Anda di halaman 1dari 271

TENTANG PENULIS

Silvia Sukirman, lahir di Payakumbuh, pada tanggal 18 Februari


1949. Pendidikan sampai dengan SMP diselesaikannya di
tempat kelahirannya, SMA di Padang, lalu melanjutkan studi di
Bandung. Program Sarjana Teknik Sipil diperolehnya melalui
pendidikan di Universitas Katolik Parahyangan, dan pada tahun 1977 lulus
program Pasca Sarjana Jalan Raya PUTL-ITB.
Pengalaman kerja di bidang profesional dimulai sejak tahun 1974
dengan bekerja pada PT Sangkuriang, Bandung. Sejak 1975 sampai
dengan 1991 bekerja pada Indec & Ass Ltd, di Bandung, yang bergerak
di bidang jasa konstruksi terutama pekerjaan jalan dan jembatan.
Pengalaman kerja di bidang pendidikan dimulai sejak tahun 1973
dengan menjadi asisten dosen di Universitas Katolik Parahyangan, sejak
tahun 1979 menjadi dosen tidak tetap di Universitas Kristen Maranatha
dan sejak tahun 1984 sampai saat ini menjadi dosen di Institut Teknologi
Nasional, Bandung.
Di samping bekerja sesuai bidang ilmunya, bidang manajemen
pendidikan diperolehnya di Institut Teknologi Nasional, Bandung, dengan
pernah menduduki jabatan sebagai Sekretaris Jurusan Teknik Sipil, Pem-
bantu Dekan Bidang Akademik dan Dekan Fakultas Teknik Sipil dan
Perencanaan, Pembantu Rektor Bidang Akademik, dan terakhir sebagai
Kepala Unit Pelaksana Teknis P3AI.
Selain itu, ia juga aktif di Himpunan Pengembang Jalan Indonesia
dan dipercaya sebagai anggota tim ahli Badan Sertifikasi Asosiasi Daerah
DPD HPJI Jawa Barat periode 2003 - 2006.
Buku Perencanaan Tebal Struktur Perkerasan Lentur ini meru-
pakan edisi revisi dari Buku Perkerasan Lentur Jalan Raya yang
diterbitkan pertama kali pada Tahun 1991 dan telah mengalami cetak
ulang sebanyak tujuh kali. Buku ini membahas secara menyeluruh
tentang perencanaan tebal perkerasan lentur, oleh karena itu Bab yang
membahas tentang material perkerasan jalan pada buku terdahulu,
dalam buku ini ditiadakan.

Buku ini bertujuan membantu Anda untuk memahami prinsip-


prinsip tentang perencanaan tebal perkerasan lentur dan metode peren-
canaan berbasiskan pengamatan langsung dilapangan (metode empiris).
Tema pokok bahasan antara lain:
- bagaimana menentukan beban lalulintas untuk perencanaan
tebal perkerasan jalan
- bagaimana menentukan daya dukung tanah dasar
- uraian tentang jalan percobaan AASHTO
- metode perencanaan tebal perkerasan AASHTO 1972, dan 1993
- metode perencanaan tebal perkerasan Sesuai SNI 1732-1989-F,
dan Pt T-01-2002-B
- metode perencanaan tebal lapis tambah menggunakan metode
analisis komponen dan lendutan balik.

Penerbit Nova
Sukirman, Silvia
Perencanaan Tebal Struktur Perkerasan Lentur

x +244 hlm. 16 x 23 cm.


ISBN: 978-602-96141-0-7

Cetakan pertama, Februari 2010

Copyright © 2010 Silvia Sukirman


Hak Cipta dilindungi Undang-undang

Desain Cover: Sofyan Triana

Penerbit NOVA
Kotak Pos 469, Bandung
Email: penerbitnova@yahoo.com

iv
KATA PENGANTAR

Perencanaan tebal struktur perkerasan jalan merupakan salah


satu bagian dari rekayasa jalan yang bertujuan memberikan pelayanan
terhadap arus lalulintas sehingga memberikan rasa aman dan nyaman
kepada pengguna jalan.
Kesesuaian dan ketepatan dalam menentukan parameter pendu-
kung dan metode perencanaan tebal perkerasan yang digunakan, sangat
mempengaruhi efektifitas dan efisiensi penggunaan biaya konstruksi dan
pemeliharaan jalan.
Buku ini memberikan pengetahuan dasar bagi para mahasiswa
dan praktisi pemula untuk memahami konsep dasar perencanaan tebal
perkerasan lentur. Metode perencanaan yang diuraikan secara rinci
hanyalah metode AASHTO dan Bina Marga. Pemahaman kedua metode
ini diharapkan dapat menjadi dasar pengetahuan untuk mempelajari
metode lainnya.
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada
Sdr. Deny Zuzan, Rina Rosdiana ST., dan Sofyan Triana ST., MT., yang
telah banyak membantu dalam proses penulisan dan penyelesaian buku
ini.
Semoga buku ini bermanfaat bagi pengembangan pengetahuan
tentang perencanaan tebal struktur perkerasan jalan dan masukan serta
saran dari berbagai pihak untuk penyempurnaan buku ini sangat kami
harapkan.

Bandung, Februari 2010


Penulis

v
Halaman ini sengaja dikosongkan

vi
Daftar Isi
halaman
Kata Pengantar.............................................................................v
Daftar Isi......................................................................................vii

1. Sejarah dan Kinerja Perkerasan Jalan 1


1.1 Sejarah Perkerasan Jalan....................................................1
1.1.1 Telford dan Macadam..............................................2
1.1.2 Permulaan Perkerasan Kedap Air..............................4
1.1.3 Sejarah Jalan di Indonesia.......................................5
1.2 Kinerja Struktur Perkerasan Jalan......................................6
2. Jenis dan Fungsi Lapisan Perkerasan Jalan 9
2.1 Lapis Permukaan (Surface Course).....................................14
2.2 Lapis Pondasi (Base Course)..............................................22
2.3 Lapis Pondasi Bawah (Subbase Course).............................26
2.4 Lapis Tanah Dasar (Subgrade/Roadbed)............................27

3. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Perencanaan


Tebal Perkerasan 31
3.1. Beban Lalulintas................................................................31
3.1.1 Konfigurasi Sumbu Dan Roda Kendaraan..................32
3.1.2 Beban Roda Kendaraan...........................................37
3.1.3 Beban sumbu..........................................................37
3.1.4 Volume Lalulintas....................................................46
3.1.5 Repetisi Beban Lalulintas.........................................47
3.1.6 Beban Lalulintas Pada Lajur Rencana........................53

vii
3.2 Daya Dukung Tanah Dasar................................................55
3.2.1 Pengujian California Bearing Ratio (CBR)...................56
3.2.2 Nilai CBR Dari Satu Titik Pengamatan......................61
3.2.3 CBR Segmen Jalan..................................................62
3.2.4 Penetrometer Konus Dinamis (Dynamic Cone
Penetrometer (DCP)..................................................69
3.2.5 Modulus resilient (MR)..............................................74
3.2.6 Hal-hal Yang Perlu Diperhatikan Pada Penetapan
Daya Dukung Tanah Dasar.......................................78
3.3 Fungsi Jalan......................................................................80
3.3.1 Sistem Jaringan Jalan Umum...................................80
3.3.2 Fungsi Jalan Umum.................................................81
3.3.3 Status Jalan Umum.................................................84
3.4 Kondisi Lingkungan............................................................86
3.5 Mutu Struktur Perkerasan Jalan..........................................89
3.5.1 Kekasaran Muka Jalan (Roughness).........................89
3.5.2 Indeks Permukaan (Serviceability Index)...................92
3.5.3 Tahanan Gelincir (Skid Resistance)............................95

4. Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur Metode AASHTO 97


4.1 Jalan Percobaan AASHTO....................................................98
4.1.1 Struktur Jalan Percobaan.........................................98
4.1.2 Penelitian di Jalan Percobaan...................................102
4.1.3 Perkembangan Metode AASHTO...............................103
4.2 Metode AASHTO 1972........................................................105
4.3 Metode AASHTO 1993........................................................109
4.3.1 Beban Lalu Lintas Sesuai AASHTO 1993....................109

viii
4.3.2 Reliabilitas..............................................................125
4.3.3 Drainase.................................................................130
4.3.4 Rumus Dasar Metode AASHTO 1993.........................132
4.3.5 Tebal Minimum Setiap Lapisan.................................138
5. Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur Metode
Analisis Komponen SNI 1732-1989-F 141
5.1 Beban Lalu lintas Berdasarkan SNI 1732-1989-F..................141
5.2 Daya Dukung Tanah Dasar Berdasarkan SNI 1732-1989-F . 146
5.3 Parameter Penunjuk Kondisi Lingkungan
Sesuai SNI 1732-1989-F.....................................................148
5.4 Indeks Permukaan Sesuai SNI 1732-1989-F.........................148
5.5 Rumus Dasar Metode SNI 1732-1989-F...............................151
5.6 Tebal Minimum Lapis Perkerasan........................................162
5.7 Konstruksi Bertahap...........................................................162
5.8 Prosedur Perencanaan Tebal Perkerasan
Metode SNI 1732-1989-F....................................................168

6. Perencanaan Tebal Perkerasan Metode Pt T-01-2002-B 171


6.1 Langkah-langkah Perencanaan Tebal Lapis Perkerasan
Metode Pt T-01-2002-B......................................................171
6.2 Konstruksi Bertahap Sesuai Metode Pt T-01-2002-B..............176
6.3 Tinjauan Metode Pt T-01-2002-B Terhadap Metode
AASHTO 1993..................................................................177
7. Perencanaan Tebal Lapis Tambah 179
7.1 Survei Kondisi Perkerasan Jalan.........................................181
7.1.1 Kerusakan Jalan......................................................182
7.1.2 Kondisi Struktur Perkerasan Jalan Lama....................188
7.2 Pengujian Lendutan Perkerasan Lentur Dengan

ix
Alat Benkelman Beam........................................................190
7.2.1 Lendutan Balik........................................................193
7.2.2 Lendutan Balik Segmen...........................................198
7.3 Perencanaan Tebal Lapis Tambah Berdasarkan
Metode SNI 1732-1989-F.......................................................200
7.4 Perencanaan Tebal Lapis Tambah Berdasarkan
Metode Pt T-01-2002-B......................................................201
7.5 Perencanaan Tebal Lapis Tambah Berdasarkan
Metode No.01/MN/B/1983.....................................................206
7.6 Perencanaan Tebal Lapis Tambah Berdasarkan
Metode Road Design System (RDS)........................................209
7.7 Perencanaan Tebal Lapis Tambah Berdasarkan
Metode Pd T-05-2005-B ...................................................... 212

Daftar Pustaka .......................................................................... 217

Lampiran 1 Tabel Angka Ekivalen Berdasarkan AASHTO’93 ......... 221


Lampiran 2 Tabel Angka ekivalen Berdasarkan SNI 1732-
1989-F Dan Pd.T-05-2005-B .................................... 209
Lampiran 3 Daftar Rumus ......................................................... 212
Lampiran 4 Daftar Tabel ........................................................... 241

x
Sejarah dan Kinerja Perkerasan Jalan

BAB 1
Sejarah dan Kinerja
Perkerasan Jalan

1.1 Sejarah Perkerasan Jalan

Sejarah perkerasan jalan dimulai bersamaan dengan sejarah umat


manusia itu sendiri dalam usaha memenuhi kebutuhan hidup dan
berkomunikasi dengan sesama. Perkembangan sistem struktur perkeras-
an jalan saling terkait dengan peningkatan mutu kehidupan dan teknologi
yang ditemukan umat manusia. Pada awalnya jalan hanyalah berupa
jejak manusia yang mencari kebutuhan hidup, termasuk sumber air.
Setelah manusia mulai hidup berkelompok, jejak-jejak itu berubah
menjadi jalan setapak. Dengan digunakannya hewan sebagai alat trans-
portasi, permukaan jalan dibuat rata dan diperkeras dengan batu.

Teknologi perkerasan jalan berkembang pesat sejak ditemukannya roda


sekitar 3500 tahun sebelum Masehi di Mesopotamia dan pada zaman
keemasan Romawi. Pada saat itu jalan dibangun dalam beberapa lapisan
perkerasan terutama dari pasangan batu, yang secara keseluruhan lebih
tebal dari struktur perkerasan jalan saat ini, walaupun belum mengguna-
kan aspal ataupun semen sebagai bahan pengikat.

1
Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur

1.1.1 Telford dan Macadam

Beberapa orang yang namanya diabadikan sebagai bapak perkerasan


jalan antara lain Thomas Telford dan John Lauden Macadam. Jalan-jalan
di Indonesia peninggalan tempo dulu banyak menggunakan perkerasan
Telford atau Makadam ini.
Thomas Telford (1757 – 1834) dari Skotlandia, seorang ahli tentang batu,
membangun jalan di atas lapisan tanah dasar dengan kemiringan tidak
lebih dari 1:30. Struktur perkerasan di atas tanah dasar terdiri dari 3 lapis
dengan tebal total antara 35 – 45 cm. Ciri khas Telford adalah lapisan
batu dibangun di atas tanah dasar dimana lapis pertama terdiri dari batu
besar dengan lebar 10 cm dan tinggi 7,5 -18 cm, lapis kedua dan ketiga
terdiri dari batu dengan ukuran maksimum 6,5 cm (tinggi lapis kedua dan
ketiga sekitar 15- 25 cm), dan paling atas diberi lapisan aus dari kerikil
dengan ukuran 4 cm. Lapisan perkerasan ini diperkirakan mampu
[WSDOT]
memikul beban 88 N/mm lebar .

2 lapis dengan ukuran


maksimum 6,5 cm
Kerikil 4 cm
Batu pecah dan
kerikil 4 cm

tebal total

Batu berukuran lebar 10 cm, dan


Lapisan tanah tinggi antara 7,5 – 18 cm
dasar

Sumber:WSDOT Gambar 1.1 Struktur perkerasan Telford

2
Sejarah dan Kinerja Perkerasan Jalan

John L. Macadam (1756 – 1836) orang Skotlandia, mengamati bahwa


pada saat itu kebanyakan perkerasan jalan dibangun dengan menggu-
[WSDOT]
nakan batu bulat . Oleh karena itu dia memperkenalkan stuktur
perkerasan yang dibangun dari batu pecah. Di samping itu, Macadam
memperhatikan juga kebutuhan drainase dengan membuat struktur
perkerasan di atas lapisan tanah dasar yang memiliki kemiringan (lapisan
Telford dibangun di atas lapisan tanah dasar yang hampir rata). Keisti-
mewaan lain dari perkerasan Macadam adalah memperkenalkan peng-
gunaan batu pecah ukuran kecil (maksimum 2,5 cm) untuk membuat
permukaan perkerasan rata.
Batu pecah dengan ukuran maksimum 7,5 cm diletakkan di atas lapisan
tanah dasar dalam dua lapis. Tebal total kedua lapis adalah 20 cm.
Lapisan aus dibangun dengan ketebalan sekitar 5 cm terdiri dari agregat
berukuran maksimum 2,5 cm. Jadi tebal total struktur perkerasan
Macadam adalah 25 cm, lebih tipis dari perkerasan Telford. Lapisan
perkerasan Macadam diperkirakan mampu memikul beban 158 N/mm

lebar[WSDOT].

2 lapis (masing-masing tebal 10 cm)


5 cm dan agregat berukuran maksimum 2,5 cm

25 cm

Lapisan tanah dasar berlandai

Sumber:WSDOT

Gambar 1.2 Struktur perkerasan Macadam

3
Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur

Struktur perkerasan Macadam yang dikenal sebagai lapisan Macadam,


digunakan di sebagian besar dunia termasuk Indonesia. Lapisan Maca-
dam di Indonesia telah mengalami beberapa kali modifikasi antara lain
jenis lapisan Macadam basah (waterbound Macadam) dan penetrasi
Macadam. Macadam basah menggunakan tanah berbutir halus sebagai
lapisan penutup pori lapisan paling atas, sedangkan lapisan penetrasi
Macadam menggunakan aspal yang dilabur sebagai bahan pengikat
lapisan paling atas dan diberi pasir kasar sebagai batu penutup. Gambar
1.3 menggambarkan lapisan penetrasi Macadam yang sampai saat ini
masih banyak digunakan di Indonesia.

Pasir kasar
Lapis aus
Aspal

Batu pecah ≤ 2,5 cm

Batu pecah
Batu pinggir batu pecah ≤ 7,5 cm

Pasir urug 10- 20 cm

Gambar 1.3 Lapisan penetrasi Macadam

1.1.2 Permulaan Perkerasan Kedap Air

Struktur perkerasan jalan cepat menjadi rusak akibat beban lalulintas dan
air. Oleh karena itu ahli teknik jalan raya berusaha untuk menghasilkan
perkerasan yang kedap air agar tahan dalam menghadapi perubahan
cuaca dan hujan. Saat ini aspal dan semen banyak digunakan sebagai
bahan pembuat perkerasan kedap air.

4
Sejarah dan Kinerja Perkerasan Jalan

Perkerasan jalan dengan menggunakan aspal sebagai bahan pengikat


tercatat ditemukan pertama kali di Babylon pada 625 tahun sebelum
Masehi, tetapi perkerasan jenis ini tidak berkembang sampai ditemu-
kannya kendaraan bermotor bensin oleh Godlieb Daimler dan Karl Benz
pada tahun 1880. Di Amerika Serikat, Warren melalui berbagai hak
patennya, mulai mengembangkan beton aspal pada awal 1900.
Sejak Portland Bill menemukan semen artifisial yang dikenal sebagai
semen portland, penggunaan semen sebagai bahan pembentuk lapisan
perkerasan jalan berkembang dengan pesat.
Perkerasan beton semen telah ditemukan pada tahun 1828 di London.
Penggunaan semen sebelum abad 20 umumnya digunakan hanya sebagai
pembentuk lapisan pondasi, dan sejak awal abad 20 semen mulai
digunakan sebagai material pengikat lapisan aus perkerasan jalan.

1.1.3 Sejarah Jalan di Indonesia

Catatan tentang sejarah jalan di Indonesia tak banyak ditemukan.


Pembangunan jalan yang tercatat dalam sejarah Bangsa Indonesia
adalah pembangunan Jalan Raya Pos (De Grote Pos Weg) yang
dilakukan melalui kerja paksa, pada pemerintahan HW Daendels. Jalan
Raya Pos tersebut dibangun mulai Mei 1808 sampai dengan Juni
1809, terbentang dari Anyer di ujung Barat sampai dengan Panarukan di
ujung Timur Pulau Jawa, sepanjang lebih kurang 1000 km. Tujuan
pembangunan jalan saat itu diutamakan untuk kepentingan strategi
pertahanan daripada transpor- tasi masyarakat. Jalan-jalan cabang dari
jalan pos dibangun di zaman tanaman paksa sebagai prasarana
mengangkut hasil tanaman.

5
Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur

Di luar pulau Jawa pembangunan jalan hampir tidak berarti, kecuali di


sekitar daerah tanaman paksa di Sumatera Tengah dan Utara pada saat
itu.
Jalan tol Jagorawi sepanjang 53 km menghubungkan Jakarta – Bogor –
Ciawi yang diresmikan pada tanggal 9 Maret 1978, merupakan awal
dimulainya era baru peningkatan pembangunan konstruksi jalan di
Indonesia. Peningkatan mutu konstruksi perkerasan jalan menggunakan
beton aspal dan beton semen meningkat pesat sejak saat itu.
Perkembangan teknologi konstruksi perkerasan jalan di dunia dan dam-
pak dari dibangunnya jalan di suatu daerah telah mengubah paradigma
dari jalan hanya sebagai prasarana transportasi menjadi jalan sebagai
prasarana transportasi dan juga struktur bangunan sipil yang membawa
dampak lingkungan dan perlu mendapat perhatian yang serius.

1.2 Kinerja Struktur Perkerasan Jalan

Struktur perkerasan jalan sebagai komponen dari prasarana transportasi


berfungsi sebagai:
1. penerima beban lalulintas yang dilimpahkan melalui roda kendaraan.
Oleh karena itu struktur perkerasan perlu memiliki stabilitas yang
tinggi, kokoh selama masa pelayanan jalan dan tahan terhadap
pengaruh lingkungan dan atau cuaca. Kelelahan ( fatigue resistance),
kerusakan perkerasan akibat berkurangnya kekokohan jalan seperti
retak (craking), lendutan sepanjang lintasan kendaraan ( rutting),
bergelombang, dan atau berlubang, tidak dikehendaki terjadi pada
perkerasan jalan.
2. pemberi rasa nyaman dan aman kepada pengguna jalan. Oleh
karena itu permukaan perkerasan perlu kesat sehingga mampu
memberikan
6
Sejarah dan Kinerja Perkerasan Jalan

gesekan yang baik antara muka jalan dan ban kendaraan, tidak
mudah selip ketika permukaan basah akibat hujan atau menikung
pada kecepatan tinggi. Di samping itu permukaan perkerasan harus
tidak mengkilap, sehingga pengemudi tidak merasa silau jika
permukaan jalan kena sinar matahari.

Agar struktur perkerasan jalan kokoh selama masa pelayanan, aman dan
nyaman bagi pengguna jalan, maka:
1. Pemilihan jenis perkerasan dan perencanaan tebal lapisan perke-
rasan perlu memperhatikan daya dukung tanah dasar, beban lalu-
lintas, keadaan lingkungan, masa pelayanan atau umur rencana,
ketersediaan dan karakteristik material pembentuk perkerasan jalan
di sekitar lokasi.
2. Analisis dan rancangan campuran dari bahan yang tersedia perlu
memperhatikan mutu dan jumlah bahan setempat sehingga sesuai
dengan spesifikasi pekerjaan dari jenis lapisan perkerasan yang
dipilih.
3. Pengawasan pelaksanaan pekerjaan sesuai prosedur pengawasan
yang ada, dengan memperhatikan sistem penjaminan mutu pelaksa-
naan jalan sesuai spesifikasi pekerjaan. Pemilihan jenis lapisan
perkerasan dan perencanaan tebal perkerasan, analisis campuran
yang baik, belum menjamin dihasilkannya perkerasan yang meme-
nuhi apa yang diinginkan, jika pelaksanaan dan pengawasan tidak
dilakukan dengan cermat, sesuai prosedur dan spesifikasi pekerjaan.
4. Pemeliharaan jalan selama masa pelayanan perlu dilakukan secara
periodik sehingga umur rencana dapat tercapai. Pemeliharaan meli-
puti tidak saja struktur perkerasan jalan, tetapi juga sistem drainase
di sekitar lokasi jalan tersebut.

7
Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur

Halaman ini sengaja dikosongkan

8
Jenis dan Fungsi Lapisan Perkerasan

BAB 2
Jenis dan Fungsi
Lapisan Perkerasan Jalan

Air yang menggenangi atau masuk ke dalam pori perkerasan jalan


merupakan salah satu faktor penyebab rusaknya jalan. Oleh karena itu
bagian atas jalan diusahakan memiliki sifat kedap air di samping adanya
sistem drainase jalan yang memadai. Sifat kedap air diperoleh dengan
menggunakan bahan pengikat dan pengisi pori antar agregat seperti
aspal atau semen portland. Berdasarkan bahan pengikat yang digunakan
untuk membentuk lapisan atas, perkerasan jalan dibedakan menjadi
perkerasan lentur (flexible pavement) yaitu perkerasan yang menggu-
nakan aspal sebagai bahan pengikat, perkerasan kaku ( rigid pavement)
yaitu perkerasan yang menggunakan semen portland, dan perkerasan
komposit (composite pavement) yaitu perkerasan kaku yang dikombi-
nasikan dengan perkerasan lentur, dapat perkerasan lentur di atas perke-
rasan kaku atau perkerasan kaku di atas perkerasan lentur. Di samping
pengelompokkan di atas, saat ini ada pula yang mengelompokkan
menjadi perkerasan lentur (flexible pavement), perkerasan kaku (rigid
pavement), dan perkerasan semi kaku (semi -rigid pavement).
Beban kendaraan yang dilimpahkan keperkerasan jalan melalui kontak
roda kendaraan dengan muka jalan terdiri atas berat kendaraan sebagai

9
Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur

gaya vertikal, gaya rem kendaraan sebagai gaya horizontal, dan gerakan
roda kendaraan sebagai getaran. Beban tersebut dilimpahkan melalui
bidang kontak antara roda dan permukaan jalan lalu didistribusikan ke
lapisan di bawahnya. Model pendistribusian beban dipengaruhi oleh sifat
kekakuan lapisan penerima beban. Pelat beton dengan nilai kekakuan
tinggi, mendistribusikan beban kendaraan pada bidang seluas pelat
beton, sehingga beban persatuan luas yang dilimpahkan ke lapisan di
bawah pelat beton menjadi kecil. Perkerasan lentur memiliki kekakuan
yang lebih rendah sehingga beban yang dilimpahkan ke lapisan dibawah-
nya didistribusikan pada luas yang lebih sempit. Gambar 2.1 mengilus-
trasikan perbedaan pendistribusian beban kendaraan pada perkerasan
kaku dan perkerasan lentur.

