Anda di halaman 1dari 48

RANGKUMAN BUKU

HUKUM PERJANJIAN INTERNASIONAL BAGIAN 2

KARYA I WAYAN PARTHIANA, SH., MH.

TRYANA WIRAWATI

192030055

PERUNDINGAN DAN PERJANJIAN INTERNASIONAL


HUKUM PERJANJIAN INTERNASIONAL BAGIAN 2

BAB VI

PENGHORMATAN DAN PELAKSANAAN ATAS PERJANJIAN

INTERNASIONAL

VI.1. Pendahuluan

Suatu perjanjian internasional yang sudah memenuhi syarat untuk mulai berlaku (enter

into force) sebagaimana ditentukan dalam perjanjian itu sendiri, selanjutnya harus dihormati

dan dilaksanakan oleh para pihak yang terikat, sesuai dengan isi dan jiwa serta semangat dari

perjanjian itu sendiri demi tercapai maksud serta tujuannya. Namun, tidak jarang timbul

masalah yang mengarah pada terjadinya sengketa antar pihak. Sehingga, demi menghindari

serta mencegah terjadinya sengketa, perlu memahami asas-asas dari hokum internasional.

Diantaranya adalah :

1. Asas free consent, asas ini sudah muncul ketika para pihak merundingkan dan

menyepakati naskar perjanjian. Asas free consent merupakan perkembangan dari

asas kebebasan berkontrak. Berdasarkan asas ini, maka setiap proses perundingan

harus disepakati berdasarkan kebebasan para pihak untuk menyatakan

kehendaknya. Perjanjian internasional yang tidak didasarkan pada asas

kesukarelaan ini, atau jika didasarkan pada tekanan-tekanan, maka akan dapat

menimbulkan akibat hukum seperti batal (void) ataupun tidak sahnya perjanjian

tersebut.

2. Asas itikad baik (good faith), asas ini dapat dikatakan menjadi jiwa serta darahnya

dari suatu perjanjian internasional. Pendekatan-pendekatan informal ini yang

kemudian berlanjut menjadi pendekatan-pendekatan formal berupa perundingan,

1
HUKUM PERJANJIAN INTERNASIONAL BAGIAN 2

penerimaan, pengotentikan, pengikatan diri, pemberlakuan, pelaksanaan, hingga

berakhirnya perjanjian inetrnasional. Asas itikad baik ini dapat tercermin dari setiap

setiap praktek para pihaknya, bahkan sebelum perjanjian internasional tersebut

mulai berlaku.

3. Asas pacta sunt servanda, asas ini menekankan pada kewajiban para pihak untuk

menaati isi perjanjian. Asas ini menyatakan bahwa setiap perjanjian yang telah

dibuat menjadi undang-undang bagi yang membuatnya. Asas ini menjadi asas yang

paling fundamental dalam sebuah perjanjian, termasuk perjanjian internasional.

Dikatakan fundamental karena asas tersebut yang melandasi lahirnya perjanjian,

termasuk perjanjian internasional dan melandasi dilaksanakannya perjanjian sesuai

dengan apa yang diperjanjikan oleh para pihak. Tanpa adanya janji-janji yang telah

disepakati tidak akan lahir perjanjian. Perjanjian harus dilaksanakan oleh para pihak

sebagaimana janji-janji yang diberikan oleh para pihak.

4. Asas pacta tertiis nec nocent nec prosunt, asas ini mengandung makna bahwa suatu

perjanjian internasional hanya memberikan hak serta membebani kewajiban

terhadap para pihak yang terikat pada perjanjian tersebut atau dengan kata lain

suatu perjanjian internasional tidak memberikan hak maupun membebani kewajiban

kepada pihak ketiga, kecuali pihak ketiga itu menyetujuinya.

5. Asas non-retroactive, asas ini menyatakan bahwa suatu kaida hukum pada

umumnya tidak berlaku surut. asas non-retroactive juga merupakan asas yang selalu

terkait dengan asas itikad baik dan asas free consent, yaitu bahwa kesepakatan

mengenai berlaku surut atau tidaknya suatu perjanjian internasional harus

berdasarkan kehendak sukarela yang termanifestasikan dalam perjanjian yang

dimaksud.

VI.2. Ruang Lingkup Teritorial Berlakunya suatu Perjanjian Internasional

2
HUKUM PERJANJIAN INTERNASIONAL BAGIAN 2

Istilah territorial atau wilayah pada dasarnya adalah bagaimana lazimnya pengertian

wilayah menurut hokum internasional yang secara lengkap meliputi wilayah daratan

termasuk tanah di bawah wilayah perairan atau laut dan wilayah ruang udara, dengan batas-

batasnya sesuai dengan hukum internasional serta diakui oleh masyarakat internasional.

Dalam doktrin hukum internasional, terdapat dua pandangan tentang rang lingkup

territorial berlakunya suatu perjanjian internasional. Pandangan pertama yang dianut oleh

Lord Mc Nair menyatakan suatu Negara yang memiliki wilayah-wilayah seberang lautan dan

bahkan juga wilayah jajahan ataupun wilayah yang ditempatkan di bawah perwaliannya, jika

meratifikasi suatu perjanjian internasional, maka perjanjian internasional tersebut harus

berlaku di seluruh macam wilayahnya seperti telah disebutkan diatas. Pandangan kedua

dianut oleh Menteri Luar Negeri Inggris, Mr. Godber, ia menyatakan bahwa suatu perjanjian

internasional yang sudah diratifikasi oleh suatu Negara hanya berlaku di seluruh wilayah

induk dari Negara itu saja.

Pada dasarnya suatu perjanjian internasional berlaku di wilayah para pihak masing-

masing, kecuali dalam dua kemungkinan yaitu :

Pertama, maksud yang sebaliknya tampak dari perjanjian itu sendiri untuk tidak

diberlakukan di dalam seluruh wilayahnya. Meskipun suatu perjanjian internasional tidak

mengatur tentang ruang lingkup territorial berlakunya, kadang-kadang terdapat perjanjian

internasional yang karena isi dan sifatnya ataupun sesuai dengan maksud serta tujuan dari

para pihak yang terikat, perjanjian itu tentu saja tidak berlaku di seluruh wilayah Negara

tetapi hanya berlaku terbatas pada bagian wilayah atau di bagian tertentu dari wilayah Negara

tersebut. Kedua, perjanjian itu sendiri menentukan sebaliknya atau menentukan yang lain.

Jika hal ini secara tegas dinyatakan di dalam salah satu ketentuannya, tentu saja akan jauh

lebih baik. Dengan demikan akan secara jelas diketahui diruang lingkup berlakunya. Apakah

3
HUKUM PERJANJIAN INTERNASIONAL BAGIAN 2

diberlakukan pada sebagian wilayah, atau di wilayah tertentu saja, atau diberlakukan juga di

wilayah perwaliannya ataupun di wilayah seberang lautannya.

VI.3. Pengutamaan Perjanjian Internasional atas Hukum Nasional

Suatu Negara yang telah meratifikasi suatu perjanjian internasional dan juga telah

mengundangkan ke dalah hukum nasionalnya, serta dalam beberapa hal juga telah

menjabarkan atau mentransformasikan ke dalam wilayahnya juga akan berhadapan dengan

hukum atau peraturan perundang-undangan. Dalam hal ini ada beberapa kemungkinan yang

akan dihadapi, yaitu :

Pertama, substansi maupun isi danjiwa dari perjanjian itu sendiri selaras dengan hukum

atau peraturan perundang-undangan nasionalnya yang lain. Dalam hal ini tentulan tidak ada

atau amat sedikit masalah yang muncul berkenaan dengan penerapan perjanjian internasional

it, baik secara internal maupun eksternal. Kedua, setelah perjanjian itu diterapkan oleh

Negara yang bersangkutan, beberapa isi tersebut ternyata bertentangan dengan hukum atau

perundang-undangan nasionalnya. Sehingga Negara akan mengalami suatu dilemma, apakah

akan mengutamakan penerapan perjanjian internaasional itu dengan mengesampingkan

hukum atau perundang-undangannya atau sebaliknya.

Demi memelihara dan mempertahankan ketertiban masyarakat internasional, dan demi

mempertahankan nilai-nilai dan tujuan luhur dari perjanjian-perjanjian internasional serta

juga supaya Negara-negara tidak mudah menjadikan hukum nasionalnya sebagai alasan untuk

mengesampingkan suautu perjanjian internasional, oleh Komisi Hukum Internasional

maupun Negara-negara dalam Konvensi Wina tentang Hukum Perjanjian Internasional

disepakatilah supaya hukum nasional tidak dapat dijadikan alasan pembenar atas pelanggaran

ataupun kegagalannya dalam melaksanakan ketentuan perjanjian internasional.

4
HUKUM PERJANJIAN INTERNASIONAL BAGIAN 2

Dalam prakteknya, penyelesaian masalah-masalah yang berkenaan dengan pelanggaran

atas perjanjian internasional yang terjadi karena alasan hukum atau kepentingan

internasional, pada umumnya tidak jauh berbeda dengan penyelesaian-penyelesaian sengketa

internasional pada umumnya, yakni melalui penyelesaian secara damai baik dengan

perundingan secara langsung ataupun dengan peranan pihak ketiga, atau dengan melalui

badan-badan penyelesaian sengketa.

VI.4. Perjanjian Internasional dan Pihak Ketiga

Sesuai dengan asas pacta tertiis nec nocent nec present, suatu perjanjian internasional

hanyalah memberikan hak dan membebani kewajiban kepada pihak-pihak yang terikat pada

perjanjian tersebut. Pihak lain atau pihak ketiga yang tidak berhak menerima hak maupun

tidak memikul kewajiban apapun dari perjanjian itu sebab dia tidak ikut dalam proses

pembuatannya ataupun tidak ikut sebagai pihak/peserta dalam perjanjian itu. Terdapat tiga

macam pembebanan kewajiban atau pemberian hak yang bersumber dari suatu perjanjian

pihak ketiga, yaitu :

Pertama, pembebanan kewajiban dan/atau pemberian hak yang sifatnya timbal balik,

artinya hak yang diberikan disertai dengan kewajiban yang harus dilaksanakan oleh pihak

ketiga yang bersangkutan. Kedua, hanya pemberian hak saja tanpa disertai dengan

pembebanan atau pelaksanaan kewajiban. Ketiga, hanya berupa pembebanan kewajiban tanpa

diimbangi dengan pemberian hak.

VI. 5. Penarikan Kembali Kewajiban ataupun Hak yang Telah Diberikan Kepada Negara

Ketiga

Penarikan kembali ataupun pengubahan atas kewajiban yang dibebankan ataupun atas

hak yang diberikan kepada pihak ketiga, secara tegas diperkenankan tetapi hal itu hanya bisa

5
HUKUM PERJANJIAN INTERNASIONAL BAGIAN 2

dilakukan asalkan ada persetujuan dari Negara-negara peserta dalam perjanjian pada satu

pihak dan Negara ketiga yang dibebani kewajiban pada lain pihak. Adapun klasifikasi

perjanjian internasional dalam kaitannya dengan pembebanan kewajiban ataupunn pemberian

hak kepada Negara ketiga, yaitu :

1. Perjanjian-perjanjian internasional khusus atau perjanjian internasional tertutup

yang substansinya hanya melahirkan hak dan kewajiban kepada para pihak yang

terikat pada perjanjian itu. Sesuai dengan substansi dan sifatnya, perjanjian ini

khusus hanya melahirkan hak dan kewajiban kepada para pihak. Pembebanan

kewajiban ataupun pemberian hak kepada pihak ketiga secara tegas dinyatakan di

dalam salah satu ketentuan perjanjian itu sendiri. Ini menunjukkan bahwa para

pihak yang terikat pada perjanjian tersebut secara sadar memang bermaksud

memberikan hak ataupun membebani kewajiban kepada Negara ketiga.

2. Perjanjian internasional khusus atau perjanjian internasional yang ditinjau dari

pihak yang semula terikat sebenarnya hanya beberapa pihak saja, tetapi

mengandung substansi hukum yang bersifat universal dan mengandung sifat Jus

Cogens.

