Anda di halaman 1dari 4

MENEMUKAN ALLAH DALAM SECANGKIR KOPIMenemukan

Allah dalam Secangkir Kopi


Beberapa waktu yang lalu, ketika saya sedang meracik kopi di sore hari,
saya teringat akan pesan salah satu romo pamong tatkala tengah
menempuh pendidikan di seminari Seminari menengahMenengah. Beliau
mengatakan dalam salah satu renungannya bahwa: “Allah begitu luar
biasa besar. Ssaking besarnya, Ia tidak mampu dimengerti oleh manusia.
Tetapi di saat yang sama, Allah juga begitu sederhana hingga mampu
melebur kepada segala hal di sekitar kita dalam keseharian sehingga kita
mengenal-Nya; nafas, makan, kesehatankesehatan, …, ….”

Entah mengapa pada sore hari tersebut saya tiba-tbiba mengingat teringat pesan
tersebut., Mmungkin karena seduhan kopi yang membawa pada memori pertama kali
saya mengenal kehidupan rohani. Pengalaman ini lah yang kemudian membawa
saya pada proses pencarian, pergulatan, sekaligus permenungan; “Aapa sebenarnya
kehidupan rohani itu?”

KEROHANIAN DALAM KESEHARIANKerohanian dalam Keseharian


Sebagian besar orang Kristiani mungkin masih menganggap bahwa kehidupan
rohani identik kaitannya dengan perihal ekaristi, adorasi, devosi, dsb. Hal tersebut
bukanlah sesuatu yang salah., Jjustru hal tersebut merupakan suatu pola hidup doa
yang baik., Ssuatu habitus yang membangun kekudusan. Namun, apakah kekudusan
hanya berhenti pada hal-hal tersebut? Apabila tidak berhati-hati maka kita bisa
terjatuh dalam praksis ritualistik yang hanya mengedepankan tata cara berdoa dan
berlahan kehilangan makna utama dari sebuah doa, yakni memperdalam relasi
dengan Allah.
Paus Fransiskus, dalam Surat Apostolik Gaudette et Exultatae, menyerukan
bahwa salah satu jalan kekudusan dapat dilalui melalui dinamika kehidupan sehari-
hari yang “biasa-biasa” saja. Seperti cContohnya, adalah tidak membicarakan orang
(gosip), tidak mengumpat dengan berkata kasar, dsb. Dengan demikian, hidup
keseharian menjadi wujud nyata hidup doa kita sebagai orang Kristiani yang
dihayati dengan persatuan bersama Kristus sendiri. Pertanyaan selanjutnya yang
muncul adalah Lantas, bagaimana ketika kita sedang mengalami kekeringan rohani
(desolasi)? Apakah penghiburan rohani (konsolasi) dapat juga dijumpai dalam
hidup keseharian?
Sebelumnya, perkenankanlah saya melanjutkan permenungan saya ketika
menikmati kopi di pojok serambi. Pada saat sore hari tersebut dalam Saat itu,
permenungan saya sampai pada refleksi Mangum in Parvo. yang berarti Maksudnya,
saya merasa bahwa Allah yang sanggup hadir di mana-mana, baik dalam besar dan
kecil ruang lingkup waktu, juga sanggup hadir pada saat kekeringan maupun
mengalami penghiburan rohani. Hanya saja di saat mengalami kekeringan rohani,
meskipun Allah hadir dan memberikan clue dengan beragam cara dan sarana, tetap
menjadi tugas kita untuk menjadi lebih peka terhadap kehadiran-Nya. Justru di
sinilah letak permasalahannya., dimana kKita sebagai orang beriman kerap kali jatuh
dalam kelemahan. Kita tidak selalu memiliki kepekaan untuk dapat menangkap
kehadiran Allah. Tidak jarang, ketika gagal menemukan Allah sebagai jawaban atas
kegundahan yang tengah kita alami, kita justru mencari jawaban-jawaban lain.
MEMANGGUL SALIB AKU TAK MAUMemanggul Salib, Aku Tak Mau
Hal tersebut pernah saya alami ketika beberapa tahun yang lalu. Ttepatnya
ketika menjalani perutusan studi di seminari Seminari tinggiTinggi. Sebagai seorang
calon imam diosesan sekaligus mahasiswa di semester lima, saya mengalami ke-
galau-an yang cukup lama. Sebagain Sebagian orang mengatakan saya tengah
mengalami quarter life crisis. dan hal tersebut umum dialami pada masa peralian usia
remaja ke dewasa awal. Pada saat ituDi satu sisi, mata kuliah studi yang lebih dominan
mengenai filsafat membuat saya perlu berjuang lebih dalam studi. Di sisi lain, keluarga
yang menjadi salah satu semangat hidup saya tengah mengalami ketidakharmonisan akibat
perselisihan antara ayah dan kakak yang hendak menikah. dan di dalam keluarga sendiri
sedang terjadi ketidakharmonisan antara ayah dan kakak saya yang hendak menikah.
Karena belajar mendalami mata kuliah ditambah dengan permasalahan keluargaKarena hal
tersebut, saya lantas mempertanyakan pelbagai hal, termasuk kehadiran Allah dalam
hidup panggilan saya. Pertanyaan-pertanyaan yang tidak tak kunjung mendapat
jawabanterjawab tersebut membuat saya kehilangan arah dan hidup tidak teratur.
perlahan memilih untukSaya mulai tidak mengikuti agenda seminari, secara perlahan
meninggalkan hidup doa, termasuk di dalamya dengan sengaja bolos mengikuti
ekaristi harian, dsb.
Dalam kepenatansituasi tersebut, saya merasa bahwa lingkungan di dalam
seminari tidak menyediakan apa yang saya cari. sehingga sSaya kemudian memilih
untuk menghabiskan waktu untuk jalan-jalan mencari kesenangan di luar seminari
secara illegal (tanpa izin). Puncaknya, saya merasa ada kemuakan di dalam diri saya
mengenai kehidupan rohani dan buntut dari semua hal tersebut adalahmulai menjalin
kedekatan relasi khusus saya dengan salah satu teman lawan jenis.
Pada dasanya memiliki relasi dengan teman lawan jenis adalah sesuatu yang
baik dan bagus apabila disertai dengan model relasi yang sehat dan tidak ekslusif.
Hanya saja, karena saya merasa selalu ada yang kurang ketika di dalam seminari,
saya justru hal tersebut mendorong sekaligus meyakinkan dirisaya untuk berani dan
seolah-olah membenarkan tindakan saya untuk “tidak mengapa” memiliki relasi yang
cukup eksklusif. Meskipun sadar bahwa saya tengah berjalan di dua jalan, tetapi toh
tetap saya jalani. Meskipun saya tengah berada pada fase kebingungan,Semua saya jalani
tanpa sadar sayabahwa saya selalu “melarikan diri” dan tidak benar-benar
menghadapi persoalan yang saya hadapiyang ada. Alih-alih memanggul salib, saya
justru meninggalkannya dengan membenarkan diri. saya dengan Bagi saya, semua
merasa masih baik-baik saja sejauh tidak mendapat panggilan baik dari perfek displin
maupun dari rektor, dan surat peringatan atau apapun itu dari prefek displin maupun
dari rektor.

