Anda di halaman 1dari 7

1.

Judul Jurnal:
PERLINDUNGAN HUKUM TERTANGGUNG DALAM PEMBAYARAN KLAIM
ASURANSI JIWA
Nama Jurnal:
Dudi Badruzaman (2019). Jurnal Ekonomi dan Keuangan Syariah Vol. 3 No.1
Lampiran Jurnal:
https://ejournal.unisba.ac.id/index.php/amwaluna/article/view/4217/2729

a. Rumusan Masalah:
1. Bagaimana bentuk perlindungan hukum tertanggung dalam
pembayaran klaim asuransi jiwa?
2. Bagaimana tanggung jawab perusahaan asuransi dalam
pembayaran klaim asuransi jiwa?
3. .Bagaimana bentuk penyelesaian sengketa dan perbedaan unsur
premi asuransi syari’ah dengan dan konvensional?
b. Hasil Penelitian:
1. Bentuk perlindungan hukum tertanggung dalam pembayaran klaim
asuransi jiwa, apabila pihak penanggung wanprestasi berupa tidak
melaksanakan prestasi sesuai dengan yang diperjanjikan dalam polis
asuransi.
2. Tanggung jawab perusahaan asuransi dalam pembayaran klaim
asuransi jiwa sudah diatur dalam beberapa ketentuan hukum baik
dalam UU Perlindungan Konsumen, Kitab Hukum Perdata, Hukum
Dagang, dan dalam UU Tentang Usaha Perasuransian.
3. Bentuk penyelesaian sengketa antara tertanggung dengan
penanggung dalam pembayaran klaim asuransi jiwa pada umumnya
diselesaikan melalui lembaga arbitrase sesuai dengan klausula dalam
polis, akan tetapi apabila dalam polis tersebut tidak ditentukan
lembaga mana yang menyelesaikan sengketa maka dapat
mengajukan upaya hukum di PA maupun lembaga penyelesaian
sengketa di luar pengadilan.
c. Simpulan:
1. Bentuk perlindungan hukum tertanggung dalam pembayaran klaim
asuransi jiwa, apabila pihak penanggung wanprestasi berupa tidak
melaksanakan prestasi sesuai dengan yang diperjanjikan dalam polis
asuransi, yaitu tidak memberikan pembayaran klaim asuransi kepada
pihak tertanggung sesuai dengan jumlah pertanggungan, maka
tertanggung dapat melakukan upaya hukum berupa gugatan melalui
pengadilan maupun menyelesaikan melalui mekanisme yang ada
dalam polis asuransi jiwa.
2. Tanggung jawab perusahaan asuransi dalam pembayaran klaim
asuransi jiwa sudah diatur dalam beberapa ketentuan hukum baik
dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen, Kitab Undang-
Undang Hukum Perdata, Kitab Undang-Undang Hukum Dagang
maupun dalam Undang-Undang Tentang Usaha Perasuransian.
Tanggung jawab tersebut merupakan suatu tanggung jawab hukum
yang lahir dari perjanjian asuransi jiwa. Adapun kewajiban kewajiban
bagi pihak penanggung terhadap tertanggung adalah membayarkan
klaim asuransi jiwa sesuai dengan jumlah pertanggungan yang
tercantum dalam polis asuransi jiwa tersebut.
3. Bentuk penyelesaian sengketa antara tertanggung dengan
penanggung dalam pembayaran klaim asuransi jiwa, pada prinsipnya
prosedur penyelesaian sengketa antara tertanggung dengan
penanggung dalam pembayaran klaim asuransi jiwa pada umumnya
diselesaikan melalui lembaga arbitrase sesuai dengan klausula dalam
polis, akan
tetapi apabila dalam polis tersebut tidak ditentukan lembaga mana
yang
menyelesaikan sengketa maka dapat mengajukan upaya hukum di
Pengadilan Negeri maupun lembaga penyelesaian sengketa di luar
pengadilan.