3. Perjanjian internasional yang membebani kewajiban atau memberikan hak kepada

Negara ketiga, dimana kewajiban atau hak itu memang sudah ada sebelumnya dan

perjanjian itu sendiri mengakui eksistensi kewajiban dan hak itu.

4. Perjanjian-perjanjian internasional antara beberapa Negara saja tetapi yang

substansinya berkenaan dengan masala yang relative baru yang mengatur suatu

obyek yang merupakan masalah bagi seluruh Negara bahkan seluruh umat manusia.

5. Perjanjian internasional umum atau global atau universal yang memberikan hak

atau membebani kewajiban kepada pihak ketiga yang substansinya mengandung

kaidah hukum yang tergolong Jus Cogens.

6
HUKUM PERJANJIAN INTERNASIONAL BAGIAN 2

VI.6. Perjanjian Internasional yang Mengikat Pihak Ketiga melalui Hukum Kebiasaan

Internasional

Pada sisi lain ada Perjanjian perjanjian internasional yang isinya sebagian besar

merupakan formulasi atau perumusan kembali dari kaidah-kaidah hukum kebiasaan

internasional di samping sebagian lagi merupakan penambahan unsur-unsur baru yang belum

atau tidak ada sebelumnya ataupun unsur-unsur yang baru tumbuh dan mulai berkembang.

Konsiderans terakhir yang tercantum dalam preambule konvensi Wina 1969 masih tetap

mengakui peranan hukum kebiasaan internasional dalam mengatur hal-hal yang belum diatur

di dalam konvensi, meskipun substansi hukum kebiasaan itu sendiri sudah ditampung dalam

konvensi Jika sesuatu kaidah hukum kebiasaan internasional kemudian diformulasikan dalam

bentuk hukum tertulis misalnya berupa perjanjian internasional. Keberadaannya sebagai

hukum kebiasaan internasional masih tetap eksis. Negara-negara ketiga memang tidak terikat

pada perjanjian internasional nya tetapi terikat pada hukum kebiasaan internasional itu yang

memang sudah ada jauh sebelumnya

VI.7. Penerapan Sementara suatu Perjanjian Internasional

Menurut pasal 25 ayat 1 dan 2 Konvensi dengan judul profesional application of Treaty

suatu perjanjian internasional secara keseluruhan atau sebagian dari perjanjian itu dapat

diterapkan sementara waktu sambil menunggu saat mulai berlakunya dalam hal ini perlu

dipahami terlebih dahulu bahwa yang dapat diterapkan untuk sementara waktu tersebut

adalah: Pertama, perjanjian itu sendiri baik secara keseluruhan atau hanya atas sebagian dari

isi perjanjian itu. Kedua, penerapan sementara tersebut dapat merupakan kesepakatan dari

seluruh subjek hukum atau negara-negara yang ikut serta dalam negosiasi yang menghasilkan

perjanjian itu, ataupun kesepakatan dari beberapa atau sebagian saja dari semua negara yang

melakukan negosiasi. Ketiga, penerapan sementara itu dilakukan sebelum perjanjian itu

7
HUKUM PERJANJIAN INTERNASIONAL BAGIAN 2

sendiri mulai berlaku atau dengan kata lain, sambil menunggu saat mulai berlakunya

perjanjian tersebut. Keempat, walaupun tidak secara eksplisit dinyatakan dalam pasal 25 ini,

pemberlakuan sementara tersebut tidak boleh menghambat atau menghalang-halangi usaha

mencapai maksud dan tujuan perjanjian itu sendiri. Persoalan yang mungkin masih tersisa

adalah, tentang segala konsekuensi hukum yang terjadi atau timbul selama masa penerapan

sementara tersebut. Sayangnya tentu sepenuhnya merupakan tanggung jawab dari negara-

negara yang menerapkan sementara atas perjanjian itu, Yang idealnya harus sudah

diselesaikan secara tuntas sebelum mulanya berlaku perjanjian.

VI.8. Suatu Perjanjian Internasional Tidak Berlaku Surut (Non-retroactivity of a treaty)

Tidak berlaku surutnya suatu perjanjian internasional merupakan manifestasi dari

prinsip hukum pada umumnya yang melarang suatu peraturan hukum diberlakukan surut

tetapi dengan mengakui adanya beberapa pengecualian. larangan untuk memberlakukan

surut suatu peraturan hukum, Termasuk suatu perjanjian internasional bertujuan untuk

memberikan kepastian hukum bagi para subjek hukum pada umumnya pihak-pihak yang

terikat pada peraturan hukum itu sendiri pada khususnya. Akan tetapi, larangan

Memberlakukan surut suatu peraturan hukum ini tidaklah bersifat absolut. Jika suatu

peraturan hukum, misalnya suatu peraturan perundang-undangan dalam kerangka sistem

hukum nasional hendak diberlakukan surut, hal itu masih dimungkinkan, tetapi dengan

syarat, harus menguntungkan para pihak yang terikat pada peraturan perundang-undangan itu

sendiri, atau setidak-tidaknya tidak menimbulkan kerugian bagi para pihak yang terikat pada

peraturan perundang-undangan itu sendiri.

Dalam kaitannya dengan perjanjian internasional, suatu perjanjian internasional dapat

dinyatakan berlaku surut jika memang tampak dari maksud yang tersimpul dari perjanjian itu

sendiri atau ditentukan sebaliknya. Jika memang para pihak yang terlibat dalam

8
HUKUM PERJANJIAN INTERNASIONAL BAGIAN 2

perundingannya sepakat bahwa perjanjian tersebut diberlakukan surut, hal ini tentu dapat

dibenarkan, terutama untuk perjanjian-perjanjian internasional yang bersiat khusus atau

tertutup. Suatu perjanjian multilateral, yang mensyaratkan mulai berlakunya pada suatu

waktu tertentu di kemudian hari setelah terpenuhi jumlah tertentu Negara yang meratifikasi,

tentu saja perjanjian semacam ini dengan sendirinya tidak berlaku surut.

9
HUKUM PERJANJIAN INTERNASIONAL BAGIAN 2

BAB VII

PENAFSIRAN ATAS PERJANJIAN INTERNASIONAL

VII.1. Pendahuluan

Penafsiran suatu peraturan hukum memegang peranan penting dalam ilmu hukum oleh

karena itu penafsiran inilah makna yang terkandung di dalamnya maupun maksud dan

tujuannya akan dapat diketahui. Menafsirkan atau menginterpretasikan suatu peraturan

hukum pada hakekatnya adalah usaha untuk memperjelas substansi peraturan hukum itu

sendiri, dalam rangka menemukan makna ataupun maksud dan tujuannya.

Kesamaan hasil penafsiran atas suatu peraturan hukum, tentulah akan dapat mengarah

pada kesamaan dalam pelaksanaannya dan tentu juga akan memudahkan dalam

mewujudkan apa yang menjadi tujuannya. Sebaliknya, perbedaan bahkan pertentangan

antara hasil penafsiran dari dua orang atau lebih akan menimbulkan perbedaan bahkan

pertentangan dalam pelaksanaannya, yang pada ujungnya akan dapat berkembang menjadi

perkara atau sengketa.

VII.2. Mengapa Suatu Peraturan Hukum perlu Ditafsrikan?

Suatu peraturan hukum terutama peraturan hukum yang berbentuk tertulis ataupun yang

tertulis atau tersurat berupa teks atau naskah Tidak selamanya mencerminkan apa yang

tersirat di dalamnya. Hukum tertulis pada umumnya adalah merupakan abstraksi dari

berbagai macam fakta perilaku anggota masyarakat, ataupun keadaan yang sejenis. Hukum

tertulis sebagai abstraksinya diusahakan untuk mampu menjangkau semua fakta, perilaku

ataupun keadaan yang sejenis yang ada atau terjadi pada waktu itu ataupun diperkirakan akan

terjadi pada masa-masa yang akan datang.

10
HUKUM PERJANJIAN INTERNASIONAL BAGIAN 2

Hukum memiliki suatu tujuan, hukum itu dibuat dan diberlakukan adalah demi mencapai

atau mewujudkan suatu tujuan. Untuk dapat menemukan atau mengetahui tujuan yang tepat

dari suatu peraturan hukum, maka haruslah ditemukan maknanya terlebih dahulu. Untuk

menemukan makna yang terkandung dalam suatu peraturan hukum dapat dilakukan melalui

penafsiran. Jadi, penafsiran atas peraturan hukum itu sendiri pada hakekatnya adalah usaha

untuk menemukan makna yang tepat sehingga diharapkan penerapannya dapat dilakukan

secara tepat sehingga tujuannya yang tepat akan dapat diwujudkan.

VII.3. Berbagai Metode Penafsiran

Terkadang peraturan hukum itu sendiri secara tegas dan jelas memberikan arti tersendiri atau

suatu istilah ataupun anak kalimat atau suatu frasa yang ditemukan didalamnya. penegasan

ini tampak sebagai maksud dari pembuat peraturan hukum itu sendiri tentang pengertian dari

suatu kata anak kalimat ataupun prasasti yang ditemukan di dalamnya. tentu saja karena

secara tegas dan jelas tercantum sebagai salah satu ketentuan dari peraturan hukum itu sendiri

maka ketentuan semacam ini sifatnya mengikat. dengan penegasan yang secara otentik

ditentukan di dalam peraturan hukum tersebut maka Siapapun yang membaca dan

menemukan kata istilah atau pun Frasa tersebut, tidak boleh mengartikan lain Atau au

berbeda dengan apa yang sudah secara tegas dinyatakan di dalam peraturan hukum itu

sendiri. inilah yang disebut metode penafsiran otentik atau penafsiran otoritatif.

Selain itu, Hukum juga dapat dilihat melalui proses pembentukannya atau sejarah lahirnya

peraturan hukum itu. misalnya makna ataupun maksud dan tujuan suatu ketentuan undang-

undang, harus dicari pada proses pembentukannya, mulai dari Rancangan naskah akademik

nya, proses penyusunan rancangan undang-undang nya proses pembahasan RUU nya di

dalam sidang-sidang DPR sampai dengan disepakati untuk diundangkan sebagai undang-

11
HUKUM PERJANJIAN INTERNASIONAL BAGIAN 2

undang. inilah yang disebut dengan metode penafsiran sejarah atau historis yang bisa berupa

sejarah perundang-undangan dan atau sejarah hukum.

terkadang sejarah dari peraturan hukum itu sendiri sudah tidak ada relevansinya lagi untuk

diperhatikan dan dipertimbangkan mengingat keadaan masyarakat pada masa ini sudah

sangat berbeda dengan masa ketika peraturan hukum itu dibuat. mungkin akan lebih baik jika

untuk menemukan makna ataupun maksud dan tujuan yang tepat dari suatu peraturan hukum

haruslah dilihat dalam hubungannya dengan realitas sosial masyarakat itu sendiri. Dalam

ilmu hukum, Inilah yang disebut dengan metode penafsiran sosiologis. Sarana lain untuk

menemukan makna dan tujuan dari suatu peraturan hukum adalah dengan melakukan suatu

perluasan setelah membandingkan antara fakta, perilaku atau keadaan yang diatur dalam

peraturan hukum tersebut dengan fakta, perilaku, atau keadaan yang tidak diatur dicakup di

dalamnya namun keduanya mengandung kesamaan kesamaan. Hal ini disebut dengan metode

penafsiran analogi. Sebaliknya ada peraturan hukum yang tidak bisa di perluas jangkauan

berlakunya, tetapi justru dipersempit ketimbang apa yang secara tegas dinyatakan di dalam

peraturan hukum itu. Jadi, walaupun sebenarnya peraturan hukum itu memang dimaksudkan

untuk menjangkau Semua fakta, perilaku, atau keadaan, tetapi yang sebenarnya dimaksudkan

tidaklah seluas itu melainkan lebih sempit atau terbatas dari bunyi naskah atau teks peraturan

hukum itu. hal ini disebut dengan penafsiran restriktif. Dalam beberapa hal tertentu, makna

maupun maksud dan tujuan suatu peraturan hukum Justru harus dicari dan ditemukan dengan

melihat pada hubungan antara Suatu dan lainnya, baik hubungan yang secara internal didalam

peraturan hukum tersebut yang dihubung hubungkan antara satu dengan lainnya ataupun

dengan menghubungkan peraturan hukum yang satu dengan peraturan hukum yang lain baik

secara horizontal maupun vertikal baik hubungan yang secara internal didalam peraturan

hukum tersebut yang dihubungkan antara satu dengan lainnya ataupun dengan

menghubungkan peraturan hukum yang satu dengan peraturan hukum yang lain baik secara

12
HUKUM PERJANJIAN INTERNASIONAL BAGIAN 2

horizontal maupun vertikal. Hal ini ini disebut dengan metode penafsiran sistematis. Adapun

cara lain untuk menemukan makna maupun tujuan suatu peraturan hukum yakni dengan

melihat apa yang menjadi tujuannya hal ini disebut dengan penafsiran teleologis. Namun,

dalam perkembangan akhir-akhir ini para sarjana memunculkan lagi berbagai metode

penafsiran lain yang lebih aktual atas peraturan hukum, seperti penafsiran futurologist,

penafsiran antisipatif, penafsiran interdisiplin, transdisiplin, multidisiplin, dan lain

sebagainya.

