Anda di halaman 1dari 42

REFERAT PSIKIATRI DEWASA

TRANSCRANIAL MAGNETIC STIMULATION (TMS) PADA

PASIEN SKIZOFRENIA

Nama : Fakhrurrozy Nasron, dr.

Pembimbing : Shelly Iskandar, dr., Sp.Akp., Sp.KJ., M.Si., Ph.D.

Penelaah : Lynna Lidyana, dr., Sp.KJ.

Penyanggah : N. R. Febrianti Santiardi Danasasmita, dr., Sp.KJ.

Hari/Tanggal : Selasa/14 Juni 2022

Tempat : Ruang Sidang Departemen / KSM Ilmu Kedokteran Jiwa

PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PADJADJARAN

RUMAH SAKIT UMUM PUSAT DR. HASAN SADIKIN

BANDUNG

2022
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI .......................................................................................................... I


DAFTAR GAMBAR ............................................................................................II
DAFTAR TABEL ............................................................................................... III
DAFTAR SINGKATAN .................................................................................... IV
BAB I....................................................................................................................... 1
PENDAHULUAN .................................................................................................. 1
BAB II ..................................................................................................................... 3
TINJAUAN PUSTAKA......................................................................................... 3
2.1 SKIZOFRENIA ............................................................................................ 3
2.1.1 Definisi Skizofrenia ............................................................................ 3
2.1.2 Epidemiologi Skizofrenia ................................................................... 3
2.1.3 Patofisiologi Skizofrenia..................................................................... 4
2.1.4 Gejala Klinis ........................................................................................ 6
2.2 TRANSCRANIAL MAGNETIC STIMULATION (TMS) ........................................ 7
2.2.1 Deskrpsi Transcranial Magnetic Stimulation (TMS)........................ 7
2.2.2 Sejarah TMS ....................................................................................... 8
2.2.3 Jenis, Unsur, dan Prosedur TMS ...................................................... 9
2.2.4 TMS untuk Perbaikan Gejala Pasien Skizofrenia .......................... 17
2.2.5 Efek Samping TMS ........................................................................... 25
BAB III ................................................................................................................. 32
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................... 33

i
DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Patofisiologi Skizofrenia……………………………………………11

Gambar 2.2 Unsur-unsur TMS…………………………………………………...12

Gambar 2.3 Diagram stimulasi TMS dari jalur motorik…………………………19

ii
DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Variabel-variabel sebelum melakukan pemberian TMS…………………14

Tabel 2.2 Contoh Kusioner Skrining Sebelum Pemberian TMS……………………..15

Tabel 2.3 Efek Samping TMS………………………………………………….27

Tabel 2.4 Obat-obatan dengan Potensi Bahaya Untuk TMS…………………..29

iii
iv
DAFTAR SINGKATAN

TMS : Transcranial Magnetic Stimulation

rTMS : Repetitive Transcranial Magnetic Stimulation

RTM : Repetitive Transcranial Magnetic

FDA : Food and Drug Administration

WHO : World Health Organization

Riskesdas : Riset Kesehatan Dasar

GABA : Gamma-aminobutyric Acid

VTA : Ventral Tegmentum Area

LSD : Lisergat Dietilamid

DBS : Deep Brain Stimulation

TPC : Tempoparietal Cortex

DLPFC : Dorso Lateral PreFrontal Cortex

CI : Cortical Inhibiton

SICI : Short-Interval Cortical Inhibition

MEP : Motor Evoked Potential

EEG : Electroencephalography

OSHA : Occupational Safety and Health Administration

iv
BAB I

PENDAHULUAN

Skizofrenia merupakan gangguan jiwa berat yang menimbulkan

permasalahan di seluruh dunia, baik di negara maju ataupun negara berkembang.

Permasalahan yang ditimbulkan bukan karena tingkat kematian yang tinggi, tetapi

karena gangguan ini menimbulkan hendaya jangka panjang pada penderitanya di

dalam melakukan aktifitas sehari-hari termasuk dalam bekerja. Hal ini tentu saja

akan menghambat berbagai macam bidang pekerjaan dan juga aktifitas atau

hubungan sosial di dalam masyarakat.1

Farmakoterapi dengan obat antipsikotik tetap menjadi andalan dalam

pengobatan akut dan pemeliharaan skizofrenia. Agen antipsikotik (generasi

pertama, kedua, dan ketiga) telah terbukti paling efektif dalam mengurangi gejala

positif skizofrenia, tetapi tidak memuaskan dalam mengurangi gejala negatif dan

kecenderungan untuk kambuh. Hampir sepertiga pasien dengan psikotik positif

skizofrenia tidak berespon terhadap pengobatan antipsikotik. Ketidakpatuhan

minum obat juga merupakan masalah signifikan dalam pengobatan skizofrenia,

dengan tingkat ketidakpatuhan lebih dari 70 persen selama satu tahun. Beban efek

samping yang signifikan dari obat antipsikotik juga merupakan masalah yang

kurang dapat diterima oleh pasien dan keluarga, yaitu gejala ekstrapiramidal,

penambahan berat badan, dan kelainan metabolik.2

1
2

Keterbatasan agen farmakologis antipsikotik menyebabkan perlu adanya

modalitas alternatif untuk mengobati skizofrenia. Salah satu pilihan terapi lainnya

yaitu Transcranial Magnetic Stimulation (TMS). TMS adalah teknik

neurofisiologis yang memungkinkan stimulasi noninvasif pada otak manusia. Sejak

diperkenalkan hampir 30 tahun yang lalu, TMS sering berhubungan dengan metode

ilmu saraf lainnya dan telah digunakan untuk mempelajari interaksi intrakortikal,

kortiko-kortikal, dan kortiko-subkortikal. TMS juga menilai hubungan sebab akibat

antara aktivitas otak dan perilaku, dan menyelidiki neurofisiologis gejala dan

patofisiologi berbagai gangguan neurologis dan psikiatri.

Meskipun awalnya dikembangkan sebagai alat diagnostik, TMS dapat

secara sementara atau secara permanen memodulasi rangsangan kortikal (baik

meningkatkan atau menurukan) melalui penerapan medan magnet lokal dan efek

neurobiologis lainnya yang dapat dimanfaatkan untuk aplikasi terapeutik seperti

epilepsi, nyeri kronis, depresi berat, dan skizofrenia.3,4 Berdasarkan latar belakang

tersebut di atas, referat ini akan membahas proses perkembangan gejala positif dan

gejala negatif setelah menggunakan TMS sebagai terapi tambahan, sehingga TMS

dapat digunakan sebagai salah satu pendekatan intervensi penanganan skizofrenia..


