Komputasi Statistika
Komputasi Statistika
Ringkasa program R
Mendapatkan Program (source) R
Dapat didownload di http://CRAN.R-project.org
Instalasi
Dapat di instal pada system operasi Windows dan Linux.
3. Pilih I accept the agreement (atau scroll ke bawah untuk membaca GNU GPL) dan klik Next
untuk melanjutkan installasi
1
4. Pilih Browse dan tentukan directory installasi R anda, kemudian klik Next untuk
melanjutkan instalasi
5. Pilih komponen yang akan diinstall (disarankan pilih semua), kemudian klik Next untuk
melanjutkan instalasi
6. Pilih Browse dan tentukan nama dan letak program R anda, kemudian klik Next untuk
melanjutkan installasi
2
7. Pilih icon tambahan, kemudian klik Next untuk melanjutkan installasi
8. Klik Finish untuk menyelesaikan instalasi, dan R anda sudah dapat digunakan.
3
Setelah anda melakukan salah satu dari tiga cara un-instalasi, maka akan keluar window :
Klik Yes untuk melanjutkan un-install atau Klik No untuk membatalkan un-install.
Menu-menu dalam R
Setelah instalasi selesai anda dapat menjalankan R pada tombol menu
Start>All Programs> R > R 2.1.1
Tampilan :
1. Setelah menjalankan program R, windows yang tampil akan seperti gambar berikut.
2.
4
1. Menu Utama
2. Menu File
Menu ini menampilkan diantaranya: cara mengambil kode sumber R yang sudah ada tau
tersimpan di komputer kita dengan menggunakan menu Source R code. Biasanya untuk
perhitungan statistic tertentu kita dapat mendownload kode sumber dari internet secara Cuma-
Cuma sehingga kita tidak harus menulis ulang kode sumber yang biasanya dengan jumlah baris
perintah/command yang sangat panjang.
Menu ini juga memudahkan kita dalam menyimpan ruang kerja/workspace yang sedang
kita kerjakan (menu Save Workspace) di R console ke dalam folder komputer kita dan
menggunakannya kembali dengan menggunakan menu Load Workspace.
3. Menu Edit
Menu ini adalah menu editor yang diantaranya berisikan: menu editor yang umum
seperti
Copy, Paste, Select All, dan menu editor lainnya seperti menempelkan (paste) hanya
commands, membersihkan console R sehingga console R yang penuh dengan commands
akan putih bersih sediakala ketika memulai R. Selain itu kita dapat juga mengedit data yang
dimiliki dengan menggunakan menu Data editor.
4. Menu Misc
5
Menu ini adalah menu tambahan diantaranya: memberhentikan seketika perhitungan
yang
sedang berlangsung dengan menggunakan tombol ESC; menampilkan objek (List objects)
dan membuang objek (Remove all objects).
5. Menu Packages
Menu ini berisikan fasilitas untuk menambahkan paket statistic dan paket lainnnya
dalam
menu Load package dan instalasi paket dalm Install package(s) dan update paket dalam
Update packas serta memungkinkan instalasi paket dari file zip yang ada di komputer kita
(local) dengan menggunakan menu Install package(s) from local zip files.
6. Menu Windows
7. Menu Help
Menu ini berisikan sejumlah panduan, pertanyaan yang sering diajukan tentang R (FAQ)
,
fasilitas pencarian melalui situs resmi maupun situs proyek pengembangan R. Panduan dalam
6
format html dan pdf (anda memerlukan pdf viewer terinstal di komputer seperti acrobat
reader dan sejenisnya).
R beroperasi pada suatu struktur data, contoh yang paling sederhana adalah vektor
numerik, yakni suatu entitas tunggal yang terdiri dari koleksi terurut bilangan-
bilangan. Misalkan pembuatan vektor numerik x yang mempunyai enam bilangan
11.0, 16.2, 7.2, 1.3, 8.3, 3.6. Perintah yang digunakan pada prompt (>) R sebagai
berikut:
Fungsi assign() identik dengan operator “<-“. Selain operan x terletak di sebelah
kiri, pada R operan x tersebut dapat terletak di sebelah kanan dan dengan
menggunakan tanda assignment ”->” yang berlawanan dengan tanda assignment
sebelumnya, seperti berikut ini:
Perintah berikut:
> y <− c(x,0,x)
> y
[1] 11.0 16.2 7.2 1.3 8.3 0.0 11.0 16.2 7.2 1.3 8.3
Vektor Aritmatika
Perintah tersebut di atas akan menghasilkan vektor v dengan panjang sesuai dengan
panjang vektor y, yaitu 11. Dimana vektor x diulang sebanyak 11/5 (2.2) kali dan
konstanta 1 diulang sebanyak 11/1 (11) kali.
8
Beberapa operator aritmatik yang tersedia di R untuk operasi vektor adalah seperti
pada tabel berikut:
Sebagai contoh, untuk menghitung dua nilai dalam sample, yakni mean dan variansi
(var) dapat kita tuliskan formula sum(x)/length(x) untuk mean(x) dan
sum((x-mean(x))^2)/(length(x)-1) untuk var(x)
9
fasilitas pengurutan lain yang fleksibel (lihat fungsi order() atau sort.list() yang
menghasilkan suatu permutasi dalam pengurutan).
> sort(x)
[1] 1.3 7.2 8.3 11.0 16.2
> order(x)
[1] 4 3 5 1 2
> sort.list(x)
[1] 4 3 5 1 2
Catatan: fungsi max dan min memilih nilai terbesar dan terkecil dari input
argumen. Fungsi parallel maksimum (pmax) dan parallel minimum (pmin)
menghasilkan sebuah vector (yang panjangnya sama dengan vector yang terpanjang
dari input argumen) dimana elemennya merupakan nilai terbesar (terkecil) diantara
nilai elemen pada posisi yang sama dari vector-vektor input argument yang
dibandingkan.
Pada kebanyakan penggunaan, kita tidak perlu memperhatikan tipe data numeric
vektor apakah integer, real atau bahkan kompleks. Pada dasarnya R akan
menggunakan tipe data real dengan double precision untuk melakukan proses
aritmatika (untuk bilangan kompleks menggunakan double procision complex).
Perhitungan bilangan kompleks secara eksplisit menggunakan format bilangan
kompleks tersebut. Sebagai contoh:
> sqrt(-17)
Warning message:
In sqrt(-17) : NaNs produced
Kesalahan disebabkan oleh tidak ada nilai untuk akar negatif, sehingga perlu
dikonversi nilai -17 sebagai bilangan kompleks, yaitu -17 + 0i sehingga pencarian
nilai akar -17 adalah:
> sqrt(-17+0i)
[1] 0+4.123106i
Barisan
akan menghasilkan
[1] 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20
10
Keterangan: [1] pada sisi paling kiri mengartikan baris ke-1 dari hasil
perhitungan di R
Barisan bilangan juga dapat dibangkitkan dengan cacah kelipatan tertentu. Misalkan:
> s3
[1] -5.0 -4.5 -4.0 -3.5 -3.0 -2.5 -2.0 -1.5 -1.0 -0.5 0.0 0.5 1.0
1.5 2.0
[16] 2.5 3.0 3.5 4.0 4.5 5.0
Vektor Logika
11
akan menghasilkan suatu vektor yang panjangnya sam dengan vektor x dimana nilai
elemennya merupakan nilai BOOLEAN dari hasil perbandingan nilai setiap elemen di
x, dimana jika nilai elemen x < 13 maka bernilai TRUE selain itu bernilai FALSE.
Sehingga nilai vektor temp adalah:
> temp
[1] FALSE TRUE FALSE FALSE FALSE
Operator logika yang ada di R adalah <, <=, >, >=, == untuk persamaan
eksak dan != untuk pertidaksamaan. Jika c1 dan c2 adalah ekspresi logika, maka
c1&c2 adalah irisan keduanya, c1|c2 adalah gabungan keduanya dan !c1
adalah negasi(atau ingkaran) dari c1
Vektor logika dapat digunakan pada operator aritmatik, dimana nilai FALSE
dinyatakan sebagai 0 dan TRUE sebagai 1. Tetapi juga vektor logika dengan nilai
numeriknya tidak ekivalen.
Missing value
Dalam beberapa kasus dijumpai adanya komponen yang tidak lengkap dari suatu
vektor. Nilai atau elemennya menjadi “not available” atau “missing value”, dan untuk
alasan statistika, biasanya digantikan dengan nilai khusus NA. Umumnya dalam
setiap operasi NA akan menjadi NA. Motivasinya adalah, jika spesifikasi suatu
operasi tidak lengkap, maka hasilnya tidak diketahui dan oleh karenanya menjadi “not
available”.
Sebagai contoh, fungsi is.na(x) memberikan vektor logika yang mempunyai
panjang yang sama dengan x dengan nilai TRUE jika dan hanya jika elemen yang
berkorespondensi dalam x adalah NA.
Maksud dari hasil diatas, pertama mendefinisikan vektor c dengan elemen vector 1,
2, 3, NA. Kemudian membentuk vector ind berupa nilai logika dari setiap
elemen c dengan kondisi is.na(z), yaitu apabila elemen di c berupa NA maka
bernilai TRUE, selain itu bernilai FALSE.
Terkadang pada operasi perhitungan juga akan dijumpai hasil NaN (Not a Number)
untuk kalkulasi yang tidak mempunyai nilai, misal
> 0/0
[1] NaN
> Inf – Inf
[1] NaN
(Ket: Inf = Infinity (tak berhingga ∞).
12
Vektor karakter
Vektor ini sering digunakan dalam R, misalkan dalam memberikan label suatu plot.
Vektor ini menggunakan tanda petik dua (“) atau tanda petik satu (‘) untuk string
karakter, dan biasanya di print dalam petik dua (“) (kadang tanpa tanda petik).
