Anda di halaman 1dari 19

DEPARTEMEN ILMU PATOLOGI KLINIK MINI REFERAT

FAKULTAS KEDOKTERAN APRIL 2019


UNIVERSITAS HASANUDDIN

ASPEK LABORATORIUM DASAR DEMAM TIFOID

Oleh :
1. Brant Ardell (C014182108)

2. Jamaluddin Madeali (C014182101)

3. Dewi Shinta Tenri D (C014181099)

4. Ahmad Fachry Toaha (C014182001)

5. Raodhatul Jannah Baharuddin (C014182162)

6. Nur Hikmah (C014182163)

RESIDEN PEMBIMBING :
dr. A. Handayani
SUPERVISOR PEMBIMBING :
dr. Asvin Nurulita, M.Kes, Sp.PK

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK


BAGIAN ILMU PATOLOGI KLINIK
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2019
LEMBAR PENGESAHAN

Yang bertanda tangan dibawah ini menyatakan bahwa mahasiswa dengan nama :

1. Brant Ardell (C014182108)

2. Jamaluddin Madeali (C014182101)

3. Dewi Shinta Tenri D (C014181099)

4. Ahmad Fachry Toaha (C014182001)

5. Raodhatul Jannah Baharuddin (C014182162)

6. Nur Hikmah (C014182163)

Judul Referat : ASPEK LABORATORIUM DASAR DEMAM TIFOID

Adalah benar telah menyelesaikan referat yang telah disetujui serta telah

dibacakan dihadapan pembimbing dan supervisor dalam rangka kepaniteraan

klinik pada bagian Ilmu Patologi Klinik Fakultas Kedokteran Universitas

Hasanuddin.

Makassar, April 2019

Supervisor Pembimbing Residen Pembimbing

dr. Asvin Nurulita, M.Kes, Sp.PK dr. A. Handayani

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL …………………………………………………………. i

HALAMAN PENGESAHAN ……………………………………………….. ii

DAFTAR ISI………………………………………………………………….. iii

BAB 1 PENDAHULUAN …………………………………………………… 1

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ……………………………………………. 2

2.1 Definisi ………...............................................................................……. 2

2.2 Epidemiologi…...................................................................................…. 2

2.3 Etiologi………............................................................................... ……. 2

2.4 Patofisiologi…....................................................................................…. 3

2.5 Diagnosis ...........................................................................................….. 4

2.5.1 Anamnesis……………………….....................................……... 5

2.5.2 Pemeriksaan Fisis……………………….........................……... 5

2.5.3 Pemeriksaan Penunjang…………............................................... 7

2.6 Penatalaksanaan…................................................................................... 11

2.6.1 Farmakologis………………………....................................…… 11

2.6.2 Non Farmakologis……………………….........................……... 13

DAFTAR PUSTAKA ………………………………………………………… 15

iii
BAB I

PENDAHULUAN

Demam tifoid adalah penyakit sistemik yang dikarakteristikkan dengan


demam dan nyeri perut akibat Salmonella typhi atau paratyphi. Demam tifoid
diketahui sebagai penyakit yang sangat unik karena berkaitan dengan pembesaran
plak peyeri dari ileum. Diagnosis demam tifoid yang sering dilakukan tes
serologis sederhana yaitu tes widal1.

Bakteri dari genus Salmonella sangat mudah beradaptasi untuk tumbuh


pada manusia dan hewan sehingga menyebabkan spektrum penyakit yang luas.
Pertumbuhan serotipe Salmonella typhi dan Salmonella paratyphi terbatas pada
inang manusia yang menyebabkan demam enterik atau demam tifoid. Salmonella
non tifoid dapat berkolonisasi pada saluran pencernaan berbagai hewan, termasuk
mamalia, reptil, burung, dan serangga1.

