Anda di halaman 1dari 8

IMPLIKASI PERGESERAN EKONOMI SEKTOR PERTANIAN MENJADI PARIWISATA

TERHADAP BUDAYA MASYARAKAT DESA KUTUH: TINJAUAN UMUM TEORI


KEBUDAYAAN ARNOLD J. TOYNBEE DI PANTAI PANDAWA

Disusun untuk memenuhi Tugas Kuliah Kerja Lapangan Mata Kuliah Filsafat Kebudayaan
Dosen Pengampu: Fitri Alfariz, S.Fil., M.Phil.

Disusun oleh:
Doni Andika Pradana
20/461357/FI/04845

FAKULTAS FILSAFAT

UNIVERSITAS GADJAH MADA

YOGYAKARTA

2022
SURAT PERNYATAAN ORISINALITAS

Yang bertandatangan di bawah ini:

Nama : Doni Andika Pradana


NIM : 20/461357/FI/04845
Email : doni.andika.pradana@mail.ugm.ac.id

Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa artikel saya yang berjudul “Implikasi Pergeseran
Ekonomi Sektor Pertanian menjadi Pariwisata terhadap Budaya Masyarakat Desa Kutuh: Tinjauan
Umum Teori Kebudayaan Arnold J. Toynbee di Pantai Pandawa” bebas dari plagiarisme dan
bukan hasil karya orang lain.
Apabila dikemudian hari ditemukan seluruh atau sebagian dari artikel, makalah, dan karya
ilmiah dari hasil-hasil penelitian tersebut terdapat indikasi plagiarisme, saya bersedia menerima
sanksi yang berlaku.
Demikian surat pernyataan ini saya buat dengan sesungguhnya tanpa ada paksaan dari pihak
manampun dan untuk digunakan sebagaimana mestinya.

Yogyakarta, 29 Oktober 2022


Yang membuat pernyataan

Doni Andika Pradana


NIM 20/461357/FI/04845
IMPLIKASI PERGESERAN EKONOMI SEKTOR PERTANIAN MENJADI PARIWISATA
TERHADAP BUDAYA MASYARAKAT DESA KUTUH: TINJAUAN UMUM TEORI
KEBUDAYAAN ARNOLD J. TOYNBEE DI PANTAI PANDAWA

Doni Andika Pradana1


1
Fakultas Filsafat, Universitas Gadjah Mada, Indonesia
Email: doni.andika.pradana@mail.ugm.ac.id

ABSTRAK
Setiap provinsi di Indonesia memiliki karakteristik budaya antar wilayah yang berbeda dengan
sumber daya serta potensinya masing-masing (Yuendini, et al., 2019). Salah satu daerah di Bali yang
menarik untuk diulas berkaitan dengan sumber daya sektor pertanian dan sektor pariwisatanya adalah
Pantai Pandawa. Pantai Pandawa terletak di Desa Kutuh, Kecamatan Kuta Selatan, Kabupaten
Badung, Bali. Sebelum beralih menjadi sektor wisata masyarakat sekitar pantai membasiskan
perekonomian pada sektor pertanian dengan melakukan budidaya rumput laut yang terbukti dengan
sebagian besar masyarakatnya bermata pencaharian sebagai petani rumput laut. Persoalannya adalah
bahwa transisi perubahan ekonomi dari sektor tertentu menjadi sektor yang lain memiliki implikasi
yang cukup signifikan terhadap perilaku dan kebudayaan suatu masyarakat. Menurut Arnold J.
Toynbee kebudayaan lahir karena adanya tantangan (challenge) dan jawaban (response). Tantangan
pertama muncul sebagai jawaban terhadap tantangan lingkungan fisik dan tantangan berikutnya akan
muncul pada generasi kedua atau ketiga yang merupakan tantangan dari lingkungan manusiawi.
Dalam hal ini, masyarakat Desa Kutuh sedang menghadapi tantangan lingkungan sosial yang perlu
dihadapi dan dilewati untuk menentukan pertumbuhan dari peradaban masyarakatnya. Salah satunya
adalah melalui falsafah Tri Hita Karana dengan menyeimbangkan hubungan kehidupan antara
Manusia dengan Tuhan, Manusia dengan Alam, dan Manusia dengan Manusia lainnya.