SALIB SUMBER CINTASalib Sumber Cinta


Berjalannya Seiring berjalannya waktu, relasi yang ekslusif tersebut membuat
saya merasa kekeringan. Seakan aApa yang sudah saya anggap sebagai suatu sebuah
jawaban atas kegundahan yang saya alami, perlahan luntur dan semakin meninggalkan
pertanyaan besar di dalam diri sayasendiri. Ketidakjelsan Kerancuan antara hati dan
pemikiran abstraksi mengalami puncaknya ketika proses pernikahanperselisihan kakak
dengan dan ayah yang semakin meruncing. Perosalan tersebut berdampak pada diri saya
karena di tengah perseteruan antara ayah dan kakakDi tengah perselisihan tersebut, saya
diminta oleh keluarga untuk menjadi penengah atas persoalan tersebut. Saya tidak
siap. Mungkin tampak sedikit dramatis, tetapi pada sSaat itu saya bertanya dalam hati,
“Allahku, Allahku, mengapa Engkau meningalkan daku” (Matius 27:46) sebagaimana
Yesus ketika berada di atas kayu salib.
Dalam situasi tersebut, saya mempertanyakan kembali panggilan saya sebagai
seorang calon imam dan kehadiran Allah yang “secara teologis” selalu mendampingi.
Secara naluriah saya merasakan bahwa dalam fase kebimbangan tersebut sangatlah
tidaklah nyaman. Hendak memutuskan sesuatu seperti mengundurkan diri misalnya
tampak sebagai keputusan yang instan dan tidak menyelesaikan permasalahan. Akan
tetapi, justru di fase tersebut, saya menjumpai dua pengalaman sederhana yang membuat
saya semakin bersyukur atas apa yang tengah saya alami. Dua pengalaman sederhana yang
menjadi titik balik hidup saya.
Dalam fase tersebut saya bersyukur mengalami dua hal sederhana yang menjadi titik
pertobatan. Pengalaman pertama adalah ketika saya bercerita dengan salah satu
teman satu angkatanangkatan., Alih-alih merasa didengarkan, saya justru merasa
diingatkan. Akhirnya, cerita saya berujung jadi berdiskusiperdebatan yang, berdebat hebat.
Saking hebatnya, bahkan sampai sayasaya sampai merasa marah dengan teman saya
mengenai apa yang seharusnya saya laukansaat itu. Pengalaman kedua adalah
pengalaman minum kopi. Suatu tatkala di sore hari saat saya sedang menikmati kopi,
tiba-tiba terbesit suatu pertanyaan besar, “Mmengapa Allah mau menyelamatkan
manusia? , konkritnya mMengapa kok Yesus berkenan mati di kayu salib?.” Pada saat
itu saya tidak ingin mencari jawaban secara filosofis-teologis. karena bBagi saya pada
waktusaat itu, jawaban tersebut semacam itu hanyalah teori. Saya memiliki
kerinduanlebih rindu untuk mencarimenemukan jawaban tersebut di dalam doa, suatu
kerinduan akan jawaban eksistensial yang begitu pribadi dan berharap Allah
sendirilah yang menjawab.
Singkat cerita pucuk dicinta ulam pun tiba, pada suatu malam ketika hanya
memandangi salib di sisi pojok kamar, dari dalam hati selalu terngiang satu sebuah
kata dalam hati saya. Kata itu adalah yaitu “cinta”. Ngelamun yang tanpa sadar tersebut
kemudian saya bawaSebuah kata yang membawa saya ke dalam doa. dan Sebuah kata
yang menuntun saya menemukan suau rangkaian “benang merah” petunjuk dari Allah;
yang menyambung. mMulai dari ‘alarm’ hati nurani, yang terus memebri sinyal, teman
angkatan yang dengan sabar mengingatkan, kegundahan yang tampak dari
pertanyaan-pertanyaan, hingga akhirnya dalam salib sendirilah Allah memberikan
jawaban.
Jawaban yang saya cari atas peristiwa Yesus yang adalah Allah Putra kok mau
rela menebus dosa manusia, pertama-tama adalah karena cinta. Pperutusan dari
Allah Bapa kepada Yesus kristus Sang Putra adalah cinta. Karena terlalu besar cinta-
Nya, Yesus rela mati di salib. Pertanyaan yang kemudian muncul adalah apabila
Yesus mencinta melalui salib, bagaimana dengan permasalahan yang sedang aku
rasakan? Jawabannya adalah Dia mencintai saya melalui clue yang sebenarnya telah
terjadi dan saya alami, hanya saja saya terlalu sering menutup mata pada cinta Yesus
dan mencari cinta yang lain.

