Rangkuman Buku I Wayan
Rangkuman Buku I Wayan
TRYANA WIRAWATI
192030055
BAB VI
INTERNASIONAL
VI.1. Pendahuluan
Suatu perjanjian internasional yang sudah memenuhi syarat untuk mulai berlaku (enter
into force) sebagaimana ditentukan dalam perjanjian itu sendiri, selanjutnya harus dihormati
dan dilaksanakan oleh para pihak yang terikat, sesuai dengan isi dan jiwa serta semangat dari
perjanjian itu sendiri demi tercapai maksud serta tujuannya. Namun, tidak jarang timbul
masalah yang mengarah pada terjadinya sengketa antar pihak. Sehingga, demi menghindari
serta mencegah terjadinya sengketa, perlu memahami asas-asas dari hokum internasional.
Diantaranya adalah :
1. Asas free consent, asas ini sudah muncul ketika para pihak merundingkan dan
asas kebebasan berkontrak. Berdasarkan asas ini, maka setiap proses perundingan
kesukarelaan ini, atau jika didasarkan pada tekanan-tekanan, maka akan dapat
menimbulkan akibat hukum seperti batal (void) ataupun tidak sahnya perjanjian
tersebut.
2. Asas itikad baik (good faith), asas ini dapat dikatakan menjadi jiwa serta darahnya
1
HUKUM PERJANJIAN INTERNASIONAL BAGIAN 2
berakhirnya perjanjian inetrnasional. Asas itikad baik ini dapat tercermin dari setiap
mulai berlaku.
3. Asas pacta sunt servanda, asas ini menekankan pada kewajiban para pihak untuk
menaati isi perjanjian. Asas ini menyatakan bahwa setiap perjanjian yang telah
dibuat menjadi undang-undang bagi yang membuatnya. Asas ini menjadi asas yang
dengan apa yang diperjanjikan oleh para pihak. Tanpa adanya janji-janji yang telah
disepakati tidak akan lahir perjanjian. Perjanjian harus dilaksanakan oleh para pihak
4. Asas pacta tertiis nec nocent nec prosunt, asas ini mengandung makna bahwa suatu
terhadap para pihak yang terikat pada perjanjian tersebut atau dengan kata lain
5. Asas non-retroactive, asas ini menyatakan bahwa suatu kaida hukum pada
umumnya tidak berlaku surut. asas non-retroactive juga merupakan asas yang selalu
terkait dengan asas itikad baik dan asas free consent, yaitu bahwa kesepakatan
dimaksud.
2
HUKUM PERJANJIAN INTERNASIONAL BAGIAN 2
Istilah territorial atau wilayah pada dasarnya adalah bagaimana lazimnya pengertian
wilayah menurut hokum internasional yang secara lengkap meliputi wilayah daratan
termasuk tanah di bawah wilayah perairan atau laut dan wilayah ruang udara, dengan batas-
batasnya sesuai dengan hukum internasional serta diakui oleh masyarakat internasional.
Dalam doktrin hukum internasional, terdapat dua pandangan tentang rang lingkup
territorial berlakunya suatu perjanjian internasional. Pandangan pertama yang dianut oleh
Lord Mc Nair menyatakan suatu Negara yang memiliki wilayah-wilayah seberang lautan dan
bahkan juga wilayah jajahan ataupun wilayah yang ditempatkan di bawah perwaliannya, jika
berlaku di seluruh macam wilayahnya seperti telah disebutkan diatas. Pandangan kedua
dianut oleh Menteri Luar Negeri Inggris, Mr. Godber, ia menyatakan bahwa suatu perjanjian
internasional yang sudah diratifikasi oleh suatu Negara hanya berlaku di seluruh wilayah
Pada dasarnya suatu perjanjian internasional berlaku di wilayah para pihak masing-
Pertama, maksud yang sebaliknya tampak dari perjanjian itu sendiri untuk tidak
internasional yang karena isi dan sifatnya ataupun sesuai dengan maksud serta tujuan dari
para pihak yang terikat, perjanjian itu tentu saja tidak berlaku di seluruh wilayah Negara
tetapi hanya berlaku terbatas pada bagian wilayah atau di bagian tertentu dari wilayah Negara
tersebut. Kedua, perjanjian itu sendiri menentukan sebaliknya atau menentukan yang lain.
Jika hal ini secara tegas dinyatakan di dalam salah satu ketentuannya, tentu saja akan jauh
lebih baik. Dengan demikan akan secara jelas diketahui diruang lingkup berlakunya. Apakah
3
HUKUM PERJANJIAN INTERNASIONAL BAGIAN 2
diberlakukan pada sebagian wilayah, atau di wilayah tertentu saja, atau diberlakukan juga di
Suatu Negara yang telah meratifikasi suatu perjanjian internasional dan juga telah
mengundangkan ke dalah hukum nasionalnya, serta dalam beberapa hal juga telah
hukum atau peraturan perundang-undangan. Dalam hal ini ada beberapa kemungkinan yang
Pertama, substansi maupun isi danjiwa dari perjanjian itu sendiri selaras dengan hukum
atau peraturan perundang-undangan nasionalnya yang lain. Dalam hal ini tentulan tidak ada
atau amat sedikit masalah yang muncul berkenaan dengan penerapan perjanjian internasional
it, baik secara internal maupun eksternal. Kedua, setelah perjanjian itu diterapkan oleh
Negara yang bersangkutan, beberapa isi tersebut ternyata bertentangan dengan hukum atau
juga supaya Negara-negara tidak mudah menjadikan hukum nasionalnya sebagai alasan untuk
disepakatilah supaya hukum nasional tidak dapat dijadikan alasan pembenar atas pelanggaran
4
HUKUM PERJANJIAN INTERNASIONAL BAGIAN 2
atas perjanjian internasional yang terjadi karena alasan hukum atau kepentingan
internasional pada umumnya, yakni melalui penyelesaian secara damai baik dengan
perundingan secara langsung ataupun dengan peranan pihak ketiga, atau dengan melalui
Sesuai dengan asas pacta tertiis nec nocent nec present, suatu perjanjian internasional
hanyalah memberikan hak dan membebani kewajiban kepada pihak-pihak yang terikat pada
perjanjian tersebut. Pihak lain atau pihak ketiga yang tidak berhak menerima hak maupun
tidak memikul kewajiban apapun dari perjanjian itu sebab dia tidak ikut dalam proses
pembuatannya ataupun tidak ikut sebagai pihak/peserta dalam perjanjian itu. Terdapat tiga
macam pembebanan kewajiban atau pemberian hak yang bersumber dari suatu perjanjian
Pertama, pembebanan kewajiban dan/atau pemberian hak yang sifatnya timbal balik,
artinya hak yang diberikan disertai dengan kewajiban yang harus dilaksanakan oleh pihak
ketiga yang bersangkutan. Kedua, hanya pemberian hak saja tanpa disertai dengan
pembebanan atau pelaksanaan kewajiban. Ketiga, hanya berupa pembebanan kewajiban tanpa
VI. 5. Penarikan Kembali Kewajiban ataupun Hak yang Telah Diberikan Kepada Negara
Ketiga
Penarikan kembali ataupun pengubahan atas kewajiban yang dibebankan ataupun atas
hak yang diberikan kepada pihak ketiga, secara tegas diperkenankan tetapi hal itu hanya bisa
5
HUKUM PERJANJIAN INTERNASIONAL BAGIAN 2
dilakukan asalkan ada persetujuan dari Negara-negara peserta dalam perjanjian pada satu
pihak dan Negara ketiga yang dibebani kewajiban pada lain pihak. Adapun klasifikasi
yang substansinya hanya melahirkan hak dan kewajiban kepada para pihak yang
terikat pada perjanjian itu. Sesuai dengan substansi dan sifatnya, perjanjian ini
khusus hanya melahirkan hak dan kewajiban kepada para pihak. Pembebanan
kewajiban ataupun pemberian hak kepada pihak ketiga secara tegas dinyatakan di
dalam salah satu ketentuan perjanjian itu sendiri. Ini menunjukkan bahwa para
pihak yang terikat pada perjanjian tersebut secara sadar memang bermaksud
pihak yang semula terikat sebenarnya hanya beberapa pihak saja, tetapi
mengandung substansi hukum yang bersifat universal dan mengandung sifat Jus
Cogens.
Negara ketiga, dimana kewajiban atau hak itu memang sudah ada sebelumnya dan
substansinya berkenaan dengan masala yang relative baru yang mengatur suatu
obyek yang merupakan masalah bagi seluruh Negara bahkan seluruh umat manusia.
5. Perjanjian internasional umum atau global atau universal yang memberikan hak
6
HUKUM PERJANJIAN INTERNASIONAL BAGIAN 2
VI.6. Perjanjian Internasional yang Mengikat Pihak Ketiga melalui Hukum Kebiasaan
Internasional
Pada sisi lain ada Perjanjian perjanjian internasional yang isinya sebagian besar
internasional di samping sebagian lagi merupakan penambahan unsur-unsur baru yang belum
atau tidak ada sebelumnya ataupun unsur-unsur yang baru tumbuh dan mulai berkembang.
