan
marginalisasi itu, bangkit melawan. Kelompok-kelompok
kultural ini memperjuangkan kesetaraan dan pengakuan.
Perlawanan ini juga merupakan reaksi atas politik
homogenisasi dan hegemonisasi negara.

Dengan demikian, sekarang hampir tak adalah lagi sebuah


identitas tunggal dalam masyarakat modern. Nasionalisme
yang dulunya dipakai sebagai ideologi pemersatu oleh
negara-negara bekas jajahan (masyarakat dunia ketiga)
melawan kolonialisme perlahan mulai tidak dipercayai lagi
oleh kelompok-kelompok kultural minoritas di negara-
negara tersebut. Sebab, menurut kelompok-kelompok
kultural ini, justru nasionalisme sebagai ideologi sering
dipakai untuk penyeragaman (homogenisasi). Dan itu
sangat bertentangan dengan hak untuk tampil bereskpresi
dan menyatakan diri. Begitu juga agama dulu pernah
diusahakan menjadi acuan identitas tunggal, tapi itu juga
gagal.79 Agama-agama, dalam perkembangannya, bahkan
semakin plural.

79 Telaah mengenai bangsa, negara dan identitas tunggal yang

merujuk pada satu agama dibahas secara padat oleh Steven Grosby
dalam bukunya, Sejarah Nasionalisme: Asal usul Bangsa dan Tanah Air,

131
Masyarakat multikultural kontemporer ditandai dengan
perjuangan dari kelompok-kelompok kultural dan sub
kultural untuk menuntut haknya. Seperti kelompok
minoritas agama, etnis, perempuan dan kaum gay/lesbian.
Perjuangan menuntut kemerdekaan dari sebuah bangsa
dalam satu nation state terutama dipicu oleh pengalaman
diskriminasi di wilayah sosial, ekonomi dan politik.
Berikut, perjuangan menuntut pengakuan hak-hak adat
oleh masyarakat adat. Ini semua menandakan bahwa
negara dengan ideologi nasionalisme tidak lagi relevan
diacu sebagai identitas tunggal. Perjuangan oleh
kelompok-kelompok kultural dan sub kultural itu justru
menandakan sebuah era di mana hak hidup dalam
perbedaan semakin dirasa penting.

Dari kompleksitas kemajemukan masyarakat multikultural


itu Bhikhu Parekh kemudian menggolongkan
keanekaragaman itu ke dalam tiga bentuk :
80

1. Keanekaragaman subkultural. Yaitu adanya kelompok


dalam suatu masyarakat yang menjalankan keyakinan

yang dalam edisi bahasa Indonesia diterbitkan oleh Pustaka Pelajar,


Yogyakarta, 2011. Gejala ini, menurut Grosby terutama dapat diamati
pada tiga agama monoteis, yaitu Yahudi, Kristen dan Islam.
80 Bhikhu Parekh, Rethinking Multiculturalism: Keberagaman

Budaya dan Teori Politik (Yogyakarta: Kanisius, 2008), diterjemahkan oleh


C.B. Bambang Kukuh Adi dari judul asli dalam bahasa Inggris
Rethinking Multiculturalism: Cultural Diversity and Political Theory, 2nd
edition (Palgrave Macmillan, 2006). Lihat terutama di halaman 17 dan
18. Bhiku Parekh adalah seorang guru besar pada The Centre for The
Study of Democracy di Universitas Westminster, Inggris. Dia adalah
guru besar tamu pada London School of Economics dan selama
beberapa tahun sebelumnya merupakan guru besar untuk perkuliahan
Teori Politik di University Of Hull.

132
dan praktek yang berbeda dengan budaya umum yang
luas dalam masyarakat tersebut. Ini berkenaan dengan
wilayah kehidupan tertentu atau sebagai bentuk usaha
untuk menempuh cara hidup mereka sendiri yang
relatif sangat berbeda dengan budaya umum. Mereka-
mereka adalah, antara lain LGBT, kaum kaya-raya,
artis.
2. Keanekaragaman perspektif. Yaitu ”beberapa anggota
masyarakat yang sangat kritis terhadap beberapa
prinsip atau nilai-nilai sentral kebudayaan yang
berlaku dan berusaha untuk menyatakannya kembali
di sepanjang garis kelompok yang sesuai.” Misalnya,
kaum feminis yang menyerang budaya patriarkhi,
kelompok religius yang menolak sekularisasi, dan bisa
juga kelompok pecinta lingkungan hidup yang
mengkritik pandangan yang meyakini manusia sebagai
pusat dan pembangunan yang sangat mekanis karena
penggunaan mesin-mesin.
3. Keanekaragaman komunal. Yaitu kelompok-kelompok
”yang sadar diri dan lebih kurang teroganisasi dengan
baik yang menjalankan dan hidup dengan keyakinan
dan praktek berlainan. Biasanya hal ini menunjuk pada
kelompok-kelompok imigran atau pendatang, yang
selain membawa sistem keyakinan (agama atau
ideologi) tapi juga tata cara hidup yang berbeda
dengan kelompok setempat.

Salah satu dampak yang sangat merisaukan dari


masyarakat yang beragam itu adalah pertengkaran, konflik
yang kebanyakan bermuara pada kekerasan (fisik maupun
verbal): pembunuhan, kerusuhan, perang, stigmatisasi
sesat kepada kelompok yang dianggap menyimpang dari
ajaran menurut kelompok mayoritas. Agama-agama sering

133
dituduh sebagai penyebabnya, yang kemudian, dan ini
sungguh membingungkan, agama-agama itu juga yang
didesak untuk berperan dalam usaha perdamaian.
Menurut saya, soal perdamaian adalah soal bersama umat
manusia, sebagai manusia yang kodratnya selalu ingin
hidup damai. Agama (-agama) adalah salah satu sumber
nilai perdamaian, yang karenanya dia harus membuka diri
pada sumber-sumber nilai yang lain.

Antara yang berbeda tersebut, secara umum terkonstruksi


pada kelompok mayoritas dan minoritas. Namun, soal
identifikasi mayoritas dan minoritas ini tidak hanya
sebatas dilihat dari aspek demografi, namun juga secara
kualitas dan kuantitas pada aspek politik dan ekonomi. Di
Indonesia misalnya, tidak selamanya, karena mayoritas
penduduknya Islam, sehingga Islam adalah mayoritas
secara ekonomi dan politik. Banyak penduduk Indonesia
beragama Islam yang miskin. Begitupula keterwakilan di
perlemen atau pemerintahan misalnya. Partai-partai yang
berbasis keislaman tidak lebih banyak dari partai-partai
yang sekuler.81

Begitupula ditingkat lokal. Secara nasional disebut-sebut


umat Islam adalah mayoritas, namun di tingkat lokal,
terutama beberapa daerah di Indonesia bagian Timur,
umat Kristen adalah mayoritas. Begitupula umat Hindu di
Bali. Jadi, soal identifikasi keberadaan kelompok-kelompok
yang berbeda ini, meski fakta sosial menunjukkan adanya

81 Prof. Olaf Schumann, dalam sebuah kuliah di tahun 2010

pada program Pasca Sarjana Teologi UKIT pernah menyinggung soal


bagaimana memahami apa yang sering secara asalan disebut
“mayoritas” dan “minoritas.

134
kelompok yang anggotanya berjumlah banyak dan sedikit,
tapi dalam penggunaanya untuk realitas keberagaman ini
ternyata tidak mutlak, namun relatif. Satu hal yang faktual,
kelompok yang berjumlah banyak selalu punya
kecenderungan untuk mendiskriminasi kelompok yang
berjumlah sedikit.

Dalam sejarah agama-agama, yang antara lain bisa


ditelusuri dalam teks-teks kitab suci, kekerasan rupanya
lahir pra, bersamaan dan berlanjut di masa perkembangan
agama-agama. Di kitab Kejadian misalnya diceritakan
tentang kisah Kain dan Habel. Mereka adalah kakak
beradik. Cerita ini terdapat di kitab Kejadian 4 dan juga di
Al Alqur’an dalam Surah Al-Ma'idah (5):27-32. Dalam
kedua versi ini Kain membunuh saudaranya Habel cuma
gara-gara Allah menolak korbannya dan hanya menerima
korban Habel. Habel adalah seorang gembala, sementara
Kain seorang petani. Dalam sejarah Islam, kisah kekerasan
yang terkenal adalah dibunuhnya Ali Bin Thalib. Dalam
kisah sejarah ini, kekerasan terjadi karena perbedaan
dalam memahami apa yang menjadi kehendak Allah.82

Kekerasan sudah dari sejak semula ada di ranah


keagamaan. Sebagai institusi sosial dan politik, agama-
agama kerap terlibat dalam pertikaian. Ironisnya,
kekerasan itu dilakukan atas nama Tuhan atau teks-teks
kitab suci yang ditafsir secara literal. Belakangan dalam
studi agama-agama dikenal istilah fundamentalisme,

82 Soal hubungan antara pernyataan (wahyu) Allah dengan

kekerasan, terutama di dalam tradisi Kristen dibahas antara lain oleh


Leo D. Lefebure, Pernyataan Allah, Agama, dan Kekerasan, terj. Bambang
Subandrijo, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2003).

135
radikalisme dan konservatisme agama. Kesemuanya ini
menunjuk pada paham dan keyakinan tentang apa yang
ditafsir, kemudian dirumuskan menjadi doktrin yang
dianggap paling benar; orientasi waktu pada masa lalu
yang diyakini ideal sepanjang massa, dan diusahakan
berlaku mutlak untuk anggota kelompok, kemudian
berubah menjadi gerakan keluar. Dalam persinggunganya
dengan politik dan ekonomi, kelompok-kelompok
fundamentalis ini menjadi ekstrim dan keras.83 Meski
selalu disebut-sebut bahwa agama tidak pernah meyetujui
tindakan kekerasan, namun ini kemudian dipahami
sebagai fenomena keagamaan juga. Sekarang untuk
memahami persoalan itu tidak cukup menunjuk hanya ke
persoalan doktrinal. Tapi juga konteks politik dan ekonomi
agama-agama dianggap penting untuk membedah
persoalan agama-agama dan kekerasan.

Agama-agama dan Perdamaian - Meski secara jujur atau


mungkin juga sering secara kasar disebutkan bahwa
agama-agama berkaitan dengan kekerasan, namun
sesungguhnya kelahiran agama-agama adalah buah dari
refleksi manusia atas penderitaan hidupnya. Agama
Kristen misalnya, sangat identik dengan apa yang selalu
dipakai sebagai sapaan, “syalom” (dari bahasa Ibrani),
yang dalam arti sederhananya adalah “damai",
"perdamaian" atau "ketenangan".84 Dalam bahasa Yunani

83 Pembahasan mengenai fundamentalisme dalam agama-


agama lihat antar lain, Bruce Steve, Fundamentalisme: Pertautan Sikap
Keberagamaan dan Modernitas, (Jakarta: Gelora Aksara Pratama, 2002) dan
Richard T. Antoun, Memahami Fundamentalisme Islam, Kristen, dan
Yahudi, (Surabaya: Pustaka Eureka, 2003).
84 Kata ini digunakan 237 kali dalam Perjanjian Lama,

digunakan untuk mengucapkan selamat kepada seseorang, untuk

136
padanannya adalah kata “eirene”, yang secara konseptual
bermakna, “suatu keadaan tenang, misalnya tanpa huru-
hara atau perang, keharmonisan antar individu, keamanan,
keselamatan, kemakmuran.”85 Dalam pengertian
teologisnya, kehidupan yang damai sejahtera bahkan
menjadi visi keselamatan.

Dalam Islam, antara lain sering disebutkan bahwa kata


“Islam” secara etomoligis berasal dari kata semitik 'S-L-M',
(salam) yang secara sederhana berarti “damai”, “aman”,
dan “sentosa”. Kata “Islam”, yang diartikan `tunduk',
berasal dari kata infinitif “salama” dan kata "salam", yang
berarti `damai', berasal dari kata kerja “salima” yang
berarti “diselamatkan atau selamat dari bahaya”.86
Pengertian ini adalah salah satu dari definisi yang sering
diberikan orang. Pengertian lainnya, kata Islam bermakna
"untuk menerima, menyerah atau tunduk" (kepada Tuhan).
Secara teologis dimengerti bahwa, sikap ketertundukkan
kepada Tuhan akan mendatangkan kedamaian,
kenyamanan dan kesentosaan.