VII. 4. Penafsiran atas Perjanjian Internasional

Dalam doktrin muncul tiga aliran besar dalam penafsiran atas suatu perjanjian internasional,

yakni aliran yang menekankan pada naskap perjanjian (textual school), aliran yang

menekankan pada maksud dari para pihak (intention of the parties school), dan aliran yang

menekankan pada maksud dan tujuan dari perjanjian (teological school). Aliran yang

pertama menyatakan teks atau naskah perjanjian itu sendirilah yang secara tegas merupakan

wujud dari maksud atau kehendak para pihak. Menurut aliran yang kedua, makna yang

terkandung dalam suatu perjanjian internasional hendaknya dicari pada maksud dari pihak

ketika mereka merundingkan perjanjian itu. Sedangkan aliran yang ketiga, menitik-beratkan

pada tujuan perjanjian. Karena pengaruh dari berbagai factor, apa yang menjadi tujuannya

belum tentu sama seperti ketika dalam proses perundingan ataupun belum tentu sama seperti

yang tertuang di dalam naskah perjanjian. Semua aliran ini pada dasarnya bisa saling

menutupi atau melengkapi kelemahan dan kekurangan masinh-masing. Oleh karena itu tidak

perlu dipertentangkan satu sama lainnya.

Dalam konvensi Wina 1969 penafsiran tentang perjanjian internasional diatur dalam tiga

pasal yakni Pasal 31,32, dan 33. Pasal 31 mengatur tentang peraturan umum tentang

13
HUKUM PERJANJIAN INTERNASIONAL BAGIAN 2

penafsiran, pasal 31 tentang sarana pelengkap dalam melalkukan penafsiran, pasal 33 tentang

penafsiran atas perjanjian internasional yang disahkan dalam dua bahasa atau lebih.

14
HUKUM PERJANJIAN INTERNASIONAL BAGIAN 2

BAB VIII

AMANDEMEN DAN MODIFIKASI ATAS PERJANJIAN INTERNASIONAL

VIII. 1. Pendahuluan.

Suatu perjanjian internasional yang sudah mulai berlaku dan bahkan sudah

dilaksanakan, mungkin dalam beberapa hal sudah tidak sesuai lagi, dan oleh karena itu perlu

diubah. Siapa yang mengubah? Sudah tentu adalah para pihak yang terikat pada perjanjian

tersebut, sebab merekalah yang paling berkepentingan. Tentang bagaimana cara

mengubahnya haruslah dengan mengikuti prosedur tertentu biasanya ditentukan tersendiri di

dalam salah satu atau beberapa ketentuan perjanjian itu.

VIII. 2. Amandemen atas Perjanjian Internasional

Amandemen atas perjanjian internasional dapat diartikan sebagai tindakan formal

untuk mengubah ketentuan suatu perjanjian internasional yang menyangkut kepentingan

semua pihak dalam Perjanjian perjanjian bilateral ataupun multilateral terbatas atau tertutup

ataupun perjanjian multilateral yang terbuka Tetapi hanya dalam ruang lingkup yang terbatas

maka para pihak itu adalah negara-negara yang terikat di dalam perjanjian tersebut. Dalam

konvensi Wina 1969 semua negara ini, Yakni negara-negara yang sudah terikat ataupun

belum terikat Tetapi semuanya ikut serta dalam proses perundingan atau perumusan naskah

perjanjian yang disebut dengan negotiating states. Mereka itulah ah yang harus dilibatkan

atau diikutsertakan dalam proses pengamandemenan ketentuan perjanjian tersebut. dalam

perjanjian internasional semacam ini, adalah amat tidak bijaksana jika pengamandemenan

hanya dilakukan oleh sejumlah kecil negara-negara yang sudah terikat pada perjanjian itu

saja.

VIII. 3. Amandemen atas Perjajnian Internasional menurut Konvensi Wina 1969

15
HUKUM PERJANJIAN INTERNASIONAL BAGIAN 2

Dalam konvensi Wina 1969 tentang pengamandemenan atas perjanjian internasional,

diatur dalam pasal 39 dan 40. pasal 39 mengatur tentang ketentuan umum berkenaan dengan

amandemen, sedangkan pasal 40 khusus tentang amandemen atas perjanjian internasional

multilateral menurut pasal 39, suatu perjanjian internasional dapat diamandemen berdasarkan

persetujuan semua pihak yang terikat pada perjanjian tersebut.

VIII. 3. 1. Amandemen atas Perjanjian Internasional Bilateral

Oleh karena dalam perjanjian internasional bilateral hanya terlibat dua pihak, tentulah

amandemen atas ketentuannya jauh lebih mudah dibandingkan dengan perjanjian

internasional multilateral jika kedua pihak sudah dapat sepakat untuk mengamandemen dan

juga sepakat atas ketentuan hasil amandemen nya, maka ketentuan hasil amandemen itu

kemudian dituangkan dalam bentuk perjanjian. Selanjutnya, ketentuan perjanjian hasil

amandemen itu melalui prosedur yang disepakati oleh kedua pihak akan berlaku untuk

mengikat sebagai hukum positif terhadap kedua pihak. Dengan mulai berlaku atau

mengikatnya ketentuan perjanjian hasil amandemen maka ketentuan dari perjanjian yang

lama karena sudah diamandemen, tidak berlaku lagi terhitung dari saat mulai berlakunya

ketentuan hasil amandemen itu.

VIII. 3. 2. Amandemen atas Perjanjian Internasional Multilateral

Tentang pengamandemenan atas perjanjian internasional multilateral diatur dalam pasal

40 ayat 1, 2, 3, 4 dan 5. Apa ditentukan dalam pasal 40 ayat 1-5 masih perlu dibahas lebih

mendalam supaya substansinya lebih jelas. pasal ini khususnya ayat 2 sampai 5, pada

dasarnya mengatur tentang prosedur atau tata cara melakukan amandemen atas suatu

perjanjian internasional multilateral sepanjang perjanjian itu sendiri ataupun para pihak tidak

mengatur tersendiri. Bahwa ketentuan suatu perjanjian internasional perlu diamandemen

pertama-tama tentulah harus berdasarkan atas adanya inisiatif dari salah satu atau lebih

16
HUKUM PERJANJIAN INTERNASIONAL BAGIAN 2

negara pesertanya. Ayat 2 Menentukan bahwa prakarsa untuk mengamandemen suatu

perjanjian internasional multilateral Berdasarkan kesepakatan semua negara peserta dalam

perjanjian itu harus disampaikan kepada semua negara yang telah menyatakan persetujuannya

untuk terikat pada perjanjian tersebut. Dalam ayat 3 ditegaskan bahwa setiap negara yang

berhak untuk menjadi pihak atau peserta pada perjanjian itu juga berhak untuk menjadi pihak

atau peserta pada perjanjian hasil amandemen. Karena isi dan sifat perjanjian itu sendiri

sebagai perjanjian terbuka , maka kepada negara-negara itu diberikan hak untuk menjadi

pihak atau peserta pada perjanjian hasil amandemen, yang sudah tentu harus dilakukan

dengan cara yang sama dengan menyatakan persetujuan terikat sebagaimana ditentukan

secara tegas di dalam perjanjian itu sendiri, jika perjanjian itu memang mengaturnya.

Sedangkan ayat 4 menegaskan tentang konsekuensi hukum atas tindak suatu negara peserta

yang tidak menyatakan persetujuan terikat pada naskah atau ketentuan perjanjian hasil

amandemen. Ayat 5 menegaskan tentang negara yang menjadi pihak atau peserta atau negara

yang menyatakan persetujuan untuk terikat setelah perjanjian hasil amandemen itu mulai

berlaku.

Ayat 2 sampai 5 Ini Membutuhkan pembahasan secara lebih mendalam, sebab dalam

praktek masalahnya tentulah tidak sederhana. Apabila perjanjian itu merupakan perjanjian

multilateral tertutup atau perjanjian yang melahirkan kaidah hukum yang hanya mengikat

negara-negara yang menjadi pihak atau peserta itu saja, maka usul untuk mengamandemen

haruslah disampaikan kepada negara-negara peserta nya sebab merekalah yang

berkepentingan untuk memutuskan Apakah usul untuk mengamandemen itu disetujui ataukah

tidak. Negara-negara peserta itulah yang nantinya sesuai dengan prosedur dan pengambilan

suara yang akan disepakati oleh mereka akan memutuskan Apakah setuju atau tidak

dilakukan amandemen atau kah tidak. Jika mereka tidak menyetujui dilakukan amandemen,

17
HUKUM PERJANJIAN INTERNASIONAL BAGIAN 2

jadi usul itu ditolak maka tentulah tidak perlu dilanjutkan dengan perundingan untuk

mengamandemen.

VIII. 4. Bentuk Hukum dari Perjanjian Internasional Hasil Amandemen

Jika telah berhasil disepakati naskah atau ketentuan perjanjian hasil amandemen maka

masalah yang perlu ditegaskan lebih dahulu adalah dalam bentuk hukum Apakah naskah

perjanjian hasil amandemen itu harus ditetapkan. Dalam bentuk hukum apapun ketentuan

perjanjian hasil amandemen itu ditetapkan, satu hal yang penting untuk dipahami adalah

bentuk dan substansi dari perjanjian yang lama memiliki derajat sama dengan bentuk dan

substansi dari perjanjian hasil amandemen. Ada perjanjian-perjanjian internasional yang

naskah amandemennya ditempatkan dalam bentuk hukum yang sama dengan perjanjian yang

lama. Jelasnya, sebuah Konvensi yang Kemudian beberapa ketentuan yang diamandemen dan

hasil amandemen tersebut dituangkan juga dalam sebuah Konvensi sehingga akan terdapat

lebih dari satu konferensi yakni konferensi yang semula dan ada konvensi-konvensi hasil

amandemen. Semakin sering ketentuan Konvensi itu diamandemen, baik ketentuan yang

sebelumnya sudah pernah diamandemen maupun ketentuan-ketentuan yang lain maka akan

semakin banyak terdapat Konvensi nya.

VIII. 5. Pensyaratan atas Ketentuan Perjanjian Internasional Hasil Amandemen

Masalah lain yang juga perlu mendapat perhatian adalah tentang persyaratan. Dapatkah

negara-negara yang hendak menyatakan persetujuan atas terikat mengajukan persyaratan atas

ketentuan perjanjian hasil amandemen itu? Mengingat makna dari reservasi atau persyaratan

itu adalah sebagai perwujudan dari kedaulatan negara menjadi sama dengan makna

persetujuan untuk terikat pada perjanjian serta adanya kemungkinan ketentuan perjanjian

hasil amandemen itu pun tidak sepenuhnya dapat diterima maka negara-negara itu pun dapat

dibenarkan untuk mengajukan persyaratan. Semakin sering suatu perjanjian internasional

18
HUKUM PERJANJIAN INTERNASIONAL BAGIAN 2

diamandemen maka semakin besar pula kemungkinan terbagi-bagi nya negara-negara yang

terikat pada perjanjian tersebut. Hal ini terjadi karena negara-negara yang memiliki

kebebasan penuh sebagai manifestasi dari kedaulatan nya untuk memilih dan menentukan

sendiri kepada ketentuan yang manakah negara itu hendak mengikatkan diri.