ABSTRACT
Each province in Indonesia has cultural characteristics between different regions with their
respective resources and potentials (Yuendini, et al., 2019). One of the areas in Bali that is interesting
to review related to the resources of the agricultural sector and tourism sector is Pandawa Beach.
Pandawa Beach is located in Kutuh Village, South Kuta District, Badung Regency, Bali. Before
turning into a tourism sector, the community around the coast based the economy on the sector by
cultivating seaweed, which was proven by the fact that most of the people made a living as seaweed
farmers. The problem is that the transition of economic change from certain sectors to other sectors
has a significant impact on the behavior and culture of a society. According to Arnold J. Toynbee,
culture is born because of challenges (challenges) and answers (responses). The first challenge arises
as an answer to the challenges of the physical environment and the next challenge will arise in the
second or third generation which is the challenge of the human environment. In this case, the people
of Kutuh Village face the challenges of the social environment that must be faced and passed to
determine the growth of their civilization. One of them is through the philosophy of Tri Hita Karana
by balancing the relationship between Humans and God, Humans with Nature, and Humans with
other Humans.

PENDAHULUAN
Setiap provinsi di Indonesia memiliki karakteristik budaya antar wilayah yang berbeda dengan
sumber daya serta potensinya masing-masing (Yuendini, et al., 2019). Bali merupakan provinsi yang
memiliki peran penting dalam perekonomian Indonesia melalui sumbangan terhadap PDB nasional
sebesar 8,47 persen (Adnyana, 2013). Selain itu, Bali merupakan salah satu daerah yang kegiatan
pariwisatanya berkembang dengan sangat pesat (Sijabat & Sastrawan, 2021). Disamping sektor
pariwisata, sektor pertanian sebenarnya juga memiliki peranan penting dalam perekonomian di
provinsi Bali.
Salah satu daerah di Bali yang menarik untuk diulas berkaitan dengan sektor pertanian dan
sektor pariwisatanya adalah Pantai Pandawa. Pantai Pandawa terletak di Desa Kutuh, Kecamatan
Kuta Selatan, Kabupaten Badung, Bali. Secara historis, pada tahun 1980-an belum terdapat akses
yang memadai untuk menuju pantai Pandawa. Sebelum dikenal sebagai Pantai Pandawa, pantai ini
sulit bahkan tidak pernah dikunjungi oleh wisatawan dikarenakan akses jalan yang berada di bawah
tebing curam (Sugiwinata & Suryawan, 2017). Pantai ini terletak di balik tebing kapur yang tinggi
dan lokasinya sangat tersembunyi sehingga tidak banyak yang mengetahui keberadaan pantai ini.
Dahulu pantai ini disebut dengan Pantai Melasti karena di pantai tersebut digunakan oleh masyarakat
sekitar untuk kegiatan upacara agama yang bernama upacara Melasti, yakni bagian dari upacara untuk
pensucian diri dalam rangka menyambut hari raya Nyepi bagi umat Hindu di Bali. Selain nama
Melasti, ada pula yang menamai pantai ini dengan sebutan Pantai Kutuh karena lokasinya yang berada
di Desa Kutuh, Kecamatan Kuta Selatan (Elya, 2021).
Berdasarkan inisiatif masyarakat sekitar dan gagasan dari para tetua adat karena ingin
memajukan desa mereka yang terisolir mereka mencoba membuka akses jalan dengan melakukan
pembongkaran tebing-tebing (Letra, 2022). Upaya ini mulai dilakukan sejak tahun 1997, masyarakat
sekitar Desa Kutuh terus berusaha membuka akses jalan menuju pantai dan akhirnya selang 13 tahun,
tepatnya di tahun 2010, akses jalan menuju pantai terbuka. Setelah selesai membuka akses jalan dan
berbagai upaya dilakukan untuk menata objek wisata tersebut, pada 27 Desember 2012, Pantai
Melasti resmi diubah nama menjadi Pantai Pandawa. Dalam acara peresmian ditandai dengan
pergelaran Pandawa Beach Festival untuk pertama kalinya (Elya, 2021).
Sebelum beralih menjadi sektor wisata masyarakat sekitar pantai membasiskan perekonomian
pada sektor pertanian dengan melakukan budidaya rumput laut yang terbukti dengan sebagian besar
masyarakatnya bermata pencaharian sebagai petani rumput laut. Akan tetapi, dengan semakin
pesatnya perkembangan pariwisata di Pantai Pandawa perlahan sektor pertanian rumput lain makin
berkurang dan bergeser menjadi ekonomi pariwisata yang dapat dilihat dengan semakin
menjamurnya pedagang di Pantai Pandawa. Secara umum, tidak dapat dipungkiri bahwa
pembangunan pariwisata telah memberikan dampak positif pada masyarakat Bali setidaknya dari
sudut ekonomi (Aryanti & Sutaguna, 2016).
Namun, persoalannya adalah bahwa transisi perubahan ekonomi dari sektor tertentu menjadi
sektor yang lain memiliki implikasi yang cukup signifikan terhadap perilaku dan kebudayaan suatu
masyarakat yang tidak jarang dapat menimbulkan konflik sosial dan menghilangkan nilai-nilai
budaya lama yang seharusnya mampu menghadirkan kedamaian dan keharmonisan dalam
berkehidupan. Oleh karena itu, penulis tertarik untuk mengulas sedikit mengenai implikasi dari
pergeseran basis perekonomian yang terjadi di masyarakat sekitar Pantai Pandawa terhadap budaya
dan perilaku yang ditimbulkan.

