Tugas Analisa Pangan Teknik Analisa Kandungan Aflatoksin B Secara Elisa Pada Pakan Ternak Dan Bahan Dasarnya
Tugas Analisa Pangan Teknik Analisa Kandungan Aflatoksin B Secara Elisa Pada Pakan Ternak Dan Bahan Dasarnya
DISUSUN OLEH :
NUR INDAH EKA OKTAFIANI 093234013
BINAR BERLIAN 093234016
VINANCIA EKA HANANIA 093234031
KIMIA A 2009
JURUSAN KIMIA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS NEGERI SURABAYA
2012
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Bahan makanan mudah terkontaminasi oleh kapang atau cendawan. Jenis bahan makanan
utama yang dapat terkontaminasi oleh kapang adalah biji-bijian, padi-padian, dan kacan-
kacangan, yang salah satunya adalah kacang tanah dan hasil olahannya.
Salah satu jenis racun yang dihasilkan oleh kapang pada makanan adalah aflatoksin.
Aflatoksin adalah senyawa racun yang dihsilkan oleh metabolit sekunder kapang Aspergillus
flavus dan A. parasiticus. Kapang ini biasanya ditemukan pada bahan pangan atau pakan
yang mengalami proses pelapukan (Diener dan Davis, 1969), antara lain jagung. Kerusakkan
akibat kontaminasi kapang sangat beragam. Kerusakkan meliputi kerusakkan fisik:
perubahan warna, bau, perubahan tekstur, dan kerusakkan kimiawi: perubahan nilai nutrisi,
sehingga berakibat pada kesehatan konsumen manusia maupun hewan.
Jagung yang baru dipanen memiliki kadar air yang tinggi, jagung dengan kadar air tinggi
cocok sebagai substrat untuk pertumbuhan Aflatoksin. Aflatoksin yang paling mendominasi
untuk tumbuh subur pada jagung adalah Aspergillus flavus. Pertumbuhan dan
perkembangan Aspergillus flavus pada substrat jagung sangat dipengaruhi oleh kondisi
lingkungan substrat tersebut. Kondisi lingkungan yang mempengaruhi pertumbuhan
Aspergillu flavus diantaranya adalah suhu, kelembapan, pH, aktivitas air, keadaan udara,
dan curah hujan yang tinggi. Kondisi seperti itu hanya bias ditemui di negara tropis seperti
Indonesia. Apabila kondisi tersebut optimal maka pertumbuhan Aspergillus flavus akan
mencapai pertumbuhan yang optimal pula. Adanya kontaminasi aflatoksin yang melebihi
ambang batas maksimal yang dipersyaratkan dunia perdagangan menyebabkan jagung
menjadi tidak laku untuk diperdagangkan. Kesadaran masyarakat semakin tinggi akan
pentingnya mutu dan keamanan pangan termasuk pangan dari jagung. Oleh karena itu mutu
dan keamanan jagung harus dijaga, termasuk dijaga dari kontaminan Aspergillus flavus yang
dapat menghasilkan aflatoksin pada jagung. Senyawa aflatoksin terdiri atas beberapa jenis,
yaitu B1, B2, G1, dan G2, namun yang paling dominan dan mempunyai sifat racun yang
sangat tinggi serta berbahaya adalah aflatoksin B1 (Diener dan Davis 1969).
Aflatoksin yang ada pada bahan pangan berbahaya bagi kesehatan. Aflatoksin dapat
menyebabkan berbagai penyakit (Syarief dan Nurwitri, 2003; M. Noor, 2005):
hepatocarcinoma (aflatoksin akut), kwashiorkor, reye’s syndrome, kanker hati.