Hingga saat ini penyakit demam tifoid masih merupakan masalah


kesehatan di negara – negara tropis termasuk Indonesia. Kejadian demam tifoid
menurut WHO tahun 2018 adalah 11 – 21 juta kasus di dunia dengan kematian
sebanyak 128.000 – 161.000 jiwa. Kasus yang banyak ini membutuhkan
pengetahuan dokter untuk mendeteksi lebih awal penyakit demam tifoid dengan
berbagai peralatan laboratorium yang tersedia2. Prevalensi demam tifoid di
Indonesia adalah 350-810/100.000 penduduk dengan jumlah kematian lebih dari
20.000/tahun. Penyakit ini tidak terbatas pada umur tertentu, namun cukup tinggi
pada anak umur di atas 5 tahun2.

Gejala klinis dari penyakit demam tifoid sangat bervariasi dan tidak khas,
mulai dari gejala yang ringan sampai berat. Gejala klinis dari penyakit ini juga
bervariasi berdasarkan daerah atau negara, serta menurut waktu. Hal ini membuat
penegakan diagnosis menjadi tantangan tersendiri bagi klinisi medis, maka dari
itu dilakukanlah beberapa pemeriksaan penunjang yang diantaranya adalah
pemeriksaan darah rutin, kimia darah, kultur bakteri dan pemeriksaan serologis3.

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Demam tifoid adalah penyakit demam akut yang disebabkan oleh infeksi
bakteri Salmonella enterica khususnya turunannya, Salmonella typhi.
Manifestasi klinis demam tifoid dimulai dari yang ringan (demam tinggi,
denyut jantung lemah, sakit kepala) hingga berat (perut tidak nyaman,
komplikasi pada hati dan limfa6.

2.2 Epidemiologi
Tifoid terdapat di seluruh dunia, terutama di negara-negara yang sedang
berkembang di daerah tropis. Penyakit ini telag ada sejak beberapa abad yang
lalu. Sebagai gambaran dapat kita simak kejadian di Jamestow Virginia USA,
dimana dilaporkan lebih 6000 kematian akibat wabah tifoid pada periode 1607
s/d 16243.
Di Indonesia, tifoid jarang dijumpai secara epidemis tapi bersifat endemis
dan banyak dijumpai di kota-kota besar. Tidak ada perbedaan yang nyata
insidens tifoid pada pria dengan wanita. Insidens tertinggi didapatkan pada
remaja dan dewasa muda. Simanjuntak mengemukakan bahwa insiden tifoid
di Indonesia masih sangat tinggi berkisar 3500-810 per 100.000 penduduk.
Demikian juga dari telaah kasus demam tifoid di rumah sakit besar di
Indonesia, menunjukkan angka kesakitan cenderung meningkat setiap tahun
dengan rata-rata 500/100.000 penduduk.Angka kematian diperkirakan sekitar
0,6-5 % sebagai akibat dari keterlambatan mendapat pengobatan serta
tingginya biaya pengobatan3.

2.3 Etiologi
Salmonella typhii merupakan etiologi dari penyakit demam tifoid. Bakteri
ini merupakan bakteri dari famili enterobacteriaceae yang berukuran 2-3 μm x

2
0.4–0.6 μm.. Salmonella typhii merupakan bakteri gram negatif, tidak
membentuk spora, anaerob fakultatif, dan mereduksi sulfur 10,11.

Gambar 1 Mikrograf electron dari Salmonella typhi


Mikrograf electron dari Salmonella typhi tampak pada gambar diatas. Bakteri tersebut merupakan gram
negatif, sehingga menunjukkan tampakan warna merah. Bakteri tersebut diklasifikasikan sebagai (bacillus,
singular) yang berbentuk rod/batang10,11

2.4 Patofisologi Demam Tifoid


Patogenesis demam tifoid melibatkan empat proses, yaitu penempelan
bakteri ke lumen usus, bakteri bermultiplikasi di makrofag plak peyeri ileum,
bakteri bertahan hidup di aliran darah, dan bakteri menghasilkan enterotoksin
yang menyebabkan keluarnya elektrolit dan air ke lumen intestinal.
Salmonella bersama makanan atau minuman masuk ke dalam tubuh melalui
mulut, pada saat melalui asam lambung banyak bakteri yang mati, namun jika
mencapai usus halus maka bakteri akan melekat pada sel mukosa kemudian
menginvasi dan menembus ileum dan jejunum yang bertahan hidup di sel
Microfold, yaitu epitel yang melapisi plak peyeri. Bakteri yang mencapai
folikel limfoid ileum akan mengakibatkan ulkus pada mukosa intestinal
sehingga mengakibatkan perdarahan dan perforasi usus. Bakteri kemudian
mengikuti aliran nodulus limfatikus mesenterika dan keluar melalui duktus
torasikus masuk ke sirkulasi sistemik seperti hepar, lien, sumsum tulang, dan
vesica fellea7.

