Anda di halaman 1dari 110

ht

tp
s:
//ja
te
ng
.b
ps
.g
o.
id
ht
tp
s:
//j
at
en
g.
bp
s.
go.
id
ht
tp
s:
//j
at
en
g.
bp
s.
go.
id
INDIKATOR KESEJAHTERAAN RAKYAT
PROVINSI JAWA TENGAH
2022

id
o.
g
s.
bp
g.
en
at
//j
s:
tp
ht
ht
TIM PENYUSUN

tp
s:
//j
at
en
g.
bp
s.
go.
id
KATA

ht
tp
s:
//j
at
en
g.
PENGANTAR

bp
s.
go.
id
ht
tp
s:
//j
at
en
g.
bp
s.
go.
id
DAFTAR ISI

Katalog ii
Tim Penyusun iii
Kata Pengantar v
Daftar Isi vii
Daftar Tabel ix
Daftar Gambar xiii

id
Bab 1

o.
Kependudukan.............................. 3

g
Bab 2 s.
bp
Kesehatan dan Gizi....................... 13
g.
en

Bab 3
at

Pendidikan 23
//j
s:

Bab 4
tp

Ketenagakerjaan 35
ht

Bab 5
Taraf dan Pola Konsumsi............. 49
Bab 6
Perumahan................................... 57
Bab 7
Kemiskinan................................... 63
Bab 8
Kesimpulan.................................. 73
Daftar Pustaka............................. 75
Lampiran...................................... 79
ht
tp
s:
//j
at
en
g.
bp
s.
go.
id
ht
DAFTAR TABEL

tp
s:
//j
at
en
g.
bp
s.
go.
id
ht
tp
s:
//j
at
en
g.
bp
s.
go.
id
ht
tp
s:
//j
at
en
g.
bp
s.
go.
id
ht
tp
s:
//j
at
en
g.
bp
s.
go.
id
ht
tp
s:
DAFTAR GAMBAR

//j
at
en
g.
bp
s.
go.
id
ht
tp
s:
//j
at
en
g.
bp
s.
go.
id
ht
tp
s:
//j
DAFTAR LAMPIRAN

at
en
g.
bp
s.
go.
id
ht
tp
s:
//j
at
en
g.
bp
s.
go.
id
JUMLAH PENDUDUK
PROVINSI JAWA TENGAH
(juta jiwa)
2018 – 2019 : Proyeksi Penduduk Jawa Tengah Hasil SUPAS 2015
2020 : Penduduk Hasil SP2020
2021-2022 : Proyeksi Penduduk Interim 2020 - 2023

37,03
36,74
36,52

id
o.
34,36 34,55

g
p s.
.b

2018 2019 2020 2021 2022


ng
a te

RASIO
//j
s:

101,07
tp
ht

JENIS KELAMIN
2022

KEPADATAN
PENDUDUK 1.134
jiwa/km2
2022
ht
tp
s:
//j
ate
ng
.b
ps.
go.
id
Bab 1.
KEPENDUDUKAN
Indonesia merupakan negara dengan jumlah penduduk terbesar keempat di dunia
setelah Tiongkok, India, dan Amerika Serikat. Lebih dari lima puluh persen penduduk
Indonesia menempati Pulau Jawa, salah satunya Provinsi Jawa Tengah. Jumlah penduduk yang
semakin meningkat telah menjadi perhatian dunia dengan berbagai teori dan penelitian.
Dewasa ini teori Neo-Malthusian banyak diterapkan di berbagai negara. Teori ini
menyebutkan bahwa jumlah penduduk yang tidak terkontrol akan berdampak negatif
terhadap pembangunan ekonomi dan untuk mengatasinya dengan penggunaan alat

id
kontrasepsi. Pengendalian jumlah penduduk ini menjadi penting untuk keseimbangan

o.
pemenuhan kebutuhan penduduk seperti sandang, pangan, papan, dan kebutuhan

g
pendidikan serta kesehatan yang layak. Hal ini dituangkan dalam Rencana Pembangunan
s.
Jangka Panjang Daerah (RPJPD) Pemerintah Provinsi Jawa Tengah tahun 2005-2025 dalam
bp
mewujudkan sumber daya manusia yang berkualitas, beriman, dan bertaqwa kepada Tuhan
g.

Yang Maha Esa, cerdas, sehat, serta berbudaya. Salah satu fokus RPJPD tersebut adalah
en

peningkatan dan pengembangan sistem pengendalian laju pertumbuhan penduduk dan


at

pengaturan persebarannya melalui fasilitas program Keluarga Berencana (KB) dan


//j

transmigrasi.
s:

Kebutuhan hidup yang tidak terpenuhi dapat menimbulkan berbagai masalah yang
tp

mengganggu kesejahteraan penduduk. Penyediaan pangan yang tidak cukup akan


ht

menimbulkan kelaparan dan dapat meningkatkan jumlah kematian penduduk. Selain itu,
peningkatan jumlah penduduk akan berimbas pada kurangnya ketersediaan pemukiman yang
pada akhirnya dapat mengakibatkan munculnya pemukiman-pemukiman liar, kumuh, dan
tidak layak akibat kurangnya lahan untuk pemukiman. Masalah lain yang dapat muncul di
antaranya terjadinya gangguan keamanan akibat maraknya
aksi tindakan kriminalitas, menurunnya tingkat kesehatan
Jumlah penduduk dan
masyarakat akibat sarana kesehatan yang kurang memadai
tingkat pertumbuhan
serta rendahnya kualitas sumber daya manusia terkait dengan
penduduk yang tidak
sarana pendidikan yang terbatas. terkendali serta
Selain tingkat pertumbuhan penduduk, masalah distribusi penduduk
komposisi penduduk dan ketimpangan distribusi penduduk yang tidak merata
juga menjadi masalah serius yang harus segera ditangani oleh menjadi masalah serius
pemerintah. Kebijakan pemerintah terkait masalah yang harus dihadapi
kependudukan baik dalam hal kuantitas maupun kualitas
penduduk harus terus dilaksanakan dalam upaya memperbaiki kualitas hidup masyarakat
sehingga kesejahteraan hidup masyarakat dapat ditingkatkan.

JUMLAH, LAJU PERTUMBUHAN PENDUDUK, DAN RASIO JENIS KELAMIN


Jumlah penduduk Jawa Tengah pada tahun 2022 berdasarkan hasil Proyeksi
Penduduk Interim 2020–2023 tercatat sebanyak 37,03 juta jiwa. Tahun 2019 penduduk Jawa
Tengah meningkat 0,19 juta jiwa menjadi 34,55 juta jiwa dibanding tahun sebelumnya yang
mencapai 34,36 juta jiwa. Selanjutnya, pada tahun 2021 pertambahan penduduknya
mengalami peningkatan menjadi 0,22 juta jiwa menjadi 36,74 juta jiwa dibandingkan tahun
2020 yang mencapai 36,52 juta jiwa dan pada tahun 2022 bertambah 0,29 juta jiwa menjadi

id
37,03 juta jiwa. Secara persentase laju pertumbuhan penduduk Jawa Tengah tahun 2018

o.
sebesar 0,59 persen, tahun 2019 sebesar 0,56 persen, tahun 2021 meningkat 0,83 persen,

g
s.
dan tahun 2022 meningkat 0,79 persen. Perlu diperhatikan bahwa sumber data jumlah
bp
penduduk pada publikasi tahun ini berbeda-beda untuk setiap tahunnya.
g.

Tabel 1.1 Jumlah, Laju Pertumbuhan Penduduk dan Rasio Jenis Kelamin
en

Provinsi Jawa Tengah, 2018-2022


at
//j

Laju
Jumlah Penduduk Rasio Jenis
s:

Tahun Pertumbuhan
(Juta Jiwa) Kelamin
tp

per tahun (%) r


ht

(1) (2) (3) (4)


2018a 34,36 0,59 98,49
2019a 34,55 0,56 98,49
2020b 36,52 101,15
2021c 36,74 0,83 101,11
2022c 37,03 0,79 101,07
Sumber: a. Proyeksi Penduduk Jawa Tengah Hasil SUPAS 2015
b. Penduduk Hasil Sensus Penduduk 2020
c. Proyeksi Penduduk Interim 2020 – 2023

Dilihat berdasarkan kabupaten/kota, berdasarkan data Proyeksi Penduduk Interim


2020-2023, pada periode 2018-2022 terdapat 19 kabupaten/kota yang pertumbuhan
penduduknya di atas laju pertumbuhan penduduk provinsi. Pada tahun 2022, kabupaten/kota
dengan pertumbuhan penduduk tertinggi adalah Kabupaten Cilacap yang memiliki laju
pertumbuhan penduduk sebesar 1,26 persen. Kabupaten/kota dengan pertumbuhan
penduduk terbesar kedua adalah Kabupaten Purbalingga dengan laju pertumbuhan sebesar
1,20 persen, diikuti Kabupaten Banjarnegara 1,15 persen dan Kabupaten Pemalang 1,11
persen. Selain 19 kabupaten/kota dengan laju pertumbuhan
Pada tahun 2022, penduduk di atas Provinsi Jawa Tengah, 16 kabupaten/kota yang lain
Kota Surakarta mengalami laju pertumbuhan penduduk di bawah angka provinsi.
merupakan kota
terpadat dengan Laju pertumbuhan penduduk terendah sebesar 0,05 persen terdapat
kepadatan di dua kabupaten/kota antara lain Kota Magelang dan Kota Surakarta.
penduduk sebesar Laju pertumbuhan penduduk yang tidak homogen di setiap
11.367 jiwa/km2,
sebaliknya kabupaten/kota menunjukkan adanya disparitas angka pertumbuhan
Kabupaten Blora menurut kabupaten/kota dan kemungkinan adanya disparitas dalam
memiliki konteks kebijakan kependudukan. Oleh karena itu, hal tersebut perlu
kepadatan
menjadi perhatian oleh pemerintah Provinsi Jawa Tengah. Hal lain
penduduk terkecil
dengan hanya 492 yang perlu menjadi perhatian adalah angka pertumbuhan penduduk.

id
jiwa/km 2
Meskipun angka pertumbuhan penduduk di Jawa tengah relatif lebih

o.
rendah dibandingkan tingkat nasional, akan tetapi tidak berarti

g
peningkatan jumlah penduduk juga rendah. Secara absolut pertumbuhan penduduk Jawa
s.
bp
Tengah lebih besar dibandingkan provinsi lain. Hal ini tidak terlepas dari jumlah penduduk di
Jawa Tengah yang memang sudah sangat besar bila dibandingkan provinsi lain terutama
g.

provinsi di luar Pulau Jawa.


en
at

PERSEBARAN DAN KEPADATAN PENDUDUK


//j
s:
tp

Salah satu persoalan yang terkait dengan kependudukan dan masih harus dihadapi
ht

oleh Indonesia pada umumnya dan Jawa Tengah pada khususnya yaitu masalah ketimpangan
distribusi penduduk. Distribusi penduduk yang tidak merata menimbulkan masalah pada
kepadatan penduduk dan tekanan penduduk di suatu wilayah. Terdapat beberapa wilayah
yang mempunyai jumlah penduduk yang sangat besar, sementara di wilayah lain hanya
dihuni oleh jumlah penduduk yang relatif sedikit. Hal ini sangat berpengaruh pada kondisi
sosial ekonomi masyarakat setempat dan pembangunan wilayah.
Di satu sisi, wilayah dengan jumlah penduduk yang besar akan dihadapkan pada
persoalan meningkatnya jumlah pengangguran jika tidak disertai dengan penyediaan
lapangan pekerjaan, permasalahan kebutuhan lahan untuk pemukiman, serta tidak
memadainya akses fasilitas pendidikan dan kesehatan serta masalah-masalah sosial lainnya.
Di sisi lainnya, wilayah dengan jumlah penduduk yang relatif sedikit akan memunculkan
persoalan kurangnya optimalisasi sumber daya alam terkait dengan kekurangan tenaga kerja
padahal wilayah tersebut memiliki kekayaan sumber daya alam yang melimpah.
Tabel 1.2 Kepadatan Penduduk Menurut eks-Keresidenan di Jawa Tengah, 2018-2022

Jawa Kepadatan Penduduk (jiwa/km2) – Eks Karesidenan


Tahun
Tengah Banyumas Kedu Surakarta Pekalongan Pati Semarang
(1) (2) (3) (4) (5) (6)
n (7) (8)
2018 1 047 1 012 925 1 095 1 199 853 1 197
2019 1 053 1 018 929 1 099 1 203 860 1 209
2020 1 113 1 112 994 1 174 1 320 863 1 214
2021 1 120 1 122 1 000 1 180 1 329 866 1 221
2022 1 129 1 134 1 008 1 189 1 342 870 1 228
Sumber: a. Proyeksi Penduduk Jawa Tengah Hasil SUPAS 2015
b. Penduduk Hasil Sensus Penduduk 2020
c. Proyeksi Penduduk Interim 2020 – 2023

id
Kepadatan penduduk yang dikelompokkan berdasarkan eks-Keresidenan

o.
menunjukkan bahwa pada tahun 2022 eks-Keresidenan Pekalongan memiliki kepadatan

g
s.
penduduk terbesar yaitu mencapai 1.342 jiwa/km2 diikuti eks-Keresidenan Semarang 1.228
bp
jiwa/km2, sedangkan eks-Keresidenan Pati memiliki kepadatan penduduk terendah yaitu 870
jiwa/km2. Eks-Keresiden Pekalongan memiliki kepadatan penduduk tertinggi terutama
g.

didukung oleh Kota Pekalongan dengan kepadatan penduduk 6.845 jiwa/km2 yang merupakan
en

wilayah terpadat keempat di Jawa Tengah dan Kota Tegal dengan kepadatan 7.014 jiwa/km2
at

yang merupakan wilayah terpadat ketiga di Jawa Tengah. Untuk kota dengan penduduk
//j

terpadat di Jawa Tengah adalah Kota Surakarta dengan kepadatan penduduk 11.367 jiwa/km2.
s:
tp

Kota Surakarta merupakan pusat ekonomi dari daerah di sekitarnya. Para pendatang yang
ht

mencari rezeki di Kota Surakarta tersebut pada akhirnya memilih untuk bermukim di kota
tersebut sehingga menambah populasi di wilayah yang luasnya hanya 46,01 km2.

Gambar 1.1 Pertumbuhan Kepadatan Penduduk


di Wilayah Eks-Keresidenan di Jawa Tengah Tahun 2022
(Persen)
1,50
1,30 1,12
1,10 0,94
0,90 0,79 0,80 0,72
0,64
0,70 0,45
0,50
0,30
0,10
-0,10
Jawa Banyumas Kedu Surakarta Pekalongan Pati Semarang
Tengah

Sumber: Proyeksi Penduduk Interim 2020 – 2023, diolah


Perkembangan kepadatan penduduk selama tahun 2022 menunjukkan angka
pertumbuhan yang positif di semua wilayah Jawa Tengah. Apabila diamati per wilayah,
perkembangan kepadatan penduduk eks-Karesidenan Banyumas memiliki laju paling tinggi
yakni 1,12 persen selama periode tersebut.

ANGKA BEBAN KETERGANTUNGAN

Angka Beban Ketergantungan (dependency ratio) merupakan salah satu indikator


demografi yang penting. Semakin tinggi persentase angka beban ketergantungan
menunjukkan semakin tingginya beban yang harus ditanggung penduduk yang produktif
untuk membiayai hidup penduduk yang belum produktif dan tidak produktif lagi. Sedangkan

id
persentase angka beban ketergantungan yang semakin rendah menunjukkan semakin

o.
rendahnya beban yang ditanggung penduduk yang produktif untuk membiayai penduduk

g
yang belum produktif dan tidak produktif lagi. s.
bp
Dampak keberhasilan pembangunan kependudukan juga dapat dilihat pada
g.

perubahan komposisi penduduk menurut umur seperti tercermin pada semakin rendahnya
en

angka beban ketergantungan. Angka beban ketergantungan yang semakin mengecil dapat
menggambarkan adanya kesempatan yang semakin besar bagi penduduk usia produktif untuk
at
//j

meningkatkan kualitas dirinya. Selama periode 2018-2022 angka beban ketergantungan di


s:

Jawa Tengah berfluktuasi tetapi cenderung mengalami penurunan. Pada tahun 2022 angka
tp

beban ketergantungan Jawa Tengah sebesar 43,71 persen, artinya setiap 100 penduduk
ht

produktif masih menanggung beban 43 penduduk tidak produktif (penduduk di bawah 15


tahun dan 65 tahun ke atas).
Berdasarkan komposisi usia penduduk, menurunnya angka beban ketergantungan
lebih dipengaruhi oleh menurunnya proporsi penduduk usia 0-14 tahun yang semakin
menurun dari tahun ke tahun. Pada tahun 2018 proporsi penduduk
Angka beban usia 0-14 tahun sebanyak 23,02 persen dan terus menurun hingga
ketergantungan
tahun 2022 menjadi 21,94 persen. Di sisi lain, proporsi penduduk usia
semakin
menurun dari 65 tahun ke atas berfluktuasi dari tahun ke tahun baik dari sisi jumlah
tahun ke tahun, maupun proporsinya. Pada tahun 2018 proporsi penduduk usia 65
dipengaruhi oleh tahun ke atas sebanyak 8,65 persen, meningkat menjadi 8,90 persen
menurunnya
jumlah penduduk pada tahun 2019, menurun pada tahun 2020 menjadi 7,72 persen,
usia 0-14 tahun namun kemudian terus meningkat menjadi 8,10 persen pada tahun
2021 dan mencapai 8,48 persen pada tahun 2022. Sementara proporsi
penduduk usia produktif sendiri juga berfluktuasi dari tahun ke tahun. Pada tahun 2018,
proporsinya penduduk usia 15-64 tahun mencapai 68,33 persen, terus meningkat menjadi
69,85 persen pada tahun 2020 dan kemudian menunjukkan penurunan menhadi 69,58 persen
pada tahun 2022.

Tabel 1.3 Komposisi Penduduk dan Angka Beban Ketergantungan di Jawa Tengah,
2018-2022

Angka Beban
Tahun 0-14 Tahun 15-64 Tahun 65 Tahun + Ketergantungan
(Jiwa)
(1) (2) (3) (4) (5)
2018 7 909 540 23 476 490 2 972 460 46,35
2019 7 839 940 23 636 420 3 076 170 46,18

id
2020 8 190 778 25 506 691 2 818 566 43,16

o.
2021 8 148 545 25 619 556 2 974 400 43,42

g
2022 8 123 792 25 768 441 3 140 177 43,71
Sumber: a. Proyeksi Penduduk Jawa Tengah Hasil SUPAS 2015 s.
bp
b. Penduduk Hasil Sensus Penduduk 2020
c. Proyeksi Penduduk Interim 2020 – 2023
g.
en

Peningkatan proporsi penduduk usia tua dapat dimaknai sebagai hal yang positif
at

karena hal tersebut menunjukkan kualitas kesehatan yang semakin baik sehingga penduduk
//j

memiliki usia dan harapan hidup yang lebih panjang. Di sisi lain, hal tersebut menjadi
s:

tantangan karena jika penduduk usia tua tersebut semakin banyak maka akan semakin
tp

meningkatkan angka beban ketergantungan.


ht

Peningkatan proporsi penduduk usia produktif disebut sebagai bonus demografi.


Kondisi ini juga merupakan dua sisi mata uang yang saling berseberangan. Bonus demografi
bisa menguntungkan sebagai salah satu pendorong pertumbuhan ekonomi ketika sebagian
besar penduduk usia produktif tersebut terserap sebagai tenaga kerja. Sebaliknya jika
lapangan usaha yang ada saat ini ternyata tidak mampu menyerap sebagian besar dari
penduduk usia produktif tersebut, maka justru akan mendorong peningkatan instabilitas
sosial dan politik.
Bonus demografi yang terjadi di Jawa Tengah sepertinya mulai berakhir. Kondisi ini
ditandai dengan meningkatnya proporsi penduduk usia 65 tahun ke atas dari tahun ke tahun,
terutama pada tahun 2022 yang mengalami peningkatan 0,38 poin dari tahun sebelumnya.
Hal ini perlu segera diwaspadai oleh pemerintah dengan mendorong peningkatan kualitas
penduduk usia produktif yang saat ini proporsinya masih sangat besar. Jika penduduk usia
produktif memiliki kualitas yang baik, maka akan mampu menanggung beban ketergantungan
yang kemungkinan akan semakin besar di masa mendatang.
Kondisi yang terjadi pada kelompok 15-64 tahun dan 65 tahun ke atas berkebalikan
dengan kondisi pada penduduk usia 0-14 tahun, karena proporsinya justru semakin berkurang.
Penyebab berkurangnya penduduk usia 0-14 tahun tidak terlepas dari turunnya angka
kelahiran. Secara teori, banyaknya kelahiran yang terjadi pada seorang wanita dapat
dipengaruhi oleh masa reproduksinya. Semakin panjang masa reproduksi seorang wanita,
kemungkinan semakin banyak anak yang dilahirkan. Semakin muda usia seseorang saat
melakukan perkawinan pertama maka akan semakin panjang masa reproduksinya.
Terdapat beberapa sumber mengenai batasan usia minimal seorang wanita untuk
melakukan perkawinan pertama. Menurut Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974
pada pasal 7 ayat (1), syarat menikah untuk perempuan harus sudah berusia minimal 16 tahun.
Menurut Undang-Undang Perlindungan Anak usia minimal untuk menikah adalah umur 18

id
tahun, sedangkan menurut Badan Kependudukan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) usia

o.
pernikahan pertama bagi seseorang idealnya adalah 21-25 tahun.

g
Hasil Susenas tahun 2021 menunjukkan bahwa mulai terjadi pergeseran kembali usia
s.
bp
perkawinan wanita dimana wanita yang melakukan perkawinan pertama pada pada usia di
bawah 17 tahun dan usia 17-18 tahun mengalami peningkatan. Pada kelompok usia di bawah
g.

17 tahun, persentase wanita usia 10 tahun ke atas yang pernah kawin pada kelompok usia
en

tersebut meningkat dari 16,58 persen pada tahun 2020 menjadi 16,87 persen pada tahun
at

2021. Sementara pada kelompok usia 17-18 tahun meningkat dari 21,09 persen pada tahun
//j

2020 menjadi 21,78 persen pada tahun 2021. Hal ini merupakan hal yang kurang positif karena
s:

perkawinan pada usia di bawah 17 tahun dan 17-18 tahun dapat mengindikasikan berbagai hal
tp

diantaranya pergaulan bebas, putus sekolah, pemahaman akan kesehatan reproduksi yang
ht

rendah, maupun pengaruh budaya.


Meningkatnya angka perkawinan sebelum usia 17 tahun dan 17-18 tahun juga menjadi
indikasi yang kurang positif dalam menekan laju pertumbuhan penduduk, karena dengan
adanya percepatan usia menikah maka akan memperpanjang masa reproduksi. Pada wilayah
perkotaan, persentase perkawinan di bawah 17 tahun meningkat 0,28 poin dari 12,37 persen
pada tahun 2020 menjadi 12,65 persen pada tahun 2021. Sementara peningkatan di wilayah
perdesaan sedikit lebih tinggi yaitu meningkat 0,36 poin dari 20,63 persen pada tahun 2020
menjadi 20,99 persen pada tahun 2021. Kemudian untuk kelompok usia 17-18 tahun,
peningkatan persentase perkawinan yang lebih tinggi terjadi di wilayah perkotaan yaitu
meningkat 0,26 poin, sedangkan di wilayah perdesaan hanya meningkat 1,17 poin dari tahun
2020. Hal ini perlu menjadi perhatian, dikarenakan peningkatan justru terjadi di daerah
perkotaan yang sarat dengan sarana prasarana. Selain itu perlu dikaji lebih mendalam karena
konsep perkawinan berbeda dengan pernikahan. Fenomena perkawinan meningkat pada usia
17 tahun ke bawah dan 17-18 tahun perlu dikaji ulang apakah melalui tahapan pernikahan atau
tidak. Jika ternyata tidak, maka fenomena tersebut menjadi indikasi maraknya pergaulan bebas
di kalangan remaja.

Tabel 1.4 Persentase W anita Umur 10+ Tahun Pernah Kawin Menurut Usia Perkawinan
Pertama di Jawa Tengah, 2020-2021
Perkotaan Perdesaan Total
Tahun
2020 2021 2020 2021 2020 2021
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7)

< 17 12,37 12,65 20,63 20,99 16,58 16,87


17 – 18 17,82 18,08 24,23 25,4 21,09 21,78
19 – 24 50,89 51,01 44,90 44,22 47,84 47,58

id
25 + 18,92 18,26 10,24 9,39 14,49 13,77

o.
Sumber: Diolah dari Hasil Susenas

g
s.
Pada tahun 2021, usia perkawinan pertama pada kelompok usia 19-24 tahun dan usia
bp
25 tahun ke atas mengalami penurunan. Persentase perkawinan pada usia 19-24 tahun
g.

menurun dari 47,84 persen pada 2020 menjadi 47,58 persen pada tahun 2021, sedangkan
en

persentase perkawinan usia 25 tahun ke atas juga menurun dari 14,49 persen pada tahun
2020 menjadi 13,77 persen pada tahun 2021. Penurunan usia perkawinan pertama pada
at

umur 19-24 tahun dan usia 25 tahun ke atas yang bergeser ke usia kurang dari 17 tahun dan
//j
s:

17-18 tahun perlu menjadi perhatian. Hal ini dikarenakan organ reproduksi wanita pada
tp

kelompok usia 19-24 tahun dan 25 tahun ke atas sudah cukup siap dan matang, selain itu
ht

pada umur tersebut secara umum seseorang sudah tamat pendidikan setara SMA atau strata
satu perguruan tinggi. Perkawinan pertama pada umur 19-24 tahun juga sudah sesuai
anjuran BKKBN sehingga diharapkan dapat membantu suksesnya program keluarga
berencana. Sementara pada kelompok usian kurang dari 17 tahun dan 17-18 tahun organ
reproduksinya masih rentan.

PENGGUNAAN ALAT/CARA KB

Program Keluarga Berencana (KB) merupakan salah satu program pemerintah yang
bertujuan untuk menekan laju pertumbuhan penduduk, mengurangi angka kelahiran anak
dan kematian ibu. Penerapan program KB dilakukan dengan pengenalan berbagai jenis alat
kontrasepsi ke masyarakat. BKKBN selaku instansi pemerintah yang menangani program KB
ini mengharapkan cakupan akseptor KB terus meningkat, terutama untuk kepesertaan KB
dengan metode kontrasepsi jangka panjang (MKJP) seperti IUD dan Implant. Peningkatan
cakupan KB diharapkan dapat mengendalikan laju pertumbuhan penduduk dengan lebih baik
lagi.

Tabel 1.5 Persentase Wanita Kawin Berumur 15-49 Tahun yang Sedang Menggunakan
Alat/Cara Kontrasepsi Menurut Daerah Tempat Tinggal
dan Alat/Cara Kontrasepsi yang Digunakan di Jawa Tengah, 2020-2021

Perkotaan Perdesaan Total


Alat Kontrasepsi
2020 2021 2020 2021 2020 2021
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7)
MOW/Tubektomi 6,92 6,86 5,04 4,17 5,90 5,37
MOP/Vasektomi 0,30 0,41 0,44 0,59 0,38 0,51

id
AKDR/IUD/Spiral 13,13 12,08 8,56 8,47 10,65 10,08

o.
Suntik 50,19 51,51 57,73 58,77 54,29 55,53
9,12 9,81 12,89 14,79 11,17 12,56

g
Susuk/Norplant/Implanon/Alwalit
Pil 12,51
s.
13,04 12,45 11,56 12,48 12,23
bp
Kondom/Karet 3,51 2,41 1,17 0,74 2,23 1,48
Intravag/Tissue/Kondom Wanita 0,13 0,18 0,07 0,08 0,09 0,13
g.