Kualitas jagung untuk pakan ternak antara lain ditentukan oleh ada atau tidaknya cemaran
aflatoksin pada jagung tersebut. Kandungan aflatoksin yang tinggi pada jagung sebagai
bahan dasar pakan ternak akan menyebabkan kontaminasi aflatoksin yang tinggi pula pada
pakan jadinya, karena sekitar 50% bahan dasar pakan unggas berasal dari jagung sebagai
sumber karbohidrat. Jika pakan yang tercemar aflatoksin diberikan kepada ternak unggas
(ayam, itik), maka residu aflatoksin akan terdapat pula pada produk ternaknya seperti telur,
daging dan hati. Kandungan aflatoksin pada produk ternak akhirnya akan mempengaruhi
kesehatan konsumen yang mengkonsumsinya (Budiarso, 1995).
Untuk mendeteksi keberadaan aflatoksin pada bahan dasar pakan dan pakan ternak, telah
tersedia metode analisis yang cepat, sensitive, dan spesifik yaitu enzyme linked
immunosorbent assay (ELISA). Keuntungan dari teknik analisis ini adalah sangat sensitive
dan spesifik dengan menggunakan antibody. Selain itu, waktu analisisnya cepat, baik pada
contoh tunggal maupun banyak.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, maka dirumskan masalah “Berapa kadar tingkat
kontaminasi aflatoksin B1 secara Elisa pada contoh pakan ternak dan bahan dasarnya?”
C. Tujuan Penelitian
Dari latar belakang dan rumusan masalah yang telah diuraikan, maka tujuan penelitian ini
adalah untuk mengetahui tingkat kontaminasi aflatoksin B1 secara ELISA pada contoh pakan
ternak dan bahan dasarnya.
D. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut:
1. Dapat mengetahui ciri-ciri bahan makanan yang tercemar aflatoksin baik dari segi fisika
ataupun kimia.
2. Dapat mengetahui bahaya aflatoksin pada kesehatan pengkonsumsi makanan yang telah
tercemar aflatoksin.
3. Mengetahui kadar kandungan aflatoksin yang masih dalam batasan tidak berbahaya pada
pakan ternak dan bahan dasarnya.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Aflatoksin
Kapang dapat menghasilkan metabolit beracun yang disebut mikotoksin. Mikotoksin
terutama dihasilkan oleh kapang saprofit yang tumbuh pada bahan pangan atau pakan
hewan. Setelah tahun 1970, diketahui bahwa mikotoksin dapat menimbulkan penyakit pada
manusia, bahkan dapat menyebabkan kematian. Toksisitas mikotoksin dapat bersifat akut
maupun kronik, tergantung pada jenis dan dosisnya.
Aflatoksin merupakan segolongan senyawa toksik (mikotoksin, toksin yang berasal dari
fungi) yang dikenal mematikan dan karsinogenik bagi manusia dan hewan. Aflatoksin
merupakan mikotoksin yang dihasilkan oleh kapang Aspergillus flavus dan Aspergillus
parasiticus. Keberadaan toksin ini dipengaruhi oleh faktor cuaca, terutama suhu dan
kelembaban. Pada kondisi suhu dan kelembaban yang sesuai, Aspergillus flavus dan
Aspergillus parasiticus dapat tumbuh pada jenis pangan tertentu serta pada pakan hewan,
kemudian menghasilkan aflatoksin. Spesies penghasilnya adalah segolongan fungi (jenis
kapang) dari genus Aspergillus, terutama A. flavus (dari sini nama "afla" diambil) dan A.
parasiticus yang berasosiasi dengan produk-produk biji-bijian berminyak atau
berkarbohidrat tinggi. Kandungan aflatoksin ditemukan pada biji kacang-kacangan (kacang
tanah, kedelai, pistacio, atau bunga matahari), rempah-rempah (seperti ketumbar, jahe, lada,
serta kunyit), dan serealia (seperti gandum, padi, sorgum, dan jagung). Aflatoksin juga dapat
dijumpai pada susu yang dihasilkan hewan ternak yang memakan produk yang terinfestasi
kapang tersebut. Obat juga dapat mengandung aflatoksin bila terinfestasi kapang ini.
