Anda di halaman 1dari 6

MENDORONG PENINGKATAN KINERJA EKSPOR INDONESIA LEWAT KEBIJAKAN

PERDAGANGAN BEBAS

Perlambatan ekonomi secara global sudah kita rasakan dari tahun 2019 yg lalu,
bahkan jauh dari itu pada tahun 2018 ketika pemerintah Amerika serikat dan Tiongkok
berseteru dan memulai perang dagang, sudah tampak adanya perlambatan ekonomi secara
global. Karena ternyata hubungan kedua negara ini berdampak pada perdagangan dengan
mitra-mitra dagang di luar dua negara tersebut. Jadi, Indonesia juga merupakan salah satu
negara yang terdampak. Dan hal ini dirasakan secara global.

Di tahun 2020 di perkirakan akan menjadi momentum untuk peningkatan pemulihan


ekonomi akibat perang dagang. Namun, di awal tahun kita mendapatkan kabar bahwa
ditemukan kasus Corona Virus di Wuhan, dan kemudian seiring berjalannya waktu itu
menjadi pandemi global. Dan hal ini mengakibatkan untuk kontraksi perdagangan secara
global yang dikabarkan pada semester pertama tahun 2020 ini mengakibatkan kontraksi
hingga -13,4%.

Dari pandemi covid-19 itu ada dua hal yang menjadi dampak yang cukup signifikan, yaitu
Logistik Internasional dan GVC.

Namun yang dibahas kali ini yaitu Logistik Internasional

1. Logistik Internasional

Seperti yang kita ketahui juga, dimana ada beberapa negara memberlakukan pembatasan
sosial kepada masyarakat, barang dan berimbas kepada perdagangan secara tidak langsung.
Dan hal ini bisa dilihat melalui keterlibatan suatu negara terhadap global valuance atau rantai
pasok global. Ada 3 institusi internasional yang memberikan proyeksi perdagangan global
sepanjang tahun 2020, yaitu UNCTAD, WTO, dan EU. Dari 3 institusi itu semuanya
menunjukkan proyeksi yang mengalami penurunan untuk perdagangan global dengan level
yang bervariasi, dengan kisaran 10% hingga 32%.
Dan jika dilihat dari grafik di atas, saya mengambil data terkait dengan pertumbuhan
perdagangan global dari tahun 2017 sampai 2021. Jadi, bisa dilihat disini memang
keterlambatan sudah terjadi dari tahun 2017, tapi yang cukup signifikan dari 2018 memasuki
2019, dan kemudian 2019 ke 2020. Namun, disini terlihat bahwa ada optimis dari masyarakat
internasional yang memperkirakan tahun 2021 akan ada pemulihan secara global. Dan untuk
angka -10,4% itu merupakan angka terendah dalam sejarah sejak perang dunia kedua. Dan itu
kontraksi nya mencapai -10,4%.

Overview Perdagangan Global

Gambar diatas merupakan informasi dari pergerakan dari ekspor dan impor untuk data
pertama dan data bulan April. Kawasan Asia Timur, Asia Tenggara, dan Fasifik itu angka
penurunannya paling rendah jika dibandingkan dengan kawasan-kawasan lainnya. Jadi, untuk
kawasan Asia masih dilihat cukup dinamis dibandingkan dengan negara-negara lainnya.
Sedangkan, jika dilihat dari impor dan ekspor, ternyata yang mengalami kontraksi cukup
dalam itu ada di ekspor, jika dibandingkan dengan impor.

Perekonomian dan Perdagangan Indonesia

Jika berbicara mengenai Indonesia, di Indonesia ini juga tidak jauh berbeda dengan
kondisi global saat ini. Kita ada diambang resesi, karena kwartal terakhir 2019 hingga
kwartal kedua sudah mengalami dua kali penurunan dari pertumbuhan ekonomi jika dilihat
dari tahunan. Dan yang terakhir di kwartal dua di kabarkan sudah mencapai -5,32%.
Sedangkan hal ini bisa di bilang menunjukkan pola yang cukup Senanda dari proyeksi
beberapa internasional yang memberikan proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia untuk
tahun 2020 dan 2021. Tentu saja ini sudah mengalami beberapa kali revisi. Dan bisa dilihat
memang Q1 itu memang mencapai -3,5% dan data untuk Q2 itu mencapai 5,2%. Jadi,
kemungkinan bakal terjadi lagi di Kwartal (Q) selanjutnya. Namun, pada tahun 2021
ketiganya sama sama optimis bahwa akan ada pemulihan. Hal ini masih senada jika kita
mengingat proyeksi untuk pertumbuhan perdagangan secara global.