VIII.6. Modifikasi atas Ketentuan suatu Perjanjian Internasional

Dalam pasal 41 Konvensi Wina 1969 diatur tentang modifikasi atas perjanjian

internasional multilateral antara pihak-pihak tertentu saja. berbeda dengan amandemen

modifikasi atas ketentuan suatu perjanjian internasional, cara melakukannya ternyata tidak

sesuai amandemen dan karena itu prosedur nya pun lebih mudah. modifikasi sudah dapat

dilakukan sekurang-kurangnya antara dua pihak yang terikat pada perjanjian, tanpa perlu

melibatkan pihak-pihak lainnya. Sesuai dengan ketentuan ayat 1 butir B yakni jika

pengaturan tentang modifikasi tidak diatur secara khusus di dalam perjanjian Itu sendiri,

maka modifikasi dapat dilakukan apabila terpenuhi syarat, pertama, tidak mempengaruhi

pihak-pihak atau negara-negara peserta yang lainnya dalam menikmati hak-haknya ataupun

pelaksanaan kewajiban kewajibannya berdasarkan pada perjanjian itu; kedua, ketentuan ke

efektif perang tersebut. Tegasnya modifikasi itu tidak boleh mengakibatkan terpengaruhi nya

hak-hak yang dinikmati negara-negara peserta lain yang tidak turut dalam modifikasi tersebut

demikian juga tidak boleh sampai mengganggu pelaksanaan kewajibannya. Jadi masing-

masing dapat dilaksanakan secara bersamaan tanpa saling mengganggu ataupun menghambat.

VIII.7. Amandemen atas Perjanjian Internasional yang Membebani Kewajiban dan/atau

Memberikan Hak kepada Negara Ketiga

Dalam kenyataannya, ada Perjanjian perjanjian internasional baik bilateral maupun

multilateral yang membebani kewajiban atau memberikan hak kepada negara ketiga baik

negara ketiga yaitu berupa 1 Negara atau lebih, sebagaimana sudah diatur dalam bagian IV

19
HUKUM PERJANJIAN INTERNASIONAL BAGIAN 2

Seksi 4 Pasal 34 sampai 38 Konvensi Wina 1969. Untuk menjawab permasalahan ini secara

lebih mendalam baiknya ditinjau kembali tentang Perjanjian perjanjian internasional yang

membebani kewajiban atau memberikan hak kepada negara ketiga sebagaimana ditentukan

dalam pasal 34 sampai dengan 38 Konvensi. Di dalam pasal 35 yang mengatur tentang

pembebanan kewajiban kepada negara ketiga, pertama-tama yang penting untuk diperhatikan

adalah para pihak yang terikat pada perjanjian itu memang bermaksud membebani kewajiban

kepada negara ketiga dan yang kedua adalah negara ketiga itu sendiri menyetujuinya secara

tegas yang dinyatakan dalam bentuk tertulis. Demikian juga tentang perjanjian internasional

yang memberikan hak kepada negara ketiga seperti diatur dalam pasal 36 para pihak yang

terikat pada perjanjian memang bermaksud memberikan hak itu kepada negara ketiga atau

sekelompok negara ketiga ataupun semua negara ketiga dan negara ketiga itu menyetujuinya,

baik persetujuannya dikemukakan secara tegas ataupun secara diam-diam. Jika dilihat dan

dibaca pasal 37 ayat 1 dan 2 konvensi, ternyata dibedakan antara penarikan kembali atau

pengubah kewajiban pada satu pihak dan hak pada lain pihak jika yang ditarik kembali atau

diubah adalah kewajiban negara ketiga maka hal ini hanya bisa dilakukan dengan persetujuan

dari negara ketiga yang bersangkutan. Sedangkan penarikan kembali atau pengubahan hak

secara tegas dinyatakan dalam ayat 2 bahwa hal itu tidak dibenarkan tanpa persetujuan dari

negara ketiga yang bersangkutan.

VIII. 8. Amandemen atau Modifikasi atas Perjanjian Internasional melalui Praktek-Praktek

yang Terjadi Sesudah atau selama Pelaksanaan Perjanjian.

Terkadang suatu perjanjian internasional yang telah berlaku dalam jangka waktu yang

demikian lama, dalam pelaksanaannya lama-kelamaan ternyata oleh para pihak baik secara

keseluruhan ataupun antara beberapa negara pesertanya saja tidak sepenuhnya dilaksanakan

sebagaimana isi dan jiwa dari ketentuan perjanjian itu sendiri tetapi dalam beberapa hal justru

dikesampingkan atau diubah melalui praktek-praktek pelaksanaan yang berbeda bahkan

20
HUKUM PERJANJIAN INTERNASIONAL BAGIAN 2

bertentangan dengan isi dari ketentuan perjanjian tersebut. Penyimpangan ini ternyata

dibiarkan berlangsung terus-menerus dalam jangka waktu yang cukup lama sehingga yang

tampak sebagai perjanjian justru adalah perilaku atau praktik yang menyimpang itu. Dalam

kenyataannya, praktek-praktek itu sendiri amat bervariasi antara perjanjian yang satu dengan

lainnya. Tegasnya, sangat bervariasi mulai dari. ekstrim yang satu yakni, praktek atau

perilaku yang mengubah hanya sebagian kecil dan masih merupakan pengubahan yang ringan

hingga. Ekstrem yang lain yakni berupa praktek atau perilaku yang berupa pengubahan yang

mencakup sebagian besar dari ketentuan perjanjian itu. Hal ini memang Sesuai dengan pasal

31 ayat 3 butir C Konvensi Wina 1969 yang mengatur tentang penafsiran suatu perjanjian

internasional dengan memperhatikan konteks dari pelaksanaannya yang menyatakan bahwa

dalam melakukan penafsiran atas ketentuan suatu perjanjian internasional harus perlu

diperhatikan konteksnya yang antara lain adalah praktek-praktek yang sesudahnya dalam

pelaksanaan perjanjian internasional itu sendiri dan dari praktek-praktek tersebut dapat

disimpulkan atau ditafsirkan sebagai adanya suatu persetujuan dari para pihak.

VIII. 9. Amandemen atas suatu Perjanjian Internasional dalam Hubungannya dengan

Peristiwa Pengganitan Negara (Succension of States)

Persoalan lain yang bisa muncul dalam pengamandemenan suatu perjanjian

internasional adalah jika salah satu negara pesertanya mengalami peristiwa penggantian

negara. Misalnya, salah satu negara peserta itu pecah menjadi beberapa negara atau 1 bagian

wilayahnya memisahkan diri menjadi sebuah negara merdeka dan berbagai macam peristiwa

penggantian negara yang lainnya yang ternyata berpengaruh terhadap kedudukan negara yang

lama terhadap perjanjian internasional yang akan diamandemen itu jika suatu negara pecah

menjadi beberapa negara yang lebih kecil dan eksistensi dari negara yang lama menjadi

berakhir ataupun jika masih tetap namun tidak seperti semula, misalnya dalam kasus

pecahnya uni soviet menjadi beberapa negara atau dalam kasus yugoslavia, maka menjadi

21
HUKUM PERJANJIAN INTERNASIONAL BAGIAN 2

pertanyaan negara manakah yang menggantikan kedudukan negara yang lama dalam

hubungannya dengan suatu perjanjian internasional. Jika negara-negara baru itu sudah dapat

memastikan eksistensinya masing-masing berkenaan dengan perjanjian perjanjian

internasional dimana negara yang lama menjadi pihak atau peserta, maka negara pengganti

itulah yang harus dimintakan persetujuannya dan diundang sebagai pihak atau peserta dalam

proses perundingan untuk mengamandemen perjanjian itu. Sebaliknya jika berlangsung

dengan cara kekerasan dan hubungan antara negara-negara baru itu tidak harmonis maka

persoalannya pun menjadi lebih rumit. Mungkin negara-negara baru itu

saling memperebutkan karena masing-masing merasa dirinya berhak karena akan mendapat

banyak manfaat dari perjanjian itu ataupun sebaliknya mungkin juga saling menghindar

karena perjanjian itu merupakan beban yang memberatkan mereka. Upaya terbaik untuk

mengatasi kesulitan yang ditimbulkan dalam mengamandemen atau memodifikasi suatu

perjanjian internasional sebagai akibat dari terjadinya peristiwa penggantian negara ataupun

pemerintah yang dialami oleh salah satu negara peserta perjanjian adalah menunggu

selesainya pengaturan oleh negara atau negara-negara yang bersangkutan atas masalah

internal maupun eksternal yang timbul oleh peristiwa penggantian negara yang sedang

dihadapinya.

VIII. 10. Amandemen suatu Perjanjian Internasional yang Diprakarsai oleh Organisasi

Internasional

Ditinjau dari segi pemrakarsa lahirnya suatu perjanjian internasional dibedakan antara

Perjanjian perjanjian internasional yang diprakarsai oleh negara-negara dan perjanjian-

perjanjian internasional yang diprakarsai oleh organisasi organisasi internasional. Jika

ketentuan perjanjian itu hendak diamandemen negara peserta yang berinisiatif untuk

melakukan amandemen nya harus mengajukan usul amandemen yaitu kepada organisasi

internasional yang memprakarsai nya atau yang menaunginya, selanjutnya organisasi itu

22
HUKUM PERJANJIAN INTERNASIONAL BAGIAN 2

menyampaikan usul amandemen itu kepada negara-negara yang menjadi pesertanya atau

negara-negara yang berhak ikut serta dalam proses pengambilan keputusan untuk dilakukan

amandemen dan yang juga berhak untuk ikut serta dalam proses perundingan nya dan

selanjutnya negara itu pun berhak untuk menyatakan persetujuannya untuk terikat.

VIII. 11. Amandemen atas Perjanjian Internasional yang Merupakan Piagam Suatu

Organisasi Internasional

Pada sisi lain ada pula perjanjian-perjanjian internasional yang merupakan constituent

instrumen seperti piagam covenant, statuta ataupun konstitusi suatu organisasi

internasional. Pada umumnya piagam setiap organisasi internasional mengatur tersendiri

tentang pengamandemenan nya. dengan sendirinya pula organisasi internasional itu sendiri

akan bertindak secara aktif dalam pengamandemenan ketentuan piagamnya, dengan

melibatkan negara-negara anggotanya. Jika piagam itu membuka kesempatan bagi negara-

negara anggotanya untuk menentukan sendiri tentang ketentuan yang manakah yang akan

diratifikasinya, hal ini tentulah akan mengakibatkan tercerai-berainya keterikatan negara-

negara itu pada piagam tersebut yang tentu saja akan dapat menghambat atau mengganggu

usaha-usaha mencapai maksud dan tujuan piagam yang tidak lain adalah juga tujuan dari

organisasi internasional itu sendiri. Secara umum, amandemen atas ketentuan suatu

perjanjian internasional yang merupakan piagam organisasi internasional melibatkan peranan

cukup dominan dari organisasi internasional itu sendiri maupun negara-negara anggotanya

sebagaimana ditentukan di dalam pasal yang secara khusus mengatur tentang amandemen

tersebut. Namun kebanyakan dibutuhkan persetujuan dari negara-negara anggotanya sesuai

dengan konstitusi nya masing-masing sebab ada kemungkinan bahwa pengamandemenan

tersebut berpengaruh terhadap kepentingan negara-negara anggotanya.

23
HUKUM PERJANJIAN INTERNASIONAL BAGIAN 2

masih banyak lagi model pengaturan tentang amandemen suatu perjanjian

internasional yang merupakan piagam satu organisasi internasional yang diatur sendiri di

dalam salah satu pasal dari piagam yaitu. adanya pengaturan secara tegas ini secara teoritis

memang amat memudahkan untuk melakukan amandemen sebab sudah diatur secara pasti

dalam piagam itu sendiri meskipun dalam prakteknya selalu ada kendala, terutama kendala

politis.