Konsiderans terakhir yang tercantum dalam preambule konvensi Wina 1969 masih tetap
mengakui peranan hukum kebiasaan internasional dalam mengatur hal-hal yang belum diatur
di dalam konvensi, meskipun substansi hukum kebiasaan itu sendiri sudah ditampung dalam
konvensi Jika sesuatu kaidah hukum kebiasaan internasional kemudian diformulasikan dalam
hukum kebiasaan internasional masih tetap eksis. Negara-negara ketiga memang tidak terikat
pada perjanjian internasional nya tetapi terikat pada hukum kebiasaan internasional itu yang
Menurut pasal 25 ayat 1 dan 2 Konvensi dengan judul profesional application of Treaty
suatu perjanjian internasional secara keseluruhan atau sebagian dari perjanjian itu dapat
diterapkan sementara waktu sambil menunggu saat mulai berlakunya dalam hal ini perlu
dipahami terlebih dahulu bahwa yang dapat diterapkan untuk sementara waktu tersebut
adalah: Pertama, perjanjian itu sendiri baik secara keseluruhan atau hanya atas sebagian dari
isi perjanjian itu. Kedua, penerapan sementara tersebut dapat merupakan kesepakatan dari
seluruh subjek hukum atau negara-negara yang ikut serta dalam negosiasi yang menghasilkan
perjanjian itu, ataupun kesepakatan dari beberapa atau sebagian saja dari semua negara yang
melakukan negosiasi. Ketiga, penerapan sementara itu dilakukan sebelum perjanjian itu
7
HUKUM PERJANJIAN INTERNASIONAL BAGIAN 2
sendiri mulai berlaku atau dengan kata lain, sambil menunggu saat mulai berlakunya
perjanjian tersebut. Keempat, walaupun tidak secara eksplisit dinyatakan dalam pasal 25 ini,
mencapai maksud dan tujuan perjanjian itu sendiri. Persoalan yang mungkin masih tersisa
adalah, tentang segala konsekuensi hukum yang terjadi atau timbul selama masa penerapan
sementara tersebut. Sayangnya tentu sepenuhnya merupakan tanggung jawab dari negara-
negara yang menerapkan sementara atas perjanjian itu, Yang idealnya harus sudah
prinsip hukum pada umumnya yang melarang suatu peraturan hukum diberlakukan surut
surut suatu peraturan hukum, Termasuk suatu perjanjian internasional bertujuan untuk
memberikan kepastian hukum bagi para subjek hukum pada umumnya pihak-pihak yang
terikat pada peraturan hukum itu sendiri pada khususnya. Akan tetapi, larangan
Memberlakukan surut suatu peraturan hukum ini tidaklah bersifat absolut. Jika suatu
hukum nasional hendak diberlakukan surut, hal itu masih dimungkinkan, tetapi dengan
syarat, harus menguntungkan para pihak yang terikat pada peraturan perundang-undangan itu
sendiri, atau setidak-tidaknya tidak menimbulkan kerugian bagi para pihak yang terikat pada
dinyatakan berlaku surut jika memang tampak dari maksud yang tersimpul dari perjanjian itu
sendiri atau ditentukan sebaliknya. Jika memang para pihak yang terlibat dalam
8
HUKUM PERJANJIAN INTERNASIONAL BAGIAN 2
perundingannya sepakat bahwa perjanjian tersebut diberlakukan surut, hal ini tentu dapat
tertutup. Suatu perjanjian multilateral, yang mensyaratkan mulai berlakunya pada suatu
waktu tertentu di kemudian hari setelah terpenuhi jumlah tertentu Negara yang meratifikasi,
tentu saja perjanjian semacam ini dengan sendirinya tidak berlaku surut.
9
HUKUM PERJANJIAN INTERNASIONAL BAGIAN 2
BAB VII
VII.1. Pendahuluan
Penafsiran suatu peraturan hukum memegang peranan penting dalam ilmu hukum oleh
karena itu penafsiran inilah makna yang terkandung di dalamnya maupun maksud dan
hukum pada hakekatnya adalah usaha untuk memperjelas substansi peraturan hukum itu
Kesamaan hasil penafsiran atas suatu peraturan hukum, tentulah akan dapat mengarah
pada kesamaan dalam pelaksanaannya dan tentu juga akan memudahkan dalam
antara hasil penafsiran dari dua orang atau lebih akan menimbulkan perbedaan bahkan
pertentangan dalam pelaksanaannya, yang pada ujungnya akan dapat berkembang menjadi
Suatu peraturan hukum terutama peraturan hukum yang berbentuk tertulis ataupun yang
tertulis atau tersurat berupa teks atau naskah Tidak selamanya mencerminkan apa yang
tersirat di dalamnya. Hukum tertulis pada umumnya adalah merupakan abstraksi dari
berbagai macam fakta perilaku anggota masyarakat, ataupun keadaan yang sejenis. Hukum
tertulis sebagai abstraksinya diusahakan untuk mampu menjangkau semua fakta, perilaku
ataupun keadaan yang sejenis yang ada atau terjadi pada waktu itu ataupun diperkirakan akan
10
HUKUM PERJANJIAN INTERNASIONAL BAGIAN 2
Hukum memiliki suatu tujuan, hukum itu dibuat dan diberlakukan adalah demi mencapai
atau mewujudkan suatu tujuan. Untuk dapat menemukan atau mengetahui tujuan yang tepat
dari suatu peraturan hukum, maka haruslah ditemukan maknanya terlebih dahulu. Untuk
menemukan makna yang terkandung dalam suatu peraturan hukum dapat dilakukan melalui
penafsiran. Jadi, penafsiran atas peraturan hukum itu sendiri pada hakekatnya adalah usaha
untuk menemukan makna yang tepat sehingga diharapkan penerapannya dapat dilakukan
Terkadang peraturan hukum itu sendiri secara tegas dan jelas memberikan arti tersendiri atau
suatu istilah ataupun anak kalimat atau suatu frasa yang ditemukan didalamnya. penegasan
ini tampak sebagai maksud dari pembuat peraturan hukum itu sendiri tentang pengertian dari
suatu kata anak kalimat ataupun prasasti yang ditemukan di dalamnya. tentu saja karena
secara tegas dan jelas tercantum sebagai salah satu ketentuan dari peraturan hukum itu sendiri
maka ketentuan semacam ini sifatnya mengikat. dengan penegasan yang secara otentik
ditentukan di dalam peraturan hukum tersebut maka Siapapun yang membaca dan
menemukan kata istilah atau pun Frasa tersebut, tidak boleh mengartikan lain Atau au
berbeda dengan apa yang sudah secara tegas dinyatakan di dalam peraturan hukum itu
sendiri. inilah yang disebut metode penafsiran otentik atau penafsiran otoritatif.
Selain itu, Hukum juga dapat dilihat melalui proses pembentukannya atau sejarah lahirnya
peraturan hukum itu. misalnya makna ataupun maksud dan tujuan suatu ketentuan undang-
undang, harus dicari pada proses pembentukannya, mulai dari Rancangan naskah akademik
nya, proses penyusunan rancangan undang-undang nya proses pembahasan RUU nya di
dalam sidang-sidang DPR sampai dengan disepakati untuk diundangkan sebagai undang-
11
HUKUM PERJANJIAN INTERNASIONAL BAGIAN 2
undang. inilah yang disebut dengan metode penafsiran sejarah atau historis yang bisa berupa
terkadang sejarah dari peraturan hukum itu sendiri sudah tidak ada relevansinya lagi untuk
diperhatikan dan dipertimbangkan mengingat keadaan masyarakat pada masa ini sudah
sangat berbeda dengan masa ketika peraturan hukum itu dibuat. mungkin akan lebih baik jika
untuk menemukan makna ataupun maksud dan tujuan yang tepat dari suatu peraturan hukum
haruslah dilihat dalam hubungannya dengan realitas sosial masyarakat itu sendiri. Dalam
ilmu hukum, Inilah yang disebut dengan metode penafsiran sosiologis. Sarana lain untuk
menemukan makna dan tujuan dari suatu peraturan hukum adalah dengan melakukan suatu
perluasan setelah membandingkan antara fakta, perilaku atau keadaan yang diatur dalam
peraturan hukum tersebut dengan fakta, perilaku, atau keadaan yang tidak diatur dicakup di
dalamnya namun keduanya mengandung kesamaan kesamaan. Hal ini disebut dengan metode
penafsiran analogi. Sebaliknya ada peraturan hukum yang tidak bisa di perluas jangkauan
berlakunya, tetapi justru dipersempit ketimbang apa yang secara tegas dinyatakan di dalam
peraturan hukum itu. Jadi, walaupun sebenarnya peraturan hukum itu memang dimaksudkan
untuk menjangkau Semua fakta, perilaku, atau keadaan, tetapi yang sebenarnya dimaksudkan
tidaklah seluas itu melainkan lebih sempit atau terbatas dari bunyi naskah atau teks peraturan
hukum itu. hal ini disebut dengan penafsiran restriktif. Dalam beberapa hal tertentu, makna
maupun maksud dan tujuan suatu peraturan hukum Justru harus dicari dan ditemukan dengan
melihat pada hubungan antara Suatu dan lainnya, baik hubungan yang secara internal didalam
peraturan hukum tersebut yang dihubung hubungkan antara satu dengan lainnya ataupun
dengan menghubungkan peraturan hukum yang satu dengan peraturan hukum yang lain baik
secara horizontal maupun vertikal baik hubungan yang secara internal didalam peraturan
hukum tersebut yang dihubungkan antara satu dengan lainnya ataupun dengan
menghubungkan peraturan hukum yang satu dengan peraturan hukum yang lain baik secara
12
HUKUM PERJANJIAN INTERNASIONAL BAGIAN 2
horizontal maupun vertikal. Hal ini ini disebut dengan metode penafsiran sistematis. Adapun
cara lain untuk menemukan makna maupun tujuan suatu peraturan hukum yakni dengan
melihat apa yang menjadi tujuannya hal ini disebut dengan penafsiran teleologis. Namun,
dalam perkembangan akhir-akhir ini para sarjana memunculkan lagi berbagai metode
penafsiran lain yang lebih aktual atas peraturan hukum, seperti penafsiran futurologist,
sebagainya.
