Anda di halaman 1dari 10

Pendekatan Klinis pada Neonatus dengan Trauma Ekstrakranial

Titus Mulyadhanada – 102014073, Daniel Raynaldi – 102015140, Raymond Wangsa –


102016151, Lissa Marisca Nanulaita – 102013256, Charoline Gracetiani Natalia –
102016002, Clarita – 102016045, Naafila Maghfirotika – 102016133, Glorie Liberthika
Mahonny – 102016220
Kelompok D5
Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana
Jl. Arjuna Utara No.6, Jakarta Barat 11510

Abstrak: Trauma lahir mempakan trauma pada bayi sebagai akibat tekanan mekanik, seperti
kompresi dan traksi selama proses persalinan, adapun faktor risiko lainnya adalah persalinan
dengan bantuan alat, terutama forseps atau vakum; persalinan sungsang; dan traksi
abnormal/berlebihan selama proses persalinan. Penanganan persalinan yang baik dapat
mengurangi angka keiadian trauma lahir. Sebagian besar trauma lahir dapat sembuh sendiri
dan prognosisnya baik. Namun, pada beberapa kasus dapat pula menyebabkan kecacatan dan
kematian. Hampir 50 % kasus dapat dihindari dengan mengetahui dan mengantisipasi faktor
risiko obstetri.

Abstract: Birth trauma is a trauma to the baby as a result of mechanical stress, such as
compression and traction during labor, while other risk factors are labor with the help of a
tool, especially forceps or vacuum; breech labor; and abnormal / excessive traction during
labor. Good management of labor can reduce the incidence of birth trauma. Most birth
trauma can heal itself and the prognosis is good. However, in some cases it can also cause
disability and death. Nearly 50% of cases can be avoided by knowing and anticipating
obstetric risk factors.

Pendahuluan

Trauma lahir masih merupakan salah satu penyebab morbiditas dan mortalitas pada neonatal.
Trauma lahir merupakan akibat trauma mekanik selama proses kelahiran yang merupakan
gabungan dari kekuatan kontraksi kompresi, putaran dan tarikan. Beberapa faktor risiko yang
berperan dalam trauma lahir adalah faktor ibu yang berkaitan dengan kekakuan jalan lahir
(primipara, multipara, malformasi, dan panggul sempit, faktor bayi yang berkaitan dengan
diskrepansi antara besar serta posisi bayi dengan jalan lahir (makrosomia, makrosefalia,
anomali fetus, disproporsi sefalopelvik, distosia bahu, presentasi abnormal seperti bokong,
muka, dahi dan letak lintang; prematur, partus prsipitatus, serta faktor luar yang berupa
tindakan persalinan (pemakaian forseps, vakum, tindakan versi-ekstraksi). Trauma lahir
penting untuk mendapatkan perhatian karena pada beberapa kasus dapat berakibat fatal dan
dapat menyebabkan kecacatan fisik maupun gangguan perkembangan di tahap usia

1
selanjutnya. Trauma lahir ini juga sering dijumpai dalam praktek sehari-hari sehingga perlu
dijelaskan kepada orang tua tentang tentang diagnosis, tata laksana, dan juga prognosisnya.1

Anamnesis

Anamnesis merupakan tahap awal dalam pemeriksaan untuk mengetahui riwayat penyakit
dan untuk menegakkan diagnosis. Anamnesis dapat langsung dilakukan pada pasien
(autoanamnesis) atau terhadap keluarga atau pengantarnya (alloanamnesis) bila keadaan
pasien tidak memungkinkan untuk diwawancarai, misalnya dalam keadaan gawat-darurat,
afasia akibat stroke dan lain sebagainya. Anamnesis yang baik terdiri dari identitas, keluhan
utama, riwayat penyakit sekarang, riwayat penyakit dahulu, riwayat penyakit dalam keluarga,
riwayat sosial ekonomi dan riwayat pengobatan.