Cara Tradisional 3,67 3,34 1,33 0,79 2,40 1,93


en

Lainnya 0,52 0,36 0,32 0,04 0,41 0,18


at

Sumber: Diolah dari Hasil Susenas


//j

Berdasarkan data Susenas, persentase wanita berumur 15-49 tahun yang berstatus
s:

kawin yang sedang menggunakan alat/cara KB mengalami penurunan di tahun 2021,


tp

menurun menjadi 54,36 persen dibandingkan capaian tahun sebelumnya yang mencapai
ht

54,82 persen. Semakin menurunnya jumlah akseptor KB tentunya menjadi sinyal kurang
positif bagi pemerintah, utamanya BKKBN. Dengan banyaknya pilihan alat/cara KB serta
intensifnya edukasi akan hal tersebut ternyata belum mampu meningkatkan keinginan
masyarakat untuk ber-KB.
Pilihan seseorang dalam menentukan jenis alat/cara KB tertentu dipengaruhi oleh
beberapa faktor, antara lain faktor keamanan, frekuensi pemakaian, efek samping, harga,
kepraktisan dalam penggunaan, efisiensi, tingkat resiko kegagalan, resiko efek samping
terhadap kesehatan pemakai dan kenyamanan bagi penggunanya. Berbagai macam alat/cara
KB digunakan oleh pasangan usia subur Jawa Tengah namun yang paling banyak peminatnya
adalah penggunaan alat KB suntik dan pil yang bersifat jangka pendek. Pil dan suntik termasuk
alat KB Non-MKJP (tidak termasuk Metode Kontrasepsi Jangka Panjang) yang rawan putus
dalam penggunannya.
Kepala BKKBN menyatakan bahwa untuk menekan laju
pertumbuhan penduduk, penggunaan MKJP akan lebih efektif. Upaya
Tingkat
kepercayaan BKKBN dalam meningkatkan penggunaan MKJP perlu diapresiasi. Pada
masyarakat tahun 2021 beberapa penggunaan MKJP mengalami peningkatan
terhadap alat seperti persentase penggunaan MOP/vasektomi meningkat dari 0,38
kontrasepsi
jangka panjang persen pada 2020 menjadi 0,51 persen pada 2021 dan penggunaan
daerah perkotaan Susuk/Norplant/Implanon/Alwalit meningkat dari 11,17 persen
lebih tinggi menjadi 12,56 persen. Meskipun sudah mengalami peningkatan, akan
dibandingkan
perdesaan tetapi masyarakat perlu didorong untuk menggunakan KB MKJP jenis
lain yaitu MOW/Tubektomi dan AKDR/IUD/Spiral, hal ini karena pada
tahun 2021 penggunaan kedua jenis KB MKJP jenis tersebut mengalami

id
penurunan dari tahun 2020. Persentase penggunaan MOW/Tubektomi menurun dari 5,90

o.
pada tahun 2020 persen menjadi 5,37 persen pada tahun 2021, sementara penggunaan

g
AKDR/IUD/Spiral menurun dari 10,65 persen pada tahun 2020 menjadi 10,08 persen pada
s.
bp
tahun 2021.
Saat ini lebih dari 50 persen dari WUS sedang menggunakan alat/cara KB dengan
g.

metode suntik. Persentase penggunaan KB suntik meningkat dari 54,29 persen pada 2020
en

menjadi 55,53 persen pada 2021. Penggunaan alat/cara KB jangka pendek terbesar kedua
at

adalah pil yang mencapai 12,23 persen pada tahun 2021, jumlah ini menurun dari tahun 2020
//j

yang tercatat sebesar 12,48 persen. Begitu pula pada penggunaan alat/cara KB seperti
s:

Kondom/Karet, Cara Tradisional, dan Lainnya yang juga mengalami penurunan. Walaupun
tp

begitu, peningkatan justru terlihat pada penggunaan Intravag/Tissue/Kondom Wanita yang


ht

merupakan metode yang paling jaramh digunakan.


Dilihat dari status daerah, persentase penggunaan alat/cara jangka panjang
MOP/MOW/AKDR/IUD/spiral/susuk di daerah perkotaan lebih tinggi dibandingkan daerah
perdesaan. Pada tahun 2021 penggunaan alat/cara KB jangka panjang ini mencapai 29,16
persen untuk perkotaan, sebaliknya wilayah pedesaan hanya 28,02 persen. Alat KB jangka
panjang terutama MOW/Tubektomi dan MOP/Vasektomi nampaknya belum begitu populer
di kalangan masyarakat apalagi di perdesaan.
Bab 2.
KESEHATAN & GIZI
Tingkat kesehatan merupakan indikator penting untuk menggambarkan kualitas
pembangunan manusia suatu wilayah. Masyarakat yang sehat akan berdampak pada
meningkatnya produktivitas dan pada akhirnya mendukung membaiknya proses serta
dinamika pembangunan ekonomi suatu negara/wilayah. Pemerintah Jawa Tengah
menuangkan program kesehatan dalam RPJPD 2005-2025 dan dalam pelaksanaannya
pemerintah sudah melakukan berbagai program kesehatan untuk meningkatkan derajat
kesehatan masyarakat khususnya memberikan kemudahan akses pelayanan publik bidang

id
kesehatan seperti puskesmas yang sasaran utamanya menurunkan Angka Kesakitan

o.
masyarakat, menurunkan Angka Kematian Ibu dan Bayi, menurunkan prevalensi gizi buruk

g
dan gizi kurang serta meningkatkan Angka Harapan Hidup.
s.
Upaya pemerintah melalui program-program pembangunan yang telah dilakukan
bp
diantaranya meningkatkan akses masyarakat terhadap fasilitas kesehatan dan meningkatkan
g.

pelayanan kesehatan yang bermutu, berkualitas, merata serta terjangkau, dengan


en

memberikan pelayanan kesehatan gratis bagi penduduk miskin, menyediakan sumber daya
at

kesehatan yang kompeten dan mendistribusikan tenaga kesehatan secara merata ke seluruh
//j

wilayah, meningkatkan sarana dan prasarana kesehatan melalui pembangunan puskesmas,


s:

rumah sakit, polindes dan posyandu serta menyediakan obat-obatan yang terjangkau oleh
tp

masyarakat.
ht

DERAJAT DAN STATUS KESEHATAN PENDUDUK

Menurut Hendrik L. Blumm seorang profesor emeritus administrasi kesehatan dan


perencanaan di University of California, terdapat 4 faktor yang mempengaruhi derajat
kesehatan masyarakat, yaitu: faktor perilaku, lingkungan, keturunan dan pelayanan
kesehatan. Faktor keturunan merupakan faktor yang paling sulit diatasi jika penyakit sudah
diderita, sehingga yang terbaik adalah melakukan pencegahan sebelum penyakit keturunan
ini muncul. Tiga faktor lain dapat diupayakan oleh pemerintah dan masyarakat dalam
meningkatkan kesehatan masyarakat antara lain memperbaiki dan mempermudah akses
pelayanan kesehatan bagi semua kelompok masyarakat, perilaku hidup sehat oleh
masyarakat luas dan memperbaiki kondisi sosial-ekonomi masyarakat dalam memberikan
dukungan peningkatan kesehatan lingkungan.
Salah satu indikator yang dapat menggambarkan derajat kesehatan suatu wilayah
adalah banyaknya keluhan kesehatan penduduk. Keluhan kesehatan menunjukkan gejala
penyakit atau kondisi tubuh yang tidak sehat. Data mengenai keluhan kesehatan dapat
digunakan oleh pemerintah dalam menentukan program-program kesehatan. Hasil Susenas
2021 menunjukkan bahwa persentase penduduk Jawa Tengah yang mempunyai keluhan
kesehatan sebanyak 29,81 persen. Hal tersebut menunjukkan bahwa sekitar 2 hingga 3 dari
10 orang di Jawa Tengah mempunyai keluhan kesehatan. Penduduk perkotaan lebih banyak
mengalami keluhan kesehatan (32,80 persen) daripada penduduk di perdesaan (26,60
persen). Hal tersebut tidak terlepas dari berbagai faktor penyebab seperti tingginya tingkat
pencemaran udara dan lingkungan, serta padatnya jumlah penduduk di perkotaan sehingga
rantai penularan penyakit terjadi lebih cepat.

id
o.
Tabel 2.1 Persentase Penduduk Yang Mengalami Keluhan Kesehatan dan

g
Angka Kesakitan Penduduk di Jawa Tengah, 2019-2021
s.
bp
Keluhan Kesehatan (%) Angka Kesakitan (%)
g.

Wilayah
2019 2020 2021 2019 2020 2021
en

(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7)


Perkotaan 34,35 35,52 32,80 14,89 16,18 19,98
at

Perdesaan 39,44 35,75 26,60 18,96 17,57 13,48


//j

Total 36,83 35,63 29,81 16,88 16,86 16,84


s:

Sumber: Diolah dari Hasil Susenas


tp
ht

Merujuk pada konsep yang diterapkan oleh BPS dalam Susenas, Morbiditas (angka
kesakitan) menunjukkan adanya gangguan/keluhan kesehatan yang mengakibatkan
terganggunya aktivitas sehari-hari baik dalam melakukan pekerjaan, bersekolah, mengurus
rumah tangga maupun melakukan aktivitas lainnya. Pada umumnya keluhan kesehatan yang
mengindikasikan adanya suatu penyakit yang biasa dialami oleh penduduk adalah panas,
batuk, pilek, asma/napas sesak, diare, sakit kepala berulang, sakit gigi, campak, dll. Semakin
banyak penduduk yang mengalami gangguan kesehatan berarti derajat kesehatan di wilayah
tersebut semakin rendah atau menunjukkan bahwa angka kesakitan di wilayah tersebut
tinggi (penduduknya banyak yang mengalami sakit).
Hasil Susenas tahun 2021 menunjukkan angka kesakitan penduduk Jawa Tengah
mencapai 16,84 persen, mengalami penurunan dari tahun sebelumnya. Angka kesakitan
penduduk tahun 2021 yang tinggal di daerah perkotaan lebih tinggi dibandingkan tahun
sebelumnya, sementara di daerah perdesaan lebih rendah dibandingkan tahun sebelumnya.
Pada area perkotaan, angka kesakitan mengalami peningkatan 3,80 poin yaitu dari 16,18
persen pada tahun 2020 menjadi 19,98 persen pada tahun 2021. Sementara di area
perdesaan mengalami penurunan hingga 4,09 poin dari 17,57 persen pada tahun 2020
menjadi 13,48 persen pada tahun 2021.

TINGKAT IMUNITAS DAN GIZI BALITA

Air Susu Ibu (ASI) merupakan makanan pertama bayi yang memiliki peranan penting
dalam proses tumbuh kembang anak. ASI memiliki manfaat sangat besar untuk jangka
panjang, karena ASI adalah nutrisi terbaik dan terlengkap bagi bayi. ASI mengandung protein
dan zat-zat gizi berkualitas tinggi serta mengandung zat antibodi yang berguna untuk
pertumbuhan dan perkembangan kecerdasan bayi, melindungi tubuh bayi dari alergi dan
diare serta penyakit infeksi lainnya. Banyaknya manfaat ASI bagi bayi mendorong

id
pemerintah untuk menganjurkan seorang ibu supaya dapat memberikan ASI eksklusif

o.
kepada bayi sejak dilahirkan sampai 6 bulan, tanpa menambahkan atau mengganti dengan

g
s.
makanan/minuman lain. Setelah bayi berusia 6 bulan ke atas, bayi boleh diberikan dengan
bp
makanan tambahan dan ASI tetap diberikan hingga usia 2 tahun.
g.
en

Tabel 2.2 Persentase Anak Usia Kurang dari 2 Tahun yang Pernah Disusui dan
Lamanya Disusui di Jawa Tengah, 2019-2021 (%)
at
//j

Anak Usia kurang dari 2


Rata-rata Lama Disusui
s:

Daerah Tempat tahun yang pernah Asi Eksklusif (%)


(bulan)
tp

Tinggal disusui (%)


2019 2020 2021 2019 2020 2021 2019 2020 2021
ht

(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9) (10)
Perkotaan 96,49 97,61 97,44 10,92 10,06 10,60 70,65 75,66 75,73
Perdesaan 97,47 97,29 96,67 10,98 10,43 10,61 73,30 77,00 82,17
Total 96,98 97,45 97,27 10,95 10,25 10,60 72,00 76,30 78,93
Catatan: Data 2018 tidak tersedia
Sumber: Diolah dari Hasil Susenas

Hasil Susenas 2021 menunjukkan bahwa anak usia kurang dari 2 tahun yang pernah
disusui di Jawa Tengah sebanyak 97,27 persen. Capaian ini lebih rendah dibandingkan tahun
2020 dengan persentase anak berusia kurang dari 2 tahun yang pernah disusui sebesar
97,45 persen. Berdasarkan wilayah tempat tinggal, di perkotaan persentase anak usia kurang
dari 2 tahun yang pernah disusui lebih tinggi dibandingkan di perdesaan. Hal ini tidak
terlepas dari tingginya pengetahuan ibu-ibu di perkotaan mengenai pentingnya ASI bagi
bayi. Selain itu, saat ini semakin banyak perkantoran di perkotaan yang menyediakan
fasilitas bagi ibu menyusi untuk memerah ASI, sehingga ibu bekerja tetap bisa memberi ASI
pada bayi mereka.
Indikator perbaikan edukasi ASI juga terlihat dari persentase bayi yang mendapatkan
ASI Eksklusif. Pemberian ASI dikatakan eksklusif jika hingga usia 6 bulan bayi hanya
mengkonsumsi ASI saja tanpa tambahan makanan/minuman lainnya. Edukasi mengenai
pentingnya ASI eksklusif bagi bayi hingga umur enam bulan sudah mulai disadari oleh para
ibu dan dilaksanakan. Hal tersebut terlihat dari persentase pemberian ASI eksklusif yang
mengalami peningkatan dari 76,30 persen tahun 2020 menjadi 78,93 persen pada tahun
2021. Peningkatan kesadaran pemberian ASI eksklusif tidak hanya terjadi di perkotaan, akan
tetapi juga di perdesaan. Ibu-ibu di perdesaan yang sudah sadar akan pentingnya ASI
cenderung melanjutkan pemberian ASI hingga 6 bulan tanpa makanan tambahan lain atau

id
ASI eksklusif. Hal ini sangat menggembirakan mengingat dalam masyarakat perdesaan,

o.
masih banyak ditemui anggapan bahwa bayi boleh diberikan makanan selain ASI tanpa

g
menunggu usia 6 bulan.
s.
bp
Idealnya pemberian ASI tidak hanya sampai 6 bulan. Seorang ibu dianjurkan dapat
menyusui bayinya selama 2 tahun, karena semakin lama bayi mendapatkan ASI akan
g.

memberikan kekebalan/proteksi yang lebih kuat. Rata-rata lama bayi yang disusui
en

mengalami peningkatan dari 10,25 bulan pada tahun 2020 menjadi 10,60 bulan pada tahun
at

2020. Peningkatan ini terjadi di wilayah perkotaan maupun perdesaan. Rata-rata lama bayi
//j

yang disusui di wilayah perdesaan mengalami peningkatan 0,18 bulan yaitu dari 10,43 bulan
s:

pada tahun 2020 menjadi 10,61 bulan pada tahun 2021. Sementara di wilayah perkotaan,
tp

rata-rata lama bayi disusui meningkat dari 10,06 bulan pada tahun 2020 menjadi 10,60
ht

bulan pada tahun 2021. Peningkatan di wilayah perkotaan mencapai 0,54 bulan, jauh lebih
tinggi dari peningkatan di wilayah perdesaan yang hanya mencapai 0,18 bulan. Hal ini cukup
menggembirakan, mengingat banyaknya edukasi, kesempatan dan fasilitas untuk menyusui
dan memompa ASI di perkotaan. Secara tak langsung hal ini menunjukkan bahwa ibu-ibu di
perkotaan sudah memanfaatkan kondisi tersebut secara maksimal untuk menyusui anaknya
hingga usia 2 tahun.
Selain ASI, imunisasi sangat diperlukan bagi perkembangan dan peningkatan
kekebalan daya tahan tubuh balita agar sistem pertahanan tubuhnya kuat terhadap berbagai
penyakit. Jenis imunisasi ada dua macam yaitu imunisasi pasif yang merupakan kekebalan
bawaan pada anak sejak lahir dan imunisasi aktif dimana kekebalan didapat dari pemberian
vaksin kepada anak melalui suntik atau tetes. Kementerian Kesehatan menganjurkan agar
semua anak-anak dapat memperoleh imunisasi secara lengkap. Anak yang mendapat
imunisasi dasar lengkap akan mendapatkan kekebalan dari beberapa penyakit berbahaya,
memperkecil resiko untuk sakit dan akan mencegah penularan kepada orang di sekitarnya.
Jenis imunisasi yang wajib diberikan pada balita adalah BCG, DPT, Polio, Campak/Morbili dan
Hepatitis B.

Tabel 2.3 Persentase Anak Balita (0-59 Bulan) yang Pernah Diimunisasi
Menurut Jenis Imunisasi di Jawa Tengah, 2019-2021 (%)

Jenis Perkotaan Perdesaan Total


Imunisasi 2019 2020 2021 2019 2020 2021 2019 2020 2021
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9) (10)
Pernah
98,38 98,04 97,59 98,32 98,16 98,45 98,35 98,10 98,00
Diimunisasi
BCG 95,07 94,42 94,3 94,99 94,07 95,81 95,03 94,25 95,03

id
DPT 90,94 90,33 90,41 89,65 90,54 92,16 90,31 90,43 91,26

o.
Polio 94,6 93,88 93,73 94,14 93,14 95,08 94,38 93,52 94,38

g
Campak 74,25 71,84 74,02 75,23 74,96 76,67 74,72 73,36 75,30
Hepatitis B 92,44 93,37 94,35 91,96 s.
93,54 93,87 92,2 93,45 94,12
bp
Catatan: Data 2018 tidak tersedia
g.

Sumber: Diolah dari hasil Susenas


en

Menurut data susenas tahun 2021, mayoritas anak umur 0-59 bulan yang
at

mendapatkan imunisasi wajib sudah mencapai 98,00 persen. Dari data yang ada hanya
//j

imunisasi campak yang persentasenya belum mencapai 80 persen, walau begitu


s:

persentasenya menunjukkan peningkatan dari 73,36 persen tahun 2020 menjadi 75,30
tp

persen tahun 2021. Faktor yang menghambat pemberian imunisasi campak perlu dilakukan
ht

penelitian dan dilakukan terobosan dari pemerintah khususnya Dinas Kesehatan sehingga
pencapaiannya dapat seperti imunisasi dasar lainnya.

PEMANFAATAN FASILITAS TENAGA KESEHATAN

Akses penduduk dalam memanfaatkan tenaga kesehatan dapat dilihat dari


ketersediaan/kemudahan mencapai fasilitas/tempat dan tenaga kesehatan sebagai rujukan
penduduk jika mengalami keluhan sakit hingga harus pergi berobat. Dari informasi tersebut
dapat teridentifikasi berbagai masalah yang dihadapi penduduk dalam mengakses dan
memanfaatkan fasilitas serta pelayanan kesehatan. Beberapa faktor yang menjadi
pertimbangan penduduk adalah jarak tempat tinggal dengan letak sarana pelayanan
kesehatan, kualitas pelayanan, sosial-ekonomi penduduk yaitu kemampuan penduduk untuk
membiayai pengobatannya serta jenis pelayanan kesehatan.
Pada umumnya, pemanfaatan fasilitas kesehatan oleh penduduk sangat erat terkait
dengan kondisi sosial ekonomi penduduk dan kondisi wilayah tempat tinggal mereka berada.
Perbedaan kualitas kesehatan yang nyata antara penduduk di perdesaan dengan penduduk
perkotaan dapat disebabkan oleh perbedaan ketersediaan dan jarak menuju ke fasilitas
pelayanan kesehatan tersebut, ditambah lagi perilaku penduduk itu sendiri.

Tabel 2.4 Persentase Penduduk yang Berobat Jalan Menurut Fasilitas Pelayanan Kesehatan
di Jawa Tengah, 2018-2020 (%)

Fasilitas Pelayanan Perkotaan Perdesaan Total


Kesehatan 2019 2020 2021 2019 2020 2021 2019 2020 2021

id
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9) (10)

o.
Rumah Sakit Pemerintah 7,27 6,21 4,52 4,79 5,09 4,03 6,00 5,09 4,32

g
Rumah Sakit Swasta 9,07 9,70 7,13 4,65 6,14 5,02 6,82 6,14 6,25
Praktik Dokter/Bidan 44,13 42,33 26,9 59,00
s. 52,19 48,05 51,71 52,19 35,66
bp
Klinik/Praktik Dokter
15,06 15,95 49,93 8,95 11,03 28,91 11,95 11,03 41,23
Bersama
g.

Puskesmas/Pustu 27,61 27,63 12,31 25,55 26,68 13,37 26,56 26,68 12,75
en

UKBM*) 2,03 1,73 0,85 2,72 3,13 3,00 2,38 3,13 1,74
Praktik pengobatan
at

1,10 0,94 0,96 1,53 1,38 1,56 1,32 1,38 1,20


tradisonal/alternatif
//j

Lainnya 0,85 0,51 0,55 1,01 0,67 1,18 0,93 0,67 0,81
s:

*) UKBM = Upaya Kesehatan Bersumberdaya Masyarakat (Poskesdes, Polindes, Posyandu, Balai Pengobatan)
tp

Sumber: Diolah dari hasil Susenas


ht

Penjaminan kesehatan masyarakat melalui BPJS membuka akses dan peluang yang
lebih besar kepada masyarakat secara umum untuk mendapatkan haknya mendapatkan
pelayanan kesehatan gratis dengan melakukan pembayaran premi yang terjangkau. Tidak
hanya di puskesmas dan rumah sakit, fasilitas BPJS dapat pula dinikmati di klinik kesehatan
terdekat dan dokter keluarga. Pola yang didapat masih sama dengan periode sebelumnya
yakni praktik dokter/bidan dan puskesmas/pustu menjadi tujuan mayoritas bagi masyarakat
dalam berobat karena merupakan rujukan utama peserta BPJS. Hal ini terjadi di daerah
perkotaan maupun perdesaan. Dipilihnya fasilitas ini karena lokasinya lebih mudah
dijangkau, banyak tersebar di seluruh wilayah dan prosedurnya juga lebih mudah
dibandingkan di rumah sakit.
Terdapat fenomena yang cukup menarik yaitu persentase penduduk yang
melakukan pengobatan tradisional/alternatif selama tahun 2019-2021 cenderung
menunjukkan penurunan, sementara yang melakukan pengobatan di klinik/praktik dokter
bersama menunjukkan peningkatan yang signifikan. Hal ini menunjukkan bahwa meskipun
pengobatan herbal semakin menjamur di semua wilayah, namun ternyata mayoritas
penduduk Jawa Tengah masih mempercayai pengobatan modern sebagai sarana
pencegahan maupun pengobatan.

FENOMENA VIRUS COVID-19

Dunia kesehatan mengalami ujian mulai tahun 2020 dengan merebaknya virus
COVID-19 hampir di seluruh dunia. Beberapa peneliti menyebutkan bahwa virus ini sudah
masuk ke Indonesia sejak Bulan Januari 2020, akan tetapi pemerintah secara resmi
mengumumkan adanya pasien yang positif COVID-19 pada tanggal 2 Maret 2020. Di Jawa
Tengah, gubernur mengumumkan adanya pasien yang terinfeksi COVID-19 pada tanggal 13

id
Maret 2020.

o.
COVID-19 merupakan virus yang berbahaya karena dapat mengakibatkan kematian

g
s.
terutama bagi pasien yang sudah memiliki gangguan kesehatan seperti penyakit jantung,
bp
diabetes, hipertensi, kanker, asma, dll. Menurut Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah,
g.

pasien yang terkonfirmasi positif COVID-19 sebanyak 649.946 orang secara akumulasi dari
en

tahun 2020 sampai dengan tanggal 23 November 2022. Jumlah konfirmasi tersebut naik 1,34
kali lipatnya dibandingkan tahun lalu (15 November 2021) yang sebesar 485.586 orang. Dari
at

649.946 orang yang terkonfirmasi, sebanyak 4.724 orang sedang dalam perawatan/isolasi,
//j
s:

611.461 orang dinyatakan sembuh/selesai isolasi, dan 33.761 orang meninggal dunia
tp

(https://corona.jatengprov.go.id/data). Dari total pasien yang terkonfirmasi COVID-19 (data


ht

pembaharuan terakhir 30 September 2022), 52,80 persen berjenis kelamin perempuan dan
sisanya 47,20 persen berjenis kelamin laki-laki. Sementara berdasarkan usia, pasien dengan
kelompok usia antara 31-45 tahun merupakan kelompok usia yang paling banyak
terkonfirmasi Covid-19 dengan komposisi sebesar 26,00 persen dari total pasien
terkonfirmasi (https://covid19.go.id/peta-sebaran-covid19).
Dalam menangani pandemi tersebut pemerintah melakukan berbagai upaya
diantaranya memberlakukan gerakan hidup sehat dengan gerakan cuci tangan dan selalu
memakai masker, menerapkan metode belajar siswa sekolah dari rumah atau School From
Home (SFH), menerapkan pengaturan hari kerja terutama bagi Pegawai Negeri Sipil (PNS)
atau Work From Home (WFH), melakukan pelarangan kegiatan yang menimbulkan
kerumunan, penerapan pembatasan kegiatan masyarakat, memberikan anggaran khusus
untuk penanganan Covid-19, serta percepatan vaksinasi di setiap daerah. Berdasarkan data
capaian vaksinasi Covid-19 di Jawa Tengah oleh Kementerian Kesehatan yang tercatat per 23
November 2022 pukul 16.52 WIB, sebanyak 27.182.085 orang telah mendapatkan Vaksinasi
Dosis Pertama atau 84,92 persen dari total sasaran vaksinasi yang mencapai 32.010.100
orang. Sementara untuk penyaluran Vaksinasi Dosis Kedua telah mencapai 74,98 persen
atau 24.001.503 orang, penyaluran Vaksinasi Dosis Ketiga mencapai 26,02 persen atau
8.328.469 orang dan penyaluran Vaksinasi Dosis Keempat mencapai 66,55 persen atau
109.918 orang. Apabila dilihat berdasarkan wilayah, terdapat 5 (lima) wilayah yang capaian
vaksinasi dosis pertamanya telah mencapai 100 persen yaitu Kota Magelang (145,54
persen), Kota Surakarta (131,64 persen), Kota Salatiga (131,79 persen), Kota Semarang
(114,01 persen), dan Kota Tegal (117,40 persen) dari masing-masing target wilayah.
Sementara untuk capaian vaksinasi dosis kedua, terdapat 4 (empat) wilayah yang
capaiannya 100 persen diantaranya Kota Magelang (128,95 persen), Kota Surakarta (123,48
persen), Kota Salatiga (103,61 persen), dan Kota Semarang (104,41 persen) dari masing-
masing target wilayah (https://vaksin.kemkes.go.id/#/provinces).

id
o.
Gambar 2.1 Peta Assesmen WHO COVID-19 Provinsi Jawa Tengah

g
s.
bp
g.
en
at
//j
s:
tp
ht

Sumber: https://corona.jatengprov.go.id/data

Kerja keras pemerintah daerah, fasilitas kesehatan, dan seluruh elemen masyarakat
dalam upaya pencegahan penularan Covid-19 telah membuahkan hasil. Berdasarkan data
Dinas Kesehatan Jawa Tengah per 8 November 2022, saat ini hanya terdapat 1 (satu) wilayah
administrasi yang berada pada Level 3 yaitu Kabupaten Klaten, kemudian 4 (empat) wilayah
administrasi yang berada pada Level 1 yaitu Kota Semarang, Kabupaten Semarang, Kota
Surakarta, dan Kabupaten Banyumas, sedangkan 30 (tiga puluh) wilayah administratif
lainnya berada pada Level 2. Penjelasan mengenai level pada peta assesmen WHO Covid-19
adalah sebagai berikut:
a. Level Situasi 0 merupakan situasi tanpa penularan lokal;
b. Level Situasi 1 merupakan situasi dimana penularan tidak terjadi namun ada
keterbatasan dalam penerapan upaya mencegah penularan; atau jika kasus sudah
ada, epidemi masih dapat dikendalikan melalui tindakan yang efektif di sekitar kasus
atau kluster kasus;
c. Level Situasi 2 merepresentasikan situasi dengan insiden komunitas yang rendah;
d. Level Situasi 3 merupakan situasi penularan komunitas dengan kapasitas respon
terbatas dan terdapat resiko layanan kesehatan menjadi tidak memadai; dan
e. Level Situasi 4 merupakan situasi dimana transmisi tidak terkontrol dengan kapasitas
respon yang tidak memadai.
Penurunan status penularan Covid-19 di beberapa wilayah di Jawa Tengah membuat
roda perekonomian berjalan ke arah normal dengan diperbolehkannya operasional pusat

id
perbelanjaan/perdagangan, restoran/rumah makan, bioskop, pusat kebugaran/gym,

o.
transportasi umum, tempat pariwisata, dan fasilitas umum lainnya sesuai peraturan yang

g
ditetapkan, diikuti oleh penerapan protokol kesehatan secara ketat.
s.
bp
g.
en
at
//j
s:
tp
ht
ht
tp
s:
//j
at
en
g.
bp
s.
go.
id
Bab 3.
PENDIDIKAN
Pendidikan merupakan hak asasi setiap warga negara Indonesia. Oleh sebab itu,
setiap warga negara Indonesia berhak memperoleh pendidikan yang bermutu sesuai
dengan minat dan bakat yang dimilikinya. Hak memperoleh pendidikan bagi setiap warga
negara tidak memandang status sosial, status ekonomi, suku, etnis, agama, dan gender
sesuai dengan yang tertuang dalam UUD 1945.
Berdasarkan UUD 1945 Pasal 28C, ayat (1) dinyatakan bahwa setiap orang berhak
mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapatkan

id
pendidikan, memperoleh manfaat dari IPTEK, seni dan budaya demi meningkatkan kualitas

o.
hidup dan demi kesejahteraan umat manusia. Selanjutnya dalam Pasal 31 ayat (2)

g
dinyatakan bahwa setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah
wajib membiayainya. s.
bp
Pendidikan dasar merupakan bagian dari hak asasi manusia dan hak setiap warga
g.

negara, maka dalam upaya pemenuhannya harus direncanakan dan dijalankan dengan
en

sebaik mungkin. Pemenuhan atas hak untuk mendapatkan pendidikan dasar yang layak dan
at

bermutu merupakan ukuran keadilan dan pemerataan atas hasil pembangunan. Hal tersebut
//j

juga menjadi investasi sumber daya manusia yang diperlukan untuk mendukung
s:

keberlangsungan pembangunan bangsa.


tp

Pemerataan akses dan peningkatan mutu pendidikan diharapkan akan mampu


ht

menjadikan warga negara Indonesia memiliki kecakapan hidup sehingga mendorong


tegaknya pembangunan manusia seutuhnya serta masyarakat madani dan modern yang
dijiwai nilai-nilai Pancasila, sebagaimana yang telah diamanatkan dalam UU No. 20 Tahun
2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Dalam Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional, yaitu UU No 20 tahun 2003 juga
menjelaskan posisi pemerintah dalam dunia pendidikan. Pemerintah berkewajiban
“mencerdaskan kehidupan bangsa”. Selain itu, pemerintah harus mengusahakan segala yang
terkait dengan pendidikan baik dari sisi penyelenggaraan, sarana, dan ketersediaan
pengajar. UUD 1945 juga telah mengamanatkan bahwa pemerintah Negara Republik
Indonesia (sekaligus Pemerintah Daerah) wajib mengusahakan dan menyelenggarakan suatu
sistem yang mengatur pendidikan nasional yang mampu menjamin tiap-tiap warga negara
memperoleh pemerataan kesempatan dan mutu pendidikan.
Sebagai upaya untuk mencapai tujuan pendidikan nasional, maka pemerintah pusat
dan daerah harus memfasilitasi hak pendidikan bagi setiap warganya. Fasilitas yang
dimaksud meliputi sekolah yang terjangkau dari sisi pembiayaan, bermutu dari segi layanan
dan berkualitas dari sisi pembelajaran. Oleh karena itu, pemerintah perlu mengupayakan
sarana dan prasarana, kurikulum, sumber belajar dan daya dukung lainnya.