Sebagai contoh
[1] "X1" "Y2" "X3" "Y4" "X5" "Y6" "X7" "Y8" "X9" "Y10"
Entitas dalam R dikenal sebagai objek. Vektor logika, vektor numeric, vektor karakter
adalah suatu objek. Operasi pada objek harus mempunyai mode (atau sifat/property)
objek yang sama, tanpa kesamaan tersebut maka operasi akan mengalami kesalahan
(error). Singkatnya, nilai vektor semuanya harus mempunyai mode yang sama.
Atribut (attribute)
akan dicetak dalam bentuk data frame, yang mirip dengan tampilan matriks, dimana
> class(notebook)
13
Faktor terurut dan tidak terurut
Sebagai contoh, misalkan terdapat sample 15 akuntan pajak dari beberapa provinsi di
pulau jawa, yaitu: 1 dari Banten (btn), 4 dari Jakarta (jkt), 3 dari Jawa Barat (jabar), 3
dari Jawa Tengah (jateng), 2 dari Yogyakarta (diy) dan 2 dari Jawa Timur (jatim).
Vektor akuntan dinyatakan sebagai berikut:
> prov <- c("btn", "btn", "btn", "dki", "dki","dki", "dki", "jabar",
"jabar", "jabar", "jateng", "jateng", "jateng",
"diy","diy", "jatim", "jatim")
Fungsi print() menangani factor dengan cara yang sedikit berbeda dari objek lain:
> provf
[1] btn btn btn dki dki dki dki jabar jabar jabar
[11] jateng jateng jateng diy diy jatim jatim
Levels: btn diy dki jabar jateng jatim
> levels(provf)
Fungsi tapply()
> incomes <- c(50, 82, 75, 80, 60, 61, 64, 60, 60, 75, 89, 96, 68,
89, 96, 93, 78)
Untuk menghitung nilai mean sample pendapatan untuk setiap provinsi, kita gunakan
fungsi tapply():
14
Selain itu kita juga dapat mendefinisikan fungsi sendiri di R. Seperti berikut ini
merupakan pendefinisian fungsi standard error (stderr):
Faktor terurut
Level-level dari faktor-faktor disimpan secara terurut alfabetis, atau dalam urutan
dimana faktor dispesifikasikan secara eksplisit. Terkadang level akan memiliki suatu
urutan yang sesuai dengan yang diinginkan untuk merekam data yang kemudian
digunakan untuk analisis statistik. Fungsi ordered() membentuk factor terurut
tetapi identik dengan fungsi faktor(). Pada kebanyakan penggunaan, yang
hanya menjadi perbedaan antara faktor terurut dengan tidak terurut adalah
pembentukan urutan level. Tetapi hal ini berbeda dengan pembentukan dalam model
pencocokan linear.
Array
Suatu array adalah koleksi beragam model subscript data entri, misalkan numerik. R
memiliki fasilitas untuk pembuatan dan penanganan array, dan khususnya matriks.
Dimensi vektor adalah vektor bilangan bulat non-negatif. Jika panjang vektor tersebut
k maka array merupakan berdimensi k. Sebagai contoh, matrik adalah array
berdimensi 2. Dimensi adalah indeks dari satu hingga nilau yang diberikan dalam
dimensi vektor. Suatu vektor dapat digunakan di R sebagai suatu array jika hanya
memiliki dimensi sama dengan atribut dim nya. Misalkan suatu vektor z merupakan
vektor yang terdiri dari 1500 elemen. Perintah
Memberikan ke vektor nilai atribut dim yang menyatakan vektor tersebut merupakan
array dengan dimensi 3x5x100.
R memiliki fungsi yang dapat mempermudah penulisan vektor yakni matrix() dan
array().
Contoh, jika array berdimensi vektor c(3, 4, 3) maka array tersebut
mempunyai 3 x 4 x 3 =36 elemen.
15
Indeks matriks
Suatu matriks dapat digunakan dengan indeks tunggal untuk memberukan nilai untuk
koleksi elemen yang tidak beraturan dalam array tersebut, atau untuk mengekstraksi
koleksi yang tidak beraturan sebagai suatu vektor.
Contoh yang jelas adalah suatu matriks. Dalam hal indeks ganda suatu array, suatu
indeks matriks dapat terdiri dari dua kolom dan banyak baris sesuai dengan yang
diinginkan. Entri dalam indeks matriks adalah indeks baris dan kolom untuk array
berindeks ganda. Misalkan kita memilik array X berdimensi 4x5 dan untuk
mendapatkan array X tersebut dapat melakukan hal sebagai berikut:
Ekstrak elemen X[1,3], X[2,2] dan X[3,1] sebagai suatu struktur
vektor, dan
Menggantikan entri-entri pada indeks tersebut dengan 0 dalam array X
Dalam kasus ini, diperlukan suatu array bersubscript 3x2 seperti contoh berikut ini:
> x
[,1] [,2] [,3] [,4] [,5]
[1,] 1 5 9 13 17
[2,] 2 6 10 14 18
[3,] 3 7 11 15 19
[4,] 4 8 12 16 20
> i
[,1] [,2]
[1,] 1 3
[2,] 2 2
[3,] 3 1
> x
[,1] [,2] [,3] [,4] [,5]
[1,] 1 5 0 13 17
[2,] 2 0 10 14 18
[3,] 0 7 11 15 19
[4,] 4 8 12 16 20
16
Indeks negatif tidak diperbolehkan dalam indeks matriks. Nilai 0 dalam indeks
matriks akan diabaikan, sedangkan nilai NA akan menghasilkan NA.
Fungsi array( )
Selain menggunakan atribut dim (dimension), sebuah vector dapat juga dibentuk
dengan menggunakan fungsi array(), dengan bentuk umum sebagai berikut:
> Z <- array(data_vector, dim_vector)
Sebagai contoh, jika vektor h mempunyai 24 atau lebih sedikit elemen, maka dapat
dituliskan dengan cara seperti berikut:
However if h is shorter than 24, its values are recycled from the beginning again to make
it up to size 24
Tetapi jika h lebih pendek dari 24, maka nilainya digunakan (diputar) kembali dari
depan hingga ukurannya menjadi 24.
Dalam hal indeks, dim(Z) menyatakan dimensi vector c(3,4,2) dan Z[1:24]
menyatakan data vektor seperti h di atas, dan Z[] dengan subscript hampa atau Z
tanpa subscript untuk menyatakan array keseluruhan sebagai array.
Outer product merupakan salah satu operasi yang penting dalam array. Jika a dan b
dua array numeric, outer product dari array tersebut adalah sebuah array dengan
dimensi dan data dari array a dan b sesuai dengan ketentuan perkalian matriks.
Operator outer product berbentuk %o% . Contoh:
Sebagai alternative:
Fungsi perkalian dapat digantikan oleh sembarang fungsi dengan dua variabel.
Sebagai contoh jika akan menghitung fungsi f(x,y) = cos(y) = (1 + x2)
pada grid nilai vektor sumbu x dan y di R, maka dapat dilakukan sebagai berikut:
17
Secara khusus, outer product dua vector adalah array dengan subscript ganda (yaitu sebuah
matriks dengan rang paling besar 1). Operator outer product bersifat non komutatif.
Contoh: Perhitungan nilai determinan matriks berdigit tunggal berukuran 2x2. [a,
b; c, d] dimana setiap elemen adalah integer non negative dalam range 0,
1,
;..., 9. Permasalahannya adalah bagaimana menghitung determinan ad-bc, dari
semua kemungkinan matriks dalam bentuk yang ditentukan tersebut serta
menunjukkan frekuensi kemunculan setiap nilai sebagai plot densitas tinggi (high
density). Untuk mendapatkan probabilitas distribusi determinan jika setiap digit
dipilih secara bebas dan acak secara uniform, maka digunakan fungsi outer()
sebanyak dua kali seperti berikut:
Catatan: konversi dari atribut names dari table frekuensi fr ke numeric untuk
mendapatkan range nilai determinan.
18
Array Transpose
Fungsi aperm(a, perm) digunakan untuk permutasi array a. Argumen perm
adalah permutasi bilangan bulat {1, ..., k}, dimana k adalah banyaknya
subscripts dalam a. Hasil fungsi tersebut adalah array yang berukuran sama dengan a
namun dengan dimensi yang sebelumya diberikan oleh perm[j] menjadi dimensi
baru yakni dimensi ke j.
Cara paling mudah, yakni dengan menganggap operasi tersebut sebagai transposisi
matrik. Jika A adalah matrik, maka B (sebagai permutasi A) dituliskan sebagai
beirkut:
Fasilitas matriks
Perkalian matrik
> A * B
> A %*% B
matrik dengan perkalian matriks (matrix product). Jika x adalah vektor, maka
Fungsi diag() mempunyai arti yang tergantung pada argumennya. Untuk vektor v,
maka diag(v), berarti s diagonal matrik v.
Untuk matrik M, diag(M), berarti matrikx yang merupakan diagonal utama dari
matrik M. Konvensi pengertian tersebut serupa juga dalam software Matlab.
19
Persamaan linier dan inverse matrik
R mempunyai fasilitas untuk mencari pemecahan persamaan linier matriks dan invers
matrik.