Praktis semua produk pertanian dapat mengandung aflatoksin meskipun biasanya masih
pada kadar toleransi. Kapang ini biasanya tumbuh pada penyimpanan yang tidak
memperhatikan faktor kelembaban (min. 7%) dan bertemperatur tinggi. Daerah tropis
merupakan tempat berkembang biak paling ideal.
Terdapat beberapa jenis aflatoksin utama, yaitu aflatoksin B 1, B2, G1, dan G2. Keempat
jenis aflatoksin tersebut biasanya ditemukan bersama dalam berbagai proporsi pada berbagai
jenis pangan dan pakan hewan. Aflatoksin B1 biasanya paling mendominasi dan bersifat
paling toksik. Aflatoksin B1 dan B2 dihasilkan oleh Aspergillus flavus dan Aspergillus
parasiticus. Sedangkan aflatoksin G1 dan aflatoksin G2 hanya dihasilkan oleh Aspergillus
parasiticus. Jika aflatoksin B1 dan G1 masuk ke dalam tubuh hewan ternak melalui
pakannya, maka senyawa tersebut akan dikonversi di dalam tubuh hewan tersebut menjadi
aflatoksin M1 dan M2, yang dapat diekskresikan dalam susu dan urin.
Aflatoksin B1, senyawa yang paling toksik, berpotensi merangsang kanker, terutama
kanker hati. Serangan toksin yang paling ringan adalah lecet (iritasi) ringan akibat kematian
jaringan (nekrosis). Pemaparan pada kadar tinggi dapat menyebabkan sirosis, karsinoma
pada hati, serta gangguan pencernaan, penyerapan bahan makanan, dan metabolisme nutrien.
Toksin ini di hati akan direaksi menjadi epoksida yang sangat reaktif terhadap senyawa-
senyawa di dalam sel. Efek karsinogenik terjadi karena basa N guanin pada DNA akan
diikat dan mengganggu kerja gen. Pemanasan hingga 250 derajat Celsius tidak efektif
menginaktifkan senyawa ini. Akibatnya bahan pangan yang terkontaminasi biasanya tidak
dapat dikonsumsi lagi.
Gambar 3. Jagung dan kacang tanah yang ditumbuhi kapang Aspergillu flavus
Aflatoksin mendapat perhatian yang lebih besar daripada mikotoksin lain karena
memiliki potensi efek karsinogenik terhadap tikus uji serta efek toksisitas akut terhadap
manusia. Pada sejumlah spesies hewan, aflatoksin dapat menyebabkan nekrosis akut, sirosis,
dan karsinoma hati serta berpotensi mempengaruhi sistem kekebalan tubuh. Tidak ada
hewan yang resisten terhadap efek toksik akut aflatoksin, oleh karena itu sangat logis jika
diasumsikan bahwa manusia juga mungkin dapat mengalami efek yang sama. Pada
kebanyakan spesies hewan, LD50 aflatoksin berkisar antara 0,5 hingga 10 mg/kg berat badan.
Pada tahun 1988, IARC menggolongkan aflatoksin B1 pada daftar karsinogen terhadap
manusia. Hal ini didukung dengan sejumlah hasil penelitian epidemiologi di Asia dan Afrika
yang menunjukkan hubungan positif antara diet aflatoksin dan kanker sel hati (Liver Cell
Cancer = LCC). Sebagai tambahan, timbulnya penyakit yang berhubungan dengan
aflatoksin pada manusia kemungkinan dipengaruhi oleh berbagai faktor, seperti usia, status
nutrisi, dan/atau paparan bahan lain, seperti virus hepatitis (HBV) atau infestasi parasit.
D. Gejala Aflatoksikosis
Manusia dapat terpapar aflatoksin melalui pangan yang dikonsumsinya. Paparan
aflatoksin ini sulit dihindari karena pertumbuhan jamur penghasil aflatoksin pada pangan
tidak mudah dicegah.