Dalam doktrin muncul tiga aliran besar dalam penafsiran atas suatu perjanjian internasional,
yakni aliran yang menekankan pada naskap perjanjian (textual school), aliran yang
menekankan pada maksud dari para pihak (intention of the parties school), dan aliran yang
menekankan pada maksud dan tujuan dari perjanjian (teological school). Aliran yang
pertama menyatakan teks atau naskah perjanjian itu sendirilah yang secara tegas merupakan
wujud dari maksud atau kehendak para pihak. Menurut aliran yang kedua, makna yang
terkandung dalam suatu perjanjian internasional hendaknya dicari pada maksud dari pihak
ketika mereka merundingkan perjanjian itu. Sedangkan aliran yang ketiga, menitik-beratkan
pada tujuan perjanjian. Karena pengaruh dari berbagai factor, apa yang menjadi tujuannya
belum tentu sama seperti ketika dalam proses perundingan ataupun belum tentu sama seperti
yang tertuang di dalam naskah perjanjian. Semua aliran ini pada dasarnya bisa saling
menutupi atau melengkapi kelemahan dan kekurangan masinh-masing. Oleh karena itu tidak
Dalam konvensi Wina 1969 penafsiran tentang perjanjian internasional diatur dalam tiga
pasal yakni Pasal 31,32, dan 33. Pasal 31 mengatur tentang peraturan umum tentang
13
HUKUM PERJANJIAN INTERNASIONAL BAGIAN 2
penafsiran, pasal 31 tentang sarana pelengkap dalam melalkukan penafsiran, pasal 33 tentang
penafsiran atas perjanjian internasional yang disahkan dalam dua bahasa atau lebih.
14
HUKUM PERJANJIAN INTERNASIONAL BAGIAN 2
BAB VIII
VIII. 1. Pendahuluan.
Suatu perjanjian internasional yang sudah mulai berlaku dan bahkan sudah
dilaksanakan, mungkin dalam beberapa hal sudah tidak sesuai lagi, dan oleh karena itu perlu
diubah. Siapa yang mengubah? Sudah tentu adalah para pihak yang terikat pada perjanjian
semua pihak dalam Perjanjian perjanjian bilateral ataupun multilateral terbatas atau tertutup
ataupun perjanjian multilateral yang terbuka Tetapi hanya dalam ruang lingkup yang terbatas
maka para pihak itu adalah negara-negara yang terikat di dalam perjanjian tersebut. Dalam
konvensi Wina 1969 semua negara ini, Yakni negara-negara yang sudah terikat ataupun
belum terikat Tetapi semuanya ikut serta dalam proses perundingan atau perumusan naskah
perjanjian yang disebut dengan negotiating states. Mereka itulah ah yang harus dilibatkan
perjanjian internasional semacam ini, adalah amat tidak bijaksana jika pengamandemenan
hanya dilakukan oleh sejumlah kecil negara-negara yang sudah terikat pada perjanjian itu
saja.
15
HUKUM PERJANJIAN INTERNASIONAL BAGIAN 2
diatur dalam pasal 39 dan 40. pasal 39 mengatur tentang ketentuan umum berkenaan dengan
multilateral menurut pasal 39, suatu perjanjian internasional dapat diamandemen berdasarkan
Oleh karena dalam perjanjian internasional bilateral hanya terlibat dua pihak, tentulah
internasional multilateral jika kedua pihak sudah dapat sepakat untuk mengamandemen dan
juga sepakat atas ketentuan hasil amandemen nya, maka ketentuan hasil amandemen itu
amandemen itu melalui prosedur yang disepakati oleh kedua pihak akan berlaku untuk
mengikat sebagai hukum positif terhadap kedua pihak. Dengan mulai berlaku atau
mengikatnya ketentuan perjanjian hasil amandemen maka ketentuan dari perjanjian yang
lama karena sudah diamandemen, tidak berlaku lagi terhitung dari saat mulai berlakunya
40 ayat 1, 2, 3, 4 dan 5. Apa ditentukan dalam pasal 40 ayat 1-5 masih perlu dibahas lebih
mendalam supaya substansinya lebih jelas. pasal ini khususnya ayat 2 sampai 5, pada
dasarnya mengatur tentang prosedur atau tata cara melakukan amandemen atas suatu
perjanjian internasional multilateral sepanjang perjanjian itu sendiri ataupun para pihak tidak
pertama-tama tentulah harus berdasarkan atas adanya inisiatif dari salah satu atau lebih
16
HUKUM PERJANJIAN INTERNASIONAL BAGIAN 2
perjanjian itu harus disampaikan kepada semua negara yang telah menyatakan persetujuannya
untuk terikat pada perjanjian tersebut. Dalam ayat 3 ditegaskan bahwa setiap negara yang
berhak untuk menjadi pihak atau peserta pada perjanjian itu juga berhak untuk menjadi pihak
atau peserta pada perjanjian hasil amandemen. Karena isi dan sifat perjanjian itu sendiri
sebagai perjanjian terbuka , maka kepada negara-negara itu diberikan hak untuk menjadi
pihak atau peserta pada perjanjian hasil amandemen, yang sudah tentu harus dilakukan
dengan cara yang sama dengan menyatakan persetujuan terikat sebagaimana ditentukan
secara tegas di dalam perjanjian itu sendiri, jika perjanjian itu memang mengaturnya.
Sedangkan ayat 4 menegaskan tentang konsekuensi hukum atas tindak suatu negara peserta
yang tidak menyatakan persetujuan terikat pada naskah atau ketentuan perjanjian hasil
amandemen. Ayat 5 menegaskan tentang negara yang menjadi pihak atau peserta atau negara
yang menyatakan persetujuan untuk terikat setelah perjanjian hasil amandemen itu mulai
berlaku.
Ayat 2 sampai 5 Ini Membutuhkan pembahasan secara lebih mendalam, sebab dalam
praktek masalahnya tentulah tidak sederhana. Apabila perjanjian itu merupakan perjanjian
multilateral tertutup atau perjanjian yang melahirkan kaidah hukum yang hanya mengikat
negara-negara yang menjadi pihak atau peserta itu saja, maka usul untuk mengamandemen
berkepentingan untuk memutuskan Apakah usul untuk mengamandemen itu disetujui ataukah
tidak. Negara-negara peserta itulah yang nantinya sesuai dengan prosedur dan pengambilan
suara yang akan disepakati oleh mereka akan memutuskan Apakah setuju atau tidak
dilakukan amandemen atau kah tidak. Jika mereka tidak menyetujui dilakukan amandemen,
17
HUKUM PERJANJIAN INTERNASIONAL BAGIAN 2
jadi usul itu ditolak maka tentulah tidak perlu dilanjutkan dengan perundingan untuk
mengamandemen.
Jika telah berhasil disepakati naskah atau ketentuan perjanjian hasil amandemen maka
masalah yang perlu ditegaskan lebih dahulu adalah dalam bentuk hukum Apakah naskah
perjanjian hasil amandemen itu harus ditetapkan. Dalam bentuk hukum apapun ketentuan
perjanjian hasil amandemen itu ditetapkan, satu hal yang penting untuk dipahami adalah
bentuk dan substansi dari perjanjian yang lama memiliki derajat sama dengan bentuk dan
naskah amandemennya ditempatkan dalam bentuk hukum yang sama dengan perjanjian yang
lama. Jelasnya, sebuah Konvensi yang Kemudian beberapa ketentuan yang diamandemen dan
hasil amandemen tersebut dituangkan juga dalam sebuah Konvensi sehingga akan terdapat
lebih dari satu konferensi yakni konferensi yang semula dan ada konvensi-konvensi hasil
amandemen. Semakin sering ketentuan Konvensi itu diamandemen, baik ketentuan yang
sebelumnya sudah pernah diamandemen maupun ketentuan-ketentuan yang lain maka akan
Masalah lain yang juga perlu mendapat perhatian adalah tentang persyaratan. Dapatkah
negara-negara yang hendak menyatakan persetujuan atas terikat mengajukan persyaratan atas
ketentuan perjanjian hasil amandemen itu? Mengingat makna dari reservasi atau persyaratan
itu adalah sebagai perwujudan dari kedaulatan negara menjadi sama dengan makna
persetujuan untuk terikat pada perjanjian serta adanya kemungkinan ketentuan perjanjian
hasil amandemen itu pun tidak sepenuhnya dapat diterima maka negara-negara itu pun dapat
18
HUKUM PERJANJIAN INTERNASIONAL BAGIAN 2
diamandemen maka semakin besar pula kemungkinan terbagi-bagi nya negara-negara yang
terikat pada perjanjian tersebut. Hal ini terjadi karena negara-negara yang memiliki
kebebasan penuh sebagai manifestasi dari kedaulatan nya untuk memilih dan menentukan
sendiri kepada ketentuan yang manakah negara itu hendak mengikatkan diri.