RATA-RATA LAMA SEKOLAH DAN HARAPAN LAMA SEKOLAH

Rata-rata lama sekolah merupakan indikator yang dapat digunakan untuk melihat
kualitas penduduk dalam hal mengenyam pendidikan formal. Rata-rata lama sekolah
mempunyai pengertian jumlah tahun belajar yang telah diselesaikan dalam pendidikan
formal (tidak termasuk tahun yang mengulang). Indikator rata-rata lama sekolah sangat
penting karena digunakan sebagai salah satu komponen untuk menghitung Indeks

id
Pembangunan Manusia (IPM) khususnya di sektor pendidikan. Rata-rata lama sekolah yang

o.
digunakan dalam penghitungan IPM diukur dari penduduk berusia 25 tahun ke atas, karena

g
s.
pada usia tersebut proses belajar pada pendidikan formal diasumsikan telah berakhir.
bp
Untuk meningkatkan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) dalam sektor pendidikan,
g.

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan akan menempuh berbagai upaya dalam


en

meningkatkan waktu rata-rata lama sekolah penduduk usia 15 tahun ke atas. Salah satu
upaya yang dilakukan adalah menekan angka putus sekolah dan meningkatkan jumlah
at
//j

penduduk yang melanjutkan antar jenjang pendidikan. Menurut Menteri Pendidikan dan
s:

Kebudayaan, cara paling efektif untuk menaikkan waktu rata-rata lama sekolah bukan
tp

dengan menyekolahkan kembali penduduk Indonesia yang telah berusia lanjut, tetapi
ht

mengupayakan agar tidak ada lagi peserta didik yang putus sekolah. Upaya lain yang
dilakukan yaitu dengan meningkatkan akses dan mutu pendidikan anak usia dini (PAUD),
meningkatkan partisipasi sekolah jenjang pendidikan dasar yang bermutu, meningkatkan
akses dan mutu pendidikan menengah, meningkatkan akses dan daya saing pendidikan
tinggi, serta meningkatkan mutu pendidik dan tenaga kependidikan.
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) menyiapkan tiga skenario
untuk mendongkrak rata-rata lama sekolah penduduk usia 15 tahun ke atas dari 8,01 tahun
pada tahun 2012 menjadi 12 tahun pada 2045. Skenario pertama adalah untuk mencapai
sasaran 12,35 tahun atau hampir sama dengan Amerika Serikat pada tahun 1995. Skenario
kedua adalah untuk mencapai 13,17 tahun, sedangkan skenario ketiga adalah untuk
mencapai 14,05 tahun. Hal inilah yang melatarbelakangi program pendidikan menengah
universal (PMU) supaya minimal anak usia sampai dengan 18 tahun paling tidak
pendidikannya sudah 12 tahun yaitu lulusan SMA, SMK dan MA.
Tabel 3.1 Rata-Rata Lama Sekolah dan Harapan Lama Sekolah Jawa Tengah,
2019 – 2021 (Tahun)

Indikator Pendidikan 2019 2020 2021


(1) (2) (3) (4)
Rata-rata Lama Sekolah 7,53 7,69 7,75
Laki-laki 8,06 8,16 8,17
Perempuan 7,03 7,24 7,34
Harapan Lama Sekolah 12,68 12,70 12,77
Laki-laki 12,69 12,70 12,71
Perempuan 12,66 12,79 12,93

Sumber: BPS

id
o.
Secara umum, rata-rata lama sekolah penduduk

g
HLS Jawa Tengah pada
tahun 2021 sebesar 12,77 s.
usia 25 tahun ke atas pada tahun 2021 sebesar 7,75
bp
tahun. Artinya, secara rata-rata penduduk Jawa Tengah
tahun. Artinya, secara rata-
yang berusia 25 tahun ke atas telah mampu menempuh
g.

rata anak usia 7 tahun


pendidikan selama 7,75 tahun atau sampai dengan kelas
en

yang masuk jenjang


pendidikan formal pada 1 SMP, tetapi putus sekolah di kelas 2 SMP. Jika dilihat
at

tahun 2021 memiliki perkembangannya selama periode tahun 2019-2021,


//j

peluang untuk bersekolah rata-rata lama sekolah penduduk di Jawa Tengah


s:

selama 12,70 tahun atau menunjukkan peningkatan dari tahun ke tahun.


tp

lulus SLTA jika kondisinya Meningkatnya rata-rata lama sekolah dari tahun ke
ht

minimal sama seperti tahun tak lepas dari upaya pemerintah maupun
sekarang
masyarakat yang menginginkan kualitas pendidikan
semakin baik.
Menurut jenis kelamin, rata-rata lama sekolah penduduk laki-laki 1 tahun lebih tinggi
dibandingkan penduduk perempuan. Saat ini pemerintah memberikan kesempatan yang
sama antara laki-laki dan perempuan untuk mendapatkan pendidikan. Hal tersebut terlihat
dari pendidikan kejuruan dimana dahulu hanya untuk laki-laki seperti Sekolah Teknik
Menengah (STM), akan tetapi sekarang sudah terbuka juga untuk pelajar perempuan.
Perbedaan rata-rata lama sekolah antara laki-laki dan perempuan diduga disebabkan oleh
faktor budaya yang masih ada pada masyarakat Jawa Tengah khususnya di daerah perdesaan
bahwa anak laki-laki diberikan kesempatan yang lebih besar untuk meraih pendidikan lebih
tinggi.
Indikator pendidikan lainnya adalah Harapan Lama Sekolah (HLS). Indikator ini
mengukur peluang pendidikan yang dapat diperoleh untuk anak usia sekolah (7 tahun ke
atas). HLS Jawa Tengah pada tahun 2021 sebesar 12,77 tahun, artinya anak usia 7 tahun ke
atas akan mempunyai peluang bersekolah sampai 12,77 tahun atau lulus SLTA jika
kondisinya minimal sama seperti sekarang. Seperti halnya rata-rata lama sekolah, angka HLS
ini juga menunjukkan peningkatan dari tahun ke tahun. Apabila diamati menurut jenis
kelamin, HLS penduduk laki-laki lebih rendah dibandingkan perempuan, namun
perbedaannya tidak signifikan.

PENDIDIKAN TERTINGGI YANG DITAMATKAN

Selain indikator pendidikan yang sudah dibahas sebelumnya, kualitas sumber daya
manusia juga dapat dilihat dari keahlian/keterampilan serta ilmu pengetahuan yang

id
dimilikinya. Hal tersebut dapat digambarkan dari tingkat pendidikan yang ditamatkan.

o.
Seseorang yang menamatkan pendidikan hingga jenjang pendidikan yang tinggi dapat

g
s.
mempunyai pengetahuan yang luas serta keterampilan/keahlian yang tinggi. Semakin
bp
meningkatnya keterampilan/keahlian maka akan semakin mudah mendapatkan kesempatan
g.

kerja. Indikator tingkat pendidikan yang ditamatkan juga dapat digunakan untuk mengetahui
en

keberhasilan program wajib belajar 9 tahun yang dicanangkan pemerintah.


at

Tabel 3.2 Persentase Penduduk Usia 15 Tahun Ke atas menurut Tipe Daerah dan Jenjang
//j

Pendidikan Tertinggi yang Ditamatkan di Jawa Tengah, 2020-2021 (%)


s:
tp

Jenjang Pendidikan Tertinggi Perkotaan Perdesaan Total


ht

yang Ditamatkan 2020 2021 2020 2021 2020 2021


(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7)
Tidak/Belum Pernah Sekolah 3,40 3,14 5,57 5,73 4,45 4,39
Belum Tamat SD/MI 10,84 10,66 16,08 15,61 13,39 13,05
SD/MI 23,46 22,89 32,75 33,87 27,99 28,18
SMP/MTS 22,78 22,83 23,75 23,88 23,25 23,34
SMA/SMK/MA 29,37 29,97 17,91 17,33 23,79 23,87
Perguruan tinggi 10,15 10,51 3,94 3,58 7,13 7,17
Sumber: Diolah dari Hasil Susenas

Usaha pemerintah dalam meningkatkan pendidikan di Jawa Tengah perlu


diapresiasi. Berdasarkan hasil Susenas 2021, persentase penduduk 15 tahun ke atas yang
belum tamat pendidikan setara SD/MI turun dari 13,39 persen menjadi 13,05 persen. Selain
itu, persentase penduduk 15 tahun ke atas yang tidak/belum pernah sekolah juga
mengalami penurunan dari tahun 2020 ke 2021 yaitu dari 4,45 persen menjadi 4,39 persen.
Di sisi lain, persentase penduduk 15 tahun ke atas yang tamat pendidikan setara SD/MI,
SMP/MTS, SMA/SMK/MA dan Perguruan Tinggi mengalami peningkatan yang cukup
signifikan dari tahun 2020 ke 2021. Persentase penduduk 15 tahun ke atas yang tamat
SD/MI meningkat dari 27,99 persen menjadi 28,18 persen (meningkat 0,19 poin), tamat
SMP/MTS meningkat dari 23,25 persen menjadi 23,34 persen (meningkat 0,09 poin), tamat
SMA/SMK/MA meningkat dari 23,79 persen menjadi 23,87 persen (meningkat 0,08 poin),
dan yang tamat Perguruan Tinggi meningkat dari 7,13 menjadi 7,17 persen (meningkat 0,04
poin).
Apabila dilihat berdasarkan daerah tempat tinggal, porsi lulusan SMA/SMK/MA dan
Perguruan Tinggi di perkotaan jauh lebih tinggi daripada perdesaan. Hal tersebut
dimungkinkan terjadi karena faktor ekonomi, mengingat akses pendidikan di perkotaan lebih

id
luas dibandingkan perdesaan. Pada tahun 2021, terdapat 17,33 persen penduduk 15 tahun

o.
ke atas di perdesaan yang menamatkan pendidikan setara SMA, sementara di perkotaan

g
hampir dua kali lipatnya yaitu sebesar 29,97 persen. Seperti halnya yang terjadi pada
s.
bp
pendidikan setara SMA, persentase penduduk 15 tahun ke atas di perdesaan yang
menamatkan pendidikan perguruan tinggi hanya sebesar 3,58 persen, sedangkan di daerah
g.

perkotaan hampir mencapai tiga kali lipatnya yaitu sebesar 10,51 persen.
en
at

Tabel 3.3 Persentase Penduduk Usia 15 Tahun Ke Atas menurut Jenis Kelamin dan
//j

Jenjang Pendidikan Tertinggi yang Ditamatkan di Jawa Tengah, 2020-2021 (%)


s:
tp

Laki-laki+
Laki-laki Perempuan
Jenjang Pendidikan Perempuan
ht

2020 2021 2020 2021 2020 2021


(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7)
Tidak/Belum Pernah Sekolah 2,55 2,52 6,28 6,21 4,45 4,39
BelumTamat SD/MI 11,86 11,66 14,87 14,39 13,39 13,05
SD/MI 28,84 29,04 27,16 27,36 27,99 28,18
SMP/MTS 23,93 24,00 22,61 22,70 23,25 23,34
SMA/SMK/MA 25,95 25,94 21,70 21,87 23,79 23,87
Perguruan tinggi 6,87 6,84 7,38 7,47 7,13 7,17
Sumber: Diolah dari Hasil Susenas

Jika dilihat berdasarkan jenis kelamin, persentase penduduk 15 tahun ke atas yang
tidak/belum pernah sekolah hingga belum tamat SD/MI masing-masing menunjukkan
penurunan, baik bagi penduduk yang berjenis kelamin laki-laki maupun perempuan.
Penurunan tersebut menunjukkan adanya pergeseran jenjang pendidikan yang ditamatkan
menjadi lebih tinggi, ditandai dengan bertambahnya persentase penduduk usia 15 tahun ke
atas yang telah tamat SD/MI hingga Perguruan Tinggi. Pada tahun 2021, persentase
perempuan usia 15 tahun keatas yang sudah tamat pendidikan SMA/SMK/MA mengalami
peningkatan dari 21,70 persen menjadi 21,87 persen, atau meningkat hingga 0,17 poin.
Sementara pada penduduk laki-laki, walaupun persentasenya lebih tinggi daripada
penduduk perempuan akan tetapi persentasenya mengalami penurunan sebesar 0,01 poin
yaitu dari 25,95 persen pada tahun 2020 menjadi 25,94 persen pada tahun 2021. Hal yang
lebih membanggakan lagi adalah persentase perempuan usia 15 tahun keatas yang sudah
tamat pendidikan Perguruan Tinggi juga mengalami peningkatan, bahkan persentasenya
lebih tinggi dibandingkan laki-laki. Pada tahun 2021, persentase laki-laki usia 15 tahun ke
atas yang menamatkan pendidikan hingga Perguruan Tinggi sebesar 6,84 persen sementara
perempuan sebesar 7,47 persen. Hal tersebut menegaskan bahwa kondisi itu terjadi bukan

id
karena faktor budaya. Stigma yang berkembang di Jawa Tengah adalah perempuan dianggap

o.
tidak layak untuk mendapatkan pendidikan tinggi karena nantinya hanya akan berperan

g
sebagai istri atau ibu rumah tangga. Data menunjukkan bahwa stigma itu sudah tidak
s.
bp
berlaku lagi dan menunjukkan bahwa kesetaraan gender di Jawa Tengah menjadi lebih baik
dari waktu ke waktu.
g.
en

ANGKA PARTISIPASI SEKOLAH


at
//j
s:

Angka partisipasi sekolah merupakan salah satu indikator


Pada tahun 2021
tp

yang dapat mengukur partisipasi masyarakat dalam mengikuti


APS di hampir
ht

pendidikan dari berbagai jenjang pendidikan dan kelompok umur.


semua kelompok
Tingkat partisipasi sekolah yang dapat diukur diantaranya yaitu
umur menurun
dibanding tahun Angka Partisipasi Sekolah (APS) dan Angka Partisipasi Murni (APM).
sebelumnya. Pemerintah berharap agar kedua indikator tersebut selalu
menunjukkan peningkatan setiap tahunnya pada setiap jenjang
pendidikan. Hal itu disebabkan karena peningkatan kedua indikator tersebut menunjukkan
bahwa semakin banyak masyarakat memperoleh layanan pendidikan dasar dan menengah
yang bermutu dan berkesetaraan.
Berdasarkan data Susenas tahun 2021, hampir semua kelompok umur menunjukkan
peningkatan APS kecuali pada kelompok umur 7-12 tahun yang mengalami sedikit
penurunan. Walaupun begitu, APS untuk kelompok umur 7-12 tahun dapat dikatakan
memuaskan karena nilainya mendekati 100 persen baik laki-laki maupun perempuan.
Peningkatan APS mulai terjadi pada kelompok usia 13-15 tahun, baik pada kelompok
perempuan maupun laki-laki. Hal ini menunjukkan bahwa sampai dengan usia 15 tahun (usia
SMP) kesempatan belajar mulai terbuka secara luas untuk perempuan, selain itu nilai APS
pada kelompok ini telah mencapai lebih dari 95 persen. Berbeda halnya dengan kelompok
umur 16-18 tahun yang nilai APS untuk jenjang usia ini masih di bawah 80 persen. Walaupun
begitu, nilai APS pada kelompok umur ini menunjukkan perbaikan dari tahun lalu. APS laki-
laki pada kelompok umur 16-18 tahun mengalami peningkatan dari 69,07 persen pada tahun
2020 menjadi 71,28 persen. Sementara APS perempuan pada kelompok umur yang sama
mengalami penurunan dari 71,28 persen pada tahun 2020 menjadi 71,18 persen pada tahun
2021.

Tabel 3.4 Angka Partisipasi Sekolah (APS) Menurut Usia Sekolah


dan Jenis Kelamin di Jawa Tengah, 2019-2020 (%)

2020 2021

id
Kelompok Umur

o.
Laki- Perem Laki- Perem
L+P L+P
laki puan laki puan

g
(1) (2) (3)
s.
(4) (5) (6) (7)
bp
7-12 99,61 99,86 99,73 99,55 99,79 99,66
13-15 95,51 97,35 96,37 95,97 97,76 96,84
g.

16-18 69,07 71,28 70,14 70,43 71,18 70,79


en

19-24 21,41 23,47 22,41 21,54 25,60 23,55


at

Sumber: Diolah dari Hasil Susenas


//j
s:

Selanjutnya pada kelompok umur 19-24 tahun, APS mengalami peningkatan dari
tp

22,41 persen pada tahun 2020 menjadi 23,55 persen pada tahun 2021. APS laki-laki pada
ht

kelompok umur 19-24 tahun mengalami peningkatan dari 21,41 persen pada tahun 2020
menjadi 21,54 persen pada tahun 2021. Begitu pula untuk APS perempuan pada kelompok
umur ini juga mengalami peningkatan yaitu dari 23,47 persen
pada tahun 2020 menjadi 25,60 persen pada tahun 2021. APM perempuan
Seperti halnya dengan APS, secara umum Angka pada jenjang
Partisipasi Murni (APM) juga mengalami peningkatan dari tahun pendidikan
2020 ke tahun 2021 pada semua jenjang pendidikan. Jika dilihat perguruan tinggi
menurut jenis kelamin, APM pada jenjang pendidikan SD/MI dan cenderung lebih
SMP/MTS tidak berbeda jauh antara laki-laki dan perempuan. tinggi dibanding
APM laki-laki
APM laki-laki mengalami sedikit penurunan pada jenjang setara
SMP/MTS yaitu dari 80,95 persen pada tahun 2020 menjadi 80,64
persen pada tahun 2021. Akan tetapi pada jenjang setara SD/MI mengalami peningkatan dari
97,55 persen menjadi 98,12 persen, pada jenjang setara SMA/MA naik dari 58,44 persen
menjadi 59,89 persen dan pada jenjang Diploma/Universitas meningkat dari 12,57 persen
menjadi 13,21 persen. Pada perempuan, penurunan APM hanya terjadi pada jenjang
SMA/MA yaitu dari 61,10 persen pada tahun 2020 menjadi 61,08 persen pada tahun 2021.

Tabel 3.5 Angka Partisipasi Murni (APM) Menurut Tingkat Pendidikan


dan Jenis Kelamin di Jawa Tengah, 2020-2021 (%)

2020 2021
Kelompok Umur
Perem Peremp
Laki-laki L+P Laki-laki L+P
puan uan
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7)
SD/MI1) 97,55 98,25 97,90 98,12 98,32 98,22
SMP/MTS2) 80,95 80,06 80,53 80,64 81,36 80,99

id
3)
SMA/MA 58,44 61,10 59,74 59,89 61,08 60,46

o.
Diploma/Universitas 12,57 16,15 14,32 13,21 17,43 15,30

g
Sumber: Diolah dari hasil Susenas
Catatan: s.
bp
1) Termasuk Paket A
2)
Termasuk Paket B
g.

3) Termasuk Paket C
en
at

Meskipun mengalami penurunan pada jenjang SMA/MA, APM perempuan pada


//j

setiap jenjang pendidikan cenderung lebih tinggi dibandingkan laki-laki. Hal ini semakin
s:

memperkuat dugaan bahwa perempuan lebih ‘tertib usia’ dalam melanjutkan pendidikan
tp

perguruan tinggi. Sedangkan laki-laki biasanya lebih condong pada pilihan untuk mencari
ht

pekerjaan terlebih dahulu setelah lulus SMA.

KUALITAS PELAYANAN PENDIDIKAN

Salah satu faktor yang menentukan keberhasilan program pembangunan nasional


khususnya dalam bidang pendidikan yaitu pelayanan pendidikan yang baik dan berkualitas.
Oleh karena itu, peningkatan mutu layanan pendidikan
Beban guru SD di merupakan program utama pemerintah untuk mempersiapkan
tahun ajaran sumber daya manusia yang berkualitas dalam rangka
2020/2021 menurun mencerdaskan bangsa. Beberapa indikator yang dapat
yang ditunjukkan digunakan untuk mengetahui kualitas pelayanan pendidikan
dengan penurunan antara lain rasio murid-guru, rasio guru-sekolah, dan rasio
angka rasio murid-
murid-kelas.
guru untuk jenjang
pendidikan SD
Rasio murid-guru adalah jumlah murid dibandingkan dengan jumlah guru pada
setiap jenjang pendidikan. Rasio murid per guru dapat memberikan gambaran mengenai
besarnya beban kerja guru dalam mengajar. Rasio murid-guru ini digunakan untuk
mengetahui rata-rata jumlah murid yang dilayani oleh satu orang guru di suatu sekolah atau
daerah tertentu. Semakin tinggi nilai rasionya, diduga akan semakin berkurang
pengawasan/perhatian guru terhadap murid sehingga kualitas pengajaran akan cenderung
semakin rendah. Dengan kata lain, jika rasio tinggi, berarti satu orang tenaga pengajar harus
melayani banyak murid. Semakin banyak jumlah murid di dalam suatu kelas dengan jumlah
pengajar hanya 1 orang maka akan mengurangi daya tangkap murid pada pelajaran yang
diberikan atau mengurangi efektivitas pengajaran. Asumsinya, rasio murid-guru yang rendah
menandakan kelas yang lebih kecil sehingga memungkinkan para guru untuk lebih

id
memperhatikan setiap siswa. Indikator ini tidak memperhitungkan faktor-faktor yang dapat

o.
mempengaruhi kualitas belajar/mengajar, seperti perbedaan dalam kualifikasi guru,

g
pelatihan pedagogi, pengalaman dan status, metode pengajaran, kondisi bahan ajar, dan
s.
bp
variasi di dalam kelas.
g.

Tabel 3.6 Perkembangan Rasio Murid-Guru, Rasio Guru-Sekolah, dan Rasio Murid-Kelas
en

di Jawa Tengah, 2017/2018-2020/2021


at
//j

Rasio Rasio Rasio


s:

Tahun Murid-Guru Guru-Sekolah Murid-Kelas


tp

SD SMP SMA SD SMP SMA SD SMP SMA


ht

(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9) (10)
2017/2018 17 17 17 9 21 27 22 28 31
2018/2019 17 17 18 8 21 27 22 28 31
2019/2020 18 17 17 8 20 28 21 27 29
2020/2021 17 17 17 8 21 29 19 25 28
Sumber: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

Selama empat tahun terakhir dari tahun ajaran 2017/2018 sampai 2020/2021 terjadi
fluktuasi rasio murid-guru pada jenjang pendidikan Sekolah Dasar (SD). Peningkatan rasio
murid-guru SD pada tahun ajaran 2019/2020 menunjukkan bahwa peningkatan jumlah siswa
tidak diimbangi dengan peningkatan jumlah guru. Mengingat karakteristik siswa SD yang
membutuhkan perhatian khusus, maka peningkatan rasio murid-guru dikhawatirkan
membuat proses belajar mengajar menjadi kurang efektif. Akan tetapi rasio murid-guru ini
kemudian mengalami penurunan kembali pada tahun ajaran 2020/2021. Sama halnya
dengan rasio murid-guru pada jenjang pendidikan SD yang mengalami fluktuasi, rasio murid-
guru pada jenjang pendidikan SMA juga sempat mengalami peningkatan pada tahun ajaran
2018/2021 menjadi 18 siswa yang kemudian mengalami penurunan menjadi 17 siswa pada
tahun ajaran 2019/2020 hingga 2020/2021. Pada tahun ajaran 2020/2021 ini, rasio murid-
guru pada jenjang SD, SMP, maupun SMA adalah 17 siswa
yang artinya secara rata-rata setiap guru mengampu 17
Rasio guru-sekolah
siswa pada masing-masing jenjang pendidikan.
pada jenjang SD setiap
Rasio guru-sekolah didefinisikan sebagai tahunnya menurun,
perbandingan antara jumlah tenaga pengajar dibandingkan dikhawatirkan dapat
dengan jumlah sekolah pada suatu jenjang pendidikan menyebabkan proses
tertentu untuk mengetahui kekurangan/kelebihan tenaga belajar mengajar
pengajar yang mengajar di sekolah pada suatu daerah menjadi kurang efektif

id
tertentu. Semakin rendah nilai rasio berarti jumlah tenaga karena kurang

o.
berimbang
pengajar yang mengajar di suatu jenjang pendidikan tertentu

g
s.
semakin terbatas, sebaliknya semakin besar nilai rasio
bp
mengindikasikan kemungkinan terjadinya kelebihan tenaga pengajar pada sekolah tersebut,
sehingga kebijakan berupa mutasi guru perlu dilakukan.
g.