Pada kasus ini, didapatkan bahwa bayi yang lahir pada usia kehamilan ibu 40 minggu dengan
benjolan lunak dan terdapat bercak kemerahan pada mata kiri. Maka penting untuk
menanyakan dimulai dari identitas anak, kemudian riwayat penyakit sekarang yaitu yang
terkait dengan keluhan benjolan di kepala, tanyakan kapan pertama kali benjolan muncul,
apakah benjolan semakin membesar atau tidak, kemudian tanyakan keluhan lain yang muncul
bersama dengan keluhan utama, seperti luka atau bengkak pada bagian tubuh yang lain,
apakah disertai demam, muntah atau diare, menanyakan apakah pasien sudah pernah
mengalami keluhan yang sama, kemudian tanyakan riwayat penyakit dahulu dan keluarga.
Penting juga untuk menanyakan riwayat pasien ketika ada didalam kandungan ibu dan
riwayat kelahiran pasien, menanyakan kesehatan ibu saat hamil, serta menanyakan cara
kelahiran pasien lahir sehingga dapat diketahui apakah saat persalinan ibu mengalami
kesulitan sehingga proses kelahiran menjadi atau harus dibantu dengan alat seperti forceps
ataupun vacuum.1,2

Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan pada bayi dan anak pada umumnya hampir sama dengan pemeriksaan pada
dewasa yaitu dimulai dengan melakukan pemeriksaan tanda-tanda vital, kemudian inspeksi,
palpasi, perkusi dan auskultasi. Pada keadaan tertentu urutan pemeriksaan tidak harus
berurutan. Pada bayi dan anak kecil, setelah inspeksi umum, dianjurkan untuk melakukan
auskultasi abdomen (untuk mendegarkan bising usus) serta auskultasi jantung karena jika
anak menangis, bising usus akan meningkat dan suara jantung sulit dinilai. Pemeriksaan

2
dilakukan pada ruangan yang tenang dengan pencahayaan cukup. Sebelum pemeriksaan,
pemeriksa harus mencuci tangan terlebih dahulu, kemudian tangan dikeringkan dan
dihangatkan. Pemeriksaan dilakukan pada seluruh tubuh, dari ujung rambut sampai ujung
kaki, namun tidak harus dengan urutan tertentu.2

Penilaian terhadap adaptasi neonatus dilakukan dengan cara menghitung APGAR score yang
dilakukan pada menit pertama dan kelima setelah lahir, berupa penilaian laju denyut jantung,
usaha bernapas, tonus otot, refleks terhadap rangsangan dan warna kulit. 2 Jika pada penilaian
APGAR score, didapatkan skor 7 sampai 10, maka adaptasi bayi baik, jika skor yang
didapatkan 4 sampai 6, maka bayi mengalami asfikisia ringan hingga sedang, dan jika skor
yang didapatkan 0-3, maka bayi mengalami asfiksia berat.2

Tanda 0 1 2
Frekuensi jantung Tidak ada < 100 kali/menit >100 kali/menit
Usaha bernapas Tidak ada Lambat Menangis kuat,
pernapasan baik
Tonus otot Lemah / tidak ada Ekstremitas fleksi Gerakan aktif,
sedikit menangis

Refleks Tidak bereaksi Meringis / Meringis / bersin /


menangis lemah batuk saat stimulasi
saat stimulasi
Warna kulit Seluruh tubuh Tubuh kemerahan, Seluruh tubuh dan
biru/pucat ekstremitas atas dan ekstremitas
bawah biru kemerahan
Tabel 1. Penilaian APGAR Score

Selain itu, pemeriksaan cairan amnion, tali pusat dan plasenta juga harus dilakukan pada saat
lahir. Pemeriksaan tali pusat dilakukan dengan melihat kesegaran tali pusat, ada tidaknya
simpul tali pusat dan arteri dan vena umbilikalis. Setelah pemeriksaan cairan amnion,
plasenta dan tali pusat kemudian dilakukan pemeriksaan bayi secara cepat tetapi menyeluruh.
Pemeriksaan umum biasaya dilakukan untuk menilai keaktifan neonatus dengan melihat
posisi dan gerakan tungkai dan lengan. Penilaian terhadap warna kulit bayi perlu dilakukan
untuk mengetahui adanya kemerahan, sianosis, pucat ataupun sianosis.2