Dalam pasal 41 Konvensi Wina 1969 diatur tentang modifikasi atas perjanjian
modifikasi atas ketentuan suatu perjanjian internasional, cara melakukannya ternyata tidak
sesuai amandemen dan karena itu prosedur nya pun lebih mudah. modifikasi sudah dapat
dilakukan sekurang-kurangnya antara dua pihak yang terikat pada perjanjian, tanpa perlu
melibatkan pihak-pihak lainnya. Sesuai dengan ketentuan ayat 1 butir B yakni jika
pengaturan tentang modifikasi tidak diatur secara khusus di dalam perjanjian Itu sendiri,
maka modifikasi dapat dilakukan apabila terpenuhi syarat, pertama, tidak mempengaruhi
pihak-pihak atau negara-negara peserta yang lainnya dalam menikmati hak-haknya ataupun
efektif perang tersebut. Tegasnya modifikasi itu tidak boleh mengakibatkan terpengaruhi nya
hak-hak yang dinikmati negara-negara peserta lain yang tidak turut dalam modifikasi tersebut
demikian juga tidak boleh sampai mengganggu pelaksanaan kewajibannya. Jadi masing-
masing dapat dilaksanakan secara bersamaan tanpa saling mengganggu ataupun menghambat.
multilateral yang membebani kewajiban atau memberikan hak kepada negara ketiga baik
negara ketiga yaitu berupa 1 Negara atau lebih, sebagaimana sudah diatur dalam bagian IV
19
HUKUM PERJANJIAN INTERNASIONAL BAGIAN 2
Seksi 4 Pasal 34 sampai 38 Konvensi Wina 1969. Untuk menjawab permasalahan ini secara
lebih mendalam baiknya ditinjau kembali tentang Perjanjian perjanjian internasional yang
membebani kewajiban atau memberikan hak kepada negara ketiga sebagaimana ditentukan
dalam pasal 34 sampai dengan 38 Konvensi. Di dalam pasal 35 yang mengatur tentang
pembebanan kewajiban kepada negara ketiga, pertama-tama yang penting untuk diperhatikan
adalah para pihak yang terikat pada perjanjian itu memang bermaksud membebani kewajiban
kepada negara ketiga dan yang kedua adalah negara ketiga itu sendiri menyetujuinya secara
tegas yang dinyatakan dalam bentuk tertulis. Demikian juga tentang perjanjian internasional
yang memberikan hak kepada negara ketiga seperti diatur dalam pasal 36 para pihak yang
terikat pada perjanjian memang bermaksud memberikan hak itu kepada negara ketiga atau
sekelompok negara ketiga ataupun semua negara ketiga dan negara ketiga itu menyetujuinya,
baik persetujuannya dikemukakan secara tegas ataupun secara diam-diam. Jika dilihat dan
dibaca pasal 37 ayat 1 dan 2 konvensi, ternyata dibedakan antara penarikan kembali atau
pengubah kewajiban pada satu pihak dan hak pada lain pihak jika yang ditarik kembali atau
diubah adalah kewajiban negara ketiga maka hal ini hanya bisa dilakukan dengan persetujuan
dari negara ketiga yang bersangkutan. Sedangkan penarikan kembali atau pengubahan hak
secara tegas dinyatakan dalam ayat 2 bahwa hal itu tidak dibenarkan tanpa persetujuan dari
Terkadang suatu perjanjian internasional yang telah berlaku dalam jangka waktu yang
demikian lama, dalam pelaksanaannya lama-kelamaan ternyata oleh para pihak baik secara
keseluruhan ataupun antara beberapa negara pesertanya saja tidak sepenuhnya dilaksanakan
sebagaimana isi dan jiwa dari ketentuan perjanjian itu sendiri tetapi dalam beberapa hal justru
20
HUKUM PERJANJIAN INTERNASIONAL BAGIAN 2
bertentangan dengan isi dari ketentuan perjanjian tersebut. Penyimpangan ini ternyata
dibiarkan berlangsung terus-menerus dalam jangka waktu yang cukup lama sehingga yang
tampak sebagai perjanjian justru adalah perilaku atau praktik yang menyimpang itu. Dalam
kenyataannya, praktek-praktek itu sendiri amat bervariasi antara perjanjian yang satu dengan
lainnya. Tegasnya, sangat bervariasi mulai dari. ekstrim yang satu yakni, praktek atau
perilaku yang mengubah hanya sebagian kecil dan masih merupakan pengubahan yang ringan
hingga. Ekstrem yang lain yakni berupa praktek atau perilaku yang berupa pengubahan yang
mencakup sebagian besar dari ketentuan perjanjian itu. Hal ini memang Sesuai dengan pasal
31 ayat 3 butir C Konvensi Wina 1969 yang mengatur tentang penafsiran suatu perjanjian
dalam melakukan penafsiran atas ketentuan suatu perjanjian internasional harus perlu
diperhatikan konteksnya yang antara lain adalah praktek-praktek yang sesudahnya dalam
pelaksanaan perjanjian internasional itu sendiri dan dari praktek-praktek tersebut dapat
disimpulkan atau ditafsirkan sebagai adanya suatu persetujuan dari para pihak.
internasional adalah jika salah satu negara pesertanya mengalami peristiwa penggantian
negara. Misalnya, salah satu negara peserta itu pecah menjadi beberapa negara atau 1 bagian
wilayahnya memisahkan diri menjadi sebuah negara merdeka dan berbagai macam peristiwa
penggantian negara yang lainnya yang ternyata berpengaruh terhadap kedudukan negara yang
lama terhadap perjanjian internasional yang akan diamandemen itu jika suatu negara pecah
menjadi beberapa negara yang lebih kecil dan eksistensi dari negara yang lama menjadi
berakhir ataupun jika masih tetap namun tidak seperti semula, misalnya dalam kasus
pecahnya uni soviet menjadi beberapa negara atau dalam kasus yugoslavia, maka menjadi
21
HUKUM PERJANJIAN INTERNASIONAL BAGIAN 2
pertanyaan negara manakah yang menggantikan kedudukan negara yang lama dalam
hubungannya dengan suatu perjanjian internasional. Jika negara-negara baru itu sudah dapat
internasional dimana negara yang lama menjadi pihak atau peserta, maka negara pengganti
itulah yang harus dimintakan persetujuannya dan diundang sebagai pihak atau peserta dalam
dengan cara kekerasan dan hubungan antara negara-negara baru itu tidak harmonis maka
saling memperebutkan karena masing-masing merasa dirinya berhak karena akan mendapat
banyak manfaat dari perjanjian itu ataupun sebaliknya mungkin juga saling menghindar
karena perjanjian itu merupakan beban yang memberatkan mereka. Upaya terbaik untuk
perjanjian internasional sebagai akibat dari terjadinya peristiwa penggantian negara ataupun
pemerintah yang dialami oleh salah satu negara peserta perjanjian adalah menunggu
selesainya pengaturan oleh negara atau negara-negara yang bersangkutan atas masalah
internal maupun eksternal yang timbul oleh peristiwa penggantian negara yang sedang
dihadapinya.
VIII. 10. Amandemen suatu Perjanjian Internasional yang Diprakarsai oleh Organisasi
Internasional
Ditinjau dari segi pemrakarsa lahirnya suatu perjanjian internasional dibedakan antara
ketentuan perjanjian itu hendak diamandemen negara peserta yang berinisiatif untuk
melakukan amandemen nya harus mengajukan usul amandemen yaitu kepada organisasi
internasional yang memprakarsai nya atau yang menaunginya, selanjutnya organisasi itu
22
HUKUM PERJANJIAN INTERNASIONAL BAGIAN 2
menyampaikan usul amandemen itu kepada negara-negara yang menjadi pesertanya atau
negara-negara yang berhak ikut serta dalam proses pengambilan keputusan untuk dilakukan
amandemen dan yang juga berhak untuk ikut serta dalam proses perundingan nya dan
selanjutnya negara itu pun berhak untuk menyatakan persetujuannya untuk terikat.
VIII. 11. Amandemen atas Perjanjian Internasional yang Merupakan Piagam Suatu
Organisasi Internasional
Pada sisi lain ada pula perjanjian-perjanjian internasional yang merupakan constituent
tentang pengamandemenan nya. dengan sendirinya pula organisasi internasional itu sendiri
melibatkan negara-negara anggotanya. Jika piagam itu membuka kesempatan bagi negara-
negara anggotanya untuk menentukan sendiri tentang ketentuan yang manakah yang akan
negara itu pada piagam tersebut yang tentu saja akan dapat menghambat atau mengganggu
usaha-usaha mencapai maksud dan tujuan piagam yang tidak lain adalah juga tujuan dari
organisasi internasional itu sendiri. Secara umum, amandemen atas ketentuan suatu
cukup dominan dari organisasi internasional itu sendiri maupun negara-negara anggotanya
sebagaimana ditentukan di dalam pasal yang secara khusus mengatur tentang amandemen
23
HUKUM PERJANJIAN INTERNASIONAL BAGIAN 2
internasional yang merupakan piagam satu organisasi internasional yang diatur sendiri di
dalam salah satu pasal dari piagam yaitu. adanya pengaturan secara tegas ini secara teoritis
memang amat memudahkan untuk melakukan amandemen sebab sudah diatur secara pasti
dalam piagam itu sendiri meskipun dalam prakteknya selalu ada kendala, terutama kendala
politis.
