Oleh :
1. Brant Ardell (C014182108)
RESIDEN PEMBIMBING :
dr. A. Handayani
SUPERVISOR PEMBIMBING :
dr. Asvin Nurulita, M.Kes, Sp.PK
Yang bertanda tangan dibawah ini menyatakan bahwa mahasiswa dengan nama :
Adalah benar telah menyelesaikan referat yang telah disetujui serta telah
Hasanuddin.
ii
DAFTAR ISI
2.2 Epidemiologi…...................................................................................…. 2
2.4 Patofisiologi…....................................................................................…. 3
2.5.1 Anamnesis……………………….....................................……... 5
2.6 Penatalaksanaan…................................................................................... 11
2.6.1 Farmakologis………………………....................................…… 11
iii
BAB I
PENDAHULUAN
Gejala klinis dari penyakit demam tifoid sangat bervariasi dan tidak khas,
mulai dari gejala yang ringan sampai berat. Gejala klinis dari penyakit ini juga
bervariasi berdasarkan daerah atau negara, serta menurut waktu. Hal ini membuat
penegakan diagnosis menjadi tantangan tersendiri bagi klinisi medis, maka dari
itu dilakukanlah beberapa pemeriksaan penunjang yang diantaranya adalah
pemeriksaan darah rutin, kimia darah, kultur bakteri dan pemeriksaan serologis3.
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Demam tifoid adalah penyakit demam akut yang disebabkan oleh infeksi
bakteri Salmonella enterica khususnya turunannya, Salmonella typhi.
Manifestasi klinis demam tifoid dimulai dari yang ringan (demam tinggi,
denyut jantung lemah, sakit kepala) hingga berat (perut tidak nyaman,
komplikasi pada hati dan limfa6.
2.2 Epidemiologi
Tifoid terdapat di seluruh dunia, terutama di negara-negara yang sedang
berkembang di daerah tropis. Penyakit ini telag ada sejak beberapa abad yang
lalu. Sebagai gambaran dapat kita simak kejadian di Jamestow Virginia USA,
dimana dilaporkan lebih 6000 kematian akibat wabah tifoid pada periode 1607
s/d 16243.
Di Indonesia, tifoid jarang dijumpai secara epidemis tapi bersifat endemis
dan banyak dijumpai di kota-kota besar. Tidak ada perbedaan yang nyata
insidens tifoid pada pria dengan wanita. Insidens tertinggi didapatkan pada
remaja dan dewasa muda. Simanjuntak mengemukakan bahwa insiden tifoid
di Indonesia masih sangat tinggi berkisar 3500-810 per 100.000 penduduk.
Demikian juga dari telaah kasus demam tifoid di rumah sakit besar di
Indonesia, menunjukkan angka kesakitan cenderung meningkat setiap tahun
dengan rata-rata 500/100.000 penduduk.Angka kematian diperkirakan sekitar
0,6-5 % sebagai akibat dari keterlambatan mendapat pengobatan serta
tingginya biaya pengobatan3.
2.3 Etiologi
Salmonella typhii merupakan etiologi dari penyakit demam tifoid. Bakteri
ini merupakan bakteri dari famili enterobacteriaceae yang berukuran 2-3 μm x
2
0.4–0.6 μm.. Salmonella typhii merupakan bakteri gram negatif, tidak
membentuk spora, anaerob fakultatif, dan mereduksi sulfur 10,11.
3
Salmonella typhi atau Salmonella
paratyphi masuk ke saluran
digestif
Sebagian
Sebagian masuk ke
dimusnahkan HCl
usus halus
lambung
Di ileum terminalis
Peningkatan Asam
membentuk limfoid
lambung
plak peyeri
Masuk ke aliran
Intake makanan
Perdarahan limfe dan pembuluh
kurang
darah
Pengeluaran
Gangguan nutrisi Perforasi
endotoksin bakteri
Pelepasan zat
Peritonitis
pirogen oleh leukosit
Demam
2.5 Diagnosis
2.5.1 Anamnesis
Gambaran klinik demam tifoid9
Keluhan :
4
- Nyeri tulang, persendian dan otot ≥ 50%
- BAB 50%
- Muntah 50%
Gejala :
- Demam 100%
- Bronkitis 75%
5
Perbaikan dapat mulai terjadi pada akhir minggu ketiga dengan suhu badan
menurun dan keadaan umum tampak membaik9,10.
6
2.5.3 Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan Darah Rutin
Pada awal infeksi akan terjadi leukositosis ringan hingga mencapai
12000 sel/μL, tetapi pada beberapa hari setelahnya akan terjadi
leukopenia dengan leukosit hingga kurang dari 5000 sel/μL. Terjadinya
leukopenia merupakan salah satu penanda infeksi tifoid yang
diakibatkan karena infeksi dan multiplikasi bakteri Salmonella typhii
pada sumsum tulang. Hal ini dapat menyebabkan terjadinya gangguan
pada pembentukan sel-sel darah11,12.