ISI
Sebelum dikembangkan sebagai daerah tujuan wisata, Pantai Pandawa merupakan salah satu
sentra penghasil rumput laut yang ada di Bali (Aryanti & Sutaguna, 2016). Menurut penuturan
manajemen pengelola Pantai Pandawa dampak dari peralihan sektor pertanian rumput laut menjadi
pariwisata telah menciptakan budaya kompetitif dan secara bersamaan menghilangkan nilai-nilai
kegotongroyongan pada masyarakat ketika dahulu masih mengandalkan laut sebagai sumber
kehidupan bersama. Menariknya adalah bahwa artinya terciptanya suatu kebudayaan atau dalam taraf
yang lebih mendasar sikap dan perilaku masyarakat bukan hanya sangat dipengaruhi oleh keadaan
alam geografis tempat masyarakat tersebut tinggal, tetapi juga dipengaruhi oleh sektor perekonomian
yang menopang kehidupan bersama masyarakatnya.
Arnold J. Toynbee dalam bukunya A Study of History (1934-1961) mencoba merefleksikan
suatu kemajuan peradaban atau masyarakat. Menurut Toynbee kebudayaan lahir karena adanya
tantangan (challenge) dan jawaban (response). Tantangan pertama muncul sebagai jawaban terhadap
tantangan lingkungan fisik dan tantangan berikutnya akan muncul pada generasi kedua atau ketiga
yang merupakan tantangan dari lingkungan manusiawi. Dalam hal ini, masyarakat Desa Kutuh pada
tahap pertama berhasil melewati tantangan lingkungan fisik yang dimaksud oleh Toynbee, yakni
ketika para tetua desa adat berhasil membuka akses jalan menuju pantai untuk menciptakan peradaban
dan kebudayaan yang baru karena telah lama terisolir oleh keadaan alam dan karena dirasa kondisi
geografis tersebut sebenarnya memiliki potensi yang besar untuk generasi mendatang.
Namun, tantangan berikutnya muncul dalam aras yang lebih subtil sebagai implikasi dari
kelahiran kebudayaan yang baru. Tantangan yang muncul dari lingkungan manusiawi seperti telah
sedikit disinggung diatas adalah munculnya budaya kompetitif dan memudarkan nilai-nilai
kebersamaan. Pada generasi pasca para tetua adat Desa Kutuh yang mencoba merangsek keluar dari
peradaban yang terisolir telah membawa dampak masuknya budaya luar yang tentunya sedikit banyak
memengaruhi kebudayaan lama yang ada. Implikasi dari terbukanya masyarakat desa terhadap dunia
luar sebenarnya merupakan konsekuensi logis atas upaya membuka diri dari peradaban yang
terisolasi.
Sebuah peradaban terlahir ketika manusia mampu menjawab kedua tantangan tersebut, yaitu
tantangan lingkungan fisik yang keras kemudian berhasil juga dalam menjawab tantangan lingkungan
sosial. Oleh karena itu, masyarakat Desa Kutuh sekarang ini sedang dihadapkan oleh tantangan
lingkungan sosial yang perlu untuk dijawab kedepannya oleh masyarakat Desa Kutuh itu sendiri.
Uniknya adalah bahwa Desa Kutuh ini merupakan salah satu Desa adat yang ada di Bali. Desa adat
sendiri merupakan suatu lembaga tradisional yang mewadahi kegiatan sosial, budaya dan keagamaan
masyarakat umat Hindu di Bali yang melandasi kehidupan masyarakatnya dengan konsep Tri Hita
Karana. Tri Hita Karana adalah : (1) parahyangan (mewujudkan hubungan manusia dengan pencipta-
Nya yaitu Hyang Widhi Wasa), (2) pelemahan (mewujudkan hubungan manusia dengan alam
lingkungan tempat tinggalnya), dan (3) pawongan (mewujudkan hubungan antara sesama
manusia sebagai mahluk ciptaan-Nya) (Shaleh, 2014). Artinya adalah konsep ketiga dari Tri Hita
Karana pada masyarakat Desa adat di Bali sedang mengalami tantangan untuk bisa tetap bertahan
menjaga kedamaian, keharmonisan, dan pertumbuhan pada masyarakat desa tersebut.
Akan tetapi, kembali mengutip Toynbee bahwa pertumbuhan terjadi tidak hanya ketika
tantangan tertentu berhasil diatasi, tetapi juga karena mampu menjawab lagi tantangan berikutnya.
Kriteria pertumbuhan kemudian tidak diukur dari kemampuan manusia mengendalikan lingkungan
fisik atau pengendalian lingkungan sosial, melainkan diukur dari segi peningkatan kekuatan yang
berasal dari dalam diri manusia, yakni semangat yang kuat untuk mengatasi rintangan-rintangan
eksternal. Dengan kata lain, kekuatan yang mendorong pertumbuhan itu bersifat internal dan spiritual.
Yang kemudian hal tersebut dapat terlihat pada masyarakat Desa Kutuh selama ini.
Kemudian penting untuk dicatat juga adalah menurut Toynbee terdapat dua aspek dalam
pertumbuhan kebudayaan yaitu, aspek lahiriah sebagai penguasaan secara progresif lingkungan luar
dan aspek batiniah yang terwujud dalam penentuan diri. Menurut Toynbee, aspek lahiriah tidak
membawa pada pertumbuhan peradaban karena akan mengarah pada gejala jatuhnya peradaban atau
disintegarsi. Oleh karena itu, penentu dari suatu pertumbuhan peradaban adalah terdapatnya
penentuan diri yang progresif (proggresive self-determination) (Toynbee, 1958). Suatu kebudayaan
akan lahir, tumbuh dan mati dengan lahirnya kebudayaan baru. Pengaruh individu dalam kebudayaan
yang dapat membuat kebudayaan tersebut mengalami kemajuan dan besar kecilnya tantangan
menjadi faktor pemicu perkembangan suatu kebudayaan.