24
HUKUM PERJANJIAN INTERNASIONAL BAGIAN 2
BAB X
X. 1. Pendahuluan
Suatu perjanjian internasional yang sudah berlaku bahkan sudah diterapkan dengan
kadang antara alasan-alasan untuk keabsahannya penundaan maupun pengaturannya ada yang
sama antara satu dengan lainnya dan ada yang berbeda. Konvensi Wina 1969 mengatur
tentang ketiga hal ini ( ketidak absahan, pengakhiran, dan penundaan suatu perjanjian
internasional) dalam bagian V yang terdiri dari 4 seksi dan ke-4 seksi ini meliputi
31 pasal, yakni, pasal 42 sampai 72. Seksi 1 tentang ketentuan umum yang terdiri dari 4
pasal yakni, 42, 43, 44 dan 45. Suatu perjanjian internasional yang terdiri dari 8 pasal yakni,
pasal 46, 47, 48, 49, 50, 51, 52, dan 53. Seksi 3 tentang penaksiran dan penundaan
pelaksanaan suatu perjanjian internasional yang terdiri dari 11 pasal yakni pasal 54, 55, 56,
57, 58, 59, 60, 61, 62, 63 dan 64. Seksi 4 tentang prosedur yang terdiri dari 8 pasal yaitu pasal
65, 66, 67, 68, 69, 70, 71 dan 72. Secara sepintas, karena demikian banyaknya pasal yang
mengatur tentang ketidak absahan, pengakhiran, dan penundaan berlakunya suatu perjanjian
klaim sebagai tidak sah diakhiri berlakunya, ataupun ditunda penerapannya. Seolah-olah
semua tenaga, biaya, waktu, dan keahlian yang telah ditumpahkan dalam proses pembuatan
maupun penerapannya akan menjadi mubazir sebab negara atau negara-negara peserta yang
merasa dirugikan akan dengan mudah mengklaim bahwa suatu perjanjian internasional itu
tidak sah dan harus diakhiri berlakunya bahkan harus ditunda penerapannya.
25
HUKUM PERJANJIAN INTERNASIONAL BAGIAN 2
berbagai masalah yang dapat dikedepankan untuk selanjutnya dibahas satu persatu secara
lebih rinci dan mendalam. namun apapun masalah-masalah yang timbul berkenaan dengan
penundaan atas suatu perjanjian internasional semuanya akan menjadi amat ideal jika para
pihak yang terikat pada perjanjian internasional itu mengkonsultasikannya Dan pada akhirnya
dapat dicapai kesepakatan yang kemudian ditaati dan dilaksanakan sesuai dengan isi
kesepakatan tersebut.
Ada dua kemungkinan mengenai Kapan dapat dilakukan penundaan atas pelaksanaan
dilaksanakan meskipun sudah dapat dipastikan akan terpenuhi syarat untuk mulai berlakunya.
Kedua suatu perjanjian internasional yang sudah berlaku dan dilaksanakan bahkan sudah
menimbulkan akibat-akibat hukum terhadap para pihak juga karena satu dan lain hal
kemudian ditunda pelaksanaannya baik untuk suatu jangka waktu tertentu ataupun suatu
dilakukan berdasarkan atas kesepakatan antara semua pihak atau pesertanya. Dalam suatu
perjanjian bilateral penundaan nya dengan mudah dapat dilakukan jika kedua pihak memang
sepakat untuk menunda nya. Demikian juga dalam perjanjian internasional multilateral jika
26
HUKUM PERJANJIAN INTERNASIONAL BAGIAN 2
X. 2. 3. Penundaan atau Seluruh, Sebagian, atau Hanya atas Beberapa Ketentuan Tertentu
Beberapa negara peserta dapat mencapai kesepakatan untuk menunda penundaan itu
berlaku hanya terbatas antara mereka saja sedangkan terhadap negara-negara peserta yang
lainnya perjanjian itu tetap dilaksanakan seperti biasa. Pada lain pihak semua negara peserta
dalam suatu perjanjian internasional juga dapat menunda pelaksanaan perjanjian internasional
tidak atau seluruh ketentuan perjanjian tersebut tetapi hanya atas sebagian ataupun beberapa
ketentuan tertentu saja sedangkan sebagian atau sebagian besar dari ketentuan perjanjian
yang tidak ditunda pelaksanaannya, akan terus dilaksanakan seperti biasa terhadap semua
negara pesertanya. Jadi sebagian atau beberapa ketentuan tertentu dari perjanjian hanya
berlaku terhadap negara-negara itu saja sedangkan negara-negara peserta yang lainnya tetap
Faktor penyebab untuk pelaksanaan suatu perjanjian internasional secara objektif dapat
diterima oleh para pihak sehingga mereka sepakat untuk menunda pelaksanaannya.
Terkadang faktor penyebab ini dapat berupa tindakan sepihak oleh salah satu pihak dan pihak
yang lainnya secara sepihak membalasnya dengan cara tidak mau melaksanakan perjanjian
itu. Ataupun bisa jadi ada faktor eksternal yang berpengaruh atas pelaksanaan perjanjian,
misalnya karena terjadi suatu peristiwa di luar kehendak para pihak yang mengakibatkan
pelaksanaan perjanjian itu terganggu sehingga praktis perjanjian itu tidak dapat dilaksanakan.
27
HUKUM PERJANJIAN INTERNASIONAL BAGIAN 2
Dilihat dari subjek-subjek hukum atau para pihak yang terikat pada suatu perjanjian
internasional, menurut pasal 57 suatu perjanjian dapat ditunda berlakunya berdasarkan atas
kesepakatan semua pihak atau berdasarkan atas kepentingan suatu negara atau satu pihak
tertentu saja. Jika perjanjian internasional itu mengatur tersendiri tentang adanya
kemungkinan untuk mendapat sanaan nya, maka penundaan nya harus dilakukan sesuai
dengan ketentuan tentang penundaan tersebut. sebaliknya jika pengaturan semacam itu tidak
ada perjanjian itu juga dapat ditunda pelaksanaannya dengan terlebih dahulu dilakukan
Menurut pasal 58 ayat 1, dua pihak atau lebih pada suatu perjanjian internasional
ketentuan perjanjian tersebut untuk sementara waktu dan hanya berlaku antara mereka sendiri
perjanjian itu sendiri penundaan tersebut tidak dilarang perjanjian itu dan tidak
kewajibannya berdasarkan perjanjian tersebut serta tidak bertentangan dengan maksud dan
tujuan perjanjian itu. Pasal 58 ayat 1 butir b memberikan kesempatan kepada para pihak
mencapai kesepakatan untuk melakukan penundaan tersebut hanya saja harus terpenuhi
Di dalam pasal 59 dan 60 diatur tentang penaksiran dan penundaan atas pelaksanaan
adanya alasan yang sama yang dapat dikemukakan baik untuk mengakhiri maupun menunda
28
HUKUM PERJANJIAN INTERNASIONAL BAGIAN 2
tentang akhiran atau penundaan atas pelaksanaan perjanjian internasional yang disebabkan
karena adanya pelanggaran atas ketentuan perjanjian pasal 60 ayat 1 mengatur tentang
pelanggaran atas perjanjian internasional bilateral yang dapat mengakibatkan penundaan atas
internasional multilateral. Pasal 60 ayat 3 menegaskan tentang apa yang dimaksud dengan
pelanggaran atas materi perjanjian yaitu meliputi penolakan atau penyangkalan atas ketentuan
perjanjian tersebut oleh salah satu pihak dan penolakan itu tidak dibenarkan oleh konvensi
wina 1969 atau pelanggaran oleh salah satu pihak atas ketentuan perjanjian yang sangat
esensial untuk memenuhi maksud dan tujuan perjanjian pasal 60 ayat 4 menegaskan bahwa
ayat-ayat ini tidak dimaksudkan untuk mengesampingkan ketentuan dalam perjanjian yang
mengatur secara tegas tentang penundaan nya sebagai konsekuensi dari adanya pelanggaran
tersebut. Pasal 60 ayat 5 menyatakan bahwa ayat 1-3 dari pasal 60 ini tidak berlaku terhadap
seseorang atau individu yang terdapat di dalam perjanjian-perjanjian yang mengandung nilai-
pelarangan atas segala bentuk tindakan dengan hak-hak asasi individu-individu atau orang-
Jika ada salah satu atau lebih negara peserta yang menghendaki penundaan pelaksanaan
suatu perjanjian internasional, pihak yang bersangkutan harus memberitahukan secara tertulis
kepada pihak lain atas keinginannya untuk melakukan penundaan tersebut. Pemberitahuan itu
harus disertai dengan usulan mengenai langkah-langkah apa yang harus ditempuh berkenaan
dengan penundaan disertai dengan alasannya Mengapa perlu dilakukan penundaan. Jika
dalam tempo paling lama 3 bulan terhitung mulai tanggal diterimanya pemberitahuan untuk
29
HUKUM PERJANJIAN INTERNASIONAL BAGIAN 2
melakukan penundaan tersebut ternyata tidak ada keberatan atau penolakan dari negara-
negara peserta yang lainnya negara yang mengusulkan penundaan tersebut dapat menempuh
mengenai langkah-langkah yang akan ditempuh harus ditandatangani oleh kepala negara atau
kepala pemerintah atau menteri yang berwenang dalam masalah-masalah luar negeri. Jika
instrumen itu ditandatangani bukan oleh salah satu dari pejabat tinggi negara tersebut maka
pejabat yang menandatangani instrumen itu haruslah memperoleh surat kuasa atau kuasa
penuh.
menimbulkan konsekuensi hukum baik terhadap perjanjian itu sendiri terhadap para pihak,
Bahkan dalam hal-hal tertentu juga terdapat pihak ketiga. Jika perjanjian itu sendiri sudah
mengaturnya, maka segala sesuatunya harus dilakukan sesuai dengan ketentuan tersebut. Jika
tidak ada pengaturannya di dalam perjanjian itu sendiri, tetapi para pihak ketiga sepakat
untuk menunda pelaksanaannya dan ternyata juga sudah mengatur segala konsekuensi hukum
yang terjadi akan terjadi atau diperkirakan akan terjadi maka dalam hal seperti ini Apa yang
di sepakati itulah yang harus diikuti. Sebaliknya jika keduanya itu tidak ada sama sekali jadi
para pihak sepakat untuk menunda pelaksanaan perjanjian saja Maka timbul persoalan
internasional yang pelaksanaannya hanya untuk sebagian atau beberapa ketentuan saja dari
keseluruhan ketentuannya Berdasarkan kesepakatan dari seluruh negara pesertanya, dan pula
konsekuensi hukumnya hanya atas sebagian atau beberapa ketentuan yang saja yang berlaku
terhadap seluruh negara pesertanya. Sedangkan sebagian lagi dari ketentuan perjanjian yang
tidak ditunda pelaksanaannya masih tetap harus dilaksanakan oleh seluruh negara peserta
tersebut.