Dalam aljabar linier, secara formal x = A-1 b dimana A-1 menyatakan inverse A,
yang dapat dihitung dengan solve(A) tetapi jarang digunakan. Secara nukerik,
keduanya tidak efisien dan berpotensi tidak stabil untuk menghitung
Dalam R, fungsi eigen(Sm) digunakan untuk menghitung nilai eigen dan vektor
eigen suatu matrik simetris Sm. Hasil dari fungsi ini adalah daftar/list dua komponen
dengan nama values (nilai eigen) dan vectors (vektor eigen).
dimana menunjukkan daftar objek ev. Maka ev$val adalah vektor dari nilai eigen
matrik simeteris Sm dan ev$vec adalah matrik yang berkoresponden vektor eigen
Jika kita hanya akan mencari nilai eigen, maka dapat tuliskan perintah sebagai
berikut:
objek evals menunjukkan vektor dari nilai eigen dan komponen kedua (eigen
vector) diabaikan.
> eigen(Sm)
20
Saran: Untuk matrik yang berukuran besar, lebih baik hindari perhitungan vektor
eigen.
21
Misal X1 dan X2 mempunyai baris dengan jumlah yang sama. Untuk
mengkombinasikannya terhadapa kolom ke dalam matrik x, maka dituliskan
Hasil cbind() dan rbind() adalah matrik. Oleh karena itu cbind() dan
rbind()adalah cara yang paling mudah untuk memperlakukan vektor x sebagai
matriks baris atau matrik kolom.
Perlu diingat kembali, karena faktor mendefinisikan suatu partisi ke dalam bentuk
kelompok (grup), maka secara similar faktor juga mendefinisikan klasifikasi silang
dua arah, dan seterusnya.
Fungsi table() digunakan untuk menghitung tabel frekuensi dari faktor dengan
panjang yang sama. Jika terdapat k faktor argument, akan menghasilkan frekuensi
berbentuk array yang berukuran k (k –arah).
Sebagai contoh, anggap, dengan menggunakan contoh pada data mengenai provinsi di
pulau jawa, faktor provf akan mengatur menjadi kode-kode untuk setiap provinsi.
Penulisan pernyataan ini adalah:
> provfr <- table(provf)
memebentuk provfr sebagai table frekuensi setiap provinsi (prov) dalam sample
dengan output seperti berikut:
Frekuensi akan diurutkan dan diberi label dengan atribut level suatu faktor.
Penulisannya sebagai berikut:
> provfr <- tapply(provf, provf, length)
Anggap, incomef adalah faktor yang membentuk “bagian/ kelas dari pendapatan
(income)” untuk setiap entri dalam data, sebagai contoh kita dapat menggunakan
fungsi cut()
> table(incomef,provf)
provf
incomef btn diy dki jabar jateng jatim
(45,55] 1 0 0 0 0 0
(55,65] 0 0 3 2 0 0
(65,75] 1 0 0 1 1 0
(75,85] 1 0 1 0 0 1
(85,95] 0 1 0 0 1 1
(95,105] 0 1 0 0 1 0
22
List dan Frame Data
List (daftar) dalam R adalah objek yang terdiri dari koleksi terurut suatu objek yang
disebut sebagai komponen.
Suatu komponen dalam list tidak harus berjenis atau mode yang sama. Sebagai
contoh, suatu list dapat terdiri dari vektor numerik, nilai logika, matriks, vektor
komplek, array karakter, fungsi, dan lain lain.
Penulisan berikut adalah contoh membuat suatu list:
> Lst
$name
[1] "Fred"
$wife
[1] "Mary"
$no.children
[1] 3
$child.ages
[1] 4 7 9
List (daftar) baru dapat dibentuk dari objek yang sudah ada dengan menggunakan
fungsi list(). Cara penulisannya adalah sebagai berikut:
Akan membentuk list Lst dengan m komponen dan menggunakan object_1, ...,
object_m serta memberikan nama masing-masing dengan argument names.
Frame Data adalah list dengan kelas “data.frame”. Sebagai catatan, ada emapat hal
pembatasan suatu list diubah menjadi data frame, yakni:
Komponennya harus berupa vektor (numeric, karakter atau logika), faktor,
matriks numeric, list, atau data frame lainnya.
Matriks, list, dan data frame menyediakan banyak variable untuk data frame
sebanyak kolom, elemen atau variable yang dimiliki/didefinisikan
sebelumnya.
23
Struktur vektor yang ditampilkan dalam bentuk variable suatu data frame
harus memiliki panjang yang sama, struktur matriknya harus mempunyai
ukuran baris yang sama.
Fungsi yang digunakan untuk membuat data frame adalah data.frame. Seperti
contoh berikut:
Fungsi attach() digunakan untuk memepermudah penulisan dalam list dan data
frame, seperti penggunaan notasi $ pada penulisan akuntan$provf .
> attach(lentils)
akan menempatkan data frame kedalam jalur pencarian pada posisi 2, dan
menyatakan bahwa tidak ada variable u, v atau w pada posisi 1. u, v dan w
adalah variable dari frame dalam bentuk awal yang sudah ditentukan sebelumnya.
tidak menggantikan komponen u dari data frame, namun hanya menutupinya dengan
variable u lainnya dalam direktori kerja (working directory) pada posisi 1 pada jalur
pencarian.
Sedangkan untuk membuat perubahan atau pergantian suatu data frame yang
permanent, cara yang sederhana yang dapat dilakukan dengan mengurutkan ulang
(resort) pada notasi $:
Namun bagaimanapun, nilai baru suatu komponen u tidak tampak (visible) sampai
data frame di-detach dan di-attach lagi. Untuk men-detach-nya dengan
menuliskan fungsi
> detach()
24
Sebagai contoh, untuk men-detach data frame lentils, dengan menuliskan
> detach(lentils)
Berikut adalah cara bekerja dengan data frame dalam direktori kerja yang sama:
Suatu objek data yang berukuran besar, biasanya dibaca sebagai nilai dari file
eksternal (selain dari data R yang sedang kita kerjakan). Fasilitas input data di R,
sangat mudah , sebgai contoh fungsi scan() yang dapat langsung kita panggil
(fungsi scan(), fungsi yang primitive), sedangkan untuk data yang besar, dengan
menggunakan fungsi read.table().
Fungsi read.table()
Untuk langsung membaca data frame dari suatu file eksternal yang normalnya
mempunyai bentuk khusus:
Baris pertama file terdiri dari nama setiap variabel dalam data frame
Setiap penambahan baris pada suatu file mempunyai label baris dan nilai
untuk setiap variable pada baris pertama.
Jika suatu file mempunyai item yang lebih sedikit pada baris pertamanya dibanding
baris kedua, harus dilakukan suatu perubahan. Maka dalam baris pertama yang lebih
sedikit akan dibaca sebagai data frame yang terlihat pada tabel berikut ini:
25
Input file form with names and row labels:
Ket: 01,02,03,04,05, ….. adalah label untuk setiap baris dalam data frame
Dengan item numerik yang sudah ditetapkan secara default (kecuali label baris) akan
dibaca sebagai variabel numerik dan variabel non numerik, seperti pada Cent.heat
yang dianggap sebagai factor, dan jika diperlukan, hal tersebut dapat diubah.
Kita juga dapat menghilangkan label baris untuk data frame dengan menuliskan
header=TRUE digunakan untuk mengatur tabel data frame dalam bentuk default,
sehingga label baris tidak akaan tampak, seperti dalam tabel berikut:
Fungsi scan()
Apabila akan membaca beberapa vektor data dengan panjang yang sama secara
parallel (anggap ada tiga vektor, yang pertama dalam bentuk karakter dan sisanya
dalam bentuk numeric, dan filenya adalah input.dat), maka pertama dapat
menggunakan fungsi scan() untuk membaca ketiga vektor dalam bentuk list,
dengan menuliskan:
Pada fungsi scan tersebut, argumen kedua adalah struktur list dummy, yang
menetapkan mode ketiga vektor dapat dibaca. Hasilnya adalah objek inp yang
26
merupakan list yang komponennya adalah ketiga vektor tersebut. Untuk memisahkan
item data menjadii tiga vektor terpisah, kita tuliskan:
Kita juga dapat memberikan nama komponen pada daftar dummy, (dalam kasus ini)
digunakan untuk mengakses vektor yang ada di dalamnya. Sebagai contoh:
Jika anda ingin mengakses variabel secara terpisah, hal itu dapat dilakukan dengan
re-assign variabel pada data frame, kita tuliskan:
Jika argument kedua merupakan nilai tunggal atau tidak ada dalam list, maka semua
komponen dalam vektor harus mempunyai mode yang sama sebagai nilai dummy.
Ketika anda meng-instal R, maka anda mempunyai sekitar 100 kumpulan data
sebagai contoh atau latihan ( dalam paket dataset) . Untuk melihat kumpulan data
tersebut, tuliskan:
> data()
27
Gambar 4.2: Dataset default dalam R
28
Gambar 4.3: Daftar dataset dalam R
Untuk menggunakan salah satu data built-in anda dapat menggunakan fungsi
data(). Sebagai contoh, untuk menggunakan data AirPassengers, tuliskan:
> data(AirPassengers)
> list(AirPassengers)
[[1]]
Jan Feb Mar Apr May Jun Jul Aug Sep Oct Nov Dec
1949 112 118 132 129 121 135 148 148 136 119 104 118
1950 115 126 141 135 125 149 170 170 158 133 114 140
1951 145 150 178 163 172 178 199 199 184 162 146 166
1952 171 180 193 181 183 218 230 242 209 191 172 194
1953 196 196 236 235 229 243 264 272 237 211 180 201
1954 204 188 235 227 234 264 302 293 259 229 203 229
1955 242 233 267 269 270 315 364 347 312 274 237 278
1956 284 277 317 313 318 374 413 405 355 306 271 306
1957 315 301 356 348 355 422 465 467 404 347 305 336
1958 340 318 362 348 363 435 491 505 404 359 310 337
1959 360 342 406 396 420 472 548 559 463 407 362 405
1960 417 391 419 461 472 535 622 606 508 461 390 432
29
Loading data dari paket R lainnya
Selain dari dataset yang built-in, kita dapat menggunakan data dari paket R lainnya
(dapt di download di website resmi R).