24
HUKUM PERJANJIAN INTERNASIONAL BAGIAN 2

BAB X

PENUNDAAN ATAS PELAKSANAAN SUATU PERJANJIAN INTERNASIONAL

X. 1. Pendahuluan

Suatu perjanjian internasional yang sudah berlaku bahkan sudah diterapkan dengan

segala akibat hukumnya, Ada kemungkinan dipersoalkan keabsahannya, atau ditunda

penerapannya, bahkan diakhiri berlakunya, dengan alasannya masing-masing yang kadang-

kadang antara alasan-alasan untuk keabsahannya penundaan maupun pengaturannya ada yang

sama antara satu dengan lainnya dan ada yang berbeda. Konvensi Wina 1969 mengatur

tentang ketiga hal ini ( ketidak absahan, pengakhiran, dan penundaan suatu perjanjian

internasional) dalam bagian V yang terdiri dari 4 seksi dan ke-4 seksi ini meliputi

31 pasal, yakni, pasal 42 sampai 72. Seksi 1 tentang ketentuan umum yang terdiri dari 4

pasal yakni, 42, 43, 44 dan 45. Suatu perjanjian internasional yang terdiri dari 8 pasal yakni,

pasal 46, 47, 48, 49, 50, 51, 52, dan 53. Seksi 3 tentang penaksiran dan penundaan

pelaksanaan suatu perjanjian internasional yang terdiri dari 11 pasal yakni pasal 54, 55, 56,

57, 58, 59, 60, 61, 62, 63 dan 64. Seksi 4 tentang prosedur yang terdiri dari 8 pasal yaitu pasal

65, 66, 67, 68, 69, 70, 71 dan 72. Secara sepintas, karena demikian banyaknya pasal yang

mengatur tentang ketidak absahan, pengakhiran, dan penundaan berlakunya suatu perjanjian

internasional dapat menimbulkan kesan Betapa mudahnya suatu perjanjian internasional di

klaim sebagai tidak sah diakhiri berlakunya, ataupun ditunda penerapannya. Seolah-olah

semua tenaga, biaya, waktu, dan keahlian yang telah ditumpahkan dalam proses pembuatan

maupun penerapannya akan menjadi mubazir sebab negara atau negara-negara peserta yang

merasa dirugikan akan dengan mudah mengklaim bahwa suatu perjanjian internasional itu

tidak sah dan harus diakhiri berlakunya bahkan harus ditunda penerapannya.

25
HUKUM PERJANJIAN INTERNASIONAL BAGIAN 2

X. 2. Penundaan atas Pelaksanaan Suatu Perjanjian Internasional pada Umumnya

Berbicara tentang penundaan atas pelaksanaan suatu perjanjian internasional terdapat

berbagai masalah yang dapat dikedepankan untuk selanjutnya dibahas satu persatu secara

lebih rinci dan mendalam. namun apapun masalah-masalah yang timbul berkenaan dengan

penundaan atas suatu perjanjian internasional semuanya akan menjadi amat ideal jika para

pihak yang terikat pada perjanjian internasional itu mengkonsultasikannya Dan pada akhirnya

dapat dicapai kesepakatan yang kemudian ditaati dan dilaksanakan sesuai dengan isi

kesepakatan tersebut.

X. 2. 1. Kapankah Suatu Perjanjian Internasional dapat Ditunda Pelaksanaannya?

Ada dua kemungkinan mengenai Kapan dapat dilakukan penundaan atas pelaksanaan

suatu perjanjian internasional. Pertama suatu perjanjian internasional yang belum

dilaksanakan meskipun sudah dapat dipastikan akan terpenuhi syarat untuk mulai berlakunya.

Kedua suatu perjanjian internasional yang sudah berlaku dan dilaksanakan bahkan sudah

menimbulkan akibat-akibat hukum terhadap para pihak juga karena satu dan lain hal

kemudian ditunda pelaksanaannya baik untuk suatu jangka waktu tertentu ataupun suatu

jangka waktu yang tidak ditentukan.

X. 2. 2. Penundaan atas Pelaksanaan Suatu Perjanjian Internasional atas Dasar

Kesepakatan Semua, Sebagian atau Beberapa Pihak Tertentu Saja

Pada dasarnya penundaan atas pelaksanaan suatu perjanjian internasional dapat

dilakukan berdasarkan atas kesepakatan antara semua pihak atau pesertanya. Dalam suatu

perjanjian bilateral penundaan nya dengan mudah dapat dilakukan jika kedua pihak memang

sepakat untuk menunda nya. Demikian juga dalam perjanjian internasional multilateral jika

semua pihak sepakat maka penundaan itu menjadi sah adanya.

26
HUKUM PERJANJIAN INTERNASIONAL BAGIAN 2

X. 2. 3. Penundaan atau Seluruh, Sebagian, atau Hanya atas Beberapa Ketentuan Tertentu

dari Suatu Perjanjian Internasional

Beberapa negara peserta dapat mencapai kesepakatan untuk menunda penundaan itu

berlaku hanya terbatas antara mereka saja sedangkan terhadap negara-negara peserta yang

lainnya perjanjian itu tetap dilaksanakan seperti biasa. Pada lain pihak semua negara peserta

dalam suatu perjanjian internasional juga dapat menunda pelaksanaan perjanjian internasional

tidak atau seluruh ketentuan perjanjian tersebut tetapi hanya atas sebagian ataupun beberapa

ketentuan tertentu saja sedangkan sebagian atau sebagian besar dari ketentuan perjanjian

yang tidak ditunda pelaksanaannya, akan terus dilaksanakan seperti biasa terhadap semua

negara pesertanya. Jadi sebagian atau beberapa ketentuan tertentu dari perjanjian hanya

berlaku terhadap negara-negara itu saja sedangkan negara-negara peserta yang lainnya tetap

menerapkan seluruh ketentuannya.

X. 2. 4. Alasan Penundaan atas Pelaksanaan Suatu Perjanjian Internasional

Faktor penyebab untuk pelaksanaan suatu perjanjian internasional secara objektif dapat

diterima oleh para pihak sehingga mereka sepakat untuk menunda pelaksanaannya.

Terkadang faktor penyebab ini dapat berupa tindakan sepihak oleh salah satu pihak dan pihak

yang lainnya secara sepihak membalasnya dengan cara tidak mau melaksanakan perjanjian

itu. Ataupun bisa jadi ada faktor eksternal yang berpengaruh atas pelaksanaan perjanjian,

misalnya karena terjadi suatu peristiwa di luar kehendak para pihak yang mengakibatkan

pelaksanaan perjanjian itu terganggu sehingga praktis perjanjian itu tidak dapat dilaksanakan.

27
HUKUM PERJANJIAN INTERNASIONAL BAGIAN 2

X. 3. Pengaturannya dalam Konvensi Wina 1969

Dilihat dari subjek-subjek hukum atau para pihak yang terikat pada suatu perjanjian

internasional, menurut pasal 57 suatu perjanjian dapat ditunda berlakunya berdasarkan atas

kesepakatan semua pihak atau berdasarkan atas kepentingan suatu negara atau satu pihak

tertentu saja. Jika perjanjian internasional itu mengatur tersendiri tentang adanya

kemungkinan untuk mendapat sanaan nya, maka penundaan nya harus dilakukan sesuai

dengan ketentuan tentang penundaan tersebut. sebaliknya jika pengaturan semacam itu tidak

ada perjanjian itu juga dapat ditunda pelaksanaannya dengan terlebih dahulu dilakukan

konsultasi antara pihak sampai berhasil dicapai kesepakatan untuk menendangnya.

Menurut pasal 58 ayat 1, dua pihak atau lebih pada suatu perjanjian internasional

multilateral dapat membuat suatu kesepakatan untuk menunda pelaksanaan ketentuan-

ketentuan perjanjian tersebut untuk sementara waktu dan hanya berlaku antara mereka sendiri

apabila kemungkinan untuk melakukan penundaan semacam itu ditentukan di dalam

perjanjian itu sendiri penundaan tersebut tidak dilarang perjanjian itu dan tidak

mempengaruhi pihak-pihak lainnya dalam menikmati hak maupun melaksanakan kewajiban

kewajibannya berdasarkan perjanjian tersebut serta tidak bertentangan dengan maksud dan

tujuan perjanjian itu. Pasal 58 ayat 1 butir b memberikan kesempatan kepada para pihak

mencapai kesepakatan untuk melakukan penundaan tersebut hanya saja harus terpenuhi

syarat yakni perjanjian itu sendiri sama sekali tidak melarangnya.

Di dalam pasal 59 dan 60 diatur tentang penaksiran dan penundaan atas pelaksanaan

suatu perjanjian internasional dengan menggabungkan keduanya yang disebabkan karena

adanya alasan yang sama yang dapat dikemukakan baik untuk mengakhiri maupun menunda

pelaksanaan suatu perjanjian internasional. Pasal 59 ayat 1 mengatur tentang pengairan,

sedangkan pasal 59 ayat 2 mengatur tentang penundaan berlakunya suatu perjanjian

28
HUKUM PERJANJIAN INTERNASIONAL BAGIAN 2

internasional yang disebabkan karena dibuatnya perjanjian baru. Pasal 60 mengatur

tentang akhiran atau penundaan atas pelaksanaan perjanjian internasional yang disebabkan

karena adanya pelanggaran atas ketentuan perjanjian pasal 60 ayat 1 mengatur tentang

pelanggaran atas perjanjian internasional bilateral yang dapat mengakibatkan penundaan atas

pelaksanaannya sedangkan pasal 60 ayat 2 mengatur tentang pelanggaran atas perjanjian

internasional multilateral. Pasal 60 ayat 3 menegaskan tentang apa yang dimaksud dengan

pelanggaran atas materi perjanjian yaitu meliputi penolakan atau penyangkalan atas ketentuan

perjanjian tersebut oleh salah satu pihak dan penolakan itu tidak dibenarkan oleh konvensi

wina 1969 atau pelanggaran oleh salah satu pihak atas ketentuan perjanjian yang sangat

esensial untuk memenuhi maksud dan tujuan perjanjian pasal 60 ayat 4 menegaskan bahwa

ayat-ayat ini tidak dimaksudkan untuk mengesampingkan ketentuan dalam perjanjian yang

mengatur secara tegas tentang penundaan nya sebagai konsekuensi dari adanya pelanggaran

tersebut. Pasal 60 ayat 5 menyatakan bahwa ayat 1-3 dari pasal 60 ini tidak berlaku terhadap

ketentuan-ketentuan perjanjian yang berkenaan dengan perlindungan atas diri pribadi

seseorang atau individu yang terdapat di dalam perjanjian-perjanjian yang mengandung nilai-

nilai kemanusiaan universal khususnya terhadap ketentuan-ketentuan yang mengandung

pelarangan atas segala bentuk tindakan dengan hak-hak asasi individu-individu atau orang-

orang yang dilindungi oleh perjanjian tersebut.

X. 4. Prosedur Tentang Penundaan atas Pelaksanaan Suatu Perjanjian Internasional

Jika ada salah satu atau lebih negara peserta yang menghendaki penundaan pelaksanaan

suatu perjanjian internasional, pihak yang bersangkutan harus memberitahukan secara tertulis

kepada pihak lain atas keinginannya untuk melakukan penundaan tersebut. Pemberitahuan itu

harus disertai dengan usulan mengenai langkah-langkah apa yang harus ditempuh berkenaan

dengan penundaan disertai dengan alasannya Mengapa perlu dilakukan penundaan. Jika

dalam tempo paling lama 3 bulan terhitung mulai tanggal diterimanya pemberitahuan untuk

29
HUKUM PERJANJIAN INTERNASIONAL BAGIAN 2

melakukan penundaan tersebut ternyata tidak ada keberatan atau penolakan dari negara-

negara peserta yang lainnya negara yang mengusulkan penundaan tersebut dapat menempuh

langkah-langkah yang diusulkan itu, semua instrumen pemberitahuan maupun instrumen

mengenai langkah-langkah yang akan ditempuh harus ditandatangani oleh kepala negara atau

kepala pemerintah atau menteri yang berwenang dalam masalah-masalah luar negeri. Jika

instrumen itu ditandatangani bukan oleh salah satu dari pejabat tinggi negara tersebut maka

pejabat yang menandatangani instrumen itu haruslah memperoleh surat kuasa atau kuasa

penuh.