Beban roda

P0 Distribusi beban

P1

P2
(a) Perkerasan kaku (b) Perkerasan lentur

Gambar 2.1 Distribusi beban pada perkerasan kaku


dan perkerasan lentur

Pada Gambar 2.1a beban kendaraan didistribusikan oleh pelat beton pada
bidang yang luas sehingga beban merata yang dilimpahkan ke lapisan
dibawahnya, P0, menjadi kecil, sedangkan pada Gambar 2.1b beban

10
Jenis dan Fungsi Lapisan Perkerasan

kendaraan didistribusikan pada luas yang lebih sempit daripada


perkerasan kaku, sehingga P1 lebih besar dari Po. P1 selanjutnya
didistribusikan ke lapisan dibawahnya lagi, demikian seterusnya. Karena
P2<P1, maka lapisan perkerasan lentur dibuat berlapis-lapis, dengan
lapisan paling atas memiliki sifat yang lebih baik dari lapisan di
bawahnya. Akibat tidak samanya kekakuan setiap lapis perkerasan, maka
distribusi beban lalulintas ke lapis dibawahnya seperti garis pada
Gambar 2.2, bukan seperti garis .

Beban roda

Gambar 2.2 Distribusi beban roda pada lapisan perkerasan lentur

Perkerasan lentur

Pada umumnya perkerasan lentur baik digunakan untuk jalan yang mela-
yani beban lalulintas ringan sampai dengan sedang, seperti jalan perkota-
an, jalan dengan sistem utilitas terletak di bawah perkerasan jalan,
perkerasan bahu jalan, atau perkerasan dengan konstruksi bertahap.

Keuntungan menggunakan perkerasan lentur adalah:


1. dapat digunakan pada daerah dengan perbedaan penurunan (differen-
tial settlement) terbatas;

11
Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur

2. mudah diperbaiki;
3. tambahan lapisan perkerasan dapat dilakukan kapan saja;
4. memiliki tahanan geser yang baik;
5. warna perkerasan memberikan kesan tidak silau bagi pemakai jalan;
6. dapat dilaksanakan bertahap, terutama pada kondisi biaya pemba-
ngunan terbatas atau kurangnya data untuk perencanaan.

Kerugian menggunakan perkerasan lentur adalah:


1. tebal total struktur perkerasan lebih tebal dari pada perkerasan kaku;
2. kelenturan dan sifat kohesi berkurang selama masa pelayanan;
3. frekwensi pemeliharaan lebih sering daripada menggunakan perke-
rasan kaku;
4. tidak baik digunakan jika sering digenangi air;
5. membutuhkan agregat lebih banyak.

Struktur perkerasan lentur terdiri dari beberapa lapis yang makin ke


bawah memiliki daya dukung yang semakin jelek. Gambar 2.3 menun-
jukkan jenis lapis perkerasan dan letaknya, yaitu:
1. lapis permukaan (surface course);
2. lapis pondasi (base course);
3. lapis pondasi bawah (subbase course);
4. lapis tanah dasar (subgrade).

Perkerasan kaku

Perkerasan kaku cocok digunakan untuk jalan dengan volume lalulintas


tinggi yang didominasi oleh kendaraan berat, di sekitar pintu tol, jalan
yang melayani kendaraan berat yang melintas dengan kecepatan rendah,

12
Jenis dan Fungsi Lapisan Perkerasan

atau di daerah jalan keluar atau jalan masuk ke jalan berkecepatan tinggi
yang didominasi oleh kendaraan berat.

Gambar 2.3 Struktur perkerasan lentur

Lapis permukaan Lapis pondasi


Lapis pondasi bawah (optional)
Subgrade
(Tanah dasar)

Keuntungan menggunakan perkerasan kaku adalah:


1. umur pelayanan panjang dengan pemeliharaan yang sederhana;
2. durabilitas baik;
3. mampu bertahan pada banjir yang berulang, atau genangan air tanpa
terjadinya kerusakan yang berarti.

Kerugian menggunakan perkerasan kaku adalah:


1. kekesatan jalan kurang baik dan sifat kekasaran permukaan dipenga-
ruhi oleh proses pelaksanaan;
2. memberikan kesan silau bagi pemakai jalan;
3. membutuhkan lapisan tanah dasar yang memiliki penurunan ( settle-
ment) yang homogen agar pelat beton tidak retak. Untuk mengatasi
hal ini seringkali di atas permukaan tanah dasar diberi lapis pondasi
bawah sebagai pembentuk lapisan homogen.

13
Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur

Struktur perkerasan kaku terdiri dari pelat beton sebagai lapis


permukaan, lapis pondasi bawah sebagai lapis bantalan yang homogen,
dan lapis tanah dasar tempat struktur perkerasan diletakkan. Pelat beton
memiliki sambungan memanjang dan sambungan melintang seperti pada
Gambar 2.4.

sambungan memanjang
sambungan melintang

Pelat beton Lapis pondasi


Lapis pondasi bawah
(optional)
Subgrade
(Tanah Dasar)

Gambar 2.4 Struktur perkerasan kaku

Struktur perkerasan lentur atau kaku, keduanya memiliki keuntungan dan


kerugian. Oleh karena itu desainer perlu mempertimbangkan berbagai
faktor dalam pemilihan struktur perkerasan yang sesuai untuk satu
proyek jalan. Uraian selanjutnya dalam buku ini hanya membahas ten-
tang perencanaan tebal perkerasan lentur saja.

2.1 Lapis Permukaan (Surface Course)

Lapis permukaan merupakan lapis paling atas dari struktur perkerasan


jalan, yang fungsi utamanya sebagai:

14
Jenis dan Fungsi Lapisan Perkerasan

1. lapis penahan beban vertikal dari kendaraan, oleh karena itu lapisan
harus memiliki stabilitas tinggi selama masa pelayanan;
2. lapis aus (wearing course) karena menerima gesekan dan getaran
roda dari kendaraan yang mengerem;
3. lapis kedap air, sehingga air hujan yang jatuh di atas lapis permukaan
tidak meresap ke lapis di bawahnya yang berakibat rusaknya struktur
perkerasan jalan;
4. lapis yang menyebarkan beban ke lapis pondasi.

Lapis permukaan perkerasan lentur menggunakan bahan pengikat aspal,


sehingga menghasilkan lapis yang kedap air, berstabilitas tinggi, dan
memiliki daya tahan selama masa pelayanan. Namun demikian, akibat
kontak langsung dengan roda kendaraan, hujan, dingin, dan panas, lapis
paling atas cepat menjadi aus dan rusak, sehingga disebut lapis aus.
Lapisan di bawah lapis aus yang menggunakan aspal sebagai bahan
pengikat, disebut lapis permukaan antara (binder course), berfungsi
memikul beban lalulintas dan mendistribusikannya ke lapis pondasi.
Dengan demikian lapis permukaan dapat dibedakan menjadi:
1. lapis aus (wearing course), merupakan lapis permukaan yang kontak
dengan roda kendaraan dan perubahan cuaca.
2. lapis permukaan antara (binder course), merupakan lapis permukaan
yang terletak di bawah lapis aus dan di atas lapis pondasi.

Berbagai jenis lapis permukaan yang umum digunakan di Indonesia


adalah:
1. Laburan aspal, merupakan lapis penutup yang tidak memiliki nilai
struktural, terdiri dari:
a. Laburan Aspal Satu Lapis (burtu = surface dressing), terdiri dari la-
pis aspal yang ditaburi dengan satu lapis agregat bergradasi sera-

15
Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur

gam dengan ukuran nominal maksimum 13 mm. Burtu memiliki


ketebalan maksimum 2 cm.
b. Laburan Aspal Dua Lapis (burda = surface dressing), terdiri dari
lapis aspal ditaburi agregat, dikerjakan dua kali secara berurutan,
dengan tebal padat maksimum 3,5 cm. Lapis pertama burda adalah
lapis burtu dan lapis keduanya menggunakan agregat penutup
dengan ukuran maksimum 9,5 mm (3/8 inci).

2. Lapis Tipis Aspal Pasir (Latasir = Sand Sheet = SS), merupakan lapis
penutup permukaan jalan yang menggunakan agregat halus atau pasir
atau campuran keduanya, dicampur dengan aspal, dihampar dan
dipadatkan pada suhu tertentu. Ada dua jenis latasir yaitu latasir kelas
A dan latasir kelas B. Latasir kelas A dengan tebal nominal minimum
15 mm, menggunakan agregat dengan ukuran maksimum No.4,
sedangkan latasir kelas B dengan tebal nominal minimum 20 mm,
menggunakan agregat dengan ukuran maksimum 9,5 mm (3/8 inci).
Latasir digunakan untuk lalulintas ringan yaitu kurang dari 0,5 juta
lintas sumbu standar (lss). Ketentuan sifat campuran latasir seperti
pada Tabel 2.1.

3. Lapis Tipis Beton Aspal (Lataston = Hot Rolled Sheet = HRS),


merupakan lapis permukaan yang menggunakan agregat bergradasi
senjang dengan ukuran agregat maksimum 19 mm (3/4 inci).
Ada dua jenis lataston yang digunakan yaitu:
a. Lataston Lapis Aus, atau Hot Rolled Sheet Wearing Course =
HRS-WC, tebal nominal minimum 30 mm dengan tebal toleransi ±
4 mm.

16
Jenis dan Fungsi Lapisan Perkerasan

b. Lataston Lapis Permukaan Antara, atau Hot Rolled Sheet Base


Course = HRS-BC, tebal nominal minimum 35 mm dengan tebal
toleransi ± 4 mm.

Tabel 2.1 Ketentuan Sifat Campuran Latasir

Latasir
Indikator Sifat Campuran
Kelas A & B
Jumlah tumbukan per bidang 50
Min 3,0
Rongga dalam campuran (VIM) (%)
Mak 6,0
Rongga antara agregat (VMA) (%) Min 20
Rongga terisi aspal (VFA) (%) Min 75
Stabilitas Marshall (kg) Min 200
Min 2
Kelelehan (mm)
Mak 3
Marshall Quotient (kg/mm) Min 80
Stabilitas Marshall sisa (%) setelah
perendaman selama 24 jam, 60°C pada Min 80
VIM ±7%
Sumber: Departemen Pekerjaan Umum, 2007

HRS-WC memiliki agregat halus dan bahan pengisi ( filler) lebih banyak
dari HRS-BC.
Lataston sebaiknya digunakan untuk lalulintas kurang dari 1 juta lss
selama umur rencana. Ketentuan sifat campuran lataston seperti pada
Tabel 2.2.

17
Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur

4. Lapis Beton Aspal (Laston = Asphalt Concrete = AC), merupakan


lapis permukaan yang menggunakan agregat bergradasi baik. Laston
sesuai digunakan untuk lalulintas berat.

Tabel 2.2 Ketentuan Sifat Campuran Lataston

Lataston
Sifat-sifat Campuran
WC BC
Jumlah tumbukan per bidang 75
Min 3,0
Rongga dalam campuran (VIM) (%)
Mak 6,0
Rongga antara agregat (VMA) (%) Min 18 17
Rongga terisi aspal (VFA) (%) Min 68
Stabilitas Marshall (kg) Min 800
Kelelehan (mm) Min 3
Marshall Quotient (kg/mm) Min 250

Stabilitas Marshall sisa (%) setelah


perendaman selama 24 jam, 60°C pada Min 80
VIM ±7%
Rongga dalam campuran (%) pada
Min 2
kepadatan membal (refusal)
Sumber: Departemen Pekerjaan Umum, 2007

Ada dua jenis Laston yang digunakan sebagai lapis permukaan, yaitu:
a. Laston Lapis Aus, atau Asphalt Concrete Wearing Course = AC-WC,
menggunakan agregat dengan ukuran maksimum 19 mm (3/4 inci).
Lapis AC-WC bertebal nominal minimum 40 mm dengan tebal tole-
ransi ± 3 mm.

18
Jenis dan Fungsi Lapisan Perkerasan

b. Laston Lapis Permukaan Antara, atau Asphalt Concrete Binder


Course = AC-BC, menggunakan agregat dengan ukuran maksimum
25 mm (1 inci). Lapis AC-BC bertebal nominal minimum 50 mm de-
ngan tebal toleransi ± 4 mm.

Jika aspal yang digunakan untuk membuat AC menggunakan bahan aspal


polimer, aspal dimodifikasi dengan asbuton, aspal multigrade atau aspal
padat Pen 60 atau Pen 40 yang dicampur dengan asbuton butir maka
lapis tersebut dinamakan Laston Modifikasi.
Ketentuan sifat campuran laston seperti pada Tabel 2.3 dan untuk
campuran laston modifikasi seperti pada Tabel 2.4.

Tabel 2.3 Ketentuan Sifat Campuran Laston

Laston
Sifat-sifat Campuran
WC BC Base
Jumlah tumbukan per bidang 75 112
Min 3,5
Rongga dalam campuran (VIM) (%)
Mak 5,5
Rongga antara agregat (VMA) (%) Min 15 14 13
Rongga terisi aspal (VFA) (%) Min 65 63 60
Min 800 1500
Stabilitas Marshall (kg)
Mak - -
Kelelehan (mm) Min 3 5
Marshall Quotient (kg/mm) Min 250 300
Stabilitas Marshall sisa (%) setelah
perendaman selama 24 jam, 60°C Min 80
pada VIM 7%
Rongga dalam campuran (%) pada
Min 2,5
kepadatan membal (refusal)
Sumber: Departemen Pekerjaan Umum, 2007

19
Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur

Tabel 2.4 Ketentuan Sifat Campuran Laston Modifikasi

Laston
Sifat-sifat Campuran WC BC Base
Mod Mod Mod
Jumlah tumbukan per bidang 75 112
Min 3,5
Rongga dalam campuran (VIM) (%)
Mak 5,5
Rongga antara agregat (VMA) (%) Min 15 14 13
Rongga terisi aspal (VFA) (%) Min 65 63 60
Min 1000 1800
Stabilitas Marshall (kg)
Mak - -
Min 3 5
Kelelehan (mm)
Mak - -
Marshall Quotient (kg/mm) Min 300 350
Stabilitas Marshall sisa (%) setelah
perendaman selama 24 jam, 60°C Min 80
pada VIM ±7%
Rongga dalam campuran (%) pada
Min 2,5
kepadatan membal (refusal)
Stabilitas Dinamis, lintasan / mm Min 2500
Sumber: Departemen Pekerjaan Umum, 2007

5. Lapis Penetrasi Macadam (Lapen) adalah lapis perkerasan yang terdiri


dari agregat pokok dan agregat pengunci bergradasi seragam.
Setelah agregat pengunci dipadatkan disemprotkan aspal kemudian
diberi agregat penutup dan dipadatkan. Lapen sesuai digunakan
untuk lalulintas ringan sampai dengan sedang.

20
Jenis dan Fungsi Lapisan Perkerasan

Ukuran maksimum agregat pokok membedakan ketebalan yang dapat


dipilih, yaitu:
a. tebal 7 – 10 cm, jika digunakan agregat pokok dengan ukuran
maksimum 75 mm (3 inci).
b. tebal 5 – 8 cm, jika digunakan agregat pokok dengan ukuran
maksimum 62,5 mm (2,5 inci).
c. tebal 4 – 5 cm, jika digunakan agregat pokok dengan ukuran
maksimum 50 mm (2 inci).

6. Lapis Asbuton Agregat (Lasbutag) adalah campuran antara agregat


asbuton dan peremaja yang dicampur, dihampar dan dipadatkan
secara dingin. Lapis Lasbutag bertebal nominal minimum 40 mm
dengan ukuran agregat maksimum adalah 19 mm (3/4 inci). Keten-
tuan sifat campuran lasbutag seperti pada Tabel 2.5.

Tabel 2.5 Ketentuan Sifat Campuran Lasbutag

Sifat Campuran Persyaratan


Derajat penguapan fraksi ringan:
- Campuran untuk pemeliharaan, % 25
- Campuran untuk pelapis, % 50
Jumlah tumbukan 2 x 75
Rongga dalam campuran (VIM), % 3,0 - 6,0
Rongga antara agregat (VMA), % Min. 16
Stabilitas pada temperatur ruang 25 oC, kg Min. 500
Kelelehan, mm 2- 4
Stabilitas sisa, setelah 4 hari direndam dalam
Min. 75
air 25 oC, %
Sumber: Departemen Pekerjaan Umum, 2007

21
Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur

Ketika menentukan tebal setiap lapisan, perencana perlu memper-


hatikan tebal nominal minimum dari jenis lapis permukaan yang dipilih.
Tabel 2.6 menunjukkan tebal nominal minimum dari berbagai jenis
lapis permukaan.

Tabel 2.6 Tebal Nominal Minimum Lapis Permukaan

Tebal Nominal
Toleransi
Jenis Campuran Simbol Minimum
Tebal (mm)
(mm)

Latasir Kelas A SS-A 15


-
Latasir Kelas B SS-B 20
Lapis Aus HRS-WC 30

Lataston Lapis ±4
Permukaan HRS-BC 35
Antara
Lapis Aus AC-WC 40 ±3
Lapis
Laston Permukaan AC-BC 50 ±4
Antara
Lapis Pondasi AC-Base 60 ±5
Sumber: Departemen Pekerjaan Umum, 2007

2.2 Lapis Pondasi (Base Course)


Lapis perkerasan yang terletak di antara lapis pondasi bawah dan lapis
permukaan dinamakan lapis pondasi (base course). Jika tidak digunakan
lapis pondasi bawah, maka lapis pondasi diletakkan langsung di atas
permukaan tanah dasar.

22
Jenis dan Fungsi Lapisan Perkerasan

Lapis pondasi berfungsi sebagai:


1. bagian struktur perkerasan yang menahan gaya vertikal dari beban
kendaraan dan disebarkan ke lapis dibawahnya;
2. lapis peresap untuk lapis pondasi bawah;
3. bantalan atau perletakkan lapis permukaan.
Material yang digunakan untuk lapis pondasi adalah material yang cukup
kuat dan awet sesuai syarat teknik dalam spesifikasi pekerjaan. Lapis
pondasi dapat dipilih lapis berbutir tanpa pengikat atau lapis dengan
aspal sebagai pengikat.

Berbagai jenis lapis pondasi yang umum digunakan di Indonesia adalah:


1. Laston Lapis Pondasi (Asphalt Concrete Base = AC-Base), adalah
laston yang digunakan untuk lapis pondasi, tebal nominal minimum
60 mm dengan tebal toleransi ± 5 mm. Agregat yang digunakan
berukuran maksimum 37,5 mm (1,5 inci). Ketentuan sifat campuran
AC-Base seperti pada Tabel 2.3 dan untuk AC-Base modifikasi seperti
pada Tabel 2.4.

2. Lasbutag Lapis Pondasi adalah campuran antara agregat asbuton dan


peremaja yang dicampur, dihampar dan dipadatkan secara dingin.
Lapis Lasbutag Lapis Pondasi bertebal nominal minimum 50 mm
dengan ukuran agregat maksimum adalah 25 mm (1 inci). Ketentuan
sifat campuran Lasbutag seperti pada Tabel 2.5.

3. Lapis Penetrasi Macadam (Lapen) seperti yang diuraikan pada Bab 2.1
dapat pula digunakan sebagai lapis pondasi, hanya saja tidak menggu-
nakan agregat penutup.

4. Lapis Pondasi Agregat adalah Lapis pondasi dari butir agregat. Berda-
sarkan gradasinya lapis pondasi agregat dibedakan atas agregat Kelas
A dan agregat Kelas B. Tebal minimum setiap lapis minimal 2 kali

23
Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur

ukuran agregat maksimum. Gradasi yang digunakan untuk lapis


pondasi Kelas A dan B dapat dilihat pada Tabel 2.7 dan ketentuan sifat
lapis pondasi agregat dapat dilihat pada Tabel 2.8.

Tabel 2.7 Gradasi Lapis Pondasi Agregat


Ukuran saringan Persen berat yang lolos, % lolos
ASTM (mm) Kelas A Kelas B
3” 75
2” 50 100
1½” 37,5 100 88 –100
1“ 25,0 77 –100 70 – 85
3/8” 9,50 44 – 60 40 – 65
No.4 4,75 27 – 44 25 – 52
No.10 2,0 17 – 30 15 – 40
No.40 0,425 7 – 17 8 – 20
No.200 0,075 2–8 2–8
Sumber: Departemen Pekerjaan Umum, 2007

5. Lapis Pondasi Tanah Semen adalah lapisan yang dibuat dengan


menggunakan tanah pilihan yang diperoleh dari daerah setempat,
yaitu tanah lempung dan tanah berbutir seperti pasir dan kerikil
kepasiran dengan plastisitas rendah. Bahan dicampur dengan perban-
dingan semen dan air tertentu di lokasi atau terpusat hingga merata
dan memiliki daya dukung yang cukup sebagai lapis pondasi.
Ketentuan sifat campuran setelah perawatan 7 hari di laboratorium
seperti pada Tabel 2.9.

24
Jenis dan Fungsi Lapisan Perkerasan

Tabel 2.8 Ketentuan Sifat Lapis Pondasi Agregat


Sifat Kelas A Kelas B

Abrasi dari agregat kasar


mak. 40% mak. 40%
(SNI 03-2417-1990)
Indek plastis
mak. 6 mak. 6
(SNI-03-1966-1990 dan SNI-03-1967-1990)
Hasil kali indek plastisitas dengan % lolos
mak. 25 --
saringan No.200
Batas cair
mak. 25 mak. 25
(SNI 03-1967-1990)
Gumpalan lempung dan butir-butir mudah
pecah dalam agregat 0% mak. 1%
(SNI- 03-4141-1996)
CBR
min. 90% min. 65%
(SNI 03-1744-1989)
Perbandingan persen lolos # 200 dan #40 mak. 2/3 mak. 2/3
Sumber: Departemen Pekerjaan Umum, 2007

Tabel 2.9 Ketentuan Sifat Lapis Pondasi Tanah Semen

Batas-batas Metode
sifat pengujian
Pengujian (setelah
perawatan 7
hari)
Kuat tekan bebas (UCS), min. 20 SNI 03-6887-2002
kg/cm2
CBR Laboratorium, % min. 180 SNI 03-1744-1989
Sumber: Departemen Pekerjaan Umum, 2007

6. Lapis Pondasi Agregat Semen (LFAS) adalah agregat kelas A,


agregat kelas B, atau agregat kelas C yang diberi campuran semen
dan berfungsi sebagai lapis pondasi. Lapis ini harus diletakkan di atas

25
Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur

lapis pondasi bawah agregat Kelas C. Ketentuan sifat campuran


setelah perawatan 7 hari di laboratorium seperti pada Tabel 2.10.

Tabel 2.10 Ketentuan Sifat Lapis Pondasi Agregat Semen

Kuat Tekan Bebas


Lapis Pondasi Umur 7 Hari (kg/cm2)
Agregat Silinder Silinder
Semen
(diameter 70 mm x tinggi (diameter 150 mm x tinggi
140 mm) 300 mm)
Kelas A 45 75
Kelas B 35 55
Kelas C 30 35
Sumber: Departemen Pekerjaan Umum, 2007

2.3 Lapis Pondasi Bawah (Subbase Course)


Lapis perkerasan yang terletak di antara lapis pondasi dan tanah dasar
dinamakan lapis pondasi bawah (subbase).

Lapis pondasi bawah berfungsi sebagai :


1. bagian dari struktur perkerasan untuk mendukung dan menyebarkan
beban kendaraan ke lapis tanah dasar. Lapis ini harus cukup stabil
dan mempunyai CBR sama atau lebih besar dari 20%, serta Indeks
Plastis (IP) sama atau lebih kecil dari 10%;
2. effisiensi penggunaan material yang relatif murah, agar lapis dia-
tasnya dapat dikurangi tebalnya;
3. lapis peresap, agar air tanah tidak berkumpul di pondasi;
4. lapis pertama, agar pelaksanaan pekerjaan dapat berjalan lancar,
sehubungan dengan kondisi lapangan yang memaksa harus segera

26
Jenis dan Fungsi Lapisan Perkerasan

menutup tanah dasar dari pengaruh cuaca, atau lemahnya daya


dukung tanah dasar menahan roda alat berat;
5. lapis filter untuk mencegah partikel-partikel halus dari tanah dasar
naik ke lapis pondasi. Untuk itu lapis pondasi bawah haruslah
memenuhi syarat:

D15pondasi
D15tanahdasar 5 ............................................................... (2.1)

D15pondasi
D85tanah dasar ............................................................... (2.2)
5

dengan:
D15 = diameter butir pada persen lolos = 15%.
D85 = diameter butir pada persen lolos = 85%.

Jenis lapis pondasi bawah yang umum digunakan di Indonesia adalah


lapis pondasi agregat Kelas C dengan gradasi seperti pada Tabel 2.11,
dan ketentuan sifat campuran seperti pada Tabel 2.12. Lapis pondasi
agregat kelas C ini dapat pula digunakan sebagai lapis pondasi tanpa
penutup aspal.

2.4 Lapis Tanah Dasar (Subgrade/Roadbed)

Lapis tanah setebal 50 – 100 cm di atas mana diletakkan lapis pondasi


bawah dan atau lapis pondasi dinamakan lapis tanah dasar atau
subgrade. Mutu persiapan lapis tanah dasar sebagai perletakan struktur
perkerasan jalan sangat menentukan ketahanan struktur dalam meneri-
ma beban lalulintas selama masa pelayanan.