Secara umum, selama 4 tahun terakhir dari tahun 2017/2018 sampai 2020/2021
en

terdapat tendensi penurunan rasio guru-sekolah pada jenjang pendidikan SD, sementara
at

pada jenjang pendidikan SMP dan SMA mengalami peningkatan. Penurunan rasio guru-
//j

sekolah kemungkinan disebabkan oleh menurunnya jumlah guru pada jenjang pendidikan SD
s:

dan dikhawatirkan dapat menyebabkan proses belajar mengajar menjadi kurang efektif
tp

karena jumlah tenaga pengajar kurang berimbang.


ht

Indikator lainnya adalah rasio murid-kelas. Rasio murid-kelas adalah perbandingan


antara jumlah murid dengan daya tampung kelas di setiap jenjang pendidikan. Rasio murid-
kelas digunakan untuk mengetahui rata-rata besarnya kepadatan kelas di suatu sekolah atau
daerah tertentu. Semakin tinggi nilai rasio, berarti tingkat kepadatan kelas semakin tinggi
atau dapat dikatakan bahwa jumlah siswa yang ada di dalam kelas tersebut banyak.
Tingginya rasio murid perkelas juga akan memberikan dampak pada rendahnya efektivitas
proses belajar mengajar.
Secara umum, rasio murid-kelas untuk jenjang pendidikan SD mengalami penurunan
dari tahun ajaran 2017/2018 yang awalnya 22 murid perkelas menjadi 19 murid per kelas
pada tahun ajaran 2020/2021. Kondisi yang sama juga terjadi pada tingkat pendidikan SMP
yang menurun dari 28 murid per kelas pada tahun ajaran 2017/2018 menjadi 25 murid per
kelas pada tahun ajaran 2020/2021. Begitu pula pada jenjang pendidikan SMA yang juga
menunjukkan penurunan dari 31 anak per kelas pada tahun ajaran 2017/2018 menjadi 28
murid per kelas pada tahun ajaran 2020/2021. Rasio murid-kelas yang ideal berada pada
kisaran 20-30 murid perkelas, sehingga sampai dengan kondisi 2020/2021 rasio murid-kelas
pada tingkatan SD, SMP maupun SMA di Jawa Tengah berada pada kondisi ideal.

id
g o.
s.
bp
g.
en
at
//j
s:
tp
ht
ht
tp
s:
//j
at
en
g.
bp
s.
go.
id
Bab 4.
KETENAGAKERJAAN
Permasalahan di bidang ketenagakerjaan harus terus menjadi perhatian pemerintah
agar dapat segera diselesaikan. Permasalahan tersebut antara lain tingginya tingkat
pengangguran, masih rendahnya perluasan kesempatan kerja, banyaknya pekerja anak,
rendahnya produktivitas kerja, persebaran tenaga kerja yang tidak merata, dan sebagainya.
Kondisi tersebut merupakan tantangan yang harus diselesaikan dalam pembangunan Jawa
Tengah. Pembangunan di bidang ketenagakerjaan merupakan bagian dari upaya
pengembangan sumber daya manusia yang memegang peranan penting untuk mewujudkan

id
pembangunan manusia seutuhnya. Pembangunan di bidang ketenagakerjaan diupayakan

o.
memberikan kontribusi yang nyata dan terukur dalam rangka meningkatkan kesejahteraan

g
masyarakat.
s.
Dalam rangka penyusunan kebijakan, strategi dan program ketenagakerjaan untuk
bp
pemecahan masalah ketenagakerjaan sangat dibutuhkan data dan informasi
g.

ketenagakerjaan. Strategi dan program ketenagakerjaan yang tepat sangat ditentukan


en

kondisi ketersediaan data dan informasi ketenagakerjaan.


at

Konsep ketenagakerjaan yang digunakan oleh BPS adalah The Labor Force Concept
//j

merujuk pada rekomendasi International Labour Organization (ILO). Konsep ini membagi
s:

penduduk menjadi dua kelompok yaitu penduduk usia kerja dan bukan usia kerja.
tp

Selanjutnya, penduduk usia kerja dibedakan pula menjadi dua kelompok berdasarkan
ht

kegiatan utama yang dilakukan yakni angkatan kerja dan bukan angkatan kerja. Angkatan
kerja terdiri dari dua bagian yaitu bekerja dan pengangguran. Sementara bukan angkatan
kerja mencakup sekolah, mengurus rumah tangga dan lainnya.
Secara alamiah pertumbuhan angkatan kerja searah dengan pertumbuhan
penduduk. Namun demikian pertumbuhan penciptaan lapangan kerja baru berjalan lebih
lambat dibandingkan pertumbuhan penduduk usia kerja. Hal ini mengakibatkan tidak semua
angkatan kerja terserap oleh pasar kerja, sehingga terjadi ketidakseimbangan antara
penawaran kerja dan permintaan tenaga kerja. Ketidakseimbangan ini akan menciptakan
persoalan ketenagakerjaan yaitu pengangguran.
Bab ini menyajikan gambaran umum mengenai keadaan angkatan kerja di Jawa
Tengah. Beberapa indikator yang dianalisa mencakup Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja
(TPAK), Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT), penduduk bekerja dan pekerja anak. Sumber
data penghitungan indikator ini diperoleh dari Survei Angkatan Kerja Nasional (SAKERNAS).
TINGKAT PARTISIPASI ANGKATAN KERJA (TPAK) DAN TINGKAT PENGANGGURAN
TERBUKA (TPT)

Keterlibatan penduduk yang aktif dalam kegiatan


ekonomi diukur dari banyaknya penduduk usia kerja (15 tahun ke TPAK tidak
atas) yang masuk dalam pasar kerja, baik mereka yang statusnya dapat
bekerja atau yang sedang mencari pekerjaan (menganggur). menggambarkan
baik buruknya
Indikator yang digunakan untuk mengukur besaran tersebut
kondisi
adalah Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK). TPAK
ketenagakerjaan
memberikan gambaran tentang penduduk yang aktif secara di suatu wilayah
ekonomi. Indikator ini diperoleh dari perbandingan angkatan

id
kerja terhadap penduduk usia kerja.

o.
Selain TPAK, dalam analisis angkatan kerja juga dikenal indikator yang digunakan

g
s.
untuk mengukur pengangguran yaitu Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT). Pengangguran
bp
Terbuka didefinisikan sebagai orang yang sedang mencari pekerjaan atau yang sedang
g.

mempersiapkan usaha atau juga yang tidak mencari pekerjaan karena merasa tidak
en

mungkin lagi mendapatkan pekerjaan, termasuk juga mereka yang baru mendapatkan
pekerjaan tetapi belum mulai bekerja. Pengangguran Terbuka tidak termasuk orang yang
at
//j

masih sekolah atau mengurus rumah tangga, sehingga hanya orang yang termasuk angkatan
s:

kerja saja yang merupakan pengangguran terbuka. TPT dihitung dari perbandingan antara
tp

banyaknya jumlah pengangguran dengan jumlah angkatan kerja.


ht

Tabel 4.1 Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja dan Tingkat Pengangguran Terbuka
Menurut Klasifikasi Daerah di Jawa Tengah, 2019-2021

Tingkat Partisipasi Tingkat Pengangguran


Klasifikasi Daerah Angkatan Kerja Terbuka
2019* 2020* 2021* 2019* 2020* 2021*
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7)
Perkotaan 68,59 68,60 69,46 5,09 7,73 7,06
Perdesaan 69,12 70,30 69,70 3,77 5,19 4,75
Total 68,85 69,43 69,58 4,44 6,48 5,95
Sumber: Diolah dari Hasil Sakernas, Agustus
Catatan: *) Data Hasil Backcasting SUPAS 2015

Berdasarkan hasil Sakernas dengan penimbang jumlah penduduk usia kerja hasil
proyeksi SUPAS 2015, TPAK di Jawa Tengah menunjukkan peningkatan selama periode 2019
sampai dengan 2021, terutama di daerah perkotaan. Analisis TPAK tanpa variabel lainnya
tidak akan menarik karena TPAK tidak dapat menggambarkan baik buruknya kondisi

36
ketenagakerjaan di suatu wilayah. TPAK yang besar belum menggambarkan kondisi
ketenagakerjaan yang baik. Jika besarnya TPAK berasal dari jumlah penduduk bekerja, maka
dapat menggambarkan kondisi ketenagakerjaan yang baik karena penyerapan tenaga kerja
tinggi, tetapi jika berasal dari yang menganggur justru akan menimbulkan persoalan
tersendiri.
Ditinjau menurut klasifikasi daerah, TPAK di daerah
Persoalan perdesaan cenderung lebih tinggi dibandingkan perkotaan,
ketenagakerjaan artinya penduduk di perdesaan lebih siap terlibat dalam kegiatan
Jawa Tengah ekonomi produktif. Kesiapan penduduk perdesaan dalam pasar
bukan pada tenaga kerja tidak terlepas dari minimnya fasilitas pendidikan
pengangguran tinggi. Minimnya fasilitas pendidikan tinggi membuat sebagian

id
(TPT= 5,95 penduduk perdesaan lebih memilih bekerja dibandingkan harus

o.
persen), namun pergi ke kota untuk mendapatkan pendidikan tinggi. Di sisi lain,

g
pada produktivitas
mudahnya persyaratan untuk masuk pasar tenaga kerja di
tenaga kerja s.
bp
perdesaan semakin menjadi daya tarik penduduk perdesaan
untuk masuk ke pasar tenaga kerja.
g.

TPT menggambarkan ketidakseimbangan antara ketersediaan lapangan pekerjaan


en

dan penduduk yang berusaha mendapatkan pekerjaan, dimana ketersediaan lapangan


at

pekerjaan lebih kecil dari pencari kerja sehingga tidak mampu menampung pencari kerja.
//j

Perkembangan TPT di Jawa Tengah selama tiga tahun terakhir berflutuasi. Peningkatan TPT
s:

terjadi dari tahun 2019 ke 2020, namun kemudian mengalami penurunan pada tahun 2021.
tp

Pada tahun 2019, TPT di Jawa Tengah tercatat sebesar 4,44 persen yang berarti bahwa dari
ht

100 angkatan kerja terdapat 4 orang lebih yang menganggur. Angka ini mengalami
peningkatan sebanyak 2,04 poin pada tahun 2020 menjadi 6,48 persen, akan tetapi
selanjutnya menurun 0,53 poin pada tahun 2021 menjadi 5,95 persen. Penurunan TPT pada
tahun 2021 menunjukkan mulai adanya perbaikan kondisi ketenagakerjaan pasca tingginya
kasus penularan Covid-19 pada tahun 2020.
Apabila dilihat menurut daerah tempat tinggal, gambaran TPT menurut daerah
perkotaan dan perdesaan menunjukkan bahwa pengangguran di perkotaan lebih tinggi
dibandingkan di perdesaan. Tingginya pengangguran di perkotaan tidak terlepas dari tingkat
pendidikan di perkotaan yang lebih tinggi dibandingkan perdesaan. Mereka yang
berpendidikan menengah ke atas memiliki kecenderungan lebih memilih-milih pekerjaan
dibandingkan yang berpendidikan rendah, sehingga setelah selesai sekolah mereka tidak
segera memperoleh pekerjaan. Berbeda dengan daerah perdesaan, mereka lebih dapat
menerima pekerjaan apa saja untuk menyambung hidupnya tanpa melihat apakah
pekerjaan tersebut dapat mencukupi kebutuhan atau tidak. Selain itu, perkotaan juga
dikenal sebagai pusat perindustrian. Walaupun lebih tinggi, TPT di daerah perkotaan
menurun hingga 0,67 poin dari 7,73 persen pada tahun 2020 menjadi 7,06 persen pada
tahun 2021, sementara di daerah perdesaan hanya menurun 0,44 poin yaitu dari 5,19
persen pada tahun 2020 menjadi 4,75 persen pada tahun 2021. Dapat dilihat bahwa
walaupun sama-sama menurun, penurunan di daerah perkotaan jauh lebih tinggi
dibandingkan daerah perdesaan.
Selanjutnya, apabila diperhatikan perkembangannya selama tiga tahun terakhir, TPT
di daerah perdesaan lebih rendah dibanding perkotaan. Data ini memberikan gambaran
yang positif karena kantong kemiskinan di Jawa Tengah sebagian besar di daerah
perdesaan. Rendahnya pengangguran di daerah perdesaan merupakan peluang untuk
pengentasan kemiskinan. Tantangannya adalah bagaimana agar pekerjaan yang tersedia di

id
daerah perdesaan dapat menghasilkan produktivitas yang tinggi, sehingga mampu

o.
memberikan perbaikan penghidupan dan mengurangi tingkat kemiskinan.

g
Pendidikan yang tinggi merupakan jembatan untuk
TPT menurut s.
bp
memperoleh pekerjaan yang layak dengan pendapatan besar.
tingkat Hampir semua orang berkeinginan bekerja dengan penghasilan
g.

pendidikan yang tinggi, untuk itu mereka berupaya untuk memperoleh


en

banyak dijumpai
pendidikan tinggi. Semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang
pada pendidikan
at

akan berdampak pada tingginya harapan dan kesempatan untuk


menengah atas.
//j

mendapatkan pekerjaan yang sesuai dengan tingkat


s:

pendidikannya. Namun, keterbatasan lapangan kerja yang tersedia


tp

menyebabkan mereka tidak terserap pada lapangan usaha yang sesuai dengan tingkat
ht

pendidikan dan keahliannya. Sebagian besar dari mereka yang merupakan lulusan
pendidikan tinggi enggan menerima pekerjaan yang tidak sesuai dengan jenis keahlian dan
jenjang pendidikan yang telah ia tamatkan. Sehingga sebagian dari mereka yang tidak
segera mendapatkan pekerjaan lebih memilih menunggu pekerjaan yang sesuai, atau
dengan kata lain menjadi penganggur untuk sementara waktu.
Perkembangan TPT menurut jenjang pendidikan selama periode 2019-2021
memiliki disparitas yang berbeda-beda. Pada tahun 2019, TPT menurut pendidikan
terdistribusi antara 1,80 persen sampai 9,92 persen, kemudian melebar pada tahun 2020
yang terdistribusi antara 3,18 persen sampai 13,20 persen. Akan tetapi pada tahun 2021,
disparitas TPT menurut jenjang pendidikan menyempit kembali yaitu antara 2,88 persen
sampai 10,00 persen.

38
Tabel 4.2 Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) Menurut Tingkat Pendidikan di Jawa Tengah,
2019-2021

Pendidikan Tertinggi Perkotaan Perdesaan Total


yang Ditamatkan
2019* 2020* 2021* 2019* 2020* 2021* 2019* 2020* 2021*
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9) (10)
Tidak/Belum Tamat SD 2,91 4,62 4,74 1,00 2,11 1,49 1,80 3,18 2,88
SD 3,15 5,45 5,80 1,63 2,88 2,90 2,25 3,91 4,10
SMP 5,11 7,18 8,43 4,19 5,65 5,34 4,64 6,40 6,87
SMA 5,99 8,91 7,62 6,68 7,61 6,85 6,26 8,41 7,32
SMK 8,95 13,01 9,05 11,51 13,52 11,56 9,92 13,20 10,00
Diploma I/II/III dan

id
3,03 6,49 5,68 4,94 6,39 5,61 3,59 6,46 5,66
Akademi

o.
Universitas 5,41 7,12 5,88 5,49 6,76 5,03 5,44 7,01 5,62

g
Sumber: Diolah dari Hasil Sakernas, Agustus
s.
bp
Catatan: *) Data Hasil Backcasting SUPAS 2015
g.

Melihat struktur TPT menurut tingkat pendidikan, terdapat kecenderungan TPT


en

lebih tinggi untuk tingkat pendidikan menengah tinggi. Di sisi lain, hampir semua angkatan
at

kerja pada tingkat pendidikan rendah dan yang belum pernah bersekolah dapat tertampung
//j

di lapangan pekerjaan dengan segala kondisi dan jenis pekerjaan. TPT tertinggi yaitu di atas
s:

9 persen berada pada jenjang pendidikan SMK, sementara TPT pada tingkat pendidikan SMA
tp

sedikit lebih rendah dibandingkan pada jenjang SMK tetapi lebih


ht

Penduduk tinggi dibandingkan jenjang perguruan tinggi. Hal ini disebabkan


perdesaan jumlah tamatan perguruan tinggi tidak sebanyak SMA sehingga
cenderung sebagian besar lulusan perguruan tinggi masih cukup tertampung
bersedia bekerja
pada lapangan pekerjaan yang ada.
apa saja, sehingga
Jika diamati berdasarkan daerah tempat tinggal, daerah
mendorong TPT
perdesaan lebih perdesaan memiliki disparitas yang cukup tinggi dibandingkan
rendah dari perkotaan. Pada daerah perdesaan, orang yang memiliki
perkotaan. pendidikan rendah jarang dijumpai sedang menganggur. Mereka
cenderung lebih bisa menerima pekerjaan apa saja, yang penting
bisa mencari nafkah untuk menyambung hidup. Sebaliknya, mereka yang berpendidikkan
tinggi lebih sulit untuk memperoleh pekerjaan di perdesaan dibandingkan daerah
perkotaan. Selain lapangan pekerjaan dengan kualifikasi pendidikan tinggi sulit dijumpai,
mereka yang berpendidikan tinggi juga cenderung memilih-milih pekerjaan yang sesuai
dengan pendidikannya.
LAPANGAN PEKERJAAN DAN STATUS PEKERJAAN

Distribusi penduduk yang bekerja menurut lapangan usaha merupakan salah satu
ukuran untuk melihat potensi ekonomi dalam penyerapan tenaga kerja. Ukuran ini
memberikan gambaran sektor mana yang dominan menyerap tenaga kerja dan sebaliknya.
Distribusi penduduk yang bekerja menurut lapangan usaha pada publikasi ini
dikelompokkan menjadi 3 sektor lapangan usaha yaitu primer (pertanian, kehutanan dan
perikanan serta pertambangan dan penggalian), sekunder (industri pengolahan; pengadaan
listrik, gas; pengadaan air serta konstruksi), dan tersier (perdagangan besar dan eceran dan
reparasi mobil dan sepeda motor; transportasi dan pergudangan; penyediaan akomodasi
dan makan minum; informasi dan komunikasi; jasa keuangan; real estat; jasa perusahaan;

id
administrasi pemerintahan, pertahanan dan jaminan sosial wajib; jasa pendidikan; jasa

o.
kesehatan dan kegiatan sosial serta jasa lainnya).

g
s.
Melihat perkembangan lapangan usaha selama 2019-2021, persentase penduduk
bp
yang bekerja pada sektor primer mengalami peningkatan dari 23,24 persen pada tahun
g.

2019 menjadi 26,28 persen pada tahun 2020, sebelum selanjutnya menurun menjadi 24,32
en

persen pada tahun 2021. Sebelum 2021, lapangan usaha pertanian yang memiliki porsi
terbesar pada sektor primer semakin lama kekuatannya dalam menyerap tenaga kerja
at
//j

semakin melemah. Ketergantungan pertanian terhadap kondisi iklim menjadi salah satu
s:

penyebab lapangan usaha ini kurang diminati oleh para pekerja milenial, akibatnya
tp

penyerapan tenaga kerja di lapangan usaha ini semakin


ht

menurun. Kondisi sebaliknya terjadi pada sektor sekunder dan


Pergeseran daerah
tersier, semakin lama sektor tersier menjadi penyerap tenaga
agraris ke daerah
industri dan jasa di kerja terbesar di Jawa Tengah karena setiap tahunnya
Jawa Tengah, cenderung mengalami peningkatan. Akan tetapi, sejak pandemi
semakin nampak Covid-19 melanda pada awal tahun 2020, pola yang terbentuk
dari serapan tenaga sebelumnya mulai mengalami perubahan. Sektor tersier yang
kerja menurut sektor sebagian besar mengandalkan sumber daya manusia terpaksa
harus menarik tuas remnya dan memperlambat proses
produksinya untuk menghambat penyebaran Covid-19. Salah
satu lapangan usaha yang paling terdampak adalah Transportasi dan Pergudangan yang
terpaksa harus menghentikan beberapa kegiatannya karena terbentur kebijakan
pemerintah dalam meminimalisir mobilitas penduduknya. Pandemi Covid-19 menyebabkan
persentase penduduk yang bekerja pada sektor tersier mengalami penurunan drastis
sebesar 9,59 poin dari 53,52 persen pada tahun 2019 menjadi hanya 43,93 persen pada
tahun 2020. Penurunan pada sektor tersier diikuti oleh peningkatan persentase penduduk

40
yang bekerja pada sektor primer dan sektor sekunder. Persentase penduduk yang bekerja
pada sektor primer mengalami peningkatan 3,04 poin menjadi 26,28 persen pada tahun
2020, sementara pada sektor sekunder meningkat 6,55 poin menjadi 29,79 persen.
Sementara itu, terdapat perbedaan kondisi pada tahun 2021. Persentase penduduk
yang bekerja pada sektor primer mengalami penurunan sebesar 1,96 poin menjadi 24,32
persen. Penurunan pada sektor primer diikuti dengan peningkatan pada sektor sekunder
dan sektor tersier. Sektor sekunder mengalami peningkatan persentase penduduk bekerja
sebesar 1,27 poin menjadi 31,06 persen dan pada sektor tersier meningkat 0,69 poin
menjadi 44,62 persen.

Tabel 4.3 Persentase Penduduk Berumur 15 Tahun ke Atas yang Bekerja Selama

id
Seminggu yang Lalu Menurut Sektor di Jawa Tengah, 2019-2021

o.
Perkotaan Perdesaan Total

g
Sektor
2019* 2020* 2021* 2019* 2020* 2021* 2019* 2020* 2021*
(1) (2) (3) (4) (5) s.
(6) (7) (8) (9) (10)
bp
Primer 10,81 13,67 12,71 35,86 38,88 36,45 23,24 26,28 24,32
g.
en

Sekunder 26,11 32,28 33,25 20,34 27,30 28,77 23,24 29,79 31,06
at

Tersier 63,08 54,05 54,04 43,80 33,82 34,78 53,52 43,93 44,62
//j

Sumber: Diolah dari Hasil Sakernas, Agustus


Catatan:
s:

*) Data Hasil Backcasting SUPAS 2015


tp

Sektor Primer meliputi Pertanian, Kehutanan dan Perikanan serta Pertambangan dan Penggalian.
Sektor Sekunder meliputi Industri Pengolahan; Pengadaan Listrik, Gas; Pengadaan Air; serta Bangunan.
ht

Sektor Tersier meliputi Perdagangan Besar dan Eceran, dan Reparasi Mobil dan Sepeda Motor; Transportasi dan
Pergudangan; Penyediaan Akomodasi dan Makan Minum; Informasi dan Komunikasi; Jasa Keuangan; Real Estat; Jasa
Perusahaan; Administrasi Pemerintahan, Pertahanan dan Jaminan Sosial Wajib; Jasa Pendidikan, Jasa Kesehatan dan
Kegitan Sosial serta Jasa Lainnya.

Jika diperhatikan menurut daerah, penyerapan tenaga kerja di perdesaan masih


didominasi oleh sektor primer karena sebagian besar lahan pertanian berada di perdesaan.
Meskipun persentase pekerja di sektor primer cenderung menunjukkan penurunan, akan
tetapi pada tahun 2020 persentasenya meningkat sebagai peralihan dari pekerja di sektor
tersier. Walaupun pada tahun 2021 mengalami penurunan 2,43 poin menjadi 36,45 persen.
Sementara itu, persentase pekerja di sektor sekunder masih menunjukkan peningkatan dari
tahun ke tahun. Hal ini tidak terlepas dari pusat industri yang mulai bergeser ke perdesaan
sehingga semakin mudah diakses oleh penduduk perdesaan.
Kepadatan penduduk di wilayah perkotaan yang lebih tinggi dibandingkan
perdesaan mendorong terjadinya persaingan dalam mempertahankan hidup. Hal tersebut
memberikan dampak positif pada perekonomian perkotaan misalnya menjadi lebih kreatif
dalam menciptakan lapangan usaha baru. Setelah beberapa tahun sebelumnya sektor
primer mulai ditinggalkan, sejak tahun 2019 sektor ini mulai kembali diminati. Persentase
penduduk yang bekerja di sektor primer meningkat dari 10,81 persen pada tahun 2019
menjadi 13,67 pada tahun 2020, tetapi kemudian menurun 0,96 poin menjadi 12,71 persen
pada tahun 2021. Kendala turunnya lahan pertanian mampu disiasati oleh petani milenial
yang mulai bermunculan dengan menerapkan sistem pertanian modern. Peningkatan minat
penduduk perkotaan pada sektor primer berasal dari sektor tersier yang mengalami
penurunan dari 63,08 persen pada tahun 2019 menjadi 54,04 persen pada tahun 2021.
Indikator untuk melihat gambaran tentang status/kedudukan pekerja dalam
aktivitas pekerjaan yang dijalani adalah distribusi tenaga kerja menurut status pekerjaan
utama. Berdasarkan status pekerjaan utama selama beberapa tahun terakhir, mayoritas

id
penduduk Jawa Tengah bekerja sebagai buruh/karyawan, disusul berusaha sendiri,

o.
selanjutnya berusaha dibantu pekerja tak dibayar pada urutan ketiga.

g
Perkembangan status pekerjaan mengalami fluktuasi
s. Pada tahun 2021
bp
selama periode 2019-2021, persentase buruh/karyawan
menurun dari 38,55 persen pada tahun 2019 menjadi 34,10 persentase pekerja
g.

keluarga di Jawa
persen pada tahun 2020, kemudian mengalami peningkatan
en

Tengah menurun
pada tahun 2021 menjadi 36,53 persen. Kondisi yang sama juga
yang berarti beban
at

terjadi pada penduduk yang berusaha sendiri, pada tahun 2019 tanggungan
//j

persentase penduduk berusaha sendiri sebesar 18,99 persen, keluarga di Jawa


s:

menurun menjadi 18,34 persen pada tahun 2020 dan kemudian Tengah ikut
tp

meningkat menjadi 19,79 persen pada tahun 2021. Akan tetapi, menurun
ht

kondisi yang berbeda terjadi pada penduduk yang berusaha


dibantu pekerja tak dibayar, pada tahun 2019 persentasenya mencapai 15,89 persen,
menigkat menjadi 17,51 persen pada tahun 2020 dan kemudian menurun pada tahun 2021
menjadi 15,33 persen. Menurunnya persentase penduduk yang berusaha dibantu pekerja
tak dibayar seiring dengan menurunnya persentase pekerja keluarga dari 14,04 persen pada
tahun 2020 menjadi 12,83 persen pada tahun 2021.
Peningkatan persentase penduduk yang bekerja sebagai buruh/karyawan pada
tahun 2021 diindikasi merupakan dampak dari mulai terkontrolnya penularan Covid-19 yang
membuat penduduk kembali mendapatkan mata pencahariannya karena pabrik-pabrik
kembali beroperasi dan membutuhkan tenaga kerja dalam proses produksi. Dengan
kembalinya penduduk bekerja sebagai buruh/karyawan, maka terjadi penurunan persentase
pada penduduk yang berusaha dibantu pekerja tak dibayar dan pekerja keluarga. Hal
tersebut merupakan sinyal positif bagi kondisi ketenagakerjaan di Jawa Tengah. Penduduk
yang berada pada kelompok tersebut menjadi beban tanggungan bagi keluarganya atau

42
orang lain karena belum mampu menciptakan nilai tambah ekonominya sendiri. Penurunan
pada kelompok ini menandakan adanya penurunan beban tanggungan bagi keluarga di Jawa
Tengah.