Dalam agama Hindu konsep perdamaian terkait dengan


bagaimana mereka memahami dosa. Asal dosa adalah
ahangkara (prinsip keakuan) atau nafsu. Ahangkara
disebabkan oleh keterkukungan dalam kesemuan.
Pergumulan seorang Hindu adalah bagaimana bisa

menanyakan keselamatan, digunakan untuk menjelaskan cara seseorang


datang atau pergi (dengan damai atau tidak, misalnya pergilah 'dengan
damai'), mengungkapkan kematian atau penguburan dalam damai.
85 “Kata salam: SYALOM” dalam
http://www.sarapanpagi.org/kata-salam-syalom-vt196.html.
86 Harun Nasution, Islam Di Tinjau Dari Bebagai Aspek, (Jakarta:

Universitas Indonesia,1979), cet. 1, hlm. 29

137
membebaskan diri dari kesemuan itu. Sebab, karma adalah
tingkah laku yang mengikuti nafsu. Manusia berusaha
lepas dari karma, yaitu samsara (kelahiran kembali).
Terbebasnya manusia dari keterikatan itu adalah
keselamatan. Itulah moksa, yaitu keadaan bersatunya
kembali atman (manusia) dengan Brahman (Sang Khalik).
Perdamaian terwujud ketika manusia, Tuhan, dan kosmis
berada dalam kesadaran yang bersatu. Perdamaian adalah
hidup aman, nyaman, sejahtera karena nafsu sudah
dikalahkan dengan kesadaran diri yang mendalam.

Umat agama Budha bergumul dengan apa yang disebut


dukha, semua yang melekat dalam diri manusia adalah
penderitaan. Kemelakatan terhadap semua jenis kejahatan
atau nafsu disebabkan oleh keinginan. Jalan untuk menuju
keselamatan adalah dengan menghancurkan keinginan
tersebut. Tujuannya adalah kesadaran kebersatuan,
keharmonisan dengan semesta dan Realita Yang Satu.
Ketika keinginan berhasil dihancurkan dan oleh karena
muncul kesadaran kebersatuan dengan kosmis, maka
manusia Budha telah berhasil mencapai nirvana. Manusia
telah berhasil berdamai dengan diri sendiri, dengan alam
dan Realita Yang Satu.

Khonghucu menekankan etika kehidupan yang harmonis.


Manusia, alam dan Thian ada dalam kesatuan yang
harmonis. Jalan hidup ini terimplementasi dalam etika
hidup bersama. Perdamaian terwujud ketika manusia telah
menjalan kebajikan yang utama, yaitu
perikeadilan/kelurusan hidup (yi) dan perikemanusiaan
(jen). “Jangan melakukan sesuatu yang kamu tidak ingin
orang lain lakukan kepadamu,” demikian Konghucu
mengajarkan etika keseimbangan hidup tersebut.

138
Dalam agama-agama pra modern, manusia selalu
menyadari hubungan dirinya dengan Tuhan dan alam
sebagai satu kesatuan. Gejala hidup sehari-hari, baik atau
buruk, selalu dilihat secara utuh, sebagai bagian yang tidak
terpisahkan dalam keberadaan dirinya dengan Tuhan dan
alam. Ritual dilakukan untuk perdamaian dengan Tuhan,
dan pada banyak hal memakai alam sebagai media.
Komunitas suku, adalah institusi religius yang meliputi
keseluruhan gerak hidup komunitas, baik dalam dimensi
sosial, politik dan ekonominya. Hidup damai, adalah
hidup yang lestari bersama alam dan Tuhan.

Dialog Kemanusiaan Menuju Kedamaian Sejati - Semua


yang ada pada agama-agama itu berakar dari kesadaran
manusia sebagai makhluk religius dan sosial. Bahwa,
dalam nurani setiap manusia terkandung harapan dan
keinginan untuk hidup aman, damai dan sejahtera.
Kalaupun yang menjadi pelaku itu juga adalah manusia,
maka itu pada sisinya yang satu. Sebab, manusia adalah
makhluk paradoks.

Manusia yang membentuk kebudayaan: sosial, agama,


politik, ekonomi, seni-sastra, teknologi (termasuk
kemudian teknologi informasi). Manusia paradoks itu yang
membentuk sistem dan ideologi. Maka, manusialah
sebenarnya yang paling mungkin menciptakan
perdamaian. Soal yang mendasar, bahwa manusia
kemudian tidak bisa lagi mengendalikan sistem, ideologi
dan teknologi yang dia ciptakan. Manusia bahkan menjadi
jahat oleh ciptaannya itu. Kekerasan dan kejahatan
kemanusiaan berakar dan berasal dari persoalan tersebut.

139
Manusia dan kelompok manusia hidup dalam agama-
agama sebagai salah satu media untuk merefleksikan
keyakinan religiusnya kepada Sang Kuasa demi
keselamatan. Dalam dimensinya yang lain, agama-agama
ini juga menjadi sarana untuk mengidentifikasi diri,
membedakan diri dengan yang lain. Doktrin dan paham
agama (-agama) kemudian meresap jauh ke dalam
kesadaran diri manusia. Sehingga, yang semula manusia
adalah sama derajatnya secara kodrati, dengan agama-
agama akhirnya menjadi berbeda-beda, dan kemudian
saling membedakan diri. Padahal, yang subtansial dari
agama-agama ini adalah spirit “perdamaian”, berdamai
dengan sesama, dengan Tuhan dan dengan alam.

Agama sebagai alat idenfitikasi dirilah yang membuat


manusia bertengkar. Apalagi jika “identitas” berdasar
agama itu disusupi dengan maksud berkuasa (politis) dan
kaya/ pamer diri (ekonomis). Di era ini mengidentifikasi
diri sendiri atau seseorang berdasar agama sangat
berbahaya. Sebab, “citra” dan “imagologi religius” oleh
teknologi informasi digital, semacam internet dengan situs-
situsnya telah mengaburkan realitas yang sesungguhnya.
Karena media memberitakan secara heboh tentang
terorisme yang dikaitkan dengan konsep jihad dalam Islam
maka opini publik yang bukan Islam dengan muda dapat
mengidentifikasi seluruh umat Islam sebagai teroris.
Begitupula, karena stigma-stigma yang muncul dalam
penulisan sejarah yang bias mengenai umat Kristen yang
disamakan dengan penjajah (Spanyol dan Belanda), maka
sering muncul generalisasi bahwa agama Kristen adalah
agama penjajah.

140
Karena kondisi kesemuan realitas keagamaan pula agama
sering dipakai sebagai identitas politik primordial. Hal itu
tampak dalam pemilihan-pemilihan umum dari pemilihan
kepala daerah, calon anggota legislatif sampai presiden di
Indonesia. Semua cara menjadikan agama sebagai identitas
diri sendiri atau seseorang makin mengeraskan kekerasan
bernuansa agama.

Agama sebagai identitas diri adalah salah satu titik tengkar


antara agama-agama selain doktrin dan perebutan wilayah
kekuasaan keagamaan. Indonesia di masa orde baru secara
politis pernah muncul usaha untuk mengatasi persoalan
perbedaan suku, agama, ras dan golongan, dengan cara
mengangkat setinggi-tingginya posisi Pancasila. Itu
sebetulnya usaha yang politis untuk mengatasi
keanekaragaman dengan penyeragaman melalui doktrin
tunggal, Pancasila.

Tapi, itu ternyata bom waktu. Ketika reformasi membuka


ruang bagi yang berbeda itu untuk menyatakan diri
berdasar identitas keagamaan dan kesukuan, maka konflik
muncul di mana-mana. Benar bahwa hal itu tidak pertama-
tama karena persoalan perbedaan – bahwa kepentingan
politik dan ekonomi bermain di wilayah itu adalah juga
fakta – namun ketika agama-agama tampil di barisan
paling depan dalam konflik dan kerusuhan, hal ini
menunjukkan fakta bahwa ada yang belum beres pada
masyarakat Indonesia dalam memaknai hakikat perbedaan
dalam kehidupan bersama.

Olaf Schumaan mengkritik cara pemerintah negara ini


menjadikan Pancasila seolah-olah sebagai sumber utama
untuk mewujudkan kebebasan beragama dan perdamaian.

141
Terutama dia bicara soal “sila Ketuhanan yang Maha Esa.”
Memang, secara konstitusional, setiap penyelenggara
negara dan institusi pemerintah terikat pada Ketuhanan
Yang Maha Esa, sebagai sila pertama Pancasila. “Namun,
dengan istilah ini, ‘ketuhanan’, setiap tipu muslihat dan
pemutarbalikan makna, baik nats maupun semangat,
konstitusi dalam bidang keagamaan dimulai.” 87

Maksud Schumann, sebagai sebuah istilah yang abstrak,


“ketuhanan” memang cocok dalam bidang kenegaraan.
Tapi, dalam bidang keagamaan itu sama sekali tidak cocok.
Masing-masing (umat) agama memiliki pemahamannya
sendiri tentang Kuasa Yang Maha Tinggi dan Maha Esa.
Dan, bagaimana usahanya memahami hal itu adalah
urusan dari setiap kelompok beragama. Schumann
melanjutkan bahwa kekeliruan itulah yang berdampak
pada kesalahan pemerintah membuat definisi tunggal
tentang agama di Indonesia. “Ketuhanan” itu adalah awal
dari tipu muslihat dan pemutarbalikan makna di bidang
keagamaan.88 Negara tidak boleh menerapkan

87 Olaf Schumann, Agama-agama: Kekerasan dan Perdamaian,

(Jakarta : BPK Gunung Mulia, 2011), hal. 544, 545. Dalam tulisannya ini,
Schumann juga mengkritik mengenai istilah “agama” yang politis
produk pemerintah yang dipakai untuk mengidentifikasi keagamaan di
Indonesia.
88 Misalnya, berdasarkan konsep “ketuhanan” itu, antara lain

terbit Penetapan Presiden (Penpres) No.1/PNPS/1965 junto Undang-


undang No.5/1969 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan Penodaan
agama yang dalam penjelasannya pasal demi pasal dijelaskan bahwa
Agama-agama yang dianut oleh sebagian besar penduduk Indonesia
adalah: Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, dan Konghucu. Dengan
UU dan Penpres ini, seolah-seolah agama-agama yang eksis di Indonesia
hanya 6 agama itu. Padahal, hampir setia suku bangsa masih ada
anggota masyarakatnya yang beragama sukunya masing-masing.

142
“ketuhanan” yang abstrak dan politis itu dalam urusan
masing-masing kelompok agama tentang agamanya.

Ideologi politik, termasuk teologi yang dirumuskan dan


diwacanakan secara politis dan untuk kepentingan politik
kekuasaan bukanlah titik berangkat menciptakan
perdamaian. Malah, hal itu sering menjadi sumber
kekacauan. Setiap agama ataupun dalam setiap nurani
manusia terkandung kepeduliaan dan keprihatinan
terhadap masalah-masalah kemanusiaan. Persoalan
kemanusiaan itu antara lain, kekerasan, penzaliman
kepada individu atau kelompok, keterbelakangan,
peminggiran, diskriminasi, matinya kemanusiaan karena
orientasi pada materialisme dan hedonisme, matinya rasa
persaudaraan akibat mekanisasi nalar serta rasa dan
intuisi, serta kepalsuan-kepalsuan diri, dan lain
sebagainya. Berikut, karena manusia hidupnya menyatu
dengan alam, maka yang disebut persoalan kemanusiaan
meliputi juga persoalan ekologis.

Situasi yang serba sulit karena hal-hal yang disebutkan di


atas membuat manusia kembali mencari rasa damai,
kedamaian atau perdamaian. Maka, agama-agama yang di
masa awalnya lahir dari refleksi mendalam atas
penderitaan hidup untuk menuju kedamaian, memikul
tanggung jawab melaksanakan usaha-usaha perdamaian.
Fokus agama-agama sejatinya bagaimana membuat
manusia dan alam hidup dalam kedamaian bersama Tuhan
“Yang Maha Kuasa.”