Keracunan akibat mengkonsumsi pangan atau pakan yang tercemar aflatoksin disebut
aflatoksikosis. Beberapa negara, terutama negara dunia ketiga, seperti Taiwan, Uganda, dan
India telah melaporkan adanya bukti terjadinya aflatoksikosis akut pada manusia. Di negara-
negara maju, kontaminasi aflatoksin pada pangan jarang terjadi pada tingkat yang dapat
menimbulkan aflatoksikosis akut terhadap manusia.
Penelitian toksisitas paparan oral aflatoksin terhadap manusia difokuskan pada potensi
karsinogeniknya. Kerentanan relatif manusia terhadap aflatoksin masih belum diketahui,
meskipun pada studi epidemiologi di Afrika dan Asia Tenggara, tempat dimana banyak
terjadi insiden hepatoma, telah ditemukan kaitan antara insiden kanker dengan kandungan
aflatoksin dalam diet. Hasil penelitian tersebut tidak membuktikan adanya hubungan sebab
akibat, tetapi dapat menjadi bukti adanya kaitan.
Pada manusia, kasus aflatoksikosis sesungguhnya jarang dilaporkan, tetapi kebanyakan
kasus tidak selalu dikenali sebagai aflatoksikosis. Kita patut curiga bahwa telah terjadi
aflatoksikosis jika ditemukan suatu penyakit yang menunjukkan karakteristik sebagai
berikut:
E. Aflatoksikosis Akut
Aflatoksikosis akut dapat diakibatkan oleh konsumsi aflatoksin dalam tingkat sedang
hingga tinggi. Beberapa gejala umum aflatoksikosis adalah edema anggota tubuh bagian
bawah, nyeri perut, dan muntah. Secara spesifik, paparan akut aflatoksin dapat
menyebabkan perdarahan, kerusakan hati secara akut, edema, perubahan pada pencernaan,
dan kemungkinan kematian.
Tertelannya aflatoksin dalam jumlah besar umumnya terjadi di peternakan. Organ target
aflatoksin adalah hati. Setelah aflatoksin masuk ke hati, lipid menyusup ke dalam hepatosit
dan menyebabkan nekrosis atau kematian sel hati. Hal ini terutama disebabkan oleh
metabolit aflatoksin yang bereaksi secara negatif dengan protein sel lain, yang menyebabkan
penghambatan metabolisme karbohidrat dan lemak serta sintesis protein. Akibat penurunan
fungsi hati, terjadi gangguan mekanisme pembekuan darah, ikterus (jaundice), dan
penurunan protein serum esensial yang disintesis oleh hati.
F. Aflatoksikosis Kronik
Aflatoksikosis kronik disebabkan oleh konsumsi aflatoksin dalam tingkat rendah hingga
sedang. Efek yang ditimbulkan biasanya bersifat subklinis dan sulit dikenali.
Gejala aflatoksikosis kronik dapat berupa penurunan laju pertumbuhan, penurunan
produksi susu atau telur, dan imunosupresi. Beberapa pengamatan menunjukkan adanya
karsinogenisitas, terutama terkait dengan aflatoksin B1. Tampak jelas terjadinya kerusakan
hati karena timbulnya warna kuning yang menjadi karakteristik jaundice, serta timbul
pembengkakan kandung empedu. Imunosupresi disebabkan oleh reaktivitas aflatoksin
dengan sel T, penurunan aktivitas vitamin K, dan penurunan aktivitas fagositosis makrofag.
Pada hewan, efek imunosupresi akibat aflatoksin ini memberi kecenderungan terkena infeksi
sekunder dari jamur lain, bakteri, maupun virus.
