Makalah Akhir PKN
Makalah Akhir PKN
NIM : 211011010013
POSO ) ”
Ahli etnografi Belanda klasik seperti Kruyt dan ahli bahasa Adriani menyebut orang
Pamona sebagai orang Toraja Poso-Tojo atau Toraja Bare’e dan menggolongkannya sebagai
orang Toraja Timur. Nama Pamona dipakai oleh para peneliti asal Sulawesi Tengah sejak tahun
1970-an sebagai pengganti sebutan Toraja Poso atau Toraja Bare’e. Suku bangsa ini mendiami
Kabupaten Poso di Provinsi Sulawesi Tengah yakni di Kecamatan Poso Pesisir, Una-Una,
Wales, Lage, Pamona Utara, Pamona Selatan, Ampana Kota, Ampana Barone, Ulubongka dan
Kennedy “1935” membagi orang Pamona “Toraja Timur” ke dalam empat kelompok.
Kelompok pertama berdiam di sekitar Teluk Tomini dan leher jazirah Timur Sulawesi Tengah,
terdiri dari beberapa sub-suku bangsa seperti Orang Lalaeo, Ra’u, Poso dan Wana. Kelompok
kedua berdiam di sekitar Danau Poso yakni sub-suku bangsa Pebato, Lage, Kadambuku, Unda’e,
Payapi, Lamusa, Longken, Buyu, Pu’umboto, Wotu dan Bancea. Kelompok ketiga mendiami
bagian lembah Sungai La’a sebelah hulu dan bagian timur Danau Poso yaitu sub-suku bangsa
Palende, Kalae, Tanandoa, Pada, Pakambia, dan Pu’umnana. Kelompok keempat ialah mereka
yang mendiami bagian hulu Sungai Kalaena dan bagian selatan Danau Poso yaitu sub-suku
pesisir utara danau Poso. Bukit tersebut dinamai Pamona karena banyak ditumbuhi pohon
Pamona. Di atas bukit tersebut dibangun sebuah istana kerajaan. Raja yang berkuasa di daerah
tersebut diberi nama Raha Pamona, sesuai dengan nama bukit yang ditumbuhi banyak pohon
Pamona. Pohon ini juga tumbuh di sekitar istana raja. Lama-lama kerajaan ini besar hingga
meliputi negeri yang berada di sekitar danau Poso. Nenek Moyang Suku Pamona berasal dari
dataran Salu Moge (luwu Timur). Karena berada di atas gunung yang jauh dari pusat
Suku ini menggunakan Bahasa Pamona dalam komunikasinya. Bahasa ini merupakan
rumpun dari bahasa Malayo-Polinesia dan turun ke bahasa Kaili-Pamona. Bahasa Pamona hanya
memiliki ragam lisan saja, tidak memiliki ragam tulisan atau aksara. Tahun 1912 bahasa Pamona
pernah diteliti, dan bahasa ini kemudian disebut dengan bahasa Bare’e. dari hasil penelitian
tersebut, bahasa Pamona sekelompok dengan bahasa Napu, Besoa, dan Ledoni. Penuturan
Bahasa Pamona dipakai oleh sebagian besar suku yang mendiami daerah Poso.
Di Poso Provinsi Sulawesi Tengah, terdapat berbagai macam suku. Namun suku yang
mendominasi wilayah Poso adalah suku Pamona. Makanya, kadang suku Pamona disebut juga
dengan suku Poso atau orang Poso. Padahal suku Poso tidak ada, yang ada hanyalah wilayah
Poso yang didiami oleh sebagian besar suku Pamona. Suku Pamona sebagian besar menganut
agama Kristen. Agama ini masuk daerah sekitar 100 tahun yang lalu dan sampai sekarang
diterima sebagai agama rakyat. Saat ini semua gereja-gereja yang sealiran dengan gereja ini
bernaung dibawah naungan organisasi Gereja Kristen Sulawesi Tengah (GKST) yang berpusat di
juga menggunakan marga untuk mengikat kekerabatan satu darah. Misalnya marga Torau,
Awundapu, Banumbu, Bali’e, Baloga, Belala, Betalino, Beto, Botilangi, Bulinde, Bungkundapu,
Bungu, Buntinge, Dike, Dongalemba, Gilirante, Gimbaro, Gugu, Gundo, Kampindo, Kambodji,
Kalembiro, Kalengke, Karape, Karebungu, Kayori, Kayupa, dan masih banyak lagi.
Suku Pamona memiliki pakaian adat yang sangat unik. Sebutan pakaian adat suku asli
Poso adalah Tuana Mahile. Pakaian adat asli Pamona terbuat dari kulit kayu yang di sebut
dengan Kaliken. Tidak sembarang kulit kayu untuk membuat pakaian adat tersebut, mereka
mengambilnya dari pohon-pohon yang berada di sekitar pegunungan dan masih sangat alami.