Kedamaian sejati hanya dapat terwujud dengan usaha-


usaha perdamaian yang meliputi semua dimensi
kehidupan manusia. Ini tugas berat. Namun, dalam

143
misinya di tengah-tengah dunia yang terus bergolak,
agama-agama, baik institusi, umatnya, nilai serta
gerakannya dituntut untuk berperan di wilayah ini. Ini
tugas dan tanggung jawab bersama. Makanya, kita tidak
bicara “agama”, sebagai sesuatu yang tunggal, tapi
“agama-agama” yang beraneka ragam. Tanggung jawab
mewujudkan kedamaian, bukan hanya antara agama yang
sering terlibat dalam percekcokan, melainkan juga peran
agama-agama pada realitas yang tidak aman, tidak
nyaman dan tidak damai. Yaitu peran agama-agama dalam
usaha mengatasi hal-hal yang membuat hidup bersama
tidak nyaman, seperti diskriminasi, eksploitasi,
peminggiran, ketidakadilan dan kekerasan yang ada di
sekitarnya.

Kemanusiaan menjadi titik tolak dialog antar umat


beragama untuk mewujudkan kedamaian di era ini dan
bahkan akan datang. Karena ketidakdamaian berakar dari
ketidaknyaman hidup manusia dalam menjalani hari-hari
hidupnya yang dipenuhi dengan ketidakadilan maka
usaha mewujudkan perdamaian selalu relevan. Jika makan
sehari sekali saja sulit, maka pastilah hidup terasa tidak
damai. Rakyat yang hidupnya selalu dipinggirkan dan
didiskriminasi tentu hidup mereka juga tidaklah damai.
Jika lingkungan hidup dirusak oleh kapitalis atau kelalaian
sendiri, tentulah hidup tidak damai karena selalu
dibayang-bayangi bahaya bencana banjir, tanah longsor
atau sakit penyakit. Jika hanya menyampaikan pendapat
yang berbeda dengan penguasa ancamannya adalah nyawa
melayang, maka tentu situasi hidup ini adalah tidak damai.
Maka, kemanusiaan haruslah menjadi titik tolak usaha
mewujudkan kedamaian.

144
Bagaimana agama-agama berperan dalam usaha itu?
Caranya, yaitu mulai dari perubahan cara pemaknaan
terhadap teks-teks kitab suci, doktrin dan tradisi agama
sendiri. Dari hanya bicara-bicara soal langit atau sorga, ke
aksi nyata untuk bumi, pijakan dan realitas yang bergolak
itu. Hal ini yang selalu disebut-sebut sebagai perubahan
paradigma berteologi. Kedua, adalah perubahan cara
pandang terhadap agama-agama lain agar dapat
membangun relasi, kerjasama dan dialog yang tulus.
Ketidaktahuan tentang apa dan bagaimana agama-agama
lain dapat melahirkan prasangka dan saling sesat-
menyesat. Saling mengkafirkan. Sangat sulit membangun
aksi bersama untuk mengatasi persoalan konteks jika
masing-masing agama tidak saling membuka diri, tidak
mau memperbaiki hubungan dan membangun cara
pandang yang positif. Maka perlu ada dialog teologis, yang
meski awalnya mungkin sulit karena beban-beban masa
lalu dan terutama doktrin-doktrin yang mapan, namun jika
dilaksanakan dengan niat yang mulia, pasti bisa. Ketiga,
perubahan cara pandang tentang hubungan agama dengan
kehidupan sekuler. Dogma agama-agama yang
dirumuskan mestilah hasil dialog aktif dengan pergumulan
konteks. Dari situ kemudian menggagas aksi bersama
untuk mengatasi berbagai persoalan kemanusiaan.
Kerjasama di bidang kemanusiaan adalah dialog kongkrit
yang teologis. Hal ini, tentu membutuhkan nilai-nilai
bersama, yang bisa kita sebut sebagai nilai etis bersama.

Nilai-nilai Etis Bersama demi Masa Depan Masyarakat


Global
Masa depan masyarakat bumi memang tidak hanya
bergantung dari gagasan manusia tentang Tuhan dan
peran agama-agama. Mungkin akan semakin banyak orang

145
meninggalkan Tuhan dan agamanya untuk mencari kuasa
dan cara lain menuju masa depan. Namun, agama-agama
ini, setidaknya sudah teruji ketahanannya beribu-ribu
tahun lamanya untuk selalu berusaha menyesuaikan diri
dengan perubahan dan pergeseran zaman. Termasuk, saya
optimis, agama-agama ini mampu melewati masa transisi
sekarang ini.

Karen Armstrong setelah membahas bagaimana usaha


manusia dalam sejarah selama 4.000 tahun pencarian
Tuhan yang dilakukan oleh orang-orang Yahudi, Kristen
dan Islam, di halaman terakhir bukunya A History of God ia
menuliskan, bahwa manusia pada dasarnya tidak bisa
menanggung beban kehampaan dan kenestapaan (yang
dalam bahasa para pengkaji era digital cultures mereka
menyebutnya kesemuan, posrealitas, pospiritualitas – saya)
manusia akan selalu berusaha mengisi kekosongan itu
dengan menciptakan fokus baru untuk meraih hidup yang
bermakna. Dengan demikian, tambah Armstrong:

Berhala kaum fundamentalis bukanlah peganti


yang baik untuk Tuhan; jika kita mau menciptakan
gairah keimanan yang baru untuk abad kedua
puluh satu, mungkin kita harus merenungkan
dengan saksama sejarah Tuhan ini demi menarik
pelajaran dan peringatan.89

Pelajaran dari sejarah pencarian Tuhan oleh manusia-


manusia beragama sepanjang masa adalah kreatifitas dan
makna-makna mengenai gagasan tentang Tuhan yang
selalu berhubungan dengan pergulatan hidup mereka,

89 Armstrong, op.cit., hlm. 510.

146
serta kebudayaan sebagai pijakan perumusan gagasan itu.
Fundamentalisme, mungkin salah satu bentuk usaha
pencarian itu namun, sebagaimana sudah ditunjukkan oleh
Armstrong dalam bukunya tentang tindakan manusia
beragama meninggalkan gagasan dan makna Tuhan yang
tidak cocok bagi konteks zamannya, mungkin itulah
maksud himbauannya itu. Fundamentalisme (ber)agama
hanya memunculkan berhala baru, yaitu berhala pada teks
kitab suci, tradisi, dogma dan ambisi untuk memurnikan
sesuatu yang sebenarnya memang benar-benar sekuler
sehingga kekerasanpun sering dihalalkan. Dalam model
beragama macam ini, Tuhan dan spiritualitas keagamaan
sebenarnya telah ”mati” dibunuh oleh arogansi dan
ambisi-ambisi duniawi berjubahkan surgawi.

Ada sebuah panggilan bagi agama-agama, jika kita


berangkat dari refleksi Armstrong itu dan realitas
dinamika zaman sekarang ini, yaitu sebuah nilai etis
keagamaan bersama yang diusahakan untuk menjawab
persoalan kekinian di awal abad 21 ini tentang dua krisis
tersebut, yaitu krisis kemanusiaan dan krisis ekologi.
Dengan demikian, saya akan memulai pembahasan
mengenai nilai-nilai etis bersama dan masa depan
masyarakat global ini dengan sebuah kisah nyata.

Seorang bocah perempuan di China tertabrak mobil. Bocah


itu baru berusia 2 tahun. Namanya Yue Yue. Dia waktu itu
sedang yang bermain di jalan pasar daerah Foshan, Cina.
Ironisnya, mobil yang menabraknya, pergi begitu saja.
Setelah roda bagian depan melindas tubuh si bocah,
menyusul roda bagian belakang. Setelah itu, bahkan ada
satu mobil lagi yang melindas bagian kaki si bocah.
Sungguh memprihatinkan. Lebih menyedihkan lagi, ada

147
sekitar 18 orang yang lewat di tempat kejadian perkara,
tapi tak satupun dari mereka yang menolong anak itu. Yue
Yue nanti ditolong oleh seorang wanita pemulung benama
Xianmei Chen. Setelah mengalami koma beberapa hari,
nyawa gadis ciliknya itu akhirnya tak bisa tertolong lagi. Ia
tewas.

Kejadian itu berhasil direkam oleh kamera pemantau.


Segera, videonya disebarkan ke seluruh penjuru dunia
melalui jaringan internet. Sejumlah pendapat muncul
terkait dengan peristiwa yang memiluhkan itu. Ada yang
mengkaitkan dengan bomming ekonomi yang sedang
melanda China. ”Agaknya, materialisme telah
menggantikan moral kemanusiaan di China,” begitu
seseorang berkomentar di sebuah youtube.com.

Kehancuran moral dan modal sosial dalam suatu


masyarakat memiliki hubungan dengan perubahan
perilaku dan cara berpikir individu dan kelompok-
kelompok sosial. Semua manusia terlahir dengan
kodratnya yang sama. Yaitu, sebagai makhluk ciptaan Sang
Khalik. Tapi, dalam memberadakan diri ia tidak berada di
ruang kosong. Semua manusia berada di dalam
kebudayaannya. Awalnya manusialah yang
mengkonstruksi dan mengembangkan kebudayaan itu.
Namun, setelah itu, pada banyak hal, manusia itu
kemudian di(ter)konstruksi oleh kebudayaannya. Cara
berperilaku dan berpikir manusia, sangat terkait dengan
kebudayaan yang membentuknya.

Di mana tempat nilai-nilai etis di era transisi ini? Apakah


masih mungkin mendiskusikan topik ’nilai-nilai etis’, di
sebuah era hampir tanpa nilai, tanpa rasa dan tanpa

148
kemanusiaan? Kalau nilai-nilai etis disamakan dengan
hukum, yaitu hanya bicara pasal-pasal tentang apa yang
benar dan apa yang salah; apa yang boleh dan apa yang
tidak boleh, maka nilai-nilai etis memang semakin sulit
didiskusikan. Atau kalau nilai-nilai etis hanya bicara
bagaimana mengawal atau menjaga kemapanan moral dan
dogma agama, maka nilai-nilai itu akan segera runtuh
digantikan dengan gaya hidup yang hedonis dan
konsumeris. Di Facebook, misalnya nilai-nilai etis
diperhadapkan dengan kebebasan dan keterbukaan.
Dengan demikian, nilai-nilai etis, di era ini mestinya tidak
hanya bicara kesalehan pribadi, namun harus juga bicara
kesalehan sosial, yaitu perbuatan benar dan baik yang
mentransformasi masyarakat.

Diakui bahwa globalisasi telah membantu


menyebarluaskan cara berpikir dan berperilaku
(pos)modern(isme): materilisme, sekularisme, rasionalisme,
gaya hidup hedonis dan konsumeris tanpa rasa. Globalisasi
sesungguhnya tidak hanya berhubungan dengan ekonomi,
tapi juga sosial, politik hingga paradigma bermasyarakat,
baik kultur maupun agama. George Rizter, seperti yang
sudah saya kutip sebelumnya menyebut era ini sebagai era
mengkonsumsi ”kehampaan.” Masyarakat dunia memang
saling berhubungan. Hubungan itu menjadi lintas batas.
Tapi, di era ini hubungan itu tidak lagi terjadi secara
personal yang melibatkan emosi. Perangkat-perangkat
teknologi informasi membuat manusia berhubungan
dengan ”bukan sesuatu.” Manusia pun, seolah-seolah
mulai berubah bukan ”sesuatu” lagi. Seperti ”zombie”,
tampak sebagai manusia tapi tidak punya jiwa, nurani dan
rasa. Manusia sedang digitalisasi menjadi manusia

149
program, seperti tokoh-tokoh permainan video game dalam
sebuah dunia yang semakin mengecil.

Kisah Yue Yue yang memiriskan itu hanyalah salah satu


dari banyak fenomena perubahan cara berpikir dan
berperilaku individu dan masyarakat di era ”kehampaan”
ini. Manusia, seolah tidak lagi dilihat sebagai ”siapa”, yang
punya jiwa, nurani dan rasa. Manusia diperlakukan
hampir hanya seperti seonggok materi fana. Harganya,
oleh kapitalisme, mungkin beda-beda tipis dengan harga
sendal jepit.