Tabel 4.4 Persentase Penduduk Berumur 15 Tahun ke Atas yang Bekerja


Selama Seminggu yang Lalu Menurut Status Pekerjaan di Jawa Tengah, 2019-2021

Perkotaan Perdesaan Total


Status Pekerjaan Utama
2019* 2020* 2021* 2019* 2020* 2021* 2019* 2020* 2021*
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9) (10)
Berusaha Sendiri 19,93 19,71 20,27 18,02 16,97 19,29 18,99 18,34 19,79
Berusaha Dibantu Pekerja Tak
11,75 12,67 11,33 20,09 22,34 19,52 15,89 17,51 15,33

id
Dibayar
Berusaha Dibantu Pekerja

o.
4,07 3,76 3,72 2,84 2,54 2,44 3,46 3,15 3,10
Tetap

g
Buruh/Karyawan 46,80 42,81 44,75 30,17 25,38 27,93 38,55 34,10 36,53
s.
bp
Pekerja Bebas Pertanian 2,55 3,09 2,67 5,91 6,18 5,49 4,22 4,64 4,05
Pekerja Bebas Non Pertanian 7,05 7,20 7,50 8,71 9,27 9,30 7,87 8,24 8,38
g.

Pekerja Keluarga 7,85 10,75 9,76 14,25 17,32 16,03 11,03 14,04 12,83
en

Jumlah 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00
at

Sumber: Diolah dari Hasil Sakernas, Agustus


//j

Catatan: *) Data Hasil Backcasting SUPAS 2015


s:

Jika dilihat dari status daerah, di daerah perkotaan status buruh/karyawan sangat
tp

mendominasi, persentasenya hampir separuh dari jumlah pekerja perkotaan. Selama tahun
ht

2019-2021 persentase buruh di perkotaan berfluktuasi dari 46,80 persen pada tahun 2019,
menurun menjadi 42,81 persen pada tahun 2020 dan kemudian meningkat menjadi 44,75
persen pada tahun 2021. Fluktuasi buruh/karyawan di perkotaan seiring dengan fluktuasi
penduduk yang berusaha sendiri. Pada tahun 2019 penduduk yang berusaha sendiri di
perkotaan sebesar 19,93 persen, turun menjadi 19,71 persen pada tahun 2020 dan
selanjutnya meningkat menjadi 20,27 persen pada tahun 2021. Peningkatan persentase
penduduk yang berusaha sendiri maupun menjadi buruh/karyawan seiring dengan
penurunan persentase penduduk yang berusaha dibantu pekerja tak dibayar dan pekerja
keluarga. Hal tersebut sama dengan yang terjadi secara keseluruhan.
Seperti halnya di perkotaan, komposisi status pekerjaan di perdesaan juga
didominasi oleh buruh atau karyawan meskipun tidak sebesar di perkotaan. Persentase
buruh dan berusaha sendiri juga memiliki pola yang sama dengan perkotaan yaitu turun
pada tahun 2020 dan kemudian meningkat pada tahun 2021. Persentase pekerja keluarga
dan berusaha dibantu pekerja tak dibayar pun memiliki pola yang sama dengan perkotaan
yaitu meningkat pada tahun 2020 dan selanjutnya menurun pada tahun 2021. Meskipun
memiliki pola yang sama, persentase pekerja keluarga di perdesaan pada tahun 2021
mencapai 16,03 persen atau hampir dua kali lipat lebih besar dibandingkan perkotaan yang
sebesar 9,76 persen. Hal tersebut menunjukkan bahwa ketergantungan penduduk yang
bekerja pada usaha keluarga lebih besar di daerah perdesaan dibandingkan perkotaan.
Ketergantungan penduduk tersebut tidak terlepas dari keterbatasan pendidikan,
kemampuan, dan wawasan penduduk perdesaan sehingga kurang mampu masuk dalam
pasar tenaga kerja sebagai buruh bahkan kurang mampu untuk menciptakan lapangan kerja
sendiri.

JUMLAH JAM KERJA

id
o.
Dalam mengukur tingkat produktivitas tenaga kerja dapat dilakukan dengan

g
s.
berbagai cara, salah satunya dengan pendekatan jumlah jam kerja. Asumsi pendekatan ini
bp
adalah semakin besar jumlah jam kerja yang digunakan untuk bekerja maka semakin
g.

produktif. Jumlah jam kerja normal dalam seminggu adalah 35 jam. Jika seseorang selama
en

seminggu bekerja kurang dari 35 jam, maka dapat dikategorikan sebagai setengah
penganggur. Biasanya pekerja semacam ini memiliki pendapatan yang lebih rendah
at

dibandingkan kemampuannya. Dengan asumsi di atas, maka setengah penganggur memiliki


//j
s:

tingkat produktivitas yang lebih rendah dibandingkan dengan pekerja yang memiliki jam
tp

kerja normal.
ht

Melihat perkembangan penduduk bekerja menurut jam kerja selama 2019-2021,


persentase penduduk setengah penganggur cenderung berfluktuasi, dari 26,53 persen
pada tahun 2019 naik menjadi 33,25 persen pada tahun 2020, kemudian menurun menjadi
31,73 persen tahun 2021. Meningkatnya persentase penduduk setengah pengangguran
dengan sendirinya akan mengakibatkan persentase pekerja yang bekerja sesuai jam kerja
normal semakin menurun. Secara umum dengan menurunnya persentase penduduk yang
bekerja sesuai dengan jam kerja normal maka akan mengakibatkan turunnya tingkat
produktivitas dari penduduk yang bekerja tersebut. Akan tetapi, kesimpulan tersebut
hanya dilihat dari sisi penggunaan waktu bekerjanya saja, masih diperlukan pengamatan
yang lebih lanjut terutama dari sisi nilai upah/gaji/pendapatan yang diterima.
Melihat perbandingan dari sisi klasifikasi daerahnya, persentase setengah
penganggur lebih banyak dijumpai di daerah perdesaan daripada perkotaan. Pada tahun
2021, persentase setengah penganggur di daerah perdesaan mencapai 35,38 persen atau
7,13 poin lebih tinggi dari daerah perkotaan yang hanya mencapai 28,25 persen. Hal ini
dapat dipahami, mengingat sebagian besar lapangan pekerjaan di perdesaan adalah

44
pertanian yang tidak menggunakan waktu terlalu banyak. Penggunaan waktu di bidang
pertanian dibutuhkan pada awal-awal usaha dan saat panen, selebihnya pekerja dapat
melakukan pekerjaan di luar pertanian.

Tabel 4.5 Persentase Penduduk Usia 15 Tahun Ke Atas yang Bekerja Kurang Dari 35 Jam Seminggu
Menurut Jumlah Jam Kerja Seluruhnya Selama Seminggu dan Klasifikasi Daerah di Jawa Tengah,
2019-2021 (%)
**)
0 Jam 1 – 14 Jam 1 – 34 Jam
Klasifikasi Daerah
2019* 2020* 2021* 2019* 2020* 2021* 2019* 2020* 2021*
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9) (10)
Perkotaan 2,60 3,71 3,72 5,88 8,26 7,64 22,17 29,12 28,25

id
Perdesaan 2,56 3,08 3,11 8,23 10,78 10,35 30,96 37,37 35,38

o.
Total 2,58 3,40 3,42 7,05 9,52 8,96 26,53 33,25 31,73
Sumber: Diolah dari Hasil Sakernas, Agustus

g
Catatan: *) Data Hasil Backcasting SUPAS 2015
s.
**) Jumlah jam kerja penduduk yang mempunyai pekerjaan/usaha tetapi selama seminggu yang lalu tidak bekerja
bp
karena sesuatu sebab seperti sakit, cuti, menunggu panen atau mogok kerja
g.
en

PEKERJA ANAK
at
//j

Pekerja anak adalah istilah untuk penduduk usia 10-17


s:

Berlakunya undang-
tahun yang bekerja atau memiliki pekerjaan namun sementara
tp

undang perlindungan
tidak bekerja. Istilah pekerja anak dapat memiliki konotasi anak, belum mampu
ht

pengeksploitasian anak kecil atas tenaga mereka, dengan gaji menghindarkan anak
yang kecil atau pertimbangan bagi perkembangan kepribadian, dari dunia kerja.
keamanan, kesehatan, dan prospek masa depan mereka. Faktor kemiskinan
Keterlibatan anak dalam dunia kerja disebabkan oleh yang menjadi
beberapa faktor, yaitu dari dalam diri anak sendiri maupun pemicu utama.
karena pengaruh lingkungan terdekat. Selain itu keterlibatan
anak dalam dunia kerja juga disebabkan karena faktor ekonomi, sosial, budaya, dan faktor-
faktor lain. Dari faktor ekonomi, kemiskinan merupakan salah satu penyebab utama
timbulnya pekerja anak. Penghasilan orang tua yang rendah menyebabkan
ketidakmampuan dalam memenuhi kebutuhan pokok. Kondisi ini mendorong anak terpaksa
mengikuti jejak orang tuanya untuk bekerja meskipun tanpa mempunyai bekal ketrampilan.
Faktor budaya yang menyebabkan anak bekerja adalah adanya pandangan dari
sebagian masyarakat yang lebih menghargai anak yang bekerja. Mereka menganggap
bahwa anak yang bekerja adalah anak yang berbakti dan dapat mengangkat harkat dan
martabat orang tua.
Selain faktor budaya, tingkat pendidikan orang tua yang rendah berakibat pada
pikiran yang sempit, sehingga mereka tidak memperhitungkan manfaat sekolah yang lebih
tinggi bagi peningkatan kesejahteraan anak di masa datang. Faktor lain yang menjadi
penyebab munculnya pekerja anak adalah tersedianya lahan pekerjaan yang dapat
dikerjakan dan dimasuki oleh anak. Hal tersebut ditambah dengan masih adanya pelaku
usaha yang menerapkan pola perekrutan untuk memperoleh tenaga yang murah dan
mudah diatur, turut mendorong adanya pekerja anak.

Tabel 4.6 Persentase Pekerja Anak Usia 10 - 17 Tahun di Jawa Tengah, 2017 – 2021 (%)

Tahun Perkotaan Perdesaan Laki-laki Perempuan Total

id
o.
(1) (2) (3) (4) (5) (6)
2017 5,33 6,26 6,64 4,88 5,79

g
2018 4,27 5,53
s.
5,49 4,28 4,90
bp
2019 4,92 4,62 5,24 4,28 4,77
2020 7,09 8,28 7,40 7,96 7,67
g.

2021 6,54 6,85 6,60 6,79 6,69


en

Sumber: Diolah dari Hasil Sakernas, Agustus


at

Menurut WHO, usia seseorang yang dikategorikan anak adalah di bawah 18 tahun
//j

(0-17 tahun). Namun data yang tersedia dari Sakernas adalah anak usia 10 tahun ke atas,
s:

sehingga yang akan dicakup dalam penyajian informasi pekerja anak adalah anak dengan
tp

rentang usia 10-17 tahun. Selama kurun waktu 5 tahun (2017-2021), persentase pekerja
ht

anak mengalami fluktuasi namun cenderung menurun selama periode 2017-2019 sebelum
akhirnya menunjukkan peningkatan pada tahun 2020. Terdapat 6,69 persen pekerja anak
pada tahun 2021, angka tersebut merupakan pencapaian tertinggi kedua di Jawa Tengah
dalam lima tahun terakhir. Capaian tersebut menurun 0,98 poin dari capaian tahun 2020
yang mencapai 7,67 persen. Pandemi Covid-19 yang menyebabkan terjadinya PHK di
berbagai lapangan usaha diduga menjadi salah satu pendorong dalam mempekerjakan anak
di bawah umur untuk membantu perekonomian keluarga, selain juga sebagai sumber
tenaga kerja pengganti bagi berbagai usaha yang mencari tenaga kerja yang murah. Adanya
penurunan persentase pekerja anak pada tahun 2021 seiring dengan perbaikan kondisi
perekonomian karena pandemi Covid-19 mulai terkendali.
Berdasarkan daerah tempat tinggal, persentase perkerja anak di perdesaan dan
perkotaan tidak berbeda terlalu jauh. Tahun 2021 persentase pekerja anak di perdesaan
sebesar 6,85 persen atau 0,31 poin lebih tinggi dibandingkan pekerja anak di perkotaan
yang sebesar 6,54 persen. Pola pekerja anak di perkotaan dan perdesaan juga tidak dapat

46
ditentukan mana yang lebih besar karena persentase yang lebih tinggi berubah setiap
tahun. Hal tersebut menunjukkan bahwa masalah pekerja anak memang menjadi masalah
bersama yang menjadi beban baik di perkotaan maupun perdesaan, terlepas dari
perbedaan tingkat pendidikan maupun tingkat kemiskinan.
Berbeda dengan daerah tempat tinggal, pola pekerja anak menurut jenis kelamin
lebih terlihat dengan jelas. Dari tahun ke tahun jumlah pekerja anak laki-laki cenderung
lebih tinggi dibandingkan perempuan. Tingginya jumlah pekerja anak laki-laki tidak terlepas
dari faktor budaya masyarakat Jawa yang menempatkan laki-laki sebagai tulang punggung
keluarga dalam mencari nafkah dan memberikan tanggung jawab anak laki-laki untuk
membantu mencari nafkah. Namun, pada tahun 2020 hal tersebut tidak berlaku kembali
dikarenakan adanya pergeseran posisi. Persentase pekerja anak laki-laki pada tahun 2020

id
mencapai 7,40 persen atau lebih rendah 0,56 poin dari persentase pekerja anak perempuan

o.
yang mencapai 7,96 persen. Sementara pada tahun 2021, walaupun persentase keduanya

g
mengalami penurunan, persentase pekerja anak perempuan masih lebih tinggi dari pekerja
s.
bp
anak- laki-laki. Persentase pekerja anak laki-laki pada tahun 2021 mencapai 6,60 persen
atau lebih rendah 0,19 poin dari persentase pekerja anak perempuan yang mencapai 6,79
g.

persen. Pergeseran ini dimungkinkan karena pekerja anak perempuan dipandang lebih
en

mudah direkrut dengan upah yang lebih rendah dibandingkan pekerja anak laki-laki.
at
//j

Tabel 4.7 Persentase Pekerja Anak Menurut Sektor di Jawa Tengah, 2019 – 2021 (%)
s:
tp

Perkotaan Perdesaan Total


Sektor
ht

2019* 2020* 2021* 2019* 2020* 2021* 2019* 2020* 2021*


(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9) (10)
Primer 3,49 8,45 7,52 24,20 31,61 27,18 13,43 20,73 17,36
Sekunder 29,87 23,06 20,92 18,55 14,92 23,36 24,44 18,75 22,14
Tersier 66,64 68,49 71,56 57,25 53,47 49,47 62,13 60,53 60,50
Sumber: Diolah dari Hasil Sakernas
Catatan:
*) Data Hasil Backcasting SUPAS 2015
Sektor Primer meliputi Pertanian, Kehutanan dan Perikanan serta Pertambangan dan Penggalian.
Sektor Sekunder meliputi Industri Pengolahan; Pengadaan Listrik, Gas; Pengadaan Air; serta Bangunan.
Sektor Tersier meliputi Perdagangan Besar dan Eceran, dan Reparasi Mobil dan Sepeda Motor; Transportasi dan
Pergudangan; Penyediaan Akomodasi dan Makan Minum; Informasi dan Komunikasi; Jasa Keuangan; Real Estat; Jasa
Perusahaan; Administrasi Pemerintahan, Pertahanan dan Jaminan Sosial Wajib; Jasa Pendidikan, Jasa Kesehatan dan
Kegitan Sosial serta Jasa Lainnya.

Berdasarkan lapangan usaha, pada tahun 2021 sebagian besar pekerja anak yang
bekerja pada sektor tersier mencapai 60,50 persen, disusul sektor sekunder sebesar 22,14
persen dan sektor primer sebesar 17,36 persen. Selama tahun 2019-2021, peningkatan
hanya terjadi pada persentase pekerja anak yang bekerja pada sektor sekunder. Sementara
yang bekerja pada sektor primer dan tersier mengalami penurunan. Tercatat bahwa
pekerja anak pada sektor sekunder mengalami peningkatan 3,39 poin dibandingkan tahun
2020 menjadi 22,14 persen. Sedangkan yang bekerja pada sektor primer dan tersier
masing-masing menurun 3,37 poin dan 0,03 poin menjadi 17,36 persen dan 60,50 persen
dibandingkan tahun 2020.
Apabila diamati lebih lanjut, lebih dari 60 persen pekerja anak di perkotaan bekerja
pada sektor tersier, sementara pekerja anak yang bekerja di sektor primer tidak lebih dari
10 persen. Sementara di perdesaan, pola lapangan usaha yang menyerap lebih banyak
pekerja anak memiliki komposisi yang sedikit berbeda. Persentase pekerja anak di
perdesaan sama-sama didominasi oleh sektor tersier dengan serapan mencapai 49,47

id
persen pada tahun 2021, mengalami penurunan dari tahun 2020 yang mencapai 53,47

o.
persen. Akan tetapi, berbeda dengan perkotaan, sektor primer menjadi sektor dominan

g
kedua dengan serapan mencapai 27,18 persen. Gambaran yang terjadi pada pekerja anak
s.
bp
tidak berbeda jauh dengan gambaran tenaga kerja secara umum atau dengan kata lain
seorang anak biasanya akan mengikuti jejak dimana orang tuanya bekerja.
g.
en
at
//j
s:
tp
ht

48
Bab 5.
TARAF & POLA KONSUMSI
Pola konsumsi rumah tangga merupakan salah satu indikator kesejahteraan rumah
tangga/keluarga. Selama ini berkembang pengertian bahwa besar kecilnya proporsi
pengeluaran untuk konsumsi makanan terhadap seluruh pengeluaran rumah tangga dapat
memberikan gambaran kesejahteraan rumah tangga tersebut. Rumah tangga dengan
proporsi pengeluaran yang lebih besar untuk konsumsi makanan mengindikasikan rumah
tangga tersebut berpenghasilan rendah. Makin tinggi penghasilan rumah tangga, maka
makin kecil proporsi pengeluaran untuk makanan terhadap seluruh pengeluaran rumah

id
tangga. Dengan kata lain rumah tangga dikatakan sejahtera bila persentase pengeluaran

o.
untuk makanan jauh lebih kecil dibandingkan persentase pengeluaran untuk non-makanan.

g
PENGELUARAN RUMAH TANGGA s.
bp
g.

Pengeluaran rumah tangga dibedakan menurut kelompok makanan dan bukan


en

makanan. Perubahan pendapatan seseorang akan berpengaruh pada pergeseran pola


at

pengeluaran. Semakin tinggi pendapatan, cenderung akan semakin tinggi pengeluaran


//j

untuk bukan makanan. Pergeseran pola pengeluaran terjadi karena elastisitas permintaan
s:

terhadap makanan pada umumnya rendah, sebaliknya elastisitas permintaan terhadap


tp

barang bukan makanan pada umumnya tinggi. Keadaan ini jelas terlihat pada kelompok
ht

penduduk yang tingkat konsumsi makanannya sudah mencapai titik jenuh, sehingga
peningkatan pendapatan akan digunakan untuk memenuhi kebutuhan bukan makanan atau
ditabung. Dengan demikian, pola pengeluaran dapat digunakan sebagai salah satu alat
untuk mengukur tingkat kesejahteraan penduduk, dimana perubahan komposisinya
digunakan sebagai petunjuk perubahan tingkat kesejahteraan.
Tabel 5.1 menyajikan data pengeluaran rata-rata perkapita sebulan untuk makanan
dan bukan makanan tahun 2020 dan 2021. Dari tabel tersebut
terlihat bahwa terjadi peningkatan rata-rata pengeluaran Peningkatan
perkapita penduduk per bulan sebesar 2,96 persen atau pengeluaran
meningkat Rp30.122,00 dari Rp1.018.487,00 pada tahun 2020 bukan makanan
menjadi Rp1.048.609,00 pada tahun 2021. Peningkatan seiring dengan
pengeluaran tersebut terjadi baik pada pengeluaran makanan peningkatan
maupun bukan makanan. pendapatan
Tabel 5.1 Rata-rata Pengeluaran Perkapita Menurut Jenis Pengeluaran di Jawa Tengah,
2020-2021

Pengeluaran Rata-Rata Perkapita Sebulan


Jenis Pengeluaran Nominal (Rp) Persentase
2020 2021 2020 2021
(1) (2) (3) (4) (5)

Makanan 496 173 519 009 48,72 49,50

Bukan Makanan 522 314 529 600 51,28 50,50

- Perumahan 232 303 249 842 22,81 23,83

- Barang dan Jasa 136 351 136 948 13,39 13,06

id
o.
- Pakaian 29 147 24 522 2,86 2,34

g
- Barang Tahan Lama 64 189
s.
60 774 6,30 5,80
bp
- Lainnya 60 324 57 514 5,92 5,48
g.
en

Jumlah 1 018 487 1 048 609 100,00 100,00


Sumber: Publikasi Pengeluaran untuk Konsumsi Penduduk Jawa Tengah 2021
at
//j

Apabila dilihat dari komposisi pengeluarannya, terjadi peningkatan proporsi


s:

pengeluaran makanan sebesar 0,78 poin yaitu dari 48,72 persen pada tahun 2020 menjadi
tp

49,50 persen pada tahun 2021. Sementara untuk proporsi pengeluaran bukan makanan
ht

menurun dari 51,28 persen pada tahun 2020 menjadi 50,50 persen pada tahun 2021.
Walaupun secara proporsi mengalami penurunan, pengeluaran rata-rata per kapita untuk
golongan makanan maupun bukan makanan menunjukkan peningkatan. Pada tahun 2020,
pengeluaran penduduk pada golongan makanan meningkat Rp26.752,00 (5,70 persen) per
bulan dari tahun sebelumnya, sementara pada tahun 2021 hanya meningkat Rp22.836,00
(4,60 persen) per bulan. Hal serupa terjadi pada pengeluaran bukan makanan. Pengeluaran
pada kelompok tersebut meningkat Rp35.332,00 per bulan (7,26 persen) dari tahun 2020,
sementara pada tahun 2021 hanya meningkat sebesar Rp7.286,00 (1,39 persen). Pandemi
Covid-19 diduga menyebabkan terjadinya panic buying di kalangan masyarakat. Kebijakan
Work From Home (WFH), School From Home (SFH), dan pembatasan perjalanan olej
pemerintah membuat masyarakat membeli bahan makanan maupun non makanan dalam
jumlah besar sebagai stok untuk beberapa waktu ke depan serta meminimalisir kuantitas
bepergian ke luar rumah.
Jika dilihat menurut daerah tempat tinggal, pada tahun 2021 rata-rata pengeluaran
makanan perkapita di daerah perkotaan lebih tinggi daripada perdesaan. Jika dilihat
menurut kelompok pengeluaran, rata-rata pengeluaran makanan per kapita pada kelompok
pengeluaran kuantil 3 dan 4 di perdesaan cenderung lebih tinggi daripada di perkotaan.
Selain itu, pada tahun 2021 juga terjadi peningkatan pengeluaran baik makanan maupun
bukan makanan di semua kelompok pengeluaran. Jika angka tersebut disandingkan maka
terlihat bahwa semakin tinggi kelompok pengeluaran maka proporsi pengeluaran bukan
makanan akan semakin tinggi pula. Hal ini membenarkan teori Ernest Engel bahwa dengan
semakin tingginya pendapatan maka akan meningkatkan pengeluaran bukan makanan.

Tabel 5.2 Rata-rata Pengeluaran untuk Makanan Perkapita Sebulan Menurut Kelompok

id
Pengeluaran dan Daerah Tempat Tinggal di Jawa Tengah, 2019-2020 (Rupiah)

g o.
Perkotaan Perdesaan Total
Kelompok
s.
bp
Pengeluaran
2020 2021 2020 2021 2020 2021
g.

(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7)


en

Kuintil 1 238 814 243 073 231 142 235 805 234 481 239 006
at

Kuintil 2 342 921 345 272 338 317 343 261 340 514 344 254
//j

Kuintil 3 438 140 445 496 448 568 461 765 443 373 453 628
s:
tp

Kuintil 4 595 954 601 143 618 165 625 881 607 406 613 243
ht

Kuintil 5 889 621 984 263 785 013 874 937 855 055 944 926

Total 534 297 556 031 456 030 479 367 496 173 519 009
Sumber: Diolah dari Hasil Susenas

Sama halnya dengan yang terjadi pada pengeluaran makanan, baik di perkotaan
maupun perdesaan terjadi peningkatan rata-rata pengeluaran bukan makanan perkapita.
Pada tahun 2020, pengeluaran non makanan penduduk perdesaan per bulan sebesar
Rp420.784,00 dan meningkat menjadi Rp422.937,00 pada tahun 2021. Sementara di
perkotaan, pengeluaran non makanan meningkat dari Rp618.738,00 pada tahun 2020
menjadi Rp629.213,00 pada tahun 2021.
Meskipun sama-sama mengalami peningkatan, akan tetapi peningkatan
pengeluaran bukan makanan di perdesaan secara agregat memiliki nilai yang lebih rendah
dari perkotaan. Peningkatan pengeluaran bukan makanan di perkotaan sebesar
Rp10.475,00, sedangkan di perdesaan hanya sebesar Rp2.153,00. Jika dilihat per kelompok
pengeluaran perkapita, terlihat pola yang sama antara perdesaan dan perkotaan yakni
semakin tinggi kelompok pengeluarannya maka peningkatan pengeluaran bukan
makanannya akan semakin tinggi pula.

Tabel 5.3 Rata-rata Pengeluaran untuk Bukan Makanan Perkapita Sebulan Menurut Kelompok
Pengeluaran dan Daerah Tempat Tinggal di Jawa Tengah, 2020-2021 (Rupiah)

Kelompok Perkotaan Perdesaan Total


Pengeluaran 2020 2021 2020 2021 2020 2021
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7)
Kuintil 1 141 552 146 153 144 699 146 820 143 329 146 526

Kuintil 2 225 982 232 911 224 391 230 493 225 150 231 687

id
o.
Kuintil 3 346 588 347 303 334 638 330 296 340 592 338 801

g
Kuintil 4 535 997 536 937 526 437 505 898 531 068 521 756
s.
bp
Kuintil 5 1 471 018 1 561 102 1 169 373 1 139 019 1 371 345 1 409 230
g.

Total 618 738 629 213 420 784 422 937 522 314 529 600
en

Sumber: Diolah dari Hasil Susenas


at

Peningkatan pendapatan idealnya diikuti dengan pemerataan pendapatan, karena


//j

pemerataan pendapatan merupakan salah satu strategi dan tujuan pembangunan nasional
s:
tp

Indonesia. Ketimpangan dalam menikmati hasil pembangunan di antara kelompok


ht

penduduk dikhawatirkan akan menimbulkan masalah sosial. Tidak tersedianya data


pendapatan menyebabkan penghitungan distribusi pendapatan menggunakan data
pengeluaran sebagai proxy pendapatan dengan asumsi bahwa semakin tinggi pendapatan
akan semakin tinggi pengeluaran. Walaupun dilakukan dengan menggunakan pendekatan
pengeluaran, paling tidak dapat digunakan sebagai petunjuk untuk melihat arah dari
perkembangan yang terjadi.
Salah satu indikator untuk mengukur tingkat pemerataan pendapatan penduduk
adalah dengan menggunakan kriteria Bank Dunia1. Menurut kriteria Bank Dunia penduduk
digolongkan menjadi tiga kelompok yaitu 40 persen penduduk berpendapatan rendah, 40
persen penduduk berpendapatan sedang dan 20 persen penduduk berpendapatan tinggi.

1
Tingkat ketimpangan pendapatan penduduk menurut kriteria Bank Dunia terpusat pada 40 persen penduduk
berpendapatan terendah. Tingkat ketimpangan pendapatan penduduk ini digambarkan oleh porsi pendapatan dari
kelompok pendapatan ini terhadap seluruh pendapatan penduduk, yang digolongkan sebagai berikut :
a. memperoleh < 12 persen, maka tingkat ketimpangan pendapatan dianggap tinggi,
b. memperoleh 12-17 persen, maka tingkat ketimpangan pendapatan dianggap sedang,
c. memperoleh > 17 persen, maka tingkat ketimpangan pendapatan dianggap rendah
Selain kriteria yang ditetapkan oleh Bank Dunia, ada juga indikator lain yang sering
digunakan yaitu Indeks Gini2.