X. 5. Akibat Hukum dari Penundaan atas Pelaksanaan Suatu Perjanjian Internasional

Suatu perjanjian internasional yang ditunda pelaksanaannya sudah pasti akan

menimbulkan konsekuensi hukum baik terhadap perjanjian itu sendiri terhadap para pihak,

Bahkan dalam hal-hal tertentu juga terdapat pihak ketiga. Jika perjanjian itu sendiri sudah

mengaturnya, maka segala sesuatunya harus dilakukan sesuai dengan ketentuan tersebut. Jika

tidak ada pengaturannya di dalam perjanjian itu sendiri, tetapi para pihak ketiga sepakat

untuk menunda pelaksanaannya dan ternyata juga sudah mengatur segala konsekuensi hukum

yang terjadi akan terjadi atau diperkirakan akan terjadi maka dalam hal seperti ini Apa yang

di sepakati itulah yang harus diikuti. Sebaliknya jika keduanya itu tidak ada sama sekali jadi

para pihak sepakat untuk menunda pelaksanaan perjanjian saja Maka timbul persoalan

tentang konsekuensi hukumnya terutama tentang bagaimana penyelesaiannya. Perjanjian

internasional yang pelaksanaannya hanya untuk sebagian atau beberapa ketentuan saja dari

keseluruhan ketentuannya Berdasarkan kesepakatan dari seluruh negara pesertanya, dan pula

konsekuensi hukumnya hanya atas sebagian atau beberapa ketentuan yang saja yang berlaku

terhadap seluruh negara pesertanya. Sedangkan sebagian lagi dari ketentuan perjanjian yang

tidak ditunda pelaksanaannya masih tetap harus dilaksanakan oleh seluruh negara peserta

tersebut.

30
HUKUM PERJANJIAN INTERNASIONAL BAGIAN 2

BAB XI

KETIAKABSAHAN SUATU PERJANJIAN INTERNASIONAL

XI. 1. Pendahuluan

Secara garis besar ada dua alasan mengapa ketidaksamaan suatu perjanjian

internasional dikemukakan belakangan, yakni setelah mulai berlaku atau diterapkan, bukan

pada waktu merumuskan atau pada waktu mengikatkan diri pada perjanjian

itu. Pertama, Karena pihak yang mengklaim suatu perjanjian internasional tidak sah baru

belakangan dapat mengetahui penyebab dari ketidak sahamnya. Kedua, meskipun alasan itu

sudah diketahui ketika proses pembuatannya atau sebelum perjanjian mulai berlaku tetapi

pada waktu itu tidak dapat dikemukakan disebabkan karena situasi dan kondisi yang tidak

memungkinkan. Setelah perjanjian mulai berlaku serta situasi dan kondisi memungkinkannya

barulah alasan untuk menyatakan perjanjian itu tidak sah dapat dikemukakan. Secara teoritis

mungkin juga suatu perjanjian internasional dipersoalkan keabsahannya hanya untuk

sebagian saja sedangkan untuk sebagian lagi atau sebagian besarnya perjanjian itu masih bisa

dinyatakan sah hal ini hanya mungkin jika secara substansial perjanjian itu dapat dipisah-

pisahkan menjadi bagian-bagian dan jika 1 bagian saja di klaim tidak sah, tidak akan

mempengaruhi eksistensi maupun pelaksanaan bagian yang lainnya.

XI. 2. Ketidakabsahan Suatu Perjanjian Internasional Menurut Konvensi Wina 1969

menurut pasal 42 ayat 1 kawasan itu dibedakan atas dua macam yaitu keabsahan atas

perjanjian internasional itu sendiri dan keabsahan atas persetujuan suatu negara untuk terikat

pada perjanjian. Secara teoritis Keduanya dapat dibedakan sebagai berikut: pertama, yang

dipersoalkan adalah keabsahan perjanjian internasional itu sendiri yang disebabkan karena

hal-hal yang terletak diluar diri masing-masing negara atau sebagai hasil interaksi negara-

31
HUKUM PERJANJIAN INTERNASIONAL BAGIAN 2

negara ataupun wakil wakil dari negara-negara yang melakukan perundingan yang

mengakibatkan kerugian dari salah satu atau lebih negara pesertanya dan karena itu negara

atau negara-negara yang bersangkutan dapat mempersatukan keabsahan perjanjian

itu. kedua, Masalahnya terletak pada persetujuan suatu negara untuk terikat pada suatu

perjanjian internasional. tegasnya persetujuannya untuk terikat dipandang tidak sah oleh

negara itu sendiri yang sudah tentu berdasarkan atas alasan yang menurutnya cukup kuat.

XI. 3. Kesinambungan atas Kewajiban yang Berdasarkan atas Hukum Internasional Umum

Apabila pada suatu waktu perjanjian itu dinyatakan tidak sah, ditunda pelaksanaannya,

atau pun diakhiri berlakunya, maka dalam hal ini timbul persoalan Apakah kewajiban yang

tercantum di dalam perjanjian demikian itu yang sebenarnya merupakan kewajiban yang

sudah ada jauh sebelumnya berbentuk kaidah hukum kebiasaan internasional yang berlaku

umum juga menjadi berakhir, tidak sah ataupun ditunda pelaksanaannya. Dapat dibayangkan

Apa yang akan terjadi jika kewajiban demikian itu juga turut berakhir atau ditunda

pelaksanaannya sedangkan peristiwa yang berkaitan dengan hubungan diplomatik antara

negara-negara ataupun organisasi internasional, peristiwa pelayaran kapal kapal Niaga asing

di laut teritorial negara negara partai ataupun kewajiban untuk tidak saling mencampuri

urusan dalam negeri masing-masing negara, atau kewajiban untuk saling menghormati

kedaulatan sesama negara kelompok dan lain sebagainya merupakan peristiwa-peristiwa

yang berlangsung setiap saat. a Oleh karena itu kewajiban kewajiban itu harus tetap terus

berlangsung atau tidak boleh diakhiri sebab sifatnya yang mandiri terlepas dari ada atau

tidaknya pengaturan atau penegasan dalam sebuah konferensi atau perjanjian internasional.

XI. 4. Ketidakabsahan atas Seluruh atau Sebagian dari Ketentuan Perjanjian Internasional

XI. 4. 1. Atas Keseluruhan dari Ketentuan Perjanjian

32
HUKUM PERJANJIAN INTERNASIONAL BAGIAN 2

Secara umum suatu perjanjian internasional dinyatakan tidak sah adalah atas

keseluruhan dari ketentuannya. Hal ini ditegaskan dalam pasal 44 ayat 2 bahwa alasan untuk

menyatakan suatu perjanjian internasional tidak sah sebagaimana diakui dalam konvensi

1969 ini hanya dapat dikemukakan berkenaan dengan keseluruhan ketentuannya. Jika salah

satu pihak menyatakan atau mengklaimnya sebagai tidak sah umrah maka ketidaksahan yaitu

adalah untuk keseluruhan ketentuan perjanjian itu sebab tidaklah mungkin untuk

mengklaimnya hanya atas satu atau beberapa ketentuan ataupun atas sebagian saja dari

perjanjian itu.

XI 4. 2. Atas Sebagian atau atas Ketentuan-Ketentuannya yang Tertentu Saja

Menurut pasal 44 ayat 2, ketidaksahan suatu perjanjian internasional adalah atas

keseluruhan ketentuannya tetapi ayat 2 ini ini masih membuka pengecualian yakni

dimungkinkan adanya ketidaksahan atas sebagian atau beberapa ketentuannya. Suatu

perjanjian dapat dipersoalkan keabsahannya hanya atas beberapa ketentuan tertentu saja atau

hanya sebagian saja dari substansinya adalah demi memelihara martabat dari perjanjian itu

sendiri supaya jangan sampai keseluruhan ketentuan suatu perjanjian dikorbankan atau

menjadi tidak berlaku atau berakhir eksistensinya pada hal yang dipersoalkan keabsahannya

hanyalah beberapa atau sebagian dari ketentuannya saja. 45 mengatur tentang hilangnya hak

suatu negara untuk mengklaim keabsahan suatu perjanjian internasional berdasarkan

ketentuan pasal 46 hingga 50 atau berdasarkan pasal 60 dan 62 jika sesudah menyadari atas

adanya fakta tersebut di mana negara atau negara-negara yang bersangkutan secara tegas

sepakat bahwa perjanjian itu sah atau masih tetap berlaku terus seperti apa adanya atau

adanya perilaku negara atau negara-negara yang bersangkutan yang menunjukkan

penerimaan atau pengakuan atau keabsahan perjanjian itu ataupun atas penerapannya

sebagaimana adanya.

33
HUKUM PERJANJIAN INTERNASIONAL BAGIAN 2

XI. 5. Alasan-Alasan untuk Menyatakan Suatu Perjanjian Internasional Tidak Sah

XI. 5. 1. Alasan berdasarkan hukum atau peraturan perundang-undangan

Masalah yang paling tampak di permukaan adalah dalam peratifikasi and atau

persetujuan untuk mengikatkan diri pada suatu perjanjian internasional sebab hal inilah yang

menjadi penentu paling awal dari proses selanjutnya atas keterikatan negara pada suatu

perjanjian internasional. Pada sisi lain, dalam hal inilah ada kemungkinan adanya

persetujuan untuk terikat dari suatu negara pada perjanjian tersebut ternyata bertentangan

dengan ketentuan hukum atau perundang-undangan nasionalnya. Misalnya, persetujuan untuk

terikat pada suatu perjanjian yang menurut hukum atau peraturan perundang-undangan

nasional harus dilakukan oleh pihak eksekutif dengan terlebih dahulu mendapat persetujuan

dari pihak legislatif atau badan perwakilan rakyat nya, tetapi ternyata hanya dilakukan oleh

pihak eksekutif saja. Pihak legislatif yang merasa dilangkahi kemudian mempersoalkan nya

dan berpendapat bahwa perjanjian itu tidak sah disebabkan karena persetujuan untuk terikat

pada perjanjian itu bertentangan dengan peraturan perundang-undangan nasional yang

mengatur tentang perjanjian internasional. Dengan kata lain, ketidaksamaan suatu perjanjian

internasional didasarkan atas alasan hukum nasional. Konvensi wina 1969 telah

mengantisipasinya dengan menempatkan pengaturannya di dalam pasal 46 dan 47. Pasal 46

ayat 1 dinyatakan bahwa negara-negara tidak diperkenankan mengemukakan alasan bahwa

persetujuannya untuk terikat pada suatu perjanjian internasional merupakan pelanggaran

terhadap ketentuan hukum atau peraturan perundang-undangan nasional yang mengatur

tentang hal ini hal tersebut dapat dikatakan logis sebagai hal itu merupakan masalah dalam

negeri dari negara yang bersangkutan yang tidak sepatutnya dijadikan alasan sebab dapat

merugikan negara-negara peserta yang lainnya maupun menurunkan martabat dari perjanjian

internasional itu sendiri.

34
HUKUM PERJANJIAN INTERNASIONAL BAGIAN 2

XI. 5. 2. Kesalahan (Error) atas Fakta atau Situasinya

Terkadang bisa terjadi kekeliruan atau kesalahan mengenai fakta ataupun situasi yang

ada atau terjadi pada waktu perundingan atau perumusan naskah perjanjian pasal 28 ayat 1

Konvensi memperkenankan suatu negara menjadikan kekeliruan atau kesalahan atas fakta

atau situasi ini sebagai alasan untuk menyatakan bahwa persetujuannya untuk terikat pada

perjanjian tersebut tidak sah. Selanjutnya negara itu dapat menjadikannya sebagai alasan

pula untuk menyatakan perjanjian itu sendiri tidak sah. Namun ada tiga persyaratan yang

harus dipenuhi supaya kekeliruan atau kesalahan tersebut dapat digunakan sebagai alasan

tersebut yaitu kekeliruan atau kesalahan itu berkenaan dengan suatu fakta dan situasi; fakta

atau situasi tersebut dapat dianggap oleh negara yang bersangkutan ada pada waktu

perumusan ketentuan naskah perjanjian itu; fakta atau situasi itu merupakan dasar yang

esensial bagi negara yang bersangkutan dalam menyatakan persetujuannya untuk terikat pada

perjanjian tersebut.