3
Salmonella typhi atau Salmonella
paratyphi masuk ke saluran
digestif

Sebagian
Sebagian masuk ke
dimusnahkan HCl
usus halus
lambung

Di ileum terminalis
Peningkatan Asam
membentuk limfoid
lambung
plak peyeri

Sebagian hidup dan Sebagian menembus


Mual dan muntah
menetap lamina propria

Masuk ke aliran
Intake makanan
Perdarahan limfe dan pembuluh
kurang
darah

Pengeluaran
Gangguan nutrisi Perforasi
endotoksin bakteri

Pelepasan zat
Peritonitis
pirogen oleh leukosit

Demam

Bagan 1 Patofisiologi Demam Tifoid7

2.5 Diagnosis
2.5.1 Anamnesis
Gambaran klinik demam tifoid9

Keluhan :

- Nyeri kepala (frontal) 100%

- Kurang enak di perut ≥ 50%

4
- Nyeri tulang, persendian dan otot ≥ 50%

- BAB  50%

- Muntah  50%

Gejala :

- Demam 100%

- Nyeri tekan perut 75%

- Bronkitis 75%

- Toksik > 60%

- Letargik > 60%

- Lidah tifus (“kotor”) 40%

Gejala klinik yang pertama timbul disebabkan oleh bakteri yang


mengakibatkan gejala toksik umum, seperti letargi, sakit kepala, demam dan
bradikardia. Demam ini khas karena gejala peningkatan suhu setiap hari
seperti naik tangga sampai dengan 40 atau 410C, yang dikaitkan dengan nyeri
kepala, malaise dan menggigil. Ciri utama demam tifoid adalah demam
menetap yang persisten (4 sampai 8 minggu pada pasien yang tidak
diobati)9,10.

Pada minggu pertama terdapat demam remitten yang disertai dengan


nyeri kepala. Biasanya terdapat batuk kering dan tidak jarang ditemukan
epistaksis. Konstipasi sering ada, namun diare dan nyeri pada daerah perut9.

Pada minggu kedua, demam umumnya tetap tinggi (demam kontinu).


Perut tampak distensi dan terdapat gangguan pencernaan. Diare dapat mulai,
kadang disertai perdarahan saluran cerna. Pada minggu ketiga ini tampak
gejala fisik lain berupa bradikardia relatif dengan limpa membesar lunak.

5
Perbaikan dapat mulai terjadi pada akhir minggu ketiga dengan suhu badan
menurun dan keadaan umum tampak membaik9,10.

2.5.2 Pemeriksaan Fisis


Pada pemeriksaan fisik ditemukan :

 Demam yang tinggi.


 Kelainan makulopapular berupa roseola (rose spot) berdiameter 2-5 mm
terdapat pada kulit perut bagian atas dan dada bagian bawah. Rose spot
tersebut agak meninggi dan dapat menghilang jika ditekan. Kelainan yang
berjumlah kurang lebih 20 buah ini hanya tampak selama dua sampai
empat hari pada minggu pertama. Bintik merah muda juga dapat berubah
menjadi perdarahan kecil yang tidak mudah menghilang yang sulit dilihat
pada pasien berkulit gelap (jarang ditemukan pada orang Indonesia)9.
 Perut distensi disertai dengan nyeri tekan perut9.
 Bradikardia relatif9.
 Hepatosplenomegali9.
 Jantung membesar dan lunak9.
 Bila sudah terjadi perforasi maka akan didapatkan tekanan sistolik yang
menurun, kesadaran menurun, suhu badan naik, nyeri perut dan defens
muskuler akibat rangsangan peritoneum9,10.
 Perdarahan usus sering muncul sebagai anemia. Pada perdarahan hebat
mungkin terjadi syok hipovolemik. Kadang ada pengeluaran melena atau
darah segar10.
 Bila telah ada peritonitis difusa akibat perforasi usus, perut tampak
distensi, bising usus hilang, pekak hati hilang dan perkusi daerah hati
menjadi timpani. Selain itu, pada colok dubur terasa sfingter yang lemah
dan ampulanya kosong. Pemeriksaan radiologi menunjukkan adanya
udara bebas di bawah diafragma, sering disertai gambaran ileus
paralitik9,10.