30
HUKUM PERJANJIAN INTERNASIONAL BAGIAN 2
BAB XI
XI. 1. Pendahuluan
Secara garis besar ada dua alasan mengapa ketidaksamaan suatu perjanjian
internasional dikemukakan belakangan, yakni setelah mulai berlaku atau diterapkan, bukan
pada waktu merumuskan atau pada waktu mengikatkan diri pada perjanjian
itu. Pertama, Karena pihak yang mengklaim suatu perjanjian internasional tidak sah baru
belakangan dapat mengetahui penyebab dari ketidak sahamnya. Kedua, meskipun alasan itu
sudah diketahui ketika proses pembuatannya atau sebelum perjanjian mulai berlaku tetapi
pada waktu itu tidak dapat dikemukakan disebabkan karena situasi dan kondisi yang tidak
memungkinkan. Setelah perjanjian mulai berlaku serta situasi dan kondisi memungkinkannya
barulah alasan untuk menyatakan perjanjian itu tidak sah dapat dikemukakan. Secara teoritis
sebagian saja sedangkan untuk sebagian lagi atau sebagian besarnya perjanjian itu masih bisa
dinyatakan sah hal ini hanya mungkin jika secara substansial perjanjian itu dapat dipisah-
pisahkan menjadi bagian-bagian dan jika 1 bagian saja di klaim tidak sah, tidak akan
menurut pasal 42 ayat 1 kawasan itu dibedakan atas dua macam yaitu keabsahan atas
perjanjian internasional itu sendiri dan keabsahan atas persetujuan suatu negara untuk terikat
pada perjanjian. Secara teoritis Keduanya dapat dibedakan sebagai berikut: pertama, yang
dipersoalkan adalah keabsahan perjanjian internasional itu sendiri yang disebabkan karena
hal-hal yang terletak diluar diri masing-masing negara atau sebagai hasil interaksi negara-
31
HUKUM PERJANJIAN INTERNASIONAL BAGIAN 2
negara ataupun wakil wakil dari negara-negara yang melakukan perundingan yang
mengakibatkan kerugian dari salah satu atau lebih negara pesertanya dan karena itu negara
itu. kedua, Masalahnya terletak pada persetujuan suatu negara untuk terikat pada suatu
perjanjian internasional. tegasnya persetujuannya untuk terikat dipandang tidak sah oleh
negara itu sendiri yang sudah tentu berdasarkan atas alasan yang menurutnya cukup kuat.
XI. 3. Kesinambungan atas Kewajiban yang Berdasarkan atas Hukum Internasional Umum
Apabila pada suatu waktu perjanjian itu dinyatakan tidak sah, ditunda pelaksanaannya,
atau pun diakhiri berlakunya, maka dalam hal ini timbul persoalan Apakah kewajiban yang
tercantum di dalam perjanjian demikian itu yang sebenarnya merupakan kewajiban yang
sudah ada jauh sebelumnya berbentuk kaidah hukum kebiasaan internasional yang berlaku
umum juga menjadi berakhir, tidak sah ataupun ditunda pelaksanaannya. Dapat dibayangkan
Apa yang akan terjadi jika kewajiban demikian itu juga turut berakhir atau ditunda
negara-negara ataupun organisasi internasional, peristiwa pelayaran kapal kapal Niaga asing
di laut teritorial negara negara partai ataupun kewajiban untuk tidak saling mencampuri
urusan dalam negeri masing-masing negara, atau kewajiban untuk saling menghormati
yang berlangsung setiap saat. a Oleh karena itu kewajiban kewajiban itu harus tetap terus
berlangsung atau tidak boleh diakhiri sebab sifatnya yang mandiri terlepas dari ada atau
tidaknya pengaturan atau penegasan dalam sebuah konferensi atau perjanjian internasional.
XI. 4. Ketidakabsahan atas Seluruh atau Sebagian dari Ketentuan Perjanjian Internasional
32
HUKUM PERJANJIAN INTERNASIONAL BAGIAN 2
Secara umum suatu perjanjian internasional dinyatakan tidak sah adalah atas
keseluruhan dari ketentuannya. Hal ini ditegaskan dalam pasal 44 ayat 2 bahwa alasan untuk
menyatakan suatu perjanjian internasional tidak sah sebagaimana diakui dalam konvensi
1969 ini hanya dapat dikemukakan berkenaan dengan keseluruhan ketentuannya. Jika salah
satu pihak menyatakan atau mengklaimnya sebagai tidak sah umrah maka ketidaksahan yaitu
adalah untuk keseluruhan ketentuan perjanjian itu sebab tidaklah mungkin untuk
mengklaimnya hanya atas satu atau beberapa ketentuan ataupun atas sebagian saja dari
perjanjian itu.
keseluruhan ketentuannya tetapi ayat 2 ini ini masih membuka pengecualian yakni
perjanjian dapat dipersoalkan keabsahannya hanya atas beberapa ketentuan tertentu saja atau
hanya sebagian saja dari substansinya adalah demi memelihara martabat dari perjanjian itu
sendiri supaya jangan sampai keseluruhan ketentuan suatu perjanjian dikorbankan atau
menjadi tidak berlaku atau berakhir eksistensinya pada hal yang dipersoalkan keabsahannya
hanyalah beberapa atau sebagian dari ketentuannya saja. 45 mengatur tentang hilangnya hak
ketentuan pasal 46 hingga 50 atau berdasarkan pasal 60 dan 62 jika sesudah menyadari atas
adanya fakta tersebut di mana negara atau negara-negara yang bersangkutan secara tegas
sepakat bahwa perjanjian itu sah atau masih tetap berlaku terus seperti apa adanya atau
penerimaan atau pengakuan atau keabsahan perjanjian itu ataupun atas penerapannya
sebagaimana adanya.
33
HUKUM PERJANJIAN INTERNASIONAL BAGIAN 2
Masalah yang paling tampak di permukaan adalah dalam peratifikasi and atau
persetujuan untuk mengikatkan diri pada suatu perjanjian internasional sebab hal inilah yang
menjadi penentu paling awal dari proses selanjutnya atas keterikatan negara pada suatu
perjanjian internasional. Pada sisi lain, dalam hal inilah ada kemungkinan adanya
persetujuan untuk terikat dari suatu negara pada perjanjian tersebut ternyata bertentangan
terikat pada suatu perjanjian yang menurut hukum atau peraturan perundang-undangan
nasional harus dilakukan oleh pihak eksekutif dengan terlebih dahulu mendapat persetujuan
dari pihak legislatif atau badan perwakilan rakyat nya, tetapi ternyata hanya dilakukan oleh
pihak eksekutif saja. Pihak legislatif yang merasa dilangkahi kemudian mempersoalkan nya
dan berpendapat bahwa perjanjian itu tidak sah disebabkan karena persetujuan untuk terikat
mengatur tentang perjanjian internasional. Dengan kata lain, ketidaksamaan suatu perjanjian
internasional didasarkan atas alasan hukum nasional. Konvensi wina 1969 telah
tentang hal ini hal tersebut dapat dikatakan logis sebagai hal itu merupakan masalah dalam
negeri dari negara yang bersangkutan yang tidak sepatutnya dijadikan alasan sebab dapat
merugikan negara-negara peserta yang lainnya maupun menurunkan martabat dari perjanjian
34
HUKUM PERJANJIAN INTERNASIONAL BAGIAN 2
Terkadang bisa terjadi kekeliruan atau kesalahan mengenai fakta ataupun situasi yang
ada atau terjadi pada waktu perundingan atau perumusan naskah perjanjian pasal 28 ayat 1
Konvensi memperkenankan suatu negara menjadikan kekeliruan atau kesalahan atas fakta
atau situasi ini sebagai alasan untuk menyatakan bahwa persetujuannya untuk terikat pada
perjanjian tersebut tidak sah. Selanjutnya negara itu dapat menjadikannya sebagai alasan
pula untuk menyatakan perjanjian itu sendiri tidak sah. Namun ada tiga persyaratan yang
harus dipenuhi supaya kekeliruan atau kesalahan tersebut dapat digunakan sebagai alasan
tersebut yaitu kekeliruan atau kesalahan itu berkenaan dengan suatu fakta dan situasi; fakta
atau situasi tersebut dapat dianggap oleh negara yang bersangkutan ada pada waktu
perumusan ketentuan naskah perjanjian itu; fakta atau situasi itu merupakan dasar yang
esensial bagi negara yang bersangkutan dalam menyatakan persetujuannya untuk terikat pada
perjanjian tersebut.