Sebagai contoh:
> data(package="rpart")
> data(Puromycin, package="datasets")
baris pertama akan memanggil (kumpulan) data dari paket rpart, pada baris kedua
akan memanggil data Puromycin dari paket datasets.
Menyunting/edit data
Seperti software pengolahan & analisis data lainnya, R menyediakan fasilitas editor
data mirip tampilan spreadsheet dengan menggunakan fungsi edit() yang
penulisannya sebagai berikut:
akan mengedit data sebelumnya xold menjadi data (objek) baru xnew.
Sebagai contoh, dengan menggunakan data built-in pada dataset , yakni
AirPassenger , penulisannya:
> data(AirPassengers)
> xnew<-edit(AirPassengers)
Ket: Pemberian nama objek data yang diedit adalah bebas (bergantung
kebutuhan dan kemudahan pengguna).
30
Untuk pengeditan data asli, dapat digunakan fungsi fix(). Misalkan:
Sebagai contoh, akan digunakan data faithful untuk mengedit dengan model
grid, dengan penulisan sebagai berikut:
> attach(faithful)
> xnew <-fix(faithful)
31
Pengeditan data dapat dilakukan dengan penulisan statement R seperti di atas, atau
dengan menggunakan menu window: Edit -> Data editor …-> Masukan nama data
(misal data faithful) -> OK untuk melanjutkan edit data. Tahapan tersebut
ditunjukkan pada gambar berikut:
Statistika deskriptif
Rerata (Mean)
Rerata merupakan deskripsi statistika yang menggambarkan tentang nilai rata-rata
dari suatu sample. Perhitungan rerata secara matematis adalah sebagai berikut:
n
mean 1/ n * xi
i
Dalam R terdapat fungsi untuk menghitung nilai rerata sampel. Fungsi yang
digunakan adalah mean(x) ataupun dengan menggunakan fungsi summary(x).
Sebagai contoh, digunakan data dari datapackage yang sudah tersedia di R, pilih
salah satu data (misalkan Nile). Kemudian hitung nilai rerata sampel, dengan
menuliskan
> data()
> data(Nile)
> Nile
Time Series:
Start = 1871
End = 1970
Frequency = 1
[1] 1120 1160 963 1210 1160 1160 813 1230 1370 1140 995 935 1110
[14] 994 1020 960 1180 799 958 1140 1100 1210 1150 1250 1260 1220
[28] 1030 1100 774 840 874 694 940 833 701 916 692 1020 1050
[41] 969 831 726 456 824 702 1120 1100 832 764 821 768 845
[54] 864 862 698 845 744 796 1040 759 781 865 845 944 984
[67] 897 822 1010 771 676 649 846 812 742 801 1040 860 874
[80] 848 890 744 749 838 1050 918 986 797 923 975 815 1020
[94] 906 901 1170 912 746 919 718 714 740
47
> mean(Nile)
[1] 919.35
> summary(Nile)
Min. 1st Qu. Median Mean 3rd Qu. Max.
456.0 798.5 893.5 919.4 1033.0 1370.0
Hasil tersebut di atas adalah menunjukkan tentang data Nile yang terdiri dari 100 data
dengan nilai rerata 919.35. Selain rerata ada pula nilai statistik lainnya, yaitu
minimum, kuartil pertama, nilai tengah (median), kuartil ke tiga dan maksimum.
Nilai-nilai tersebut ditampilkan dengan menjalankan fungsi summary().
Seperti halnya dengan rerata, R juga menyediakan fungsi untuk mencari nilai tengah
(median) sampel dengan menuliskan fungsi median().
Sebagai contoh, dapat digunakan data seperti mencari nilai rerata sebelumnya untuk
menghitung nilai tengah (median):
> median(Nile)
[1] 893.5
R menyediakan fasilitas untuk mencari nilai minimum dan maksimum suatu data,
yaitu dengan digunakan perintah min() dan max()
Grafik
R dilengkapi dengan fasilitas untuk visualisasi statistik dalam bentuk grafik, baik
statistik, kontur, map, dll. Sistem grafik di R terdiri dari dua sistem: sistem
(dasar/default) yang terdapat dalam paket graphics dan sistem trellis yang
terdapat dalam paket lattice. Grafik di R dapat diatur sesuai keperluan. Untuk
melihat lebih detil mengenai fitur grafik dalam R, pilih menu Help di menu R
kemudian pilih Manual (dalam format pdf) atau HTML help. Untuk mendapatkan
gambaran langsung tentang grafik dalam R, dapat dilihat dalam fungsi demo(),
dengan menuliskan
> demo() #
untuk melihat jenis-jenis demo
> demo(graphics) #
atau
> demo(image) #
atau
> demo(persp) #
atau
> demo(lattice) #
sebelumnya diperlukan load package dan pilih
lattice pada menu di windows R anda; atau
> demo(package = .packages(all.available = TRUE)) # untuk melihat
semua jenis demo yang tersedia
Ket: untuk R versi 2.1.1, penulisan Return dituliskan setelah penulisan fungsi
demo()
48
Grafik Dasar (Base)
Berikut akan disajikan contoh pembuatan plot secara bertahap diawali dengan model
standar hingga pengaturan sesuai dengan yang diinginkan (customize). Contoh
berikut adalah pembuatan scatterplot untuk petal.length yang dibandingkan
dengan petal.width dari dataset iris. Default scatterplot dari dua variabel
dihasilkan oleh metod plot.default, yang secara otomatis digunakan oleh
perintah plot generik dimana argumennya merupakan dua vektor dengan panjang
yang sama seperti berikut ini:
> data(iris)
> str(iris)
Data tersebut di atas menyatakan bahwa data iris terdiri dari 5 variabel dimana setiap
variable terdiri dari 150 data observasi. Lima variable tersebut adalah: Sepal.Length,
Sepal.Width, Petal.Length, Petal.Width dan Species.
> attach(iris)
> plot(Petal.Length, Petal.Width)
Hasil dari perintah tersebut terlihat pada Grafik 5.1 (merupakan bentuk grafik secara
default). Dalam grafik tersebut, sumbu x dan sumbu y berasal dari argumen pertama
(Petal.Length) dan argumen kedua (Petal.Width), dari pernyataan
plot(argument_1, argument_2).
Gambar 5.1: Scatter plot data variabel Petal
Grafik 5.1 di atas dapat dilengkapi untuk menunjukan dependensi argumen dimana
49
sumbu y sebagai variabel dependen. Hal tersebut dilakukan dengan menuliskan
perintah seperti berikut, dimana variable terikat terletak sebelah kiri:
> plot(Petal.Width ~ Petal.Length,)
Pada Gambar 5.1 bentuk grafik sangat standart, sehingga perlu dilengkapi dengan
beberapa keterangan tambahan untuk memperjelas dan mempermudah dalam
melakukan interpretasi grafik. Hal ini dapat dilakukan dengan menambahkan fitur
warna atau simbol dalam tampilan grafik. Untuk hal tersebut, R mempunyai fasilitas
pewarnaan (yaitu dengan argumen col), simbol (dengan argumen pch), ukuran
(dengan argumen cex), label/nama sumbu kordinat (dengan argumen xlab dan
ylab), judul grafik (dengan argumen main). Beberapa jenis warna yang disediakan
dalam R dapat diketahui dengan menggunakan perintah colours(), dimana akan
ditampilan daftar warna-warna tersebut.
> colours()
> palette()
Berikut ini merupakan contoh yang menampilkan grafik plot yang dilengkapi dengan
pewarnaan, modifikasi ukuran dan pemilihan simbol plotting. Penulisannya adalah
sebagai berikut:
50
51
Gambar 5.3: Simbol, Kode dan Warna dalam R
Setelah kita mengetahui bentuk dan kode simbol, maka berikut ini akan dilakukan
penggunaan simbol, warna dan modifkasi lain untuk menggambarkan plot/grafik dari
contoh sebelumnya dengan menuliskan perintah seperti berikut:
Data menunjukkan dengan jelas bahwa ukuran spesies berbeda (Sentosa paling kecil,
Versicolor menengah, Virginica terbesar) tetapi rasio petal length dan weight sama
untuk ketiga ukuran tersebut.
52
Histogram
Selain plot, bentuk representasi grafis lainnya yang paling mudah digunakan untuk
menggambarkan sebaran data adalah histogram. R menyediakan fasilitas fungsi
histogram yang digunakan untuk mengetahui sebaran sampel suatu data. Sebagai
catatan: histogram ataupun boxplot, digunakan untuk satu variable.
Sebelum kita mencoba untuk menggunakan fasilitas histogram, maka perlu sedikit
penjelasan yang berkaitan dengan histogram, yaitu:
histogram digunakan untuk mengestimasi fungsi distribusi probabilitas
densitas (probability density function);
> stem(variabel)
Sebagai contoh, gunakan variabel eruptions dari tabel data faithful, dengan
menuliskan:
> attach(faithful)
> summary(eruptions)
> fivenum(eruptions)
> stem(eruptions)
53
40 | 0000003357788888002233555577778
42 | 03335555778800233333555577778
44 | 02222335557780000000023333357778888
46 | 0000233357700000023578
48 | 00000022335800333
50 | 0370
Kita juga dapat melihat sebaran data dalam plot histogram yaitu dengan
menggunakan fungsi hist()
> hist(eruptions)
Pada Gambar 5.5 di atas, fungsi hist() menggunakan jarak antar batang (disebut
bin) cukup besar. Untuk membuat bin lebih kecil, diperlukan tambahan atribut
dengan menuliskan:
54
Gambar 5.6: Grafik histogram data eruption berdasarkan lebar bin 0.2
Gambar 5.6 di atas menunjukkan lebar batang histogram yang lebih kecil dibanding
Gambar 5.5. Apabila ingin ditambahkan garis pada data densitas, maka dapat
menggunakan fungsi lines()seperti berikut:
> lines(density(eruptions, bw = 0.1))
Keterangan: bw adalah bandwidth (lebar pita), dengan nilainya berdasarkan trial and
error.
sbb:>rug(eruptions
55
Gambar 5.8: Grafik histogram data eruption dengan data aktual
Distribusi ecdf di atas masih jauh dari standar distribusi yang ada. Untuk itu dapat
dicobakan dengan mencocokkan distribusi normal dan “menutupi” fungsi distribusi
kumulatif (ecdf) sebelumnya. Penulisannya adalah sebagai berikut:
56
Gambar 5.10: Plot 2 ecdf data eruption
Selain histogram sebagai alat untuk memplot sebaran data suatu variabel adalah
Quantile – Quantile (Q-Q) plot. Q-Q plot dapat digunakan untuk memplot variable
secara lebih teliti berdasarkan nilai quantile data.