XI. 5. 3. Kecurangan (Fraud) dari Negara Mitra Berundingnya

Menurut pasal 49, suatu negara yang menyatakan persetujuannya untuk terikat pada

suatu perjanjian internasional disebabkan karena adanya kecurangan dari negara mitra

beruntungnya negara yang merasa dirugikan dapat mengemukakan perilaku curang tersebut

sebagai alasan untuk menyatakan ketidak absahan suatu persetujuannya untuk terikat pada

perjanjian. Perilaku curang itu dilakukan oleh negara mitra brandingnya, misalnya dengan

cara membujuk negara yang bersangkutan untuk bersedia membuat suatu perjanjian.

akibatnya karena ada bujukan yang didalamnya tersembunyi suatu kecurangan itulah maka

negara yang bersangkutan bersedia untuk membuat dan menyetujui terikat pada perjanjian

tersebut. Kecurangan itu baru diketahui setelah perjanjian itu mulai berlaku dan karena baru

35
HUKUM PERJANJIAN INTERNASIONAL BAGIAN 2

belakang mengetahui bahwa dirinya dicurangi, maka negara yang bersangkutan dapat

mengklaim bahwa persetujuannya untuk terikat itu tidak sah.

XI. 5. 4. Kecurangan (Corruption) dari Wakil Suatu Negara

Kecurangan lain yang dapat dijadikan alasan untuk menyatakan tidak sahnya

persetujuan suatu negara untuk terikat pada suatu perjanjian internasional adalah kecurangan

yang dilakukan oleh wakil atau utusan dari negara itu sendiri. Hal ini diatur dalam pasal 50

bahwa suatu negara dapat menyatakan persetujuannya untuk terikat pada suatu perjanjian

internasional telah dilakukan melalui satu kekurangan dari wakilnya sendiri dan perilaku

curang tersebut baik secara langsung ataupun tidak langsung disebabkan oleh negara mitra

berunding nya.

XI. 5. 5. Paksaan (Coercion) yang Dilakukan oleh Wakil dari Suatu Negara

Alasan lain bagi suatu negara dalam menyatakan persetujuannya untuk terikat pada

suatu perjanjian internasional tidak sah adalah seperti ditegaskan dalam pasal 51, yakni

bertujuan untuk terikat pada suatu perjanjian internasional telah dilakukan di bawah

kekerasan ataupun ancaman kekerasan terhadap Wakil atau utusan negara tersebut dan di

bawah kekerasan atau ancaman kekerasan itulah wakil atau utusan yaitu dengan terpaksa

menyatakan persetujuan terikat.

XI. 5. 6. Ancaman atau Penggunaan Kekerasan oleh Suatu Negara yang merupakan

Pelanggaran atas Prinsip-Prinsip Hukum Internasional yang Terdapat Dalam Piagam PBB

Berbeda dengan pasal 51 pasal 52 menegaskan tentang adanya ancaman atau

penggunaan kekerasan oleh suatu negara terhadap negara lain sehingga negara yang

belakangan ini dengan terpaksa menyatakan persetujuannya untuk terikat pada suatu

perjanjian internasional. Dalam hal ini, yang melakukan penggunaan kekerasan ataupun

36
HUKUM PERJANJIAN INTERNASIONAL BAGIAN 2

mengancam dengan kekerasan adalah negara itu sendiri yang ditunjukkan terhadap negara

lain dengan maksud supaya negara itu menyatakan persetujuan terikat pada suatu perjanjian

internasional. Jadi dalam hal ini negara berhadapan dengan negara bukan wakil atau urusan

suatu negara berhadapan dengan wakil atau urusan negara mitranya, ataupun bukan juga

wakil atau utusan suatu negara dipaksa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan oleh suatu

negara.

XI. 5. 7. Perjanjian Internasional yang Bertentangan dengan Jus Cogens

Proses perundingan atau merumuskan suatu perjanjian internasional sampai dengan

mulai berlakunya, bisa jadi semuanya berlangsung sebagaimana mestinya sesuai dengan

prinsip-prinsip dan kaidah-kaidah hukum perjanjian internasional. Akan tetapi ketika proses

perumusan tersebut sedang berlangsung para pihak mungkin tidak tahu sama sekali atau

mungkin juga sudah mengetahuinya tetapi sengaja menutup mata bahwa substansi perjanjian

itu sebenarnya bertentangan dengan suatu kaidah hukum internasional umum yang tergolong

Jus Cogens atau kaidah hukum internasional sifatnya sangat kuat atau imperatif. Menurut

pasal 53, perjanjian semacam itu adalah batal.

XI. 6. Prosedur Pengajuan Pernyataan Tidak Sahnya Suatu Perjanjian Internasional

Untuk menyatakan suatu perjanjian internasional tidak sah atau persetujuan yang

terikat pada suatu perjanjian internasional tidak sah harus ditempuh prosedur atau tata cara

tertentu. Menurut pasal 65 ayat 1, pihak atau pihak-pihak yang menyatakan bahwa

persetujuannya untuk terikat pada suatu perjanjian internasional tidak sah ataupun alasan

untuk menyatakan suatu perjanjian internasional tidak sah harus memberitahukan secara

tertulis sebagaimana ditentukan dalam pasal 67 ayat 1, kepada pihak-pihak atau negara-

negara peserta yang lainnya atas pernyataan tersebut. Menurut pasal 65 ayat

1, pemberitahuan itu sudah tentu pula dengan menunjukkan langkah-langkah yang diusulkan

37
HUKUM PERJANJIAN INTERNASIONAL BAGIAN 2

untuk diambil atau ditempuh berkenaan dengan perjanjian itu. menurut pasal 67 ayat 2,

instrumen pemberitahuan seperti tersebut pada pasal 65 ayat 1 haruslah ditandatangani oleh

kepala negara atau kepala pemerintahan atau menteri luar negeri. Sudah tentu ketiga pejabat

negara ini tidak membutuhkan surat kuasa atau kuasa penuh. akan tetapi jika hal itu

dilakukan oleh wakil negara selain ketiga pejabat negara tersebut, maka dibutuhkan adanya

surat kuasa atau kuasa penuh.

XI. 7. Akibat Hukum Dari Tidak Sahnya Suatu Perjanjian Internasional

Secara garis besar, Ketidaksahan suatu perjanjian internasional ada Yang sifatnya

fakultatif atau relatif dan ada yang absolut. Suatu perjanjian internasional yang ketidaksahan

yang bersifat fakultatif atau relatif, penentuannya terserah sepenuhnya kepada negara yang

merasa dirugikan apakah akan menggunakan haknya ataukah tidak untuk menyatakan bahwa

perjanjian itu tidak sah. Ketidaksahan secara relatif atau fakultatif ini dapat dijumpai dalam

pasal 46 yakni persetujuan terikat bertentangan dengan hukum atau peraturan perundang-

undangan nasional nya yang paling fundamental. Pasal 47 tentang pembatasan yang

ditentukan secara khusus yang sudah diberitahukan sebelumnya kepada negara mitra

berunding nya, pasal 48 tentang adanya error atau kesalahan mengenai fakta atau

situasi, pasal 50 tentang kecurangan wakil dari salah satu negara mitra berunding baik yang

secara langsung maupun tak langsung.

Pasal 69 ayat 1 yang menyatakan suatu perjanjian internasional yang tidak sahnya

sebagaimana diatur dalam konvensi Jenewa 1969 ini akibat hukumnya adalah

batal. Penentuan tentang waktunya Kapan perjanjian itu mulai batal, haruslah dihitung dari

saat mulai berlakunya perjanjian tersebut. Perjanjian yang dinyatakan batal dipandang

sebagai sama sekali tidak pernah ada, dan oleh karena itu sepanjang Masih Mungkin

semuanya harus dikembalikan kepada keadaan semula. Pasal 71 secara khusus mengatur

38
HUKUM PERJANJIAN INTERNASIONAL BAGIAN 2

tentang akibat hukum dari suatu perjanjian internasional yang bertentangan dengan Jus

Cogens dinyatakan batal. Dalam hal ini kaidah hukum yang tergolong Jus Cogens adalah

kewajiban setiap negara untuk menghormati kedaulatan negara lain.

39
HUKUM PERJANJIAN INTERNASIONAL BAGIAN 2

BAB XII

PENGAKHIRAN ATAS EKSISTENSI SUATU PERJANJIAN INTERNASIONAL

XII. 1. Pendahuluan

Pada akhirnya suatu perjanjian internasional harus diakhiri atau terpaksa diakhiri

eksistensinya. Pihak yang dapat mengusulkan untuk mengakhiri eksistensi suatu perjanjian

internasional, adalah pihak yang merasa dirugikan atau pihak yang memandang bahwa

perjanjian itu tidak perlu dipertahankan lagi dan harus diakhiri. Pengakhiran ini juga akan

menimbulkan konsekuensi hukum seperti halnya dengan penundaan maupun ketidak absahan

nya yang harus diselesaikan oleh para pihak itu sendiri. Persoalan tentang bagaimana

mengakhiri eksistensi suatu perjanjian internasional dan penyelesaian segala konsekuensi

hukumnya, pertama-tama tergantung pada ada atau tidaknya Pengaturannya di dalam

perjanjian itu sendiri.

XII. 2. Alasan Untuk Mengakhiri Eksistensi Suatu Perjanjian Internasional

Pada faktor eksternal maupun internal yang cukup kuat untuk mengakhiri berlakunya

suatu perjanjian internasional misalnya karena terjadi peristiwa seperti obyeknya dibom oleh

pihak ketiga sampai hancur lebur dan tidak layak lagi untuk dibangun kembali, sehingga

secara Absolut perjanjian itu sudah tidak dapat dilaksanakan lagi. demikian juga karena

terjadi konflik seperti perang yang berkepanjangan antara negara-negara yang terikat pada

perjanjian sehingga berpengaruh besar terhadap pelaksanaan dan eksistensinya jenis sendiri.

suatu perjanjian bilateral terpaksa harus diakhiri, disebabkan karena eksistensi salah satu

pihak terakhir dari pihak yang menggantikannya tidak bersedia meneruskan berlakunya

perjanjian tersebut. Selain itu pengakhiran atas eksistensi suatu perjanjian internasional dapat

disebabkan karena para pihak kemudian membuat perjanjian baru tentang masalah yang sama

40
HUKUM PERJANJIAN INTERNASIONAL BAGIAN 2

seperti yang diatur dalam perjanjian yang lama dan keduanya tidak mungkin diterapkan pada

tempat dan waktu yang sama.

XII. 3. Berakhirnya Suatu Perjanjian Internasional Tidak Mengakhiri Kewajiban yang

Berdasarkan atas Hukum Internasional Umum

Semenjak berakhirnya eksistensi ataupun masa berlaku suatu perjanjian internasional

maka Semenjak itu pula perjanjian itu tidak lagi memberikan hak maupun membebani

kewajiban kepada para pihak karena memang sudah tidak lagi merupakan hukum

internasional positif. Akan tetapi Perjanjian perjanjian internasional jenis tertentu yaitu

perjanjian yang substansinya merupakan formulasi dari kaidah hukum kebiasaan

internasional coma hak atau kewajiban yang semula berasal dari hukum kebiasaan

internasional itu masih tetap berlaku. Tegasnya, salah satu atau beberapa ketentuannya

merupakan perumusan kembali atau kodifikasi and atas kaidah hukum yang sebelum

berlakunya perjanjian Itu sudah merupakan kaidah hukum kebiasaan internasional. Jika pada

suatu waktu perjanjian itu di akhir eksistensinya, hal ini tidaklah mengakhiri hak ataupun

kewajiban negara negara pesertanya yang bersumber dari hukum kebiasaan internasional

tersebut. Eksistensi dari kaidah hukum kebiasaan internasional masih tetap berlaku terus,

meskipun kaidah itu sudah diformulasikan atau dikodifikasikan ke dalam bentuk perjanjian

internasional. Bahkan masih tetap berlaku terus dan mengikat para pihak dalam perjanjian

internasional yang merupakan formulasi atau pengkodifikasian dari kaidah hukum kebiasaan

internasional meskipun pada suatu waktu perjanjian internasional tersebut dapat diakhiri

eksistensinya.