Menurut pasal 49, suatu negara yang menyatakan persetujuannya untuk terikat pada
suatu perjanjian internasional disebabkan karena adanya kecurangan dari negara mitra
beruntungnya negara yang merasa dirugikan dapat mengemukakan perilaku curang tersebut
sebagai alasan untuk menyatakan ketidak absahan suatu persetujuannya untuk terikat pada
perjanjian. Perilaku curang itu dilakukan oleh negara mitra brandingnya, misalnya dengan
cara membujuk negara yang bersangkutan untuk bersedia membuat suatu perjanjian.
akibatnya karena ada bujukan yang didalamnya tersembunyi suatu kecurangan itulah maka
negara yang bersangkutan bersedia untuk membuat dan menyetujui terikat pada perjanjian
tersebut. Kecurangan itu baru diketahui setelah perjanjian itu mulai berlaku dan karena baru
35
HUKUM PERJANJIAN INTERNASIONAL BAGIAN 2
belakang mengetahui bahwa dirinya dicurangi, maka negara yang bersangkutan dapat
Kecurangan lain yang dapat dijadikan alasan untuk menyatakan tidak sahnya
persetujuan suatu negara untuk terikat pada suatu perjanjian internasional adalah kecurangan
yang dilakukan oleh wakil atau utusan dari negara itu sendiri. Hal ini diatur dalam pasal 50
bahwa suatu negara dapat menyatakan persetujuannya untuk terikat pada suatu perjanjian
internasional telah dilakukan melalui satu kekurangan dari wakilnya sendiri dan perilaku
curang tersebut baik secara langsung ataupun tidak langsung disebabkan oleh negara mitra
berunding nya.
XI. 5. 5. Paksaan (Coercion) yang Dilakukan oleh Wakil dari Suatu Negara
Alasan lain bagi suatu negara dalam menyatakan persetujuannya untuk terikat pada
suatu perjanjian internasional tidak sah adalah seperti ditegaskan dalam pasal 51, yakni
bertujuan untuk terikat pada suatu perjanjian internasional telah dilakukan di bawah
kekerasan ataupun ancaman kekerasan terhadap Wakil atau utusan negara tersebut dan di
bawah kekerasan atau ancaman kekerasan itulah wakil atau utusan yaitu dengan terpaksa
XI. 5. 6. Ancaman atau Penggunaan Kekerasan oleh Suatu Negara yang merupakan
Pelanggaran atas Prinsip-Prinsip Hukum Internasional yang Terdapat Dalam Piagam PBB
penggunaan kekerasan oleh suatu negara terhadap negara lain sehingga negara yang
belakangan ini dengan terpaksa menyatakan persetujuannya untuk terikat pada suatu
perjanjian internasional. Dalam hal ini, yang melakukan penggunaan kekerasan ataupun
36
HUKUM PERJANJIAN INTERNASIONAL BAGIAN 2
mengancam dengan kekerasan adalah negara itu sendiri yang ditunjukkan terhadap negara
lain dengan maksud supaya negara itu menyatakan persetujuan terikat pada suatu perjanjian
internasional. Jadi dalam hal ini negara berhadapan dengan negara bukan wakil atau urusan
suatu negara berhadapan dengan wakil atau urusan negara mitranya, ataupun bukan juga
wakil atau utusan suatu negara dipaksa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan oleh suatu
negara.
mulai berlakunya, bisa jadi semuanya berlangsung sebagaimana mestinya sesuai dengan
prinsip-prinsip dan kaidah-kaidah hukum perjanjian internasional. Akan tetapi ketika proses
perumusan tersebut sedang berlangsung para pihak mungkin tidak tahu sama sekali atau
mungkin juga sudah mengetahuinya tetapi sengaja menutup mata bahwa substansi perjanjian
itu sebenarnya bertentangan dengan suatu kaidah hukum internasional umum yang tergolong
Jus Cogens atau kaidah hukum internasional sifatnya sangat kuat atau imperatif. Menurut
Untuk menyatakan suatu perjanjian internasional tidak sah atau persetujuan yang
terikat pada suatu perjanjian internasional tidak sah harus ditempuh prosedur atau tata cara
tertentu. Menurut pasal 65 ayat 1, pihak atau pihak-pihak yang menyatakan bahwa
persetujuannya untuk terikat pada suatu perjanjian internasional tidak sah ataupun alasan
untuk menyatakan suatu perjanjian internasional tidak sah harus memberitahukan secara
tertulis sebagaimana ditentukan dalam pasal 67 ayat 1, kepada pihak-pihak atau negara-
negara peserta yang lainnya atas pernyataan tersebut. Menurut pasal 65 ayat
1, pemberitahuan itu sudah tentu pula dengan menunjukkan langkah-langkah yang diusulkan
37
HUKUM PERJANJIAN INTERNASIONAL BAGIAN 2
untuk diambil atau ditempuh berkenaan dengan perjanjian itu. menurut pasal 67 ayat 2,
instrumen pemberitahuan seperti tersebut pada pasal 65 ayat 1 haruslah ditandatangani oleh
kepala negara atau kepala pemerintahan atau menteri luar negeri. Sudah tentu ketiga pejabat
negara ini tidak membutuhkan surat kuasa atau kuasa penuh. akan tetapi jika hal itu
dilakukan oleh wakil negara selain ketiga pejabat negara tersebut, maka dibutuhkan adanya
Secara garis besar, Ketidaksahan suatu perjanjian internasional ada Yang sifatnya
fakultatif atau relatif dan ada yang absolut. Suatu perjanjian internasional yang ketidaksahan
yang bersifat fakultatif atau relatif, penentuannya terserah sepenuhnya kepada negara yang
merasa dirugikan apakah akan menggunakan haknya ataukah tidak untuk menyatakan bahwa
perjanjian itu tidak sah. Ketidaksahan secara relatif atau fakultatif ini dapat dijumpai dalam
pasal 46 yakni persetujuan terikat bertentangan dengan hukum atau peraturan perundang-
undangan nasional nya yang paling fundamental. Pasal 47 tentang pembatasan yang
ditentukan secara khusus yang sudah diberitahukan sebelumnya kepada negara mitra
berunding nya, pasal 48 tentang adanya error atau kesalahan mengenai fakta atau
situasi, pasal 50 tentang kecurangan wakil dari salah satu negara mitra berunding baik yang
Pasal 69 ayat 1 yang menyatakan suatu perjanjian internasional yang tidak sahnya
sebagaimana diatur dalam konvensi Jenewa 1969 ini akibat hukumnya adalah
batal. Penentuan tentang waktunya Kapan perjanjian itu mulai batal, haruslah dihitung dari
saat mulai berlakunya perjanjian tersebut. Perjanjian yang dinyatakan batal dipandang
sebagai sama sekali tidak pernah ada, dan oleh karena itu sepanjang Masih Mungkin
semuanya harus dikembalikan kepada keadaan semula. Pasal 71 secara khusus mengatur
38
HUKUM PERJANJIAN INTERNASIONAL BAGIAN 2
tentang akibat hukum dari suatu perjanjian internasional yang bertentangan dengan Jus
Cogens dinyatakan batal. Dalam hal ini kaidah hukum yang tergolong Jus Cogens adalah
39
HUKUM PERJANJIAN INTERNASIONAL BAGIAN 2
BAB XII
XII. 1. Pendahuluan
Pada akhirnya suatu perjanjian internasional harus diakhiri atau terpaksa diakhiri
eksistensinya. Pihak yang dapat mengusulkan untuk mengakhiri eksistensi suatu perjanjian
internasional, adalah pihak yang merasa dirugikan atau pihak yang memandang bahwa
perjanjian itu tidak perlu dipertahankan lagi dan harus diakhiri. Pengakhiran ini juga akan
menimbulkan konsekuensi hukum seperti halnya dengan penundaan maupun ketidak absahan
nya yang harus diselesaikan oleh para pihak itu sendiri. Persoalan tentang bagaimana
Pada faktor eksternal maupun internal yang cukup kuat untuk mengakhiri berlakunya
suatu perjanjian internasional misalnya karena terjadi peristiwa seperti obyeknya dibom oleh
pihak ketiga sampai hancur lebur dan tidak layak lagi untuk dibangun kembali, sehingga
secara Absolut perjanjian itu sudah tidak dapat dilaksanakan lagi. demikian juga karena
terjadi konflik seperti perang yang berkepanjangan antara negara-negara yang terikat pada
perjanjian sehingga berpengaruh besar terhadap pelaksanaan dan eksistensinya jenis sendiri.
suatu perjanjian bilateral terpaksa harus diakhiri, disebabkan karena eksistensi salah satu
pihak terakhir dari pihak yang menggantikannya tidak bersedia meneruskan berlakunya
perjanjian tersebut. Selain itu pengakhiran atas eksistensi suatu perjanjian internasional dapat
disebabkan karena para pihak kemudian membuat perjanjian baru tentang masalah yang sama
40
HUKUM PERJANJIAN INTERNASIONAL BAGIAN 2
seperti yang diatur dalam perjanjian yang lama dan keduanya tidak mungkin diterapkan pada
maka Semenjak itu pula perjanjian itu tidak lagi memberikan hak maupun membebani
kewajiban kepada para pihak karena memang sudah tidak lagi merupakan hukum
internasional positif. Akan tetapi Perjanjian perjanjian internasional jenis tertentu yaitu
internasional coma hak atau kewajiban yang semula berasal dari hukum kebiasaan
internasional itu masih tetap berlaku. Tegasnya, salah satu atau beberapa ketentuannya
merupakan perumusan kembali atau kodifikasi and atas kaidah hukum yang sebelum
berlakunya perjanjian Itu sudah merupakan kaidah hukum kebiasaan internasional. Jika pada
suatu waktu perjanjian itu di akhir eksistensinya, hal ini tidaklah mengakhiri hak ataupun
kewajiban negara negara pesertanya yang bersumber dari hukum kebiasaan internasional
tersebut. Eksistensi dari kaidah hukum kebiasaan internasional masih tetap berlaku terus,
meskipun kaidah itu sudah diformulasikan atau dikodifikasikan ke dalam bentuk perjanjian
internasional. Bahkan masih tetap berlaku terus dan mengikat para pihak dalam perjanjian
internasional yang merupakan formulasi atau pengkodifikasian dari kaidah hukum kebiasaan
internasional meskipun pada suatu waktu perjanjian internasional tersebut dapat diakhiri
eksistensinya.