6
2.5.3 Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan Darah Rutin
Pada awal infeksi akan terjadi leukositosis ringan hingga mencapai
12000 sel/μL, tetapi pada beberapa hari setelahnya akan terjadi
leukopenia dengan leukosit hingga kurang dari 5000 sel/μL. Terjadinya
leukopenia merupakan salah satu penanda infeksi tifoid yang
diakibatkan karena infeksi dan multiplikasi bakteri Salmonella typhii
pada sumsum tulang. Hal ini dapat menyebabkan terjadinya gangguan
pada pembentukan sel-sel darah11,12.
Selain terjadinya leukopenia, trombositopenia juga dapat terjadi
akibat produksi trombosit yang menurun dan destruksi yang meningkat
oleh sel-sel Reticulo Endothelial System (RES) oleh infeksi Salmonella
typhii pada hepar dan lien13.
b. Kimia Darah
Hati merupakan organ yang melakukan banyak fungsi penting yang
berbeda-beda. Hati juga merupakan salah satu organ yang dapat
terinfeksi kuman S.typhi. Oleh karena itu kadar Serum Glutamate-
Pyruvate Transaminase (SGPT) dalam hal ini bisa meningkat. Pada
pasien demam tifoid didapatkan 2 keadaan dimana kadar SGPT normal
dan SGPT meningkat tergantung dengan kondisi kekebalan tubuh
pasien. Sebagian besar kasus dengan peningkatan Serum Glutamate-
Oxaloacetate Transaminase (SGOT) dan SGPT muncul pada minggu
ke-2 demam, hepatomegali ditemukan selama minggu ke-2 atau ke-3
tetapi lebih sering pada minggu ke-1. Alkaline phosphatase, SGOT dan
SGPT meningkat masing-masing dalam 100%, 100% dan 91% kasus
selama minggu ke-2 dan ke-3 tetapi selama minggu pertama hanya 11%,
89% dan 56% mengalami peningkatan ringan14.

c. Serologis
1) Tes Widal

7
Tes widal dilakukan pada akhir minggu pertama yang
merupakan reaksi antara antibodi aglutinin serum penderita terhadap
antigen O (somatik) dan H (flagella) Salmonella typhi dan
paratyphi11.
Aglutinin O mulai dibentuk pada akhir minggu pertama demam
sampai puncaknya pada minggu ketiga sampai kelima. Aglutinin ini
dapat bertahan sampai lama 6 – 12 bulan. Aglutinin H mencapai
puncak lebih lambat minggu ke 4-6 dan menetap dalam waktu lebih
lama, sampai 2 tahun kemudian12.
Kenaikan titer O 1 : 320 atau kenaikan 4 kali pada pemeriksaan
ulang dengan interval 5 – 7 hari mendukung diagnosis demam tifoid
dengan sensitivitas 64 – 74% dan spesifisitas 76 – 83%16. Pada tes
widal, dapat memberikan hasil negatif palsu dan positif palsu. Hasil
tes negatif palsu seperti pada keadaan pembentukan antibodi yang
rendah yang terjadi pada orang dengan gizi kurang, konsumsi obat
imunosupresan, penyakit imunodefisiensi, dan karsinoma lanjut.
Hasil tes positif palsu dapat dijumpai pada keadaan pasca vaksinasi,
mengalami infeksi subklinis beberapa waktu yang lalu, dan
aglutinasi silang13. Walaupun memiliki banyak kelemahan, tetapi tes
widal masih sering dipakai terutama pada Negara berkembang
karena alatnya yang murah, sederhana, serta cepat untuk
digunakan14.
2) Tes Tubex
Tes Tubex merupakan tes untuk mendeteksi IgM terhadap
antigen O9 Salmonella. Antigen O9 Salmonella sangat spesifik
terhadap salmonella serogrup D karena mengandung gula yang
sangat jarang yaitu epitop α-D-tyvelose sehingga reaksi silang
dengan kuman Salmonella nontyphi atau non-salmonella typhi
sangat kecil terjadi15.
Sampel yang digunakan yaitu serum atau plasma yang tidak
hemolisis, ikterik, dan lipemik yang diperoleh dari darah vena yang
diambil dengan menggunakan tabung merah16.