Q-Q plot adalah suatu scatter plot yang membandingkan distribusi empiris dengan
fitted distribution dalam kaitannya dengan nilai dimensi suatu variabel (misalkan:
nilai quantile empiris). Q-Q plot dapat memplot dengan baik jika dataset diperoleh
dari populasi yang sudah diketahui.
57
Q-Q plot dalam R dibagi menjadi dua, yaitu:
qqnorm(variabel); untuk menguji goodness of fit dari distribusi
Gaussian. qqnnorm() disebut juga sebagai plot probabilitas normal.
> qqline(long)
58
Boxplot
Selain dua alat untuk menggambarkan grafik untuk satu variable yang sudah
dijelaskan sebelumnya, terdapat fasilitas boxplot yang digunakan untuk melihat
sebaran data. Berikut adalah penjelasan tentang fitur dasar boxplot:
Berguna untuk membanding banyak kelompok/grup.
Dasarnya menggunakan 3 jenis summary: 3 quartil.
Mudah dalam menampilkan nilai rerata (mean).
Dapat diperluas untuk menampilkan persentil lainnya, terutama pada
ujung(tails) suatu distribusi.
R menyediakan fitur untuk menampilkan boxplot, dengan menuliskan fungsi
boxplot(variabel).
Untuk menjelaskan penggunaan fungsi boxplot(), berikut adalah contoh
menggambar grafik dengan menggunakan data faithful seperti pada contoh
sebelumnya.
> boxplot(eruptions)
Perintah di atas akan mendapatkan gambar boxplot dari variabel eruption seperti
berikut:
59
Gambar 5.15: Boxplot data eruption dengan nama titel
R menyediakan beragam bentuk penyajian grafik plot. Berikut adalah daftar plot
grafik dasar yang ada dalam R (beberapa ada yang termasuk dalam instalasi awal dan
adapula yang masuk dalam paket lain yang harus didownload dari CRAN):
60
Gambar 5.16 terdiri dari beberapa contoh tampilan grafik plot, yaitu boxplot, a
conditioning plot, pairwise scatterplot, dan star plot, yang kesemuanya mengaplikasikan dataset
Anderson iris. Perintah di R untuk menggambarkan grafik-grafik tersebut adalah :
Conditioning plot
boxplot
61
Grafik Trellis
Sistem grafik trellis dalam R tersedia dalam paket lattice. Model grafik ini khususnya
digunakan untuk visualisasi multivariate apabila relasi antara variable berubah
bersama beberapa group factor yang disebut sebagai kondisi (conditioning) suatu
grafik terhadap factor. Metoda ini menggunakan formula yang similar dengan
formula statistic untuk menspesifikasikan variable yang akan diplot serta
hubungannya dalam plot.
Satu varibel/Univariate
Sebagai salah contoh univariate adalah membuat grafik plot densitas pada
keseluruhan data. Pada contoh ini digunakan dataset iris seperti contoh sebelumnya.
Berikut adalah metode yang digunakan untuk menampilkan plot densitas:
> densityplot(~ Petal.Length, data=iris,main=”Seluruh Spesies”)
Operator ~ tidak memiliki operan di sebelah kiri, karena tidak ada variable terikat
(dependent) dalam plot; ini menunjukkan sifat univariate. Petal.Length adalah
variable bebas (independent), dan diperoleh plotnya. Gambar 5.17(a) sebelah kiri
menunjukkan plot densitas univariate.
Pengkondisian dilakukan dengan menambahkan operator “|”, yang dapat dibaca
sebagai “pengkondisian pada” (conditioned on) satu (beberapa) variable pada sisi
kanan operator, seperti pada berikut ini:
> densityplot(~ Petal.Length | Species, data=iris)
Perintah tersebut akan menampilkan satu panel per spesies; seperti yang ditunjukkan
pada Gambar 5.17(b). Pada gambar tersebut tampak jelas bahwa distribusi multi-
modal keseluruhan data set berdasarkan perbedaan distribusi untuk setiap spesies.
(a) (b)
Gambar 5.17 Plot densitas triller (a) tanpa dan (b) dengan pengkondisian faktor
Jenis plot untuk satu variable (univariate) adalah seperti pada table 5.2 berikut: Tabel
62
Jenis Keterangan
assocplot Plot hubungan (association)
5.2: Jenis plot untuk satu variable
Salah satu metode membuat plot dua variable (bivariate) adalah xyplot, dimana
sumbu y adalah variable terikat dan sumbu x adalah variable bebas; variable tersebut
juga dapat dikondisikan terhadap satu atau lebih kelompok faktor seperti pada
perintah berikut.
Gambar 5.18: Scatter plot triller (a) tanpa dan (b) dengan pengkondisian faktor
63
Tabel 5.3: Jenis plot untuk dua variable
Jenis Keterangan
qq Plot untuk membandingkan dua
distribusi
xyplot Plot scatter
Tiga variable(Trivariate)
Plot yang paling banyak digunakan untuk trivariate adalah levelplot dan
contourplot untuk melakukan plot 2D dari satu variable respon pada dua
variable terikat kontinu (misalkan, elevation vs. dua koordinat), metode wireframe
untuk suatu versi grafik 3D, dan metode cloud (awan) untuk scatter plot 3D dari tiga
variable. Semua dapat dikondisikan pada suatu factor tertentu. Gambar 5.19
menunjukkan contoh yang dihasilkan dari kode berikut:
Gambar 5.19 menunjukkan hasil dari perintah di atas. Sebagai catatan, data set
volcano merupakan matriks elavasi:
> str(volcano)
num [1:87, 1:61] 100 101 102 103 104 105 105 106 107 108 ...
Metode levelplot menkonversi ke variable respon (nilai z) dan dua predictor, yaitu
baris dan kolom matriks (nilai x dan y). Contoh tersebut menunjukkan metode lattice
tingkat tinggi yang melakukan pembentukan grafik sendiri. Hasil dari metode
levelplot digambar dengan metode print. Metode plot tiga variable adalah seperti
Table 5.4:
64
Gambar 5.19: Grafik plot Trellis trivariate Tabel 5.4: Jenis plot untuk
tiga variable
Jenis Keterangan
levelplot Plot level
contourplot Plot contour
cloud Plot scatter 3 dimensi
wireframe Permukaan 3 dimensi (similar
dengan plot persp di R)
Selain motode plot untuk satu, dua, tiga variable, R juga menyediakan plot grafik
untuk lebih dari tiga variable (hypervariate) seperti pada Table 5.5 berikut:
Fungsi Distribusi
Fungsi distribusi merupakan salah satu bahasan penting dalam statistika, terutama
dalam analisis data. Fungsi distribusi merupakan salah satu alat pendekatan distribusi
suatu data. Fungsi distribusi juga berperan dalam menentukan densitas suatu fungsi
data. Dalam bab ini akan dibahas fungsi distribusi dan fungsi yang berkaitan
dengannya.
65
Jenis fungsi distribusi dalam R
Software R mempunyai koleksi fungsi distribusi standar yang lengkap, yang tersedia
dalam paket program R dan dapat ditambah dengan mendownload dalam bentuk
paket dari situs R.
Fungsi probabilitas densitas merupakan salah satu parameter statistic yang digunakan
untuk mengetahui probabilitas terhadap suatu factor yang ada dalam sample. Buku ini
akan mengawali pembahasan dengan contoh kasus untuk mempermudah pemahaman
tentang fungsi densitas seperti berikut ini:
Terdapat 16 mahasiswa dipilih secara acak dari populasi dimana 30% adalah wanita.
Berapa probabilitas sebanyak nol, satu, dua, …, enam belas dari mahasiswa tersebut
yang dipilih adalah wanita?. Untuk menghitung probabilitas tersebut akan digunakan
beberapa langkah dalam R seperti dibawah ini.
round(dbinom(0:16, 16, 0.3), 3) # dbinom artinya d:densitas dan
binom:binomial
[1] 0.003 0.023 0.073 0.146 0.204 0.210 0.165 0.101 0.049 0.019 0.006 0.001
[13] 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000
66
Pertama adalah menghitung nilai probabilitas jumlah wanita yang terpilih dari
populasi yang dicari tersebut berdasarkan distribusi binomial dengan menggunakan
fungsi dbinom(). Nilai probabilitas dari masing-masing kejadian tersebut adalah:
Total kumulatif dari masing-masing nilai probabilitas tersebut adalah 1 (hal ini
menunjukkan bahwa nilai probabilitas tersebut merupakan pdf). Kemudian untuk
menggambarkan scatter plot nilai probabilitas tersebut digunakan perintah plot seperti
berikut:
Misalkan terdapat kondisi bahwa hanya 2 dari 16 yang terpilih adalah wanita. Berapa
probabilitas dua atau kurang dari jumlah wanita dapat terpilih kembali? Penyelesaian
masalah tersebut dapat diselesaikan dengan menggunakan fungsi pbiom() seperti
perintah program dibawah, dimana argument pertama = 2 yang menyatakan jumlah
wanita terpilih, argument kedua adalah 16 yang menyatakan jumlah keseluruhan,
argument ketiga menyatakan probabilitas jumlah wanita. Perintah dalam R adalah
sebagai berikut:
67
Gambar 5.20: Plot binomial data mahasiswa
(Interpretasi: dalam sample random dari 16 orang populasi dengan 30% adalah
wanita, terdapat sekitar 10% bahwa dari sample akan terpilih sebanyak nol, satu atau
dua adalah wanita. Maka jika kita lihat, 16 orang sample dengan dua atau kurang
wanita, maka kita menduga bahwa terjadi diskriminasi terhadap hal tersebut, maka
10% kesempatan yang kita duga tersebut adalah tanpa dasar yang kuat).