2. Judul Jurnal:
ASPEK HUKUM ASURANSI ANTARA PIHAK TERTANGGUNG DENGAN
PIHAK PENANGGUNG BERDASARKAN PRINSIP UTMOST GOOD FAITH
SESUAI UNDANG-UNDANG NOMOR 40 TAHUN 2014 TENTANG
PERASURANSIAN
Nama Jurnal:
R. Hari Purwanto (2015). Jurnal Pro Hukum, Vol. IV, No. 1
Lampiran Jurnal:
https://journal.unigres.ac.id/index.php/JurnalProHukum/article/download/
506/382

a. Rumusan Masalah:
1. Mengapa asuransi di bidang pariwisata sering meninggalkan
prinsip Utmost Good Faith ?
2. Bagaimana perlindungan hukum pihak tertanggung pada asuransi
pariwisata dalam perjanjian asuransi yang diwakilkan biro
parwisata berdasarkan Pasal 31 Undang-Undang Nomor 40 Tahun
2014 Tentang Perasuransian ?
b. Hasil Penelitian:
1. Perjanjian asuransi didasari adanya prinsip utmost good faith,
Keberadaan asuransi di bidang pariwisata diketahui sering
meninggalkan prinsip Utmost Good Faith, hal ini dikarenakan para
wisatawan dalam menyampaikan informasi dan fakta kondisi
kesehatan pribadi seringkali keliru, disembunyikan atau disengaja
pada saat pengisian formulir aplikasi permintaan asuransi jiwa, hal
ini termasuk sebagai bentuk perbuatan itikad tidak baik
tertanggung.
2. Perlindungan hukum bagi pihak tertanggung dalam asuransi
pariwisata yang dalam perjanjian di wakilkan kepada biro parwisata
berdasarkan Pasal 31 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014
Tentang Perasuransian, yang mana pihak tertanggung yakni
wisatawan telah sepakat untuk diikutsertakan dalam program
asuransi selama mengikuti kegiatan program pariwisata dengan
perusahaan pelaksana sebagai agen perjalanan, sehingga
wisatawan mendapat perlindungan atau asuransi oleh penanggung
atau perusahaan asuransi yang bekerjasama dengan perusahaan
pelaksana sebagai agen perjalanan.
c. Simpulan/Saran:
1. Simpulan:
Perjanjian asuransi didasari adanya prinsip utmost good faith,
Keberadaan asuransi di bidang pariwisata diketahui sering
meninggalkan prinsip Utmost Good Faith, hal ini dikarenakan para
wisatawan dalam menyampaikan informasi dan fakta kondisi
kesehatan pribadi seringkali keliru, disembunyikan atau disengaja
pada saat pengisian formulir aplikasi permintaan asuransi jiwa, hal ini
termasuk sebagai bentuk perbuatan itikad tidak baik tertanggung.
2. Saran:
Untuk menghindari timbulnya sengketa akibat klaim asuransi,
pengisian formulir aplikasi permintaan asuransi jiwa sedapat mungkin
dilakukan sendiri oleh calon tertanggung. Penanggung (melalui agen)
dalam hal ini secara hukum berkewajiban untuk menyampaikan
mengenai risiko yang ditanggung dan fakta lain yang harus diketahui
oleh calon tertanggung serta memandu pengisian formulir aplikasi
tersebut dengan jelas dan benar.

3. Judul Jurnal:
Pembaruan Definisi Asuransi dalam Sistem Hukum di Indonesia
(Insurance Definition Renewal in Law System in Indonesia)
Nama Jurnal:
Purwanto (2006). Jurnal Hukum, Vol.2, No.2, Hal. 87 - 93
Lampiran Jurnal:
https://e-journal.fh.unmul.ac.id/index.php/risalah/article/download/130/80

a. Rumusan Masalah:
1. Apakah definisi asuransi yang ada dalam sistem hukum di Indonesia
masih relevan untuk digunakan sebagai landasan hukum dalam
rangka mempelajari hukum asuransi maupun penyelenggaraan usaha
perasuransian di Indonesia?
2. Apakah asuransi sebagai suatu perjanjian (overenkomst) atau
perikatan (verbintenis) dalam perspektif ilmu hukum?