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Skizofrenia

2.1.1 Definisi Skizofrenia

Skizofrenia berasal dari kata “schizen” yang berarti split atau pisah dan

“phren” yang berarti mind atau pikiran. Istilah ini menggambarkan keadaan pasien

dengan skizofrenia pada tahun 1908, digunakan oleh Eugene Bleuler saat melihat

pasien skizofrenia yang terlihat menarik diri dari orang lain dan realita.5

Skizofrenia adalah gangguan kesehatan mental kronis yang kompleks

ditandai dengan serangkaian gejala, termasuk delusi, halusinasi, bicara atau

perilaku yang tidak teroganisir, dan gangguan kemampuan kognitif. Tahap awal

penyakit bersamaan dengan perjalanan kronisnya, didapatkan kelainan yang

menimbulkan hendaya pada banyak pasien dan keluarga. Disabilitas sering kali

diakibatkan dari gejala negatif dan gejala kognitif, seperti gangguan perhatian,

memori kerja, atau fungsi eksekutif. Selain itu, kekambuhan dapat terjadi karena

gejala positif, seperti adanya waham curiga, delusi, dan halusinasi.6

2.1.2 Epidemiologi Skizofrenia

Skizofrenia merupakan satu dari 20 besar penyakit yang dapat

menyebabkan disabilitas di dunia, dengan prevalensi skizofrenia sebesar 0,7%.7

Menurut World Health Organization (WHO) pada tahun 2022, sekitar 24 juta orang

di seluruh dunia menderita skizofrenia (0,32%).8 Menurut Riset Kesehatan Dasar

(Riskesdas) tahun 2018 menunjukkan prevalensi dari 1000 rumah tangga dengan

3
4

pasien gangguan jiwa skizofrenia/psikosis di Indonesia mencapai 7%. Prevalensi

skizofrenia/psikosis tertinggi di Indonesia terdapat di Provinsi Bali sebanyak 11%,

dan selanjutnya DI Yogyakarta dan NTB yang memiliki persentase yang sama yaitu

10%.9

Prevalensi skizofrenia pria sama dengan wanita. Pria mengalami awitan

penyakit yang lebih awal (usia puncak awitan adalah 10-25 tahun) dibandingkan

wanita (usia puncak untuk awitan adalah 25-35 tahun). Tidak seperti pria, wanita

menunjukkan distribusi usia bimodal, dengan puncak awitan kedua terjadi pada usia

paruh baya (sekitar 3-10% wanita dengan skizofrenia mengalami awitan penyakit

setelah usia 40 tahun). Awitan penyakit sebelum usia 10 tahun atau setelah usia 60

tahun sangat jarang.1

2.1.3 Patofisiologi Skizofrenia

Skizofrenia adalah gangguan kompleks yang melibatkan disregulasi

beberapa jalur sistem neurotransmitter. Sebagian besar teori ini berpusat pada

kelebihan ataupun defisiensi dari neurotransmitter yang meliputi dopamin,

serotonin, dan glutamat. Teori-teori lain melibatkan aspartat, glisin, dan gamma-

aminobutyric acid (GABA) sebagai bagian dari gangguan keseimbangan

neurokimia pada pasien skizofrenia.10

Aktivitas abnormal pada reseptor dopamine (khususnya D2) diduga

berhubungan dengan banyak gejala skizofrenia. Terdapat empat jalur dopaminergik

terlibat. Jalur nigrostriatal berasal dari substansia nigra dan berakhir pada nukleus

kaudatus. Kadar dopamine yang rendah dalam jalur ini diperkirakan akan
5

mempengaruhi sistem ekstrapiramidal, sehingga menyebabkan gejala motorik.

Jalur mesolimbik, yang berjalan dari Ventral Tegmentum Area (VTA) ke area

limbik, dapat berperan dalam gejala positif skizofrenia dalam keadaan kelebihan

dopamin. Jalur mesokortikal memanjang dari VTA ke korteks. Gejala negatif dan

defisit kognitif pada skizofrenia diduga disebabkan oleh rendahnya tingkat dopamin

mesokortikal. Jalur tuberoinfundibular terbentang dari hipotalamus ke kelenjar

hipofisis. Penurunan atau blokade dopamin tuberoinfundibular akan menghasilkan

peningkatan kadar prolaktin sehingga menyebabkan terjadinya galaktore,

ammenorea, dan penurunan libido.6

Gambar 2.1 Patofisiologi Skizofrenia6


6

Hipotesis serotonin yang mendasari perkembangan skizofrenia muncul

sebagai akibat dari penemuan bahwa asam lisergat dietilamid (LSD) mengarah pada

pengembangan senyawa obat yang menghambat reseptor dopamin dan serotonin,

berbeda dengan obat yang lebih dulu, yang hanya mempengaruhi reseptor

dopamine. Senyawa yang lebih baru ditemukan efektif dalam mengurangi gejala

positif dan negatif dari skizofrenia.10

Beberapa penelitian juga menyebutkan bahwa skizofrenia adalah gangguan

neurodevelopmental berdasarkan abnormalitas struktur otak dan adanya gliolisis

yang menunjukkan adanya perubahan intra uterin. Penelitian terhadap perubahan

neuroanatomi yang diobservasi menggunakan PET dan fMRI menunjukkan adanya

pengurangan volume substansia grisea pada pasien skizofrenia. Hal ini terjadi tidak

hanya pada lobus temporalis namun juga pada lobus parietalis. Perbedaan pada

lobus frontalis dan hipokampus juga terlihat pada pasien skizofrenia. Hal ini

berakibat pada gangguan kognitif dan memori yang berhubungan dengan

skizofrenia.11

2.1.4 Gejala Klinis

Gejala pada skizofrenia dapat dibagi menjadi tiga kelompok yaitu gejala

positif, gejala negatif, dan gejala kognitif. Gejala positif merupakan perilaku

abnormal yang terobservasi, seperti : halusinasi, delusi, bicara kacau, perilaku yang

aneh dan agitasi.12,13

Gejala negatif merupakan hilangnya perilaku yang normal dan biasanya

berhubungan dengan perkembangan penyakit. Gejala negatif biasanya muncul


7

selama fase prodromal skizofrenia dan sebelum episode psikotik akut pertama.

Gejala negatif terdiri dari afek yang tumpul, anhedonia (ketidakmampuan untuk

mengalami kesenangan), alogia (penurunan bicara spontan), asosial (penarikan

diri dari hubungan sosial) dan avolisi (motivasi yang rendah).12,13

Gangguan kognitif adalah gejala inti skizofrenia yang berdampak secara

signifikan pada fungsi hidup. Defisit kognitif berkembang selama perjalanan

penyakit skizofrenia, dan bahkan sebelum awitan pertama dari penyakit atau fase

prodromal. Gangguan kognitif tampak dari disfungsi dalam memori kerja,

perhatian, kecepatan pemrosesan pikir, pembelajaran visual dan verbal dengan

defisit yang jelas dalam proses penalaran, perencanaan, pemikiran abstrak, serta

pemecahan masalah.12,13

2.2 Transcranial Magnetic Stimulation (TMS)

2.2.1 Deskrpsi Transcranial Magnetic Stimulation (TMS)

Transcranial Magnetic Stimulation (TMS) adalah salah satu teknik

neuromodulasi otak yang bersifat non-invasif yang memiliki dua fungsi yaitu

mengganggu fungsi otak dan memodulasi fungsi otak.14 Fungsi pertama sebagai

sarana untuk mengganggu fungsi otak, dan konsekuensi dari gangguan tersebut

dapat diamati melalui sikap kerja, pengalaman subjektif, atau gambaran otak serta