’Kehampaan” ini, memang sedang melanda masyarakat


dunia. Amerika Serikat, negara adikuasa, pun mengalami
perubahan-perubahan mendasar dalam kehidupan moral
masyarakat akibat kapitalisme yang ia bangun sendiri.
Francis Fukuyama, seorang akademisi, komentator politik,
dan penasihat pemerintah Amerika Serikat dalam bukunya
The Great Disruption (1994) membahas situasi hancurnya
social capital masyarakat Amerika karena perubahan-
perubahan besar di abad yang baru lewat itu. Gejala
kehancuran besar itu meliputi kriminalitas yang
berkecamuk, kepercayaan menipis, keluarga berantakan,
dan individualisme mengalahkah komunitas. ”Apakah
kapitalisme menghacurkan social capital?” tanya Fukuyama.
Jawabnya, ”Kapitalisme demikian dinamis, sumber
destruksi yang demikian kreatif, yang secara konstan
mengubah terma-terma pertukaran yang berlangsung
dalam komunitas-komunitas manusia.”90

90Francis Fukuyama, The Great Disruption: Hakikat Manusia dan


Rekonsruksi Tatanan Sosial, terj. Ruslani, (Jakarta: Qalam, 2000), hlm. 420.

150
Era transisi ini ditandai pula dengan kemunculan dan
perkembangan ”new media”. Di satu pihak, ia membuat
komunikasi semakin cepat, murah dan mudah. Namun di
pihak lain, dampaknya, perjumpaan antar subjek tidak lagi
terjadi secara personal, tetapi tinggal direpresentasi oleh
perangkat teknologi, seperti internet dengan berbagai situs
jejaring sosialnya, seperti Facebook. Perjumpaan terjadi
hanya dengan suara, gambar, atau kata-kata. Perjumpaan
menjadi semu. Media digital atau new media
menyebarluaskan realitas yang tidak lagi sesungguhnya.
Kita menonton tv sama dengan menonton peragaan atas
realitas. Kita berselancar di internet bertemu dengan ribuan
atau bahkan jutaan informasi. Individu-individu di dunia
maya ini berinteraksi dalam ”kesemuan.”

Ketika kesadaran menjadi semu, maka manusia hampir-


hampir tidak lagi bisa memilih ”apa yang diinginkan” atau
”apa yang tidak dinginkannya.” Atau ”apa yang harus
diperbuat” atau ”apa yang tidak harus diperbuat.” Tidak
ada lagi kebebasan memilih, ketika, pun kebebasan sudah
tersimulakra (kebebasan palsu). Manusia tidak bisa lagi
memilih untuk tidak membeli pulsa ketika handphone
sudah menjadi alat komunikasi menggantikan surat kertas.
Kenapa ini bisa terjadi? Karena, semua pada manusia itu
sudah dikontrol dan dikonstruksi oleh pengendali hasrat,
yaitu kapitalisme. Manusia tidak lagi bisa memilih untuk
melakukan yang baik kepada sesama, ketika ”yang baik”
itu harus menurut pengendali.

Namun, Tuhan-tuhan yang ditampilkan di Facebook


misalnya, sebenarnya sadar atau tidak sadar bagian dari
proses memahami ulang atau proses pencarian Tuhan
untuk menemukan spiritualitas bersama di era yang sudah

151
sangat berubah. Ia menggambarkan ‘kerinduan’ manusia
untuk memaknai ulang Tuhan dalam kehidupannya dalam
konteks yang sudah berubah. Pencitraan ini menggunakan
media global dan bahasa global, yaitu bahasa Facebook,
maka Tuhan ini sepertinya sedang diarahkan untuk suatu
konsep dan gagasan bersama. Pencitraan Tuhan oleh para
netters atau facebookers di Facebook dalam bentuk teks,
gambar dan video, tampaknya juga sedang membebaskan
“Tuhan” itu dari penjara-penjara dogma dan tradisi
agama-agama yang sebelumnya dipahami secara eksklusif.
Kaitan dengan hal itu, tanpa juga disadari, ini sedang
mengarahkan manusia-manusia beragama ke usaha
pencarian Tuhan di era datar yang terbuka. Sepertinya,
media digital dan internet sebagai teknologi informasi
termutakhir adalah juga ”berkat” dalam hal ketika ia
memberi ruang bagi orang-orang beragama untuk saling
mendialogkan Tuhan-tuhannya dalam media komunikasi
yang memiliki kemampuan uploading. Inilah salah satu sisi
paradoks dari teknologi itu.

Dalam sebuah wawancaranya dengan situs Amazon.com,


Armstrong mengungkapkan optimismenya dengan
kemajuan teknologi informasi dalam hal saling mengenal
dan belajar antar agama-agama. Menurutnya, dengan
adanya perkembangan teknologi informasi serta
penguasaan bahasa, orang-orang beragama semakin
banyak tahu tentang agama-agama lain, tidak hanya satu
cerita dari satu sumber saja.

Salah satu yang kemudian menjadi topik menarik dan


relevan saling belajar antar agama itu adalah nilai-nilai etis
yang dikandung setiap agama. Berangkat dari persoalan
kekinian umat manusia, maka kemudian bicara nilai-nilai

152
etis di era ini, sudah semestinya menyentuh sampai pada
persoalan-persoalan mendasar yang dihadapi bersama,
yaitu sebagai komunitas terbatas atau bahkan masyarakat
global. Seperti korupsi, kemiskinan, kebodohan,
peminggiran, diskriminasi, dan penghancuran lingkungan
hidup.

Berhadapan dengan kompleksitas persoalan kemanusiaan


ini, mungkin tidak relevan lagi mengembangkan sebuah
nilai etis yang primordial atau hanya berlaku untuk
komunitas terbatas. Era ini membutuhkan nilai-nilai etis
bersama yang diterima bersama dan dihayati bersama
dalam kehidupan bersama. Ia bisa dari bermacam-macam
sumber nilai yang ada dalam masyarakat dan bahkan
memengaruhi hidupnya. Agama-agama, semuanya bicara
nilai-nilai etis. Budaya lokal, juga bicara nilai-nilai etis.
Hukum positif, melembagakan nilai-nilai etis. Nilai-nilai
dan ideologi sekuler, seperti hak asasi manusia, juga
mengandung nilai-nilai etis.

Bicara nilai-nilai etis di era ini, baiknya arah dan


substansinya adalah nilai-nilai dan norma-norma moral
bersama, yang diupayakan terintegrasi dalam diri
seseorang atau kelompok, yang kemudian nilai-nilai itu
mewujud dalam praktek hidup bersama. Meskipun
disadari bahwa penggalian dan perumusan nilai-nilai etis
bersama itu membutuhkan proses yang tidak sekali jadi.

I Bambang Sugiharto ketika membahas mengenai


bagaimana cara manusia bereksistensi, ia mengambil
inspirasi dari pemikiran salah satu filsuf eksistensial, Soren
Kierkegaard. Menurut Kierkegaard, seperti yang diulas
Sugiharto, bereksistensi berarti sebagai upaya untuk

153
semakin mewujudkan diri, semakin menjadi individu yang
autentik. Proses ini bagian dari usaha menuju makhluk
rohani, yang melewati tiga tahap dialektika, yaitu: estetika,
etik dan religius.91

Tahapan estetika adalah suatu tahap di mana manusia


masih berorientasi pada kepuasaan yang diperoleh dari
naluri-naluri sensual dan dorongan hati. Ditahap ini
manusia masih mengutamakan penampilan dan
pencitraan. Tahap etik adalah pola hidup yang
menganggap keutamaan-keutamaan moral sebagai hal
yang terpenting. Menuju ke tahap ini, biasanya melalui
sebuah tahap tranformasi diri. Keutamaan dari tahap
hidup ini adalah pada usaha mengubah dan mengarahkan
kepribadian supaya sesuai dengan cita-cita moral.
Sementara tahap religius adalah di mana orang hidup
sepenuhnya dengan iman. Sebuah tranformasi besar
menuju ke sini mungkin dilalui dengan proses-proses
pencarian spiritualitas dan makna-makna tentang Tuhan.

Proses penemuan eksistensi diri itu dilakukan oleh


manusia, makhluk paradoks itu. Maka, usaha merumuskan
nilai-nilai etis bersama (sebagai bagian dari usaha menuju
ke kehidupan yang religius) adalah dengan juga
mempertimbangkan bagaimana individu-individu itu
digerakkan untuk bersama-sama dalam komunitas etis
bersama. Proses dialektika eksistensi manusia justru
dimulai dari ketegangan kreatif manusia, sebagai makhluk
yang paradoks. ”Itulah dia manusia paradoksmu,” tulis
Dee atau Dewi Lestari dalam novelnya ”Supernova

91I Bambang Sugiharto, Agus Rachmat W., Wajah Baru Etika dan
Agama, (Yogyakarta: Kanisius, 2000), hlm. 98-101.

154
Episode Ksatria, Puteri dan Bintang Jatuh” (Bandung:
Truedee, 2001).

Manusia, siapapun dia ingin diperlakukan secara baik,


benar dan adil. Tapi, di satu pihak, makhluk ini suka
melakukan yang tidak baik, tidak benar dan tidak adil
kepada orang lain. Sepertinya ini karena egoisme. Bisa jadi.
Tapi, lebih daripada itu, ini sangat terkait dengan apa yang
selalu ”bertarung” dalam diri manusia, yaitu antara ”roh”
dan ”tubuh”, antara yang kekal dan yang fana.

Karena manusia paradoks, konteks kehidupannya juga


menjadi paradoks. Fenomena paradoks yang paling
mencolok sekarang adalah kemerosotan di bidang moral
politik dan ekonomi. Ia paradoks, karena tampak jelas
perkembangan, khusunya di Indonesia, bahwa sepertinya
ada kebangkitan agama-agama (yang kebanyakan
diasumsikan sebagai sumber nilai-nilai moral etika). Tv-tv
swasta dipenuhi dengan sinetron-sinetron dan acara-acara
rohani. Para ustad mengkhotbahkan kesucian hidup,
demikian juga para evangelis, pengkhotbah atau pendeta.
Citra tentang Tuhan dalam bentuk tanda-tanda digital
membajiri media sosial, seperti Facebook.

Namun yang bangkit dari agama-agama itu adalah soal


emosinya, citra, pemurnian dogma, bukan terutama nilai-
nilai etisnya.92 Semakin banyak laki-laki muda bersorban
putih, perempuan berjilbab tertutup rapat, KKR di mana-
mana, ibadah-ibadah dilaksanakan di hotel-hotel

92 Eka Darmaputera, “Kebangkitan Agama dan Keruntuhan

Etika”, dalam Tim Balitbang PGI (peny.), Meretas Jalan Teologi Agama-
agama, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2003), hlm, 62-70.

155
berbintang. Sepertinya kita sedang menjadi negara
teokratis di abad pertengahan itu. Tapi, di saat yang sama,
terorisme, korupsi, konflik atas nama Tuhan dan agama
menggejala. Inilah era paradoks.

Seperti halnya gobalisasi yang juga mengandung banyak


paradoks itu. Misalnya, di satu pihak ia menawarkan
sebuah gaya hidup bersama secara global, namun,
perangkat-perangkat teknologi informasi sebagai
pendukung globalisasi justru memberi ruang ekspresi
lokalitas. Di satu pihak globalisasi mengiming-imingi
kemajuan ekonomi dengan pasar bebasnya, namun di lain
pihak ia mendestruksi kemanusiaan dan alam. Harga
manusia di dalam pasar bebas sama dengan harga minyak
mentah ekspor misalnya. Alam hancur karena eksploitasi
besar-besaran akibat model pembangunisme. Etika – kalau
hanya bicara etika terbatas agama(-agama) - memang
sedang terancam, bahkan ada yang sudah berani bilang, ia
sudah runtuh!

Dengan demikian, untuk mengantisipasi keruntuhannya


yang benar-benar runtuh, penting agama-agama menjadi
pelopor pengembangan nilai-nilai etis bersama sebagai
bentuk ekspresi yang benar-benar nyata atas mandat ”Sang
Suci”, Tuhan yang disapa dalam beragam nama itu. Nilai-
nilai etis bersama ini dihasilkan dari diskursus makna-
makna terdalam dari agama-agama.

Karen Armstrong, dalam karyanya tahun 2010, Compassion


mengajak masyarakat dunia untuk mengembangkan apa
yang sudah menjadi kesadaran tua agama dan
kebudayaan, yaitu yang secara populer diistilahkan
“Kaidah Emas.” Karya ini memberi rasa optimis mengenai

156
harapan melewati masa transisi ini. Orang-orang dipanggil
untuk mengembangkan rasa belas kasihnya, terhadap
sesama dan terhadap lingkungan tempat dia tinggal.