Pakaian tersebut hanya bisa digunakan pada saat pernikahan dan penyambutan tamu karena hasil
tekstil pakaian tersebut mudah rusak jika terkena air. Namun, seiring dengan berjalannya waktu
pakaian tersebut sudah hampir punah karena untuk pembuatan baju adat tersebut sangat lama.
Sehingga sekarang di gunakan pakaian adat yang terbuat dari kain khusus dan di hiasi dengan
Tarian adat tradisional Poso yang sangat terkenal yaitu tarian dero. Tarian ini merupakan
tarian suku Pamona. Tarian ini melambangkan sebuah ungkapan sukacita masyarakat Poso
terutama suku Pamona. Tarian ini di laksanakan di tempat yang luas karena seluruh peserta yang
melakukan tarian ini masyarakat itu sendiri tanpa memandang status sosial, umur dan gender.
Tarian ini merupakan tarian massal dan melibatkan seluruh masyarakat. Tarian ini sangat
kiri kemudian dua kali ke kanan dan mengikuti alunan lagu yang nyanyikan oleh penari dero.
Alat musik yang di gunakan untuk mengiringi tarian tersebut adalah ganda (seperti gendang) dan
nggongi (gong). Tarian ini sering di lakukan saat acara pernikahan dan acara besar adat lainnya.
berbahasa bare’e “ingkar, tidak atau tak” kemudian bahasa mereka lebih dikenal sebagai bahasa
Pamona. Berikut ini merupakan contoh dari Bahasa Suku Pamona beserta arti/terjemahannya
Ada juga beberapa kata-kata akar yang diklasifikasikan sebagai kata-kata inventif (seperti
contoh sebelumnya yang merupakan bagian dari kata-kata inventif namun tidak diklasifikasikan
sebagai kata-kata inventif) dengan hanya perubahan posisi abjad, sehingga menciptakan makna
Bahasa Pamona termasuk unik karena memiliki banyak fase suku kata yang bisa diputar
Mata pencaharian utama masyarakat ini ialah pertanian di ladang tebang bakar dan
berpindah, walaupun sebagian sudah ada pula yang bercocok tanam menetap di sawah dan
kebun. Tanaman utamanya ialah padi, disamping jagung, sayur-mayur dan palawija. Pada masa
sekarang mereka semakin tertarik kepada pertanian menetap, terutama sejak diperkenalkannya
tanaman komoditi seperti cengkeh dan kopi. Sebagian anggota masyarakatnya masih memiliki
mata pencaharian sebagai peramu hasil hutan dan berburu binatang liar.
Prinsip hubungan kekerabatan orang Pamona pada dasarnya bilateral, pasangan keluarga
baru biasanya tinggal di lingkungan rumah pihak isteri, sampai mereka mempunyai anak pertama
Pada masa sekarang orang Pamona sudah memeluk agama Islam atau Kristen. Sistem
kepercayaan asli mereka bersifat animisme dan mempercayai adanya dewa-dewa “pue” yang
mempengaruhi alam dan kehidupan. Tokoh dewa yang paling mereka segani ialah Pue
N’Palaburu yaitu dewa pencipta alam yang berdiam di tempat matahari terbit dan terbenam,
Tokoh dewa yang sering dimintai pertolongan dalam pengobatan penyakit karena
gangguan roh jahat ialah Pue Ni Songi. Dewa yang sering pula dihubungi untuk berbagai
upacara keagamaan ialah Wurake. Selain dewa-dewa kekuatan adikodrati lain mereka anggap
Kekuatan makhluk gaib itu hanya bisa dihubungi dengan perantaraan para syaman. Roh
para leluhur perlu diberi sesajian dalam setiap tahap proses perputaran lingkaran hidup, serta
untuk meminta perlindungan agar jangan diganggu oleh makhluk jadi-jadian yang disebut tau
mepongko.
Secara tradisional, suku Pamona memiliki gaya musik dalam bentuk kata yang
diucapkan. Salah satu contoh dari gaya musik yang sering dinyanyikan di antara rakyat desa
Tarian
Tarian Dero, atau modero merupakan tarian populer di kalangan Suku Pamona. Tarian ini
diadakan pada pesta-pesta rakyat. Biasanya dilakukan oleh orang-orang muda. Tarian melingkar
dilakukan dengan saling bergandengan tangan, sambil berbalas pantun diringi musik ceria.