Selain terjadinya leukopenia, trombositopenia juga dapat terjadi
akibat produksi trombosit yang menurun dan destruksi yang meningkat
oleh sel-sel Reticulo Endothelial System (RES) oleh infeksi Salmonella
typhii pada hepar dan lien13.
b. Kimia Darah
Hati merupakan organ yang melakukan banyak fungsi penting yang
berbeda-beda. Hati juga merupakan salah satu organ yang dapat
terinfeksi kuman S.typhi. Oleh karena itu kadar Serum Glutamate-
Pyruvate Transaminase (SGPT) dalam hal ini bisa meningkat. Pada
pasien demam tifoid didapatkan 2 keadaan dimana kadar SGPT normal
dan SGPT meningkat tergantung dengan kondisi kekebalan tubuh
pasien. Sebagian besar kasus dengan peningkatan Serum Glutamate-
Oxaloacetate Transaminase (SGOT) dan SGPT muncul pada minggu
ke-2 demam, hepatomegali ditemukan selama minggu ke-2 atau ke-3
tetapi lebih sering pada minggu ke-1. Alkaline phosphatase, SGOT dan
SGPT meningkat masing-masing dalam 100%, 100% dan 91% kasus
selama minggu ke-2 dan ke-3 tetapi selama minggu pertama hanya 11%,
89% dan 56% mengalami peningkatan ringan14.
c. Serologis
1) Tes Widal
7
Tes widal dilakukan pada akhir minggu pertama yang
merupakan reaksi antara antibodi aglutinin serum penderita terhadap
antigen O (somatik) dan H (flagella) Salmonella typhi dan
paratyphi11.
Aglutinin O mulai dibentuk pada akhir minggu pertama demam
sampai puncaknya pada minggu ketiga sampai kelima. Aglutinin ini
dapat bertahan sampai lama 6 – 12 bulan. Aglutinin H mencapai
puncak lebih lambat minggu ke 4-6 dan menetap dalam waktu lebih
lama, sampai 2 tahun kemudian12.
Kenaikan titer O 1 : 320 atau kenaikan 4 kali pada pemeriksaan
ulang dengan interval 5 – 7 hari mendukung diagnosis demam tifoid
dengan sensitivitas 64 – 74% dan spesifisitas 76 – 83%16. Pada tes
widal, dapat memberikan hasil negatif palsu dan positif palsu. Hasil
tes negatif palsu seperti pada keadaan pembentukan antibodi yang
rendah yang terjadi pada orang dengan gizi kurang, konsumsi obat
imunosupresan, penyakit imunodefisiensi, dan karsinoma lanjut.
Hasil tes positif palsu dapat dijumpai pada keadaan pasca vaksinasi,
mengalami infeksi subklinis beberapa waktu yang lalu, dan
aglutinasi silang13. Walaupun memiliki banyak kelemahan, tetapi tes
widal masih sering dipakai terutama pada Negara berkembang
karena alatnya yang murah, sederhana, serta cepat untuk
digunakan14.
2) Tes Tubex
Tes Tubex merupakan tes untuk mendeteksi IgM terhadap
antigen O9 Salmonella. Antigen O9 Salmonella sangat spesifik
terhadap salmonella serogrup D karena mengandung gula yang
sangat jarang yaitu epitop α-D-tyvelose sehingga reaksi silang
dengan kuman Salmonella nontyphi atau non-salmonella typhi
sangat kecil terjadi15.
Sampel yang digunakan yaitu serum atau plasma yang tidak
hemolisis, ikterik, dan lipemik yang diperoleh dari darah vena yang
diambil dengan menggunakan tabung merah16.
8
Tubex menggunakan tabung yang berbentuk V dan 2 reagen,
yaitu reagen indikator warna dan partikel magnetik. Antibodi pasien
yang spesifik terhadap terhadap antigen Salmonella typhii akan
terdeteksi dengan kemampuannya menghambat ikatan antara partikel
indikator warna yang diselubungi antibodi monoklonal yang spesifik
terhadap antigen lipopolisakarida O9 dari Salmonella typhii dan
partikel magnetik yang diselubungi lipopolisakarida O9 dari
Salmonella typhii17.
9
Gambar 3 Skala Warna dan Skor Tubex17
3) Typhidot
Typhidot merupakan alat deteksi antibodi kualitatif yang dibuat
sebagai alat deteksi cepat dari demam tifoid. Alat ini mendeteksi
adanya IgM dan IgG yang terdapat pada protein membran luar
(Outer Membrane Protein/OMP) dari Salmonella typhii dengan
menggunakan strip nitroselulosa. Pemeriksaan ini mendapatkan hasil
positif 2-3 hari setelah infeksi. Typhidot memiliki sensitivitas sekitar
67%-75% dan spesifitas 54%-67%18.