b. Hasil Penelitian:
1. Kurang tepat asuransi didefinisikan sebagai suatu perjanjian
sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 246 KUHD, Pasal 1 angka 1 UU
No. 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian maupun yang telah
dipaparkan oleh para pakar di bidang hukum asuransi. Definisi
asuransi sebagai suatu perjanjian hanya dapat diterapkan pada
asuransi yang sifat kepesertaannya sukarela. Pada jenis asuransi
yang demikian ini hubungan hukum diantara para pihak memang
benar diatur melalui suatu perjanjian yang dituangkan dalam polis
asuransi. Akan tetapi, apabila asuransi didefinisikan sebagai suatu
perjanjian, maka asuransi sosial tidak tercakup dalam definisi tersebut.
2. Definisi asuransi yang ada dalam sistem hukum di Indonesia tersebut
masih terlalu sempit dan tidak relevan dengan fakta perkembangan
usaha perasuransian maupun program asuransi soaial di Indonesia.
Berdasarkan fakta tersebut, maka asuransi tidak hanya sebagai suatu
perjanjian, akan tetapi merupakan suatu perikatan yang terjadi karena
suatu perjanjian dan / atau peraturan perundang-undangan, dimana
pihak penanggung terikat dengan pihak tertanggung, dengan
menerima premi asuransi, untuk memberikan penggantian kepada
tertanggung karena kerugian, kerusakan atau kehilangan keuntungan
yang diharapkan, atau tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga
yang mungkin akan diderita tertanggung, yang timbul dari suatu
peristiwa yang tidak pasti, atau untuk memberikan suatu pembayaran
yang didasarkan atas meninggal atau hidupnya seseorang yang
dipertanggungkan.
3. Apabila dikaitkan dengan Pasal 1233 KUHPerdata, maka definisi yang
terdapat di dalam Pasal 246 KUHD, Pasal 1 angka 1 UU No. 2 Tahun
1992 tentang Usaha Perasuransian, maupun pendapat beberapa ahli
yang menyatakan asuransi sebagai suatu perjanjian hanya dapat
dihubungkan atau digunakan untuk asuransi yang sifat
kepesertaannya sukarela. Definisi tersebut terlalu sempit, kurang
relevan dengan perkembangan regulasi dan program asuransi sosial
sehingga perlu diadakan pembaruan agar sesuai dengan fakta
perkembangan program asuransi sosial maupun teori hukum perikatan
dalam ilmu hukum.
c. Simpulan/Saran:
1. Simpulan:
Dalam terminologi hukum, asuransi bukan saja sebagai suatu
perjanjian, akan tetapi merupakan suatu perikatan. Hal ini dapat
diketahui dari fakta perkembangan program asuransi dan usaha
perasuransian di Indonesia. Hubungan hukum dalam asuransi tidak
hanya didasarkan pada suatu perjanjian antara penanggung dan
tertanggung, akan tetapi keterikatan antara penanggung dan
tertanggung bisa terjadi karena diatur dalam peraturan perundang-
undangan.
2. Saran:
Diperlukan upaya pembaruan definisi asuransi dalam sistem hukum di
Indonesia. Hal ini penting untuk direalisasikan mengingat definisi yang
ada kurang tepat untuk dijadikan sebagai pegangan dalam studi
hukum maupun untuk landasan penyelenggaraaan usaha
perasuransian di Indonesia.
4. Judul Jurnal:
Pengaturan Lembaga Penjamin Polis pada Perusahaan Asuransi di
Indonesia
Nama Jurnal:
Ni Putu Sintha Tjiri Pradnya Dewi, Desak Putu Dewi Kasih (2020). Jurnal
Hukum, Vol.9, No.4

Lampiran Jurnal:
https://ojs.unud.ac.id/index.php/jmhu/article/download/63707/37830/

a. Rumusan Masalah:
1. Bagaimanakah pengaturan lembaga penjamin polis pada perusahaan
asuransi di Indonesia?
2. Bagaimana dampak tidak adanya lembaga penjamin polis pada
perusahaan asuransi di Indonesia?

b. Hasil Penelitian:
1. Belum diaturnya lembaga penjamin polis pada perusahaan asuransi di
Indonesia dalam hukum positif di Indonesia walaupun telah
diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 40 tahun 2014 tentang
Perasuransian. Tidak adanya pengaturan terkait lembaga penjamin
polis pada perusahaan asuransi di Indonesia mengakibatkan
ketidakpercayaan masyarakat terhadap perusahaan asuransi,
sehingga perlu pengaturan terkait lembaga penjamin polis pada
perusahaan asuransi di Indonesia.
2. Untuk itu penting dibentuk suatu Lembaga Penjamin Polis (LPP).
Sebagaimana yang diarahkan Pasal 53 ayat (1) UU Perasuransian
yang menegaskan perusahaan asuransi maupun perusahaan asuransi
syariah harus masuk sebagai peserta program penjaminan polis.
Selain itu berdasarkan undang-undang tersebut pendirian LPP
seharusnya paling lambat tiga tahun setelah undang-undang tersebut
diundangkan pada Oktober 2014 lalu. Pada kenyataannya hingga saat
ini LPP belum juga terbentuk. Dengan tidak dibentuknya LPP ini maka
secara tidak langsung pemerintah tidak menjalankan isi dari undang
undang tersebut. Dibentuknya LPP ini tentu saja akan meningkatkan
kepercayaan masyarakat pada perusahaan asuransi. Hal ini akan
berkorelasi dengan peningkatan penetrasi asuransi, sehingga
masyarakat tidak akan ragu dalam berasuransi karena telah ada yang
menjamin.
c. Simpulan/Saran:
1. Simpulan:
Dalam terminologi hukum, asuransi bukan saja sebagai suatu
perjanjian, Pengaturan lembaga penjamin polis (LPP) sebenarnya
telah tertera pada Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang
Perasuransian, akan tetapi sampai saat ini LPP ini belum terbentuk
dan belum ada pengaturan tentang LPP. Di Indonesia saat ini hanya
memiliki perusahaan reasuransi namun reasuransi tersebut tidak
sepenuhnya memberikan pertanggungan kepada nasabah yang
memiliki polis asuransi karena reasuransi hanya dapaet
mengembalikan 30% pertanggugan kepada nasabah. Tidak efektifnya
perusahaan reasuransi dan tidak terdapatnya LPP tentunya akan
menimbulkan tidak percayanya masyarakat pada perusahaan
asuransi. Secara otomatis berbagai permasalahan mengenai gagal
bayar klaim juga tidak kunjung berakhir.
2. Saran:
Penting dilakukan pengaturan terhadap pembentukan LPP yang
didalamnya memuat kriteria perusahaan yang layak menjadi perserta
LPP dan batasan pertanggungan yang dijamin oleh LPP tersebut.