Beberapa daerah di Palu melarang kegiatan tarian dero atau modero karena sering menjadi
pemicu perkelahian antar pemuda yang saling berebut perhatian gadis-gadis. Tarian Dero,
dibedakan atas tiga macam gerakan dan langkah kaki sesuai dengan ritme musik. Yang pertama
disebut dengan ende ntonggola, melangkahkan kaki kekanan dua langkah, selangkah ke belakang
Ditarikan saat menyambut bulan purnama, di mana waktu mulai persiapan lahan
menunggu waktu bercocok. Waktu bercocok tanam adalah saat bulan mulai gelap. Gerakan tari
yang berikutnya disebut dengan ende ngkoyoe atau ende ntoroli, yaitu dua langkah kekanan dan
selangkah kekiri. Gerakan ini dilakukan saat mengantar panen, perayaan hari besar atau pesta.
Gerakan tari yang terakhir disebut ende ada (adat), yang ditampilkan untuk penyambutan hari-
Gerakannya sama dengan ende ntoroli, perbedannya terletak pada tangan para penari
yang tidak bergandengan atau berpegangan. Tarian Dero juga berfungsi sebagai sarana hubungan
sepasang kekasih di depan umum, kecuali untuk tari Raego yang agak kental dengan budaya dan
bukit sepanjang lembah Sungai Poso yang dibentengi dari serangan musuh. Kehidupan sehari-
hari dijalani dengan cara kepemimpinan bersama melalui konsensus yang mengizinkan
bernegosiasi dengan komunitas lain, memimpin perang antarsuku, ekspedisi berburu kepala dan
penangkapan budak, mengatur perayaan suku, dan kegiatan lainnya. Unjuk hegemoni seperti
perebutan wilayah, perburuan budak dan kulit kepala, persaingan dagang dan sejenisnya memicu
rivalitas dan semakin memperlebar jarak antarsuku yang terlibat. Permukiman di puncak bukit
Sistem pertanian yang dilakukan orang-orang Pamona pada masa lampau adalah
perladangan berpindah. Beras dan jagung adalah tanaman produksi utama dalam sistem ini dan
para petani Pamona biasanya memperdagangkan hasil hutan seperti damar kepada para pedagang
Tionghoa atau Muslim di pesisir pantai. Hasil dagang digunakan untuk memperoleh pakaian,
gula, perhiasan, senjata, dan barang lainnya. Pakaian adalah barang yang umumnya dijadikan
Tradisi yang paling sering dijumpai pada suku Pamona ialah tradisi Katiana , yaitu
upacara selamatan kandungan pada masa hamil yang pertama seorang ibu. Upacara Katiana ini
biasanya dilakukan apabila kandungan itu sudah berumur 6 atau 7 bulan, saat kandungan dalam
perut sang ibu sudah mulai membesar. Maksud penyelenggaraan upacara Katiana ini adalah
untuk memohon keselamatan ibu, rumah tangga, dan khususnya keselamatan bayi di dalam
kandungan. Dengan upacara ini, bayi di dalam kandungan diharapkan dapat tumbuh subur,
sempurna, dan tidak banyak mengganggu kesehatan sang ibu. Secara psikologis, upacara ini
memberikan pegangan bagi sang ibu dan seluruh sanak kerabat agar tetap tabah dan kuat
menghadapi hal-hal yang cukup kritis dalam kurun waktu 9 bulan masa kehamilan.
Pamona selalu mengadakan ucapan syukur atas berkat kesuksesan yang di berikan Tuhan Yesus.
Meskipun masyarakat Pamona sebagian besar bukan petani tetapi harus mengadakan ucapan
syukur tersebut dan ucapan syukur tersebut di laksanakan di gereja dan setelah ibadah ucapan
syukur setiap orang bisa berkunjung satu sama lain. Tanpa pengecualian kepada siapa saja akan
berkunjung karena acara tersebut di buat setahun sekali. Makanannya enak-enak kalau acara
Selanjutnya adat perkawinan yang di gunakan untuk mengatur mas kawin yang di
tanggung oleh mempelai laki-laki yang akan di serahkan kepada orang tua mempelai perempuan,
mas kawin tersebut sering di sebut dengan “Sampapitu”. Nah, dalam melaksanakan adat
perkawinan tersebut masih ada sampai sekarang tradisi gotong royong atau membantu dalam
perkawinan yang biasanya di sebut dengan “Posintuwu”. Bantuan yang di berikan berupa
bahan-bahan makanan, tenaga, uang dan sebagainya. Wujud bantuan seperti itu atau Posintuwu
akan terus ada karena setiap orang yang sudah di beri Posintuwu akan membalasnya di kemudian
Ada lagi upacara pemindahan mayat yang disebut dengan Ndatabe. Jenazah tersebut
disimpan pada tambea (tempat penyimpanan jenazah) sampai menjadi tulang belulang yang
bersih dan letaknya agak jauh terpisah dari penduduk. Bila jenazah tersebut tinggal tulang
Sulawesi Tengah. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi para pembaca dan penilai, Terima