Tabel 5.4 Distribusi Pendapatan Perkapita dan Indeks Gini di Jawa Tengah, 2018 - 2021

40% 40 % 20 %
Tahun Indeks Gini*
Terendah* Menengah* Tertinggi*
(1) (2) (3) (4) (5)
2019 18,71 37,63 43,66 0,361
2020 18,53 37,75 43,72 0,362

2021 18,34 36,76 44,90 0,372

id
o.
2022 18,51 35,91 45,58 0,374

g
Sumber: Beberapa Indikator Makro Sosial Ekonomi Provinsi Jawa Tengah edisi Oktober 2022
Catatan: *) Kondisi Maret Tiap Tahun
s.
bp
Berdasarkan kriteria Bank Dunia, terlihat bahwa distribusi pendapatan pada
g.

kelompok penduduk berpengeluaran rendah selama periode 2019-2022 cenderung


en

berfluktuasi. Pada tahun 2019, distribusi kelompok penduduk dengan pengeluaran


at

terendah mencapai 18,71 persen, menurun 0,2 poin menjadi 18,51 persen pada tahun
//j

2022. Hal yang sama juga terjadi pada kelompok penduduk pengeluaran menengah yang
s:

distribusi persentasenya mengalami penurunan 1,72 poin dari 37,63 persen pada tahun
tp

2019 menjadi 35,91 persen pada tahun 2022.


ht

Kondisi yang berbeda terjadi pada kelompok


penduduk pengeluaran tinggi yang secara umum
Pada tahun 2020,
Indeks Gini persentasenya mengalami peningkatan dibandingkan tahun
menunjukkan kondisi 2019. Persentase pengeluaran pada kelompok penduduk
yang stagnan berpengeluaran tinggi mengalami peningkatan dari 43,66
dibandingkan 2019.
persen pada tahun 2019 menjadi 45,58 persen pada tahun
Hal ini menunjukkan
tidak ada perubahan 2022 atau meningkat 1,92 poin. Menurunnya persentase
ketimpangan pengeluaran pada penduduk berpengeluaran terendah dan
pengeluaran antar meningkatnya persentase pengeluaran pada penduduk
kelompok.
berpengeluaran tertinggi mengindikasikan ketimpangan
pendapatan makin melebar.

2
Nilai dari Indeks Gini berkisar antara 0 dan 1. Semakin mendekati 0 dikatakan bahwa tingkat ketimpangan pengeluaran antar
kelompok pengeluaran semakin rendah, sebaliknya semakin mendekati 1 dikatakan bahwa tingkat ketimpangan pengeluaran
antar kelompok pengeluaran semakin tinggi
Sejalan dengan teori kriteria Bank Dunia, Indeks Gini juga menunjukan indikasi yang
sama. Pada tahun 2019, Indeks Gini tercatat 0,361 dan naik 0,013 poin pada tahun 2022
menjadi 0,374. Peningkatan Indeks Gini menjadi indikasi bahwa tingkat pengeluaran antar
kelompok pengeluaran di Jawa Tengah semakin melebar atau menunjukkan adanya
peningkatan ketimpangan. Indeks Gini yang menunjukkan peningkatan dari tahun ke tahun
di Jawa Tengah harus menjadi bahan perhatian bagi pemerintah daerah untuk dapat
dievaluasi lebih dalam serta sebagai dasar pembentukan kebijakan penurunan ketimpangan
pendapatan antar penduduknya.

KONSUMSI ENERGI DAN PROTEIN

id
Tingkat kecukupan gizi yang memenuhi konsumsi kalori dan protein merupakan

o.
salah satu indikator yang dapat digunakan untuk mengukur tingkat kesejahteraan

g
s.
penduduk. Jumlah konsumsi kalori dan protein dihitung berdasarkan jumlah dari hasil kali
bp
antara kuantitas setiap makanan yang dikonsumsi dengan
g.

besarnya kandungan kalori dan protein dalam setiap makanan Konsumsi protein
penduduk Jawa
en

tersebut. Angka Kecukupan Gizi (AKG) yang dianjurkan adalah


Tengah sudah
suatu kecukupan rata-rata zat gizi setiap hari bagi semua orang
at

memenuhi
menurut golongan umur, jenis kelamin, ukuran tubuh, aktivitas kecukupan protein
//j

yang disyaratkan
s:

tubuh untuk mencapai derajat kesehatan yang optimal.


Widya Karya
tp

Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 75 Tahun


Nasional Pangan
ht

2013 (Widya Karya Nasional Pangan dan Gizi XI tahun 2012), rata- dan Gizi
rata kecukupan energi dan protein bagi penduduk Indonesia
masing-masing sebesar 2150 kkal dan 57 gram protein.
Pada tahun 2021, rata-rata konsumsi kalori penduduk Jawa Tengah sebesar
2.072,28 kkal atau naik sebesar 17,85 kkal dibandingkan tahun sebelumnya. Peningkatan
tersebut menunjukkan bahwa konsumsi kalori per hari penduduk Jawa Tengah di tahun
2021 semakin mendekati syarat kecukupan gizi yang ditentukan. Sementara itu, rata-rata
konsumsi protein per kapita penduduk Jawa Tengah mengalami penurunan, yaitu dari 60,19
gram pada tahun 2020 menjadi 59,28 gram pada tahun 2021. Walau menunjukkan
penurunan, kondisi ini masih menunjukkan terpenuhinya kecukupan protein yang
disyaratkan oleh Widya Karya Nasional Pangan dan Gizi yaitu 57 gram perhari.
Apabila dibandingkan menurut daerah tempat tinggal, terlihat bahwa rata-rata
konsumsi kalori penduduk di perkotaan selama kurun waktu 2019-2021 cenderung
mengalami peningkatan, begitu pula di daerah perdesaan. Untuk daerah perkotaan,
konsumsi energi meningkat dari 2.029,43 kkal pada tahun 2019 menjadi 2.055,21 kkal pada
tahun 2021. Sedangkan di daerah perdesaan meningkat dari 2.062,67 kkal pada tahun 2019
menjadi 2.090,55 kkal pada tahun 2021. Walaupun sama-sama meningkat, konsumsi energi
di perdesaan lebih besar dibandingkan di perkotaan karena gaya hidup masyarakat
perdesaan yang menganut prinsip “sing penting wareg” dan tuntutan pekerjaan di
perdesaan yang membutuhkan tenaga lebih besar sehingga konsumsi akan sumber energi
menjadi besar.

Tabel 5.5 Konsumsi Energi dan Protein Perkapita Perhari Menurut Daerah Tempat Tinggal
di Jawa Tengah, 2019-2021

Tahun Perkotaan Perdesaan Total

id
(1) (2) (3) (4)

o.
Energi (kkal)

g
2019 2 029,43 2 062,67 2 045,63
2020 2 049,89
s.
2 059,23 2 054,43
bp
2021 2 055,21 2 090,55 2 072,28
Protein (gram)
g.

2019 61,19 58,33 59,80


en

2020 61,78 58,52 60,19


2021 60,42 58,07 59,28
at

Sumber: Buku Pengeluaran untuk Konsumsi Penduduk Jawa Tengah 2021


//j
s:
tp

Sedikit berbeda dengan pola konsumsi energi, secara


ht

umum rata-rata konsumsi protein di daerah perkotaan dan


Konsumsi energi perdesaan cenderung menurun. Konsumsi protein di daerah
perdesaan lebih
besar dibandingkan perkotaan mengalami penurunan dari 61,19 gram pada tahun
perkotaan, 2019 menjadi 60,42 gram pada tahun 2021. Begitu juga
sebaliknya konsumsi protein di daerah perdesaan yang menurun dari 58,33
konsumsi protein
perdesaan lebih gram pada tahun 2019 menjadi 58,07 gram pada tahun 2021.
kecil dibandingkan Apabila dibandingkan, penduduk perdesaan rata-rata
perkotaan. mengkonsumsi kalori lebih tinggi dari penduduk perkotaan,
sebaliknya penduduk perkotaan rata-rata mengkonsumsi
protein lebih tinggi dibandingkan penduduk perdesaan. Tingkat
pengetahuan yang lebih tinggi dan tingkat kesejahteraan yang lebih baik pada masyarakat
perkotaan menyebabkan mereka bisa memilih makanan yang lebih bergizi. Akan tetapi
secara umum konsumsi protein penduduk perkotaan maupun perdesaan telah memenuhi
syarat kecukupan gizi yang ditentukan.
ht
tp
s:
//j
at
en
g.
bp
s.
go.
id
Bab 6.
PERUMAHAN
Rumah dan kelengkapannya merupakan kebutuhan dasar dan juga merupakan
faktor penentu indikator kesejahteraan rakyat. Rumah mempunyai pengaruh terhadap
pembinaan watak dan kepribadian serta merupakan faktor penting terhadap produktivitas
kerja dan kreativitas kerja seseorang. Selain itu rumah juga mempunyai fungsi strategis
sebagai pusat pendidikan keluarga, persemaian budaya, dan peningkatan kualitas generasi
yang akan datang. Dengan meningkatnya kualitas kehidupan yang layak dan bermartabat
melalui pemenuhan kebutuhan tempat tinggal maka akan terwujud kesejahteraan rakyat.

id
Rumah juga merupakan sarana pengamanan dan pemberi ketenteraman hidup bagi

o.
manusia. Dalam fungsinya sebagai pengamanan diri bukan berarti menutup diri tetapi harus

g
membuka diri menyatu dengan lingkungannya. Kualitas lingkungan rumah tinggal
s.
mempengaruhi status kesehatan penghuninya. Kualitas rumah tinggal yang baik dalam
bp
lingkungan sehat, aman, lestari, dan berkelanjutan (Kepmen No.9 Tahun 1999) diartikan
g.

sebagai suatu kondisi rumah yang memenuhi standar minimal dari segi kesehatan, sosial,
en

budaya, ekonomi, dan kualitas teknis.


at

Undang-Undang No. 1 Tahun 2011 tentang perumahan dan pemukiman sebagai


//j

pengganti dari Undang-Undang No. 4 tahun 1992 mencantumkan bahwa salah satu tujuan
s:

diselenggarakannya perumahan dan kawasan permukiman yaitu untuk menjamin


tp

terwujudnya rumah yang layak huni dan terjangkau dalam lingkungan yang sehat, aman,
ht

serasi, teratur, terencana, terpadu, dan berkelanjutan. Definisi perumahan itu sendiri
merupakan kumpulan rumah sebagai bagian dari permukiman, baik perkotaan maupun
perdesaan yang dilengkapi dengan prasarana, sarana, dan fasilitas umum sebagai hasil
upaya pemenuhan rumah yang layak huni. Rumah selain sebagai tempat tinggal, juga dapat
menunjukkan status sosial seseorang. Status sosial seseorang berhubungan positif dengan
kualitas/kondisi rumah. Semakin tinggi status sosial seseorang semakin besar peluang untuk
memenuhi kebutuhan akan tempat tinggal dengan kualitas yang lebih baik.
Salah satu dari sekian banyak fasilitas yang dapat mencerminkan kesejahteraan
rumah tangga adalah kualitas material seperti jenis atap, dinding dan lantai terluas yang
digunakan, termasuk juga fasilitas penunjang lain yang meliputi luas lantai hunian, sumber
air minum, fasilitas tempat buang air besar, dan sumber penerangan. Kualitas perumahan
yang baik dan penggunaan fasilitas perumahan yang memadai akan memberikan
kenyamanan bagi penghuninya.
KUALITAS RUMAH TINGGAL

Rumah tinggal yang dikategorikan ke dalam rumah yang layak huni sebagai tempat
tinggal harus memenuhi beberapa kriteria, yaitu memiliki dinding terluas yang terbuat dari
tembok atau kayu, beratapkan beton, genteng, sirap, seng maupun asbes dan memiliki
lantai terluas bukan tanah. Berdasarkan data Susenas 2021, persentase rumah tangga yang
bertempat tinggal di rumah yang berlantaikan bukan tanah menunjukkan adanya
penurunan. Pada tahun 2021, rumah yang berlantaikan bukan tanah sebesar 88,89 persen
atau mengalami penurunan bila dibandingkan tahun sebelumnya yang sebesar 90,00
persen.
Dilihat menurut daerah tempat tinggal, persentase rumah tangga yang menghuni

id
rumah yang berlantaikan bukan tanah baik di perkotaan maupun perdesaan mengalami

o.
peningkatan pada tahun 2020, tetapi kemudian menurun pada tahun 2021. Namun jika

g
s.
dicermati lebih jauh terjadi disparitas yang cukup besar antara perkotaan dan perdesaan.
bp
Pada tahun 2019, persentase rumah tangga yang menghuni rumah yang berlantaikan bukan
g.

tanah di daerah perkotaan 10,82 persen lebih tinggi dibandingkan perdesaan. Meskipun
en

demikian, disparitasnya makin mengecil terlihat pada tahun 2021 perbedaannya menjadi
10,47 persen. Hal ini menunjukkan bahwa kualitas tempat tinggal di daerah perdesaan jauh
at

semakin membaik. Bukan hal yang mustahil beberapa tahun ke depan akan menyamai
//j
s:

daerah perkotaan.
tp

Tabel 6.1 Rumah Tangga Menurut Beberapa Indikator Kualitas Perumahan di Jawa Tengah,
ht

2019-2021

Indikator Kualitas Perkotaan Perdesaan Total


Perumahan 2019 2020 2021 2019 2020 2021 2019 2020 2021
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9) (10)
Lantai bukan tanah (%) 94,25 94,86 93,99 83,43 85,01 83,52 88,89 90,00 88,89
Atap beton, genteng,
99,78 99,83 99,73 99,73 99,81 99,82 99,76 99,83 99,77
seng dan asbes (%)
Dinding terluas tembok
97,5 98,35 98,26 95,26 96,53 96,84 96,39 97,46 97,57
dan kayu (%)
Sumber: Diolah dari Hasil Susenas

Indikator lain yang digunakan untuk melihat kualitas perumahan untuk rumah
tinggal adalah penggunaan atap dan dinding terluas. Berdasarkan hasil Susenas, setiap
tahunnya rumah tinggal dengan atap beton, genteng, seng dan asbes sudah lebih dari 99
persen. Bangunan rumah tinggal yang menggunakan dinding terluas berupa tembok dan
kayu juga sudah lebih dari 90 persen, bahkan mengalami peningkatan dari 96,39 persen
pada tahun 2019 menjadi 97,57 persen pada tahun 2021.
Luas lantai rumah seringkali dianggap sebagai gambaran untuk menilai kemampuan
sosial ekonomi masyarakat. Selain itu, luas lantai juga menentukan tingkat kesehatan
penghuninya. Luas lantai yang sempit dapat mengurangi konsumsi oksigen penghuni rumah
serta mempercepat proses penularan penyakit. Selama ini alat ukur yang dipakai adalah
luas lantai perkapita, yaitu rata-rata luas lantai untuk setiap anggota rumah tangga atau
dengan bahasa matematisnya adalah keseluruhan luas lantai dibagi total penduduk.
Menurut Kementerian Kesehatan, ukuran luas lantai yang ideal digunakan per
orang minimal adalah 8 meter persegi, sedangkan menurut World Health Organization
(WHO) serta American Public Health Association (APHA) yang telah disesuaikan dengan

id
kondisi di Indonesia, ukuran luas lantai yang ideal digunakan per orang minimal adalah 10

o.
meter persegi.

g
s.
Tabel 6.2 Persentase Rumah Tangga Menurut Luas Lantai Perkapita di Jawa Tengah,
bp
2019-2021 (%)
g.

Perkotaan Perdesaan Total


en

Luas Lantai Per


Kapita
at

2019 2020 2021 2019 2020 2021 2019 2020 2021


//j

(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9) (10)
s:

2
≤7,2 m 3,44 3,06 2,65 1,30 1,11 1,19 2,38 2,10 1,94
tp

7,3-9,9 m2 6,52 6,48 4,32 4,23 3,85 2,80 5,39 5,18 3,58
ht

≥10 m2 90,04 90,46 93,03 94,47 95,04 96,01 92,23 92,72 94,48
Sumber: Diolah dari Hasil Susenas

Berdasarkan klasifikasi yang ditentukan oleh WHO, lebih dari 90 persen rumah
tangga memiliki rumah dengan luas lantai perkapita minimal 10 m2. Selama tiga tahun
terakhir, persentase rumah tangga dengan luas lantai perkapita yang memenuhi standar
WHO cenderung meningkat dari 92,23 persen pada tahun 2019 naik menjadi 92,72 persen
pada tahun 2020 dan kemudian meningkat kembali pada tahun 2021 menjadi 94,48
persen. Trend peningkatan pada luas lantai per kapita yang lebih dari 10 m2 menunjukkan
indikasi bahwa kenaikan jumlah hunian mulai mengimbangi peningkatan jumlah penduduk
di Jawa Tengah secara bertahap. Jika dibandingkan berdasarkan daerah tempat tinggal,
persentase rumah tangga dengan luas lantai perkapita minimal 10 m2 di daerah perdesaan
lebih tinggi dari pada daerah perkotaan. Hal ini disebabkan karena harga jual maupun sewa
tanah dan bangunan di perdesaan lebih murah dibandingkan perkotaan, sehingga lebih
memungkinkan penduduk perdesaan untuk mendapatkan hunian dengan luas yang layak.
FASILITAS RUMAH TINGGAL

Kualitas dan kenyamanan rumah tinggal ditentukan oleh kelengkapan fasilitas suatu
rumah tinggal. Kelengkapan fasilitas tersebut adalah tersedianya air bersih, sanitasi yang
layak, serta penerangan yang baik. Air bersih merupakan kebutuhan yang sangat penting
bagi rumah tangga dalam kehidupan sehari-hari. Ketersediaan dalam jumlah yang cukup
terutama untuk keperluan minum dan masak merupakan tujuan dari program penyediaan
air bersih yang terus menerus diupayakan pemerintah.
Fasilitas perumahan yang penting lainnya adalah penerangan. Sumber penerangan
yang ideal adalah yang berasal dari listrik (PLN dan Non-PLN), karena cahaya listrik lebih
terang dibandingkan sumber penerangan lainnya. Berdasarkan hasil Susenas tahun 2021,

id
sebanyak 99,96 persen rumah tangga telah menikmati fasilitas penerangan listrik,

o.
meningkat jika dibandingkan dengan tahun 2019 (99,93 persen). Jika dilihat berdasarkan

g
s.
daerah tempat tinggal, pada tahun 2021 rumah tangga yang menggunakan listrik di
bp
perkotaan sebanyak 99,98 persen, sedikit lebih tinggi dari daerah perdesaan yang sebanyak
g.

99,93 persen.
en

Tabel 6.3 Persentase Rumah Tangga Menurut Beberapa Fasilitas Perumahan di Jawa Tengah,
at

2019-2021 (%)
//j
s:

Perkotaan Perdesaan Total


Fasilitas Perumahan
tp

2019 2020 2021 2019 2020 2021 2019 2020 2021


ht

(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9) (10)
Penerangan listrik 99,95 99,96 99,98 99,91 99,95 99,93 99,93 99,95 99,96
Air minum
52,67 53,07 51,34 31,08 33,70 29,58 41,98 43,52 40,72
kemasan/leding
Jamban sendiri
87,55 89,08 87,11 75,88 79,87 76,02 81,98 84,67 81,73
dengan septik tank
Sumber: Diolah dari Hasil Susenas

Pada tahun 2021, rumah tangga di Indonesia yang menggunakan air kemasan, air isi
ulang, dan air ledeng sebagai sumber air minum dan masak mencapai 40,72 persen.
Perbedaan yang sangat signifikan terjadi apabila dilihat menurut daerah tempat tinggalnya.
Pola penggunaan atau konsumsi air penduduk perkotaan sangat jauh berbeda dengan gaya
hidup penduduk yang tinggal di perdesaan. Hal ini terlihat dari persentase rumah tangga di
daerah perkotaan dalam mengkonsumsi air kemasan, air isi ulang dan air dari ledeng
mencapai 51,34 persen, sementara di perdesaan hanya 29,58 persen pada tahun 2021.
Penyediaan sarana jamban juga merupakan bagian dari usaha sanitasi yang cukup
penting peranannya. Jika ditinjau dari sudut kesehatan lingkungan, pembuangan kotoran
manusia yang tidak saniter akan mencemari lingkungan terutama tanah dan sumber air.
Selain itu juga menyebabkan berbagai macam penyakit seperti thypus, disentri, kolera, dan
sebagainya. Dalam usaha mencegah dan mengurangi kontaminasi terhadap lingkungan,
maka pembuangan kotoran manusia harus dikelola dengan baik sesuai dengan ketentuan
jamban yang sehat. Fasilitas rumah tinggal yang berkaitan dengan hal tersebut adalah
ketersediaan jamban sendiri dengan tangki septik.
Teknologi pembuangan kotoran manusia untuk daerah perdesaan berbeda dengan
teknologi jamban di daerah perkotaan. Selama tahun 2019-2021 persentase rumah tangga
yang memiliki jamban sendiri dengan septik tank menunjukkan adanya fluktuasi. Pada

id
tahun 2019, persentase rumah tangga yang telah menggunakan jamban sendiri dengan

o.
septik tank sebesar 81,98 persen, naik 2,69 poin menjadi 84,67 persen pada tahun 2020,

g
tetapi kemudian menunjukkan penurunan 2,94 poin pada tahun 2021 menjadi 81,73
s.
bp
persen. Walaupun menunjukkan penurunan pada tahun 2021, pola yang masih berfluktuasi
ini masih menjadi tantangan bagi pemerintah untuk meningkatkan kesadaran masyarakat
g.

baik di perkotaan maupun di perdesaan akan pentingnya kesehatan. Selain itu pemerintah
en

juga perlu memberi bantuan bagi masyarakat kurang mampu untuk bisa memiliki jamban
at

sendiri dengan septik tank.


//j
s:

STATUS KEPEMILIKAN RUMAH TINGGAL


tp
ht

Salah satu indikator yang digunakan untuk melihat tingkat kesejahteraan dan juga
peningkatan taraf hidup masyarakat adalah status kepemilikan rumah tinggal. Kondisi
ekonomi rumah tangga sangat berpengaruh terhadap kepemilikan rumah tinggal. Status
kepemilikan rumah tinggal yang dicakup di sini adalah rumah milik sendiri, kontrak, sewa,
bebas sewa, rumah dinas, rumah milik orang tua/saudara atau status kepemilikan lainnya.
Rumah tangga yang menempati rumah milik sendiri dapat dikatakan telah mampu
memenuhi kebutuhan akan tempat tinggal yang terjamin dan permanen dalam jangka
panjang.
Berdasarkan hasil Susenas 2021, rumah tangga yang menempati rumah milik sendiri
sebesar 89,92 persen, sisanya 10,08 persen adalah bukan milik sendiri. Rumah tangga yang
menempati rumah bukan milik sendiri terdiri dari 2,62 persen kontrak/sewa dan rumah
tangga yang tinggal dengan status bebas sewa/rumah dinas/lainnya sebesar 7,46 persen.
Apabila dilihat berdasarkan daerah tempat tinggalnya, kepemilikan rumah tinggal milik
sendiri di perkotaan jauh lebih rendah bila dibandingkan dengan perdesaan. Pada tahun
2021, persentase rumah tangga yang menempati rumah milik sendiri di perkotaan sebesar
84,87 persen atau lebih rendah 10,35 poin dari daerah perdesaan yang mencapai 95,22
persen. Hal ini dimungkinkan karena harga jual rumah dan tanah di daerah perkotaan lebih
mahal daripada di perdesaan sehingga banyak penduduk yang mengontrak, sewa atau
menempati rumah milik orang tua/saudara.

Tabel 6.4 Persentase Rumah Tangga Menurut Status Kepemilikan Rumah Tinggal di Jawa Tengah,
2019-2021 (%)

Perkotaan Perdesaan Total


Status Rumah Tinggal
2019 2020 2021 2019 2020 2021 2019 2020 2021

id
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9) (10)

o.
Milik Sendiri 83,21 84,02 84,87 94,99 94,52 95,22 89,04 89,20 89,92

g
Kontrak/Sewa 5,41 4,39 4,72 0,35 0,69 0,41 2,91 2,56 2,62
Bebas Sewa/ s.
bp
11,38 11,59 10,41 4,66 4,79 4,37 8,05 8,24 7,46
Dinas/Lainnya
g.

Sumber: Diolah dari Hasil Susenas


en
at
//j
s:
tp
ht
Bab 7.
KEMISKINAN
Pembangunan pada dasarnya bertujuan menciptakan kemakmuran dan
mengurangi kemiskinan. Kemiskinan merupakan ketidakmampuan seseorang untuk
memenuhi kebutuhan makanan dan bukan makanan yang diukur dari pengeluaran (BPS).
Kemiskinan merupakan masalah multidimensi, yang bukan hanya mencakup kondisi
ekonomi tetapi juga sosial, budaya, dan pollitik. Kemiskinan menjadi masalah utama yang
terjadi di setiap daerah, termasuk Jawa Tengah.
Kemiskinan di suatu wilayah dapat dijelaskan melalui beberapa indikator antara

id
lain jumlah penduduk miskin, persentase penduduk miskin, garis kemiskinan, indeks

o.
kedalaman kemiskinan, indeks keparahan kemiskinan, serta karakteristik penduduk miskin

g
itu sendiri berdasarkan fasilitas tempat tinggal, tingkat pendidikan, status pekerjaan, status
kesehatan dan lainnya. s.
bp
g.

PERKEMBANGAN PENDUDUK MISKIN


en
at

Selama periode 2019-2021, penduduk miskin di Jawa


//j

Menurunnya jumlah Tengah menunjukkan tren peningkatan baik dari sisi jumlah
s:

dan persentase
maupun persentase. Pada tahun 2019 persentase penduduk
tp

penduduk miskin
miskin telah mencapai 10,80 persen, angka tersebut kemudian
ht

pada tahun 2022


tidak terlepas dari naik 0,61 poin di tahun 2020 menjadi 11,41 persen dan kembali
mulai terkendalinya meningkat sebesar 0,38 poin pada tahun 2021 menjadi 11,79
pandemi COVID-19 persen. Meningkatnya kemiskinan pada tahun 2020 hingga
2021 tidak terlepas dari adanya pandemi COVID-19. Masyarakat
miskin, rentan miskin dan yang bekerja di sektor informal merupakan yang paling
terdampak dari mewabahnya pandemi COVID-19. Menurut Survei Sosial Demografi Dampak
COVID-19, hampir 50 persen responden dalam kelompok berpendapatan rendah (1,8 juta ke
bawah) mengaku mengalami penurunan pendapatan. Penurunan tersebut menyebabkan
kemiskinan semakin bertambah karena semakin banyak penduduk yang memiliki rata-rata
pengeluaran perkapita per bulan di bawah garis kemiskinan. Kondisi tersebut tentu saja
menjadi tantangan besar bagi pemerintah Provinsi Jawa Tengah. RPJMD Provinsi Jawa
Tengah 2018-2023 menargetkan angka kemiskinan sebesar 7,48 persen. Dengan
meningkatnya kemiskinan di tahun 2020 hingga 2021, maka pemerintah harus bekerja
ekstra keras untuk mewujudkan target tersebut mengingat angka kemiskinan tahun 2021
telah mencapai 4,31 poin di atas target RPJMD. Akan tetapi, seiring dengan mulai
terkendalinya pandemi COVID-19, persentase penduduk miskin mulai menunjukkan
penurunan pada tahun 2022 menjadi 10,93 persen atau turun 0,86 poin dari tahun 2021.
Hal ini membuat diskrepansinya dengan target angka kemiskinan RPJMD Provinsi Jawa
Tengah semakin mengecil menjadi 3,45 poin.

Tabel 7.1 Jumlah Penduduk Miskin dan Persentase Penduduk Miskin di Jawa Tengah, 2019-2022

Jumlah Penduduk Miskin


Persentase Penduduk Miskin (%)
(ribu orang)
Tahun Perkotaan
Perkotaan +
Perkotaan Perdesaan + Perkotaan Perdesaan
Perdesaan
Perdesaan

id
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7)

o.
2019 1 633,96 2 109,26 3 743,23 9,20 12,48 10,80

g
2020 1 805,65 2 175,25 3 980,90 10,09 12,80 11,41
s.
bp
2021 1 908,33 2 201,43 4 109,75 10,58 13,07 11,79
2022 1 818,25 2 013,2 3 831,44 9,92 12,04 10,93
g.