8
Tubex menggunakan tabung yang berbentuk V dan 2 reagen,
yaitu reagen indikator warna dan partikel magnetik. Antibodi pasien
yang spesifik terhadap terhadap antigen Salmonella typhii akan
terdeteksi dengan kemampuannya menghambat ikatan antara partikel
indikator warna yang diselubungi antibodi monoklonal yang spesifik
terhadap antigen lipopolisakarida O9 dari Salmonella typhii dan
partikel magnetik yang diselubungi lipopolisakarida O9 dari
Salmonella typhii17.

Gambar 2 Mekanisme Deteksi Antibodi pada Tes Tubex17

Selanjutnya hasil akan dibaca setelah 5 menit terjadinya


sedimentasi dari partikel magnetik (serta partikel indikator warna
yang terikat) oleh magnet stand. Hasil dibaca dengan mencocokkan
warna dengan skala warna yang ada, mulai dari yang paling merah
(Skor 0) hingga paling biru (Skor 10). Skor dari Tes Tubex adalah
sebagai berikut17:
a) ≤2 : Negatif
b) 3 : Borderline
c) 4 : Positif lemah
d) 6-10 : Positif kuat

9
Gambar 3 Skala Warna dan Skor Tubex17

3) Typhidot
Typhidot merupakan alat deteksi antibodi kualitatif yang dibuat
sebagai alat deteksi cepat dari demam tifoid. Alat ini mendeteksi
adanya IgM dan IgG yang terdapat pada protein membran luar
(Outer Membrane Protein/OMP) dari Salmonella typhii dengan
menggunakan strip nitroselulosa. Pemeriksaan ini mendapatkan hasil
positif 2-3 hari setelah infeksi. Typhidot memiliki sensitivitas sekitar
67%-75% dan spesifitas 54%-67%18.
Saat ini pemeriksaan typhidot yang sering dipakai adalah jenis
Typhidot-M. Pemeriksaan ini merupakan pemeriksaan Typhidot
yang dimodifikasi untuk mendeteksi IgM saja. Hal ini karena pada
kasus reinfeksi, respon imun sekunder (IgG) tereaktivasi berlebihan
dan IgM sulit terdeteksi. IgG dapat bertahan sampai 2 tahun
sehingga pendeteksian IgG saja tidak dapat digunakan untuk
membedakan antara infeksi akut dengan kasus reinfeksi pada infeksi
primer. Berdasarkan hal tersebut, maka dibuatlah Typhidot-M yang
mampu menginaktivasi total IgG pada sampel serum. Pemeriksaan
Typhidot-M, memungkinkan pengikatan spesifik antara IgM dan
antigen yang ada pada serum pasien19.
Ada dua bentuk dari Typhidot yaitu Typhidot Dot EIA yang
menggunakan dot blot strip dan Immunochromatographic Assay
(ICT test) yang berbentuk cassete. Spesimen yang dipakai untuk Dot