27
Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur

Tabel 2.11 Gradasi Lapis Pondasi Agregat Kelas C

Persen berat yang lolos, %


Ukuran saringan
lolos
ASTM (mm) Kelas C
3” 75 100
2” 50 75 – 100
1½” 37,5 60 – 90
1“ 25,0 45 – 78
3/8” 9,50 25 – 55
No.4 4,75 13 - 45
No.10 2,0 8 - 36
No.40 0,425 7 - 23
No.200 0,075 5 - 15
Sumber: Departemen Pekerjaan Umum, 2007

Tabel 2.12 Ketentuan Sifat Lapis Pondasi Agregat Kelas C

Sifat Kelas C

Abrasi dari agregat kasar (SNI 03-2417-1990) mak. 40%

Indek Plastis (SNI-03-1966-1990 dan


4–9
SNI-03-1967-1990).

Batas Cair (SNI 03-1967-1990) mak. 35

Gumpalan lempung dan butir - butir mudah pecah


mak. 1%
dalam agregat (SNI- 03-4141-1996)

CBR (SNI 03-1744-1989) min. 35%

Perbandingan persen lolos #200 dan #40 Mak. 2/3


Sumber: Departemen Pekerjaan Umum, 2007

28
Jenis dan Fungsi Lapisan Perkerasan

Berdasarkan elevasi muka tanah dimana struktur perkerasan jalan dile-


takkan, lapis tanah dasar dibedakan seperti pada Gambar 2.5, yaitu:
1. Lapis tanah dasar tanah asli adalah tanah dasar yang merupakan
muka tanah asli di lokasi jalan tersebut. Pada umumnya lapis tanah
dasar ini disiapkan hanya dengan membersihkan, dan memadatkan
lapis atas setebal 30 – 50 cm dari muka tanah dimana struktur
perkerasan direncanakan akan diletakkan. Benda uji untuk menentu-
kan daya dukung tanah dasar diambil dari lokasi tersebut, setelah
akar tanaman atau kotoran lain disingkirkan.
2. Lapis tanah dasar tanah urug atau tanah timbunan adalah lapis
tanah dasar yang lokasinya terletak di atas muka tanah asli. Pada
pelaksana-an membuat lapis tanah dasar tanah urug perlu
diperhatikan tingkat kepadatan yang diharapkan. Benda uji untuk
menentukan daya du-kung tanah dasar diambil dari lokasi tanah
untuk urugan.

Tanah Dasar Tanah Galian


Tanah Dasar Tanah Urug/Timbunan Tanah Dasar Tanah Asli

Gambar 2.5 Jenis lapis tanah dasar dilihat dari elevasi muka tanah asli

3. Lapis tanah dasar tanah galian adalah lapis tanah dasar yang lokasinya
terletak di bawah muka tanah asli. Dalam kelompok ini termasuk pula
penggantian tanah asli setebal 50 – 100 cm akibat daya dukung tanah
asli yang kurang baik. Pada pelaksanaan membuat lapis tanah dasar
tanah galian perlu diperhatikan tingkat kepadatan yang diharapkan.
29
Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur

Benda uji untuk menentukan daya dukung tanah dasar diambil dari
elevasi lapis tanah dasar.

Daya dukung dan ketahanan struktur perkerasan jalan sangat ditentukan


oleh daya dukung tanah dasar. Masalah-masalah yang sering ditemui
terkait dengan lapis tanah dasar adalah:
1. perubahan bentuk tetap dan rusaknya struktur perkerasan jalan
secara menyeluruh;
2. sifat mengembang dan menyusut pada jenis tanah yang memiliki
sifat plastisitas tinggi. Perubahan kadar air tanah dasar dapat
berakibat terjadinya retak dan atau perubahan bentuk. Faktor
drainase dan kadar air pada proses pemadatan tanah dasar sangat
menentukan kecepatan kerusakan yang mungkin terjadi.
3. perbedaan daya dukung tanah akibat perbedaan jenis tanah.
Penelitian yang seksama akan jenis dan sifat tanah dasar di sepan-
jang jalan dapat mengurangi dampak akibat tidak meratanya daya
dukung tanah dasar.
4. perbedaan penurunan (diffrential settlement) akibat terdapatnya
lapis tanah lunak di bawah lapisan tanah dasar. Penyelidikan jenis
dan karakteristik lapisan tanah yang terletak di bawah lapisan tanah
dasar sangat membantu mengatasi masalah ini.
5. kondisi geologi yang dapat berakibat terjadinya patahan, geseran
dari lempeng bumi perlu diteliti dengan seksama terutama pada
tahap penentuan trase jalan.
6. kondisi geologi di sekitar trase pada lapisan tanah dasar di atas
tanah galian perlu diteliti dengan seksama, termasuk kestabilan
lereng dan rembesan air yang mungkin terjadi akibat dilakukannya
galian.

30
Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Perencanaan Tebal Perkerasan

BAB 3
Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi
Perencanaan Tebal Perkerasan

Dalam proses perencanaan tebal perkerasan lentur terdapat beberapa


faktor yang perlu diperhatikan dan ikut mempengaruhi hasil perencanaan,
yaitu:
1. Beban lalulintas
2. Sifat tanah dasar
3. Fungsi Jalan
4. Kondisi lingkungan
5. Kinerja struktur perkerasan (pavement performance)
6. Umur rencana atau masa pelayanan
7. Sifat dan jumlah bahan baku yang tersedia
8. Bentuk geometrik jalan
9. Kondisi perkerasan saat ini (khusus untuk peningkatan jalan lama)

3.1 Beban Lalulintas


Beban lalulintas adalah beban kendaraan yang dilimpahkan ke perkerasan
jalan melalui kontak antara ban dan muka jalan. Beban lalulintas
merupakan beban dinamis yang terjadi secara berulang selama masa
pelayanan jalan. Besarnya beban lalulintas dipengaruhi oleh berbagai
faktor kendaraan seperti:

31
Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur

1. konfigurasi sumbu dan roda kendaraan


2. beban sumbu dan roda kendaraan
3. tekanan ban
4. volume lalulintas
5. repetisi sumbu
6. distribusi arus lalulintas pada perkerasan jalan
7. kecepatan kendaraan
Pemahaman komprehensif tentang beban kendaraan yang merupakan
beban dinamis pada perkerasan jalan, sangat mempengaruhi hasil
perencanaan tebal perkerasan jalan dan kekokohan struktur perkerasan
jalan selama masa pelayanan.

3.1.1 Konfigurasi Sumbu Dan Roda Kendaraan

Setiap kendaraan memiliki minimal dua sumbu, yaitu sumbu depan


disebut juga sumbu kendali, dan sumbu belakang atau sumbu penahan
beban. Masing-masing ujung sumbu dilengkapi dengan satu atau dua
roda.
Saat ini terdapat berbagai jenis kendaraan berat yang memiliki jumlah
sumbu lebih dari dua. Berdasarkan konfigurasi sumbu dan jumlah roda
yang dimiliki di ujung-ujung sumbu, maka sumbu kendaraan dibedakan
atas:
1. sumbu tunggal roda tunggal
2. sumbu tunggal roda ganda
3. sumbu ganda atau sumbu tandem roda tunggal
4. sumbu ganda atau sumbu tandem roda ganda
5. sumbu tripel roda ganda

32
Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Perencanaan Tebal Perkerasan

Gambar 3.1 menggambarkan kendaraan dengan konfigurasi sumbu


tunggal, sumbu tandem, dan sumbu tripel. Sebagai usaha memper-
mudah membedakan berbagai jenis kendaraan maka dalam proses
perencanaan digunakan kode angka dan simbol.

Sumbu tunggal Sumbu tandem Sumbu tripel

Gambar 3.1 Berbagai konfigurasi sumbu kendaraan

Kode angka dengan pengertian sebagai berikut:


1 : menunjukkan sumbu tunggal dengan roda tunggal
2 : menunjukkan sumbu tunggal dengan roda ganda
11 : menunjukkan sumbu ganda atau tandem dengan roda tunggal
111 : menunjukkan sumbu tripel dengan roda tunggal
22 : menunjukkan sumbu ganda atau tandem dengan roda ganda
222 : menunjukkan sumbu tripel dengan roda ganda

Kode simbol dengan pengertian sebagai berikut:


• : menunjukkan pemisahan antara sumbu depan dan sumbu
belakang kendaraan
- : menunjukkan kendaraan dirangkai dengan sistem hidraulik
+ : menunjukkan kendaraan digandeng dengan kereta tambahan

33
Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur

Berbagai jenis kendaraan memiliki konfigurasi sumbu dan roda kendaraan


yang berbeda-beda, sehingga mengakibatkan terdapat berbagai kode
angka kendaraan, sebagai contoh:

Kode konfigurasi sumbu 1.1, yaitu kendaraan


dengan sumbu depan dan sumbu belakang
berupa sumbu tunggal roda tunggal (1).

Kode konfigurasi sumbu 1.22, yaitu kendaraan


dengan sumbu depan sumbu tunggal roda
tunggal (1) dan sumbu belakang berupa sum-
bu tandem roda ganda (22).

Kode konfigurasi sumbu 1.22-22, yaitu


kendaraan dengan konfigurasi sumbu terdiri
dari sumbu depan sumbu tunggal roda
tunggal (1) dan sumbu belakang berupa
sumbu tandem roda ganda (22), memiliki
sistem hidraulik (-) tambahan bersumbu tan-
dem roda ganda (22).

Kode konfigurasi sumbu 1.22-22+2.2,


yaitu kendaraan dengan konfigurasi
sumbu terdiri dari sumbu depan sumbu
tunggal roda tunggal (1) dan sumbu be-
lakang berupa sumbu tandem roda roda
ganda (22).
Kendaraan memiliki sistem hidraulik (-) bersumbu tandem roda ganda
(22), dan digandeng (+) dengan kereta tambahan bersumbu depan dan
belakang sumbu tunggal roda ganda (2.2).

Berbagai kode kendaraan sesuai dengan konfigurasi sumbu dan rodanya


dapat dilihat pada Gambar 3.2, sedangkan Gambar 3.3 menunjukkan
berbagai jenis kendaraan berdasarkan jumlah sumbu.

34
Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Perencanaan Tebal Perkerasan

Kendaraan komersial
Kendaraan komersial gandengan/trailer
bersumbu kaku

1.1 1.1-1

1.2 1.1-11

1.11 1.1-22

1.22 1.2-1

11.11 1.2-11

11.2 1.2-2

11.22 1.2-22

+1.1 1.22-2

+1.2 1.22-22

+2.2 1.22-111

Sumber: Croney,D. & Croney,P.

Gambar 3.2 Berbagai konfigurasi sumbu dan kodenya.

35
1 Motorcycles 2 Passenger Cars 3 Two Axle, 4 Tire Single Units4 Buses

Gambar 3.3 Klasifikasi jenis kendaraan berdasarkan jumlah


5 Two Axle, 6 Tire Single Units 6Three Axle Single Units7 Four or More Axle Single Units 8 Four or Less Axle Single Trailers
Perencanaan Tebal Perkerasan

9 10Six or More Axle Single Trailers 11Five or Less Axle Multi-Trailers

3
Five Axle Single Trailers

12 Six Axle Multi- Trailers 13Seven or More Axle Multi- Trailers

Sumber: AASHTO,
Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Perencanaan Tebal Perkerasan

3.1.2 Beban Roda Kendaraan

Beban kendaraan dilimpahkan keperkerasan jalan melalui bidang kontak


antara ban dan muka jalan. Untuk keperluan perencanaan tebal
perkerasan jalan, bidang kontak antara roda kendaraan dan perkerasan
jalan diasumsikan berbentuk lingkaran dengan radius sama dengan lebar
ban. Radius bidang kontak ditentukan oleh ukuran dan tekanan ban.

P = π pa2 atau

P
a .......................................................................(3.1)

dengan:
a = radius bidang kontak
P = beban roda
p = tekanan ban

Dari Rumus 3.1 dapat dilihat bahwa ukuran ban dan tekanan ban
mempengaruhi besarnya beban roda yang akan dilimpahkan keperke-
rasan jalan.

3.1.3 Beban Sumbu

Beban kendaraan dilimpahkan melalui roda kendaraan yang terjadi


berulang kali selama masa pelayanan jalan akibat repetisi kendaraan
yang melintasi jalan tersebut. Titik A pada Gambar 3.4 menerima beban
kendaraan melalui bidang kontaknya sebanyak 2 kali, yaitu akibat
lintasan roda depan dan roda belakang. Titik A terletak pada lajur
lintasan kendaraan bersamaan dengan titik A’. Pada saat yang bersamaan
titik A dan A’ akan menerima beban yang sama. Beban tersebut berupa

37
Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur

beban roda yang besarnya setengah dari beban sumbu kendaraan.


Perkerasan jalan pada penampang I-I menerima beban berulang
sebanyak lintasan sumbu kendaraan. Jika kendaraan memiliki dua sumbu
maka repetisi beban pada penampang I-I adalah dua kali, dan jika
memiliki 3 sumbu maka repetisi beban adalah 3 kali. Dengan kata lain,
repetisi beban yang diakibatkan oleh satu kendaraan sama dengan
jumlah sumbunya. Oleh karena itu repetisi beban pada perencanaan tebal
perkerasan dinyatakan dengan repetisi lintasan sumbu, bukan lintasan
roda ataupun lintasan kendaraan.

A’

Lajur lalulintas
A

A A’ A

Gambar 3.4 Pelimpahan beban kendaraan ke perkerasan jalan

Setiap kendaraan memiliki letak titik berat sesuai dengan desain


kendaraannya. Besarnya beban kendaraan yang didistribusikan ke
sumbu-sumbunya dipengaruhi oleh letak titik berat kendaraan tersebut.
Dengan demikian setiap jenis kendaraan mempunyai distribusi beban

38
Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Perencanaan Tebal Perkerasan

yang berbeda-beda. Berat total kendaraan G pada Gambar 3.5 didistri-


busikan ke sumbu depan seberat F1 dan sumbu belakang seberat F2.

Gambar 3.5 Distribusi beban kendaraan ke setiap sumbu

F1 = G l2/l...........................................................................(3.2)
F2 = G l1/l...........................................................................(3.3)
dengan:
G = berat kendaraan
F1 = beban sumbu depan
F2 = beban sumbu belakang
l = jarak antara kedua sumbu
l1 = jarak antara titik berat kendaraan dan sumbu depan
l2 = jarak antara titik berat kendaraan dan sumbu belakang

Jika l2/l = A% dan l1/l = B%, berarti berat kendaraan terdistribusi A% ke


sumbu depan dan B% ke sumbu belakang, maka:
F1 = 0,0A G dan F2 = 0,0B G..............................................(3.4)
dengan:
A = persen distribusi berat kendaraan ke sumbu depan
B = persen distribusi berat kendaraan ke sumbu belakang

39
Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur

Tabel 3.1 menunjukkan distribusi beban sumbu dari berbagai jenis


kendaraan sebagaimana yang diberikan oleh Bina Marga pada Buku
Manual Pemeriksaan Perkerasan Jalan dengan alat Benkelman beam No.
01/MN/BM/83.

Tabel 3.1 Distribusi Beban Sumbu Untuk Berbagai Jenis Kendaraan


Beban Muatan
Berat Kosong
Konfigurasi

Berat Total
Maksimum
Maksimum
Sumbu &

(ton)

(ton)

(ton)
Tipe

1.1
Mobil 1,5 0,5 2,0
50% 50%
Penumpang
34% 66%
S Roda Tunggal Pada
1.2 Ujung Sumbu
3 6 9 D Roda Ganda Pada
Bus S D Ujung Sumbu

1.2L 34% 66%


L = truk ringan
2,3 6 8,3 H = truk berat
Truk S D

34% 66%
1.2H
4,2 14 18,2
Truk S D

25% 75%
1.22 37,5% 37,5%
5 20 25
Truk S D D

18% 28% 27% 27%


1.2 + 2.2
6,4 25 31,4
Trailer S D D D

18% 41% 41%


1.2+ 2
6,2 20 26,2
Trailer S D D

18% 28% 54%


1.2+ 22 27% 27%
10 32 42
Trailer S D D D

Sumber : Bina Marga, No. 01/MN/BM/83

40
Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Perencanaan Tebal Perkerasan

Perkembangan pesat jenis kendaraan, konfigurasi sumbu, dan muatan


yang dapat diangkut kendaraan sejak 1983 sampai saat ini, mengakibat-
kan banyak jenis kendaraan yang tidak terdapat pada Tabel 3.1.
Distribusi beban sumbu untuk jenis kendaraan yang belum ada dalam
Tabel 3.1 dapat diperoleh melalui survei timbang, atau mempelajari
brosur dari jenis kendaraan tersebut.

Setiap jenis kendaraan yang sama dapat saja mempunyai beban sumbu
yang berbeda, karena kendaraan selalu mengangkut muatan dengan
berat yang tidak selalu sama. Sebagai contoh, truk ringan dengan berat
kosong 2,5 ton dapat dimuati sampai mencapai berat maksimum yang
diizinkan sebesar 8,0 ton. Setiap kali truk tersebut melintasi suatu ruas
jalan, berat truk dapat bervariasi dari 2,5 ton sampai dengan 8,0 ton,
yang tentu saja menghasilkan beban sumbu yang berbeda-beda.
Untuk perencanaan tebal perkerasan jalan sepantasnyalah beban yang
diperhitungkan adalah beban yang mungkin terjadi selama umur rencana
atau masa pelayanan jalan. Beban lalulintas rencana tidak selalu sama
dengan beban maksimum. Perencanaan berdasarkan beban maksimum
akan menghasilkan tebal perkerasan yang tidak ekonomis, tetapi peren-
canaan berdasarkan beban yang lebih kecil dari beban rata-rata yang
digunakan akan menyebabkan struktur perkerasan mengalami kerusakan
sebelum masa pelayanan habis. Pertimbangan yang bijaksana berdasar-
kan data beban kendaraan di lokasi atau sekitar lokasi, dan pertimbangan
faktor pertumbuhan beban dan volume lalulintas yang mungkin terjadi,
sangat tepat untuk dilakukan. Oleh karena itu dalam rangka perencanaan
tebal perkerasan perlu dilakukan survei beban kendaraan, kajian lalu-
lintas, serta analisis dan prediksi pertumbuhan sosio ekonomi.

41
Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur

Survei beban kendaraan

Survei beban kendaraan adalah survei yang diperlukan sehubungan


dengan kebutuhan data tentang berat kendaraan dan distribusi beban
kesumbunya.

Hasil survei beban kendaraan berguna untuk mendapatkan data tentang:


1. berat setiap jenis kendaraan;
2. fluktuasi beban sumbu setiap jenis kendaraan;
3. distribusi beban sumbu setiap jenis kendaraan;
4. mengawasi beban sumbu maksimum.

Alat timbang yang digunakan pada survei beban kendaraan biasanya tipe
portable yang dapat dipindah-pindah sesuai lokasi yang diinginkan. Jenis
alat timbang ada dua, yaitu:
1. Static Weighing, penimbangan dilakukan dengan kendaraan berhenti
di atas alat timbang;
2. Weight-in-Motion (WIM), penimbangan dilakukan dengan kendaraan
melintasi alat timbang dengan kecepatan tertentu.

Sumber:Traffic Monitoring Guide

Gambar 3.6 Contoh alat timbang statis

42
Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Perencanaan Tebal Perkerasan

Keuntungan alat statis yaitu penimbangan akurat, tetapi memiliki kerugi-


an karena perlu lokasi yang aman dan membutuhkan waktu serta sejum-
lah petugas yang bekerja intensif dalam waktu yang pendek.
Keuntungan WIM yaitu alat bekerja menggunakan sensor, sehingga lebih
banyak kendaraan yang dapat ditimbang dalam waktu survei yang sama
sehingga hasil pengujian tidak bias. Kerugian penggunaan WIM adalah
biaya instalasi mahal, dan biaya pemeliharaan alat lebih mahal daripada
alat statis.

Lokasi tempat penimbangan jika digunakan alat timbang statis ditentukan


berdasarkan volume kendaraan berat yang melewati jalan tersebut.
Gambar 3.7 sampai dengan Gambar 3.10 menunjukkan berbagai tipe
lokasi survei timbang. Berdasarkan volume kendaraan berat, ditentukan
tipe lokasi pos timbang dan jumlah sampel yang dibutuhkan seperti pada
Tabel 3.2.

Tabel 3.2 Jenis Lokasi Pos Timbang Dan Jumlah Sampel


Jumlah sampel
Volume maksimum
Tipe lokasi pos timbang kendaraan berat
kendaraan berat/jam
yang ditimbang
0 – 30 Pos timbang C atau D Semua
31 – 60 Pos timbang A atau B Semua
61 – 120 Pos timbang A atau B Alternatif
121 – 180 Pos timbang A atau B 1 dari 3
180 - 240 Pos timbang A atau B 1 dari 4
Sumber: TRRL

Penimbangan dilakukan sebaiknya 7 X 24 jam sehingga diperoleh fluktu-


asi rata-rata dari beban sumbu kendaraan yang melintasi jalan tersebut.

43
Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur

Jika keadaan lokasi tak memungkinkan, survei dapat dikurangi berdasar-


kan pertimbangan setempat, tetapi sebaiknya tidak kurang dari 3 X 16
jam.

Pos Timbang

Pengawas Kendaraan ringan


LalulintasJalur Utama
Pengawas
Kendaraan ringanLalulintas

Pos Timbang

Sumber: TRRL
Gambar 3.7 Denah lokasi Pos Timbang A

Pos Timbang

Kendaraan berat

Pengawas Lalulintas Kendaraan ringan

Jalur Utama
Pengawas
Kendaraan ringanLalulintas

Kendaraan berat
Bahu jalan

Pos Timbang

Sumber: TRRL
Gambar 3.8 Denah lokasi Pos Timbang B

44
Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Perencanaan Tebal Perkerasan

Pos Timbang

Pengawas Lalulintas Kendaraan ringan


Jalur Utama
Pengawas Lalulintas
Kendaraan ringan

Sumber: TRRL
Gambar 3.9 Denah lokasi Pos Timbang C

Pos Timbang

Kendaraan berat

Pengawas LalulintasKendaraan berat Kendaraan ringan

Jalur Utama
Pengawas Lalulintas
Kendaraan ringan

Bahu jalan

Sumber: TRRL

Gambar 3.10 Denah lokasi Pos Timbang D

Hasil yang diperoleh dari survei beban kendaraan adalah berat roda pada
ujung sumbu yang ditimbang (Gambar 3.6). Dari berat roda diperoleh
beban sumbu. Jika nilai A dan B dari Rumus 3.4 diketahui untuk setiap
jenis kendaraan, maka penimbangan cukup dilakukan untuk satu beban
roda atau satu kelompok roda di ujung sumbu saja (½ F1 atau ½ F2).
Dari hasil penimbangan diperoleh beban atau berat dari setiap jenis
kendaraan (G). Jika tidak tersedia data dan ingin diperoleh nilai G, A, dan

45
Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur

B, maka penimbangan dilakukan untuk roda depan dan belakang kenda-


raan (½ F1 dan ½ F2).

Sebagai contoh:
Dari hasil survei beban kendaraan diperoleh beban roda belakang dari
sebuah kendaraan truk seberat 2100 kg. Truk tersebut merupakan truk 2
as dengan jenis sumbu tunggal (kode angka 1.1). Distribusi beban sumbu
depan dan belakang adalah 34% dan 66%.
Jadi:
Beban sumbu belakang = 2 x 2100 kg = 4200 kg.
Beban sumbu depan = 34/66 x 4200 kg = 2200 kg
Berat total truk adalah 6400 kg.
N
3.1.4 Volume Lalulintas

Volume lalulintas didefinisikan sebagai jumlah kendaraan yang melewati


satu titik pengamatan selama satu satuan waktu (hari, jam, atau menit).
Lalulintas harian rata-rata adalah volume lalulintas rata-rata dalam satu
hari. Dari lama waktu pengamatan untuk mendapatkan nilai lalulintas
harian rata-rata, dikenal 2 jenis lalulintas harian rata-rata yaitu:
1. Lalulintas Harian Rata-Rata Tahunan (LHRT), yaitu volume lalulintas
harian yang diperoleh dari nilai rata-rata jumlah kendaraan selama
satu tahun penuh.

LHRT = Jumlah kendaraan dalam 1tahun.....................(3.5)


365

LHRT dinyatakan dalam kendaraan/hari/2 arah untuk jalan 2 arah


tanpa median atau kendaraan/hari/arah untuk jalan 2 jalur dengan
median.

46
Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Perencanaan Tebal Perkerasan

2. Lalulintas Harian Rata-Rata (LHR), yaitu volume lalulintas harian yang


diperoleh dari nilai rata-rata jumlah kendaraan selama beberapa hari
pengamatan.

Jumlah kendaraan selama


LHR = ...... (3.6)
pengamatan jumlah hari
pengamatan

LHR dinyatakan dalam kendaraan/hari/2 arah untuk jalan 2 arah


tanpa median atau kendaraan/hari/arah untuk jalan 2 jalur dengan
median.

Data LHR cukup akurat jika:


a. pengamatan dilakukan pada interval waktu yang dapat menggam-
barkan fluktuasi arus lalulintas selama 1 tahun;
b. hasil LHR yang dipergunakan dalam perencanaan adalah harga
rata-rata dari beberapa kali pengamatan atau telah melalui kajian
lalulintas.