Sumber: Berita Resmi Statistik


en

Catatan: Kemiskinan Kondisi Maret Setiap Tahun


at

Peningkatan kemiskinan sebagai dampak pandemi COVID-19 tak hanya terjadi di


//j
s:

wilayah perkotaan, namun juga di perdesaan. Hal ini tercermin dari meningkatnya jumlah
tp

penduduk miskin di kedua wilayah tersebut selama periode 2019-2021. Sejak merebaknya
ht

COVID-19, jumlah penduduk miskin di daerah perkotaan meningkat 274,37 ribu orang dari
1.633,96 ribu orang pada tahun 2019 menjadi 1.908,33 ribu orang pada tahun 2021.
Sementara di daerah perdesaan bertambah 92,17 ribu orang dari 2.109,26 ribu orang pada
tahun 2019 menjadi 2.201,43 ribu orang pada tahun 2021. Walaupun jumlah penduduk
miskin di wilayah perdesaan lebih besar daripada perkotaan, akan tetapi peningkatan
persentase penduduk miskin di daerah perkotaan lebih tinggi daripada perdesaan. Pada
tahun 2021, persentase penduduk miskin di wilayah perkotaan meningkat 1,38 poin dari
9,20 persen pada tahun 2019 menjadi 10,58 persen pada tahun 2021, sementara di wilayah
perdesaan hanya naik 0,59 persen dari 12,48 persen pada tahun 2019 menjadi 13,07 persen
pada tahun 2021. Peningkatan persentase penduduk miskin yang cukup pesat di wilayah
perkotaan dikhawatirkan akan menjadi beban besar pemerintah dalam menurunkan angka
kemiskinan secara kumulatif mengingat perkotaan masih menjadi magnet utama bagi para
pencari kerja untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
Hanya saja, angin segar mulai terasa pada tahun 2022 seiring dengan mulai
terkendalinya angka penularan COVID-19 dan percepatan penyaluran vaksin COVID-19 pada
seluruh lapisan masyarakat. Tercatat pada tahun 2022 jumlah penduduk miskin di daerah
perkotaan sebesar 1.818,25 ribu orang atau berkurang 90,08 ribu orang (menurun 4,72
persen) dari tahun 2021. Sementara di daerah perdesaan penurunannya lebih tajam
mencapai 188,23 ribu orang (menurun 8,55 persen) dari sebelumnya 2.201,43 ribu orang
pada tahun 2021 menjadi 2.013,20 ribu orang. Secara keseluruhan, jumlah penduduk miskin
di Jawa Tengah menurun sebanyak 278,31 ribu orang atau 6,77 persen, yaitu dari 4.109,75
ribu orang pada tahun 2021 menjadi 3.831,44 ribu orang pada tahun 2022. Selanjutnya,
untuk keperluan analisis kemiskinan yang lebih lanjut, maka diperlukan indikator lain seperti
garis kemiskinan, tingkat kedalaman kemiskinan, dan tingkat keparahan kemiskinan yang
akan dibahas pada subbab berikutnya.

id
GARIS KEMISKINAN (GK), INDEKS KEDALAMAN KEMISKINAN (P 1), INDEKS

o.
KEPARAHAN KEMISKINAN (P2 )

g
s.
bp
Garis Kemiskinan digunakan sebagai batas untuk mengelompokkan penduduk
miskin dan tidak miskin. Penduduk miskin adalah penduduk yang memiliki rata-rata
g.

pengeluaran per bulan di bawah garis kemiskinan. Garis Kemiskinan di Jawa Tengah
en

mengalami peningkatan secara bertahap dari tahun ke tahun. Pada tahun 2020, garis
at

kemiskinan di Jawa Tengah sebesar Rp395.407,00 kemudian meningkat menjadi


//j

Rp409.193,00 pada tahun 2021 hingga kemudian menjadi Rp438.833,00 pada tahun 2022.
s:
tp

Meningkatnya garis kemiskinan dipengaruhi oleh meningkatnya gaya hidup penduduk serta
ht

meningkatnya harga kebutuhan pokok dari tahun ke tahun. Pandemi COVID-19 yang belum
usai membuat peningkatan garis kemiskinan tahun 2022 lebih tinggi dari tahun-tahun
sebelumnya. Peningkatan tersebut dipengaruhi oleh meningkatnya kebutuhan untuk
menjaga kesehatan seperti mahalnya harga masker dan cairan antiseptik terutama di awal
pandemi. Apabila dilihat dari klasifikasi wilayahnya, garis kemiskinan di daerah perkotaan
cenderung lebih tinggi daripada di perdesaan. Hal ini disebabkan karena nilai rupiah yang
harus dibelanjakan penduduk miskin di perkotaan lebih tinggi dibandingkan di perdesaan.
Pada tahun 2022, garis kemiskinan di daerah perkotaan mencapai Rp442.479,00 atau lebih
tinggi Rp7.694,00 dari daerah perdesaan yang sebesar Rp434.785,00. Angka tersebut
mengalami peningkatan sebesar 10,13 persen untuk daerah perkotaan dan 11,83 persen
untuk daerah perdesaan dibandingkan garis kemiskinan masing-masing wilayah pada tahun
2020.
Indeks kedalaman kemiskinan (P1) merupakan ukuran rata-rata kesenjangan
pengeluaran masing-masing penduduk miskin terhadap garis kemiskinan. Semakin tinggi
nilai indeks, semakin jauh rata-rata pengeluaran penduduk miskin dari garis kemiskinan.
Sebaliknya, semakin rendah nilai indeks P1 maka semakin dekatnya rata-rata pengeluaran
penduduk miskin dari garis kemiskinan. Pada tahun 2020 indeks kedalaman kemiskinan
Jawa Tengah sebesar 1,720, naik 0,191 poin menjadi 1,911 pada tahun 2021, namun
kemudian menunjukkan penurunan 0,140 poin menjadi 1,771 pada tahun 2022. Jika dilihat
menurut daerah, pada tahun 2022 jelas terlihat bahwa tingkat kedalaman kemiskinan di
perkotaan lebih kecil dibandingkan di perdesaan. Tingkat kedalaman kemiskinan (P1) di
perkotaan pada tahun 2022 mencapai 1,564, turun 0,120 poin dari tahun 2021 yang sebesar
1,684. Sementara di daerah perdesaan, tingkat kedalaman kemiskinan pada tahun 2022
mencapai 1,997, turun 0,157 poin dari tahun 2021 yang sebesar 2,154.

Tabel 7.2 Garis Kemiskinan, I ndeks Kedalaman Kemiskinan, dan Indeks Keparahan

id
Kemiskinan di Jawa Tengah, 2020-2022 (Rp/Kapita/Bulan)

o.
Indikator 2020 2021 2022

g
(1) (2)
s. (3) (4)
bp
Garis Kemiskinan (Rp/Kapita/Bulan) 395 407 409 193 438 833
g.

Perkotaan 401 771 416 825 442 479


en

Perdesaan 388 796 401 139 434 785


Indeks Kedalaman Kemiskinan (P1) 1,720 1,911 1,771
at

Perkotaan 1,526 1,684 1,564


//j

Perdesaan 1,924 2,154 1,997


s:

Indeks Keparahan Kemiskinan (P2) 0,342 0,450 0,416


tp

Perkotaan 0,311 0,395 0,367


ht

Perdesaan 0,376 0,508 0,470


Sumber : Berita Resmi Statistik
Catatan: Kemiskinan Kondisi Maret Setiap Tahun

Indeks keparahan kemiskinan (P2) memberikan gambaran mengenai penyebaran


pengeluaran antar penduduk miskin. Semakin tinggi indeks, semakin tinggi ketimpangan
pengeluaran antar penduduk miskin. Namun sebaliknya, semakin rendah nilai indeks maka
semakin rendah pula ketimpangan pengeluaran antar penduduk miskin. Tak berbeda jauh
dengan indeks kedalaman kemiskinan, indeks keparahan kemiskinan juga mengalami
penurunan pada tahun 2022. Jika dilihat menurut daerah, indeks keparahan kemiskinan
mengalami penurunan baik di perkotaan maupun di perdesaan. Meskipun sama-sama
menurun, indeks keparahan kemiskinan di perdesaan lebih tinggi dibandingkan perkotaan.
Selain indikator garis kemiskinan, indeks kedalaman dan keparahan kemiskinan,
karakteristik rumah tangga miskin dapat dilihat dari kondisi demografi, pendidikan dan
ketenagakerjaan dari kepala rumah tangga miskin serta kondisi perumahan. Pemahaman
mengenai karakteristik rumah tangga miskin penting sebagai dasar dalam penyusunan
kebijakan dan program pengentasan kemiskinan agar tepat sasaran. Karakteristik rumah
tangga miskin yang dibahas dalam publikasi ini adalah karakteristik rumah tangga miskin
tahun 2021 sesuai ketersediaan data.

KARAKTERISTIK PENDIDIKAN
Perbaikan tingkat pendidikan memegang peranan penting dalam upaya
pemberantasan kemiskinan. Semakin tinggi tingkat pendidikan, idealnya akan
meningkatkan kesempatan untuk mendapatkan pekerjaan dengan tingkat pendapatan yang
lebih baik, yang pada akhirnya akan memperkecil peluang berada pada kondisi miskin.

id
Hal yang perlu diperhatikan dalam menangani

o.
Peningkatan pengentasan kemiskinan selain pendidikan kepala rumah

g
persentase tangga adalah pendidikan anak dari rumah tangga miskin. Anak
penduduk miskin s.
dalam rumah tangga miskin apabila diberi kesempatan
bp
yang tamat
menempuh pendidikan yang lebih tinggi maka besar
SLTA/lebih belum
g.

mampu kemungkinan dapat keluar dari kemiskinannya di masa depan.


en

berkontribusi lebih Selama periode tahun 2018-2021, persentase


at

pada penurunan penduduk miskin yang tidak tamat SD cenderung menurun dari
//j

angka kemiskinan 31,82 persen pada tahun 2018 menjadi 28,05 persen pada
s:

Jawa Tengah tahun 2021. Hal yang serupa juga terjadi untuk penduduk
tp

miskin yang tamat SD/SLTP mengalami penurunan dari 56,22


ht

persen pada tahun 2018 menjadi 54,60 persen pada tahun 2021. Namun, berbeda dengan
keduanya, penduduk miskin yang tamat SLTA atau lebih justru menunjukkan peningkatan
yang cukup signifikan yaitu dari 11,97 persen pada tahun 2018 menjadi 17,35 persen pada
tahun 2021 atau naik 5,38 poin. Penurunan persentase penduduk miskin dengan
pendidikan rendah yang diikuti dengan peningkatan penduduk miskin dengan pendidikan
tinggi seharusnya memberikan sinyal positif adanya perbaikan kualitas pendidikan
penduduk miskin. Akan tetapi, kenyataannya, perbaikan kualitas pendidikan pada
penduduk miskin belum dapat berkontribusi lebih pada penurunan angka kemiskinan
mengingat persentase penduduk miskin di Jawa Tengah masih mengalami peningkatan dari
11,32 persen pada tahun 2018 menjadi 11,79 persen pada tahun 2021. Semua ini tak
terlepas dari dampak pandemi Covid-19 yang memorak-perandakan kondisi perekonomian
di seluruh dunia, tak terkecuali Indonesia, khususnya Jawa Tengah. Pandemi Covid-19
memaksa sebagian besar usaha menerapkan PHK, bahkan beberapa ada yang tak mampu
bertahan hingga gulung tikar, lowongan pekerjaan juga semakin menyempit, sehingga
menyebabkan banyak tenaga kerja berpendidikan tinggi tak terserap pasar dan akhirnya
terpaksa menganggur. Tidak tersedianya suntikan pendapatan yang tetap untuk
melanjutkan hidup pada akhirnya membuat persentase penduduk miskin di Jawa Tengah
mengalami peningkatan. Walaupun begitu, seiring dengan perbaikan kualitas kesehatan
serta upaya pemerintah dan masyarakat dalam memerangi pandemi Covid-19, diharapkan
kedepannya perbaikan kualitas pendidikan pada penduduk miskin yang mulai membaik
tersebut dapat berkontribusi lebih pada penurunan angka kemiskinan di Jawa Tengah
secara bertahap.
Sejalan dengan perbaikan kualitas pendidikan penduduk miskin, persentase Angka
Melek Huruf (AMH) penduduk miskin untuk usia 15-24 tahun hampir mencapai 100 persen
selama tahun 2018-2021. Meskipun persentasenya berfluktuasi, hal tersebut menunjukkan

id
bahwa penduduk miskin pada usia muda-remaja (15-24 tahun) hampir semua sudah bisa

o.
membaca dan menulis. Sementara untuk kelompok usia 15-55 tahun, persentase AMH

g
lebih rendah dibandingkan kelompok usia muda-remaja. Pada tahun 2018, AMH pada
s.
bp
kelompok usia 15-55 tahun tercatat sebesar 97,17 persen dan tiga tahun kemudian menjadi
97,63 persen pada tahun 2021. Besaran angka tersebut menunjukkan masih ada sekitar 3
g.

persen penduduk miskin pada kelompok usia 15-55 tahun yang tidak dapat membaca dan
en

menulis, sehingga hal tersebut perlu menjadi perhatian pemerintah.


at
//j

Tabel 7.3 Karakteristik Pendidikan Penduduk Miskin di Jawa Tengah, 2018-2021


s:
tp

Karakteristik Pendidikan 2018 2019 2020 2021


ht

(1) (2) (3) (4) (5)


1.Pendidikan Tertinggi yg Ditamatkan
• Tidak Tamat SD 31,82 30,31 29,51 28,05
• Tamat SD/SLTP 56,22 56,48 55,15 54,60
• Tamat SLTA atau lebih 11,97 13,21 15,34 17,35
2.Angka Melek Huruf (AMH)
• 15-24 Tahun 99,89 99,83 99,87 99,85
• 15-55 Tahun 97,17 97,29 97,80 97,63
3.Angka Partisipasi Sekolah (APS)
• 7-12 Tahun 99,49 99,76 99,57 99,39
• 13-15 Tahun 91,54 93,19 92,56 94,20
Sumber: Publikasi Data dan Informasi Kemiskinan Kabupaten/Kota 2017-2021 (Diolah dari Hasil Susenas)

Angka partisipasi sekolah (APS) menunjukkan proporsi anak sekolah pada usia
jenjang pendidikan tertentu dalam kelompok usia yang sesuai dengan jejang pendidikan
tersebut. Dalam kurun waktu empat tahun terakhir, angka partisipasi sekolah untuk
kategori 7-12 tahun berfluktuasi, namun cenderung menurun. Nilai APS kategori usia 7-12
tahun pada tahun 2018 sebesar 99,49 persen, menurun 0,10 poin menjadi 99,39 persen
pada tahun 2020. Sedangkan untuk kategori 13-15 tahun, walaupun angkanya juga
berfluktuasi, namun memiliki pola yang berbeda dengan APS kategori 7-12 tahun. Pada
tahun 2018-2020, APS kategori 7-12 tahun dan APS kategori 13-15 tahun menunjukkan pola
yang sama yaitu peningkatan dari tahun 2018 ke 2019, kemudian menurun pada tahun
2020. Akan tetapi pada tahun 2021, disaat APS kategori 7-12 tahun menunjukkan
penurunan, APS kategori 13-15 tahun menunjukkan peningkatan drastis dari tahun 2020
yaitu sebesar 2,66 poin menjadi 94,20. Peningkatan APS tersebut menunjukkan kesadaran
penduduk miskin untuk memiliki pendidikan yang baik semakin meningkat pada kelompok
13-15 tahun.

id
o.
KARAKTERISTIK KETENAGAKERJAAN

g
s.
bp
Indikator kedua setelah pendidikan yang dapat digunakan untuk melihat
g.

karakteristik rumah tangga miskin yaitu ketenagakerjaan. Mampu tidaknya suatu rumah
en

tangga dalam memenuhi kebutuhan dasar makanan dan bukan makanan yang diukur dari
sisi pengeluaran dapat dilihat dari karakteristik pekerjaan rumah tangga itu sendiri. Apabila
at

dibandingkan dengan tahun 2020, persentase penduduk miskin yang tidak bekerja pada
//j
s:

tahun 2021 meningkat dari 40,83 persen menjadi 40,88 persen dan persentase penduduk
tp

miskin yang bekerja menurun dari 59,17 persen menjadi 59,12 persen. Penurunan
ht

penduduk miskin yang bekerja dan meningkatnya penduduk miskin yang tidak bekerja
merupakan indikasi penurunan kondisi perkenomian penduduk. Hal tersebut tercermin
pada perkembangan penduduk miskin pada tahun 2021 yang menunjukkan peningkatan
dibandingkan tahun 2020. Selain itu, hal ini juga mengindikasikan bahwa walaupun bekerja
tetapi produktivitas yang dihasilkan oleh penduduk miskin masih kecil sehingga belum
mampu mencukupi kebutuhannya terutama di saat krisis akibat pandemi Covid-19, atau
dapat juga disebabkan oleh peningkatan rata-rata anggota rumah tangga pada penduduk
miskin.
Menurut lapangan pekerjaan, walaupun sama-sama berfluktuasi, persentase
penduduk miskin di sektor pertanian cenderung meningkat, sebaliknya yang bekerja di luar
sektor pertanian cenderung menurun. Penduduk miskin yang bekerja di sektor pertanian
mengalami peningkatan dari 18,51 persen pada tahun 2018 menjadi 29,14 persen pada
tahun 2021, sementara yang bekerja di sektor non pertanian menurun dari 41,56 persen
pada tahun 2018 menjadi 29,98 persen pada tahun 2021. Realitas ini menunjukkan adanya
dua kemungkinan yaitu penduduk miskin bekerja yang mampu keluar dari garis kemiskinan
lebih banyak dari sektor pertanian atau terdapat peralihan pekerjaan penduduk miskin dari
sektor non pertanian ke pertanian dikarenakan banyaknya terjadi pemutusan hubungan
kerja dari pabrik maupun perusahaan.

Tabel 7.4 Persentase Penduduk Miskin Usia 15 Tahun ke Atas Menurut Sektor Bekerja
di Jawa Tengah, 2018 – 2021 (%)

Rincian 2018 2019 2020 2021


(1) (2) (3) (4) (5)
Tidak Bekerja 39,93 40,91 40,83 40,83
Bekerja 60,07 59,09 59,17 59,12
Bekerja di Sektor Pertanian 18,51 24,38 23,44 29,14

id
Bekerja bukan di Sektor Pertanian 41,56 34,71 35,73 29,98

o.
Sumber: Publikasi Data dan Informasi Kemiskinan Kabupaten/Kota 2017-2021 (Diolah dari Hasil Susenas)

g
Keterangan : Tidak bekerja termasuk pengangguran dan bukan angkatan kerja

s.
bp
KARAKTERISTIK PERUMAHAN
g.
en

Karakteristik perumahan rumah tangga miskin digambarkan oleh persentase rumah


at

tangga yang menggunakan air layak dan persentase penggunaan jamban. Air layak
//j

merupakan barang mewah bagi rumah tangga miskin khususnya yang tinggal di perkotaan.
s:

Guna mendukung percepatan pencapaian akses menyeluruh layanan air minum di Jawa
tp

Tengah maka berdasarkan MoU bersama pemerintah pusat dan pemerintah


ht

kabupaten/kota pada tahun 2011 telah direncanakan pembangunan delapan Sistem


Penyediaan Air Minum (SPAM) Regional yang berperan sebagai penyedia air curah bagi
PDAM kabupaten/kota. Sampai dengan tahun 2020 telah beroperasi 2 (dua) SPAM Regional
yaitu Bregas dan Keburejo, serta 3 (tiga) SPAM Regional lainnya sedang dalam proses
pembangunan yaitu Petanglong, Wosusokas dan Dadi Muria.
Selama tahun 2018 hingga 2021, persentase rumah tangga miskin yang
mendapatkan akses air layak cenderung meningkat dari 70,05 persen pada tahun 2018
menjadi 90,12 persen pada tahun 20217. Apabila dilihat dari capaiannya, pada tahun 2018
masih terdapat 29,95 persen rumah tangga miskin yang belum mendapatkan akses air layak,
namun pada tahun 2021 hanya tersisa 9,88 persen. Hal ini secara tak langsung menunjukkan
bahwa program penyaluran air bersih oleh pemerintah, termasuk salah satunya operasional
SPAM Regional, telah berkontribusi pada peningkatan akses air layak pada penduduk miskin
di Jawa Tengah secara bertahap. Akan tetapi perlu diperhatikan bahwa terdapat perbedaan
definisi yang digunakan antara Susenas periode 2018-2020 dan Susenas 2021. Pada Susenas
2018-2020, rumah tangga pengguna air layak adalah rumah tangga miskin yang
menggunakan sumber utama air minum dari air tidak sustain (air hujan), air terlindung
maupun tidak terlindung dengan syarat sumber mandi/cuci/dll yang digunakan berasal dari
air terlindung. Sementara pada Susenas 2021, rumah tangga pengguna air layak adalah
rumah tangga miskin yang menggunakan sumber utama air minum terlindung yang meliputi
leding, sumur bor atau sumur pompa, sumur terlindung, mata air terlindung, dan air hujan.
Termasuk jika air minum utamanya menggunakan air kemasan bermerk atau air isi ulang
dan sumber air utama air mandi/cuci/dll yang digunakan adalah leding, sumur bor atau
sumur pompa, sumur terlindung, mata air terlindung, dan air hujan.

Gambar 7.1 Karakteristik Perumahan pada Rumah Tangga Miskin

id
di Jawa Tengah, 2018-2021 (%)

o.
85,07 87,73 88,72
81,91

g
s. 90,12
bp
70,05 70,09 74,45
g.
en
at

2018 2019 2020 2021


//j
s:

% Ruta miskin menggunakan air layak


tp

% Ruta miskin menggunakan jamban sendiri/bersama


ht

Sumber: Publikasi Data dan Informasi Kemiskinan Kabupaten/Kota 2017-2021 (Diolah dari Hasil Susenas)

Seperti halnya penggunaan air layak, sanitasi yang layak juga merupakan barang
yang mewah bagi beberapa kalangan masyarakat. Padahal kebutuhan akan sanitasi tidak
bisa dianggap remeh karena berpengaruh terhadap kesehatan seseorang. Pada tahun 2018
sampai dengan 2021, persentase rumah tangga miskin yang menggunakan jamban
sendiri/bersama selalu mengalami peningkatan dari tahun ke tahun dengan kondisi terakhir
di tahun 2021 mencapai 88,72 persen. Dalam laporannya, PBB menyatakan bahwa 80
persen penyakit di negara berkembang adalah dampak dari cemaran air oleh tinja dan
bahan cemaran lainnya. Oleh karena itu, diharapkan pemerintah dapat berupaya untuk
memperbaiki sanitasi masyarakat sehingga mengurangi resiko pencemaran lingkungan.
ht
tp
s:
//j
at
en
g.
bp
s.
go.
id
KESIMPULAN
Jawa Tengah merupakan provinsi dengan jumlah penduduk terbesar ketiga setelah
Jawa Barat dan Jawa Timur. Didukung dengan wilayah yang cukup luas, bahkan hampir
seperempat Pulau Jawa, kepadatan penduduk Jawa Tengah menempati posisi kelima di
Indonesia. Sejalan dengan kepadatan penduduk yang cenderung meningkat, angka
ketergantungan penduduk cenderung meningkat selama periode tahun 2018 hingga 2022.
Meningkatnya angka ketergantungan tersebut didorong oleh meningkatnya jumlah dan
proporsi penduduk usia 65 tahun ke atas. Hal tersebut mengindikasikan segera berakhirnya

id
bonus demografi di suatu wilayah.

g o.
Salah satu indikator untuk mengukur kualitas sumber daya manusia adalah tingkat
s.
pendidikan. Selama dua tahun terakhir dari 2020 hingga 2021, kualitas pendidikan di Jawa
bp
Tengah yang diukur berdasarkan indikator seperti Rata-Rata Lama Sekolah (RLS), Harapan
g.

Lama Sekolah (HLS), Angka Partisipasi Sekolah (APS), Angka Partisipasi Murni (APM)
en

mengalami peningkatan seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk yang produktif.


at
//j

Sejak beberapa tahun terakhir terjadi pergeseran penyerapan tenaga kerja dari
s:

sektor primer ke sektor sekunder dan sektor tersier. Pergeseran ini didorong oleh semakin
tp

sempitnya lahan pertanian di Jawa Tengah serta menurunnya minat para generasi muda
ht

untuk bergelut dalam sektor usaha ini, yang pada akhirnya menyebabkan produktifitas
sektor primer semakin mengecil. Akan tetapi, sejak pandemi Covid-19 melanda pada awal
tahun 2020, pola yang terbentuk sebelumnya mulai mengalami perubahan. Sektor tersier
yang sebagian besar mengandalkan sumber daya manusia terpaksa harus menarik tuas
remnya dan memperlambat proses produksi untuk menghambat penyebaran Covid-19. Hal
ini menyebabkan persentase penduduk yang bekerja pada sektor tersier mengalami
penurunan drastis diikuti oleh peningkatan persentase penduduk yang bekerja pada sektor
primer dan sekunder. Akan tetapi, seiring dengan mulai terkendalinya penyebaran Covid-19,
persentase penduduk yang bekerja di sektor sekunder dan tersier pada tahun 2021 mulai
menunjukkan peningkatan kembali, sebaliknya pada sektor primer menunjukkan
penurunan.

Rumah tangga dikatakan sejahtera jika persentase pengeluaran untuk makanan


lebih kecil dibandingkan untuk bukan makanan. Pada tahun 2021, pola pengeluaran
masyarakat Jawa Tengah masih didominasi oleh pengeluaran bukan makanan. Jika dilihat
dari kecukupan gizinya, ternyata masyarakat Jawa Tengah baru tercukupi asupan
proteinnya, sedangkan untuk konsumsi kalorinya masih belum mencukupi standar
kecukupan kalori yang disyaratkan oleh Widya Karya Nasional Pangan & Gizi.

Selama tahun 2021, meski pandemi Covid-19 masih melanda, kualitas perumahan
masih menunjukkan sedikit perbaikan yang dapat dilihat dari meningkatnya persentase
penggunaan lantai bukan tanah, penggunaan atap beton/genteng/seng/asbes, penggunaan
dinding tembok dan kayu, penggunaan air bersih, penggunaan listrik, penggunaan jamban
sendiri, dll. Selain berdasarkan kualitas perumahan, kepemilikan rumah milik sendiri pun
semakin meningkat dari tahun ke tahun. Hal ini didukung dengan upaya pemerintah

id
membangun rumah sederhana ditambah dengan dukungan perbankan yang semakin

o.
menekan bunga KPR. Data tiga tahun terakhir menunjukkan bahwa lebih dari 90 persen

g
rumah tangga di Jawa Tengah telah memilki fasilitas perumahan dengan luasan minimal 10
s.
m2 perkapita, yang mana hal ini sudah sesuai dengan standar minimal dari World Health
bp
Organization (WHO) serta American Public Health Association (APHA).
g.
en

Meningkatnya persentase konsumsi non makanan, membaiknya kualitas pendidikan


at

dan perumahan seharusnya dapat menjadi indikator meningkatnya kesejahteraan


//j

penduduk yang berimbas pada penurunan tingkat kemiskinan. Akan tetapi, pengecualian
s:

terjadi pada tahun 2021 ditandai dengan meningkatnya jumlah dan persentase penduduk
tp

miskin di Jawa Tengah. Peningkatan kemiskinan di Jawa Tengah diiringi pula dengan
ht

semakin dalamnya indeks kedalaman serta semakin parahnya indeks keparahan kemiskinan.
Akan tetapi, memasuki tahun 2022 dimana pandemi Covid-19 mulai terkendali,
jumlah penduduk miskin dan persentase penduduk miskin mulai menunjukkan penurunan.
Penurunan kemiskinan di Jawa Tengah pada tahun 2022 diiringi pula dengan semakin
landainya indeks kedalaman serta semakin kecilnya indeks keparahan kemiskinan. Indeks
kedalaman kemiskinan menggambarkan bahwa masih terdapat penduduk miskin dengan
pengeluaran yang jauh di bawah garis kemiskinan. Sementara itu, indeks keparahan
kemiskinan menggambarkan masih ada ketimpangan pengeluaran antar penduduk miskin
itu sendiri
ht
tp
s:
//j
at
en
g.
bp

DAFTAR PUSTAKA
s.
go.
id
ht
tp
s:
//j
at
en
g.
bp
s.
go.
id
Berita Resmi Statistik Kemiskinan Provinsi Jawa Tengah September 2021.