10
EIA adalah serum, sedangkan pada tes ICT dapat berupa serum,
plasma, maupun whole blood19.
d. Kultur Bakteri
Kultur sumsum tulang (Bone marrow culture) merupakan metode
standar baku emas untuk mendiagnosis tifoid, yang memberikan hasil
positif hingga 85 – 95%, bahkan setelah pasien mengonsumsi
antibiotik15. Selain sumsum tulang, sampel darah dan sampel feses juga
dapat digunakan untuk mengisolasi kuman Salmonella typhii, tetapi
dengan sensitivitas yang lebih rendah20.
Medium yang dapat digunakan untuk mengultur Salmonella typhii
ada beberapa seperti medium Salmonella-Shigella Agar, Hectoen Enteric
Agar, dan Xylose-Lysine-Deoxycholate Agar. Pada kultur, dapat
ditemukan bakteri yang tumbuh dengan koloni berwarna hitam karena
sifat dari Salmonella typhii yang dapat mereduksi sulfur12,21.

2.6 Penatalaksanaan
2.6.1 Farmakologis
Tabel 1. Terapi antibiotik penyakit demam tifoid kecuali untuk ibu dan ibu
menyusui22,23,24

Antibiotik Dosis Keterangan

Ciprofloxacin PO 5-7 hariDewasa: 1 Tidak direkomendasikan pada


gram/hari dalam 2 dosis anak - anak usia dibawah 15
terbagi tahun akan tetapi risiko yang
mengancam jiwa dari tyfoid
Anak – anak : 30 mg/kg/hari
melebihi risiko efek samping
dalam 2 dosis terbagi
(alternatif 2, fully sensitive
multidrug resistant)

Cefixime PO 7 hari Dapat menjadi alternatif dari

11
Ciprofloxacin bagi anak – anak
di bawah 15 tahun
Anak – anak (lebih dari usia 3
bulan) : 20 mg/kg/hari dalam
2 dosis terbagi

Kloramfenikol PO 10-14 hari (tergantung Jika tidak adanya resisten


tingkat keparahan)Anak – (pilihan utama, fully sensitive)
anak1-12 tahun : 100
mg/kg/hari dalam 3 dosis
terbagi

≥ 13 tahun : 3 gram/ hari


dalam 3 dosis terbagi

Tiamfenikol PO 5-6 hari Efek samping hematologis


pada penggunaan tiamfenikol
75 mg/kgBB/hari
lebih jarang daripada
kloramfenikol (alternatif 1)

Azitromisin PO 6 hari Azitromisin efektif dan aman


diberikan pada anak-anak dan
20 mg/kg/hari
dewasa yang menderita demam
tifoid tanpa komplikasi

Ceftriaxone* IM/IV (3 menit)I Salmonella typhi dengan cepat


berkembang resisten terhadap
nfus (30 menit)
kuinolon (quinolone resistant).

10 – 14 hari (tergantung Pada kasus ini gunakan

12
tingkat keparahan) ceftriaxone

Dewasa : 2-4 gram sehari


sekali

Anak – anak: 75 mg/kg sehari


sekali

2.6.2 Non Farmakologis


Tabel 2. Terapi non farmakologis demam tifoid25

Non Farmakologis Keterangan

Tirah baring Dilakukan sampai minimal 7 hari


bebas demam atau kurang lebih
sampai 14 hari

Diet lunak rendah serat Asupan serat maksimal 8 gram/hari,


menghindari susu, daging berserat
kasar, lemak, terlalu manis, asam,
berbumbu tajam serta diberikan dalam
porsi kecil.

Menjaga kebersihan Tangan harus dicuci sebelum


menangani makanan, selama
persiapan makan, dan setelah
menggunakan toilet.

13
DAFTAR PUSTAKA

1. Isselbacher dkk. 2012. Harrison Prinsip-prinsip Ilmu Penyakit Dalam, Alih


bahasa Asdie Ahmad H., Edisi 13, Jakarta: EGC
2. WHO. Background document: the diagnosis,treatment and prevention of
typhoid fever.2018
3. Gede, I Komang. And Ketut, I Agus. Karakteristik Klinis Pasien Demam
Tifoid di RSUP Sanglah Periode Juli 2013-Juli 2014. E-Jurnal Medika, Vol 6
No.11, Novemver, 2017 : 98-102