3.1.5 Repetisi Beban Lalulintas

Beban lalulintas berupa berat kendaraan yang dilimpahkan melalui kontak


antara roda dan perkerasan jalan, merupakan beban berulang (repetisi
beban) yang terjadi selama umur rencana atau masa pelayanan jalan.
Konfigurasi dan beban sumbu kendaraan bermacam-macam, sedangkan
repetisi beban dinyatakan dalam lintasan sumbu kendaraan, oleh karena
itu perlu ditentukan cara untuk menyatakan repetisi beban sehingga data
yang diberikan tidak memberi peluang untuk salah menafsirkan besarnya
beban lalulintas.
Saat ini terdapat 2 cara penentuan besarnya beban lalulintas untuk
perencanaan, yaitu dinyatakan dalam:

47
Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur

1. repetisi lintasan sumbu standar;


2. spektra beban dimana beban lalulintas dinyatakan dalam repetisi
beban sumbu sesuai beban dan konfigurasi kelompok sumbunya.

Repetisi Lintasan Sumbu Standar

Kendaraan yang memiliki berbagai konfigurasi sumbu, roda, dan bervari-


asi dalam total beban yang diangkutnya, diseragamkan dengan meng-
gunakan satuan lintasan sumbu standar (lss), dikenal juga dengan
Equivalent Single Axle load (ESA). Sumbu standar adalah sumbu
tunggal beroda ganda dengan kriteria sebagai berikut:
- beban sumbu 18.000 pon (80 kN);
- lebar bidang kontak ban 4,51 inci (11 cm);
- Jarak antara masing-masing sumbu roda ganda 13,57 inci (33 cm);
- Tekanan pada bidang kontak = 70 pon/inci2.
Sumbu tunggal 18.000 pon yang digunakan sebagai sumbu standar
digambarkan pada Gambar 3.11.

Tekanan angin 13,57


= 70 pon/inci2 inci

18.000
pon 4,51
inci
Gambar 3.11 Sumbu standar 18.000 pon

48
Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Perencanaan Tebal Perkerasan

Luas bidang kontak antara ban dan muka jalan sebenarnya berbentuk
elips, tetapi sebagai pendekatan diasumsikan berbentuk lingkaran dengan
radius = 4,51 inci. Luas bidang kontak keempat roda dari sumbu tunggal
= 4 x π x 4,512 = 255,601 inci2.
Jadi beban satu sumbu standar = 255,601 x 70 = 17.892 pon,
dibulatkan menjadi 18.000 pon.

Bina Marga menggunakan satuan metrik sehingga kriteria beban sumbu


standar adalah sebagai berikut:
- beban sumbu 8160 kg;
- tekanan roda 1 ban ± 5,5 kg/cm2 (0,55 Mpa);
- lebar bidang kontak 11cm;
- Jarak antara masing-masing sumbu roda ganda = 33 cm.
Sumbu tunggal 8160 kg yang digunakan sebagai sumbu standar di Indo-
nesia seperti digambarkan pada Gambar 3.12.

Tekanan angin 33 cm
= 5,5 kg/cm2

8.160 kg
11 cm

Gambar 3.12 Sumbu standar 8160 kg

49
Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur

Beban lalulintas berasal dari berbagai jenis kendaraan dengan beragam


konfigurasi sumbu dan berat kendaraan. Oleh karena itu dibutuhkan
angka ekivalen (E) yang berguna untuk mengekivalenkan berbagai
lintasan sumbu terhadap sumbu standar. Karena tujuan penyeragaman
satuan ini adalah untuk menyatakan akibat beban terhadap struktur
perkerasan jalan, maka angka ekivalen (E) adalah angka yang menun-
jukkan jumlah lintasan sumbu standar yang menyebabkan kerusakan
yang sama untuk satu lintasan sumbu atau kendaraan yang dimaksud.

Sebagai contoh:
- E sumbu tunggal roda tunggal seberat 2,2 ton = 0,005; ini berarti 1
kali lintasan sumbu tunggal roda tunggal dengan berat 2,2 ton
ekivalen dengan 0,005 kali lintasan sumbu standar, akan menye-
babkan kerusakan yang sama pada struktur perkerasan jalan.
- E truk berat 18 ton = 2,5; ini berarti 1 kali lintasan truk dengan berat
18 ton ekivalen dengan 2,5 kali lintasan sumbu standar, akan menye-
babkan kerusakan yang sama pada struktur perkerasan jalan.

Satu kendaraan terdiri dari minimal 2 lintasan sumbu, berarti angka


ekivalen (E) untuk setiap jenis kendaraan merupakan jumlah dari angka
ekivalen untuk lintasan semua sumbu yang dimiliki oleh kendaraan
tersebut.

Faktor-faktor yang mempengaruhi besarnya angka ekivalen adalah:


1. Kecepatan kendaraan
Kendaraan dengan kecepatan lebih tinggi menyebabkan kontak
antara ban dengan muka jalan lebih singkat dibandingkan dengan
yang berkecepatan lebih rendah. Dengan demikian E sumbu kendara-

50
Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Perencanaan Tebal Perkerasan

an dengan kecepatan tinggi lebih kecil dari pada E sumbu kendaraan


pada kecepatan rendah.

2. Perbedaan mutu struktur perkerasan jalan menyebabkan kemampuan


perkerasan menerima beban tanpa terjadi kerusakan akan berbeda.
Perkerasan dengan mutu lebih baik memiliki kemampuan perkerasan
menerima beban tanpa terjadi kerusakan lebih besar dibandingkan
dengan perkerasan bermutu yang lebih buruk. Dengan demikian E
sumbu kendaraan lebih kecil jika mutu perkerasan semakin baik.

3. Luas bidang kontak antara ban dan muka jalan.


Hal ini dipengaruhi oleh konfigurasi sumbu, jumlah roda, jenis dan
tekanan ban. Sumbu tandem dan atau roda ganda mempunyai jumlah
luas bidang kontak yang lebih luas dari sumbu tunggal dan atau roda
tunggal. Berarti E lintasan sumbu kendaraan untuk sumbu tandem
dan atau roda ganda lebih kecil dari E lintasan sumbu kendaraan
untuk sumbu tunggal dan atau roda tunggal.

4. Kelandaian jalan.
Pada jalan menanjak kendaraan bergerak dengan kecepatan lebih
rendah daripada di jalan datar, sehingga kontak antara ban dan muka
jalan menjadi lebih lama. Dengan demikian E lintasan sumbu kenda-
raan pada daerah tanjakan lebih besar dari E lintasan sumbu
kendaraan pada daerah datar.

5. Beban sumbu kendaraan


Beban kendaraan didistribusikan ke sumbu-sumbunya sesuai dengan
berat total kendaraan. Beban sumbu menjadi lebih besar jika berat
total kendaraan lebih berat, walaupun dengan konfigurasi sumbu
yang sama. Dengan demikian E sumbu kendaraan yang lebih berat

51
Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur

akan lebih besar dari pada E sumbu kendaraan dengan beban lebih
ringan.

6. Fungsi jalan.
Kendaraan yang melintasi jalan penghubung 2 kota umumnya berke-
cepatan tinggi dan dengan jenis kendaraan pengangkut beban yang
lebih berat. Kecepatan kendaraan di dalam kota relatif lebih rendah
akibat banyaknya persimpangan. Dengan demikian E lintasan sumbu
kendaraan secara tak langsung dipengaruhi juga oleh fungsi jalan.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa 4 faktor utama yang


mempengaruhi nilai angka ekivalen, yaitu konfigurasi sumbu kendaraan,
beban sumbu, mutu struktur perkerasan, dan kecepatan kendaraan.
Setiap kondisi yang dapat mempengaruhi keempat faktor tersebut, akan
mempengaruhi pula nilai angka ekivalen E. Penentuan besarnya nilai E
ditentukan berdasarkan metode yang digunakan (Baca juga Bab 4, Bab 5,
Bab 6 dan Bab 7).

Spektra Beban Sumbu

Beban kendaraan yang dilimpahkan keperkerasan jalan melalui kontak


antara roda dan muka jalan bervariasi sesuai konfigurasi sumbu dan
jumlah roda di ujung masing-masing sumbu. Berbagai metode dilakukan
untuk menggambarkan variasi beban sumbu ini, antara lain dengan
mengekivalenkan ke dalam lintasan sumbu standar 18.000 pon seperti
diuraikan sebelum ini. Di samping metode mengekivalenkan ke sumbu
standar, variasi beban sumbu dapat digambarkan dalam bentuk spektra
beban. Beban lalulintas yang dinyatakan dengan spektra beban sumbu
digunakan pada perencanaan tebal perkerasan kaku dan mulai digunakan
untuk perencanaan tebal perkerasan lentur yang menggunakan metode

52
Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Perencanaan Tebal Perkerasan

mekanistik-empirik. Beban sumbu pada metode spektra beban dikelom-


pokkan berdasarkan konfigurasi dan rentang beban sumbu.
Contoh spektra beban sumbu kendaraan seperti pada Tabel 3.3.

Tabel 3.3 Contoh Spektra Beban Sumbu Kendaraan

Beban sumbu Jumlah lintasan sumbu kendaraan/hari/2 arah


(ton) Tunggal Ganda Tripel
<5 5000 400 100
5-10 3000 2000 500
10-15 200 5000 800
15-20 6 1500 900

3.1.6 Beban Lalulintas Pada Lajur Rencana


Data volume lalulintas dalam satuan kendaraan/hari tidak mencerminkan
repetisi beban lalulintas yang diterima oleh struktur perkerasan jalan.
Sebagai contoh, struktur perkerasan jalan dengan volume 5000 kenda-
raan/hari/2 arah pada jalan 2 lajur 2 arah (Gambar 3.13a) menerima
repetisi beban yang lebih berat dibandingkan dengan volume yang sama
tetapi melintasi jalan 4 lajur 2 arah (Gambar 3.13b). Dengan demikian
data volume lalulintas dengan satuan kendaraan/hari/2 arah atau
kendaraan/hari/arah tidak akurat untuk menyatakan repetisi beban
lalulintas pada perencanaan tebal perkerasan jalan.

Salah satu lajur pada jalan 2 lajur 2 arah, atau lajur paling kiri dari salah
satu arah lalulintas pada jalan 4 lajur 2 arah menerima repetisi beban
yang lebih berat dibandingkan dengan lajur yang lain. Lajur tersebut
disebut sebagai lajur rencana. Lajur rencana adalah lajur lalulintas yang

53
Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur

menerima beban berulang (repetisi beban) lebih sering dan dengan


komposisi beban kendaraan yang lebih berat.

Gambar 3.13 Berbagai tipe jalan

Repetisi beban lalulintas pada lajur rencana ditentukan dengan


memperhatikan volume dan distribusi berbagai jenis kendaraan ke setiap
lajur. Rumus untuk menentukan repetisi beban ke lajur rencana dari
berbagai jenis kendaraan dan konfigurasi sumbu adalah sebagai berikut:
a. Jalan 2 lajur 2 arah b. jalan 4 lajur 2 arah

Q =  LHRi x DA x DL........................................................... (3.7)


atau
Q =  LHRTi x DA x DL......................................................... (3.8)
atau
Q =  LHRTi x Ci..................................................................(3.9)
atau
Q =  LHRi x Ci...............................................................(3.10)

dengan:
Q = repetisi beban lalulintas ke lajur rencana,
kendaraan/hari/lajur

54
Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Perencanaan Tebal Perkerasan

DA = koefisien distribusi arah untuk jenis kendaraan i


DL = koefisien distribusi ke lajur rencana dari 1 arah
lalulintas untuk jenis kendaraan i
Ci = koefisien distribusi arus lalulintas 2 arah ke lajur
rencana untuk jenis kendaraan i
= DA x DL
LHRTi = Lalulintas Harian Rata-Rata Tahunan untuk jenis
kendaraan i, kendaraan/hari/2 arah
LHRi = Lalulintas Harian Rata-Rata untuk jenis kendaraan i,
kendaraan/hari/2 arah

3.2 Daya Dukung Tanah Dasar

Tanah dasar dapat terdiri dari tanah dasar tanah asli, tanah dasar tanah
galian, atau tanah dasar tanah urug yang disiapkan dengan cara dipa-
datkan. Di atas lapisan tanah dasar diletakkan lapisan struktur perkerasan
lainnya, oleh karena itu mutu daya dukung tanah dasar ikut mempe-
ngaruhi mutu jalan secara keseluruhan.
Berbagai parameter digunakan sebagai penunjuk mutu daya dukung
tanah dasar seperti California Bearing Ratio (CBR), modulus resilient
(MR); penetrometer konus dinamis (Dynamic Cone Penetrometer), atau
modulus reaksi tanah dasar (k). Pemilihan parameter mana yang akan
digunakan, ditentukan oleh kondisi tanah dasar yang direncanakan dan
metode perencanaan tebal perkerasan yang akan dipilih.

55
Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur

3.2.1 Pengujian California Bearing Ratio (CBR)

CBR yang dinyatakan dalam persen, adalah perbandingan antara beban


yang dibutuhkan untuk penetrasi sedalam 0,1 inci atau 0,2 inci antara
contoh tanah dengan batu pecah standar. Nilai CBR adalah nilai empiris
dari mutu tanah dasar dibandingkan dengan mutu batu pecah standar
yang memiliki nilai CBR 100%. Pengujian CBR di laboratorium mengikuti
SNI 03-1744 atau AASHTO T193. Alat pengujian terdiri dari piston
dengan luas 3 inci2 yang digerakkan dengan kecepatan 0,05 inci/menit,
vertikal ke bawah. Proving ring digunakan untuk mengukur beban yang
dibutuhkan pada penetrasi tertentu, sedangkan arloji pengukur untuk
mengukur dalamnya penetrasi. Alat uji CBR di laboratorium seperti pada
Gambar 3.14. Beban yang digunakan untuk melakukan penetrasi batu
pecah standar seperti pada Tabel 3.4.

Rangka alat

Proving ring

Gambar 3.14 Alat pengujian CBR di laboratorium

56
Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Perencanaan Tebal Perkerasan

Tabel 3.4 Beban Untuk Melakukan Penetrasi Batu Pecah Standar


Beban standar,
Penetrasi, inci Beban Standar, pon
pon/inci2
0,1 3000 1000
0,2 4500 1500
0,3 5700 1900
0,4 6900 2300
0,5 7800 6000
Sumber: AASHTO T 193

Jenis CBR

Berdasarkan kondisi benda uji, CBR dibedakan atas:


1. CBR rencana;
2. CBR lapangan;
3. CBR lapangan rendaman.

CBR rencana, disebut juga CBR laboratorium atau design CBR, adalah
pengujian CBR dimana benda uji disiapkan dan diuji mengikuti SNI 03-
1744 atau AASHTO T 193 di laboratorium.
CBR rencana digunakan untuk menyatakan daya dukung tanah dasar,
dimana pada saat perencanaan lokasi tanah dasar belum disiapkan
sebagai lapis tanah dasar struktur perkerasan. Perencanaan tebal
perkerasan jalan baru pada umumnya menggunakan jenis CBR ini
sebagai penunjuk daya dukung tanah dasar. Jenis CBR ini digunakan
untuk menentukan daya dukung tanah dasar pada kondisi tanah dasar
akan dipadatkan lagi sebelum struktur perkerasan dilaksanakan.

57
Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur

Sebagai contoh digambarkan kondisi sebagai berikut:


Lapis tanah dasar dari struktur perkerasan jalan baru direncanakan
merupakan tanah dasar tanah asli. Lokasi tanah dasar pada tahap
perencanaan merupakan tanah sawah. Ini berarti tahap pelaksanaan
konstruksi akan dimulai dengan pekerjaan tanah mempersiapkan lapis
tanah dasar yang diakhiri dengan pemadatan tanah. Oleh karena itu jenis
CBR yang sesuai untuk menyatakan daya dukung tanah dasar sebagai
parameter perencanaan tebal perkerasan adalah CBR rencana atau CBR
laboratorium.

CBR lapangan, dikenal juga dengan nama CBRinplace atau field CBR,
adalah pengujian CBR yang dilaksanakan langsung dilapangan, di lokasi
tanah dasar rencana. Prosedur pengujian mengikuti SNI 03-1738 atau
ASTM D 4429.
CBR lapangan digunakan untuk menyatakan daya dukung tanah dasar
dimana tanah dasar direncanakan tidak lagi mengalami proses pemadat-
an atau peningkatan daya dukung tanah sebelum lapis pondasi dihampar
dan pada saat pengujian tanah dasar dalam kondisi jenuh. Dengan kata
lain perencanaan tebal perkerasan dilakukan berdasarkan kondisi daya
dukung tanah dasar pada saat pengujian CBR lapangan itu.
Pengujian dilakukan dengan meletakkan piston pada elevasi dimana nilai
CBR hendak diukur, lalu dipenetrasi dengan menggunakan beban yang
dilimpahkan melalui gandar truk ataupun alat lainnya dengan kecepatan
0,05 inci/menit. CBR ditentukan sebagai hasil perbandingan antara beban
yang dibutuhkan untuk penetrasi 0,1 atau 0,2 inci benda uji dengan
beban standar. Gambar 3.15 dan Gambar 3.16 menggambarkan alat dan
pengujian CBR lapangan.

58
Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Perencanaan Tebal Perkerasan

engkol

sweavel head

Dongkrak Mekanis
cincin penguji

torak penetrasi

Sumber: SNI 03-1738-1989

Gambar 3.15 Alat CBR Lapangan

Gambar 3.16 UJi CBR Lapangan

59
Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur

CBR lapangan rendaman disebut juga undisturbed soaked CBR,


adalah pengujian CBR di laboratorium tetapi benda uji diambil dalam
keadaan ”undisturbed” dari lokasi tanah dasar dilapangan. CBR lapangan
ren- daman diperlukan jika dibutuhkan nilai CBR pada kondisi kepadatan
dilapangan, tetapi dalam keadaan jenuh air, dan tanah mengalami
pengembangan (swell) yang maksimum, sedangkan pengujian dilakukan
pada saat kondisi tidak jenuh air, seperti pada musim kemarau.
Pengujian dilakukan dengan mengambil benda uji menggunakan mold
yang dilengkapi kaki pemotong. Untuk mendapatkan benda uji ” undis-
turbed” mold ditekan masuk kedalam tanah mencapai elevasi tanah
dasar rencana. Mold berisi benda uji dikeluarkan dari dalam tanah,
dibawa ke laboratorium untuk direndam dalam air selama lebih kurang 4
hari, sam- bil diukur pengembangannya (swell). Pengujian dengan
menggunakan alat CBR dilaksanakan setelah pengembangan tak lagi
terjadi.

Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam penentuan asal tanah


untuk membuat benda uji dan jenis pengujian CBR

Benda uji yang disiapkan untuk pengujian CBR adalah benda uji yang
memodelkan kondisi lapisan tanah dasar dari struktur perkerasan jalan.
Oleh karena itu dalam mempersiapkan benda uji perlu diperhatikan hal-
hal sebagai berikut:
1. jenis lapisan tanah dasar, apakah tanah berbutir halus dengan
plastisitas rendah, tanah berplastisitas tinggi, atau tanah berbutir
kasar. Hal ini sangat berkaitan dengan kemampuan tanah dalam
menahan air dan effeknya terhadap pengembangan.

60
Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Perencanaan Tebal Perkerasan

2. elevasi rencana dari lapis tanah dasar, apakah merupakan elevasi


tanah galian, tanah urug, atau sesuai dengan muka tanah asli. Benda
uji harus disiapkan dari tanah yang direncanakan sebagai lapis tanah
dasar (subgrade). Oleh karena itu contoh tanah harus berasal dari:
a. permukaan tanah jika elevasi lapis tanah dasar sama dengan
elevasi muka tanah.
b. material yang nantinya akan digunakan sebagai tanah urug, jika
elevasi lapisan tanah dasar rencana terletak di atas tanah urugan.
c. berasal dari lubang bor atau sumur uji ( test pit) pada elevasi yang
direncanakan sebagai lapis tanah dasar. Hal ini ditemui jika elevasi
lapis tanah dasar direncanakan terletak pada tanah galian. Contoh
tanah diambil dari lubang bor jika elevasi lapis tanah dasar rencana
terletak jauh dari muka tanah saat ini, sedangkan sumur uji
digunakan jika elevasi lapis tanah dasar rencana tidak terlalu dalam
dan memungkinkan untuk membuat sumur uji. Penentuan nilai CBR
rencana untuk contoh tanah yang berasal dari lubang bor hanya
mungkin dilakukan dengan menggunakan korelasi dengan klasifi-
kasi tanah, sedangkan untuk contoh tanah dari sumur uji dilakukan
pengujian mengikuti SNI 03-1744 atau AASHTO T 193.

3.2.2 Nilai CBR Dari Satu Titik Pengamatan

Daya dukung tanah dasar dinyatakan dengan nilai CBR yang


menunjukkan daya dukung tanah sedalam 100 cm. Kadangkala lapis
tanah dasar sedalam 100 cm itu memiliki nilai CBR yang berbeda-beda
seperti pada Gambar 3.17. Untuk itu perlu ditentukan nilai CBR yang
mewakili satu titik pengamatan dengan menggunakan Rumus 3.11[Japan
Road Ass]
.

61
Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur

Lapis pertama h1, CBR1

Lapis kedua h2, CBR2 100 cm


Lapis ke n hn, CBRn

Gambar 3.17 Lapisan tanah di bawah satu titik pengamatan

CBRttk pengamatan h1 3 CBR1  .........h n 3 CBR n ....................... ( 3.11)


=3 (
)
h
dengan:
h1 + h2 +...........+ hn = h cm
hn = tebal tiap lapisan tanah ke n
CBRn = nilai CBR pada lapisan ke n

3.2.3 CBR Segmen Jalan

Jalan dalam arah memanjang dapat melintasi berbagai jenis tanah dan
kondisi medan yang berbeda. Mutu daya dukung lapisan tanah dasar
dapat bervariasi dari jelek sampai dengan baik atau sebaliknya. Dengan
demikian tidak ekonomis jika perencanaan tebal lapisan perkerasan jalan
berdasarkan nilai yang terjelek dan tidak pula memenuhi syarat jika
berdasarkan hanya nilai terbesar saja. Oleh karena itu sebaiknya panjang
jalan dibagi atas beberapa segmen jalan. Setiap segmen jalan memiliki
mutu daya dukung tanah dasar yang hampir sama. Jadi, segmen jalan

62
Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Perencanaan Tebal Perkerasan

adalah bagian dari ruas jalan yang memiliki mutu daya dukung, sifat
tanah, dan keadaan lingkungan yang relatif sama.
Pengujian CBR sebaiknya dilakukan setiap jarak 250 meter dan ditambah
ketika ditemuinya perubahan jenis tanah atau kondisi lingkungan.
Gambar 3.18 menunjukkan ilustrasi banyaknya titik pengamatan CBR
pada satu ruas jalan. Untuk alasan efisiensi interval pengujian CBR dapat
diperbesar, tetapi perlu pengendalian mutu pada pelaksanaan. Jika dite-
mui kondisi berbeda dengan yang diasumsikan pada desain, maka re-
desain wajib dilaksanakan.

segmen jalan

x x x x x

x x x x
ruas jalan
250m 250m

x= titik pengamatan, daya dukung diwakili oleh CBRtitik pengamatan


segmen = bagian dari ruas jalan dengan CBRtitik pengamatan yang relatif sama, daya duk

ruas= bagian jalan antara 2 simpang

Gambar 3.18 Ilustrasi tentang titik pengamatan CBR , segmen, dan ruas jalan

Setiap segmen mempunyai satu nilai CBR yang mewakili mutu daya
dukung tanah dasar untuk digunakan pada perencanaan tebal lapisan
perkerasan segmen jalan tersebut.

63
Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur

Nilai CBRsegmen ditentukan dengan mempergunakan metode analitis


ataupun dengan metode grafis.

Metode analitis
Beberapa metode analitis dapat digunakan untuk menentukan CBRsegmen,
antara lain:
1. Berdasarkan nilai simpangan baku dan nilai rata-rata dari CBR yang
ada dalam satu segmen.

CBRsegmen = CBRrata-rata – K.S...............................................(3.12)

dengan:
CBRsegmen = CBR yang mewakili nilai CBR satu segmen
CBRrata-rata = CBR rata-rata dalam satu segmen
S = nilai simpangan baku dari seluruh data yang ada
dalam satu segmen
K = konstanta yang ditentukan berdasarkan
tingkat kepercayaan yang digunakan, yaitu:
K = 2,50; jika tingkat kepercayaan = 98%
K = 1,96; jika tingkat kepercayaan = 95%
K = 1,64; jika tingkat kepercayaan = 90%
K = 1,00; jika tingkat kepercayaan = 68%
[Japan Road Ass]
2. Metode Japan Road Ass :

CBRsegmen = CBRrata-rata - (CBRmaks - CBRmin)/R............................(3.13)


dengan:
CBRsegmen = CBR yang mewakili nilai CBR satu segmen
CBRrata-rata = CBR rata-rata dalam satu segmen
CBRmaks = CBR maksimum dalam satu segmen
CBRmin = CBR minimum dalam satu segmen

64
Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Perencanaan Tebal Perkerasan

R = konstanta seperti pada Tabel 3.5, berdasarkan jumlah


data CBR titik pengamatan dalam satu segmen.