Saat ini pemeriksaan typhidot yang sering dipakai adalah jenis
Typhidot-M. Pemeriksaan ini merupakan pemeriksaan Typhidot
yang dimodifikasi untuk mendeteksi IgM saja. Hal ini karena pada
kasus reinfeksi, respon imun sekunder (IgG) tereaktivasi berlebihan
dan IgM sulit terdeteksi. IgG dapat bertahan sampai 2 tahun
sehingga pendeteksian IgG saja tidak dapat digunakan untuk
membedakan antara infeksi akut dengan kasus reinfeksi pada infeksi
primer. Berdasarkan hal tersebut, maka dibuatlah Typhidot-M yang
mampu menginaktivasi total IgG pada sampel serum. Pemeriksaan
Typhidot-M, memungkinkan pengikatan spesifik antara IgM dan
antigen yang ada pada serum pasien19.
Ada dua bentuk dari Typhidot yaitu Typhidot Dot EIA yang
menggunakan dot blot strip dan Immunochromatographic Assay
(ICT test) yang berbentuk cassete. Spesimen yang dipakai untuk Dot
10
EIA adalah serum, sedangkan pada tes ICT dapat berupa serum,
plasma, maupun whole blood19.
d. Kultur Bakteri
Kultur sumsum tulang (Bone marrow culture) merupakan metode
standar baku emas untuk mendiagnosis tifoid, yang memberikan hasil
positif hingga 85 – 95%, bahkan setelah pasien mengonsumsi
antibiotik15. Selain sumsum tulang, sampel darah dan sampel feses juga
dapat digunakan untuk mengisolasi kuman Salmonella typhii, tetapi
dengan sensitivitas yang lebih rendah20.
Medium yang dapat digunakan untuk mengultur Salmonella typhii
ada beberapa seperti medium Salmonella-Shigella Agar, Hectoen Enteric
Agar, dan Xylose-Lysine-Deoxycholate Agar. Pada kultur, dapat
ditemukan bakteri yang tumbuh dengan koloni berwarna hitam karena
sifat dari Salmonella typhii yang dapat mereduksi sulfur12,21.
2.6 Penatalaksanaan
2.6.1 Farmakologis
Tabel 1. Terapi antibiotik penyakit demam tifoid kecuali untuk ibu dan ibu
menyusui22,23,24
11
Ciprofloxacin bagi anak – anak
di bawah 15 tahun
Anak – anak (lebih dari usia 3
bulan) : 20 mg/kg/hari dalam
2 dosis terbagi
12
tingkat keparahan) ceftriaxone
13
DAFTAR PUSTAKA
14
4. Bula-Rudas, F.J., Rathore, M.H., and Maraqa, N.F. Salmonella Infections in
Childhood. Advances In Pediatrics. 2015. 62(1): 29-58.
5. Naveed, A. and Ahmed, Z. Treatment of Typhoid Fever in Children:
Comparison of Efficacy of Ciprofloxacin with Ceftriaxone. European
Scientific Journal. 2016. 12(6). ISSN: 1857 – 7881 (Print) e – ISSN 1857-
7431
6. Rahmasari V, Lestari K. Manajemen Terapi Demam Tifoid : Kajian Terapi
Farmakologis dan Non Farmakologis. Volume 16 Nomor 1. 2018
15
18. Hayat, Dr., Atif, Sitwat. Evaluation of Typhidot (IgM) in Early and Rapid.
Diagnosis of Typhoid Fever. Professional Med J Apr-Jun 2011; 18(2):. 259-
264
19. Meta S et al. Portion of positive IgM anti-salmonella typhi examination Using
typhidot with positive widal examination in clinical Patient of acute typhoid
fever in rsud dr. H. Abdul moeloek Bandar lampung.Jurnal Unila.2014
20. Longo D, Fauci A. Harrison’s Infectious Disease 3rd Ed. USA : The McGraw-
Hill Companies.2017
21. Leboffe, Michael J., Pierce, Burton E.Leboffe, Michael J.A Photographic
Atlas For The 4th Edition Microbiology Laboratory. Englewood, Colo. :
Morton Pub. Co., 2011. Print.
22. Grouzard, V., Rigal J., and Sutton M. Clinical guidelines – Diagnosis and
treatment manual. Paris : Medecins Sans Frontieres.2016
23. Rampengan, N.H. Antibiotik Terapi Demam Tifoid Tanpa Komplikasi pada
Anak. Sari Pediatri Local Journal, 14(5): 271-6.2013
24. Sakinah dan Indria, A. Tata Laksana Demam Tifoid Tanpa Komplikasi pada
Wanita Hamil Trimester Pertama: Peran Intervensi Dokter Keluarga. Jurnal
Medula Unil.Volume 5. Nomor 2 .2016
25. Upadhyay, Rajesh., Nadkar., Milind,Y., et al. API Recommendations for the
Management of Typhoid Fever. Journal of The Association of Physicians of
India, 63. 2015
16