tindakan-tindakan elektrofisiologis. Hal ini memungkinkan TMS dapat digunakan

baik secara eksperimental sebagai sarana untuk mengeksplorasi fungsi saraf dan

secara klinis sebagai alat diagnostik dan terapeutik. Fungsi kedua TMS dapat
8

memodulasi fungsi otak, sehingga dapat berpotensi sebagai pengobatan penyakit

neuropsikiatri.15

2.2.2 Sejarah TMS

TMS merupakan prinsip fisika yang ditemukan pada tahun 1831 oleh

fisikawan Inggris Michael Faraday. Michael Faraday saat itu menemukan

prinsip-prinsip induksi elektromagnetik sebagai pengganti arus listrik untuk

merangsang jaringan saraf. Faraday mengamati bahwa adanya getaran arus

listrik yang melewati kumparan kawat yang dipegang di atas kepala pasien dan

menghasilkan arus listrik melalu induksi elektromagnetik. Arus yang dihasilkan

membuat terjadinya depolarisasi neuron dan dapat menghasilkan berbagai efek

fisiologis dan perilaku tergantung pada area otak yang ditargetkan.16,17

Pada tahun 1985, Anthony Barker dan rekan-rekannya di Sheffield

merancang dan membangun perangkat stimulasi elektromagnetik praktis

pertama. Barker dkk secara ilmiah membuktikan pengaruh stimulasi magnetik

pada korteks motorik otak manusia. Saat ini, kemajuan teknologi telah

memungkinkan kita untuk memanipulasi prosedur stimulasi magnetik

transkranial baik dalam bentuk pulsasi yang tak henti-hentinya atau berulang di

setiap bagian korteks. Bentuk stimulasi berulang disingkat RTM (Repetitive

Transcranial Magnetic). Penggunaan pertama RTM terbatas pada diagnosis

gangguan neuro-motorik.18

Pada tahun 2002, Canadian Association of Health merupakan lembaga

resmi yang menyetujui hasil medis dan manfaat rTMS. Selain itu, negara-negara
9

lain seperti AS, Inggris, Jerman, dan Jepang telah mengerjakan metode ini

selama 20 tahun. Saat ini, perangkat untuk induksi elektromagnetik berulang

telah dikembangkan menjadi struktur dengan parameter yang berbeda, misalnya

kemampuan untuk menambah atau mengurangi energi magnetik pada area

kortikal, dapat dimodifikasi dengan tepat agar sesuai dengan pengobatan

berbagai gangguan psikologis. Food and Drug administration Amerika Serikat

juga memberikan persetujuan untuk metode ini pada 8 Oktober 2008.18

2.2.3 Jenis, Unsur, dan Prosedur TMS

2.2.3.1 Jenis-Jenis TMS

Jenis-jenis Definisi Efek

TMS

Single-pulse Pelepasan pulse tunggal yang Efek yang diinduksi dapat

dipisahkan oleh interval diukur dalam bentuk 1)

waktu setidaknya 4 detik (5- aktivitas motor yang

hingga 8 detik untuk zona dibangkitkan di area

aman). motorik primer; 2)

membangkitkan aktivitas

visual dan sila visual,

seperti fosfen; 3)

gangguan kerja pendek

dalam tugas-tugas
10

kognitif, seperti

perubahan kinerja.

Double Juga dikenal sebagai paired Dengan menggunakan

pulse pulse TMS, terdiri dari dua subthreshold CS dan

pulse, yaitu, pelepasan suprathreshold TS dan

Conditioning Stimulus (CS) menggunakan bervariasi

diikuti oleh Test stimulus ISI dari short (< 5 ms),

(TS) yang dipisahkan oleh intermediate (7 - 15 ms),

Interstimulus interval (ISI). dan long (50 - 200 ms),

efeknya dapat dimodulasi

dari fasilitasi intrakortikal

ke penghambatan.

Mereka juga dapat

digunakan untuk

menentukan ada atau

tidak adanya konektivitas

dan estimasi waktu

konduksi antara dua situs

serebral yang berbeda

Repetitive TMS pulse berulang terdiri Efek dapat berkisar dari 1)

pulse dari memberikan kombinasi efek TMS langsung: Ini

lebih dari dua pulsa dengan hasil dari gangguan

interval waktu di antara 2 langsung dan terukur


11

detik atau kurang untuk dengan pola pelepasan

menghasilkan efek yang neuronal yang sedang

berbeda dari yang dihasilkan berlangsung pada saat

dari pulse yang terisolasi. Ini stimulasi; 2) efek TMS

melibatkan pengiriman train tidak langsung:

yang pendek 3 - 4 pulse pada merupakan dampak pada

frekuensi tinggi dan periode proses serebral yang

stimulasi yang lama pada dihasilkan dari pola

frekuensi tetap dengan atau stimulasi berulang yang

tanpa gangguan oleh interval diberikan sebelumnya.

bebas stimulasi.

Ada 3 jenis dari TMS berdasarkan frekuensi dan jenis pulse yang

diberikan yaitu single-pulse, paired pulse, dan repetitive transcranial magnetic

stimulation (rTMS). Pada single pulse TMS akan melepaskan pulse magnetic

tunggal pada waktu tertentu. Pada paired pulse TMS, stimulus subthreshold

dipasangkan dengan stimulus suprathreshold dengan interval stimulus 1-4ms,

sehingga terjadi penghambatan intracortical (ICI) yang dimediasi oleh GABA

dan dopamin intraneuron. Repeated paired pulse TMS memberikan pulse pada

frekuensi yang sangat rendah (2Hz). Ketika interval antara pasangan pulse adalah

3 ms, terjadi pengurangan rangsangan kortikal, dan ketika intervalnya adalah 1,5

ms terjadi peningkatan rangsangan kortikal. Theta burst stimulation (TBS), versi

spesifik dari transcranial magnetic stimulation (TMS), diketahui dapat


12

menginduksi plastisitas jangka panjang otak dengan pemberian jangka pendek

pada frekuensi stimulasi 50-100 Hz yang diulang pada 5Hz (frekuensi theta).

Sedangkan pada repetitive TMS (rTMS), pulse magnetik dikirimkan dalam seri

cepat. Ketika rTMS digunakan, maka akan mengirimkan pulse magnetic tunggal

berulang dengan instensitas yang sama ke area otak yang terpisah.19-21

2.2.3.2 Unsur-unsur TMS

Adapun unsur-unsur pada TMS adalah sebagai berikut:

Gambar 2.2 Unsur-unsur TMS22

Elemen-elemen dari rangkaian TMS termasuk stimulator (1), sistem

pendingin (2), kursi perawatan (3), kumparan induksi (4) dan, dalam beberapa

kasus, pencitraan resonansi magnetik (MRI) - sistem navigasi terpandu (5) yang

menggabungkan kamera navigasi tanpa bingkai tiga dimensi (6).22


13

2.2.3.3 Prosedur TMS

Tidak seperti terapi elektrokonvulsif, pemberian TMS tidak memerlukan

anestesi, pasien dalam keadaan terjaga serta waspada selama perawatan dan

dapat segera pulang setelah sesi selesai. Reaksi yang ditimbulkan dapat

mencakup sakit kepala ringan, nyeri kulit kepala di lokasi stimulasi, dan potensi

efek samping sementara pada pendengaran karena suara klik mesin, yang dapat

dicegah dengan penggunaan penyumbat telinga. Potensi efek samping yang

paling serius dari TMS adalah induksi kejang, yang jarang terjadi. Pasien harus

disaring dengan hati-hati untuk penyakit otak organik, riwayat kejang pribadi,

atau riwayat keluarga epilepsi.2

Tinjauan komprehensif tentang status kesehatan pasien (termasuk kondisi

dan obat-obatan medis, bedah, neurologis, dan riwayat psikiatri saat ini) dan

pemeriksaan fisik adalah komponen evaluasi untuk menentukan keamanan

medis dan kebutuhan TMS.23 Dibawah ini adalah variabel-variabel apa saja yang

perlu diketahui sebelum melakukan pemberian TMS pada pasien :

Tabel 2.1. Variabel-variabel sebelum melakukan pemberian TMS23

Variabel Hal-hal yang harus

dilakukan apabila variable

ditemukan pada pasien

• Riwayat epilepsi • Menentukan rasio antara

• Riwayat keluarga dengan epilepsi risiko dan manfaat

• Riwayat kejang
14

• Riwayat trauma penggunaan rTMS pada

• Riwayat penurunan kesadaran pasien.