Nilai CBRsegmen menggunakan Rumus 3.12 hampir sama dengan nilai yang
diperoleh dengan Rumus 3.13, untuk nilai K = 1.

Tabel 3.5 Nilai R Untuk Menghitung CBRsegmen


Jumlah titik pengamatan Nilai R
2 1,41
3 1,91
4 2,24
5 2,48
6 2,67
7 2,83
8 2,96
9 3,08
10 3,18
Sumber:Japan Road Ass

Metode grafis

Nilai CBRsegmen dengan menggunakan metode grafis merupakan nilai


persentil ke 90 dari data CBR yang ada dalam satu segmen.
CBRsegmen adalah nilai CBR dimana 90% dari data yang ada dalam segmen
memiliki nilai CBR lebih besar dari nilai CBRsegmen.

Langkah – langkah menentukan CBRsegmen menggunakan metode grafis


adalah sebagai berikut :

65
Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur

1. Tentukan nilai CBR terkecil.


2. Susunlah nilai CBR dari yang terkecil ke yang terbesar, dan tentukan
jumlah data dengan nilai CBR yang sama atau lebih besar dari setiap
nilai CBR. Pekerjaan ini disusun secara tabelaris.
3. Angka terbanyak diberi nilai 100%, angka yang lain merupakan
persentase dari 100%.
4. Gambarkan hubungan antara nilai CBR dan persentase dari Butir 3
5. Nilai CBRsegmen adalah nilai pada angka 90% sama atau lebih besar dari
nilai CBR yang tertera.

Contoh perhitungan:
Dari hasil pengujian CBR di sepanjang ruas jalan antara Sta 0+000
sampai dengan STA 4+250 diperoleh nilai CBR titik pengamatan sebagai
berikut:

CBR titik CBR titik


STA pengamatan STA pengamatan
(%) (%)
0+000 6 2+250 10
0+250 7 2+500 11
0+500 6 2+750 14
0+750 6 3+000 12
1+000 8 3+250 15
1+250 7 3+500 13
1+500 8 3+750 16
1+750 9 4+000 16
2+000 8 4+250 14

66
Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Perencanaan Tebal Perkerasan

Berdasarkan data CBR tersebut, maka ruas jalan dibagi menjadi 2


segmen yaitu:
- segmen pertama antara STA 0+000 sampai dengan STA 2+000
- segmen kedua antara STA 2+250 sampai dengan 4+250

Contoh perhitungan hanya untuk segmen pertama saja.


1. Dengan menggunakan metode analitis:
a. Berdasarkan nilai simpangan baku dan nilai rata-rata dari CBR yang
ada dalam satu segmen.
CBR rata-rata segmen pertama = 7,22%
Simpangan baku data = 1,09
Tingkat kepercayaan 68%, jadi K = 1
Dengan menggunakan Rumus 3.12 diperoleh:
CBRsegmen untuk segmen pertama = 7,22 – (1) (1,09) = 6,13%,
dibulatkan menjadi 6%.

b. Metode Japan Road Ass:


CBR maksimum = 9%
CBR minimum = 6%
CBR rata-rata = 7,22%
Jumlah data ada 9, dari Tabel 3.5 diperoleh R = 3,08
Dengan menggunakan Rumus 3.13 diperoleh:
CBRsegmen untuk segmen pertama = 7,22 - (9 - 6)/3,08 = 6,25 %,
dibulatkan menjadi 6%.

2. Metode grafis
Untuk metode grafis, dilakukan langkah-langkah sebagai berikut:
a. nilai CBR terendah = 6%;
b. buat tabel seperti Tabel 3.6 yang menunjukkan jumlah data dengan
nilai yang sama atau lebih besar dari nilai CBR yang diamati;

67
Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur

c. gambarkan hubungan nilai CBR dengan persentase jumlah data


dengan nilai sama atau lebih besar dari CBR yang diamati (Gambar
3.19);
d. Nilai CBR dengan 90% data yang ada lebih besar atau sama adalah =
6,3%. Jadi, CBRsegmen untuk segmen pertama jika dibulatkan = 6%.

Dari contoh perhitungan diperoleh bahwa dengan menggunakan ketiga


metode diperoleh nilai CBR segmen yang sama yaitu 6%.

Tabel 3.6 Contoh Menentukan CBRsegmen Dengan Metode Grafis


Jumlah data dengan
Persen data yang sama atau lebih
CBR, % nilai CBR yang sama
besar
atau lebih besar
6 9 100 %
7 6 6/9 x 100 % = 66,7 %
8 4 4/9 x 100 % = 44,4 %
9 1 1/9 x 100 % = 11,1 %

100
90 CBRsegmen
% yang sama atau lebih

75 = 6,3 %
6%

50

25

6 7 8 9 10 CBR

Gambar 3.19 Contoh menentukan CBRsegmen dengan metode grafis

68
Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Perencanaan Tebal Perkerasan

3.2.4 Penetrometer Konus Dinamis/Dynamic Cone Penetrometer

Daya dukung lapisan tanah dasar yang telah dipadatkan dapat diukur
langsung dilapangan dengan melakukan pengujian CBR lapangan atau
korelasi dari nilai empiris hasil pengujian penetrometer konus dinamis
(Dynamic Cone Penetrometer), dikenal dengan DCP. Alat ini banyak
digunakan di Indonesia sejak tahun 1980.
Alat DCP digunakan untuk mendapatkan data daya dukung tanah dasar
sampai kedalaman 90 cm di bawah permukaan tanah dasar. Pengujian
dilakukan dengan menggunakan alat seperti pada Gambar 3.20.

Pemberat atau penumbuk seberat 9,07 kg (20 pon) dijatuhkan dari


ketinggian 50,8 cm (20 inci) melalui sebuah batang atau stang baja
berdiameter 16 mm (5/8 inci). Ujung batang atau stang berbentuk konus
dengan luas 1,61 cm2 (½ inci2) bersudut 30o atau 60o.

Analisis data lapangan dilakukan dengan menggunakan nilai kumulatif


tumbukan untuk mencapai kedalaman penetrasi tertentu seperti pada
Rumus 3.14.

D..............................................................................
DN = (3.14)
N

dengan:
D = kedalaman penetrasi, mm
N = jumlah pukulan untuk mencapai kedalaman D mm

Tabel 3.7 adalah contoh hasil uji alat DCP, sedangkan Gambar 3.21
menunjukkan korelasi antara jumlah tumbukan dan dalamnya penetrasi
yang dapat dicapai.

69
Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur

Jatuh bebas
Penumbuk

D
meteran

(a) (b) (c)


D

Gambar 3.20 Penetrometer Konus Dinamis (DCP)

70
Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Perencanaan Tebal Perkerasan

Tabel 3.7 Contoh Hasil Pengujian Dengan Alat DCP


Kumulatif DN
Banyak Kumulatif
penetrasi (mm/tumbu CBR (%)
tumbukan tumbukan (mm) kan)
0 0
5 5 65
5 10 80
5 15 130 8,4 41
5 20 200
5 25 210
5 30 270
5 35 330
5 40 380 22
5 45 475
5 50 575 12,1

5 55 585
5 60 610
5 65 670
5 70 700
58
5 75 720
7,3
5 80 890
5 85 810
5 90 840

Dari Gambar 3.21 diperoleh bahwa ada 3 lapis di bawah titik pengamatan
dengan kecepatan penetrasi yang sama yaitu:

71
Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur

Kumulatif Jumlah Tumbukan


0102030405060708090100
0

100

200

300
Kumulatif Penetrasi

400

500

600

700

800

900

Gambar 3.21 Hubungan antara jumlah pukulan dan kedalaman penetrasi

a. kedalaman 0 sampai dengan kedalaman 210 mm,


(210  0)
dengan DN1 = = 8,4 mm/tumbukan;
(25  0)

b. kedalaman 210 mm sampai dengan kedalaman 610 mm,


(610  210)
dengan DN2 = = 12,1 mm/tumbukan;
(58  25)

c. kedalaman 610 mm sampai dengan kedalaman 900 mm,


(900  610)
dengan DN3 = = 7,3 mm/tumbukan.
(98  58)

72
Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Perencanaan Tebal Perkerasan

Korelasi nilai DCP dengan CBR

Daya dukung tanah berbanding terbalik dengan kecepatan penetrasi yang


ditunjukkan dengan nilai mm/tumbukan.
Rumus 3.15 dan Rumus 3.16 digunakan untuk korelasi antara nilai CBR
dengan DN hasil uji dengan alat DCP.

DCP kerucut 600:


Log10 (CBR) = 2,8135 – 1,313 Log10 DN.......................................(3.15)
DN dalam mm/tumbukan

DCP kerucut 300:


Log10 (CBR) = 1,352 – 1,125 Log10 DN.........................................(3.16)
DN dalam cm/tumbukan

Dengan menggunakan contoh pada Tabel 3.7, maka hasil uji dengan alat
DCP dari satu titik pengamatan diperoleh sebagai berikut:
1. Jika yang digunakan adalah alat DCP dengan konus 60o, maka
dengan menggunakan Rumus 3.15 diperoleh:
a. lapis ketebalan 0 – 210 mm, CBR = 39,8%
b. lapis ketebalan 210 – 610 mm, CBR = 24,7%
c. lapis ketebalan 610 – 900 mm, CBR = 47,9%

CBRtitik pengamatan = ( 21 39,8  40 24,7  29 47,9


3 3 3

3
)
90
CBRtitik pengamatan = 34,7%

2. Jika yang digunakan adalah alat DCP dengan konus 30o, maka
dengan menggunakan Rumus 3.16 diperoleh:
a. lapis ketebalan 0 – 210 mm, CBR = 27,4%
b. lapis ketebalan 210 – 610 mm, CBR = 18,2%
c. lapis ketebalan 610 – 900 mm, CBR = 32,1%
73
Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur

CBRtitik pengamatan = ( 21 27,4  40 18,2  29 32,1


3 3 3

3
)
90
CBRtitik pengamatan = 24,2%

CBR yang diperoleh dengan menggunakan alat DCP ini adalah CBR
lapangan, sehingga penggunaannya disesuaikan dengan yang telah
diuraikan pada Bab 3.2.1.

3.2.5 Modulus resilient (MR)

AASHTO sejak 1986 menggunakan modulus resilient sebagai parameter


penunjuk daya dukung lapis tanah dasar atau subgrade, menggantikan
CBR yang selama ini digunakannya. Cara uji M R di laboratorium dilakukan
dengan memodelkan beban kendaraan yang diperkirakan akan meng-
gunakan perkerasan selama umur rencana. Kerugian menggunakan cara
uji ini adalah lebih kompleks, membutuhkan biaya yang lebih tinggi, dan
waktu yang lebih lama.
Modulus resilient adalah perbandingan antara nilai deviator stress, yang
menggambarkan repetisi beban roda dan recoverable strain. Perbedaan
pengertian antara modulus elastisitas (E) dan modulus resilient (MR)
ditunjukkan seperti pada Gambar 3.22.
Modulus elastisitas menunjukkan perbandingan antara d dan deformasi
tetap (permanent deformation), sedangkan modulus resilient adalah
perbandingan antara d dan deformasi yang dapat kembali lagi (recover-
able deformation).

74
Deviator Stress
d = 1-3
MR = d / r
E MR
d
CL
d
3

3 3

0 Axial Strain 1
permanent recoverable

Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Perencanaan Tebal Perkerasan

Sumber:Tutumluer

Gambar 3.22 Perbedaan antara modulus elastisitas (E)


dan modulus resilient (MR)

Dari Gambar 3.22 diperoleh:


σ
MR = d
εr ..................................................... (3.17)
dengan:
MR = modulus resilient
d = 1 - 3
εr = recoverable strain/ recoverable deformation

Gambar 3.23 menunjukkan pemahaman tentang recoverable deformation


dan permanent deformation akibat repetisi beban lalulintas dan waktu.

75
Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur

CL d
3
Deformation
3 3
Recoverable Deformation

Permanent Deformation

Waktu

Sumber:Tutumluer

Gambar 3.23 Recoverable deformation dan permanent deformation

Nilai MR dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti kadar air, derajat


kejenuhan, kepadatan, temperatur, jumlah butir halus, dan gradasi.
Pengujian di laboratorium dapat menggunakan alat triaxial dengan beban
berulang (cyclic triaxial test), Universal Material Testing Apparatus
(UMATTA), atau analisis hasil pengujian non-destructive test dengan
menggunakan alat falling weight deflectometer (FWD).
MR untuk tanah dasar dapat pula diperoleh melalui korelasi dengan nilai

CBR seperti pada Rumus 3.18[Heukelom & Klomp seperti AASHTO 1993]
dan Rumus
3.19[Olidis]. Rumus 3.18 yang diadopsi oleh AASHTO’93, dan Bina Marga,
berlaku untuk tanah berbutir halus, nonexpansive, dengan nilai CBR
rendaman kurang atau sama dengan 10. Rumus 3.19 menghasilkan nilai
MR yang lebih rendah.

76
Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Perencanaan Tebal Perkerasan

MR = 1500 (CBR), MR dalam psi........................................(3.18)

MR = 2555 (CBR)0,64, MR dalam psi....................................(3.19)

Nilai MR untuk tanah dasar tanah galian diperoleh berdasarkan korelasi


dengan hasil klasifikasi tanah. Benda uji untuk menentukan klasifikasi
tanah diperoleh melalui lubang bor pada elevasi tanah dasar rencana.
Tabel 3.8 dan Tabel 3.9. menunjukkan nilai korelasi M R dengan klasifikasi
AASHTO dan USCS.

Tabel 3.8 Korelasi Nilai MR dengan klasifikasi AASHTO dan CBR


Rentang CBR MR rencana
Klasifikasi Rentang MR (ksi)
(%) (ksi)
A-7-6 1-5 2,5 – 7 4
A-7-5 2-8 4 - 9,5 6
A-6 5 - 15 7 – 14 9
A-5 8 - 16 9 – 15 11
A-4 10 - 20 12 – 18 14
A-3 15 - 35 14 – 25 18
A-2-7 10 - 20 12 – 17 14
A-2-6 10 - 25 12 – 20 15
A-2-5 15 - 30 14 - 22 17
A-2-4 20 - 40 17 - 28 21
A-1-b 35 - 60 25 - 35 29
A-1-a 60 - 80 30 - 42 38
Sumber: Witczak, 2001

77
Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur

Tabel 3.9 Korelasi Nilai MR dengan klasifikasi USCS dan CBR


Rentang CBR MR rencana
Klasifikasi Rentang MR (ksi)
(%) (ksi)
CH 1– 5 2,5 – 7 4
MH 2– 8 4 – 9,5 6
CL 5 – 15 7 – 14 9
ML 8 – 16 9 – 15 11
SW 20 – 40 12 – 28 21
SP 15 – 30 14 – 22 17
SW – SC 10 – 25 12 – 20 15
SW – SM 15 – 30 14 – 22 17
SP – SC 10 – 25 12 – 20 15
SP – SM 15 – 30 14 – 22 17
SC 10 – 20 12 – 17 14
SM 20 – 40 17 – 28 21
GW 60 – 80 35 – 42 38
GP 35 – 60 25 – 35 29
GW - GC 20 – 60 17 – 35 24
GW - GM 35 – 70 25 – 38 30
GP - GC 20 – 50 17 – 32 23
GP - GM 25 – 60 20 – 35 26
GC 15 – 40 14 – 28 20
GM 30 – 80 22 – 42 30
Sumber: Witczak, 2001

3.2.6 Hal-hal Yang Perlu Diperhatikan Pada Penetapan Daya


Dukung Tanah Dasar
Beberapa hal yang perlu diperhatikan pada penetapan daya dukung
tanah dasar adalah:
1. Nilai CBR rencana atau MR rencana untuk tanah dasar tanah galian
jalan baru, diperoleh berdasarkan klasifikasi dari contoh tanah yang

78
Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Perencanaan Tebal Perkerasan

diambil dengan menggunakan alat bor. Jika terjadi perbedaan yang


cukup berarti antara CBR pada saat pelaksanaan dengan CBR rencana,
maka perlu dilakukan redesain tebal perkerasan jalan.
2. Nilai CBR rencana atau MR rencana untuk tanah dasar tanah urug,
diperoleh berdasarkan benda uji dari calon tanah urug (borrow
material). Jika terjadi perbedaan yang cukup berarti antara CBR pada
saat pelaksanaan dengan dengan nilai CBR rencana, maka perlu
dilakukan redesain tebal perkerasan jalan.
3. Pada lokasi rencana jalan yang mempunyai intensitas hujan yang
tinggi, perhatian terhadap drainase harus ditingkatkan sehingga mutu
daya dukung tanah dasar dapat maksimal.
4. Keakuratan dan ketelitian data daya dukung tanah dasar mem-
pengaruhi hasil perencanaan tebal perkerasan. Hasil perencanaan
dapat kurang tebal dibandingkan dengan yang dibutuhkan sehingga
umur rencana tidak tercapai, dan berdampak biaya rehabilitasi dan
pemeliharaan meningkat. Sebaliknya, jika tebal perkerasan terlalu
tebal berakibat biaya pertama (initial cost) tidak efisien.
5. Pada segmen dimana terdapat daerah dengan daya dukung buruk
yaitu nilai CBR lebih kecil dari nilai CBR segmen, sebaiknya terlebih
dahulu dievaluasi penyebab kondisi tersebut. Dari hasil analisis
ditentukan apakah perlu perbaikan tanah atau perlu sistem drainase di
lokasi tersebut.
6. Tanah dasar yang direncanakan sebagai hasil stabilisasi dari tanah asli,
seperti stabilisasi dengan semen, kapur, atau penguatan tanah meng-
gunakan geotextile, tensar, atau sejenisnya, maka nilai CBR atau M R
rencana yang dipergunakan untuk desain adalah nilai CBR atau M R
rencana setelah tanah dasar di stabilisasi atau diperkuat. Perlu

79
Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur

pertimbangan yang seksama dalam memodelkan keadaan ini di


laboratorium.

3.3. Fungsi Jalan

Fungsi jalan dapat menggambarkan jenis kendaraan pengguna jalan dan


beban lalu lintas yang akan dipikul oleh struktur perkerasan jalan.
Sebagai contoh, lalu lintas angkutan barang yang menggunakan truk
berat, trailer tunggal, atau trailer ganda pada umumnya melintasi jalan-
jalan arteri suatu wilayah.
Undang-Undang No.38 Tahun 2004 tentang Jalan membedakan jalan
berdasarkan peruntukkannya menjadi jalan umum dan jalan khusus.
Jalan umum adalah jalan yang diperuntukkan bagi lalu lintas umum,
sedangkan jalan khusus adalah jalan yang dibangun oleh instansi, atau
badan usaha, dan bukan diperuntukkan bagi lalu lintas umum dalam
rangka distribusi barang dan jasa yang dibutuhkan.

3.3.1 Sistem Jaringan Jalan Umum

Sistem jaringan jalan umum yang dikenal dengan sistem jaringan jalan,
adalah satu kesatuan ruas jalan yang saling menghubungkan dan
mengikat pusat-pusat pertumbuhan dengan wilayah yang berada dalam
pengaruh pelayanannya dalam satu hubungan hierarkis.

Sistem jaringan jalan dibedakan atas:


1. sistem jaringan jalan primer;
2. sistem jaringan jalan sekunder.
Sistem jaringan jalan primer adalah sistem jaringan jalan dengan peranan
pelayanan distribusi barang dan jasa untuk pengembangan semua
wilayah di tingkat nasional, dengan menghubungkan semua simpul jasa

80
Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Perencanaan Tebal Perkerasan

distribusi yang berwujud pusat kegiatan berupa kawasan perkotaan, yang


mempunyai jangkauan pelayanan nasional, wilayah dan lokal. Sistem
jaringan jalan primer bersifat menerus yang memberikan pelayanan lalu
lintas tidak terputus walaupun masuk dalam kawasan perkotaan.
Kawasan perkotaan adalah kawasan yang mempunyai kegiatan utama
bukan pertanian, dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat
pemukiman perkotaan, pemusatan dan distribusi pelayanan jasa
pemerintahan, pelayanan sosial, serta kegiatan ekonomi.
Sistem jaringan sekunder adalah sistem jaringan jalan dengan peranan
pelayanan distribusi barang dan jasa untuk masyarakat di dalam kawasan
perkotaan.
Jalan tol merupakan bagian dari sistem jaringan jalan dimana
penggunanya diwajibkan membayar tol, yaitu sejumlah uang tertentu
dalam rangka pengembalian investasi, pemeliharaan, dan pengembangan
jalan tol.

3.3.2 Fungsi Jalan Umum

Berdasarkan fungsinya, jalan umum dapat dikelompokkan ke dalam:


1. jalan arteri,
2. jalan kolektor,
3. jalan lokal,
4. jalan lingkungan.
Jalan arteri adalah jalan umum yang berfungsi melayani angkutan utama
dengan ciri perjalanan jarak jauh, kecepatan rata-rata tinggi, dan jumlah
jalan masuk dibatasi secara berdaya guna.

81
Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur

Jalan kolektor adalah jalan umum yang berfungsi melayani angkutan


pengumpul atau pembagi dengan ciri perjalanan jarak sedang, kecepatan
rata-rata sedang, dan jumlah jalan masuk dibatasi.
Jalan lokal adalah jalan umum yang berfungsi melayani angkut-an
setempat dengan ciri perjalanan jarak dekat, kecepatan rata-rata rendah,
dan jumlah jalan masuk tidak dibatasi.
Jalan lingkungan adalah jalan umum yang berfungsi melayani angkutan
lingkungan dengan ciri perjalanan jarak dekat, kecepatan rata-rata
rendah.
Gambar 3.24 menunjukan skema fungsi jalan, Tabel 3.10 menunjukkan
fungsi jalan dalam sistem jaringan jalan, dan Gambar 3.25 menunjukkan
skema sistem jaringan jalan dan fungsi jalan.

A : Jalan Arteri
B : Jalan Kolektor
B C : Jalan Lokal

Gambar 3.24 Skema fungsi jalan

82
Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Perencanaan Tebal Perkerasan

Tabel 3.10 Berbagai Fungsi Jalan


Jaringan Jalan Primer Jaringan Jalan Sekunder
1. jalan arteri primer 1. jalan arteri sekunder
2. jalan kolektor primer 2. jalan kolektor sekunder
3. jalan lokal primer 3. jalan lokal sekunder

I. = Pusat Kegiatan Nasional (PKN)


II. = Pusat Kegiatan Wilayah (PKW)
III. = Pusal Kegiatan Lokal (PKL)
A. Sistem Jaringan Jalan Primer PA = arteri primer
PC = kolektor primer
B. Sistem Jaringan Jalan Sekunder SA = arteri sekun
PL = lokal primer
SC = kolektor sekunder
SL = lokal sekunder

Sumber: Purnomo

Gambar 3.25 Skema sistem jaringan jalan

83
Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur

3.3.3 Status Jalan Umum

Jalan umum menurut statusnya dikelompokkan ke dalam:


1. jalan nasional;
2. jalan kabupaten;
3. jalan kota;
4. jalan desa.

Jalan nasional merupakan jalan arteri dan jalan kolektor dalam sistem
jaringan jalan primer yang menghubungkan antar ibu-kota propinsi, jalan
strategis nasional, serta jalan tol. Jalan strategis nasional adalah jalan
yang melayani kepentingan nasional atas dasar kriteria strategis yaitu
mempunyai peranan untuk membina kesatuan dan keutuhan nasional,
melayani daerah-daerah rawan, bagian dari jalan lintas regional atau
lintas internasional, melayani kepentingan perbatasan antarnegara, serta
dalam rangka pertahanan dan keamanan.

Jalan propinsi merupakan jalan kolektor dalam sistem jaringan jalan


primer yang menghubungkan antar ibukota propinsi dengan ibukota
kabupaten atau kota, atau antar ibukota kabupaten atau kota, dan jalan
strategis propinsi. Jalan strategis propinsi adalah jalan yang diprioritaskan
untuk melayani kepentingan propinsi berdasarkan pertimbangan untuk
membangkitkan pertumbuhan ekonomi, kesejahteraan dan keamanan
propinsi.

Jalan kabupaten merupakan jalan lokal dalam sistem jaringan jalan


primer yang tidak termasuk jalan nasional maupun jalan propinsi,
menghubungkan ibukota kabupaten dengan ibukota kecamatan, atau
antar ibukota kecamatan, ibukota kabupaten dengan pusat kegiatan
lokal, antar pusat kegiatan lokal, serta jalan umum dalam sistem jaringan
jalan sekunder dalam wilayah kabupaten, dan jalan strategis kabupaten.

84
Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Perencanaan Tebal Perkerasan

Jalan strategis kabupaten adalah jalan yang diprioritaskan untuk melayani


kepentingan kabupaten berdasarkan pertimbangan untuk membangkit-
kan ekonomi, kesejahteraan, dan keamanan kabupaten.

Jalan kota adalah jalan umum dalam sistem jaringan jalan sekunder yang
menghubungkan antar pusat pelayanan dalam kota, menghubungkan
pusat pelayanan dengan persil, menghubungkan antar persil, serta
menghubungkan antar pusat permukiman yang berada dalam kota. Jalan
kota berada di dalam daerah kota yang bersifat otonom sebagaimana
dimaksud dalam undang-undang pemerintah daerah.
Jalan desa adalah jalan umum yang menghubungkan antar kawasan dan
atau pemukiman di dalam desa, serta jalan lingkungan.