Berita Resmi Statistik Kemiskinan Provinsi Jawa Tengah Maret 2022.

BPS Provinsi Jawa Tengah, 2021. Statistik Kesejahteraan Rakyat Provinsi Jawa Tengah 2021. Semarang.

BPS Provinsi Jawa Tengah, 2022. Statistik Sosial dan Kependudukan Provinsi Jawa Tengah Hasil Susenas
2021. Semarang.

BPS Provinsi Jawa Tengah, 2022. Profil Kesehatan Provinsi Jawa Tengah 2021. Semarang.

BPS Provinsi Jawa Tengah, 2022. Statistik Pendidikan Provinsi Jawa Tengah 2021. Semarang.

BPS Provinsi Jawa Tengah, 2022. Keadaan Angkatan Kerja Provinsi Jawa Tengah Agustus 2021. Semarang.

BPS Provinsi Jawa Tengah, 2022. Profil Ketenagakerjaan Provinsi Jawa Tengah Hasil Sakernas Agustus 2021.
Semarang.

id
o.
BPS Provinsi Jawa Tengah, 2022. Pengeluaran untuk Konsumsi Penduduk Provinsi Jawa Tengah 2021.
Semarang.

g
s.
BPS Provinsi Jawa Tengah, 2022. Profil Tempat Tinggal Provinsi Jawa Tengah 2021. Semarang.
bp
g.

BPS Provinsi Jawa Tengah, 2022. Data dan Informasi Kemiskinan Provinsi Jawa Tengah 2017-2021. Semarang.
en

https://dapo.kemdikbud.go.id/
at

http://statistik.data.kemdikbud.go.id/
//j
s:

https://jateng.bps.go.id
tp

https://corona.jatengprov.go.id/data
ht

https://covid19.go.id/peta-sebaran-covid19

https://vaksin.kemkes.go.id/#/provinces

https://www.kompas.com/sains/read/2020/05/11/130600623/diumumkan-awal-maret-ahli--virus-corona-masuk-
indonesia-dari-januari

https://jateng.suara.com/read/2020/03/13/174245/ganjar-umumkan-dua-pasien-positif-corona-di-jateng-satu-
telah-meninggal?page=all

https://nasional.kompas.com/read/2021/10/19/12135601/aturan-lengkap-ppkm-level-1-di-jawa-bali-hingga-1-
november-2021?page=all
ht
tp
s:
//j
at
en
g.
bp
s.
go.
id
ht
tp
s:
//j
at
en
g.
bp
s.
go.
LAMPIRAN id
ht
tp
s:
//j
at
en
g.
bp
s.
go.
id
Lampiran 1. Jumlah Penduduk Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Tengah (Jiwa), 2017-2022

Kabupaten/Kota 2017 2018 2019 2020 2021 2022


(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7)
Kab. Cilacap 1 706 458 1 712 871 1 718 824 1 944 857 1 963 824 1 988 622
Kab. Banyumas 1 660 177 1 672 817 1 685 078 1 776 918 1 789 630 1 806 013
Kab. Purbalingga 913 682 921 639 929 403 998 561 1 007 794 1 019 840
Kab. Banjarnegara 910 092 914 523 918 715 1 017 767 1 026 866 1 038 718
Kab. Kebumen 1 188 212 1 190 280 1 192 013 1 350 438 1 361 913 1 376 825
Kab. Purworejo 712 504 713 761 714 816 769 880 773 588 778 257
Kab. Wonosobo 781 792 784 353 786 703 879 124 886 613 896 346
Kab. Magelang 1 264 852 1 274 881 1 284 627 1 299 859 1 305 512 1 312 573
Kab. Boyolali 971 707 976 026 980 086 1 062 713 1 070 247 1 079 952
Kab. Klaten 1 163 844 1 166 748 1 169 330 1 260 506 1 267 272 1 275 850
Kab. Sukoharjo 875 655 881 673 887 484 907 587 911 603 916 627
Kab. Wonogiri 951 591 953 250 954 646 1 043 177 1 049 292 1 057 087

id
Kab. Karanganyar 869 220 875 946 882 473 931 963 938 808 947 642

o.
Kab. Sragen 882 453 884 448 886 196 976 951 983 641 992 243

g
Kab. Grobogan 1 361 210 1 366 498 1 371 423 1 453 526 1 460 873 1 470 150
Kab. Blora
Kab. Rembang
856 396
627 139
858 795
631 293 s.
860 957
635 294
884 333
645 333
886 147
647 766
888 224
650 770
bp
Kab. Pati 1 242 879 1 248 286 1 253 363 1 324 188 1 330 983 1 339 572
Kab. Kudus 849 006 858 153 867 154 849 184 852 443 856 472
g.

Kab. Jepara 1 219 784 1 236 006 1 252 090 1 184 947 1 188 510 1 192 811
en

Kab. Demak 1 137 455 1 147 557 1 157 421 1 203 956 1 212 377 1 223 217
Kab. Semarang 1 024 706 1 036 929 1 049 002 1 053 094 1 059 844 1 068 492
at

Kab. Temanggung 756 973 762 776 768 405 790 174 794 403 799 764
//j

Kab. Kendal 954 100 960 322 966 313 1 018 505 1 025 020 1 033 367
s:

Kab. Batang 753 914 759 529 764 970 801 718 807 005 813 791
Kab. Pekalongan 883 468 888 491 893 290 968 821 976 504 986 455
tp

Kab. Pemalang 1 292 357 1 294 639 1 296 559 1 471 489 1 484 209 1 500 754
ht

Kab. Tegal 1 428 884 1 431 375 1 433 464 1 596 996 1 608 611 1 623 595
Kab. Brebes 1 790 389 1 795 513 1 800 142 1 978 759 1 992 685 2 010 617
Kota Magelang 121 154 121 372 121 555 121 526 121 610 121 675
Kota Surakarta 514 542 515 865 517 045 522 364 522 728 523 008
Kota Salatiga 188 486 190 872 193 231 192 322 193 525 195 065
Kota Semarang 1 753 092 1 779 757 1 806 319 1 653 524 1 656 564 1 659 975
Kota Pekalongan 300 897 303 235 305 505 307 150 308 310 309 742
Kota Tegal 247 314 248 008 248 635 273 825 275 781 278 299
Jawa Tengah 34 156 384 34 358 487 34 552 531 36 516 035 36 742 501 37 032 410
Sumber: 2017-2019 : Proyeksi Penduduk Jawa Tengah Hasil SUPAS 2015
2020 : Jumlah Penduduk Hasil SP2020
2021-2022 : Proyeksi Penduduk Interim 2020-2023
Lampiran 2. Kepadatan Penduduk Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Tengah (Jiwa/Km2),
2017-2022

Kepadatan Penduduk (jiwa/km2)


Kabupaten/Kota
2017 2018 2019 2020 2021 2022
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7)
Kab. Cilacap 803 806 809 915 924 936
Kab. Banyumas 1 243 1 253 1 262 1 331 1 340 1 353
Kab. Purbalingga 1 349 1 360 1 372 1 474 1 487 1 505
Kab. Banjarnegara 889 893 897 994 1 003 1 015
Kab. Kebumen 981 982 984 1 114 1 124 1 136
Kab. Purworejo 653 654 655 705 709 713
Kab. Wonosobo 797 799 802 896 903 913
Kab. Magelang 1 147 1 156 1 165 1 179 1 184 1 190
Kab. Boyolali 964 968 972 1 054 1 061 1 071

id
Kab. Klaten 1 768 1 773 1 777 1 915 1 925 1 938
Kab. Sukoharjo 1 790 1 803 1 814 1 856 1 864 1 874

o.
Kab. Wonogiri 531 531 532 582 585 589

g
Kab. Karanganyar 1 121 1 130 1 138 1 202 1 211 1 222
Kab. Sragen 937 939
s.941 1 038 1 045 1 054
bp
Kab. Grobogan 676 679 681 722 725 730
Kab. Blora 475 476 477 490 491 492
g.

Kab. Rembang 707 712 716 727 730 734


en

Kab. Pati 835 838 842 889 894 900


Kab. Kudus 1 997 2 018 2 040 1 997 2 005 2 015
at

Kab. Jepara 1 152 1 167 1 182 1 119 1 122 1 126


Kab. Demak 1 264 1 275 1 286 1 338 1 347 1 359
//j

Kab. Semarang 1 078 1 091 1 104 1 108 1 115 1 124


s:

Kab. Temanggung 904 911 917 943 948 955


tp

Kab. Kendal 853 859 864 911 917 924


Kab. Batang 956 963 970 1 017 1 023 1 032
ht

Kab. Pekalongan 1 056 1 062 1 067 1 157 1 167 1 179


Kab. Pemalang 1 156 1 158 1 160 1 316 1 328 1 342
Kab. Tegal 1 631 1 634 1 636 1 823 1 836 1 853
Kab. Brebes 941 944 946 1 040 1 047 1 057
Kota Magelang 7 544 7 557 7 569 7 567 7 572 7 576
Kota Surakarta 11 183 11 212 11 238 11 353 11 361 11 367
Kota Salatiga 3 286 3 328 3 369 3 353 3 374 3 401
Kota Semarang 4 690 4 762 4 833 4 424 4 432 4 441
Kota Pekalongan 6 650 6 701 6 751 6 788 6 813 6 845
Kota Tegal 6 233 6 250 6 266 6 901 6 950 7 014
Jawa Tengah 1 041 1 047 1 053 1 113 1 120 1 129
Sumber: 2017-2019 : Proyeksi Penduduk Jawa Tengah Hasil SUPAS 2015, diolah
2020 : Jumlah Penduduk Hasil SP2020, diolah
2021-2022 : Proyeksi Penduduk Interim 2020-2023, diolah
Lampiran 3. Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Tengah
(Persen), 2016-2021

Tingkat Pengangguran Terbuka (persen)


Kabupaten/Kota
2016* 2017* 2018** 2019** 2020** 2021**
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7)
Kab. Cilacap n.a. 6,3 7,49 7,24 9,10 9,97
Kab. Banyumas n.a. 4,62 4,15 4,17 6,00 6,05
Kab. Purbalingga n.a. 5,33 6,02 4,73 6,10 6,05
Kab. Banjarnegara n.a. 4,72 3,99 4,44 5,86 5,86
Kab. Kebumen n.a. 5,58 5,48 4,69 6,07 6,03
Kab. Purworejo n.a. 3,64 4,43 2,91 4,04 3,59
Kab. Wonosobo n.a. 4,18 3,50 3,43 5,37 5,26
Kab. Magelang n.a. 2,44 2,89 3,07 4,27 5,03

id
Kab. Boyolali n.a. 3,67 2,18 3,09 5,28 5,09
Kab. Klaten n.a. 4,35 3,14 3,54 5,46 5,48

o.
Kab. Sukoharjo n.a. 2,27 2,72 3,39 6,93 3,32

g
Kab. Wonogiri n.a. 2,38 2,28 2,55 4,27 2,43
Kab. Karanganyar n.a. 3,17 s.
2,28 3,12 5,96 5,89
bp
Kab. Sragen n.a. 4,55 4,83 3,32 4,75 4,76
Kab. Grobogan n.a. 3,02 2,22 3,54 4,50 4,38
g.

Kab. Blora n.a. 2,85 3,30 3,82 4,89 3,81


en

Kab. Rembang n.a. 3,19 2,83 3,60 4,83 3,67


Kab. Pati n.a. 3,83 3,57 3,64 4,74 4,60
at

Kab. Kudus n.a. 3,56 3,28 3,80 5,53 3,77


//j

Kab. Jepara n.a. 4,84 3,75 2,92 6,70 4,23


s:

Kab. Demak n.a. 4,47 7,03 5,42 7,31 5,28


tp

Kab. Semarang n.a. 1,78 2,25 2,54 4,57 5,02


Kab. Temanggung n.a. 2,97 3,23 2,98 3,85 2,62
ht

Kab. Kendal n.a. 4,93 6,02 6,26 7,56 7,55


Kab. Batang n.a. 5,82 4,20 4,11 6,92 6,59
Kab. Pekalongan n.a. 4,39 4,36 4,35 6,97 4,28
Kab. Pemalang n.a. 5,59 6,17 6,45 7,64 6,71
Kab. Tegal n.a. 7,33 8,24 8,12 9,82 9,97
Kab. Brebes n.a. 8,04 7,20 7,39 9,83 9,78
Kota Magelang n.a. 6,68 4,78 4,37 8,59 8,73
Kota Surakarta n.a. 4,47 4,35 4,16 7,92 7,85
Kota Salatiga n.a. 3,96 4,23 4,33 7,44 7,26
Kota Semarang n.a. 6,61 5,21 4,50 9,57 9,54
Kota Pekalongan n.a. 5,05 6,08 5,80 7,02 6,89
Kota Tegal n.a. 8,19 7,81 8,08 8,40 8,25
Jumlah/Total 4,63 4,57 4,47 4,44 6,48 5,95
Sumber: Diolah dari Hasil Sakernas, Agustus
Catatan: *) Menggunakan Penimbang Proyeksi SP 2010
**) Data Hasil Backcasting SUPAS 2015
Lampiran 4. Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Tengah
(Persen), 2016-2021

Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (persen)


Kabupaten/Kota
2016* 2017* 2018** 2019** 2020** 2021**
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7)
Kab. Cilacap n.a. 66,22 62,62 65,34 67,79 62,91
Kab. Banyumas n.a. 65,19 67,74 67,34 66,66 65,07
Kab. Purbalingga n.a. 71,68 70,58 68,14 69,89 69,52
Kab. Banjarnegara n.a. 70,95 71,97 70,09 69,69 69,76
Kab. Kebumen n.a. 66,84 65,75 68,72 69,63 67,76
Kab. Purworejo n.a. 64,48 66,89 66,81 70,05 73,29
Kab. Wonosobo n.a. 72,37 72,43 72,07 71,26 70,77
Kab. Magelang n.a. 74,49 71,48 74,73 76,60 75,78

id
Kab. Boyolali n.a. 69,96 72,31 72,70 75,11 75,79

o.
Kab. Klaten n.a. 66,93 67,14 69,10 68,33 66,89

g
Kab. Sukoharjo n.a. 67,29 68,47 68,50 68,74 68,78
Kab. Wonogiri n.a. 71,22
s.
75,22 69,86 74,69 73,09
bp
Kab. Karanganyar n.a. 70,24 70,45 70,19 73,55 73,15
Kab. Sragen n.a. 71,12 67,23 67,71 68,44 71,74
g.

Kab. Grobogan n.a. 72,15 70,79 69,25 69,77 72,88


en

Kab. Blora n.a. 70,21 72,99 68,54 71,90 70,54


Kab. Rembang n.a. 70,78 67,71 66,26 65,17 70,67
at

Kab. Pati n.a. 66,83 66,78 66,08 63,85 68,99


//j

Kab. Kudus n.a. 71,75 72,37 72,05 74,50 74,77


s:

Kab. Jepara n.a. 69,85 69,05 68,43 69,92 69,55


Kab. Demak n.a. 67,73 70,96 67,72 69,79 66,23
tp

Kab. Semarang n.a. 76,37 72,50 74,69 75,07 74,10


ht

Kab. Temanggung n.a. 74,37 74,11 76,23 58,73 74,01


Kab. Kendal n.a. 66,49 66,34 67,91 70,50 69,93
Kab. Batang n.a. 67,7 70,28 68,75 69,78 71,40
Kab. Pekalongan n.a. 70,98 70,68 71,15 71,23 71,46
Kab. Pemalang n.a. 65,57 65,29 66,27 65,57 65,90
Kab. Tegal n.a. 66,41 65,41 66,50 66,52 66,24
Kab. Brebes n.a. 67,42 67,18 66,08 66,65 63,97
Kota Magelang n.a. 65,32 68,89 64,95 67,61 67,07
Kota Surakarta n.a. 66,1 66,01 69,27 68,84 66,89
Kota Salatiga n.a. 70,53 72,15 66,96 70,23 70,36
Kota Semarang n.a. 69,87 65,93 66,87 69,89 69,41
Kota Pekalongan n.a. 69,28 70,36 72,46 66,45 75,77
Kota Tegal n.a. 66,33 65,54 69,61 64,57 68,25
Jumlah/Total 67,15 69,11 68,81 68,85 69,43 69,58
Sumber: Diolah dari Hasil Sakernas, Agustus
Catatan: *) Menggunakan Penimbang Proyeksi SP 2010
**) Data Hasil Backcasting SUPAS 2015
Lampiran 5. Kemiskinan Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Tengah, 2020-2021

2020 2021

Kabupaten/Kota Penduduk Penduduk


P0 P1 P2 P0 P1 P2
Miskin Miskin
(%) (%) (%) (%) (%) (%)
(000 jiwa) (000 jiwa)
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9)
Kab. Cilacap 198,60 11,46 0,95 0,13 201,71 11,67 1,48 0,30
Kab. Banyumas 225,84 13,26 2,25 0,50 232,91 13,66 2,36 0,57
Kab. Purbalingga 149,48 15,90 2,32 0,44 153,08 16,24 2,10 0,41
Kab. Banjarnegara 144,95 15,64 2,47 0,51 150,19 16,23 2,97 0,79
Kab. Kebumen 211,09 17,59 2,62 0,55 212,92 17,83 3,24 0,88
Kab. Purworejo 84,79 11,78 0,98 0,12 88,80 12,40 1,36 0,28
Kab. Wonosobo 137,64 17,36 2,43 0,47 139,67 17,67 2,75 0,65

id
Kab. Magelang 146,34 11,27 1,23 0,20 154,91 11,91 1,63 0,35

o.
Kab. Boyolali 100,59 10,18 1,30 0,23 104,82 10,62 1,76 0,38

g
Kab. Klaten 151,83 12,89 1,66 0,31 158,23 13,49 1,79 0,38
Kab. Sukoharjo
Kab. Wonogiri
68,89
104,37
7,68
10,86
0,97
1,08 s.
0,21
0,18
73,84
110,46
8,23
11,55
0,91
1,58
0,21
0,34
bp
Kab. Karanganyar 91,72 10,28 1,56 0,33 95,41 10,68 1,61 0,37
g.

Kab. Sragen 119,38 13,38 2,18 0,53 122,91 13,83 2,39 0,60
Kab. Grobogan 172,26 12,46 1,17 0,18 175,72 12,74 1,66 0,37
en

Kab. Blora 103,73 11,96 1,39 0,21 107,05 12,39 1,82 0,40
Kab. Rembang 100,08 15,60 2,44 0,53 101,40 15,80 2,77 0,68
at

Kab. Pati 127,37 10,08 1,37 0,26 128,74 10,21 1,69 0,42
//j

Kab. Kudus 64,24 7,31 1,01 0,18 67,06 7,60 1,23 0,27
s:

Kab. Jepara 91,14 7,17 0,60 0,07 95,22 7,44 0,88 0,17
Kab. Demak 146,87 12,54 1,97 0,50 151,74 12,92 2,32 0,62
tp

Kab. Semarang 79,88 7,51 0,96 0,16 83,61 7,82 0,95 0,18
ht

Kab. Temanggung 77,33 9,96 0,86 0,11 79,09 10,17 1,57 0,39
Kab. Kendal 97,49 9,99 1,37 0,25 100,00 10,24 1,52 0,33
Kab. Batang 70,57 9,13 1,43 0,32 74,91 9,68 1,76 0,48
Kab. Pekalongan 91,86 10,19 1,42 0,29 95,26 10,57 1,75 0,39
Kab. Pemalang 209,03 16,02 2,86 0,68 215,08 16,56 2,92 0,77
Kab. Tegal 117,50 8,14 1,08 0,19 123,52 8,60 1,00 0,19
Kab. Brebes 308,78 17,03 3,01 0,67 314,95 17,43 3,04 0,74
Kota Magelang 9,27 7,58 1,12 0,24 9,44 7,75 0,85 0,15
Kota Surakarta 47,03 9,03 1,51 0,38 48,79 9,40 1,83 0,54
Kota Salatiga 9,69 4,94 0,53 0,08 10,14 5,14 0,80 0,19
Kota Semarang 79,58 4,34 0,68 0,16 84,45 4,56 0,67 0,14
Kota Pekalongan 22,16 7,17 1,28 0,30 23,49 7,59 1,51 0,41
Kota Tegal 19,55 7,80 1,38 0,36 20,27 8,12 1,04 0,24
Jawa Tengah 3 980,90 11,41 1,72 0,34 4 109,75 11,79 1,91 0,45
Sumber: Publikasi Data dan Informasi Kemiskinan Provinsi Jawa Tengah 2017-2021
Lampiran 6. Statistik Kasus COVID-19 di Provinsi Jawa Tengah, 23 November 2022 16:00 WIB

id
g o.
s.
bp
Sumber: https://corona.jatengprov.go.id/data
g.
en
at
//j
s:
tp
ht
Lampiran 7. Persentase Positif Covid-19 Menurut Jenis Kelamin di Provinsi Jawa Tengah,
30 September 2022

id
o.
g
s.
bp
g.
en
at
//j
s:
tp
ht

Sumber: https://covid19.go.id/peta-sebaran-covid19
Lampiran 8. Persentase Positif Covid-19 Menurut Kelompok Umur di Provinsi Jawa Tengah,
30 September 2022

id
o.
g
s.
bp
g.
en
at
//j
s:
tp
ht

Sumber: https://covid19.go.id/peta-sebaran-covid19
Lampiran 9. Statistik Vaksinasi COVID-19 di Provinsi Jawa Tengah, 23 November 2022 16:52 WIB

id
go.
s.
bp
g.
en
at
//j
s:
tp
ht

Sumber: https://vaksin.kemkes.go.id/#/provinces
Lampiran 10. Statistik Vaksinasi COVID-19 Menurut Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Tengah,
23 November 2022 16:52 WIB

Vaksinasi Dosis 1 Vaksinasi Dosis 2


Kabupaten/Kota Pencapaian Penyaluran Pencapaian Penyaluran
(%) Vaksinasi (%) Vaksinasi
(1) (2) (3) (5) (6)
Kab. Cilacap 80,80 1 381 807 73,20 1 251 763
Kab. Banyumas 87,59 1 363 739 79,21 1 233 259
Kab. Purbalingga 82,75 721 091 75,25 655 679
Kab. Banjarnegara 82,91 739 876 72,72 649 002
Kab. Kebumen 79,67 942 101 68,17 806 069
Kab. Purworejo 80,41 546 891 73,65 500 872
Kab. Wonosobo 82,76 635 528 69,64 534 780

id
Kab. Magelang 77,43 885 067 67,91 776 287

o.
Kab. Boyolali 86,18 801 992 79,75 742 100

g
Kab. Klaten 84,43 939 206 79,86 888 424
Kab. Sukoharjo 83,76 670 253
s. 79,47 635 937
bp
Kab. Wonogiri 81,20 757 636 77,58 723 826
Kab. Karanganyar 89,09 726 231 83,89 683 881
g.

Kab. Sragen 83,48 719 315 78,70 678 165


en

Kab. Grobogan 83,52 1 059 723 73,14 927 996


Kab. Blora 84,67 667 783 73,10 576 507
at

Kab. Rembang 83,30 471 680 64,98 367 968


//j

Kab. Pati 81,50 949 079 68,51 797 877


s:

Kab. Kudus 86,60 641 519 76,52 566 842


Kab. Jepara 85,30 880 887 69,78 720 576
tp

Kab. Demak 82,19 856 982 70,13 731 228


ht

Kab. Semarang 79,64 737 520 78,94 731 079


Kab. Temanggung 84,38 586 139 76,41 530 738
Kab. Kendal 82,75 741 500 75,12 673 101
Kab. Batang 79,83 556 276 65,10 453 641
Kab. Pekalongan 78,16 656 930 65,75 552 626
Kab. Pemalang 75,98 979 077 62,43 804 435
Kab. Tegal 76,32 1 054 761 59,89 827 699
Kab. Brebes 76,92 1 325 202 65,03 1 120 353
Kota Magelang 145,54 157 391 128,95 139 444
Kota Surakarta 131,64 608 454 123,48 570 721
Kota Salatiga 131,79 223 585 103,61 175 775
Kota Semarang 114,01 1 658 203 104,41 1 518 627
Kota Pekalongan 96,59 258 702 81,19 217 460
Kota Tegal 117,40 279 959 99,29 236 766
Jawa Tengah 84,92 27 182 085 74,98 24 001 503
Sumber: https://vaksin.kemkes.go.id/#/detail_data
Target Vaksin Dosis 1,2 dan 3: 32.010.100
Lampiran 10. Statistik Vaksinasi COVID-19 Menurut Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Tengah,
23 November 2022 16:52 WIB (Lanjutan)

Vaksinasi Dosis 3 Vaksinasi Dosis 4


Kabupaten/Kota Pencapaian Penyaluran Pencapaian Penyaluran
(%) Vaksinasi (%) Vaksinasi
(1) (2) (3) (5) (6)
Kab. Cilacap 26,82 458 731 47,68 2 771
Kab. Banyumas 31,72 493 880 72,01 6 803
Kab. Purbalingga 27,98 243 848 63,64 1 890
Kab. Banjarnegara 24,25 216 457 58,07 1 759
Kab. Kebumen 22,27 263 342 64,17 4 020
Kab. Purworejo 34,53 234 819 64,84 2 174
Kab. Wonosobo 22,70 174 320 66,79 1 462

id
Kab. Magelang 18,26 208 753 69,48 1 919

o.
Kab. Boyolali 21,35 198 642 71,05 2 599

g
Kab. Klaten 36,13 401 955 97,97 5 684
Kab. Sukoharjo 31,38 251 104
s. 87,88 5 453
bp
Kab. Wonogiri 32,99 307 831 54,46 2 026
Kab. Karanganyar 25,01 203 846 67,78 2 325
g.

Kab. Sragen 22,52 194 018 72,92 3 621


en

Kab. Grobogan 25,36 321 698 41,93 1 990


Kab. Blora 24,87 196 154 60,73 2 227
at

Kab. Rembang 20,59 116 574 49,24 1 225


//j

Kab. Pati 17,73 206 455 59,75 3 751


s:

Kab. Kudus 26,74 198 115 72,37 3 982


Kab. Jepara 23,31 240 686 43,56 1 820
tp

Kab. Demak 23,98 250 077 79,55 2 248


ht

Kab. Semarang 28,36 262 631 67,97 2 710


Kab. Temanggung 21,06 146 306 53,22 1 702
Kab. Kendal 19,62 175 767 46,84 1 643
Kab. Batang 21,96 153 013 41,95 1 011
Kab. Pekalongan 15,97 134 214 48,65 1 369
Kab. Pemalang 15,34 197 657 31,51 1 233
Kab. Tegal 14,15 195 501 40,40 2 035
Kab. Brebes 20,98 361 516 42,81 2 370
Kota Magelang 49,43 53 451 49,51 1 772
Kota Surakarta 58,98 272 589 90,31 9 581
Kota Salatiga 38,25 64 888 54,19 1 333
Kota Semarang 52,68 766 195 96,54 18 103
Kota Pekalongan 26,74 71 631 54,04 1 619
Kota Tegal 38,50 91 805 59,75 1 688
Jawa Tengah 73,98 8 328 469 109 918
Sumber: https://vaksin.kemkes.go.id/#/detail_data
Target Vaksin Dosis 1,2 dan 3: 32.010.100
ht
tp
s:
//j
at
en
g.
bp
s.
go.
id
ht
tp
s:
//j
at
en
g.
bp
s.
go.
id

Anda mungkin juga menyukai