Armstrong menulis di bagian awal bukunya itu, “Salah


satu tugas utama zaman kita ini tak lain adalah
membangun sebuah komunitas global yang di dalamnya
semua orang dapat hidup bersama dalam sikap saling
menghormati...” Meskipun diakui Armstrong, agama yang
sebenarnya diharapkan dapat memberi konstribusi besar
terhadap usaha itu, justru dianggap bagian dari masalah
global yang dihadapi oleh masyarakat dunia. 93

Situasi yang menjadi keprihatinan bersama ini


membutuhkan sebuah spiritualitas bersama, yang oleh
Armstrong itu bisa ditemui dalam nilai-nilai terdalam
agama-agama dan kebudayaan, yaitu belas kasih
(compassion) yang dasarnya adalah “Kaidah Emas”.94

Belas kasih atau compassion yang dimaksud oleh


Armstrong adalah sebuah sikap dan kesadaran yang,
“...’menanggungkan [sesuatu] bersama orang lain’,
menempatkan diri kita ke dalam posisi orang lain, untuk

93 Karen Armstrong, Compassion: 12 Langkah Menuju Hidup

Berbelas Kasih, diterj. Yulianto Liputo, (Bandung: Mizan, 2012), hal. 9 dan
10. Buku ini saya nanti baca tahun 2013/2014 setelah hampir selesai
menulis naskah buku ini. Beberapa nilai etis yang saya rumuskan untuk
menjadi tawaran menjalan kehidupan keagamaan dan spiritualitas
sepertinya bersesuaian dengan gagasan dasar Karen Armstrong dalam
bukunya tersebut.
94 Kaidah Emas ini yang juga menjadi dasar yang
dikembangkan oleh pemimpin-pemimpin agama se-dunia dalam
Parliament of The World’s Religion mengadakan pertemuan di Chicago, USA,
tahun 1993.

157
merasakan penderitaannya seolah-olah itu adalah
penderitaan kita sendiri, dan secara murah hati masuk ke
dalam sudut pandangangnya.”95

Belas kasih ada pada kesadaran kemanusiaan semua


manusia, manusia yang membentuk agama dan
kebudayaan. Ia adalah nurani setiap manusia. Namun,
justru selama ini yang dominan dikembangkan dan
dihadirkan dalam perjumpaan-perjumpaan atau interaksi
di dalam masyarakat adalah satu sisi dari manusia yang
secara evolusionis diwarisinya dari sifat-sifat keliaran dan
kebrutalan, seperti yang tampak pada binatang.

Belas kasih, bukan merasa kasihan tanpa sikap kritis. Ia


sebuah sikap dan kesadaran, di mana seorang manusia
merefleksikan secara mendalam makna dirinya bersama
orang-orang lain. Ia mengarahkan manusia untuk
merasakan penderitaan, kesusahaan, kekecewaan, putus
asa yang dialami oleh orang-orang lain. Sebuah sikap dan
kesadaran luhur untuk mau melampaui ego diri dan
menempatkan diri seutuhnya bersama-sama orang lain,
tanpa harus menjadi lain. Sikap dan kesadaran ini relevan
dikembangkan di tengah ancaman kehancuran kehidupan
bersama dan lingkungan hidup akibat destruksi oleh
keserakahan karena terpenjaranya manusia pada orientasi-
orientasi hidup menimbun kekayaan dan berkuasa secara
absolut. Rupanya cara terbaik melawan kekuatan global
yang sedang mengancam kehidupan bersama adalah
dengan membangun kesadaran bersama secara global
pula, yang nilai-nilai dasarnya direfleksikan dari apa yang
agama dan kebudayaan kita punya.

95 Ibid, hal. 15

158
Armstrong mengajak kita untuk mengeksplorasi makna
terhadap dari ‘belas kasih’ yang bisa ditemukan pada
semua agama dan kebudayaan. Langkah selanjutnya
adalah usaha menerjemahkan dalam kehidupan praksis.
Ada 12 langkah yang dia usulkan untuk hidup berbelas
kasih dalam usaha mewujudkan komunitas masyarakat
global yang lebih baik. Gagasan-gagasan ini lahir dari
konteks global yang memprihatinkan: “Ada ketidak
seimbangan yang mencemaskan antara kekuasaan dan
kekayaan, kelesuan ekonomi, keterasingan, dan
keterhinaan yang telah meledak dalam kekejaman teroris
yang membahayakan kita semua.”96

Berikut ini, beberapa rumusan nilai etis yang dapat


diusulkan untuk dikembangkan di era budaya digital, di
era agama-agama dan kebudayaan berhadapan dengan
tantangan kesemuan, kepalsuan dan kehancuran
kemanusiaan dan lingkungan hidup. Kita membutuhkan
nilai-nilai dasar bersama, nilai etis bersama untuk
menghadapi masalah digitalisasi, kapitalisasi serta
politisasi hampir semua sendi kehidupan yang menjadi
gejala globalisasi ekonomi, politik dan budaya di abad 21
ini.

1. Nilai Etis Bersama untuk Kehidupan yang Egaliter


dan Infklusif
Semua manusia, terlahir sebagai makhluk yang berderajat
sama. Namun, bagaimanapun kebudayaan telah turut
menciptaan perbedaan-perbedaan, selain lingkungan
geografis. Mestinya, perbedaan-perbedaan yang

96 Ibid, hal. 11.

159
dikonstruksi oleh kebudayaan dan lingkungan geografis
tersebut tidak serta merta membatalkan kodrat yang pada
semua manusia, sebagai makhluk yang memiliki hak dan
status yang sama sebagai penduduk bumi.

Era ini ditandai juga dengan plurasisasi dalam berbagai


dimensi kehidupan. Manusia dari beragam latar belakang
agama, ras, suku, ideologi dan status sosial bertemu dalam
interaks-interaksi dinamis setiap hari di media-media
digital yang terhubung oleh jaringan internet. Dalam dunia
nyata, persoalan yang sering muncul dalam interaksi itu
adalah diskriminasi atau perendahan martabat manusia.
Kelompok masyarakat yang mayoritas menindas yang
minoritas. Laki-laki memosisikan perempuan sebagai
kelompok masyarakat kelas dua (ini terutama berlaku bagi
masyarakat yang paternalistik). Kaum buruh dieksploitasi
tenaganya oleh majikan. Dan berbagai bentuk diskriminasi
lainnya.

Dalam konteks ini, nilai-nilai etis yang perlu kita


kembangkan adalah norma atau nilai-nilai moral yang
menghargai perbedaan dan harkat martabat manusia.
Kesetaraan dan keterbukaan adalah nilai-nilai moral yang
sangat relevan dikembangkan dalam pergaulan yang lintas
batas dan majemuk. Tak ada nilai moral yang relevan di
era ini, selain penghargaan terhadap perbedaan demi
kehidupan yang damai dan harmoni.

2. Nilai Etis Bersama untuk Komunitas yang Sadar


Dialog
Terkait dengan konteks yang majemuk tersebut, maka
keputusan, kebijakan, aksi atau pengetahuan apapaun
mestinya lahir dari sebuah proses dialog yang mendalam

160
antar dan inter subjek. Kebenaran sesungguhnya tidak
monolitik. Pengetahuan tentang kebenaran dan tindakan
yang mengandung kebenaran, mestinya dihasilkan dari
dialog bersama dalam komunitas.

Terbukannya akses-akses informasi serta sarana-sarana


untuk berpengetahuan membuat siapapun manusia di
bumi ini semakin menyadari akan eksistensinya sebagai
makhluk pemikir. Makanya, dalam perjumpaan di tengah
komunitas majemuk, yang bertemu itu sesungguhnya
adalah subjek-subjek yang datang dengan kesadaran dan
pengetahuannya masing-masing. Adalah benar adanya,
jika subjek-subjek ini bertemu dalam suasana dialogis
untuk saling memperkaya pengetahuan untuk hidup
bersama.

Dengan demikian, nilai-nilai dan norma-norma moral yang


relevan dikembangkan di era ini adalah kesadaran pada
pentingnya dialog pengetahuan, keyakinan dan ideologi
demi merumuskan visi bersama. Keyakinan, pengetahuan
dan ideologi mungkin berbeda-beda namun, umat manusia
yang berbeda-benda ini menghadapi persoalan yang sama
sebagai masyarakat bumi, yaitu krisis kemanusiaan dan
krisis ekologi.

3. Nilai Etis Bersama untuk Komunitas yang


Berkeadilan
Era ini penuh dengan kepalsuan. Ketidakadilan memiliki
korelasi dengan kepalsuan para pemimpin negara atau
politisi dan birokrat. Politik yang palsu hanya
memiskinkan. Model politik yang demikian tidak bisa
diharapkan untuk membawa kesejahteraan bagi rakyat.
Para politisi (meski tidak semua), sering secara gampang

161
bicara keadilan di podium kampanye atau media, tapi
tidak begitu dalam realitas politiknya. Korupsi, kekerasan
verbal, dan kamuflase politik menggejala pada kehidupan
politik kita hari ini.

Kehidupan yang sejahtera dan berkeadilan adalah


dambaan semua umat manusia. Namun, antara dambaan
itu pada banyak hal kontradiktif dengan kenyataan.
Sementara para penguasa berpidato mengenai
kesejahteraan, jutaan penduduk pada saat yang sama
menderita karena kemiskinan. Sementara elit
mengkosepkan pembangunan yang berkeadilan, para
kapitalis yang dilegitimasi oleh perangkat-perangkat
hukum negara pada saat sama menggusur nelayan atau
rakyat-rakyat kecil dari sumber-sumber ekonomi mereka.
Sementara kampanye anti korupsi, pada saat itu juga
sedang terjadi korupsi, yaitu korupsi kesadaran akan hak-
hak dasar rakyat.

Etika politik yang berkeadilan menjadi semakin relevan


dalam konteks yang serba politis dan ideologis ini.
Memang agak sulit kita berharap perilaku-perilaku politik
yang etis datangnya dari para elit yang berada di lingkaran
kekuasaan.

Bersamaan dengan ketidakadilan di bidang politik adalah


ketidakadilan di bidang ekonomi. Sumber-sumber daya
manusia dan alam terus dikapitalisasi dan dikomersialisasi
demi keuntungan sekelompok orang. Kegiatan ekonomi,
yang awalnya adalah usaha untuk memberdayakan
sumber-sumber daya yang ada demi kesejahteraan
bersama, di era industri berubah menjadi penghisapan
tenaga dan bahan-bahan baku dari alam demi keuntungan

162
bagi para borjuis. Di era globalisasi, negara-negara kaya
menjalankan politik-ekonomi untuk kepentingan
sekelompok orang yang menggunakan akses-askses
kekuasaan negara. Nilai-nilai etis yang penting
dikembangkan oleh agama-agama di era ini adalah nilai-
nilai berekonomi yang berdasar pada prinsip keadilan
untuk semua. Agama-agama mau tidak mau, agar ia tidak
dituduh sebagai yang ikut mempertahankan status quo
kekuasaan para elit, maka harus terlibat pada usaha-usaha
berekonomi yang adil demi semua.

4. Nilai Etis Bersama untuk Komunitas yang Sadar


Ekologi
Lingkungan hidup, tempat manusia berpijak, sudah
semakin rusak. Hutan, laut, udara, sungai, tanah dalam
keadaan sakit. Eksploitasi tanpa ampun, limbah-limbah
beracun mencemari sungat, laut, danau dan tanah. Udara
rusak akibat polusi. Kerusakan lingkungan hidup
berhubungan erat dengan moralitas politik dan ekonomi
penguasa dan pengusaha yang juga rusak.

Manusia yang merusak, namun manusia juga yang


diharapkan dapat memitigasi atau beradaptasi dengan
kerusakan lingkungan hidup ini. Alam, mungkin bisa tetap
eksis tanpa manusia. Tapi manusia, tentu tak bisa hidup
tanpa ditopang oleh alam. Maka, mau tidak mau, manusia
harus berperan untuk menyelamatkan alam.