Berdasarkan Pasal 19 UU RI Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalulintas


dan Angkutan Jalan, jalan dikelompokkan dalam beberapa kelas jalan
berdasarkan:
1. fungsi dan intensitas lalulintas guna kepentingan pengaturan peng-
gunaan jalan dan kelancaran lalulintas dan angkutan jalan.
2. daya dukung untuk menerima muatan sumbu terberat dan dimensi
kendaraan bermotor.

Pengelompokan jalan menurut kelas jalan adalah sebagai berikut:


1. Jalan kelas 1, yaitu jalan arteri dan kolektor yang dapat dilalui
kendaraan bermotor dengan ukuran lebar tidak melebihi 2,50 m,
ukuran panjang tidak melebihi 18,00 m, ukuran paling tinggi 4,2 m,
dan muatan sumbu terberat 10 ton.

2. Jalan kelas II, yaitu jalan arteri, kolektor, lokal, dan lingkungan yang
dapat dilalui kendaraan bermotor dengan ukuran lebar tidak melebihi
2,50 m, ukuran panjang tidak melebihi 12,00 m, ukuran paling tinggi
4,2 m, dan muatan sumbu terberat 8 ton.

85
Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur

3. Jalan kelas III, yaitu jalan arteri, kolektor, lokal, dan lingkungan yang
dapat dilalui kendaraan bermotor dengan ukuran lebar tidak melebihi
2,10 m, ukuran panjang tidak melebihi 9,00 m, ukuran paling tinggi
3,5 m, dan muatan sumbu terberat 8 ton.

4. Jalan kelas khusus, yaitu jalan arteri yang dapat dilalui kendaraan
bermotor dengan ukuran lebar melebihi 2,50 m, ukuran panjang mele-
bihi 18,00 m, ukuran paling tinggi 4,2 m, dan muatan sumbu terberat
lebih dari 10 ton.

Fungsi jalan menggambarkan kemungkinan tipe lalu lintas yang akan


menggunakan jalan. Jalan arteri, atau jalan nasional, atau jalan kelas 1
secara nyata menggambarkan bahwa perkerasan jalan harus mampu
menerima beban lalu lintas yang lebih berat dibandingkan dengan fungsi
jalan lainnya. Hal ini tentu saja mempengaruhi tebal perkerasan jalan
tersebut.
Di samping fungsi jalan seperti yang diuraikan terdahulu, jalan yang
dibangun sekitar pintu tol menggambarkan kondisi lalu lintas dengan
perilaku yang berbeda dengan kondisi lalu lintas di antara pintu tol.
Kecepatan yang relatif rendah, dan sifat gerakan kendaraan selama antri
mengakibatkan beban lalu lintas yang dipikul oleh perkerasan di sekitar
pintu tol lebih berat, sehingga tebal lapisan perkerasan di pintu tol lebih
tebal atau dengan jenis perkerasan yang berbeda.

3.4 Kondisi Lingkungan

Kondisi lingkungan sangat mempengaruhi daya tahan dan mutu pelayan-


an struktur perkerasan jalan yang terletak di lokasi tersebut. Pelapukan
material tidak hanya disebabkan oleh repetisi beban lalulintas, tetapi juga
oleh cuaca dan air yang ada di dalam dan sekitar struktur perkerasan

86
Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Perencanaan Tebal Perkerasan

jalan. Perubahan temperatur yang terjadi selama siang dan malam hari,
menyebabkan mutu struktur perkerasan jalan berkurang, menjadi aus
dan rusak. Di Indonesia perubahan temperatur dapat terjadi karena
perubahan musim dari musim penghujan ke musim kemarau atau karena
pergantian siang dan malam.
Air masuk ke struktur perkerasan jalan melalui berbagai cara seperti
infiltrasi melalui retak pada permukaan jalan, sambungan perkerasan,
muka air tanah dan fluktuasinya, sifat kapilaritas air tanah, rembesan
(seepage) dari tempat yang lebih tinggi di sekitar struktur perkerasan,
atau dari bahu jalan, dan mata air di lokasi. Gambar 3.26 menggambar-
kan aliran air yang mungkin terjadi di sekitar struktur perkerasan jalan.

Evaporasi

Infiltrasi
Infiltrasi Ke lapisan perkerasan
Ke bahu jalan

Dari lapisan tanah di Rembesan (Seepage)


bawahnyakapilaritas air Dari muka air tanah
Pemindahan dari bahu jalan

Fluktuasi air tanah


Muka air

Gambar 3.26 Aliran air di sekitar struktur perkerasan jalan

87
Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur

Besarnya intensitas aliran air ditentukan oleh:


1. presipitasi dan intensitas hujan sehubungan dengan iklim setempat.
Air hujan jatuh ke badan jalan dan masuk ke tanah dasar melalui bahu
jalan atau bagian yang berlubang pada lapis permukaan jalan. Aliran
air secara horizontal masuk ke lapis perkerasan terjadi jika kadar air
tinggi di bahu jalan dan rendah di bawah lapis perkerasan jalan. Hal ini
dapat diatasi dengan membuat bahu dari tanah berbutir kasar yang
memenuhi syarat sebagai material filter.

2. sifat kapilaritas tanah dasar.


Pada tanah dasar dengan kadar air rendah yang di bawahnya terda-
pat lapisan air tanah, maka air dapat merembes ke atas akibat adanya
gaya kapiler. Besarnya kemampuan ini ditentukan oleh jenis tanah
dasar itu sendiri.
3. sistem dan kondisi drainase di sekitar badan jalan.

Adanya air yang terperangkap dalam struktur perkerasan jalan mengaki-


batkan:
1. ikatan antara agregat dengan aspal pada lapisan perkerasan beraspal
berkurang bahkan lepas, sehingga berakibat timbulnya lubang-lubang.
2. daya dukung tanah dasar dan lapis pondasi berkurang.
3. terjadinya efek pumping apabila terdapat kendaraan berat yang
bergerak di tempat dimana ada air terjebak dalam lapisan perkerasan
jalan. Hal ini akan mempercepat rusaknya perkerasan jalan.

Perencanaan tebal perkerasan perlu memperhatikan faktor kondisi


lingkungan terutama kemungkinan masuknya air ke struktur perkerasan
jalan dan cepat atau lambatnya air meninggalkan perkerasan jalan ketika
turun hujan.

88
Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Perencanaan Tebal Perkerasan

3.5 Mutu Struktur Perkerasan Jalan

Mutu struktur perkerasan jalan menentukan kinerja struktur perkerasan


jalan dalam memberikan pelayanan sehingga mampu memberikan rasa
aman dan nyaman kepada pengguna jalan. Berbagai faktor mempe-
ngaruhi kinerja struktur perkerasan jalan seperti:
1. mutu setiap lapis perkerasan jalan menentukan mutu stabilitas struk-
tur perkerasan jalan menerima beban lalulintas selama masa pelayan-
an jalan. Jalan yang menurun stabilitasnya dapat mengakibatkan
terjadinya alur (rutting) yaitu deformasi pada lintasan roda kendaraan,
gelombang dalam arah melintang jalan yang disebut keriting ( corru-
gation), deformasi setempat (shoving), atau amblas.
2. bentuk fisik muka jalan dapat merupakan dampak dari mutu stabilitas
jalan dalam menerima beban lalulintas atau akibat ausnya lapis
permukaan sehingga jalan kehilangan tahanan geser dan kendaraan
mudah mengalami selip. Lubang akibat hilangnya sebagian material
pembentuk perkerasan jalan atau retak pada muka jalan merupakan
bentuk fisik yang mempengaruhi kinerja struktur perkerasan jalan.

3.5.1 Kekasaran muka jalan (Roughness)

Kekasaran (roughness) muka jalan didefinisikan sebagai iregularitas


permukaan perkerasan yang berbanding terbalik dengan kenyamanan
mengemudi. Iregularitas permukaan perkerasan dapat ditemui dalam
arah memanjang (longitudinal distortion) dan arah melintang
(transverse distortion). Gambar 3.27 menunjukkan berbagai bentuk
ketidak nyaman- an pengemudi kendaraan akibat kekasaran muka jalan
yang dibedakan atas gangguan dalam arah memanjang dan melintang
jalan.

89
Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur

Gambar 3.27a menggambarkan ketidak rataan muka jalan dilihat dari


arah memanjang jalan. Gelombang jalan yang memberikan rasa tidak
nyaman kepada pengguna jalan dibedakan atas:
1. gelombang dengan amplitudo rendah tetapi frekwensi tinggi (A)
2. gelombang dengan amplitudo tinggi tetapi frekwensi rendah (B)
3. gelombang yang terjadi bersamaan antara kondisi A dan B

Gambar 3.27b menggambarkan ketidak rataan muka jalan dalam arah


melintang. Alur atau rutting yang terjadi pada lintasan roda kendaraan
sering terjadi di akhir umur pelayanan jalan atau disebabkan kurangnya
stabilitas perkerasan jalan dalam memikul beban kendaraan.
Kekasaran muka jalan diukur dengan menggunakan alat seperti rougho-
meter atau profilometer.

Gambar 3.27 Bentuk ketidaknyamanan mengemudi

B Amplitudo tinggi

Tekstur kasar menyebabkan “bising”

A Gelombang dengan frekuensi tinggi, amplitudo rendah

Bentuk ketidaknyamanan dilihat dari arah memanjang jalan

Bentuk ketidaknyamanan dilihat dari arah melintang jalan

90
Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Perencanaan Tebal Perkerasan

International Roughness Index (IRI)

IRI adalah parameter penunjuk kekasaran ( roughness) jalan untuk arah


profil memanjang atau longitudinal jalan. Satuan IRI adalah m/km atau
mm/m. Di samping IRI dikenal pula average rectified slope (ARS) yaitu
perbandingan antara nilai kumulatip gerakan vertikal dari sumbu bela-
kang roda tunggal kendaraan dengan jarak yang dinyatakan dalam
mm/km. IRI adalah ARS dikalikan 1000.
Alat yang digunakan untuk mengukur IRI dipasang pada sumbu belakang
mobil standar yang bergerak dengan kecepatan tertentu sesuai dengan
metode yang digunakan. Gerakan vertikal sumbu belakang kendaraan
pengamat di sepanjang jalan yang diamati, dicatat oleh komputer.
Salah satu alat pengukur kekasaran muka jalan digambarkan seperti pada
Gambar 3.28.

Measured Profile Body Mass


Susp Spring and Damper IRI
Axle Mass

Tire Spring

Sumber: Perera
Gambar 3.28 Mobil pengukur kekasaran muka jalan

91
Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur

Pengukuran kekasaran muka jalan di Indonesia menggunakan alat


roughometer NAASRA yang dipasang pada kendaraan standar DATSUN
1500 Station Wagon, dengan kecepatan ± 32 km/jam[DPU,1987].
Jenis lapis permukaan yang dipilih menentukan tingkat kenyamanan
pengguna jalan. Di awal masa pelayanan jalan dengan lapis permukaan
beton aspal memiliki nilai IRI yang lebih kecil dibandingkan dengan jenis
lapis permukaan lainnya.

3.5.2 Indeks Permukaan (Serviceability Index)

Kinerja struktur perkerasan jalan untuk menerima beban dan melayani


arus lalulintas secara empiris dinyatakan dengan Indeks Permukaan (IP).
IP diadopsi dari AASHTO yaitu Serviceability Index, merupakan skala
penilaian kinerja struktur perkerasan jalan yang memiliki rentang antara
angka 1 sampai dengan 5 seperti pada Gambar 3.29.

Indeks Permukaan (IP)


5 Fungsi Pelayanan

sangat baik

4 baik

3 cukup

2 buruk

1 sangat buruk

Gambar 3.29 Skala nilai IP sesuai AASHTO

92
Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Perencanaan Tebal Perkerasan

Angka 5 menunjukkan fungsi pelayanan yang sangat baik, dan angka 1


menunjukkan fungsi pelayanan sangat buruk.
Dari hasil penelitian AASHTO diperoleh persentase responden yang dapat
menerima kinerja struktur perkerasan jalan untuk setiap nilai IP seperti
pada Tabel 3.11.

Tabel 3.11 Nilai IP & Persentase Responden Yang Menerima


Persentase rensponden Persentase responden
IP
yang menerima yang tidak menerima
4,5 100 % 0%
4,0 100% 0%
3,5 95% 0%
3,0 55% 10%
2,5 17% 50%
2,0 3% 84%
1,5 0% 100%
Sumber: WSDOT

Sekitar 50% menerima IP = 3,0 dan menolak atau tidak menerima IP =


2,5. Nilai inilah yang diambil menjadi nilai IP diakhir umur rencana
(terminal serviceability index) dan nilai IP > 4,0 diambil menjadi nilai di
awal umur rencana (initial serviceability index) untuk perencanaan tebal
perkerasan jalan.
[WSDOT]
Sayers et al mencatat bahwa batasan IRI (diukur dengan kece-
patan 80 km/jam) yang diterima dan ditolak seperti pada Tabel 3.12.
IRI = 4 m/km setara dengan IP = 2,4. Mobil penumpang lebih mampu
beradaptasi dengan kekasaran atau gelombang jalan daripada truk. IRI
yang dapat diterima pada jalan yang banyak dilalui oleh kendaraan truk

93
Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur

adalah antara 3,0 – 4,0 setara dengan IP 2,4 – 2,9. IRI pada awal masa
pelayanan yang dapat diterima kurang dari 2 m/km

Tabel 3.12 Nilai IRI dan Responden Yang Menerimanya


IRI m/km Responden
1,3 – 1,8 menerima
4,0 – 5,3 Tidak menerima
Sumber: WSDOT

Korelasi antara IP dan IRI


Korelasi antara IP dan IRI terdapat dalam berbagai variasi. Pater-
son[WSDOT], 1987, memberikan korelasi seperti pada Rumus 3.20 berda-
sarkan data dari Texas, Pennsylvania, Afrika Selatan, dan Brasilia. Al-
Omari and Darter[WSDOT], 1992, memberikan korelasi seperti pada Rumus
3.21berdasarkan data dari Indiana, Lousiana, Michigan, Mexico, dan
Ohio. Janisch[Janisch], 1997, memberikan korelasi seperti pada Rumus 3.22.

..................................
a. Paterson: IP = (5) e(-0,18) (IRI))
(3.20)
..................................
b. Al-Omari dan Darter: IP = (5) e(-0,26) (IRI))
(3.21)

c. Janisch: IP = 5,697 – (2,104)IRI........................(3.22)

dengan:
IP = Indeks Permukaan atau Serviceability Index
IRI = International Rougness Index (mm/m; m/km)

Perlu penelitian tentang korelasi antara IRI dan IP di Indonesia yang


disesuaikan dengan alat pengukur IRI yang digunakan.

94
Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Perencanaan Tebal Perkerasan

3.5.3 Tahanan Gelincir (Skid Resistance)

Tahanan gelincir adalah gaya yang dihasilkan antara muka jalan dan ban
untuk mengimbangi majunya gerak kendaraan jika dilakukan pengerem-
an. Berbagai cara digunakan untuk menyatakan besarnya tahanan gelin-
cir seperti koefisien gesek, dan angka gelincir (skid number=SN).
Koefisien gesek adalah perbandingan antara tahanan gesek yang timbul
antara ban dan muka jalan dengan gaya atau beban tegak lurus
permukaan seperti dinyatakan dengan Rumus 3.23.

f = F/L.......................................................(3.23)
dengan:
f = koefisien gesek
F = tahanan gesek antara ban dan muka jalan
L = gaya atau beban tegak lurus muka jalan

Angka gelincir (SN) atau disebut juga angka gesek (friction number =FN)
adalah koefisen gesek dikalikan 100.

Jadi: SN atau FN = 100 (F/L)...........................................(3.24)

Gesekan terjadi antara roda kendaraan dan muka jalan, oleh karena itu
besarnya tahanan gesek dipengaruhi oleh 2 faktor utama yaitu roda
kendaraan dan muka jalan. Gesekan dari roda kendaraan dipengaruhi
oleh adhesi antara ban dan muka jalan. Besarnya gesekan ditentukan
oleh kondisi ban (ukuran, tekanan dan bunga), kecepatan kendaraan,
tekstur permukaan jalan, dan adanya lapisan air di antara ban dan muka
jalan. Gambar 3.30 menggambarkan bentuk tekstur mikro dan makro dari
muka jalan.

95
Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur

Permukaan
jalan Tekstur mikro Tekstur makro

kasar (harsh) kasar (rough)

licin (polished) kasar (rough)

kasar (harsh) rata (smooth)

licin (polished) rata (smooth)

Gambar 3.30 Tekstur permukaan jalan

Tahanan gelincir diukur dengan menggunakan alat seperti Mu-meter atau


British portable tester.
Pemilihan jenis lapis permukaan perlu disesuaikan dengan kondisi cuaca
dan bentuk geometrik jalan sehingga jalan memiliki tahanan gelincir yang
baik dan kendaraan tidak mudah selip. Di samping itu sistem drainase
jalan yang baik mengurangi dampak adanya lapisan air antara muka jalan
dan roda kendaraan sehingga tahanan gelincir atau gesekan antara muka
jalan dan roda kendaraan meningkat.

96
Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur Metode AASHTO

BAB 4
Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur
Metode AASHTO

Metode perencanaan tebal perkerasan lentur dibedakan atas:


1. metode pendekatan empiris, metode ini dikembangkan berdasarkan
pengujian dan pengukuran dari jalan-jalan yang dibuat khusus untuk
penelitian.
2. metode pendekatan mekanistik – empirik ( mechanistic – empirical
design), metode ini dikembangkan berdasarkan sifat tegangan dan
regangan pada lapisan perkerasan akibat beban berulang dari lalu-
lintas.

Metode yang umum digunakan di Indonesia sampai saat ini adalah


metode yang merujuk kepada metode pendekatan empirik yang dikem-
bangkan pertama kali oleh American Association of State Highway
Officials (AASHO). AASHO berdiri November 1914 dan karena perkem-
bangan yang terjadi dalam dunia transportasi, maka pada tahun 1973
AASHO berubah menjadi American Association of State Highway and
Transportation Officials (AASHTO). Dalam buku ini selanjutnya AASHO
ataupun AASHTO disebut dengan AASHTO.

97
Perencanaan Tebal Perkerasan lentur

4.1. Jalan Percobaan AASHTO

Indonesia menggunakan metode AASHTO sebagai acuan dalam menyu-


sun standar perencanaan tebal perkerasan lentur. Untuk memahami
standar perencanaan itu dengan baik perlu dipahami tentang metode
AASHTO dan penelitian yang dilakukan pada jalan percobaannya. Hasil
penelitian pada jalan percobaan yang dilaksanakan pada tahun 1958 –
1960 di Ottawa, Illinois, merupakan cikal bakal metode AASHTO yang
berkembang sampai dengan saat ini.
Jalan percobaan terletak di daerah dengan temperatur rata - rata 76oF
(25oC) di bulan Juli, dan 27oF (-3oC) di bulan Januari, terdiri dari 6 loop.
Masing-masing loop berbentuk seperti pada Gambar 4.1.

Prestressed Concrete
Test Tangent
Flexible

Rigid

Steel I- Beam Test Tangent

Loop 5

Sumber:WSDOT

Gambar 4.1 Bentuk loop jalan percobaan AASHTO

4.1.1 Struktur Jalan Percobaan

Struktur perkerasan dari masing-masing loop memiliki variasi tebal


lapisan dimana lapis permukaan adalah beton aspal, lapis pondasi dan

98
pondasi bawah dibuat dari batu pecah.

99
Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur Metode AASHTO

Lapis permukaan

Lapis permukaan terdiri dari lapis beton aspal yang tebalnya bervariasi
antara 2,5 cm sampai dengan 10 cm. Beton aspal dibuat dari agregat
kasar yang berasal dari batu kapur, pasir kasar dari siliceous, bahan
pengisi dari abu batu kapur, dan aspal berpenetrasi 85-100[WSDOT].
Gradasi yang digunakan seperti Tabel 4.1 dan karakteristik benda uji
seperti pada Tabel 4.2.

Tabel 4.1 Gradasi Agregat Lapis Beton Aspal


Spesifikasi untuk Lapis Spesifikasi untuk Lapis
Saringan No. Permukaan (surface Pengikat (binder
course) course)
1 inci 100
¾ inci 100 88 - 100
½ inci 86 - 100 55 - 86
3/8 inci 70 - 90 45 - 72
No.4 45 - 70 31 - 50
No.10 30 - 52 19 - 35
No.20 22 - 40 12 - 26
No.40 16 - 30 7 - 20
No.80 9 - 19 4 - 12
Sumber:WSDOT

Tabel 4.2 Karakteristik Benda Uji Beton Aspal


Spesifikasi untuk Spesifikasi untuk
Lapis Permukaan Lapis Pengikat
Keterangan (surface course) (binder course)
Jumlah pukulan benda uji 50 50
Kadar aspal 5,4% 4,4%
VIM 7,7% 7,7%
Sumber:WSDOT

10
0
Perencanaan Tebal Perkerasan lentur

Lapis pondasi (base course)


Lapisan pondasi jalan percobaan dibuat dari dolomitic limestone dengan
gradasi seperti pada Tabel 4.3. Nilai CBR rata-rata lapis pondasi
berdasarkan pengujian laboratorium adalah 107,7%. Nilai CBR minimum
spesifikasi adalah 75%[WSDOT].

Lapis pondasi bawah (subbase course)


Lapis pondasi bawah jalan percobaan dibuat dari dolomitic limestone
dengan gradasi seperti pada Tabel 4.4. CBR tidak diperkenankan lebih
dari 60%. Lapis pondasi bawah jalan percobaan memiliki CBR antara 28
– 51%, dengan berat volume kering lapangan antara 139 – 141 lb/ft 3,
dan kadar air antara 6,1 – 6,8%[WSDOT].

Tabel 4.3 Gradasi Agregat Lapis Pondasi


Spesifikasi untuk Rata-rata persen
Saringan No. Lapisan Pondasi lolos pada setiap
(base course) loop
1½ inci 100 100
1 inci 80 – 100 90
¾ inci 70 – 90 81
½ inci 60 – 80 68
No.4 40 – 80 48
No.10 28 – 46 35
No.40 16 – 33 20
No.100 7 – 20 13,5
No.200 3 – 12 10
Sumber:WSDOT

101
Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur Metode AASHTO

Tabel 4.4 Gradasi Agregat Lapis Pondasi Bawah


Spesifikasi untuk Lapisan
Pondasi Bawah Rata-rata persen lolos
Saringan No.
pada setiap loop
(subbase course)
1½ inci 100 100
1 inci 95 - 100 100
¾ inci 90 - 100 96
½ inci 80 - 100 90
No.4 55 - 100 71
No.10 40 - 80 52
No.40 10 - 30 25
No.200 5-9 6,5
Sumber:WSDOT

Lapis Tanah Dasar (Subgrade)


Lapis tanah dasar dibangun dari tanah jenis A-6 setebal 1 meter.
Karakteristik tanah dasar (subgrade) adalah[WSDOT]:
- Batas cair = 31%
- Indeks plastis = 16%
- Persen lolos no 200 = 82%
- Berat volume kering = 119 lb/ft3
- Kadar air optimum rata-rata = 13% + 0,8%.
- Nilai CBR rata-rata = 2,9%
- Nilai CBR terletak antara rentang 1,9 – 3,5%
- rata-rata persen kompaksi = 98,5% (AASHO T99)
Setiap loop dari jalan percobaan dibangun dengan 3 variasi tebal perke-
rasan seperti pada Tabel 4.5.

102
Perencanaan Tebal Perkerasan lentur

Tabel 4.5 Tebal Perkerasan Untuk Setiap Loop


Nomor Lapis Lapis Pondasi (inci) Lapis Pondasi Bawah
Loop Permukaan (inci)
(inci)
1 0 0
1 3 6 8
5 16
1 0 0
2 2 3 4
3 6
2 0 0
3 3 3 4
4 6 8
3 0 4
4 4 3 8
5 6 12
3 3 4
5 4 6 8
5 9 12
4 3 8
6 5 6 12
6 9 16
Sumber:WSDOT

4.1.2 Penelitian di Jalan Percobaan

Keenam loop digunakan untuk meneliti berbagai hal yang berbeda, yaitu
Loop 1, tidak dilalui oleh kendaraan tetapi hanya digunakan untuk
meneliti efek dari kondisi lingkungan dan iklim. Loop 2 sampai dengan
loop 6 digunakan untuk meneliti kinerja struktur perkerasan akibat beban
lalulintas berbagai jenis kendaraan. Setiap loop, kecuali loop 1 digunakan
untuk satu kelompok jenis kendaraan sesuai dengan konfigurasi dan
beban sumbunya seperti pada Tabel 4.6.