3
Berdasarkan pemeriksaan fisik didapatkan bahwa anak aktif, menangis spontan, bentuk
kepala tidak simetris,terdapat benjolan lunak sebesar 10 cm melampaui sutura kranialis, dan
terdapat bercak kemerahan pada konjungtiva pada occuli sinistra.

Pemeriksaan Penunjang
Pemeriiksaan laboratorium berupa pemeriksaan darah lengkap diperlukan jika dicurigai
adanya anemia akibat perdarahan yang terjadi, kemudian pemeriksaan kadar bilirubin untuk
mengetahui apakah ada hiperbilirubenemia. Jika pasien dicurigai terkena caput succedaneum,
subgaleal hematoma, atau cephalohematoma, maka sebenarnya tidak memerlukan
pemeriksaan diagnostic lebih lanjut jika sudah terdapat gejala khas, namun pemeriksaan
radiologi berupa CT scan diperlukan jika terdapat tanda-tanda fraktur pada tengkorak.3

Differential Diagnose

Gambar 1. Jenis-Jenis Trauma Ekstrakranial.5

Cephalohematoma

Epidemiologi

Cephalohematoma merupakan cedera pada tengkorak pada bayi baru lahir yang terjadi pada
0,2-2,5% kelahiran hidup. Hal ini disebabkan dari pecahnya pembuluh-pembuluh darah kecil
di periosteum selama persalinan sehingga menyebabkan pengumpulan darah di bawah
periosteum (subperiosteum) tengkorak.4 Cephalohematoma lebih sering terjadi pada
primigravida, bayi besar, bayi dalam posisi oksipital posterior atau melintang pada awal
persalinan, serta persalinan dengan bantuan forsep atau ekstraktor vakum. Untuk alasan yang
tidak diketahui, cephalohematoma lebih sering terjadi pada laki-laki dari pada perempuan.5

4
Etiologi

Cephalohematoma adalah cedera yang diakibatkan oleh trauma pada tengkorak karena terjadi
penekanan secara paksa dan berulang-ulang oleh tulang panggul ibu saat kontraksi selama
persalinan, sehingga menyebabkan pembuluh darah yang melewati daerah periosteum pecah
dan menyebabkan pengumpulan darah di daerah subperiosteum. 6 Faktor-faktor risiko yang
meningkatkan tekanan pada kepala bayi adalah partus lama, macrosomia, kontraksi uterus
yang tidak efektif, posisi bayi yang salah saat persalinan serta persalinan dengan bantuan
forsep atau ekstraktor vakum.6 Cephalohematoma dapat terjadi pada persalinan normal, tetapi
lebih sering pada partus lama atau partus dengan menggunakan forseps atau vakum.7

Patogenesis

Perdarahan pada cephalohematoma berbeda dengan edema dan perdarahanan pada caput
succedaneum dan subgaleal hematoma, yang terletak di atas periosteum. Letak
cephalohematoma yang paling umum adalah di atas tulang parietal dan unilateral.
Cephalohematoma jarang terjadi pada daerah oksipital. Jika perdarahan disertai fraktur
tengkorak, maka dapat meningkatkan resiko terjadinya pendarahan intrakranial. Persalinan
dengan bantuan forceps atau vacuum menyebabkan kepala bayi mengalami penekanan yang
tinggi oleh tulang panggul ibu saat kontraksi sehingga pembuluh-pembuluh darah kecil pada
daerah periosteum pecah dan terjadi perdarahan pada daerah periosteum. Saat perdarahan
terjadi, periosteum menjadi terangkat dan terjadi pembengkakan pada kepala bayi, darah
yang terkumpul dibawah periosteum umumnya akan bertindak sebagai tampon yang
memberhentikan perdarahan lebih lanjut.5,6