BELAJAR DARI KOPIBelajar dari Kopi


Sebagaimana prosesMenikmati secangkir kopi merupakan usaha menikmati sebuah
perjalanan. Bagaimana tidak? Secangkir kopi berasal dari biji yang mengalami perjalanan
panjang. dari awal Ia ditanam, dirawat, dipanen, dan diproses pasca-panen hingga
penyajian, kopi melewati beragam proses. Bahkan sudah melewati proses tersebut, bijih
kopi masih mengalami Ketika produk siap sajipun, kopi dapat dinikmati dengan berbagai
macam cara;prosesnya masing-masing sebelum siap dinikmati. Entah itu langsung diseduh
sebagai kopi tubruk, ditekan dengan alat aeropress, disiram perlahan dengan v60V60,
atau bahkan dibiarkan mengenang dengan vietnam vietnam drip., dsb. Bahkan dari satu
varietas yang sama,Semua itu dijalani suatu bijih kopi dapat mengalami treatment yang
berbeda demi menghasilkan cita rasa yang optimal.
Seperti kopi, Bbegitu pula dinamika perjalanan pengalaman saya menghidupi
kerohanianhidup rohani. Sebuah pengalaman panjang unik dan otentik yang tidak dapat
dibandingkan satu dengan yang lain., otentik dan tidak dapat disamakan dengan kisah yang
lain. Pengalaman mengalami kekeringan rohani merupakan suatu proses natural
dalam kehidupan rohani. Ragam wujud pergulatan dalam proses mencari jawaban
tidak dapat dipisahkan dari dinamika kerohanian. Justru melalui pengalaman
tersebut, sebagai seorang rohaniawan saya merasa semakin dilatih, dikuatkan, serta
dimurnikan sejauh mengolah dengan jujur dan dengan rendah hati.
Berlahan tapi pasti, berkat pengalaman sederhana yang meneguhkan tersebut,
saya memulai menata hidup panggilan kembali. Konsekwensi Konsekuensi dari
pilihan saya, salah satunya, adalah bertanggung jawab dengan memohon maaf
sekaligus terhadap teman lawan jenis yang dekat dengan saya. Sedikit demi sedikit
kembali lagi menghayati hidup doa sebagai seorang calon imam, belajar terbuka
dengan menceritakan pergulatan dan proses menghadainya kepada staff seminari.
Pada akhirnya saya menyadari bahwa dalam proises formasi sebagai seorang
calon imam, saya perlu banyak belajar dari kopi. Meskipun telah melewati beragam
proses sebelumnya, tetapi biji kopi yang masih mentah tidak sering diminati oleh
khalayak dan bahkan memiliki harga yang rendah. Namun, ketika biji kopi telah
disangrai serta diracik dengan tangan-tangan handal, ia akan memiliki notes atau
citarasa yang menjadi daya pikat banyak orang. Dengan “diracik” oleh ragam
pengalaman, saya berharap dapat menjadi seorang rohaniawan yang mampu
menyebarkan warta kasih Allah kepada semua orang sekaligus mengajak semakin
banyak orang untuk melihat karya Allah dalam diri kopi (saya) yang tidak seberapa
ini.

Anda mungkin juga menyukai