PENUTUP
Dengan demikian, dalam hal perubahan kultural masyarakat Desa Kutuh yang awalnya
membasiskan diri pada kehidupan sektor pertanian kemudian menjadikan sektor pariwisata sebagai
sumber kehidupan telah mengimplikasikan adanya perubahan laku kebudayaan yang dalam arti
tertentu juga dapat disebut dengan tantangan. Tantangan atas perubahan tersebut mau tidak mau harus
dihadapi oleh masyarakat dan dijawab melalui cara-cara masyarakat dalam memaknai kehidupan.
Salah satunya adalah melalui falsafah Tri Hita Karana dengan menyeimbangkan hubungan kehidupan
antara Manusia dengan Tuhan, Manusia dengan Alam, dan Manusia dengan Manusia lainnya.

DAFTAR PUSTAKA
Adnyana, I. M., 2013. Keterkaitan Sektor Pertanian dan Sektor Pariwisata dalam Perekonomian Bali.
Ilmu dan Budaya. 37(31): 3431-3448.
Aryanti, N. N. S. & Sutaguna, I. N. T., 2016. Strategi Menjadikan Rumput Laut sebagai Branding
Kuliner di Pantai Pandawa, Desa Kutuh, Kabupaten Badung. Jurnal Analisis Pariwisata.
16(1): 16-22.
Elya, 2021. Sejarah Pantai Pandawa Bali. URL: https://id-velopedia.velo.com/sejarah-pantai-
pandawa-bali/. Diakses pada 29 Oktober 2022.
Letra, I Wayan. 2022. Ceramah Kuliah Lapangan Fakultas Filsafat: Sejarah Pantai Pandawa.
Manajer Pengelola Wisata Pantai Pandawa
Shaleh, T. M., 2014. Peran Lembaga Adat dalam Pengelolaan Wisata Bahari (Studi Kasus di Pantai
Pandawa Desa Adat Kutuh Badung-Bali). Semarang, Universitas Diponegoro.
Sijabat, D. N. Y. & Sastrawan, I. G. A., 2021. Kendala dan Persepsi Tenaga Kerja dalam
Pengembangan Pariwisata di Pantai Pandawa Desa Kutuh, Kabupaten Badung. Jurnal
Destinasi Wisata. 9(2): 271-281.
Sugiwinata, G. M. & Suryawan, I. B., 2017. Partisipasi Masyarakat Lokal dalam Pengelolaan Daya
Tarik Wisata Pantai Pandawa di Desa Adat Kutuh Kabupaten Badung. Jurnal Destinasi
Wisata. 5(1): 97-103.
Toynbee, Arnold. 1958. A Study of History: Abridgement of Volumes V. Oxford University Press:
London.
Yuendini, E. P. et al., 2019. Analisis Potensi Ekonomi Sektor Pertanian dan Sektor Pariwisata di
Provinsi Bali menggunakan Teknik Analisis Regional. Jurnal Geografi. 16(2): 128-136.

Anda mungkin juga menyukai