• Riwayat stroke • Memberikan informasi

• Riwayat tumor otak kepada pasien bahwa satu

• Riwayat cedera otak traumatik? atau lebih variable ini dapat

• Riwayat pemakaian implan medis? meningkatkan risiko kejang

• Riwayat penggunaan metal di yang berkaitan dengan

kepala? penggunaan rTMS.

• Pertimbangkan konsultasi

dengan spesialis lain

(misalnya neurologis) untuk

melakukan penilaian risiko

dari rTMS sebelum

memberikan intervensi.

Penggunaan obat-obatan yang dapat • Mendokumentasikan

menurunkan ambang kejang medikasi termasuk nama

obat dan dosisnya. Buatlah

checklist terkait konsumsi

obat-obatan pasien dan

gunakan list ini di setiap sesi

rTMS.

• Menjaga agar obat tetap

stabil selama penggunaan


15

rTMS dan memberikan

informasi kepada staf klinis

terkait setiap perubagan

dalam penggunaan obat.

Penggunaan alkohol atau zat lain • Mencatat jenis-jenis serta

jumlah alkohol/zat yang

dikonsumsi.

• Memberikan edukasi terkait

efek penggunaan alcohol

terhadap efikasi rTMS.

Tabel 2.2 Contoh Kusioner Skrining Sebelum Pemberian TMS3

YA TIDAK CATATAN

Pernahkah Anda memiliki riwayat

dengan TMS sebelumnya?

Pernahkah Anda mengalami reaksi

yang merugikan terhadap TMS?

Pernahkah Anda mengalami

kejang?

Apakah ada riwayat keluarga

epilepsi?
16

Pernahkah Anda mengalami

kehilangan kesadaran yang tidak

dapat dijelaskan?

Apakah Anda menderita sakit

kepala kronis atau parah?

Pernahkah Anda mengalami

stroke?

Apakah Anda memiliki penyakit

neurologis yang berhubungan

dengan otak?

Pernahkah Anda mengalami

cedera kepala serius atau gegar

otak?

Pernahkah Anda menjalani operasi

di daerah kepala?

Pernahkah Anda memiliki

penyakit yang menyebabkan

terjadinya kerusakan otak?

Apakah Anda memiliki logam di

kepala Anda?

Apakah Anda memiliki implant

medis?
17

Apakah sedang mengkonsumsi

obat-obatan? (termasuk obat

bebas)?

Apakah Anda hamil atau

berpotensi hamil?

2.2.4 TMS untuk Perbaikan Gejala Pasien Skizofrenia

Aktivitas otak telah terbukti berbeda pada orang dengan skizofrenia

dibandingkan dengan aktivitas otak orang-orang yang tidak memiliki kondisi ini.

Sementara aktivitas di korteks temporoparietal (TPC) tampaknya meningkat

pada orang dengan skizofrenia yang mengalami halusinasi auditorik, aktivitas di

dorsolateral prefrontal cortex (DLPFC) tampaknya berkurang pada orang

dengan skizofrenia. Berkurangnya aktivitas juga tampaknya berkorelasi dengan

gejala negatif (misalnya penurunan motivasi dan fungsi sosial) yang dialami oleh

pasien. Ada kemungkinan bahwa dengan menormalkan aktivitas di daerah otak

ini, halusinasi pendengaran dan gejala negatif juga akan membaik.24

Stimulasi magnetik transkranial telah diterapkan dalam beberapa

percobaan dalam dua paradigma utama: TMS frekuensi tinggi dan TMS

frekuensi rendah. TMS frekuensi rendah (1 Hz) biasanya diterapkan pada TPC

kiri pasien, yang bertujuan untuk mengurangi aktivitas otak dan mengurangi

halusinasi pendengaran. TMS frekuensi tinggi diterapkan pada DLPFC kiri

dalam upaya untuk meningkatkan aktivitas dan mengurangi gejala negatif. TMS

frekuensi rendah dianggap menghambat aktivitas kortikal dan TMS frekuensi


18

tinggi umumnya meningkatkan aktivitas kortikal di daerah yang dirangsang.

Studi terkontrol positif dan negatif telah diterbitkan menggunakan kedua

pendekatan pengobatan, dan tidak jelas apakah TMS mewakili kemajuan

pengobatan yang signifikan. Pada skizofrenia, ada bukti penurunan dan

peningkatan aktivitas kortikal dibandingkan dengan kontrol yang tidak

terpengaruh, dan dalam beberapa kasus aktivitas yang berubah berkorelasi

dengan adanya gejala defisit kognitif yang diketahui. Penelitian telah

menunjukkan hubungan antara aktivitas lobus temporal dan halusinasi

pendengaran pada orang dengan skizofrenia. Stimulasi aktif telah ditemukan

secara signifikan mengurangi halusinasi auditorik.24

TMS dengan pulse tunggal dan pulse berpasangan adalah alat yang

berguna untuk penilaian fisiologi sistem motorik manusia, termasuk rangsangan

kortikal, mekanisme penghambatan dan rangsangan, waktu konduksi,

konektivitas, dan plastisitas. Salah satu fenomena yang dipelajari dengan TMS,

adalah cortical inhibition (CI). CI dapat didefinisikan sebagai mekanisme

neurofisiologis dimana interneuron GABA-ergic akan mempengaruhi aktivitas

neuron lain. Beberapa penelitian telah mengidentifikasi adanya gangguan CI

pada skizofrenia. Penurunan CI dapat diukur dengan sejumlah penanda dan

protokol, termasuk cortical silent period (CSP). Pengukuran CSP terdiri dari

pulse TMS suprathreshold di atas korteks motorik yang dipasangkan dengan

aktivitas elektromiografi, menyebabkan penghentian gerakan otot. Durasi

penghentian gerakan ini adalah ukuran CI.25


19

Gambar 2.3 Diagram stimulasi TMS dari jalur motorik

Diperkirakan bahwa CSP mengukur penghambat aktivitas GABA-B.

Penanda CI lainnya adalah short-interval cortical inhibition (SICI). Kemudian

melakukan pengukuran amplitudo motor-evoked potential (MEP) dan itu harus

dikurangi 50-90%. Penanda ini diduga untuk mengukur penghambat kortikal

yang dimediasi GABA-A. Studi terbaru menunjukkan bahwa gangguan CI dapat

ditingkatkan dengan antipsikotik, terutama clozapine, tetapi juga dengan

quetiapine dan risperidone. Kaster et al. menyarankan bahwa potensiasi GABA-

B mungkin merupakan mekanisme neurotransmiter baru yang terlibat dalam


20

patofisiologi dan pengobatan skizofrenia. Studi lain baru-baru ini menemukan

defisit penghambatan langsung di korteks prefrontal khusus untuk skizofrenia

menggunakan kombinasi TMS dan electroencephalography (EEG).25

2.2.4.1 TMS untuk Perbaikan Gejala Positif Pasien Skizofrenia

Berdasarkan prinsip induksi elektromagnetik, TMS bekerja melalui

perubahan cepat di medan magnet dan menginduksi arus listrik di korteks yang

pada gilirannya akan mendepolarisasi neuron dan menimbulkan potensi aksi.