G. Penatalaksanaan Aflatoksikosis
Permulaan/onset gejala aflatoksikosis dapat timbul lebih dari 8 jam setelah paparan. Pada
kasus masuknya aflatoksin melalui oral, untuk mengikat aflatoksin yang masuk dapat
diberikan sejumlah besar adsorben, misalnya arang aktif. Pemberian antioksidan, seperti
ellagic acid dan penginduksi sitokrom P450, seperti indole-3-carbinol dapat diberikan untuk
memberikan efek proteksi.
Pertolongan penunjang yang dapat diberikan adalah memonitor fungsi hati, dialisis atau
transfusi darah, dan pengobatan gejala.
B. Prosedur Penelitian
Prinsip Dasar
ELISA adalah suatu teknik deteksi dengan menunakan metode serologis yang
berdasarkan atas reaksi spesifik antara antigen dan antibody, mempunyai sensitivitas dan
spesifitas yang tinggi dengan menggunakan enzim sebagai indikator. Prinsip dasar ELISA
(Burgess, 1995) adalah analisis interaksi antara antigen dan antibody yang teradsorpi secara
pasif pada permukaan fase padat dengan menggunakan konjugat antibody atau antigen yang
dilabel enzim. Enzim ini akan bereaksi dengan substrat dan menghasilkan warna. Warna
yang timbul dapat ditentukan secara kualitatif dengan pandanan mata atau kuantitatif dengan
pembacaan nilai absorbansi (OD) pada ELISA plate reader.
Prinsip Percobaan
Percobaan digunakan dengan menggunakan perangkat ELISA komersial aflatoksin B 1
dari Neogen yang mempergunakan prinsip dasar ELISA secara kompetitif langsung.
Analisis berlangsung dalam wadah microwell (mikroplat) dengan konsentrasi antibody yang
dilapiskan pada mikroplat 0 mg/ml. Aflatoksin B1 yang terdapat pada contoh yang diperiksa
akan berkompetisi dengan antibody yang berada dalam mikroplat. Bahan atau pereaksi yan
tidak berikatan akan terbuang setelah mengalami proses pencucian. Dengan menambahkan
substrat pada mikroplat akan terbentuk warna pada ikatan antara antibody dan enzim
konjugat. Semakin biru warna yang dihasilkan, semakin kecil aflatoksin B 1 yang terdapat
pada contoh yang dianalisis. Hasil analisis ditentukan dengan membaca optical density (OD)
pada ELISA reader. Kurva kalibrasi, plot antara nilai OD dan konsentrasi standar aflatoksin
B1 dibuat dan digunakan untuk menghitung kadar aflatoksin B1 pada contoh.
Tabel 1. Asal, jenis, dan jumlah contoh bahan pakan dan pakan jadi yang dianalisis
Asal contoh Jenis contoh Jumlah
Pasar Jagung 5
Jumlah 17
Jumlah seluruhnya 30
Penyiapan contoh:
1. Disiapkan 1.000 ml larutan methanol 70% dengan cara melarutkan 700 ml methanol p.a
dan 300 ml akuades dalam gelas ukur 1.000 ml.
2. Disiapkan 100 ml tween 10% dengan melarutkan 10 ml tween 20% dan 90 ml akuades.
3. Disiapkan akuades pencuci 500 ml yang telah diberi 500 μl tween 10%.
4. Masing-masing contoh ditimbang 5 gr kemudian dimasukkan kedalam Erlenmeyer 125
ml.
5. Masing-masing contoh dilarutkan (ditambahkan) dengan 25 ml larutan methanol 70%.
6. Contoh dikocok selama 30menit dan didiamkan sampai mengendap.
7. Contoh disaring dengan memakai kertas saring Whatman no. 41.
8. Contoh yang telah disaring dimasukkan ke dalam botol contoh.
9. Contoh siap dianalisis secara ELISA.
Cara Kerja :
1. Lubang sumur (mikroplat) untuk mencampur larutan standar disiapkan. Semua pereaksi
dari kit aflatoksin B1 dikeluarkan dari lemari pendingin dan dibiarkan hangat pada suhu
kamar.