Nilai etis bersama yang digagas dan dirumuskan serta


menjadi aksi bersama manusia dari berbagai latar belakang
hendaknya juga memasukan penyelamatan alam sebagai
bagian dari respon etis. Persoalan lingkungan hidup tentu
memiliki hubungan erat dengan relasi manusia dengan

163
alam yang diskriminatif dan praktek ekonomi dan politik
yang tidak adil baik oleh negara maupun pengusaha.
Dengan demikian etika yang sadar ekologi juga dipahami
sebagai panggilan dan respon etis bersama pada
kehidupan bersama yang lestari. Dan, mau tidak mau, suka
atau tidak suka, pelestarian lingkungan sudah harus
masuk dalam perilaku beragama, berilmu pengetahuan,
berekonomi, berpolitik dan sudah tentu bersosial.

Demikianlah beberapa proyeksi atau juga refleksi


keterlibatan agama-agama dengan nilai-nilai yang
dikandungnya. Kalau nilai-nilai etis itu digali dan
dikembangkan dari inti sari agama-agama itu, maka itulah
sebenarnya spiritualitas yang relevan di era yang semakin
mengglobal ini. Eka Darmaputera menuliskan dalam
sebuah tulisannya, “‘spiritualitas’ pada hakekatnya adalah
‘jiwa’, ‘roh’, sumber dinamika dari sebuah agama.97

Inti dari agama (-agama) itulah yang dihayati sebagai


“kebenaran” ilahi yang mengalir dalam semua gerak ‘ke-
agama-an’. “Kebenaran” inilah yang kemudian mestinya
menjelma dalam kesadaran dan gerakan bersama agama-
agama. Pada makna yang terdalam inilah agama-agama
bertemu dengan “Sang Kebenaran” yang satu, Tuhan
“Yang Maha Kuasa.” Dalam konteks era transisi ini,
kebenaran itu ditantang oleh realitas yang sungguh
membahayakan karena destruksi-desktruksi kapitalisme,

97 Eka Darmaputera, “Spiritualitas Baru dan Kepedulian

Terhadap Sesama: Suatu Perspektif Kristen,” dalam Elga Sarapung, dkk.,


(ed.) Spiritualitas Baru, Agama dan Aspirasi Rakyat, (Yogyakarta:
Dian/Interfidei, 2004), hlm. 71.

164
globalisasi dan bahaya digitalisasi kemanusiaan oleh
teknologi digital yang semakin massal.

Dengan demikian, Tuhan yang terus dicari oleh umat


manusia, termasuk pencariannya di era teknologi digital
ini, di situs-situs jejaring sosial seperti Facebook, adalah
bagian dari proses yang terbuka dan dialogis untuk
menemukan makna terdalam dari gagasan tentang Tuhan
itu. Ketika Tuhan ditulis, dikomentari, didiskusikan dan
bahkan diperdebatkan di situs-situs jejaring sosial, orang-
orang beragama sebenarnya sedang dalam proses
menggali, menemukan dan memaknai gagasan tentang
Tuhan di era globalisasi dengan perangkat teknologi digital
berbasis internet. Uploading yang bisa dilakukan oleh siapa
saja adalah bagian dari menyatakan eksistensi dalam
sebuah interaksi yang dinamis di media-media digital.

Era baru oleh agama-agama mestinya disambut dengan


ritual-ritual keagamaan untuk memosisikan kembali
makna kehadirannya yang juga baru. Dalam kebiasaan
agama-agama, perayaan menyambut tahun baru pada
prosesnya kemudian bahkan menjadi semacam ritual
keagamaan yang rutin. Ada sebuah pemaknaan yang
tranformatif setiap menyambut era baru. Begitupula
mestinya dengan era baru, era budaya digital yang tak
terelakan lagi. Daripada bersungut-sunggut dan
mengutuki kehadirannya, mungkin lebih teologis dan
penuh makna visioner kalau era baru ini disambut dengan
sebuah perayaan penuh sukacita yang tentu dalam
kewaspadaan yang juga penuh atas bahaya-bahaya yang
sudah diketahui dan disadari secara jelas. Ritual perayaan
itu adalah rangka pendamaian antara idealisme nilai
agama-agama dengan realitas pergerakan zaman. Inilah

165
bentuk penggalian dan penemuan kembali spiritualitas
baru.

Suatu hari, di awal tahun 2011, saya menghadiri sebuah


ritual keagamaan agama Minahasa yang masih diwarisi
oleh beberapa orang muda di Watu Pinawetengan. Ritual itu
mereka sebut ritual kaweruan, sebuah ritual yang sudah
berusia ribuan tahun. Istilah kaweruan diambil dari kata
Minahasa weru, yang berarti “baru”. Fredy Wowor seorang
budayawan, sastrawan dan beberapa tahun terakhir ini
giat melakukan penggalian makna-makna asali
spiritualitas orang Minahasa mengatakan, ritual kaweruan
adalah ritual transformatif seorang manusia untuk
menjalani etape baru dalam hidupnya untuk “baku
pegang” (Bhs Melayu Manado yang berarti “saling
berpegangan”) kembali dengan alam dan Opo Kasuruan
(Tuhan pemberi hidup).

Ada komitmen baru yang lahir bagi orang-orang yang


mengikuti dan menghayati ritual kaweruan ini.
Komitmennya adalah ketetapan hati untuk terus berjalan
dalam “karondoran” (kelurusan) hidup yang bermakna
tulus ikhlas, penuh belas kasih, berkomitmen tetap untuk
mencapai visi hidup, yaitu “pakatuan wo pakalewiren kita
imbaya”, sebuah ungkapan orang-orang Minahasa
mengenai harapan “umur panjang dan diberkati. Hidup
menyatu dan intim dengan alam dan berpegang pada
amanat Opo Kasuruan melalui pesan-pesan yang
ditinggalkan oleh para leluhur menjadi nilai-nilai dasar
atau spiritualitas yang terus diperbaharui dalam menjalani
kehidupan yang baru.

166
Saya merefleksikan panggilan agama-agama di era ini dari
konteks kehidupan saya di Tanah Minahasa untuk
membuktikan bahwa hakikat dari nilai terdalam semua
agama di dunia ini adalah hubungan yang holistik antara
manusia, alam dan Tuhan. Hubungan yang direfleksikan
dengan kenyataan dan semangat pembaharuan akan
menghasilkan nilai-nilai etis yang berlaku untuk semua
sebagai spirit untuk melanjutkan kehidupan bersama yang
holistik. Era di mana bumi semakin datar dan di tengah
kesibukan ”manusia digital” mencari Tuhan, spiritualitas
dan makna hidup melalui media-media digital yang saling
terhubung secara global, sesungguhnya nilai-nilai etis itu
justru akan semakin penting dan bermakna.

Asalkan energi pencarian ini diterjemahkan dalam bentuk


nilai-nilai etis yang mengubah dan selalu dalam kesadaran
untuk menghubungkan dunia maya dengan dunia nyata
dalam aksi bersama, maka masa depan gagasan tentang
Tuhan, spiritualitas serta agama-agama dan terutama masa
depan masyarakat global, akan selalu bermakna.

167
PENUTUP

Apa ide pertama Mark Zuckerberg ketika ia merancang


Facebook? Mark menjawabnya ketika diwawancarai oleh
CEO dan Editor-in-Chief Businnes Insider98, Henry Blodget
pada 2009. Kata Mark, selama menjadi mahasiswa di
Harvard ia menghabiskan waktu bergaul dengan banyak
teman. Banyak hal ia belajar dari pergaulan itu. Menurut
Mark yang sering mereka lakukan adalah, “berbicara
tentang apa yang kami pikir sebagai masalah besar dunia.
Dan bagaimana dunia ini akan berubah selama lima,
sepuluh, dua puluh tahun berikutnya,” ujar Mark.99

Mark ingin mengubah dunia dengan cara menghubungkan


orang-orang dari berbagai latar belakang. Di Facebook,
orang-orang saling berbagi cerita, berita, motivasi, gambar
dan video. Facebook membuat kakak dan adik, ayah, ibu
dan anak, antar teman yang saling berjauhan atau yang
berdekatan, kolega kerja, mahasiswa dengan dosen dan
pemimpin dengan rakyat tetap terhubungan. Jarak dan
tempat menjadi sangat dekat oleh Facebook.

Facebook memang sedang mengubah dunia. Setidaknya ia


sedang mengubah cara pandang baru orang-orang
terhadap kehidupan sosial, politik, ekonomi dan
keagamaan. Facebook telah membantu para aktivis

98 Businnes Insider (www.businessinsider.com) adalah situs berita

bisnis dan hiburan yang diluncurkan pada bulan Februari 2009, berbasis
di New York City.
99 “Mark Zuckerberg, Moving Fast And Breaking Things”,

http://www.businessinsider.com/mark-zuckerberg-2010-10, Oct. 14,


2010, (akses, 29 Maret 2012).

168
revolusioner di Mesir dan Tunisia mengorganisir gerakan.
Karena peran Facebook, bahkan dilaporkan media, seorang
ayah di Mesir menamai bayi perempuannya dengan nama
Facebook. Situs detikINET (http://inet.detik.com)
mengutip DailyMail (www.dailymail.co.uk), Senin 21
Februari 2012, melansir, nama lengkap sang putri adalah
Facebook Jamal Ibrahim. Tercatat 32 ribu grup dan 14 ribu
halaman dibuat untuk mendukung aksi demo di sana.
Ketika revolusi berhasil dan Hosni Mubarak turun dari
kekuasaannya, Facebook pun dianggap berjasa besar dan
dielu-elukan masyarakat. 'Thank You Facebook', demikian
tulisan grafiti yang terdapat di kota Kairo. 100

Persis seperti yang dikatakan oleh John Naisbit di tahun


1995, “Ini adalah perubahan global dari pentingnya negara
ke pentingnya individu, dan dengan adanya gelombang
revolusi telekomunikasi, timbulah peluang untuk
kebebasan dan usaha individu yang sekali belum pernah
terjadi sebelumnya.”

Perubahan ini juga mempengaruhi orang-orang beragama.


Banyak orang beragama yang memiliki akun Facebook
setiap harinya menulis dan memperbaharui kirimannya.
Status-status mereka menuliskan kata Tuhan dalam
kalimat doa, syair atau kutipan ayat-ayat teks kitab suci.
Banyak orang bergama secara positif mendiskusikan secara
dialogis keyakinan keagamaanya denganya dengan orang-
orang lain yang berbeda agama, tradisi dan keyakinan.

100 “Revolusi Mesir Berhasil, Ayah Namai Bayinya Facebook”,

http://inet.detik.com/read/2011/02/21/094619/1574802/398/revolusi
-mesir-berhasil-ayah-damai-bayinya-facebook, Senin, 21/02/2011
(akses, 29 Maret 2012).

169
Kegiatan keagamaan semacam itu sedang menunjukkan
sebuah fenomena yang kurang baik bagi kehidupan
keagamaan. Sebab, ketika tindakan-tindakan keagamaan
semakin individual maka ia berbahaya bagi komitmen
agama-agama dalam menjalankan fungsinya di ruang
publik. Namun, sebenarnya ini adalah bagian dari proses
orang-orang beragama dalam menghayati tentang adanya
Tuhan itu sebagai sebuah keyakinan yang pribadi.
Terpenting, adalah kesadaran yang lahir dari tindakan-
tindakan yang individual itu untuk membentuk kesadaran
bersama dalam implementasinya merespon realitas.

Ada bukti-bukti bahwa nilai-nilai etis, spiritualitas dan


kesadaran keagamaan ini semakin diarahkan pada aksi
bersama (yang tidak terbatas pada perbedaan agama)
untuk menyikapi perubahan dan persoalan realitas
masyarakat global. Salah satu buktinya, yaitu ketika tahun
1993 para pemimpin agama berkumpul di Chicago, USA,
dalam Parliament of The World’s Religion yang kemudian
menghasilkan deklarasi ethic global.