Manifestasi Klinis

Gejala dari cephalohematoma umumnya tidak muncul langsung saat bayi lahir, gejala dapat
muncul beberapa jam hingga beberapa hari setelah bayi lahir, maka dari itu inspeksi dan
palpasi kepala bayi masih diperlukan untuk mengidentifikasi adanya cephalohematoma. 6
Kelainan ini berbatas tegas pada tulang yang bersangkutan dan tidak melampaui sutura.
Tulang tengkorak yang sering terkena adalah tulang parietal. 7 Benjolan umumnya keras dan
dapat membesar.5 Pembengkakan umumnya unilateral, tetapi dapat juga bilateral, dan
membesar di atas satu atau lebih tulang di bawah kulit kepala serta kulit di atasnya biasanya
tidak berubah warna atau terluka.6 Pada dasarnya semua cephalohematoma sembuh dalam
beberapa minggu hingga bulan. Beberapa kasus dapat terjadi kalsifikasi dan menghasilkan

5
tonjolan tengkorak keras, namun secara bertahap menghilang selama berbulan-bulan
pertumbuhan.5

Komplikasi

Perdarahan yang terjadi dapat menyebabkan anemia dan hipotensi. Namun, hal ini jarang
terjadi. Penyembuhan cephalohematoma merupakan predisposisi terhadap terjadinya
hiperbilirubinemia. Hiperbilirubinemia terjadi akibat penghancuran sel darah merah pada
hematoma. Hiperbilirubinemia karena cephalohematoma terjadi lebih lambat daripada
hiperbilirubinemia fisiologi. Kadang-kadang cephalohematoma disertai pula dengan fraktur
tulang tengkorak di bawahnya (5 - 20 % kasus) atau perdarahan intrakranial.
Cephalohematoma jarang menjadi fokus infeksi yang menyebabkan meningitis atau
osteomielitis.7

Penatalaksanaan

Tidak ada terapi khusus yang diindikasikan, pengobatan dan penatalaksanaan


cephalohematoma pada dasarnya bersifat observasional. Seiring waktu, tonjolan mungkin
terasa lebih keras saat darah yang terkumpul mengapur. Darah kemudian mulai diserap
kembali.5,6 Aspirasi tidak efektif karena darah telah membeku dan dapat meningkatkan risiko
infeksi dan pembentukan abses. Biasanya, cephalohematoma tidak menimbulkan masalah
pada bayi baru lahir. Namun perlu dicurigai resiko hiperbilirubinemia, oleh karena itu, bayi
baru lahir perlu dinilai secara hati-hati untuk perubahan warna kekuningan pada kulit, sklera,
atau selaput lendir.6 Penanganan khusus diperlukan jika terjadi fraktur pada tengkorak dan
perdarahan intracranial.5

Prognosis

Prognosis umumnya baik. Hampir seluruh kasus cephalohematoma akan sembuh dengan
sendirinya dalam beberapa minggu hingga bulan.5,7

Subgaleal Hematoma

Epidemiologi

Subgaleal hematoma merupakan perdarahan pada ruang antara periosteum tulang tengkorak
dan aponeurosis galea kulit kepala. Sublageal hematoma merupakan perdarahan yang lebih

6
jarang terjadi dibanding cephalohematoma dan caput succedaneum.8 Sembilan puluh persen
kasus terjadi akibat alat vakum yang dipasang pada kepala bayi saat proses kelahiran. 5,7
Subgaleal hematoma daoat juga terjadi pada bayi yang dilahirkan dengan operasi caesar.8

Etiologi

Penyebab subgaleal hematoma dapat terjadi karena kombinasi gaya tekan dan tarik eksternal
pada kepala bayi, dan bisa juga karena gangguan koagulasi (contoh: defisiensi vitamin K).5