14
4. Bula-Rudas, F.J., Rathore, M.H., and Maraqa, N.F. Salmonella Infections in
Childhood. Advances In Pediatrics. 2015. 62(1): 29-58.
5. Naveed, A. and Ahmed, Z. Treatment of Typhoid Fever in Children:
Comparison of Efficacy of Ciprofloxacin with Ceftriaxone. European
Scientific Journal. 2016. 12(6). ISSN: 1857 – 7881 (Print) e – ISSN 1857-
7431
6. Rahmasari V, Lestari K. Manajemen Terapi Demam Tifoid : Kajian Terapi
Farmakologis dan Non Farmakologis. Volume 16 Nomor 1. 2018

7. Longo D, Fauci A. Harrison’s Gastroenterology and Hepatology. USA : The


McGraw-Hill Companies.2010
8. Emmeluth D. Deadly disease and epidemics “Typhoid Fever”.New York :
Chelsea House Publishers. 2004
9. Braunwald, Eugene, MD., et al. Harrison’s Principles of Internal Medicine
16th Edition. New York : McGraw – Hill Medical Publishing Division.2004
10. Behrman, RE; Vaughan, VC: Nelson Textbook of Pediatrics. WB Saunders
Philadelphia 2002, 540.
11. Typhoid Fever: Cause, Transmission, and Prevention.S.N Khosla. 2008
12. Sarry S. Long, Larry K. Pickering, Charles G. Prober.Principles and Practice
of Pediatric Infectious Diseases 4thEd.2012
13. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.Pedoman Pengendalian Demam
Tifoid.Jakarta: 2006
14. Jain H, Arya S, Thakur K, Joshi S, An assessment of liver function test in
typhoid fever in children : Int J Pediatr Res
2016;3(4):274-277.doi:10.17511/ijpr.2016.4.012.
15. Mimi Marleni, Yulia Iriani, Wisman Tjuandra, Theodorus.Ketepatan Uji
Tubex Tf® Dalam Mendiagnosis Demam Tifoid Anak Pada Demam Hari Ke-
4. Jurnal Kedokteran Dan Kesehatan, Volume 1, No. 1, Oktober 2014: 7-11
16. Farihatun Nafiah.Kenali Demam Tifoid dan Mekanismenya.Deepublish.2018.
17. Tam et al. The TUBEX test detects not only typhoid-specific antibodies but
also soluble antigens and whole bacteria.JMM.2008

15
18. Hayat, Dr., Atif, Sitwat. Evaluation of Typhidot (IgM) in Early and Rapid.
Diagnosis of Typhoid Fever. Professional Med J Apr-Jun 2011; 18(2):. 259-
264
19. Meta S et al. Portion of positive IgM anti-salmonella typhi examination Using
typhidot with positive widal examination in clinical Patient of acute typhoid
fever in rsud dr. H. Abdul moeloek Bandar lampung.Jurnal Unila.2014

20. Longo D, Fauci A. Harrison’s Infectious Disease 3rd Ed. USA : The McGraw-
Hill Companies.2017
21. Leboffe, Michael J., Pierce, Burton E.Leboffe, Michael J.A Photographic
Atlas For The 4th Edition Microbiology Laboratory. Englewood, Colo. :
Morton Pub. Co., 2011. Print.
22. Grouzard, V., Rigal J., and Sutton M. Clinical guidelines – Diagnosis and
treatment manual. Paris : Medecins Sans Frontieres.2016
23. Rampengan, N.H. Antibiotik Terapi Demam Tifoid Tanpa Komplikasi pada
Anak. Sari Pediatri Local Journal, 14(5): 271-6.2013
24. Sakinah dan Indria, A. Tata Laksana Demam Tifoid Tanpa Komplikasi pada
Wanita Hamil Trimester Pertama: Peran Intervensi Dokter Keluarga. Jurnal
Medula Unil.Volume 5. Nomor 2 .2016
25. Upadhyay, Rajesh., Nadkar., Milind,Y., et al. API Recommendations for the
Management of Typhoid Fever. Journal of The Association of Physicians of
India, 63. 2015

16

Anda mungkin juga menyukai