Tahun 2009 pertemuan pemimpin agama-agama sedunia


itu dilaksanakan Melbourne, Australia pada 3-9 Desember.
Hadir dalam pertemuan tersebut lebih dari lima ribu orang
dari 80 negara termasuk wakil dari 120 agama, sekte dan
mazhab. Pertemuan ini membahas berbagai isu penting
termasuk masalah kemiskinan, lingkungan hidup,
terorisme, imigrasi, dan perdamaian dunia. Tema lain

170
adalah masalah dekadensi moral dan spiritual di dunia
modern.”101

Perkembangan teknologi informasi memang memberi


dampak negatif pada beberapa hal, namun dalam sebuah
dialog peradaban yang dilakukan oleh siapa saja tanpa
dihalangi struktur kelembagaan agama tampaknya justru
memberi arti yang positif. Orang-orang beragama
menuliskan keyakinannya, Facebook menyebarluaskannya
kepada siapa saja, dan terjadi interaksi dalam bentuk
diskusi, debat atau dialog. Dalam interaksi seperti itu
orang-orang beragama berproses menuju pada
pemahaman dan kesadaran yang terbuka. Facebook
memfasilitasi proses-proses itu.

Jika kembali ke sejarah agama-agama dunia, sebenarnya


mengglobal atau menjadi bagian dari masyarakat dunia
adalah bagian dari semangat keagamaan sejak agama-
agama itu lahir. Agama Kristen sudah menyebar ke Eropa
tidak berapa lama sejak Yesus disalibkan dan dipercayai
telah bangkit dan naik ke sorga. Agama Islam, sudah
menyebar sejak era Muhammad, sekitar abad ke-7. Agama
Budha dari India konon sudah menyebar ke China sejak
zama Dinasti Han (202 SM–221 M) di bawah Raja Han
Ming Ti. Yudaisme sudah berdiaspora sejak keruntuhan
kerajaan Israel Raya sekitar tahun 900-an SM. Konghucu
juga menjadi agama global sejak nilai-nilainya
disebarluaskan oleh para pedagang China.

101 “Konferensi Forum Parlemen Agama Sedunia”,


http://indonesian.irib.ir/sosialita/-
/asset_publisher/QqB7/content/id/4895774/pop_up?_101_INSTANCE
_QqB7_viewMode=print, Sabtu, 2011 Oktober 01, (akses 29 Maret 2012).

171
Agama-agama ini adalah agama-agama misioner. Sehigga
sering disebut sebagai agama-agama dunia. Ada panggilan
dari agama-agama ini untuk menyebar, pergi ke seluruh
pelosok dunia. Namun terutama perdaganganlah yang
membuat agama-agama ini melintasi samudera dan benua.
Nilai-nilai dari agamalah yang telah mempengaruhi
pergerakan sejarah. Ada perjumpaan damai dan ada juga
perang di antara mereka.

Ilmu pengetahuan berkembang karena terjadi saling tukar


pengetahuan, namun ada juga kebencian, misalnya
fundamentalisme agama-agama yang telah menyebabkan
perang. Satu yang pasti, agama-agama telah memberi
sumbangan bagi gagasan kebaikan, keadilan,
kesejahteraan, selain ideologi, filsafat dan ilmu
pengetahuan telah memberi sumbangan yang sama
berartinya.

Gagasan tentang Tuhan yang mengatasi realitas empirik


telah diinterpretasi, didogmatisasi bahkan telah
dilembagakan sepanjang masa. Karena kebutuhan untuk
lestarinya kehidupan maka Tuhan harus terus dihadirkan.
Bersamaan dengan itu adalah pengembangan ilmu
pengetahuan yang menghasilkan perangkat-perangkat
teknologi. Gagasan tentang Tuhan, agama dan ilmu
pengetahuan serta teknologi adalah bukti-bukti dari proses
pencarian yang tiada akhir itu.

Sampai suatu massa, dan itu soal massa yang sudah


berlalu, masa kini dan masa yang akan datang, pencarian
itu menghasilkan nilai-nilai etis dan spiritualitas menjawab
tantangan dan kebutuhan zaman.

172
Facebook adalah temuan dari orang-orang yang
memahami bahwa kehidupan harus bergerak lebih cepat.
Ada banyak konsekuensi yang ditimbulkannya. Di tengah
orang lain masih mencari jawab fenomena apa Facebook
ini, lebih banyak orang sudah intim dengannya. Ia bagian
dari pergerakan zaman, sehingga usaha manusia mencari
dan mengenal Tuhannya tak tanggung-tanggung, mereka
menggunakan Facebook. Kesadarannya mungkin sama
ketika orang-orang beragama di masa lampau ke gunung-
gunung, gua-gua, tepi laut, tempat sunyi atau di mana saja
untuk mencari Tuhan, yaitu kebutuhan adanya suatu
"Kuasa" yang melampaui diri.

Tuhan, di hari ini tak lagi hanya dicari di gedung-gedung


gereja, mesjid, pura atau klenteng-klenteng. Ada media
alternatif sebagai produk kebudayaan, khususnya
teknologinya. Kata-kata Tuhan ditulis di dinding Facebook.
Ia terselip di antara kalimat-kalimat doa, syair dan kutipan
ayat-ayat dari kitab-kitab. Kalimat-kalimat ini ditulis dari
mana saja dengan tablet, laptop atau ponsel yang semakin
canggih. Gagasan tentang Tuhan dari ribuan tahun lalu
masih bertahan dalam kesadaran religius orang-orang
beragama.

Memang ada masalah, dan ini tidak terutama pada


gagasan tentang Tuhan itu, yaitu bahaya pada komunikasi
itu sendiri. Orang-orang beragama di Facebook tidak lagi
bertemu secara nyata tapi hanya diwakili oleh tanda-tanda
dan citra. Citra-citra yang ditampilkan bisa sebagai
kamuflase atas realitas yang sesungguhnya. Ada tantangan
bagi agama-agama untuk terus mengakrabkan nilai-nilai
yang dibawanya tetap menyentuh dan mentransformasi

173
realitas. Pengalaman dalam perjumpaan diri seutuhnya
bagaimanapun masih merupakan bentuk komunikasi yang
ideal.

Dengan demikian, Facebook sebagai salah satu teknologi di


era budaya digital adalah media atau alat untuk
mengekspresikan gagasan tentang Tuhan. Ia bukan tujuan
dari semua aktivitas keagamaan. Dengannya gagasan
tentang Tuhan salah satunya bisa dibaca pada status-status
Facebook. Dan sejatinya, status-status atau gambar dan
video yang menyebutkan atau menampilkan kata Tuhan
bukanlah realitas keagamaan itu sendiri, semua itu
hanyalah teks, citra dan tanda tentang realitas itu. Namun
setidaknya, semua itu adalah proses untuk menemukan
gagasan bersama tentang Tuhan oleh orang-orang
beragama di era budaya digital. Persoalan-persoalan yang
ditimbulkannya sebenarnya bagian dari sebuah perubahan.
Kita memang berada di era transisi.

Bagi agama-agama, mestinya kemajuan teknologi


informasi menjadi peluang untuk lebih mengglobalkan
nilai-nilai etis dan spiritualitas yang sudah dari dulu
berusaha disebarluaskan. Seiring perkembangan zaman,
demikian juga sebenarnya dengan paradigma agama-
agama dalam memahami realitas dan ikut berperan di era
ini.

Ada dua tantangan bagi bagi orang-orang beragama


sekarang ini. Pertama, tantangan dari perkembangan
teknologi digital itu sendiri, berupa kesemuan dan
kamuflase realitas ditimbulkan oleh teknologi layar dan
juga perjumpaan yang tidak nyata di situs jejaring sosial,
semisal Facebook. Bagaimana gagasan tentang Tuhan di

174
tengah situasi itu? Kedua, tantangan krisis kemanusiaan
dan ekologi yang antara lain disebabkan oleh ekspansi
ekonomi-politik negara-negara kapitalis dan perusahaan-
perusahaan transnasional, berupa kapitalisme global.
Bagaimana gagasan tentang Tuhan mestinya diarahkan
untuk merefleksikan dan melawan kehancuran-
kehancuran akibat krisis itu?

David W. Shenk, dari Eastern Mennonite Missions (EMM),


Virginia, Amerika dan juga pengajar studi-studi filsafat
dan keagamaan di Kenyata University College, suatu hari
ketika sedang dalam perjalanan dari Nairobi ke Athena
untuk menghadiri sebuah konsultasi Kristen bagi
perdamaian di Siprus, bertemu dengan seorang pemuda
bersorban bernama Singh, seorang Sikh. Mereka terlibat
dalam percakapan mengenai agama-agama. Pemuda Sikh
itu menjelaskan kepada Shenk bahwa ia begitu risau
dengan agama-agama yang sering terlibat dalam
kekerasan. Namun begitu ia tidak menjadi ateis seperti
teman-temannya yang lain. Ia malah membaca Al Qur’an,
Bhagavad Gita, ajaran Sidharta Gautama, Alkitab, dan
pemikiran sejumlah filsuf Barat.

“Lagi pula, saya harus mengatakan bahwa saya sedang


mencari kebenaran.” kata Singh menjawab Shenk yang
bertanya kenapa ia membaca kitab suci dan pemikiran-
pemikiran itu.

“Seperti apa kebenaran itu jika Anda menemukannya?”


tanya Shenk.

175
“Kebenaran itu akan menggantikan kebencian dengan
cinta,” jawab pemuda Sikh itu.102

Tuhan, spiritualitas dan kebenaran adalah sebuah


pencarian. Semua itu sudah dari dahulu kala dicari oleh
manusia. Waktu dan ruang (kebudayaan) sangat
memengaruhi usaha pencarian itu. Bahasa kebudayaan
yang mempersonalkan gagasan tentang Tuhan kemudian
dilembagakan oleh macam-macam agama. Masing-masing
agama, berabad-abad telah mengidentifikasi dirinya
dengan nama Tuhan kebudayaan. Seperti ada banyak
Tuhan. Begitu juga dengan spiritualitas dan kebenaran.

Namun, kenapa Tuhan, spiritualitas dan kebenaran terus


dicari sepanjang masa? Demikianlah sebenarnya dengan
kehidupan, ia terus berproses, manusia sepanjang masa
dalam kehidupan yang terus berproses. Begitulah yang
terjadi di era budaya digital, ketika manusia semakin
sering bertemu di media-media digital, Tuhan kembali
dicari. Spiritualitas kembali dicari, demi kebenaran. Tuhan
kini dicari di Facebook dalam status-status berbentuk
kalimat doa, syair dan kutipan-kutipan ayat kitab suci.

Inilah proses pencarian Tuhan, proses untuk menemukan


gagasan tentang Tuhan di era global yang ditandai dengan
semakin berkembangnya perangkat-perangkat komunikasi
digital. Gagasan tentang Tuhan dinyatakan secara terbuka.
Proses belajar membuka diri bagian dari proses
menemukan gagasan tentang Tuhan bagi semua.

102 David W. Shenk, Ilah-ilah Global: Menggali Peran Agama-

agama dalam Masyarakat Modern, terj. Agustinus Setiawidi, (Jakarta: BPK


Gunung Mulia, 2003), hlm. 1-3.

176
Shenk mencoba menjawab mengapa manusia terus
mencari “kebenaran”, seperti kegelisahaan pemuda Sikh
teman sepenerbangannya itu.

“Kita mencari kebenaran bukan hanya karena kita


memahami bahwa filsafat dan agama itu menarik. Kita
mencari kebenaran karena kita membutuhkan arah yang
dapat diandalkan bagi kehidupan. Tentu saja kebenaran
adalah jalan kesejahteraan bagi pribadi begitu juga bagi
dusun lokal dan global,” kata Shenk.103

Ketika mama saya datang ke rumah akhir Maret 2012


untuk melihat cucunya, saya bertanya, “Dalam bahasa
Minahasa, ‘kebenaran’ itu biasa disebut apa?” Mama saya
mengalami kesulitan mencari kata Minahasa yang
sepadan.

“Biasanya, orang Minahasa menyebut ‘karondoran,’ atau


‘kalooran’,” jawabnya.

Kata “karondoran” dari kata “rondor” yang berarti


“lurus”. Kalau kata ‘kalooran’ dari kata ‘loor’, yang berarti
‘baik’. Apa yang dalam bahasa Indonesia disebut
‘kebenaran’, oleh orang-orang Minahasa biasa
menerjemahkannya ke dalam kata ‘karondoran’ atau
‘kalooran.’ Dua kata ini biasa dipakai untuk menunjuk
arah hidup, menjadi manusia yang lurus, tanpa bercela,
komit pada tujuan hidup (karondoran) atau kualitas hidup,
manusia yang baik, manusia yang penuh kebaikan

103 Ibid., hlm. 456.

177
(kalooran). Itulah ‘kebenaran’, dalam pengertian orang-
orang Minahasa.