Secara umum, dua aplikasi TMS yang berbeda dapat dibedakan: pulse tunggal

versus pulse berulang. TMS pulse tunggal digunakan dalam pengaturan yang

lebih eksperimental dan untuk menentukan ambang motorik, repetitive

transcranial magnetic stimulation (rTMS) digunakan untuk berbagai gangguan,

termasuk- gangguan depresi mayor, gangguan obsesif-kompulsif, dan gangguan

spektrum skizofrenia.26-28

TMS direkomendasikan sebagai terapi pada pasien skizofrenia, terutama

pasien dengan halusinasi auditorik yang persisten. Penelitian menunjukkan

bahwa hiperaktivitas dari korteks temporo-parietal menyebabkan timbulnya

gejala positif, termasuk halusinasi auditorik.29

TMS telah diusulkan sebagai terapi tambahan untuk mengobati gejala

positif skizofrenia. Dari 30 studi kasus, mayoritas menyelidiki halusinasi

auditorik. Halusinasi auditori didefinisikan sebagai persepsi yang salah tentang

suara tanpa adanya rangsangan eksternal. Terlepas dari kenyataan bahwa

halusinasi tidak terlihat dari sudut pandang pengamat, sifat suara yang sering
21

memerintah, mengganggu, dan kekerasan dapat menyebabkan penurunan

kualitas hidup pada pasien dan dalam kasus yang parah bahkan bunuh diri. 12

penelitian menemukan bukti untuk efek pengobatan positif TMS pada gejala

positif, sementara 18 tidak menemukan cukup bukti untuk menyimpulkan bahwa

TMS efektif untuk gejala positif. Namun, ukuran sampel yang kecil dari sebagian

besar penelitian merupakan faktor pembatas untuk keandalan temuan

sebelumnya.26

Metode rTMS dengan frekuensi rendah dapat menghasilkan efek inhibisi

terhadap eksitasi motor korteks pada orang normal, Hoffman dkk adalah yang

pertama mengusulkan protokol rTMS dengan stimulasi frekuensi rendah (1 Hz)

di atas korteks temporoparietal kiri untuk pengobatan halusinasi verbal

pendengaran yang persisten. Korteks temporoparietal dianggap sebagai bagian

sentral dari sistem bahasa, dan menargetkan wilayah ini dapat menghambat

sistem bahasa hiperaktif patologis dan akibatnya akan mengurangi halusinasi

pendengaran.26

rTMS pada prefrontal koreteks dapat digunakan dalam terapi gejala

positif melalui aksi transinaptik pada lobus temporalis. Hipofrontalis dapat

mendisinhibisi aktivitas temporal yang dapat menyebabkan psikosis. rTMS

memiliki kemampuan untuk mengubah aktivitas kortikal melalui lokasi

stimulasi, HF rTMS pada DLPFC juga dapat menyebabkan feed-forward

inhibition pada lobus temporalis untuk mengurangi gejala positif.24

Poulet et al (2005) melakukan studi yang mendukung penggunaan TMS

untuk mengobati halusinasi pendengaran. Studi ini melibatkan 10 pasien dengan


22

halusinasi pendengaran yang resisten terhadap pengobatan dalam desain double

blind crossover. Perawatan TMS aktif melibatkan TMS 1 Hz di atas korteks

temporo-parietal kiri dengan stimulus 90 persen dari ambang motorik, menerima

10.000 rangsangan selama lima hari. Halusinasi pendengaran dinilai

menggunakan skala Auditoy Hallucination Rating Scale (AHRS), 17 yang

mengungkapkan penurunan skor yang signifikan Ada peningkatan rata-rata skor

AHRS sebesar 56 persen dalam lima hari. TMS pada frekuensi rendah

memberikan manfaat yang signifikan dalam mengurangi halusinasi

pendengaran.

Lee et al (2005) melaporkan bahwa TMS sisi kiri dan kanan yang

diterapkan pada frekuensi rendah secara signifikan mengurangi halusinasi

pendengaran pada kelompok yang terdiri dari 39 pasien dengan skizofrenia dan

pengobatan halusinasi pendengaran refraktori.2

LF-TMS pada TPC telah digunakan sebagai terapi halusinasi auditorik

yang resisten obat. Tinjauan sistemik terbari dan meta analisis yang mencakup

41 RCT dengan total 1473 subjek untuk melihat efikasi TMS temporoparietal

dan TMS prefrontal skizofrenia. 19 penelitian menggunakan TMS prefrontal

biasanya HF TMS di atas prefrontal kiri atau korteks prefrontal dorsolateral kiri.

22 penelitian lainnya menggunakan TMS temporoparietal di atas regio

temporoparietal kiri. Perbandingan antara TMS aktif dan sham TMS

memperlihatkan terdapat penurunan halusinan yang signifikan menurut Positive

And Negative Syndrome Scale (PANSS) pada TMS temporoparietal. Sebuah

meta analisis dilakukan untuk menilai efektivitas TMS pada Auditoric


23

Hallucination (AH). Studi ini menunjukkan bahwa TMS memiliki efikasi 44%

pada AH dan 45% pada AH yang resisten dengan obat. 30,31

2.2.4.2 TMS untuk Perbaikan Gejala Negatif Pasien Skizofrenia

Tingkat keparahan gejala negatif pada skizofrenia biasanya dikaitkan

dengan hasil fungsional yang lebih buruk, termasuk hubungan spesifik dengan

gangguan fungsi pekerjaan, integrasi rumah tangga, fungsi sosial, keterlibatan

dalam kegiatan rekreasi, dan kualitas hidup. Gejala negatif sering dikaitkan

dengan hipofrontalitas dan dengan kurangnya dopamin di korteks prefrontal.

Sehingga, penggunaan TMS direkomendasi sebagai terapi tambahan untuk

mengobati gejala negatif dari skizofrenia.25

Beberapa penulis telah menemukan bahwa rTMS frekuensi tinggi dapat

meningkatkan rangsangan kortikal dan aktivitas metabolisme neuron yang

ditargetkan. rTMS prefrontal juga memodulasi pelepasan dopamin di striatum

dorsal dan di nucleus accumbens. rTMS frekuensi tinggi dari DLPFC

menginduksi pelepasan dopamin dalam nucleus kaudatus ipsilateral pada

sukarelawan sehat, dan itu menyebabkan regulasi reseptor 5-HT2 di korteks

frontal.25

Perubahan ekspresi asam glutamat dekarboksilase, yang merupakan

enzim sintetis dari prekursor GABA, juga dapat dimodifikasi oleh rTMS.