Patogenesis

Kulit kepala terdiri dari lima lapisan, yaitu kulit, jaringan ikat padat; lapisan berserat yang
kuat dari galea aponeurotica atau juga dikenal sebagai aponeurosis epikranial, jaringan ikat
longgar yang memungkinkan pergerakan galea, dan periosteum padat membungkus erat
setiap tulang kranial dan pembuluh darah. Ruang subgaleal berada disuperior periosteum dan
inferior dari aponeurosis epikranial. Banyak pembuluh darah yang melewati ruang subgaleal.
Pemberian kekuatan eksternal pada kulit kepala, contohnya dengan alat vakum, dapat
menyebabkan pecahnya pembuluh darah di ruang subgaleal dan perdarahan ke berbagai
lapisan kulit kepala.8

Manifestasi Klinis

Diagnosis umumnya atas dasar klinik, yaitu adanya massa yang berfluktuasi pada kulit kepala
(terutama pada daerah oksipital). Subgaleal hematoma dapat berkembang selama 24 jam
pertama dan biasanya sembuh setelah 2 hingga 3 minggu. Subgaleal hematoma yang
bermasalah mungkin tidak terwujud sampai volume darah yang signifikan telah hilang.
Meskipun demikian, pada kasus yang berat dapat terjadi segera setelah lahir. Hematoma
tersebar melampaui seluruh kalvaria. Subgaleal hematoma timbulnya secara perlahan dan
kadang-kadang tidak dapat dikenali dalam beberapa jam. Pasien dengan hematoma subgaleal
dapat mengalami syok hemoragik. Pembengkakan dapat mengaburkan fontanel dan melewati
garis sutura (berbeda dengan cephalohematoma). Harus diantisipasi kemungkinan terjadinya
hiperbilirubinemia yang signifikan.7,9

Komplikasi

Komplikasi dapat berupa hiperbilirubenemia, syok hemoragik, koagulopati, dan multiorgan


failure.9

7
Penatalaksanaan

Penanganan meliputi observasi ketat untuk mendeteksi perburukan klinik dan terapi terhadap
terjadinya syok dan anemia. Terapi lain yang diberikan dapat berupa resusitasi cairan yang
adekuat, dan perawatan suportif, transfusi dan fototerapi mungkin diperlukan. Pemeriksaan
untuk mengetahui adanya gangguan pembekuan darah mungkin diperlukan.7,9

Prognosis

Bila tidak disertai syok atau trauma intrakranial, prognosis jangka panjang umumnya baik. 4
Kematian dilaporkan hingga 25% dari neonatus sebagian besar karena syok hemoragik,
koagulopati, dan multiorgan failure.9

Caput Succedaneum

Epidemiologi

Caput succedaneum merupakan istilah yang mengacu pada edema hemoragik yang sangat
biasanya dijumpai setelah persalinan pervaginam.5 Prevalensi yang dilaporkan adalah antara
1,8% dan 33,6% dari semua kelahiran vagina, dengan faktor risiko yang paling umum adalah
nuliparitas ibu dan penggunaan persalinan vakum.9

Etiologi

Caput succedaneum merupakan penumpukan cairan serosanguineous, subkutan, dan


ekstraperiosteal dengan batas yang tidak jelas. Kelainan ini biasanya pada presentasi kepala,
sesuai dengan posisi bagian yang bersangkutan. Pada bagian tersebut terjadi edema sebagai
akibat pengeluaran serum dari pembuluh darah. Kelainan ini disebabkan oleh tekanan bagian
terbawah janin saat melawan dilatasi serviks.7

Patogenesis

Caput succedaneum terjadi karena tekanan keras pada kepala ketika memasuki jalan lahir
sehingga terjadi bendungan sirkulasi kapiler dan limfe di sertai pengeluaran cairan tubuh ke

8
jaringan ekstravakuler, benjolan pada caput berisi cairan serum dan sedikit bercampur dengan
darah, benjolan tersebut dapat terjadi sebagai akibat tumpang tindihnya (molage) tulang
kepala di daerah sutura pada saat proses kelahiran, pada umumnya molase ini di temukan
pada sutura sagitalis.5,9