Kelurusan hidup (karondoran) adalah kualitas yang harus


dicapai oleh orang-orang Minahasa demi kebaikan
(kalooran). Dalam spiritualitas religius Minahasa, makna-
makna itu dipahami sebagai bagian dari usaha
menerjemahkan amanat Opo Kasuruan (Tuhan Maha
Pencipta) untuk kehidupan bersama yang lestari.

Semua agama, termasuk warisan nilai-nilai tua, memiliki


makna kebaikan dan mandat untuk hidup lurus. Semua itu
terangkum pada apa yang secara global disebut
“kebenaran”. Tuhan, dalam gagasan apapun dan dalam
bentuk pencarian yang bagaimanapun di zaman yang
selalu bergerak, juga dimaknai “Sang Kebenaran.” Dialah
inspirasi kelurusan dan kebaikan hidup. Globalitas dan
lokalitas keimanan dan kebudayaan bertemu dalam makna
yang sama, yaitu komitmen untuk memperjuangkan
“kebenaran” hidup bersama.

Siapa Tuhan itu? Tuhan adalah “Kebenaran,” itulah


gagasan universal dari masyarakat lokal dan masyarakat
global tentang Realitas Tertinggi yang (masih) terus dicari
oleh umat manusia. (29 Maret 2012)

178
Kepustakaan
Aburdene, Patricia. Megatrends 2010: Bangkitnya Kesadaran
Kapitalisme, Tujuh Trend Baru yang akan Mengubah
Strategi Kerja, Investasi dan Gaya Hidup Anda. Jakarta:
Transmedia, 2006.
Antoun, Richard T. Memahami Fundamentalisme Islam,
Kristen, dan Yahudi. Surabaya: Pustaka Eureka,
2003.
Armstrong, Karen. Sejarah Tuhan: Kisah Pencarian Tuhan
yang Dilakukan Orang-orang Yahudi, Kristen, dan
Islam selama 4.000 tahun. Bandung: Mizan, 2004.
Creeber, Glen, “Digital theory: theorizing New Media”,
dalam Glen Creeber and Royston Martin (editor),
Digital Cultures: Understanding New Media.
Maidenhead, England: McGraw Hill/Open
University Press, 2009
Darmaputera, Eka. “Kebangkitan Agama dan Keruntuhan
Etika”, dalam Tim Balitbang PGI (peny.), Meretas
Jalan Teologi Agama-agama. Jakarta: BPK Gunung
Mulia, 2003.
….,………………… “Spiritualitas Baru dan Kepedulian
Terhadap Sesama: Suatu Perspektif Kristen,” dalam
Elga Sarapung, dkk., (ed.) Spiritualitas Baru, Agama
dan Aspirasi Rakyat. Yogyakarta: Dian/Interfidei,
2004.
Eisenstadt, S.N. Revolusi dan Tranfosrmasi Masyarakat, terj.
Chandra Johan. Jakarta: Rajawali, 1986.
Friedman, Thomas L. The World Is: Sejarah Ringkas abad ke-
21, Jakarta: Dian Rakyat, 2006
………………………., The Lexus and The Olive Tree. New
York: Farrar, Straus Giroux, 1999.

179
Fukuyama, Francis. The Great Disruption: Hakikat Manusia
dan Rekonsruksi Tatanan Sosial, terj. Ruslani. Jakarta:
Qalam, 2000.
Gere, Charlie. Digital Culture, second edition. London:
Reaktion Books, 2008
Griffin, David Ray, (ed.), Visi-visi Posmodern: Spiritualitas
dan Masyarakat, terj. A. Gunawan Admiranto.
Yogyakarta: Kanisius, 2005.
Grosby, Steven, Sejarah Nasionalisme: Asal usul Bangsa dan
Tanah Air. Yogyakarta Pustaka Pelajar, 2011.
Hans Kung, Global Responsibility: In Search of a New World
Ethic. New York: Crossroad, 1991.
Hick, John. Tuhan Punya Banyak Nama, terj. Amin Ma’ruf
dan Taufik Aminuddin. Yogyakarta:
Dian/Interfidei, 2006.
Hudjolly. Imagologi: Strategi Rekayasa Teks. Yogyakarta: Ar-
Ruzz Media, 2011.
Huntington, Samuel. The Clash of Civilazations: and The
Remaking of World Order. New York: Simon &
Schuster, 1996.
Knitter, Paul F., Satu Bumi, Banyak Agama: Dialog Multi-
Agama dan Tanggung Jawab Global, terj. Nico A.
Likumahuwa. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2003).
Koshy, Ninan. ”The global empire: an overview”, dalam
Reformed World, Volume 54, No 4, December, 2006.
Geneva: WARC, 2006.
Lebert, Marie. From the Print Media to the Internet, edisi
Bahasa Inggris, (Canada: University of Toronto,
2001), format pdf diunduh dari situs
http://www.gutenberg.org/(Project Gutenberg
eBook).

180
Lefebure, Leo D. Pernyataan Allah, Agama, dan Kekerasan,
terj. Bambang Subandrijo, Jakarta: BPK Gunung
Mulia, 2003
Mulkhan, Abdul Munir. Satu Tuhan Seribu Tafsir.
Yogyakarta: Kanisius, 2007.
Moyo, Last. “Digital Democracy: Enhancing the Public
Sphere” dalam Glen Creeber dan Royston Martin.
Digital Cultures: Understanding New Media.
Maidenhead, England: McGraw Hill/Open
University Press, 2009
Naisbitt, John. Global Paradox, terj. Budijanto. Jakarta:
Binarupa Aksara, 1994.
Nasution, Harun. Islam Di Tinjau Dari Bebagai Aspek.
Jakarta: Universitas Indonesia,1979.
Parekh, Bhikhu, Rethinking Multiculturalism: Keberagaman
Budaya dan Teori Politik, terj. C.B. Bambang Kukuh
Adi. Yogyakarta: Kanisius, 2008
Piliang, Yasraf Amir. Posrealitas: Realitas Kebudayaan dalam
Era Posmetafisika. Yogyakarta: Jalasutra, 2004
………,………………. Hantu-hantu Politik dan Matinya
Sosial. Solo: Tiga Serangkai, 2003.
Purbo, Onno W., Filosofi Naif: Kehidupan Dunia Cyber.
Jakarta: Penerbit Republika, 2003
Ritzer, George. The Globalization of Nothing: Mengkonsumsi
Kehampaan di Era Globalisasi, terj. Lucinda.
Yogyakarta: Universitas Atma Jaya, 2006
Schumann, Olaf. Agama-agama: Kekerasan dan Perdamaian.
Jakarta : BPK Gunung Mulia, 2011.
……………, …… “Milenium Ketiga dan Tantangan
Agama-agama”, dalam Martin L. Sinaga (ed.),
Agama-agama Memasuki Milenium Ketiga. Jakarta:
BPK Gunung Mulia, 2000

181
Shenk David W. Ilah-ilah Global: Menggali Peran Agama-
agama dalam Masyarakat Modern, terj. Agustinus
Setiawidi. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2003.
Sudiarja, A., dkk (peny.), Karya Lengkap Driyarkara: Esai-esai
Filsafat Pemikir yang Terlibat Penuh dalam Perjuangan
Bangsanya. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2006.
Sugiharto, I Bambang dan W. Agus Rachmat. Wajah Baru
Etika dan Agama. Yogyakarta: Kanisius, 2000.
Sugiharto, I Bambang. “Berhala Baru Agama-agama,”
dalam Martin L. Sinaga (ed.), Agama-agama
Memasuki Milenium Ketiga. Jakarta: BPK Gunung
Mulia, 2000.
Steve, Bruce, Fundamentalisme: Pertautan Sikap Keberagamaan
dan Modernitas, Jakarta: Gelora Aksara Pratama,
2002.
Takwin, Bagus. Filsafat Timur: Sebuah Pengantar Ke
Pemikiran-pemikiran Timur. Yogyakarta: Jalasutra,
2000.
Wahid, Abdurahman, “Agama dan Demokrasi”, dalam
Elga Sarapung, dkk. (ed.), Spiritualitas Baru, Agama
dan Aspirasi Rakyat. Yogyakarta: Dian/Interfidei,
2004.
………………………. Islam Kosmopolitan: Nilai-nilai Indonesia
dan Transformasi Kebudayaan, editor Agus Maftuh
Abegebriel dan Ahmad Suaedy. Jakarta: The Wahid
Institute, 2007.

Internet
www.businessinsider.com
Boyd, Danah M. dan Ellison, Nicole B. “Department of
Telecommunication, Information Studies, and
Media”,

182
http://jcmc.indiana.edu/vol13/issue1/boyd.elliso
n.html, (akses, 27 Maret 2012).
Budiman, Hikmat. “Digital, Ruang, Rupa, dan Kuasa:
Cerita-cerita Ringan tentang Kamera”,
http://interseksi.org/
publications/essays/articles/digital_ruang_kuasa.h
tml, (akses, 17 Maret 2012)
Cahyadi, Firdaus. “Mempersoalkan Konglomerasi New
Media”, 15 Februari 2012,
http://www.tempo.co/read/kolom/2012/02/15/5
34/ Mempersoalkan-Konglomerasi-New-Media-,
(akses 18 Maret 2012).
Gani, Muhsin Abdul. “Menyampah di Facebook”, 22
Februari 2012,
http://media.kompasiana.com/mainstream-
media/ 2012/ 02/ 22/ menyampah -di-facebook/,
(akses 15 Maret 2012).
Farah, Vilie. “Effects Facebook has had on Society”, 2
September 2010, http://www.helium.com/
items/1940499-facebook-and-society-how-facebook-
affects-society-has-facebook-changed-society.
Haq, Husna. “Encyclopedia Britannica Puts An End To
Print Publishing”, 14 Maret 2012,
http://www.csmonitor.com/Books/chapter-and-
verse/ 2012/0314/ Encyclopedia-Britannica-puts-
an-end-to-print-publishing, (akses, 18 Maret 2012)
“Ponsel China Kuasai 13% Pasar Ponsel Dunia,” Jum'at, 10
Juni 2011, http://techno.okezone.com/read/
2011/06/10/57/ 466864/ponsel-china-kuasai-13-
pasar-ponsel-dunia
“Tentang Life Deary”,
http://www.lifedeary.com/bloglifedeary/
index.php (akses 15 Maret 2012)

183
“Indonesia Facebook Statistics”,
http://www.socialbakers.com/facebook-
statistics/indonesia
https://www.facebook.com/pages/HENTIKAN-AJANG-
HINA-MENGHINA-AGAMA-DI-FACEBOOK/
137513086261987?sk= info
“Pemuka Agama Kecam Karikatur Nabi Di Facebook”, 24
Mei
2010,http://www.cathnewsindonesia.com/2010/05
/24/pemuka-agama-kecam-karikatur-nabi-di-
facebook/, (akses 15 Maret 2010)
“Cartoonist overwhelmed by response to "Everybody
Draw Mohammed Day", 27 April 2010,
http://mynorthwest.com/ ?sid=313601&nid=11
(akses 15 Maret 2012)
http://globalkhilafah.blogspot.com/2011/12/ status-fb-
mu-cerminan-pribadi-mu.html, (akses 15 Maret
2012)
https://www.facebook.com/ pages/ AYAT-ALKITAB/
93311846117
https://www.facebook.com/pages/Indah-NYA-Ayat-
Ayat-Al-Quran/154629551225834
http://id.wikipedia.org/
“New Media”, http://dictionary.reference.com/ browse/
new+media?s=t, (akses, 18 Maret 2012)
“Diskusi Media Baru dalam Dies Natalis UMN, 25
November 2011, (akses 18 Maret 2012).
http://www.thefreedictionary.com/identity, (akses, 25
Maret 2012)
“Kata salam: SYALOM” dalam
http://www.sarapanpagi.org/kata-salam-syalom-
vt196.html.

184
“Mark Zuckerberg, Moving Fast And Breaking Things”,
http://www.businessinsider.com/mark-
zuckerberg-2010-10, Oct. 14, 2010, (akses, 29 Maret
2012).

185

Anda mungkin juga menyukai