Temuan ini mungkin penting karena tingkat keparahan gejala negatif telah

ditemukan berbanding terbalik dengan pengikatan reseptor benzodiazepine di

daerah frontal medial.25


24

Studi lain telah melaporkan manfaat serupa dari rTMS pada gejala negatif

pada pasien dengan skizofrenia. Sebagai contoh, Prikryl et al. menemukan bahwa

stimulasi rTMS frekuensi tinggi (10 Hz) dari DLPFC kiri dengan intensitas

stimulasi tinggi secara efektif mengurangi gejala negatif skizofrenia. Kumar et

al. memverifikasi bahwa intervensi rTMS dengan frekuensi 10 Hz dapat

menyebabkan perbaikan gejala negatif yang lebih baik. Penelitian menunjukkan

bahwa kemanjuran rTMS pada gejala negatif adalah yang terbaik dengan

frekuensi stimulasi 10 Hz dan periode stimulasi yang lebih lama, idealnya 4-6

minggu. Lebih lanjut, tidak hanya menunjukkan perbaikan gejala negatif setelah

4 minggu rTMS 10 Hz di atas DLPFC, tetapi efek ini dipertahankan pada tindak

lanjut 24 minggu.32 Dengan merangsang korteks serebral, aktivitas korteks

meningkat, dan gejala negatif membaik. Selanjutnya, penelitian terbaru

melaporkan bahwa gangguan koneksi fungsional jaringan serebelar-pra-frontal

adalah dasar untuk gejala negatif pada skizofrenia.33

Dlabac de Lange et al (2015) mengobservasi efektivitas TMS 10 Hz

bilateral DLPFC untuk gejala negatif. 32 pasien skizofrenia atau skizoafektif

dengan gejala sedang hinnga berat diterapi selama 3 minggu. Selama 3 bulan

follow up, terdapat perbaikan gejala negatif yang signifikan. Perbaikan ini diukur

dengan Scale for Assesssment of Negative Symptoms (SANS).34 Kemudian,

sebuah penelitian multisenter yang lebih besar dengan 117 pasien dengan gejala

negative yang menonjol dievaluasi untuk menilai efektivitas High Frekwensi

(HF) TMS pada DLPFC kiri untuk terapi gejala negatif skizofrenia. Hasilnya
25

menunjukkan efektivitas HF TMS pada DLPFC kiri untuk mengobat gejala

negative, dan efeknya bertahan hingga akhir minggu follow up (24 minggu).35

Konektivitas jaringan yang terganggu dapat dipulihkan dengan rTMS, yang

mengakibatkan pengurangan gejala negatif. Menariknya, penelitian manusia dan

hewan sebelumnya juga menunjukkan bahwa rTMS menginduksi pelepasan

dopamin di korteks pra-frontal. Oleh karena itu, pelepasan dopamin endogen

dalam struktur subkortikal mungkin merupakan mekanisme yang paling

mungkin mendasari perbaikan gejala negatif oleh rTMS.32

Penelitian menyebutkan bahwa gejala negatif pada skizofrenia

berhubungan dengan dopamine, berkurangnya fungsi noradrenalin, dan

peningkatan fungsi 5-hydroxytryptamine (5-HT). Hipotesis dopamine

menunjukkan bahwa adanya hipofungsi jalur saraf korteks frontal yang

dimediasi oleh reseptor D1 berhubungan dengan adanya gejala negatif pada

pasien. Penelitian juga menujukkan bahwa rTMS dapat menyebabkan perubahan

pada berbagai neurotransmitter temasuk dopamin, 5-hidroksitranstamin,

glutamat dan sebagainya.31

2.2.5 Efek Samping TMS

Dibawah ini merupakan efek samping yang dapat ditimbulkan pada

pemberain TMS :

1. Nyeri Kepala/Nyeri Leher

Nyeri kepala dan/atau nyeri leher merupakan efek samping yang sering

terjadi pada pemberian TMS dengan laporan yang mengalami keluhan tersebut
26

sekitar 20-40%. Intensitas nyeri yang dialami bervariasi dari tiap individu,

tergantung dari kerentanan individu tersebut, bentuk atau desain kumparan,

lokasi dari stimulasi, intensitas, dan frekuensi. Nyeri kepala/leher yang terjadi

diakibatkan karena ketegangan otot, baik dari stimulasi itu sendiri ataupun posisi

yang tidak nyaman selama perawatan.3,36

2. Trauma Akustik

Kumparan dari hasil menghasilkan suara klik yang sangat keras (120-140

dB). Hal ini melebihi tingkat keamanan yang direkomendasikan untuk system

pendengaran oleh Occupational Safety and Health Administration (OSHA).

Meskipun tampaknya tidak berbahaya, pajanan berulang dengan intensitas

tersebut dapat menyebabkan trauma akustik. Sehingga untuk mencegah efek

samping ini, disarankan pasien dan operator memakai penyumbat telinga selama

durasi penuh pengobatan.3

3. Kejang

Kejang merupakan efek samping yang sangat jarang terjadi, namun tetap

menjadi perhatian utama ketika menggunakan TMS. Kejang dapat diinduksi oleh

rTMS ketika pulse diterapkan dengan frekuensi yang relatif tinggi dan periode

interval pendek antara rangkaian stimulasi. rTMS secara teoritis dapat

menginduksi kejang selama dua periode stimulasi yang berbeda: (a) selama atau

segera setelah rangkaian rTMS dan (b) pasca stimulasi karena modulasi

rangsangan kortikal (yaitu, efek kindling).3

4. Sinkop/pingsan
27

Sinkop dilaporkan lebih jarang terjadi daripada kejang. Sinkop selama

TMS dapat terjadi karena beberapa alasan selain stimulasi yaitu kecemasan,

ketidaknyamanan fisik, ketidaknyamanan psikologis, dll. Namun, jumlah

kejadian yang sebenarnya tidak diketahui. Disarankan semua subjek dipantau

secara ketat untuk setiap tanda-tanda sinkop.3

5. Nyeri pada gigi

Meskipun jarang, beberapa kasus nyeri gigi yang diinduksi selama TMS

telah dilaporkan. Jika ini terjadi, itu akan terjadi selama stimulasi dan mungkin

merupakan tanda rongga gigi longgar. Jika nyeri gigi dilaporkan, maka hentikan

stimulasi segera dan lakukan evaluasi terhadap gigi.3

Tabel 2.3 Efek Samping TMS3

2.2.6 Kontraindikasi TMS

TMS seharusnya tidak diberikan kepada pasien yang memiliki benda

logam yang sensitive terhadap feromagnetik atau elektroda kranial yang

ditanamkan di daerah kepala atau leher di dekat medan magnet kumparan TMS.
28

Arus Eddy yang diinduksi pada benda logam oleh medan magnet TMS

menyebabkan benda akan menjadi panas dan risiko terjadinya cedera termal pada

jaringan yang berdekatan. Medan magnet TMS juga dapat menginduksi gerakan

benda logam.23

Evaluasi pasien harus mencakup apakah ada penempatan bedah

perangkat medis (misalnya, pelat logam, klip elektroda, chip, pompa, stimulator,

implan koklea, alat pacu jantung), serta tato yang dibuat dengan tinta yang

mengandung feromagnetik, tindikan permanen, dan/atau kemungkinan sumber

logam lain di kepala dan leher.23

Pasien dengan riwayat kejang serta epilepsi harus dihindari dalam


pemberian TMS karena berisiko tinggi untuk induksi kejang. Saat ini, TMS

sedang diselidiki untuk pengobatan kejang. Oleh karena itu, dalam keadaan

pengobatan, riwayat kejang tidak dapat dianggap sebagai kontraindikasi.