Manifestasi Klinis

Pembengkakan lunak dan tidak berbatas tegas yang melebar melewati garis sutura, benjolan
ini biasanya tidak akan membesar dan dapat hilang dengan sendiri setelah beberapa hari.5

Penatalaksanaan, Komplikasi dan Prognosis

Terapi hanya berupa observasi. Caput succedaneum biasanya tidak menimbulkan komplikasi
dan akan menghilang beberapa hari setelah kelahiran.7

Subkonjungtiva Hemoragik

Kelainan ini sering ditemukan pada neonatus, baik pada persalinan biasa maupun pada
persalinan yang sulit. Darah yang tampak pada konjungtiva bulbi biasanya diserap lagi
setelah satu sampai dua minggu tanpa memerlukan pengobatan khusus.7

Penutup

Trauma lahir merupakan akibat trauma mekanik selama proses kelahiran yang merupakan
gabungan dari kekuatan kontraksi kompresi, putaran dan tarikan. Trauma ekstrakranial
merupakan salah satu jenis trauma yang terjadi saat kelahiran, umunya terjadi karena
persalinan yang lama ataupun karena persalinan karena bantuan alat seperti forceps atau
vakum. Caput succedaneum, subgaleal hematoma dan cephalohematoma merupakan jenis-
jenis dari trauma ekstrakranial dan mempunyai ciri khas masing-masing. Umumnya trauma
ekstrakranial pada bayi baru lahir dapat sembuh dengan sendirinya, tetapi dapat juga
menimbulkan komplikasi sehingga memerlukan penangan khusus. Oleh karena itu diperlukan
observasi untuk mencegah dan mengetahui timbulnya komplikasi. Berdasarkan scenario, data
yang didapat dari anamnesis dan pemeriksaan fisik, pasien dicurigai menderita caput
succedaneum dengan subkonjungtiva hemoragik occuli sinistra.

Daftar Pustaka

9
1. Widiyati MMT, Wibowo SWT, Haksari EL. Faktor risiko trauma lahir. Sari Pediatri
2014;15(5):294-5.
2. Hermiyanti S, Untoro R, Umar RD, Subandoro RRS, Putra ST, Wiknjosastro GH.
Paket pelatihan pelayanan obstetric dan neonatal emergensi komprehensif: asuhan
neonatal esensial. Jakarta: IDAI, POGI, JNPK-KR; 2008.
3. Anjani AD, Evrianasari N, Maternity D. Asuhan kebidanan neonatus, bayi, dan balita.
Yogyakarta: ANDI; 2018.
4. Vigo V, Battaglia DI, Frassanito P, Tamburrini G, Caldarelli M, Massimi L. Calcified
cephalohematoma as an unusual cause of EEG anomalies: case report. J Neurosurg
Pediatr 2017;19(1):46.
5. Volpe JJ. Volpe’s neurology of the newborn: Injuries of extracranial, cranial,
intracranial, spinal cord and peripheral nervous system structures. Edisi ke-6.
Philadephia: Elsevier; 2018.
6. Raines DA, Jain S. Cephalohematoma. NCBI. 2019 [cited: 9 Juni 2019]. Available
from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK470192/
7. Prawirohardjo S. Ilmu kebidanan. Edisi ke 4. Jakarta: PT Bina Pustaka Sarwono
Prawirohardjo; 2010.
8. Colditz MJ, Lai MM, Cartwright DW, Colditz PB. Subgaleal haemorrhage in the
newborn: A call for early diagnosis and aggressive management. J Paediatr Child
Health. 2015 Feb;51(2):141
9. Habert MJ, Pardo CA. Swaiman’s pediatric neurology: neonatal nervous system
trauma. Edisi ke-6. Philadephia: Elsevier; 2017.

10

Anda mungkin juga menyukai