Contoh berikut menyatakan bahwa dua random sample yang saling bebas yang
berdistribusi normal seharusnya tidak berkorelasi. Kita dapat mensimulasikan hal ini
berulangkali untuk menaksi koefisien korelasi dimana probabilitas error Type I (yaitu
menolak hipotesis yang menyatakan tidak terdapat suatu korelasi) adalah 10%.
Pertama, kita akan menuliskan:
68
69
Gambar 5.21: Plot variabel sample1 dan sample 2
Gambar 5.21 menunjukkan bahwa 2 variabel random sample.1 dan sample.2 adalah
saling bebas.
Sebagai catatan, karena sifat kerandomannya, hasil yang akan anda peroleh dari hasil
percobaan yang dilakukan tentu akan berbeda dengan apa yang disajikan dalam buku
ini.
Kemudian, untuk perhitungan yang lebih besar lagi, yakni mencari nilai-nilai
statistiknya, perlu mendefinisikan fungsi secara tersendiri seperti berikut ini:
70
Gambar 5.22: Histogram koefisien korelasi
Sepertinya, terlihat suatu interval antara -0, 36 …. +0,37 yang melingkupi 90% dari
koefisien korelasi r sample untuk ukuran sample 20. Sekali lagi hasilnya mungkin
sedikit berbeda antara yang anda lakukan dengan yang dikerjakan dalam buku ini.
71
Baris perintah di atas adalah salah satu contoh pembahasan mengenai fungsi
probabilitas densitas (probability density function (PDF)) dengan kasus distribusi
normal bivariat.
F (x) Pr ob( X x)
Dalam sub bab ini akan dijelaskan tentang regresi dan ANOVA, yang merupakan
salah satu metode dasar statitistik dalam melakukan pengolahan dan analisis data.
Disini akan disajikan teori dan praktek regresi dan anova serta penggunaan R untuk
analisis tersebut. Pada tahap awal mungkin akan terasa sedikit rumit, namun
diharapkan setelah mencoba beberapa contoh akan menjadi lebih mudah.
> library(faraway)
> data(pima)
> pima
pregnant glucose diastolic triceps insulin bmi diabetes age test
1 6 148 72 35 0 33.6 0.627 50 1
2 1 85 66 29 0 26.6 0.351 31 0
3 8 183 64 0 0 23.3 0.672 32 1
4 1 89 66 23 94 28.1 0.167 21 0
5 0 137 40 35 168 43.1 2.288 33 1
….
Simpulan dari dataset tersebut dapat kita lihat sebagai berikut:
> summary(pima)
pregnant glucose diastolic triceps
Min. : 0.000 Min. : 0.0 Min. : 0.0 Min. : 0.00
1st Qu.: 1.000 1st Qu.: 99.0 1st Qu.: 62.0 1st Qu.: 0.00
Median : 3.000 Median :117.0 Median : 72.0 Median :23.00
Mean : 3.845 Mean :120.9 Mean : 69.1 Mean :20.54
3rd Qu.: 6.000 3rd Qu.:140.2 3rd Qu.: 80.0 3rd Qu.:32.00
Max. :17.000 Max. :199.0 Max. :122.0 Max. :99.00
insulin bmi diabetes age
Min. : 0.0 Min. : 0.00 Min. :0.0780 Min. :21.00
1st Qu.: 0.0 1st Qu.:27.30 1st Qu.:0.2437 1st Qu.:24.00
Median : 30.5 Median :32.00 Median :0.3725 Median :29.00
Mean : 79.8 Mean :31.99 Mean :0.4719 Mean :33.24
3rd Qu.:127.2 3rd Qu.:36.60 3rd Qu.:0.6262 3rd Qu.:41.00
Max. :846.0 Max. :67.10 Max. :2.4200 Max. :81.00
test
Min. :0.0000
1st Qu.:0.0000
Median :0.0000
Mean :0.3490
3rd Qu.:1.0000
Max. :1.0000
Simpulan data di atas menunjukkan beberapa hal yang tidak wajar yang mungkin
disebabkan ketika memasukkan data, misalkan nilai maksimum pregnant = 17 (ini
sangat besar, tetapi juga memungkinkan), tekanan darah (diastolic) = 0. Dengan
demikian kita perlu sedikit melakukan pembersihan data tersebut, khususnya yang
diasumsikan ketika memasukkannya tidak benar. Melihat ketidak wajaran tersebut
kita perlu menset nilai dari dataset yang bernilai 0 dengan NA, hal ini untuk
menghindari terjadinya pada kesalahan perhitungan. Nilai NA data tidak tersedia
untuk nilai yang diasumsikan salah ketika memasukkan, sehingga tidak termasuk
dalam perhitungan. Apabila nilai tersebut tetap 0, maka nilai statistik menjadi tidak
wajar, karena tidak sesuai dengan kenyataan. Perintah yang digunakan untuk menset
nilai tersebut adalah:
Variabel test adalah bukan kuantitatif melainkan kategori. Variabel tersebut adalah faktor.
Tetapi karena merupakan kode numerik, variabel tersebut diperlakukan seperti halnya
kuantitatif. Akan lebih baik apabila variabel tersebut adalah faktor sehingga dapat
diperlakukan sesuai fungsinya. Hal seperti itu kadang terlupakan dan akibatnya akan terjadi
73
kesalahan proses perhitungan statistik (misalkan proses perhitungan ”rata-rata code pos”
(dimana kodenya numerik tetapi bukan data kuantitatif)). Sehingga untuk mendefinisikan
variabel test sebagai faktor maka perintah yang digunakan adalah:
Sekarang jelas bahwa 500 kasus adalah negative (0) dan 268 positif (1). Sehingga untuk
menggunakan deskripsi label yang benar untuk variabel test sebagai kategori maka dimana
(0) adalah negatif dan (1) adalah positif, maka dituliskan perintah berikur:
Model
Model untuk ANOVA jenis ini yaitu, diberikan faktor α terjadi pada tingkat i = 0, 1,
…, I , dengan sejumlah j observasi per tingkat dimana j = 1, …, Ji. Model yang
74
digunakan:
yij i ij , i 1,..., I ; j 1,..., Ji
dengan batasan-batasan parameter sebagai berikut:
1. Set μ = 0 dan variabel dummy I yang berbeda
2. α1 = 0 – berhubungan dengan perlakuan yang kontras
3. J i
i
i 0 , yang mengarah pada penaksir kuadrat terkecil (least square
estimate).
ˆ y , ˆ i yi y ,
Dimana tanda (misal pada y ) menyatakan indeks dari rerata yang digunakan.
Metode terakhir ini paling banyak direkomendasikan untuk penghitungan
manualwalaupun akan lebih sulit disajikan dalam bentuk y X . Faktor kedua
pertama di atas lebih mudah diimplementasikan secara komputas. Seperti biasa,
beberapa analisis grafis awal diperlukan sebelum melakukan pencocokkan (fitting).
Boxplot sisi per sisi merupakan plot yang paling banyak digunakan. Lihat pada
persamaan variansi, transformasi, outliers (disini tidak berpengaruh secar relevan
karena levarage tidak akan berbeda kecuali disain yang sangat tidak seimbang)
Contoh kasus,
Suatu penelitian ingin mengetahui apakah factor sosioekonomi mempengaruhi IPK
mahasiswa. Sosioekonomi dibagi dalam tiga kelompok, yaitu rendah (r), sedang (s)
dan tinggi (t). Dalam penelitian tersebut, masing-masing kelompok terdiri dari 7
mahasiswa yang diambil data IPK secara acak.
ipk sosek
1 2.87 r
2 2.16 r
3 3.14 r
4 2.51 r
5 1.80 r
6 3.01 r
75
7 2.16 r
8 3.23 s
9 3.45 s
10 2.78 s
11 3.77 s
12 2.97 s
13 3.53 s
14 3.01 s
15 2.25 t
16 3.13 t
17 2.44 t
18 2.54 t
19 3.27 t
20 2.81 t
21 1.36 t
Langkah pertama adalah melihat sebaran data dengan melakukan plot, dan digunakan
boxplot dan hasilnya seperti Gambar 5.24:
Disini diharapkan tidak terlihat adanya outlier, kemiringan (skewness) dan variansi
yang berbeda.