Namun, di bawah keadaan "non-pengobatan", dianjurkan pengobatan dihindari.3

Pasien yang menderita lesi vaskular, traumatis, tumoral, infeksius, atau

metabolik, bahkan tanpa riwayat kejang, harus menghindari penggunaan TMS

kecuali secara medis memaksa ada alasannya dikarenakan adanya masalah

shunting arus yang diinduksi.3

Adanya interaksi obat juga menjadi pertimbangan dalam pemberian

TMS, sehingga keputusan pengobatan hanya boleh dibuat setelah evaluasi yang

cermat. Adapun beberapa obat yang dapat berpotensi berbahaya untuk TMS

dapat dilihat pada tabel dibawah ini :


29

Tabel 2.4 Obat-obatan dengan Potensi Bahaya Untuk TMS3

Strong Potential Hazard Relative hazard


Alcohol Ampicillin

Amitriptyline Anticholinergics

Amphetamines Antihistamines

Chlorpromazine Aripiprazole

Clozapine BCNU

Cocaine Bupropion

Doxepine Cephalosporins
Ecstasy Chlorambucil

Foscarnet Chloroquine

Gamma-hydroxybutyrate (GHB) Citalopram

Ganciclovir Cyclosporine

Imipramine Cytosine arabinoside

Ketamine Duloxetine

Maprotiline Fluoxetine

MDMA Fluphenazine

Nortriptyline Fluvoxamine

Phencyclidine (PCP) Haloperidol


Ritonavir Imipenem

Theophylline Isoniazid

Levofloxacin

Lithium

Mefloquine

Methotrexate

Metronidazole

Mianserin

Mirtazapine

Olanzapine
30

Paroxetine

Penicillin

Pimozide

Quetiapine

Reboxetine

Risperidone

Sertraline

Sympathomimetics

Venlafaxine

Vincristine

Ziprasidone

TMS dapat menginduksi arus pada sadapan subkutan di kulit kepala

(misalnya, Deep Brain Stimulation (DBS)), yang dapat mengakibatkan arus yang

tidak diinginkan mengalir di elektroda DBS di otak. Oleh karena itu, DBS

merupakan kontraindikasi untuk TMS sampai pengujian keamanan lebih lanjut

dilakukan atau modifikasi perangkat dilakukan untuk memastikan keamanan.23

Logam yang ditanam di bawah kepala dan leher (misalnya, prostesis

pinggul) umumnya dianggap aman karena medan magnet jatuh dengan cepat

dengan jarak dari kumparan TMS.37 Juga, perangkat keras ortodontik

nonferromagnetik (misalnya, kawat gigi, implan, tambalan) dianggap aman

dengan TMS. Studi radiografi mungkin diperlukan ketika riwayat klinis tidak

diketahui dan paparan dicurigai (misalnya, risiko pekerjaan). Namun, radiografi

tidak dapat menentukan apakah logam benda bersifat feromagnetik. Data

keamanan terbatas telah diterbitkan untuk mengatasi potensi dampak TMS pada
31

stimulasi saraf vagus implan (VNS) dan alat pacu jantung, yang komponennya

biasanya terletak di daerah servikal kiri dan dinding dada anterior.38

Fitzgerald dan rekan menemukan bahwa pasien skizofrenia menunjukkan

penurunan respons terhadap TMS dengan frekuensi rendah, sementara Oberman

dan rekan menemukan bahwa pasien autis menunjukkan perpanjangan waktu

respon terhadap stimulasi theta-burst. Oleh karena itu, penting untuk memantau

kondisi subjek dan mempertimbangkan saraf efek sebelum pengobatan dan

mempertimbangkan efek penyakit fisik dan mental. 3,4 ,39


BAB III

SIMPULAN

Penelitian yang ada menunjukkan bahwa TMS dapat digunakan sebagai

terapi skizofrenia, khususnya skizofrenia dengan gejala negatif, dimana TMS

telah terbukti secara klinis dapat mengurangi gejala negatif, contohnya

anhedonia dan alogia. Penggunaan TMS sebagai terapi ini dapat digunakan

sebagai terapi kombinasi dengan farmakoterapi, khususnya pada pasien

skizofrenia dengan kepatuhan minum obat yang tidak teratur, dan tidak memberi

respon signifikan terhadap pengobatan antipsikotik.

TMS juga dapat mengurangi gejala positif pada skizofrenia, khususnya

halusinasi auditorik. Namun, penelitian lebih lanjut dibutuhkan untuk

memperjelas efektivitas dari terapi TMS terhadap gejala positif agar dapat

digunakan dalam praktek klinis serta dapat dijadikan alternatif pengobatan untuk

skizofrenia.

Berdasarkan hal-hal di atas, maka TMS dapat dijadikan sebagai terapi

intervensi terhadap pasien skizofrenia, sehingga TMS dapat membantu

mengatasi masalah terkait terapi pada pasien-pasien skizofrenia, khususnya

mengatasi masalah keterbatasan terapi farmakologis.

32
DAFTAR PUSTAKA

1. Kaplan SB. Sadock's Synopsis of Psychiatry: Behavioral Sciences/BJ


Sadock, VA Sadoc, P. Ruiz. Clinical Psychiatry–12th edition–Wolters
Kluwer. 2015.
2. Cole JC, Green Bernacki C, Helmer A, Pinninti N, O'Reardon JP. Efficacy
of Transcranial Magnetic Stimulation (TMS) in the Treatment of
Schizophrenia: A Review of the Literature to Date. Innov Clin Neurosci.
2015 Jul-Aug;12(7-8):12-9.
3. Rotenberg A, Horvath J, Pascual-Leone A. Transcranial Magnetic
Stimulation.2014.
4. Fitzgerald PB, Daskalakis ZJ. A practical guide to the use of repetitive
transcranial magnetic stimulation in the treatment of depression. Brain
Stimulation. 2012;5(3):287-96.
5. Ashok AH, Baugh J, Yeragani VK. Paul Eugen Bleuler and the origin of the
term schizophrenia (SCHIZOPRENIEGRUPPE). Indian J Psychiatry.
2012;54(1):95-6.
6. Patel KR, Cherian J, Gohil K, Atkinson D. Schizophrenia: overview and
treatment options. P T. 2014;39(9):638-45.
7. Keepers GA, Fochtmann LJ, Anzia JM, Benjamin S, Lyness JM, Mojtabai
R, et al. The American Psychiatric Association Practice Guideline for the
Treatment of Patients With Schizophrenia. Am J Psychiatry. 2020 Sep
1;177(9):868-72.
8. Who. Schizophrenia. 2022. Tersedia dari: https://www.who.int/news-
room/fact-sheets/detail/schizophrenia.
9. Kemenkes R. Hasil utama RISKESDAS 2018. Jakarta: Kemenkes RI. 2018.
10. Hudspeth AJ, Jessell TM, Kandel ER, Schwartz JH, Siegelbaum SA.
Principles of neural science.McGraw-Hill, Health Professions
Division;2013.
11. Hany M, Rehman B, Azhar Y, Chapman J. Schizophrenia. StatPearls.
Treasure Island (FL): StatPearls Publishing
Copyright © 2022, StatPearls Publishing LLC.; 2022.
12. American Psychiatric Association D, Association AP. Diagnostic and
statistical manual of mental disorders: DSM-5.American psychiatric
association Washington, DC;2013.
13. Stahl SM. Stahl's essential psychopharmacology: neuroscientific basis and
practical applications.Cambridge university press;2021.
14. Lorentzen R, Nguyen TD, McGirr A, Hieronymus F, Østergaard SD. The
efficacy of transcranial magnetic stimulation (TMS) for negative symptoms
in schizophrenia: a systematic review and meta-analysis. Schizophrenia.
2022 2022/04/09;8(1):35.
15. Luber B, McClintock SM, Lisanby SH. Applications of transcranial
magnetic stimulation and magnetic seizure therapy in the study and

33
34

treatment of disorders related to cerebral aging. Dialogues Clin Neurosci.