XII. 4. Pengakhiran atas Eksistensi Perjanjian Internasional Menurut Konvensi Wina 1969

Pasal 42 ayat 2 menegaskan bahwa tentang penaksiran suatu perjanjian internasional

pertama-tama harus dilihat pada Bagaimana Pengaturannya di dalam perjanjian internasional

41
HUKUM PERJANJIAN INTERNASIONAL BAGIAN 2

itu sendiri jika memang perjanjian itu secara tegas mengatur nya. Jika tidak ada

pengaturannya, pengakhiran itu dilakukan dengan mengikuti ketentuan-ketentuan

konvensi. Pasang pasal 4 menegaskan pada kehendak untuk keseluruhannya. Namun

dimungkinkan juga untuk mengakhiri sebagian dari perjanjian itu apabila ada klausul yang

memungkinkan melakukan pengajarannya untuk sebagian atau beberapa ketentuannya. Pasal

44 ayat 4, pengakhiran suatu perjanjian internasional untuk sebagian atau beberapa

ketentuannya juga dapat dilakukan apabila terbukti adanya kekeliruan atau kesalahan

mengenai objek nya sebagai mana ditegaskan dalam pasal 49 atau seperti ditegaskan dalam

pasal 50 yaitu karena adanya kecurangan dari wakil atau utusan dari suatu negara dalam suatu

perundingan untuk merumuskan naskah perjanjian.

XII. 4. 1. Dibuat Perjanjian Internasional Baru

Pasal 59 ayat 1 mengatur tentang pengairan suatu perjanjian internasional disebabkan

karena dibuat perjanjian yang baru. Dalam hal ini, semua negara peserta pada perjanjian yang

lama kemudian membuat perjanjian baru dan memang para pihak bermaksud untuk

menerapkan perjanjian yang baru untuk menggantikan perjanjian yang lama dan juga karena

substansi dari kedua perjanjian itu sangat berbeda bahkan bertentangan sehingga keduanya

tidak mungkin untuk diterapkan secara bersamaan.

XII. 4. 2. Pelanggaran Oleh Salah Satu Pihak

Ditegaskan dalam pasal 60 ayat 1, Pelanggaran atas substansi perjanjian oleh salah satu

pihak dapat dijadikan alasan untuk mengakhiri berlakunya perjanjian, baik untuk

keseluruhannya ataupun sebagian. Ditegaskan kembali dalam ayat 2 Pelanggaran atas suatu

perjanjian internasional oleh salah satu pihak dapat dijadikan sebagai alasan bagi pihak

lainnya untuk bersepakat secara bulat untuk mengakhiri berlakunya perjanjian itu baik dalam

42
HUKUM PERJANJIAN INTERNASIONAL BAGIAN 2

hubungan antara mereka pada satu pihak dengan pihak yang melakukan pelanggaran pada

lain pihak atau antara semua pihak.

XII. 4. 3. Ketidakmungkinan Untuk Melaksanakannya

Pasal 61 ayat 3 menegaskan bahwa salah satu pihak dapat menyatakan untuk

mengakhiri berlakunya perjanjian dengan alasan bahwa perjanjian itu sudah tidak mungkin

lagi untuk dilaksanakan dan ketidakmungkinan itu sudah bersifat permanen atau

ketidakmungkinan yang disebabkan karena kerusakan dari objek nya yang ternyata tidak

dapat dipisahkan dari pelaksanaan perjanjian tersebut. Jadi ada dua macam

ketidakmungkinan untuk melaksanakan suatu perjanjian yaitu ketidakmungkinan untuk

melaksanakan perjanjian internasional itu sudah bersifat permanen dan juga karena

kerusakan dari objek perjanjian itu tidak dapat dipisahkan dari pelaksanaannya atau dengan

kata lain kerusakan atas objek yaitu sudah tidak memungkinkan lagi untuk tetap

melaksanakan perjanjian tersebut.

XII. 4. 4. Terjadinya Perubahan Keadaan Yang Fundamental

Konv/ensi mengatur tentang terjadinya perubahan keadaan yang fundamental secara

negatif, dalam pengertiannya hal ini tidak dapat dijadikan sebagai alasan untuk mengakhiri

berlakunya suatu perjanjian internasional. Apa yang dimaksud dengan perubahan

fundamental sama sekali tidak ada penegasannya di dalam konvensi. Tiadanya penegasan

ini dapat diartikan bahwa penentuannya diserahkan pada praktek negara-negara ataupun pada

putusan badan penyelesaian sengketa jika menghadapi kasus yang berkaitan dengan ada atau

tidaknya perubahan keadaan yang fundamental.

XII. 4. 5. Putusnya Hubungan Diplomatik Atau Konsuler

43
HUKUM PERJANJIAN INTERNASIONAL BAGIAN 2

Hubungan diplomatik atau konsuler yang baik antara negara-negara merupakan salah

satu fondasi bagi pertumbuhan dan perkembangan perjanjian-perjanjian internasional sebab

dengan hubungan semacam itulah negara-negara akan lebih mudah dan cepat melakukan

pendekatan untuk membuat perjanjian-perjanjian internasional dalam rangka mengatur

masalah-masalah internasional pada umumnya dan masalah-masalah antara mereka pada

khususnya. Putusnya hubungan diplomatik atau konsuler antara 2 negara hendaknya

dipandang sebagai suatu peristiwa yang terjadi secara insidental dan bersifat sementara

sebagai gangguan sementara atas hubungan dan hidup berdampingan secara damai negara-

negara. Dalam hubungan ini perjanjian internasional bilateral antara kedua pihak tidak perlu

terganggu eksistensinya oleh putusnya hubungan diplomatik atau konsuler antara kedua pihak

yang bisa terpengaruh oleh putusnya hubungan diplomatik atau konsulat tersebut adalah

pelaksanaannya. Dengan demikian dan dikemuka an2 putusnya hubungan diplomatik atau

konsuler antara dua negara tidak mengakhiri eksistensi dari perjanjian perjanjian bilateral

antara kedua pihak melainkan hanyalah merupakan penangguhan atau penundaan atau

sementara waktu atas pelaksanaannya saja yaitu selama putusnya hubungan diplomatik atau

konsuler.

XII. 4. 6. Bertentangan Dengan Jus Cogens

Walaupun satu perjanjian internasional merupakan hasil kesepakatan negara yang

menjadi pesertanya, sesuai dengan azas dari Hukum Perjanjian itu sendiri namun tidaklah

berarti mereka bebas menentukan isi maupun objek dari kesepakatannya. Ada beberapa

pembatasan yang harus diperhatikan salah satunya adalah substansi perjanjian itu tidak boleh

bertentangan dengan kaidah-kaidah hukum umum atau universal yang bersifat kuat dan

imperatif. Ditegaskan dalam pasal 53 yaitu suatu kaidah hukum yang diterima dan diakui

oleh seluruh anggota masyarakat internasional yang terdiri dari negara-negara sebagai suatu

kaidah hukum yang tidak dibenarkan untuk dilakukan penyimpangan dan yang hanya dapat

44
HUKUM PERJANJIAN INTERNASIONAL BAGIAN 2

diubah oleh kaidah hukum internasional umum yang muncul belakangan yang memiliki sifat

atau karakter yang sama. Jika misalnya 2 negara membuat suatu perjanjian bilateral yang

substansinya merupakan kesepakatan untuk menyerang negara lain perjanjian seperti ini

jelas-jelas bertentangan dengan kaidah hukum internasional yang tergolong Jus Cogens

Seperti telah dikemukakan diatas yakni kewajiban untuk menghormati kedaulatan sesama

Negara. menurut pasal 53 perjanjian semacam ini adalah batal dan demikian juga menurut

pasal 64 adalah batal dan perjanjian yang batal sama artinya dengan berakhir eksistensinya.

XII. 4. 7. Pecahnya Perang Antara Pihak

Konferensi Wina 1969 sama sekali tidak mengatur mengenai pecahnya perang antara

dua pihak atau lebih negara yang akan mengakhiri eksistensi dari perjanjian yang dibuat

sebelumnya. Pada prinsipnya perang yang terjadi tidak mengakhiri eksistensi perjanjian yang

sudah ada dan berlaku sebelumnya antara para pihak yang berperang. Akan lebih tepat

dikatakan bahwa perang itu hanyalah menunda pelaksanaan perjanjian antara para pihak yang

bersangkutan. Namun dalam beberapa macam perjanjian internasional khususnya perjanjian

bilateral antara para pihak yang berperang yang pelaksanaannya sangat tergantung pada

adanya hubungan diplomatik yang normal atau yang pelaksanaannya membutuhkan kondisi

damai antara kedua pihak dengan terjadinya peperangan maka praktis perjanjian itu tidak

dapat di lagi dipertahankan dan oleh karena itu akan diakhiri oleh salah satu pihak dan bagi

pihak lainnya tidak ada jalan lain selain daripada menerima penghasilan secara sepihak

tersebut.

XII. 4. 8. Penarikan Diri Negara-Negara Peserta Nya

Jika terjadi situasi di mana Negara-negara peserta perjanjian internasional menarik diri

dari perjanjian tersebut maka para pihak yang masih tersisa dapat menempuh kesepakatan

untuk mengakhiri eksistensi perjanjian tersebut.

45
HUKUM PERJANJIAN INTERNASIONAL BAGIAN 2

XII. 5. Prosedur Untuk Mengakhiri Eksistensi Suatu Perjanjian Internasional

Menurut pasal 65 ayat 1 pihak yang bersangkutan dapat mengajukan keinginannya itu

kepada negara-negara peserta yang lainnya nya. Pengajuan usul nya itu harus dilakukan

secara tertulis disertai dengan alasan alasannya dan langkah-langkah yang seyogyanya dapat

ditempuh untuk mengakhiri eksistensi perjanjian tersebut. Menurut pasal 65 ayat 2 jika

dalam rentang waktu 3 bulan terhitung dari saat diterimanya usulan untuk mengakhiri

eksistensi perjanjian tersebut kecuali dalam keadaan yang sangat khusus ternyata tidak ada

satu pihak pun yang menyatakan penolakan atau keberatannya, maka pihak yang

mengajukan usulan itu dapat mengambil langkah-langkah yang seperti ditentukan dalam

pasal 67 yakni menyampaikan pernyataan bahwa perjanjian itu berakhir eksistensinya yang

harus disampaikan kepada negara-negara peserta lainnya. Pemberitahuan atau pernyataan itu

harus dilakukan secara tertulis dan ditandatangani oleh kepala negara atau kepala

pemerintahan atau menteri luar negerinya. Jika hal itu dilakukan oleh pejabat lain selain dari

pada ketiga pejabat negara tersebut, maka pejabat negara itu haruslah disertai dengan surat

kuasa atau kuasa penuh. Jika tidak disertai dengan kuasa penuh, maka keabsahannya dapat

dipersoalkan oleh pihak-pihak atau negara-negara peserta yang lainnya.

XII. 6. Konsekuensi Hukum Dari Berakhirnya Eksistensi Suatu Perjanjian Internasional

Tentang konsekuensi hukum dari pengakhiran suatu perjanjian internasional diatur di

dalam pasal 70 ayat 1 dan 2 konvensi. Menurut ayat 1, ada tiga kemungkinan nya yaitu

perjanjian itu mengatur tersendiri di dalam salah satu pasal atau ketentuannya; jika

pengaturan itu tidak ada kemungkinan kedua adalah para pihak mencapai kesepakatan

46
HUKUM PERJANJIAN INTERNASIONAL BAGIAN 2

tersendiri dan kemungkinan yang ketiga adalah jika keduanya tidak ada maka para pihak

dapat mengikuti ketentuan seperti ditentukan pasal 70 ayat 1 ini.

47

Anda mungkin juga menyukai