Selanjutnya, dilakukan pencocokan model dengan cara sebagai berikut:
Eksperimen tersebut melibatkan suatu factor tunggal yaitu kelas sosioekonomi
Maka untuk mendapatkan hal tersebut, maka perlu dibuat suatu model linear yang
menggambarkan hubungan ipk dengan sosek sebagai berikut:
Residuals:
Min 1Q Median 3Q Max
-1.18286 -0.29286 -0.01143 0.34857 0.72714
Coefficients:
Estimate Std. Error t value Pr(>|t|)
(Intercept) 2.52143 0.19336 13.040 1.31e-10 ***
soseks 0.72714 0.27346 2.659 0.0160 *
sosekt 0.02143 0.27346 0.078 0.9384
---
Signif. codes: 0 ‘***’ 0.001 ‘**’ 0.01 ‘*’ 0.05 ‘.’ 0.1 ‘ ’ 1
Karena nilai statistik F = 4.579 melebihi nilai kepercayaan F0.05 = 3.55, maka H0
ditolak dan disimpulkan (pada tingkat kepercayaan = 0.05) bahwa rata-rata IPK
mahasiswa berbeda paling sedikit dua dari tiga tingkat sosio ekonomi. Hal ini juga
ditunjukkan oleh = 0.05 lebih besar dari p-value = 0.02468.
Grup r adalah level rujukan dan mempunyai nilai rerata 2.52143, sedangkan grup s
dan t berturut-turut memiliki nilai rerata 0.72714 dan 0.02143 lebih besar dari rata-
rata r. Kemudian berdasarkan factor sosioekonomi tersebut, maka dilakukan
pemeriksaan matriks rancangan untuk memahami pengkodean:
> model.matrix(g)
Residuals:
Min 1Q Median 3Q Max
-1.18286 -0.29286 -0.01143 0.34857 0.72714
Coefficients:
Estimate Std. Error t value Pr(>|t|)
sosekr 2.5214 0.1934 13.04 1.31e-10 ***
soseks 3.2486 0.1934 16.80 1.91e-12 ***
sosekt 2.5429 0.1934 13.15 1.14e-10 ***
---
Signif. codes: 0 ‘***’ 0.001 ‘**’ 0.01 ‘*’ 0.05 ‘.’ 0.1 ‘ ’ 1
Kita lihat, dengan nilai p (p-value) = 3.662*10-14 (mendekati 0) maka kita tidak dapat
melakukan perbandingan hipotesis sebelumnya.
77
ANOVA Dua Arah
Anggap terdapat dua faktor, pada level I dan pada level J. Misalkan jumlah observasi
pada level i dari dan level j dari dan misalkan observasi tersebut sebagai yi j1, yi j2, …. Suatu
layout lengkap A memiliki nij untuk semua i, j. memiliki model umum yang paling
sesuai adalah : 1
78
yijk i j ( )ij ijk
Efek interaksi ( ij diinterpretasikan sebagai bagian dari rata-rata respon yang bukan
(
merupak atribut efek tambahan dari i and j Sebagai contoh misalkan anda menyukai
strawberi dan es krim secara individu, tetapi strawberi yang dicampur dalam eskrim
lebih disukai. Hal yang berlawanan misalkan anda menyukai ikan dan es krim tetapi
tidak menyukai es krim yang dicampur ikan.
Hasil tersebut adalah untuk anova satu arah, dengan mengabaikan metode
pengecatan. Statemen lm() menyesuaikan model linier dan statemen anova()
menampilkan hasil dalam bentuk tabel anova.
Response: adhf
Df Sum Sq Mean Sq F value Pr(>F)
primer 2 4.5811 2.2906 5.5989 0.01527 *
Residuals 15 6.1367 0.4091
---
Signif. codes: 0 `***' 0.001 `**' 0.01 `*' 0.05 `.' 0.1 ` ' 1
Tampilan hasil di atas adalah anova satu arah untuk metode pengecatan, dengan
79
mengabaikan jenis cat (primer).
Response: adhf
Df Sum Sq Mean Sq F value Pr(>F)
applic 1 4.9089 4.9089 13.521 0.002039 **
Residuals 16 5.8089 0.3631
---
Signif. codes: 0 `***' 0.001 `**' 0.01 `*' 0.05 `.' 0.1 ` ' 1
Hasil berikut merupakan anova dua arah untuk metode pengecatan, varibel primer
dan interaksi antar keduanya.
Sebagai catatan, jumlah kuadrat untuk variable primer dan untuk variable applic
bernilai sama dengan hasil perhitungan dalam analisis satu arah.
> anova(lm(adhf~primer*applic, data=paint))
Analysis of Variance Table
Response: adhf
Df Sum Sq Mean Sq F value Pr(>F)
primer 2 4.5811 2.2906 27.8581 3.097e-05 ***
applic 1 4.9089 4.9089 59.7027 5.357e-06 ***
primer:applic 2 0.2411 0.1206 1.4662 0.2693
Residuals 12 0.9867 0.0822
---
Signif. codes: 0 `***' 0.001 `**' 0.01 `*' 0.05 `.' 0.1 ` ' 1
Interaksi variable tidak signifikan (p = 0.2693) oleh karena itu kita dapat
melakukan uji untuk efek utama, dimana keduanya memiliki signifikansi yang tinggi.
Kesimpulan: Bahwa pemilihan tipe primer dan pemilih metode pengecatan (aplikasi)
mempengaruhi kekuatan daya rekat cat, dan selisih antara tiga tipe cat adalah sama
untuk kedua cara pengecatan (aplikasi), dan selisih antara dua metode pengecatan
adalah sama untuk setiap tipe cat.
Untuk uji t contoh pengecatan di atas, dibahas di V.5. sub bab uji t.
Perintah berikut digunakan untuk menunjukkan cara perhitungan nilai rerata untuk
enam tipe cat yang berbeda: kombinasi variable applic dan cara bagaimana mengatur
nilai rerata dalam bentuk matriks untuk memberikan plot interaksi.
> split(paint$adhf,paint$applic:paint$primer)
$"D:1"
[1] 4.0 4.5 4.3
$"D:3"
[1] 3.8 3.7 4.0
$"S:1"
[1] 5.4 4.9 5.6
$"S:2"
[1] 5.8 6.1 6.3
$"S:3"
[1] 5.5 5.0 5.0
80
>sapply (split (paint$adhf, paint$applic:paint$primer), mean)
>matrix(sapply(split(paint$adhf,
paint$applic:paint$primer),mean),ncol=2)
[,1] [,2]
[1,] 4.266667 5.300000
[2,] 5.300000 6.066667
[3,] 3.833333 5.166667
Perintah mathplot() akan mem-plot setiap kolom dari matriks pada graph yang
sama.
> matplot(matrix(sapply(split(paint$adhf,
paint$applic:paint$primer),mean),ncol=2), type="l",
xlab="Primer",ylab="Daya Rekat")
Dua garis di atas tampak seperti paralel, sesuai dengan kesimpulan sebelumnya
bahwa tidak terjadinya suatu interaksi. Oleh karena itu, selisih/perbedaan antara tipe
cat (primer) adalah sama untuk setiap metode pengecatan.
81
> matplot(matrix(sapply(split(paint$adhf,paint$primer:paint$applic),
mean),ncol=3), type="l", xlab="Aplikasi",ylab="Daya Rekat")
Cara lain, anda dapat juga memplot daya rekat (adhesi) dengan metode pengecatan
(aplikasi), dengan garis yang berbeda untuk setiap primer garis tampak parallel
(Gambar 5.23).
Berkaitan den gan contoh kasus pengecatan pesawat terbang dengan variable primer
(tipe cat) dan variable applic (metode pengecatan; semprot dan dipping) (lihat kasus
di bagian anova dua arah), penulisan uji t dan koefisiennya dalam R adalah:
> summary(lm(adhf~primer*applic, data=paint))
Call:
lm(formula = adhf ~ primer * applic, data = paint)
Residuals:
Min 1Q Median 3Q Max
-0.40000 -0.16667 0.03333 0.21667 0.33333
Coefficients:
Estimate Std. Error t value Pr(>|t|)
(Intercept) 4.2667 0.1656 25.772 7.1e-12 ***
primer2 1.0333 0.2341 4.414 0.000845 ***
primer3 -0.4333 0.2341 -1.851 0.088949 .
applicS 1.0333 0.2341 4.414 0.000845 ***
primer2:applicS -0.2667 0.3311 -0.805 0.436265
primer3:applicS 0.3000 0.3311 0.906 0.382736
---
Signif. codes: 0 `***' 0.001 `**' 0.01 `*' 0.05 `.' 0.1 ` ' 1
82
F-statistic: 23.67 on 5 and 12 DF, p-value: 7.89e-06
Data di atas menunjukkan nilai uji t dari masing-masing variabel.
Pencocokan distribusi adalah suatu cara untuk menentukan fungsi matematis yang
diwakili dalam bentuk variabel-variabel statistika.
Masalah yang sering dihadapi oleh statistikawan adalah, jika mempunyai suatu
pengamatan/observasi dengan variabel kuantitatif x1, x2, …., xn dan ingin
menguji jika pengamatannya itu, menjadi sample dari populasi yang tidak diketahui
atau milik dari suatu populasi dengan pdf (fungsi densitas probabilitas) f(x, θ), dimana
θ adalah vektor dari parameter yang akan diestimasi dengan data yang ada.
Pemilihan Model
Langkah pertama dalam pencocokan distribusi adalah memilih model atau fungsi
matematis yang mewakili data dengan baik. Semakin baik suatu model maka semakin
baik pula keterwakilan data. (Catatan: baik buruknya model, salah satunya dapat
diukur dengan error yang dihasilkan).