103
Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur Metode AASHTO

Tabel 4.6 Beban Sumbu &Jenis Kendaraan Pada Jalan Percobaan


Berat dalam Kips
Total
Loop lajur Sumbu Sumbu
depan belakang
Total ton

2 2 4 1,8

2 6 8 3,6

4 12 28 12,7

6 24 54 24

6 18 42 19,1

9 32 73 33

6 22,4 50,8 23

9 40 89 41

9 30 69 32

12 48 108 49

Sumber:WSDOT

104
Perencanaan Tebal Perkerasan lentur

Loop 4 digunakan untuk penelitian kinerja perkerasan akibat beban


sumbu standar 18.000 lbs dan loop 6 untuk penelitian akibat beban
kendaraan terberat.
Penelitian dilakukan antara November 1958 sampai dengan Juni 1960
pada 332 seksi jalan percobaan. Kinerja struktur perkerasan diamati
akibat beban sumbu dan tebal perkerasan yang berbeda. Pada penelitian
dihitung pula jumlah beban yang melewati seksi percobaan sampai
kinerja struktur perkerasan mencapai IP = 1,5[WSDOT].
Dari hasil penelitian penurunan kinerja perkerasan akibat beban lalulintas,
perbedaan tebal perkerasan, jenis kendaraan dan iklim, diperoleh rumus
empiris yang diharapkan dapat dikembangkan untuk keadaan yang
berbeda dengan jalan percobaan seperti:
1. perbedaan daya dukung tanah dasar
2. lalulintas campuran dari berbagai jenis kendaraan dan beban sumbu
3. perbedaan iklim dan kondisi lingkungan
4. perbedaan jenis dan tebal perkerasan jalan
5. modifikasi dari 2 tahun pengamatan menjadi umur rencana 20 tahun.

4.1.3 Perkembangan Metode AASHTO

Metode empiris yang dikembangkan AASHTO telah mengalami


perkembangan sebanyak 5 versi yaitu:
1. 1959 – Guidelines
2. 1962 – Interim Guide
3. 1972 – Revision of Guide (Blue Manual) and NCHRP Report 128
4. 1986 – New Guide
5. 1993 – New Part III, Chapter 5 (overlay design) and other minor
revisions

105
Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur Metode AASHTO

Dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi pengujian maka


AASHTO mulai mengembangkan metode berbasis mekanistik – empirik.

4.2 Metode AASHTO 1972


Rumus empiris yang dikembangkan sampai dengan 1972 meng-
gambarkan bahwa tebal perkerasan jalan dipengaruhi oleh beban
lalulintas, daya dukung tanah dasar, indeks permukaan yang direnca-
nakan pada akhir umur rencana, dan faktor lingkungan atau kondisi
regional. Indeks permukaan pada awal umur rencana bernilai konstan
sebesar 4,2.

Jadi : SN = f(Wt, pt , S,R)

dengan :
SN = Structural Number, adalah angka yang menunjukkan
nilai struktur perkerasan jalan
Wt = repetisi beban sumbu standar 18.000 pon selama umur
rencana (ESAL = Equivalent Single Axle Load selama
umur rencana)
S = daya dukung tanah dasar, korelasi dari nilai CBR
R = faktor lingkungan, sesuai kondisi iklim
pt = terminal serviceability index, yaitu nilai serviceablity
index yang direncanakan di akhir umur rencana. Dua
nilai yang disediakan dalam Metode AASHTO 1972,
yaitu 2 dan 2,5.

106
Perencanaan Tebal Perkerasan lentur

Rumus Dasar AASHTO 1972

Dari pengukuran dan analisis data yang dilaksanakan pada jalan


percobaan di Ottawa, Illionois diperoleh rumus dasar yang menggambar-
kan hubungan antara repetisi beban, daya dukung tanah dasar, kondisi
regional, serviceability index di awal dan akhir umur rencana seperti
pada Rumus 4.1 sampai dengan Rumus 4.3.

log W18 = 9,36 log (SN + 1) – 0,20 +


Gt
1094 +
0,40 
(SN  1) 5,19

log R + 0,372 (S – 3,0).............................................(4.1)

(4,2  p t )
Gt = log ..................................................... (4.2)
(4,2  1,5)

SN = a1D1 + a2D2 + a3D3.................................................. (4.3)

dengan:
W18 = repetisi 18,000 ESAL selama umur rencana
SN = Structural Number
R = Regional Factor (faktor regional)
S = Soil Support Scale (daya dukung tanah dasar)
pt = terminal serviceability index (indeks permukaan) di akhir umur
rencana
D1,2,3 = tebal (inci) dari lapis permukaan, pondasi, dan pondasi bawah
a1,2,3 = koefisien kekuatan relatif lapis permukaan, pondasi, dan
pondasi bawah

107
Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur Metode AASHTO

Metode AASHO 1972 menyediakan 2 nomogram yang bentuk tanpa


skalanya seperti pada Gambar 4.2.

Weighted Structural Number (SN)


Structural Number (SN) 1

Soil Support Value


10 5

9 4

8Total ESALs (x 103)


Regional Factor (R) 2
20.000 3
7 10.000
0.5
6 1.0
1.000 2.0
5 5.0
3
100 2
4
50

3
4
2

5
1

6
1

Tanpa skala
Catatan: Nomogram ada 2 buah, yaitu untuk pt= 2,0 dan 2,5

Sumber:WSDOT

108
Gambar 4.2
Bentuk
Nomogram
AASHTO 1972

109
Perencanaan Tebal Perkerasan lentur

Tebal minimal untuk setiap lapis perkerasan ditentukan dengan


menggunakan Gambar 4.3.

SN1 D1
Lapis Permukaan
Lapis Pondasi
SN2 D2

SN3
Lapis Pondasi Bawah D3

Tanah Dasar

SN1
D*1 ≥
a1

SN*
1
= a1. D*
1 ≥ SN1

SN2  SN*
D*≥
2
1
a2

SN*2 = a2. D*
2

SN*1 + SN*
2
≥ SN2

SN  (SN*  SN *)
D*3 ≥312
a3

Catatan:

1. D*12 , D* , D*
3
, tebal minimal lapis permukaan, pondasi, dan lapis

pondasi bawah.
2. tebal perkerasan yang digunakan harus sama atau lebih besar dari minimum yang dib

Gambar 4.3 Konsep penentuan tebal minimum

110
Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur Metode AASHTO

dengan Metode AASHTO 1972

Prosedur perhitungan W18 sama dengan metode AASHTO 1993, oleh


karena itu pembahasan tentang hal tersebut akan diuraikan pada Bab
4.3. Metode AASHTO 1972 ini diadopsi oleh Indonesia yaitu untuk SNI
1732-1989-F, Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur Dengan Metode
Analisa Komponen.

4.3 Metode AASHTO 1993

Perubahan mendasar untuk perencanaan tebal perkerasan lentur jalan


terhadap metode AASHTO 1972 terjadi melalui metode AASHTO 1986.
Perencanaan tebal perkerasan lentur jalan baru pada metode AASHTO
1993 sama dengan metode AASHTO 1986. Perbedaannya hanya ditam-
bahkan metode untuk perencanaan tebal perkerasan tambahan atau
overlay. Perubahan mendasar pada metode AASHTO 1993 terjadi untuk
perencanaan tebal perkerasan kaku.
Tabel 4.7 menunjukkan perbedaan utama antara metode AASHTO 1972
dengan metode AASHTO 1993 untuk perencanaan tebal perkerasan
lentur jalan baru.

4.3.1 Beban Lalulintas Sesuai AASHTO 1993


Beban lalulintas dilimpahkan pada perkerasan jalan melalui kontak antara
roda dan muka jalan. Oleh karena itu beban lalulintas bervariasi sesuai
dengan berat kendaraan, konfigurasi sumbu, distribusi ke masing-masing
sumbu kendaraan dan ukuran roda kendaraan. Kerusakan yang ditimbul-
kan oleh masing-masing beban lalulintas dipengaruhi oleh mutu struktur
perkerasan yang berkurang berkelanjutan selama masa pelayanan.

111
Perencanaan Tebal Perkerasan lentur

Tabel 4.7 Perbedaan Antara Metode AASHTO 1972 dan AASHTO 1993
No AASHTO 1972 AASHTO 1993
Terminal serviceability index Terminal serviceability index adalah
1
adalah 2,0 atau 2,5. 2,0; 2,5; dan 3,0.

Parameter daya dukung tanah dasar


Parameter daya dukung tanah
dinyatakan dalam modulus resilient
dasar dinyatakan dalam soil
2 (MR), melalui pengujian sesuai T274,
support scale, yang
atau dapat dikorelasikan dari nilai
dikonversikan dari nilai CBR
CBR

Faktor regional, adalah


parameter yang dipergunakan Parameter ini tidak dipergunakan
3
untuk perbedaan kondisi masing- lagi, diganti dengan parameter lain
masing lokasi

Parameter baru dalam metode ini


adalah:
- reliabilitas
4
- simpangan baku
- koefisien drainase
- life cycle costs

5 SN = a1D1 + a2D2 + a3D3 SN = a1D1 + a2 m2D2 + a3m3D3

Konfigurasi sumbu yang


Konfigurasi sumbu yang
dipertimbangkan hanya
6 dipertimbangkan adalah tunggal,
konfigurasi sumbu tunggal dan
tandem, dan tripel.
sumbu tandem

Tabel E disediakan untuk sumbu Tabel E disediakan untuk sumbu


7 tunggal dan sumbu tandem tunggal, sumbu tandem, dan tripel
dengan pt = 2,0 dan 2,5 dengan pt = 2,0, 2,0 dan 3,0.

Perubahan rumus dasar dan hanya


8 Nomogram ada dua
ada satu nomogram.

112
Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur Metode AASHTO

Sebagai usaha menyeragamkan dampak beban lalulintas terhadap struk-


tur perkerasan jalan, maka AASHTO 1972 dan AASHTO 1993 mengekiva-
lenkan repetisi berbagai jenis dan beban sumbu lalulintas ke lintasan
sumbu standar 18.000 pon (baca juga Bab 3.1.5).

Angka ekivalen beban sumbu

Angka ekivalen (E) menunjukkan jumlah lintasan sumbu standar sumbu


tunggal roda ganda dengan beban 18.000 pon yang mengakibatkan
kerusakan yang sama pada struktur perkerasan jalan jika dilintasi oleh
jenis dan beban sumbu tertentu atau jenis dan beban kendaraan
tertentu.

Sebagai contoh:
E truk =1,2, ini berarti 1 kali lintasan truk sama dengan 1,2 kali lintasan
sumbu standar (lss) mengakibatkan kerusakan yang sama pada struktur
perkerasan jalan.

Angka ekivalen, E, dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti:


1. Konfigurasi dan beban sumbu
2. Nilai struktural perkerasan jalan yang dinyatakan dengan Structural
Number (SN)
3. Terminal serviceability index (pt)
Rumus dasar AASHTO untuk menentukan angka ekivalen seperti pada
Rumus 4.4(WSDOT).
4,79
W L  L   10G/β x 
x
 18 2s  4,33..................................................... (4.4)
  L 2
G/β18
W18  Lx  L2x  10 

113
Perencanaan Tebal Perkerasan lentur

dengan:
Wx = sumbu dengan beban 1000x pon
W18 = sumbu standar dengan beban 18.000 pon
Wx
W18 = bilangan terbalik dari angka ekivalen untuk beban dan

konfigurasi sumbu 1000 x pon


L18 = 18 ( beban sumbu standar dalam kilopon)
Lx = x ( beban sumbu dalam kilopon)
L2x = kode untuk konfigurasi sumbu yang ditinjau
= 1, untuk sumbu tunggal
= 2, untuk sumbu tandem
= 3, untuk sumbu tripel
L2s = kode untuk sumbu standar, selalu = 1 (sumbu tunggal)

 4,2  p 
G = log 4,2 1,5t
 
pt = terminal serviceability index
0,081(Lx  L2x )3,23
β = ............................................... (4.5)
x 0,
(SN  1) 5,19
L 3,23
2
SN = structural number

Angka ekivalen berdasarkan Rumus 4.4 ini bervariasi sesuai dengan


konfigurasi sumbu, beban sumbu, terminal serviceability index (pt), dan
structural number (SN). Tabel angka ekivalen untuk sumbu tunggal,
tandem, dan tripel untuk berbagai beban sumbu sesuai p t dan SN yang
dipilih, dapat dilihat pada Lampiran 1.

114
Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur Metode AASHTO

Contoh perhitungan untuk menentukan angka ekivalen dari sumbu


tunggal, sumbu tandem, dan sumbu tridem adalah sebagai berikut:

1. Contoh perhitungan angka ekivalen untuk sumbu tunggal

Data: sumbu tunggal dengan beban 30.000 pon


- SN = 3
- pt = 2,5

Perhitungan:
4,79
W L L   10G/β x 
x 18 2s  
W18   Lx  L2x   G/β  2x 4,33

10
18
 
dengan:
Wx = W30
W18 = W18

Wx
W
W1 = W30
8 18

L18 = 18 (beban sumbu standar dalam kilopon)

Lx = 30(beban sumbu dalam kilopon)

L2x = 1, untuk sumbu tunggal

L2s = 1 (sumbu tunggal roda ganda)


 4,2  2,5 
G = log 4,2 1,5 = - 0,2009
 

β30 0,081(30  1)3,23


= 0,4  5,19 3,23
= 4,388
(3  1) (1)
β
0,081(18 1)3,23
= 0,4 
18
(3 1)5,19 (1)3,23

115
= 1,2204

116
Perencanaan Tebal Perkerasan lentur

G/β30 = -0,2009/4,388 = - 0,04578

G/β18 = -0,2009/1,2204 = -0,1646


4,79
W 18 1 10-0,04578 
30
 = 0,1260

4,33 -0,1646
W1  30
  10 
8 1

Angka ekivalen = 1/(W30/W18) = 1/0,1260 =7,9365 ≈ 7,9

Angka ekivalen = 7,9 (sama dengan Tabel AASHTO 1993 seperti pada
Lampiran 1).

2. Contoh perhitungan angka ekivalen untuk sumbu tandem

Data: sumbu tandem dengan beban 30.000 pon


- SN = 3
- pt = 2,5

Perhitungan:
4,79
W L  L   10G/β x 
x 18 2s  2x 4,33
W18   Lx  L2x   G/β 
10
18
 
dengan:
Wx = W30

W18 = W18

Wx W30
W18 =
W18

L18 = 18 ( beban sumbu standar dalam kilopon)

Lx = 30 (beban sumbu dalam kilopon)

L2x = 2, untuk sumbu tandem


117
L2s = 1 (sumbu standar)

118
Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur Metode AASHTO

 4,2  2,5 
G = log 4,2 1,5 = - 0,2009
 

0,081(30  2)3,23
β30 = 0,4 = 0,8711
 (3 1)5,19 (2)3,23

β18 0,081(18  1)3,23


= 0,4  5,19 3,23
= 1,2204
(3  1) (1)
G/β30 = -0,2009/0,8711= - 0,2306

G/β18 = -0,2009/1,2204 = -0,1646


W
3 4,79  - 0,2306 4,33
0  18 1  10
W
 
30  2  - 0,1646  2

= 1,4224
18    10 
 

Angka ekivalen = 1/(W30/W18) = 1/1,4224 =0,703037 ≈ 0,703

Angka ekivalen = 0,703 (sama dengan Tabel AASHTO 1993 seperti


pada Lampiran 1)

3. Contoh untuk sumbu tripel

Data: sumbu tripel dengan beban 40.000 pon


- SN = 3
- pt = 2,5

Perhitungan:
4,79
W L  L   10G/β x 
x 18 2s  2x 4,33
W18   Lx  L2x   G/β 
10
18
 

dengan:

119
Wx = W40

W18 = W18

120
Perencanaan Tebal Perkerasan lentur

Wx W40
W18 =
W18

L18 = 18 ( beban sumbu standar dalam kilopon)

Lx = 40 (beban sumbu tripel dalam kilopon)

L2x = 3, untuk sumbu tripel

L2s = 1 (sumbu tunggal roda ganda)


 4,2  2,5 
G = log 4,2 1,5 = - 0,2009
 

0,081(40  3)3,23
β40 = 0,4 = 0.7302
5,19
 (3  1)
(3)3,23

β18 0,081(18  1)3,23


= 0,4  5,19 3,23
= 1,2204
(3  1) (1)
G/β40 = -0,2009/0,7302 = - 0,2751

G/β18 = -0,2009/1,2204 = -0,1646


W
4 4,79  - 0,2751 4,33
0  18 1  10
 
3W 40   - 0,1646  = 1,8045
3

18    10 
 

Angka ekivalen = 1/(W40/W18) = 1/1,8045 = 0,554

Angka ekivalen = 0,554 (sama dengan Tabel AASHTO 1993 seperti


pada Lampiran 1)

121
Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur Metode AASHTO

Angka ekivalen kendaraan dengan berat konstan

Kendaraan terdiri dari minimal 2 sumbu, oleh karena itu angka ekivalen
untuk 1 kendaraan adalah jumlah angka ekivalen dari masing-masing
sumbu.
Ekendaraan = Σ Esumbu........................................................................(4.6)

Contoh perhitungan angka ekivalen untuk satu kendaraan adalah sebagai


berikut:

Truk (1.22) dengan:


- beban sumbu depan = 14.000 pon
- beban sumbu belakang = 34.000 pon
SN = 3, dan pt = 2,5
Dari tabel angka ekivalen (Lampiran 1) untuk SN = 3 dan p t = 2,5
diperoleh:
E untuk sumbu depan, sumbu tunggal 14.000 pon = 0,35
E untuk sumbu belakang, sumbu tandem 34.000 pon = 1,11
E truk = 0,35 + 1,11 = 1,46.

Angka Ekivalen untuk kendaraan dengan berat bervariasi

Satu kendaraan yang melintasi satu ruas jalan terjadi berulang kali
dengan berat yang tidak selalu sama. Berat kendaraan selalu bervariasi
dari beban kendaraan kosong sampai dengan beban maksimum. Oleh
karena itu angka ekivalen satu kendaraan kurang tepat jika ditentukan
hanya berdasarkan berat kendaraan maksimum ataupun beban rata-rata
kendaraan. Untuk perencanaan tebal perkerasan perlu dilakukan analisis
variasi berat kendaraan berdasarkan hasil survei timbang pada jalan yang

122
Perencanaan Tebal Perkerasan lentur

direncanakan atau jalan sejenis. Angka ekivalen satu jenis kendaraan


ditentukan berdasarkan frekwensi rata-rata dari berbagai beban yang
dibawanya.

Langkah-langkah untuk menentukan angka ekivelen setiap kelompok


jenis kendaraan dengan beban berfluktuasi adalah sebagai berikut:
1. Lakukanlah survei timbang selama minimal 3 x 24 jam.
2. Kelompokkan data untuk setiap jenis kendaraan.
3. Data untuk setiap jenis kendaraan diolah sebagai berikut:
a. Tentukanlah beban sumbu dari setiap hasil penimbangan.
b. Kelompokkan beban sumbu berdasarkan jenis sumbu kemudi
(depan) dan sumbu-sumbu lainnya.
c. Kelompokkan beban sumbu untuk setiap jenis sumbu kendaraan.
d. Hitunglah frekwensi setiap kelompok beban dan jenis sumbu.
e. Hitunglah angka ekivalen dari setiap kelompok beban sumbu
berdasarkan nilai tengah beban.
f. Tentukan angka ekivalen masing-masing kelompok sumbu, dengan
menggunakan rumus:

E sumbu
f i
...................................................... (4.7)
= Ei

f i

g. E kendaraan = Σ Esumbu.

Contoh perhitungan angka ekivalen hasil dari survei timbang

Dari hasil olahan data hasil survei timbang diperoleh data beban sumbu
untuk truk tipe 1.22+22 seperti Tabel 4.8. Volume truk tersebut adalah
150 kendaraan/hari. Pt = 2,5 dan angka struktural (SN) = 5.

123
Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur Metode AASHTO

Perhitungan angka ekivalen menggunakan tabel seperti pada Tabel 4.9.

Tabel 4.8 Contoh Data Frekwensi Beban Sumbu Untuk Truk 1.22+22
Beban sumbu, pon Frekwensi repetisi sumbu
Sumbu Tunggal (kode angka 1)
3.000 – 6.999 38
7.000 – 7.999 31
8.000 – 11.999 64
12.000 – 15.999 16
26.000 – 29.999 1
Jumlah frekwensi sumbu tunggal 150

Sumbu Tandem (kode angka 22)


6.000 – 11.999 66
12.000 – 17.999 51
18.000 – 23.999 115
24.000 – 29.999 32
30.000 – 31.999 34
32.000 – 33.999 2
Jumlah frekwensi sumbu tandem 300*
Catatan:
* sumbu belakang dan kereta gandeng truk dengan jenis sumbu yang sama
sehingga jumlah sumbu tandem adalah 2 x 150 = 300 jumlah sumbu.

124
Perencanaan Tebal Perkerasan lentur

Tabel 4.9 Contoh Perhitungan E truk 1.22+22


Frekwensi
Beban sumbu, pon E sumbu* repetisi lss
repetisi
(1) (2) (3) (4) = (2)(3)
Sumbu Tunggal Roda Tunggal
3.000 – 6.999 38 0,005 0,190
7.000 – 7.999 31 0,029 0,899
8.000 – 11.999 64 0,090 5,760
12.000 – 15.999 16 0,360 5,760
26.000 – 29.999 1 5,390 5,390
Sumbu Tandem Roda Ganda
6.000 – 11.999 66 0,006 0,396
12.000 – 17.999 51 0,044 2,244
18.000 – 23.999 115 0,148 17,020
24.000 – 29.999 32 0,426 13,632
30.000 – 31.999 34 0,753 25,602
32.000 – 32.500 2 0,885 1,770
Total 450** 78,663
Catatan:
* diperoleh dari perhitungan seperti contoh 1 dan 2, atau Lampiran 1.
** jumlah kendaraan x 3, karena 1 kendaraan memiliki 3 kelompok sumbu

Dengan menggunakan Tabel 4.9 dan Rumus 4.7 diperoleh angka ekivalen
untuk truk 1.22+22 = 78,663/450 = 0,1748.

Repetisi beban selama umur rencana (W18)

Beban lalu lintas sesuai AASHTO 1993 dinyatakan dalam repetisi lintasan
sumbu standar selama umur rencana (W18). Rumus 4.8 atau Rumus 4.9

125
Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur Metode AASHTO

digunakan untuk menghitung besarnya repetisi beban lalu lintas selama


umur rencana.

W18 =  LHRi x Ei x DA x DL x 365 x N.......................................(4.8)

W18 =  LHRTi x Ei x DA x DL x 365 x N.....................................(4.9)

dengan:
W18 = repetisi beban lalu lintas selama umur rencana,
lss/lajur/umur rencana
LHR = Lalu lintas Harian Rata-rata, kendaraan/hari/2 arah
LHRT = Lalu lintas Harian Rata-rata Tahunan,
kendaraan/hari/2 arah
Ei = angka ekivalen jenis kendaraan i
DA = faktor distribusi arah, digunakan untuk menunjukkan distribusi
kendaraan ke masing-masing arah. Jika data lalu lintas yang
digunakan adalah data untuk satu arah, maka DA = 1
DL = faktor distribusi lajur, digunakan untuk menunjukkan distribusi
kendaraan ke lajur rencana.
365 = jumlah hari dalam satu tahun
N = faktor umur rencana

Faktor Umur Rencana (N)

Faktor umur rencana adalah angka yang dipergunakan untuk menghitung


repetisi lalu lintas selama umur rencana dari awal umur rencana. Jika
tidak ada pertumbuhan lalu lintas maka N sama dengan umur rencana.
Dengan demikian repetisi beban lalu lintas sama dengan repetisi per
tahun dikalikan dengan lamanya umur rencana. Namun demikian, hampir
tidak pernah lalu lintas tidak mengalami peningkatan ataupun penurun-

126
Perencanaan Tebal Perkerasan lentur

an. Oleh karena itu N dihitung melalui pendekatan dengan menggunakan


Rumus 4.10.

[(1  i)UR 
N = .......................... (4.10)
1]
i
dengan:
UR = umur rencana, tahun
i = pertumbuhan lalu lintas pertahun (%/tahun)

Nilai N untuk berbagai nilai faktor pertumbuhan lalu lintas dan umur
rencana seperti pada Tabel 4.10.

Contoh perhitungan W18 dengan faktor pertumbuhan lalu lintas


konstan dan sama untuk semua jenis kendaraan selama umur
rencana.