Grafik di atas itu terkait Laju Pertumbuhan Barang dan Jasa (y-on-y) dan Laju
Pertumbuhan Impor Barang dan Jasa (y-on-y).

Disini bisa dilihat bahwa sektor jasa lebih terdampak dibanding ekspor barang. Hal ini
sangat berkaitan erat dengan adanya pembatasan sosial. Karena, utamanya yang terdampak
itu sektor pariwisata, karena devisa negara dari pemasukan dari pariwasata itu sangat terkena
dampak dari pandemi. Sedangkan untuk impor itu angkanya lebih besar juga, karena masih
dari jasa dan barang.

Perdagangan Indonesia dan Perjanjian Perdagangan Bebas

Ada 3 hal yang menjadi FTA itu penting, yaitu :

• Meningkatkan Arus investasi

• Membuka pasar untuk produk ekspor dari Indonesia

• Mengurangi hambatan perdagangan antarnegara baik yang berupa pengurangan/eliminasi


tarif serta pengurangan hambatan non-tarif

Ekspor utama Indonesia pertahun 2018 :

• briket batubara (US$ 22,1 miliar)

• minyak sawit (US$ 16,7 miliar)

• gas bumi (US$ 10,8 miliar)

• minyak mentah (US$ 5,52 miliar), dan

• karet (US$ 4,41 miliar).

Impor Utama Indonesia pertahun 2018 :

• minyak mentah rafinasi (US$ 16,1 miliar)

•minyak mentah (US$ 8,32 miliar

• suku cadang kendaraan (US$ 3,83 miliar)

• telepon (US$ 3,33 miliar)

• petroleum gas (US$ 2,67 miliar).


Ada beberapa negara Asean yang memiliki perjanjian, dan ada 8 negara yang
memiliki perjanjian perdagangan bilateral dengan Indonesia. Dan 3 terakhir itu EFTA,
Mozambique" dan CEPA itu masih dalam tahapan ratifikasi, dan ditargetkan rampung tahun
2020.

Selain dari 8 negara tersebut, pemerintah masih bekerja untuk menegosiasikan


kebijakan di 8 perjanjian, salah satunya dengan Uni Eropa, dan telah mengidentifikasi 15
potensi perjanjian perdagangan bebas lainnya.

Hambatan Ekspor : Proteksionisme Perdagangan

Ada 3 hal yang sering terjadi, yaitu pemberlakuan tarif oleh mitra dagang, kewajiban
lisensi impor dari negara mitra dagang, dan technical barriers dan sanitary and phytosanitary
Measures yang seringkali membuat produk Indonesia sulit dipasarkan di negara lain. Ada dua
hal penelitian yang di lakukan oleh Ekonom NBER dan CEPR, Melizt (2007) menemukan
bahwa liberalisasi perdagangan akan mendorong pelaku usaha untuk berinovasi agar dapat
memasarkan produknya ke pasar internasional melalui ekspor.

Di tengah kondisi global saat ini, target pemerintah untuk substitusi impor bahan baku
hingga 35% senilai US$82 milyar per tahun 2022, hal ini di tengah proteksionis perdagangan
secara global perlu diamati dan diimbangi kebijakan strategis. Jadi, untuk rekomendasi juga
bisa kita ketahui bahwa respon pola perdagangan global yang cenderung bersifat
proteksionis, sebaiknya pemerintah menghindari perilaku serupa kepada negara-negara,
khususnya terkait dengan impor bahan pangan, bahan baku industri, serta alat-alat kesehatan.
Dan untuk memiliki perjanjian perdagangan tidak cukup, perlu langkah strategis untuk
optimalisasi manfaat dari perjanjian yang ada. Termasuk di dalamnya untuk mendorong
ekspor dengan peningkatan dibeberapa hal, yaitu kualitas produk, branding, sistem logistik,
sistem pembayaran, bussines matching, dan ketersediaan bahan baku yang juga dapat
dilakukan antara pemerintah, pelaku usaha dan masyarakat.

Daftar Pustaka

Pingkan Audrine, Peneliti Center for Indonesian Policy Studies

Anda mungkin juga menyukai