Terkadang untuk pemilihan suatu model atau fungsi, teknik grafik seperti histogram
dan lainnya dapat membantu. Namun secara grafik dapat mengakibatkan cenderung
subjektif, oleh karena itu ada metode yang didasari pada ekspresi analitik seperti
kriteria Pearson’s K. Memecahkan persamaan diferensial tertentu dapat dicapai
dengan menggunakan kelompok fungsi yang mewakili distribusi empiris. Kurva dari
fungsi tersebut hanya bergantung pada nilai rerata, variabilitas, skewness/kemiringan,
dan kurtosis. Dengan menstandarisasi data, tipe kurva yang hanya bergantung pada
pengukuran skewness dan kurtosis diformulasikan dalam fungsi berikut:
2 ( 6)2
K 4(4 2 31 2 2 12)(2 3 2 )
1 2 1
dimana:
(x
n
i )3
i 1
adalah koefisien skewness Pearson’s
1 n 3
n (xi )4
i 1
2 3 adalah koefisien kurtosis Pearson’s
n 4
83
Berdasarkan nilai K, yang diperoleh dari data yang ada, kita mempunyai suatu fungsi
jenis tertentu. Berikut adalah beberapa contoh distribusi kontinu dan distibusi diskrit.
Untuk setiap distribusi, terdapat bentuk grafik dan perintah R untuk membentuk
grafik tersebut.
Contoh, penulisan:
1( x
f (x, , ) 1 )2
untuk x R
2 e 2 2
Sebagai contoh, dapat dituliskan perintah pembentukan kur va untuk model distribusi
Normal (Gaussian):
> curve(dnorm(x,m=10,sd=2), from=0,to=20,main="Distribusi Normal")
maka akan menghasilkan tampilan grafik seperti Gambar 5.28 sebagai berikut:
84
Gambar 5.28: Kurva distribusi Normal
Distribusi Gamma:
untuk x R
f ( x, , ) 1
x
x ( ) e
85
Distribusi Weibull: x
[ ]
f (x, , )
x ( untuk x R
1
e )
Taksiran parameter
86
1) analogi
2) moment
3) maximum likelihood.
> mean.hat<-mean(x.norm)
> mean.hat
[1] 0.02646597
Metode moment adalalah teknik untuk membentuk penaksir parameter berbasis pada
pencocokan moment sample yang berhubungan dengan moment distribusi. Metode
ini membandingkan moment terhadap populasi (secara teori). Apabila terdapat
metode momen maka keuntungannya adalah terdapat pula bentuk yang sederhana.
Kita mendefinisikan moment sample (secara empiris) dengan cara tersebut.
m
n xt
, t 0,1,2,...
y
t i i
i 1
m*
t
xt f (x, ,t 0,1,2,...
)dx
m'* Moment
populasi
(x )t f (x, ke-t sekitar rerata:
)dx ,t 0,1,2,...
t
dimana (β – α) adalah range dimana f(x,θ) didefinisikan, μ adalah rerata dari
distribusi, dan yi adalah frekuensi relative empiris, yaitu: kita akan menaksir
parameter distribusi gamma menggunakan metode moment dengan
mempertimbangkan moment pertama sekitar 0 (maupun rerata) dan moment kedua
terhadap rerata (maupun variansi):
x
s2
87
2
88
dimana pada sisi kiri adalah rerata dan variansi distribusi gamma dan sisi kanan
adalah rerata sample dan variansi sample terkoreksi. Dengan memecahkan persamaan
sebelumnya di atas, didapat:
x
ˆ 2
s
2
x
ˆ
s2
Penulisan untuk kasus di atas dengan R adalah sebagai berikut:
> x.gam<-rgamma(200,rate=0.5,shape=3.5) # sampling dari distribusi
gamma dengan λ = 0.5 dan α = 0.35 (parameter bentuk)
> a.est
[1] 4.153633
Selanjutnya kita dapat menggunakan metode analisis matematik (turuan parsial sama
dengan nol) bila fungsi likelihoodnya cukup sederhana, namun seringnya kita
mengoptimasi L(x1, x2, …, xn, θ) menggunakan metode iterasi. MLE mempunyai
beberapa sifat statistik dan beberapa keuntungan.
Misalkan, dalam kasus distribusi gamma, fungsi likelihoodnya adalah:
89
n n
1 x nn
1
n xi
L(x1, x2 ,..., xn , ) f (xi , , ) xi i
( ) ( xi e i1
e )
i 1 i 1 ( ( ) i 1
)
Pertama ditentukan nilai awal parameter penaksir secara acak, tetapi dapat pula
digunakan metode moment untuk menentukan nilai awal parameter penaksir tersebut.
Perintah mle( ) digunakan untuk menaksir parameter setiap jenis pdf. Untuk hal
ini perlu diketahui bahwa ekspresi analitik likelihood perlu diketahui.
shape rate
3.68320097 0.52910229
90
(0.35290545) (0.05431458)
91
> fitdistr(x.wei,densfun = dweibull, start = list(scale=1,shape=2))#
fitting parameter pdf Weibull
scale shape
-1.04721828 2.04959159
(0.03814184) (0.11080258)
mean sd
9.9355373 2.0101691
(0.1421404) (0.1005085)
i 1
n
n
( y y ) ii
*
2
i 1
n
dimana yi adalah frekuensi empiric dan y*i adalah nilai yang dicocokkan.
Berikut adalah beberapa pengukuran relative:
n
yi y *
n i
n n y
i 1
yi i 1
i
i 1 n
2
y y* / n
2
i i
2
n
i 1
n
yi y /n i
n i 1
i 1
n
2
( y y ) * 2
ii
2
2 i 1
n
n
yi 2/ n yi
i 1
2
i 1
Keterangan: biasanya indeks tersebut merupakan persentase dari rerata yang sesuai.
93
0 1 2 3 4 5 6 7 8
21 29 46 53 28 16 4 2 1
> freq.os<-vector()
> for(i in 1: length(tab.os)) freq.os[i]<-tab.os[[i]] #
vektor frekuensi
empirik
> freq.ex<-(dpois(0:max(x.poi),lambda = lambda.est)*200) # vektor
frekuensi yang diharapkan atau fitted (expected)
> freq.os
[1] 21 29 46 53 28 16 4 2 1
> freq.ex
Suatu teknik grafik untuk menghitung goodness of fit dapat menggambarkan kurva
pdf dan histogram dalam satu kesatuan seperti pada gambar 5.31. Adapun
penulisannya dalam R adalah sebagai berikut:
> h<-hist(x.norm,breaks=15)
> xhist<-c(min(h$breaks),h$breaks)
> yhist<-c(0,h$density,0)
> xfit<-seq(min(x.norm),max(x.norm),length=40)
> yfit<-dnorm(xfit,mean=mean(x.norm),sd=sd(x.norm))
> plot(xhist,yhist, type = "s", ylim = c(0,max(yhist, yfit)),
main=”Normal pdf dan histogram”)
> lines(xfit,yfit, col=”red”)
Uji kenormalan
Dalam analisis statitistika, statistikawan sering melakukan pengujian apakah
94
kumpulan data berasal/tidak dari pupulasi Normal, oleh karena itu perlu melakukan
uji kenormalan atas data tersebut. Beberapa literatur menyebutkan, ada beberapa uji
yang berguna untuk menguji kemiringan (skewness) dan/atau kurtosis dari suatu
distribusi berbasiskan pada b3 e b4 (atau gamma3 e gamma4). Salah satu uji yang
paling baik dan ampuh untuk menguji kenormalan terutama untuk sample kecil
adalah uji Shapiro-Wilk.
i 1
> shapiro.test(x.norm)
data: x.norm
W = 0.9938, p-value = 0.5659
p-value lebih tinggi dibandingkan tingkat (level) signifikansi yang biasanya
digunakan untuk menguji hipotesis statistik. Hipotesis nol akan diterima apabila
sample data termasuk dalam distribusi Gaussian.
data: x.norm
X-squared = 0.539, df = 2, p-value = 0.7638
Suatu teknik pengujian yang diajukan oleh Cucconi (ahli statistik Italia) menguji
kenormalan tanpa minimbulkan masalah penaksiran parameter data sample.
Misal x1 ≥ x2 ≥, … ≥ xn sample variabel kontinu dan n himpunan bilangan
acak normal standard berukuran n, misalkan:
1
i 1
2
i
n 95
1
r eq
n
96
sample dan ˆ adalah akar kuadrat variansi sample.
Disini dapat dilihat jika xi berasal dari populasi normal dan yi berdistribusi normal
standard maka kita dapat menggunakan uji Kolmogorov-Smirnov untuk menguji
hipotesis tersebut. Berikut adalah contoh penulisan di R:
data: y
D = 0.0298, p-value = 0.9943
alternative hypothesis: two.sided
Paket nortest (harus di download dari situs CRAN) digunakan untuk melakukan
uji kenormalan hingga 5 cara yang berbeda, yaitu:
1) sf.test()melakukan uji Shapiro-Francia:
data: x.norm
W = 0.9926, p-value = 0.3471
dimana,
(2i 1)
S
n ln F (x ) ln(1 F )), n adalah ukuran sample, dan F(x) adalah
(x
i
i 1 n n i 1
fungsi distribusi kumulatif (CDF). R hanya menyediakan uji ini untuk cek
kenormalan:
data: x.norm
A = 0.4007, p-value = 0.3581
97
3) cvm.test() melakukan uji Cramer-Von Mises, yang didasari teori statistik:
W
F (x) F (x)
2 2
n f (x)dx
data: x.norm
W = 0.0545, p-value = 0.4449
98
data sample) dari hipotesis distribusi normal tidak diketahui. Uji ini cukup ampuh
untuk data sample yang berukuran kecil. Uji Lilliefors mengevaluasi hipotesis bahwa
X berdistribusi normal dengan suatu nilai rerata dan variansi berbanding hipotesis
alternative bahwa X tidak berdistribusi normal.
Uji ini membandingkan distribusi empiric X dengan distribusi normal dengan rerata
dan variansi yang sama dengan X.
x.norm
D = 0.0414, p-value = 0.5509
x.norm
P = 10.12, p-value = 0.753
99