5. Judul Jurnal:
Konsekuensi Pilihan Bentuk Badan Hukum Perasuransian Di Indonesia
Nama Jurnal:
Nurjihad (2022). Jurnal Hukum, Vol.29, Issues 1, pp 118-141

Lampiran Jurnal:
https://journal.uii.ac.id/IUSTUM/article/download/19629/12175

a. Rumusan Masalah:
1. Bagaimana konsekuensi pilihan berbagai badan hukum
penyelenggaran asuransi?
2. Bagaimana bentuk badan hukum yang ideal usaha perasuransian?
b. Hasil Penelitian:
1. Konsekuensi hukum penyelenggara perasuransian adalah
bergantung pada karakteristik yang melekat pada bentuk badan
hukum penyelenggara tersebut.
2. Meskipun bentuk Perseroan Terbatas (PT) menurut pandangan
pembentuk Undang-Undang merupakan badan hukum yang paling
tepat dalam menyelenggarakan perasuransian, namun Koperasi dan
Mutual memiliki keunggulan dalam penyatuan fungsi kepemilikan dan
fungsi konsumen. Tujuan keduanya lebih fokus pada kebersamaan
serta memastikan kepuasan anggota dan bukan sekedar
menghasilkan profit. Keunikan ini bisa berdampak positif mengurangi
potensi konflik kepentingan antara konsumen dengan pemilik
perusahaan yang umum terjadi pada PT. Bentuk Koperasi dan Mutual
lebih berkesesuaian dengan amanat Pasal 33 ayat (1) Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
c. Simpulan/Saran:
1. Simpulan:
Pembentuk UU menempatkan PT sebagai badan hukum ideal dalam
penyelenggaraan perasuransian. Dari segi bisnis, PT memiliki
keunggulan berupa kelangsungan perusahaan lebih terjamin karena
tidak tergantung pada pemilik tertentu. Pemilik dapat berganti dengan
memindahkan atau menjual sahamnya kepada pihak lain. Permodalan
perusahaan dapat diperbesar karena adanya tambahan modal dengan
mengeluarkan saham baru. Mitigasi risiko kerugian juga menjadi
pertimbangan utama terkait dengan kesehatan keuangan perusahaan.
2. Saran:
Untuk mengatasi persoalan tersebut, pada PT bisa dilakukan dengan
menambah modal, tanpa dengan menimbulkan kewajiban baru bagi
perusahaan. Penambahan modal pada PT sangat mungkin dilakukan
baik oleh pemegang saham lama maupun oleh pemegang saham
baru. PT dapat pula melakukan penggabungan (merger), peleburan
(konsolidasi), atau pengambilalihan (akuisisi) dengan PT lain.
Sedangkan pada perusahaan asuransi yang berbentuk mutual
maupun koperasi, penambahan modal sulit dilakukan. Cara lain yang
mungkin dilakukan untuk memperbaiki kondisi kesehatan perusahaan
yang berbentuk usaha bersama adalah dengan memotong manfaat
(benefit) yang menjadi hak pemegang polis, tetapi dalam praktik hal ini
sulit dilaksanakan.

Anda mungkin juga menyukai