XII. 4. Pengakhiran atas Eksistensi Perjanjian Internasional Menurut Konvensi Wina 1969
41
HUKUM PERJANJIAN INTERNASIONAL BAGIAN 2
itu sendiri jika memang perjanjian itu secara tegas mengatur nya. Jika tidak ada
dimungkinkan juga untuk mengakhiri sebagian dari perjanjian itu apabila ada klausul yang
ketentuannya juga dapat dilakukan apabila terbukti adanya kekeliruan atau kesalahan
mengenai objek nya sebagai mana ditegaskan dalam pasal 49 atau seperti ditegaskan dalam
pasal 50 yaitu karena adanya kecurangan dari wakil atau utusan dari suatu negara dalam suatu
karena dibuat perjanjian yang baru. Dalam hal ini, semua negara peserta pada perjanjian yang
lama kemudian membuat perjanjian baru dan memang para pihak bermaksud untuk
menerapkan perjanjian yang baru untuk menggantikan perjanjian yang lama dan juga karena
substansi dari kedua perjanjian itu sangat berbeda bahkan bertentangan sehingga keduanya
Ditegaskan dalam pasal 60 ayat 1, Pelanggaran atas substansi perjanjian oleh salah satu
pihak dapat dijadikan alasan untuk mengakhiri berlakunya perjanjian, baik untuk
keseluruhannya ataupun sebagian. Ditegaskan kembali dalam ayat 2 Pelanggaran atas suatu
perjanjian internasional oleh salah satu pihak dapat dijadikan sebagai alasan bagi pihak
lainnya untuk bersepakat secara bulat untuk mengakhiri berlakunya perjanjian itu baik dalam
42
HUKUM PERJANJIAN INTERNASIONAL BAGIAN 2
hubungan antara mereka pada satu pihak dengan pihak yang melakukan pelanggaran pada
Pasal 61 ayat 3 menegaskan bahwa salah satu pihak dapat menyatakan untuk
mengakhiri berlakunya perjanjian dengan alasan bahwa perjanjian itu sudah tidak mungkin
lagi untuk dilaksanakan dan ketidakmungkinan itu sudah bersifat permanen atau
ketidakmungkinan yang disebabkan karena kerusakan dari objek nya yang ternyata tidak
dapat dipisahkan dari pelaksanaan perjanjian tersebut. Jadi ada dua macam
melaksanakan perjanjian internasional itu sudah bersifat permanen dan juga karena
kerusakan dari objek perjanjian itu tidak dapat dipisahkan dari pelaksanaannya atau dengan
kata lain kerusakan atas objek yaitu sudah tidak memungkinkan lagi untuk tetap
negatif, dalam pengertiannya hal ini tidak dapat dijadikan sebagai alasan untuk mengakhiri
fundamental sama sekali tidak ada penegasannya di dalam konvensi. Tiadanya penegasan
ini dapat diartikan bahwa penentuannya diserahkan pada praktek negara-negara ataupun pada
putusan badan penyelesaian sengketa jika menghadapi kasus yang berkaitan dengan ada atau
43
HUKUM PERJANJIAN INTERNASIONAL BAGIAN 2
Hubungan diplomatik atau konsuler yang baik antara negara-negara merupakan salah
dengan hubungan semacam itulah negara-negara akan lebih mudah dan cepat melakukan
dipandang sebagai suatu peristiwa yang terjadi secara insidental dan bersifat sementara
sebagai gangguan sementara atas hubungan dan hidup berdampingan secara damai negara-
negara. Dalam hubungan ini perjanjian internasional bilateral antara kedua pihak tidak perlu
terganggu eksistensinya oleh putusnya hubungan diplomatik atau konsuler antara kedua pihak
yang bisa terpengaruh oleh putusnya hubungan diplomatik atau konsulat tersebut adalah
pelaksanaannya. Dengan demikian dan dikemuka an2 putusnya hubungan diplomatik atau
konsuler antara dua negara tidak mengakhiri eksistensi dari perjanjian perjanjian bilateral
antara kedua pihak melainkan hanyalah merupakan penangguhan atau penundaan atau
sementara waktu atas pelaksanaannya saja yaitu selama putusnya hubungan diplomatik atau
konsuler.
menjadi pesertanya, sesuai dengan azas dari Hukum Perjanjian itu sendiri namun tidaklah
berarti mereka bebas menentukan isi maupun objek dari kesepakatannya. Ada beberapa
pembatasan yang harus diperhatikan salah satunya adalah substansi perjanjian itu tidak boleh
bertentangan dengan kaidah-kaidah hukum umum atau universal yang bersifat kuat dan
imperatif. Ditegaskan dalam pasal 53 yaitu suatu kaidah hukum yang diterima dan diakui
oleh seluruh anggota masyarakat internasional yang terdiri dari negara-negara sebagai suatu
kaidah hukum yang tidak dibenarkan untuk dilakukan penyimpangan dan yang hanya dapat
44
HUKUM PERJANJIAN INTERNASIONAL BAGIAN 2
diubah oleh kaidah hukum internasional umum yang muncul belakangan yang memiliki sifat
atau karakter yang sama. Jika misalnya 2 negara membuat suatu perjanjian bilateral yang
substansinya merupakan kesepakatan untuk menyerang negara lain perjanjian seperti ini
jelas-jelas bertentangan dengan kaidah hukum internasional yang tergolong Jus Cogens
Seperti telah dikemukakan diatas yakni kewajiban untuk menghormati kedaulatan sesama
Negara. menurut pasal 53 perjanjian semacam ini adalah batal dan demikian juga menurut
pasal 64 adalah batal dan perjanjian yang batal sama artinya dengan berakhir eksistensinya.
Konferensi Wina 1969 sama sekali tidak mengatur mengenai pecahnya perang antara
dua pihak atau lebih negara yang akan mengakhiri eksistensi dari perjanjian yang dibuat
sebelumnya. Pada prinsipnya perang yang terjadi tidak mengakhiri eksistensi perjanjian yang
sudah ada dan berlaku sebelumnya antara para pihak yang berperang. Akan lebih tepat
dikatakan bahwa perang itu hanyalah menunda pelaksanaan perjanjian antara para pihak yang
bilateral antara para pihak yang berperang yang pelaksanaannya sangat tergantung pada
adanya hubungan diplomatik yang normal atau yang pelaksanaannya membutuhkan kondisi
damai antara kedua pihak dengan terjadinya peperangan maka praktis perjanjian itu tidak
dapat di lagi dipertahankan dan oleh karena itu akan diakhiri oleh salah satu pihak dan bagi
pihak lainnya tidak ada jalan lain selain daripada menerima penghasilan secara sepihak
tersebut.
Jika terjadi situasi di mana Negara-negara peserta perjanjian internasional menarik diri
dari perjanjian tersebut maka para pihak yang masih tersisa dapat menempuh kesepakatan
45
HUKUM PERJANJIAN INTERNASIONAL BAGIAN 2
Menurut pasal 65 ayat 1 pihak yang bersangkutan dapat mengajukan keinginannya itu
kepada negara-negara peserta yang lainnya nya. Pengajuan usul nya itu harus dilakukan
secara tertulis disertai dengan alasan alasannya dan langkah-langkah yang seyogyanya dapat
ditempuh untuk mengakhiri eksistensi perjanjian tersebut. Menurut pasal 65 ayat 2 jika
dalam rentang waktu 3 bulan terhitung dari saat diterimanya usulan untuk mengakhiri
eksistensi perjanjian tersebut kecuali dalam keadaan yang sangat khusus ternyata tidak ada
satu pihak pun yang menyatakan penolakan atau keberatannya, maka pihak yang
mengajukan usulan itu dapat mengambil langkah-langkah yang seperti ditentukan dalam
pasal 67 yakni menyampaikan pernyataan bahwa perjanjian itu berakhir eksistensinya yang
harus disampaikan kepada negara-negara peserta lainnya. Pemberitahuan atau pernyataan itu
harus dilakukan secara tertulis dan ditandatangani oleh kepala negara atau kepala
pemerintahan atau menteri luar negerinya. Jika hal itu dilakukan oleh pejabat lain selain dari
pada ketiga pejabat negara tersebut, maka pejabat negara itu haruslah disertai dengan surat
kuasa atau kuasa penuh. Jika tidak disertai dengan kuasa penuh, maka keabsahannya dapat
dalam pasal 70 ayat 1 dan 2 konvensi. Menurut ayat 1, ada tiga kemungkinan nya yaitu
perjanjian itu mengatur tersendiri di dalam salah satu pasal atau ketentuannya; jika
pengaturan itu tidak ada kemungkinan kedua adalah para pihak mencapai kesepakatan
46
HUKUM PERJANJIAN INTERNASIONAL BAGIAN 2
tersendiri dan kemungkinan yang ketiga adalah jika keduanya tidak ada maka para pihak
47