2. Untuk melakukan kalibrasi standar aflatoksin B1 diperlukan lima lubang sumur, yaitu
satu luban sumur untuk blanko (tanpa penambahan contoh, berisi pelarut), satu lubang
sumur untuk kontrol berisi enzim konjugat, dan tiga lubang sumur untuk larutan standar
yang berlainan konsentrasi dan contoh.
3. Larutan standar aflatoksin 100 μl dimasukkan kedalam masing-masing lubang sumur
dengan konsentrasi 5 ppb dan 15 ppb, begitu juga 100 μl ekstrak contoh untuk setiap
contoh yang akan dianalisis, 100 μl methanol 70% untuk control, dan 200 μl methanol
70% untuk blanko.
4. Larutan konjugat 100 μl dimasukkan ke setiap lubang sumur, baik yang berisi larutan
standar maupun contoh, kecuali lubang sumur yang berisi blanko.
5. Larutan diaduk dengan menggunakan pipet multichannel dengan menlakukan pemietan
dan mengeluarkannya kembali, sampai tiga kali.
6. Dari tiap-tiap lubang sumur yang sudah berisi larutan standar, contoh maupun blanko
dipipet masing-masing 75 μl dan dimasukkan ke dalam lubang sumur yang sudah
dilapisi antibody dan dibiarkan selama 2 menit.
7. Setelah 2 menit, larutan dibuang dan semua lubang sumur dicuci dengan akuades dengan
cara mengisi sumur dan membuangnya lima kali.
8. Semua lubang sumur yang sudah dicuci, dikeringkan dengan membalikkan luban sumur
tersebut di atas kain/ kertas peresap air.
9. Ke dalam masing-masing sumur ditambahkan 100 μl larutan subsrat (K-Blue) dan
dibiarkan selama 3 menit.
10. Setelah 3 menit, ditambahkan 100 μl larutan penghenti reaksi (H 2SO4 1,25 M) kedlam
masing-masing lubang sumur dan hasilnya siap dibaca pada ELIA reader.
Daftar Pustaka
Budiarso, I. T. 1995. Dampak Mikotoksin terhadap Kesehatan. Cermin Dunia Kedokteran 103:
5.
Burgess, G. W. 1995. Prinsip Dasar ELISA dan Variasi Konfigurasinya. Teknoloi ELISA dalam
Diagnosis dan Penelitian. G. W. Burgess (Ed) Wayan T. Ariana (terjemahan).
Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Diener. U.L. and N. D. Davis. 1969. Aflatoxin Formation by Aspergillus Flavus. In L. A.
Goldlatt (Ed). Aflatoxin. New York: Academic Press.
Ginting. Ng. 1984. Aflatoksin dalam Bahan Baku Pakan dan Pakan Ayam Pedagin di Daerah
Bogor. Penyakit Hewan 16: 152-155.
SNI (Standar Nasional Indonesia).1996. Batasan Maksimum Residu Kontaminasi Kimia pada
Pakan dan Bahan Dasar pakan. Jakarta: Badan Standarisasi Nasional.
Wahid. 2012. Teknik-teknik ELISA (Enzyme-Linked Immunosorbent Assay) sebagai Alat
Dianosis Ampuh dalam Bidang Medis, Patologi Tumbuhan, serta Berguna dalam Bidang
Industri. (http://wahid-biyobe.blogspot.com/2012/12/teknik-teknik-elisa-enzyme-
linked.html diakses pada tanggal 04 Januari 2012).
Widiastuti, R., R. Maryam, B. J. Blancy. N. Salvina, and D. Stoltz. 1988. Corn As A Source of
Mycotoxin in Indonesia. Poultry Feed and The Effectiveness of Visual examination
Method for Detecting Contamination. Mycopathologia 102: 45-49.