2013;15(1):87-98.
16. Bashir S, Perez JM, Horvath JC, Pena-Gomez C, Vernet M, Capia A, et al.
Differential effects of motor cortical excitability and plasticity in young and
old individuals: a Transcranial Magnetic Stimulation (TMS) study.
Frontiers in aging neuroscience. 2014;6:111.
17. Marcolin MA, Padberg F. Transcranial brain stimulation for treatment of
psychiatric disorders.Karger Medical and Scientific Publishers;2007.
18. Noohi S, Amirsalari S. History, Studies and Specific Uses of Repetitive
Transcranial Magnetic Stimulation (rTMS) in Treating Epilepsy. Iran J
Child Neurol. 2016 Winter;10(1):1-8.
19. Valero-Cabré A, Amengual JL, Stengel C, Pascual-Leone A, Coubard OA.
Transcranial magnetic stimulation in basic and clinical neuroscience: a
comprehensive review of fundamental principles and novel insights.
Neuroscience & Biobehavioral Reviews. 2017;83:381-404.
20. Magnezi R, Aminov E, Shmuel D, Dreifuss M, Dannon P. Comparison
between neurostimulation techniques repetitive transcranial magnetic
stimulation vs electroconvulsive therapy for the treatment of resistant
depression: patient preference and cost-effectiveness. Patient preference
and adherence. 2016;10:1481.
21. Rao V, Bechtold K, McCann U, Roy D, Peters M, Vaishnavi S, et al. Low-
frequency right repetitive transcranial magnetic stimulation for the
treatment of depression after traumatic brain injury: a randomized sham-
controlled pilot study. The Journal of neuropsychiatry and clinical
neurosciences. 2019;31(4):306-18.
22. Downar J, Blumberger DM, Daskalakis ZJ. Repetitive transcranial
magnetic stimulation: an emerging treatment for medication-resistant
depression. CMAJ. 2016;188(16):1175-7.
23. McClintock SM, Reti IM, Carpenter LL, McDonald WM, Dubin M, Taylor
SF, et al. Consensus Recommendations for the Clinical Application of
Repetitive Transcranial Magnetic Stimulation (rTMS) in the Treatment of
Depression. J Clin Psychiatry. 2018 Jan/Feb;79(1):16cs10905.
24. Dougall N, Maayan N, Soares‐Weiser K, McDermott LM, McIntosh A.
Transcranial magnetic stimulation (TMS) for schizophrenia. Cochrane
Database of Systematic Reviews. 2015(8).
25. Ustohal L, Sverak T, Albrechtova L, Hojgrova M, Hublova V, Kasparek T.
Transcranial magnetic stimulation in schizophrenia. Schizophrenia
Treatment—The New Facets 1st ed Rijeka: InTech. 2016:135-50.
26. Marzouk T, Winkelbeiner S, Azizi H, Malhotra AK, Homan P. Transcranial
Magnetic Stimulation for Positive Symptoms in Schizophrenia: A
Systematic Review. Neuropsychobiology. 2020;79(6):384-96.
27. Rapinesi C, Kotzalidis GD, Ferracuti S, Sani G, Girardi P, Del Casale A.
Brain stimulation in obsessive-compulsive disorder (OCD): a systematic
review. Current neuropharmacology. 2019;17(8):787-807.
28. Baeken C, Brem A-K, Arns M, Brunoni AR, Filipcic I, Ganho-Ávila A, et
al. Repetitive transcranial magnetic stimulation treatment for depressive
35

disorders: current knowledge and future directions. Current Opinion in


Psychiatry. 2019;32(5):409-15.
29. Guo Q, Li C, Wang J. Updated review on the clinical use of repetitive
transcranial magnetic stimulation in psychiatric disorders. Neuroscience
bulletin. 2017;33(6):747-56.
30. Dlabac-de Lange JJ, Bais L, van Es FD, Visser BGJ, Reinink E, Bakker B,
et al. Efficacy of bilateral repetitive transcranial magnetic stimulation for
negative symptoms of schizophrenia: results of a multicenter double-blind
randomized controlled trial. Psychological Medicine. 2015;45(6):1263-75.
31. Wang J, Zhou Y, Gan H, Pang J, Li H, Wang J, et al. Efficacy towards
negative symptoms and safety of repetitive transcranial magnetic
stimulation treatment for patients with schizophrenia: a systematic review.
Shanghai Archives of Psychiatry. 2017;29(2):61.
32. Wen N, Chen L, Miao X, Zhang M, Zhang Y, Liu J, et al. Effects of High-
Frequency rTMS on Negative Symptoms and Cognitive Function in
Hospitalized Patients With Chronic Schizophrenia: A Double-Blind, Sham-
Controlled Pilot Trial. Frontiers in Psychiatry. Original Research. 2021
2021-September-03;12.
33. Brady Jr RO, Gonsalvez I, Lee I, Öngür D, Seidman LJ, Schmahmann JD,
et al. Cerebellar-prefrontal network connectivity and negative symptoms in
schizophrenia. American Journal of Psychiatry. 2019;176(7):512-20.
34. Dlabac-de Lange JJ, Bais L, van Es FD, Visser BG, Reinink E, Bakker B,
et al. Efficacy of bilateral repetitive transcranial magnetic stimulation for
negative symptoms of schizophrenia: results of a multicenter double-blind
randomized controlled trial. Psychological medicine. 2015;45(6):1263-75.
35. Quan WX, Zhu XL, Qiao H, Zhang WF, Tan SP, Zhou DF, et al. The effects
of high-frequency repetitive transcranial magnetic stimulation (rTMS) on
negative symptoms of schizophrenia and the follow-up study. Neuroscience
letters. 2015;584:197-201.
36. Taylor R, Galvez V, Loo C. Transcranial magnetic stimulation (TMS)
safety: a practical guide for psychiatrists. Australas Psychiatry. 2018
Apr;26(2):189-92.
37. Deng ZD, Lisanby SH, Peterchev AV. Electric field depth-focality tradeoff
in transcranial magnetic stimulation: simulation comparison of 50 coil
designs. Brain Stimul. 2013 Jan;6(1):1-13.
38. Philip NS, Carpenter SL, Carpenter LL. Safe use of repetitive transcranial
magnetic stimulation in patients with implanted vagus nerve stimulators.
Brain Stimul. 2014 Jul-Aug;7(4):608-12.
39. Oberman LM, Rotenberg A, Pascual-Leone A. Use of transcranial magnetic
stimulation in autism spectrum disorders. Journal of autism and
developmental disorders. 2015;45(2):524-36.
36

Anda mungkin juga menyukai