Di sisi lain, secara sosiologis, perubahan di dalam masyarakat, bahwa rasio manusia
semakin tertantang, dan tantangan pertama adalah moralitas manusia itu sendiri. Karena itu
tidak heran jika setiap orang akan menyusun klaim dan memiliki motiv tersendiri dalam
mengantisipasi perubahan dalam masyarakat modern/postmodern ini. Begitu pun lembaga-
lembaga sosial akan memiliki dan membentuk sistem regulasi tersendiri dalam
menanggulangi berbagai peran sosialnya. Mengikuti Durkheim, suatu perubahan yang terjadi
tidak bisa diterima sui generis, melainkan perlu mengolah kesadaran kolektif untuk menata
peran sosial dan membangun regulasi sosial yang lebih beradab.
Mazhab Frankfurt dan kaum Postmodernisme pun akan mengatakan bahwa untuk
bertahan di era modernisasi dewasa ini orang harus masuk ke dalam kawasan “meta-“ artinya
kawasan yang mampu melampaui segala sekat dan batas (boundaries) di dalam hidup
masyarakat. Secara filsafatik dapat kita katakan bahwa perubahan cepat di dalam masyarakat
yang ditandai oleh bangkitnya kerja akal (rasio) adalah bukti bahwa masyarakat sudah
mengalami perkembangan peradaban yang sangat tinggi karena pengaruh pendidikan.
Oleh karena itulah dalam praktek kehidupan bermasyarakat, peranan nalar setidak-
tidaknya selalu membantu sang zaman untuk semakin sadar akan dirinya sendiri, akan
kebutuhan dan sentimen-sentimennya. Moralitas adalah penerapan nalar secara lebih metodis
untuk mencapai tujuan dalam masyarakat sosial.
Socrates mengungkapkan, lebih jelas dari hakim yang mengadilinya, moralitas yang
cocok dengan zamannya. Tampaknya mudah untuk menunjukkan bahwa, sebagai akibat dari
transformasi masyarakat lama yang berdasarkan gen dan gangguan keyakinan keagamaan
yang ditimbulkannya, maka sebuah moralitas dan keyakinan keagamaan baru menjadi perlu
di Athena. Juga mudah untuk menunjukkan bahwa aspirasi ke arah formulasi baru ini tidak
hanya dirasakan oleh Socrates saja, tetapi telah ada arus yang kuat yang ditunjukkan oleh
sikap kaum Sophist. Dalam artian inilah Socrates dipandang sebagai tokoh yang mendahului
zamannya, yang sekaligus pula mengungkapkan semangat zaman itu.
Komponen yang kedua adalah keterikatan terhadap kelompok sosial, keterikatan yang
dimaksudkan adalah keterikatan secara emosional dan tulus antar individu dengan kelompok
sosialnya sehingga individu rela dengan sepenuh hati mengikuti aturan atau fakta sosial
dalam kelompoknya, sehingga keterikatan adalah bagian dari diri individu tersebut, berbeda
dengan disiplin yang hakikatnya adalah memaksa dan paksaan itu berasal dari luar karena
tidak adanya keterikatan dalam diri masing-masing individu. Kemudian komponen yang ke
tiga adalah otonomi, dimana moralitas modern mesti didasarkan pada hubungan antara
individu dan masyarakat.
Dalam kaitanya dengan moral, konflik akibat rusaknya moral seorang individu
ataupun sebuah bangsa tentu akan terjadi dan merupakan sebuah masalah sosial yang harus
dihadapi, lalu apakah yang mungkin bisa mengimbangi munculnya krisis moral ? jawabannya
adalah melalui dunia pendidikan, seperti pendapat seorang filsuf sosiolog Emil Durkheim,
Medan, 06 Januari 2021
mengatakan bahwa salah satu upaya perbaikan moralitas masyarakat adalah memperjuangkan
reformasi sehingga moralitas modern bisa ditegakkan dengan menitik beratkan pada masalah
pendidikan. Pendidikan merupakan sebuah transportasi yang dapat digunakan oleh individu
untuk sampai pada pengetahuan, intelektual dan juga moral sehingga seorang individu dapat
berperan positiv dalam masyarakat, dari sinilah Durkheim berpendapat bahwa pendidikan
akan menolong anak-anak mengembangkan sikap moral terhadap masyarakat. Durkheim
beranggapan bahwa pendidikan merupakan wadah yang tepat untuk perbaikan moral karena
pendidikan mampu memberikan ketiga komponen moralitas untuk mengendalikan nafsu yang
mengancam kestabilan sosial dalam masyarakat.