Data:
LHR
Jenis kendaraan Ekendaraan
(kendaraan/hari/2 arah)
Mobil penumpang (1.1) 5925 0,0003
Truk (1.22) 372 1,456
Truk (1.22+22) 30 1,657
Bus (1.22) 35 0,458

Faktor distribusi arah (DA) = 0,5


Faktor distribusi lajur (DL) = 0,9
Faktor pertumbuhan lalu lintas (i) = 4%
Umur rencana (UR) = 15 tahun

127
Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur Metode AASHTO

Tabel 4.10 Faktor Umur Rencana (N)


Umur Faktor pertumbuhan lalu lintas, persen (i)
Rencana
tahun 0 2 4 5 6 7 8 10
1 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00

2 2,00 2,02 2,04 2,05 2,06 2,07 2,08 2,10

3 3,00 3,06 3,12 3,15 3,18 3,21 3,25 3,31

4 4,00 4,12 4,25 4,31 4,37 4,44 4,51 4,64

5 5,00 5,20 5,42 5,53 5,64 5,75 5,87 6,11

6 6,00 6,31 6,63 6,80 6,98 7,15 7,34 7,72

7 7,00 7,43 7,90 8,14 8,39 8,65 8,92 9,49

8 8,00 8,58 9,21 9,55 9,90 10,26 10,64 11,44

9 9,00 9,75 10,58 11,03 11,49 11,98 12,49 13,58

10 10,00 10,95 12,01 12,58 13,18 13,82 14,49 15,94

11 11,00 12,17 13,49 14,21 14,97 15,78 16,65 18,53

12 12,00 13,41 15,03 15,92 16,87 17,89 18,98 21,38

13 13,00 14,68 16,63 17,71 18,88 20,14 21,50 24,52

14 14,00 15,97 18,29 19,60 21,02 22,55 24,21 27,97

15 15,00 17,29 20,02 21,58 23,28 25,13 27,15 31,77

16 16,00 18,64 21,82 23,66 25,67 27,89 30,32 35,95

17 17,00 20,01 23,70 25,84 28,21 30,84 33,75 40,54

18 18,00 21,41 25,65 28,13 30,91 34,00 37,45 45,60

19 19,00 22,84 27,67 30,54 33,76 37,38 41,45 51,16

20 20,00 24,30 29,78 33,07 36,79 41,00 45,76 57,27

Sumber: AASHTO’93

Pehitungan:
Dari Tabel 4.10 untuk UR = 15 tahun dan i = 4% diperoleh N = 20,02.

128
Perencanaan Tebal Perkerasan lentur

LHR dalam kendaraan/hari/2 arah diubah menjadi LHR dalam lss/hari/2


arah.

a. Mobil penumpang (1.1) = 5925 x 0,0003 = 1,77 lss/hari/2arah


b. Truk (1.22) = 372 x 1,456 = 541,63 lss/hari/2 arah
c. Truk (1.22+22) = 30 x 1,657 = 49,71 lss/hari/2 arah
d. Bus (1.22) = 35 x 0,458 = 16,03 lss/hari/2 arah

LHRtotal = 609,15 lss/hari/2 arah

Dengan menggunakan Rumus 4.8 diperoleh:


W18 = 609,15 x 0,5 x 0,9 x 365 x 20,02
= 2.003.416 lss/umur rencana/lajur rencana.

Contoh perhitungan ESAL dengan faktor pertumbuhan lalu lintas


yang konstan untuk setiap jenis kendaraan selama umur
rencana.

Data:
LHR Faktor
Jenis kendaraan (kendaraan/ Ekendaraan pertumbuhan
hari/2 arah) lalu lintas (%)
Mobil penump.(1.1) 5925 0,0003 6
Truk (1.22) 372 1,456 5
Truk (1.22+22) 30 1,657 3
Bus (1.22) 35 0,458 4

Faktor distribusi arah (DA) = 0,5


Faktor distribusi lajur (DL) = 0,9
Umur rencana (UR) = 15 tahun

129
Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur Metode AASHTO

Pehitungan:

N perlu dihitung untuk setiap jenis kendaraan karena pertumbuhan lalu


lintas tidak sama untuk setiap jenis kendaraannya. Secara ringkas
perhitungan dilakukan seperti pada Tabel di bawah ini.

Jenis LHR W18


Ekendaraan
kendaraan (kend/hari lss/hari/ i
N lss/ur/lajur
/2 arah) 2 arah (%) rencana
Mobil
penumpang 0,0003 5925 1,7775 6 23,28 6.796,70
(1.1)
Truk (1.22) 1,456 372 541,632 5 21,58 1.919.822,75
Truk
1,657 30 49,71 3 18,60 151.866,54
(1.22+22)
Bus (1.22) 0,458 35 16,03 4 20,02 52.711,21

W18 = 2.131.197,19

Untuk mobil penumpang:


W18 = 0,0003 x 5925 x 23,28 x 365 x 0,5 x 0,9 = 6796,70
W18 selama umur rencana 2.131.197,19 lss/lajur rencana.

4.3.2 Reliabilitas

Kinerja struktur perkerasan jalan sangat ditentukan oleh 4 faktor utama


yaitu:
1. struktur perkerasan seperti tebal dan mutu setiap lapis perkerasan;
2. kondisi lingkungan seperti temperatur, curah hujan, kondisi tanah
dasar;
3. perkiraan repetisi beban lalu lintas dan proyeksi selama umur rencana;
4. perkiraan daya dukung tanah dasar.

130
Perencanaan Tebal Perkerasan lentur

Pada metode AASHTO 1993 diperkenalkan parameter baru yaitu


reliabilitas. Reliabilitas (R) adalah tingkat kepastian atau probabilitas
bahwa struktur perkerasan mampu melayani arus lalu lintas selama umur
rencana sesuai dengan proses penurunan kinerja struktur perkerasan
yang dinyatakan dengan serviceability yang direncanakan.
Gambar 4.4 memberikan ilustrasi bagaimana sejumlah struktur perkeras-
an yang memiliki tebal dan jenis lapis perkerasan yang sama mengalami
penurunan kinerja akibat repetisi beban lalu lintas yang dinyatakan dalam
log repetisi beban selama umur masa pelayanan. Terminal serviceability
index (pt) dicapai akibat repetisi beban lalu lintas yang bervariasi.
Lengkung distribusi normal menggambarkan hubungan antara frekwensi
dicapainya pt pada repetisi beban lalu lintas tertentu. Gambar 4.5
menggambarkan deviasi standar keseluruhan (S o), ZR, dan faktor relia-
bilitas (FR).

Varian kinerja struktur perkerasan


P0
Present serviceability

P1

Normal distribution
frekwen

log
ESALs

Sumber:WSDOT
Gambar 4.4 Variasi Penurunan kinerja perkerasan selama masa pelayanan

131
Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur Metode AASHTO

lengkung normal

S0

Log ESAL
Log FR

ZR Z

Gambar 4.5 Deviasi standar keseluruhan (So), ZR, faktor reliabilitas (FR)

Reliabilitas digunakan pada metode AASHTO 1993 untuk mengalikan repetisi


beban lalu lintas yang diperkirakan selama umur rencana dengan faktor
reliabilitas (FR) ≥ 1.

Jadi, Wt = (wt)(FR).......................................................(4.11)

dengan:
Wt = ESAL perkiraan berdasarkan kinerja struktur perke-
rasan mencapai nilai pt yang digunakan untuk
menentukan tebal lapis perkerasan.
wt = ESAL perkiraan selama umur rencana
FR = faktor reliabilitas

132
Perencanaan Tebal Perkerasan lentur

Efek adanya faktor reliabilitas dalam perencanaan adalah meningkatkan


ESAL yang digunakan untuk merencanakan tebal perkerasan jalan.

FR ditentukan sebagai berikut:

FR = 10ZR (S0 )........................................................................................................................ (4.12)

dengan:
FR = faktor reliabilitas
ZR = Z-statistik (sehubungan dengan lengkung normal)
S0 = deviasi standar keseluruhan dari distribusi normal sehu-
bungan dengan kesalahan yang terjadi pada perkiraan lalu
lintas dan kinerja perkerasan.

Tabel 4.11 menunjukkan nilai ZR, dan FR untuk S0 antara 0,4 - 0,5.
Reliabilitas 50% menunjukkan kondisi dimana Z R=0 dan faktor reliabilitas
desain (FR) = 1. Ini berarti ESAL yang digunakan untuk menghitung SN
sama dengan ESAL perkiraan selama umur rencana.

Jika reliabilitas yang digunakan = 90%, maka F R = 3,77 pada S0 = 0,45.


Ini berarti ESAL yang dipergunakan untuk menghitung SN adalah 3,77
kali ESAL perkiraan selama umur rencana. Gambar 4.6 mengilustrasikan
perbedaan hasil perencanaan antara reliabilitas 50% dengan 90%. Oleh
karena itu perencana perlu mempertimbangkan berbagai faktor resiko
kesalahan ketika memilih R dalam proses perencanaan tebal perkerasan
jalan. AASHTO 1993 menyarankan nilai reliabilitas (R) sesuai fungsi jalan
seperti pada Tabel 4.12.

133
Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur Metode AASHTO

Tabel 4.11 Nilai Reliabilitas, ZR Dan FR


Standard
Reliabilitas, FR untuk S0 FR untuk FR untuk
Normal
R, % = 0,4 S0 = 0,45 S0 = 0,5
Deviate (ZR)
50 0,000 1.00 1.00 1.00
60 -0,253 1.26 1.30 1.34
70 -0,524 1.62 1.72 1.83
75 -0,674 1.86 2.01 2.17
80 -0,841 2.17 2.39 2.63
85 -1,037 2.60 2.93 3.30
90 -1,282 3.26 3.77 4.38
91 -1,340 3.44 4.01 4.68
92 -1,405 3.65 4.29 5.04
93 -1,476 3.89 4.62 5.47
94 -1,555 4.19 5.01 5.99
95 -1,645 4.55 5.50 6.65
96 -1,751 5.02 6.14 7.51
97 -1,881 5.65 7.02 8.72
98 -2,054 6.63 8.40 10.64
99 -2,327 8.53 11.15 14.57
99,9 -3,090 17.22 24.58 35.08
99,99 -3,750 31.62 48.70 74.99
Sumber:WSDOT

134
Perencanaan Tebal Perkerasan lentur

R = 50%

AC
Base Subase
R = 90%
Subgrade
AC
Base Subase
po 90% Subgrade
Pavement Serviceability Index

50%

pt

Design Period Traffic

Sumber:WSDOT

Gambar 4.6 Contoh reliabilitas 50% dan 90%

Tabel 4.12 Nilai Reliabilitas Sesuai Fungsi Jalan


Rekomendasi tingkat reliabilitas
Fungsi Jalan
Urban Rural
Bebas hambatan 85 – 99,9 80 – 99,9
Arteri 80 – 99 75 – 95
Kolektor 80 – 95 75 – 95
Lokal 50 - 80 50 - 80
Sumber: AASHTO’93

4.3.3 Drainase

Kemampuan struktur perkerasan jalan mengalirkan air merupakan hal


penting dalam perencanaan tebal perkerasan jalan. Air masuk ke struktur
perkerasan jalan melalui banyak cara antara lain retak pada muka jalan,

135
Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur Metode AASHTO

sambungan, infiltrasi perkerasan, akibat kapilaritas, atau mata air setem-


pat. Air yang terperangkap dalam struktur perkerasan jalan dapat menja-
di penyebab:
1. berkurangnya daya dukung lapisan dengan material tanpa pengikat
2. berkurangnya daya dukung tanah dasar
3. naiknya butiran halus sebagai dampak dari efek pompa ke dalam
struktur perkerasan jalan.
4. lepasnya ikatan aspal dari agregat sebagai awal terjadinya lubang

Untuk perencanaan tebal perkerasan jalan kualitas drainase ditentukan


berdasarkan kemampuan menghilangkan air dari struktur perkerasan.
Tabel 4.13 menunjukkan kelompok kualitas drainase berdasarkan
AASHTO 1993.

Tabel 4.13 Kelompok Kualitas Drainase


Kualitas drainase Air hilang dalam
Baik sekali 2 jam
Baik 1 hari
Sedang 1 minggu
Jelek 1 bulan
Jelek sekali air tidak mengalir
Sumber: AASHTO’93

Pengaruh kualitas drainase dalam proses perencanaan tebal lapisan


perkerasan dinyatakan dengan menggunakan koefisien drainase (m)
seperti pada Tabel 4.14.

136
Perencanaan Tebal Perkerasan lentur

Tabel 4.14 Koefisien Drainase (m)


Persen waktu struktur perkerasan dipengaruhi oleh kadar air
Kualitas yang mendekati jenuh
drainase
< 1% 1-5% 5 – 25% > 25%
Baik sekali 1,40 – 1,35 1,35 – 1,30 1,30 – 1,20 1,20
Baik 1,35 – 1,25 1,25 – 1,15 1,15 – 1,00 1,00
Sedang 1,25 – 1,15 1,15 – 1,05 1,00 – 0,80 0,80
Jelek 1,15 – 1,05 1,05 – 0,80 0,80 – 0,60 0,60
Jelek sekali 1,05 – 0,95 0,95 – 0,75 0,75 – 0,40 0,40
Sumber: AASHTO’93

4.3.4 Rumus Dasar Metode AASHTO 1993

Rumus dasar AASHTO 1993 mengalami perubahan sesuai hasil penelitian


sejak 1972. Rumus dasar metode AASHTO 1993 sama dengan rumus
pada AASHTO 1986 yaitu seperti pada Rumus 4.13.

log (W18) = ZR x S0 + 9,36 x log (SN + 1) – 0,20 +

log[ PSI ]
4.2  1.5 + 2,32 x log (MR) – 8,07................(4.13)
0,40  1094
(SN  1)5,19

dengan:
W18 = ESAL yang diperkirakan
ZR = simpangan baku normal, sesuai Tabel 4.12
S0 = deviasi standar keseluruhan, bernilai antara 0,4 -0,5
SN = Structural Number, angka struktural relatif perkerasan, inci
∆PSI = Perbedaan serviceability index di awal dan akhir umur
rencana MR = modulus resilient tanah dasar (psi)

137
Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur Metode AASHTO

SN yang diperoleh dengan menggunakan Rumus 4.13 harus sama


dengan asumsi yang diambil ketika menentukan angka ekivalen (E). Jika
SN yang diperoleh tidak sama, maka penentuan angka ekivalen harus
diulang kembali dengan menggunakan nilai SN yang baru. Selain
menggunakan Rumus 4.13, SN dapat diperoleh dengan menggunakan
nomogram seperti pada Gambar 4.7.
SN adalah angka yang menunjukkan jumlah tebal lapis perkerasan yang
telah disetarakan kemampuannya sebagai bagian pewujud kinerja perke-
rasan jalan. Koefisien kekuatan relatif (a) adalah angka penyetaraan ber-
bagai jenis lapis perkerasan yang dipengaruhi oleh mutu dari jenis lapisan
yang dipilih.

SN = a1D1 + a2 m2D2 + a3 m3D3..............................(4.14)

dengan:
SN = angka struktural (structural number), inci
a1 = koefisien kekuatan relatif lapis permukaan
a2 = koefisien kekuatan relatif lapis pondasi
a3 = koefisien kekuatan relatif lapis pondasi bawah
D1 = tebal lapis permukaan, inci
D2 = tebal lapis pondasi, inci
D3 = tebal lapis pondasi bawah, inci
m2,3 = koefisien drainase untuk lapis pondasi dan pondasi bawah

138
Perencanaan Tebal Perkerasan lentur

139
Sumber:
Gambar 4.7 Nomogram penentuan nilai SN dengan Metode AASHTO
Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur Metode AASHTO

Koefisien kekuatan relatif lapis permukaan ditentukan dengan


menggunakan Gambar 4.8 yang berdasarkan nilai modulus elastisitas, E AC
(psi) beton aspal.

0.5

0.4
Koefisien relatif, a1,
Untuk Lapisan Beton

0.3

0.2

0.1

0.0
0 100,000200,000 300,000 400,000 500,000

Modulus Elastisitas, EAC (psi), Dari Beton Aspal ( 20C)

Sumber: AASHTO’93
Gambar 4.8 Koefisien kekuatan relatif a1 untuk beton aspal

Koefisien kekuatan relatif (a 2) untuk lapis pondasi ditentukan dengan


menggunakan Rumus 4.15 atau Gambar 4.9.

a2 = 0,249 (log EBS) – 0,977...................................................(4.15)

dengan:
a2 = koefisien relatif lapis pondasi berbutir
EBS = modulus elastisitas lapis pondasi, psi.

140
Perencanaan Tebal Perkerasan lentur

0.20

0.18

0.16

0.14
100 85 2.0 30

(
80
Structural Coefficient -

60

(
0.12 50 25

Modulus – 1000
40
R-value
CBR

30 70 2.5
0.10 20

Texas
60
0.08 3.5
20 15
0.0650
4.0
0.04

0.02

Scale devired by averaging correlations obtained from Illionis.


Scale devired by averaging correlations obtained from California, New Mexico and Wyoming.
Scale devired by averaging correlations obtained from Texas.
Scale devired on NCHRP project (3).

Sumber: AASHTO’93

Gambar 4.9 Koefisien kekuatan relatif, a2

Koefisien kekuatan relatif (a3) untuk lapis pondasi bawah ditentukan


dengan menggunakan Rumus 4.16 atau Gambar 4.10.

a3 = 0,227 (log ESB) – 0,839...............................................(4.16)

141
Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur Metode AASHTO

dengan:
a3 = koefisien relatif lapis pondasi bawah berbutir
ESB = modulus elastisitas lapis pondasi bawah, psi.

0.20

0.14 100 90 2

(
20
70 80
50 (
70
Structural Coefficient –

0.12 40 3
(

Modulus – 1000
30
15
CBR

60 14
0.10
R-

Texas

13
20
50 12
4 11
0.08 10 10
40
0.06
30
5 25
5

Scale devired by averaging correlations obtained from Illionis.


Scale devired by averaging correlations obtained from California, New Mexico and Wyoming.
Scale devired by averaging correlations obtained from Texas.
Scale devired on NCHRP project (3).

Sumber:AASHTO’93

Gambar 4.10 Koefisien relatif, a3

142
Perencanaan Tebal Perkerasan lentur

Tebal minimal lapis permukaan, pondasi, dan pondasi atas ditentukan


berdasarkan SN yang diperoleh untuk masing-masing lapisan seperti
diilustrasikan pada Gambar 4.11.

4.3.5 Tebal Minimum Setiap Lapisan

Tebal minimum setiap lapis perkerasan ditentukan berdasarkan mutu


daya dukung lapis dibawahnya seperti diilustrasikan oleh Gambar 4.11.
Rumus 4.16 sampai dengan Rumus 4.21 digunakan untuk menentukan
tebal minimal masing-masing lapisan perkerasan.

SN1 D1
Lapis Permukaan
Lapis Pondasi D2
SN2

SN3 Lapis Pondasi Bawah D3

Tanah Dasar

Gambar 4.11 Ilustrasi penentuan tebal minimum setiap lapis perkerasan

D* ≥ SN
1
...................................................................... (4.17)
1
a1

SN*
= a1. D* ≥ SN1 ........................................................ (4.18)
1
1

* SN2  SN*
1 .. ............................................................ (4.19)
2

D ≥ a 2.m2

SN* = a2. m2 D* . ............................................................ (4.20)


2 2

SN + SN ≥ SN2...............................................................(4.21)
* *
1 2

143
Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur Metode AASHTO

SN  (SN*  SN * )
D* ≥ 3 1 2 ................................................(4.22)
3
a 3 m3

* menunjukkan tebal minimal yang digunakan untuk lapis permukaan ( D* ),


1

lapis pondasi ( D ), lapis pondasi bawah ( D ).


* *
2 3

Di samping berdasarkan Rumus 4.17 sampai dengan Rumus 4.22, tebal


minimum lapis permukaan dari beton aspal dan lapis pondasi batu pecah
ditentukan juga berdasarkan Tabel 4.15.

Tabel 4.15 Tebal Minimum Lapis Permukaan Dan Lapis Pondasi


Tebal minimum lapisan (inci)
ESAL
Beton aspal Pondasi batu pecah
< 50.000 1,0 4,0
50.001 – 150.000 2,0 4,0
150.001 – 500.000 2,5 4,0
500.001 – 2.000.000 3,0 6,0
2.000.001 – 7.000.000 3,5 6,0
> 7.000.000 4,0 6,0
Sumber: WSDOT

Metode AASHTO 1993 diadopsi oleh Indonesia menjadi metode Pt T-01-


2002-B. Bagan alir prosedur perencanaan tebal perkerasan metode Pt T-
01-2002-B pada Bab 6 dapat digunakan sebagai bagan alir untuk metode
AASHTO 1993.

144
Perencanaan Tebal Perkerasan lentur

Halaman ini sengaja dikosongkan

145
Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur Metode SNI 1732-1989-F

BAB 5
Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur
Metode SNI 1732-1989-F

Pada saat ini telah ada metode Pt T-01-2002-B yang mengacu kepada
AASHTO 1993, walaupun demikian Metode SNI 1732-1989-F dapat tetap
digunakan terutama untuk lalulintas rendah atau jika data perencanaan
yang tersedia kurang lengkap. Oleh karena itu dalam Bab 5 ini diuraikan
langkah perencanaan tebal perkerasan lentur dengan menggunakan
Metode SNI 1732-1989-F.
Metode SNI 1732-1989-F yang dikenal dengan nama metode analisis
komponen, mengacu kepada metode AASHTO 1972 seperti telah diurai-
kan pada Bab 4.2 dan dimodifikasi sesuai kondisi jalan di Indonesia.
Perbedaan utama antara Metode AASHTO 1972 dengan Metode SNI
1732-1989-F. seperti pada Tabel 5.1.

5.1 Beban Lalu lintas Berdasarkan SNI 1732-1989-F

Beban lalu lintas berdasarkan SNI 1732-1989-F dinyatakan dalam Lintas


Ekivalen Rencana (LER) yang langkah-langkah perhitungannya adalah
sebagai berikut:
1. Angka ekivalen dihitung untuk setiap jenis kendaraan dengan terlebih
dahulu dihitung angka ekivalen masing-masing sumbu. Rumus untuk

146
Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur

menghitung angka ekivalen sumbu tunggal dan sumbu ganda seperti


pada Rumus 5.1 dan Rumus 5.2.

beban sumbu tunggal, kg .......................


Esumbu tunggal = ( 8.160 )4 (5.1)

Esumbu
beban ganda......................................................................=
sumbu ganda, kg ............................................................ 0,086 (
)4 (5.2)
8.160

Tabel 5.1 Perbedaan Antara Metode AASHTO 1972 Dan SNI 1732-1989-F
No AASHTO 1972 SNI 1732-1989-F
Terminal serviceability index Indeks Permukaan Akhir terdiri dari
1
adalah 2,0 atau 2,5. 1; 1,5; 2,0; dan 2,5.

Indeks Permukaan awal terdiri dari ≤


Initial serviceability index adalah
2,4; 2,5- 2,9; 3,0 – 3,4; 3,5 – 3,9;
2 4,2; karena lapis permukaan
dan ≥ 4,0; akibat berbagai jenis lapis
dibuat dari beton aspal.
permukaan yang dapat dipilih.

Angka ekivalen ditentukan


merupakan variabel dalam Angka ekivalen ditentukan

3 beban sumbu, konfigurasi berdasarkan variabel dalam beban


sumbu, SN, pt. Angka ekivalen dan konfigurasi sumbu.
AASHTO 1972 = AASHTO 1993

4 SN dinyatakan dalam inci ITP dinyatakan dalam cm

Nomogram ada sembilan dan


Nomogram ada dua dan
disiapkan untuk umur rencana 10
5 disiapkan untuk umur rencana
tahun, walaupun disediakan Faktor
20 tahun
Penyesuaian (FP).

147
Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur Metode SNI 1732-1989-F

Metode SNI 1732-1989-F tidak membedakan angka ekivalen sumbu


tunggal roda tunggal dengan sumbu tunggal roda ganda. Di samping
itu pada Metode SNI 1732-1989-F tidak terdapat rumus untuk
menentukan angka ekivalen sumbu tripel. Penentuan angka ekivalen
untuk sumbu tunggal roda tunggal dan sumbu tripel dapat digunakan
rumus yang ada pada Pedoman Perencanaan Tebal Lapis Tambah
Perkerasan Lentur No. Pd.T-05-2005-B seperti pada Bab 7.

E setiap jenis kendaraan merupakan jumlah dari nilai E untuk setiap


sumbu yang dimilikinya. E kendaraan dihitung dengan memperhatikan
fluktuasi beban kendaraan. Perhitungan seperti contoh pada Tabel 4.9.

2. LHR dihitung di awal umur rencana dengan menggunakan Rumus 5.3


untuk masing-masing kelompok jenis kendaraan

LHR awal umur rencana = (1+a)n. LHRs..................................(5.3)

dengan:
LHRs = LHR hasil pengumpulan data
a = faktor pertumbuhan lalu lintas dari saat pengumpulan data
sampai awal umur rencana, persen/tahun
n = lama waktu dari saat pengumpulan data sampai awal umur
rencana, tahun.

3. Faktor distribusi kendaraan pada lajur rencana ditentukan berda-


sarkan jumlah lajur perkerasan jalan. Jika ruas jalan tidak memiliki
batas lajur, atau hanya diketahui lebar jalur saja, maka Tabel 5.2
dapat dipergunakan sebagai acuan.

148
Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur

Tabel 5.2 Jumlah Lajur Berdasarkan Lebar Jalur


Lebar jalur (L) ,m Jumlah lajur
L < 5,5 m 1 lajur
5,5m < L < 8,25 m 2 lajur
8,25m < L < 11,25 m 3 lajur
11,25m < L < 15,00 m 4 lajur
15,00m < L < 18,75 m 5 lajur
18,75m < L < 22,00 m 6 lajur
Sumber: SNI-1732-1989

Faktor distribusi kendaraan ke lajur rencana dapat ditentukan melalui


analisis hasil pengumpulan data volume lalulintas. Jika tak dimiliki
data tentang distribusi kendaraan ke lajur rencana dari hasil
pengumpulan data, maka koefisien distribusi kendaraan (C) pada
Tabel 5.3 dapat digunakan sebagai acuan. Namun demikian, Tabel
5.3 tidak sesuai jika dipergunakan untuk jalan tol. Distribusi
kendaraan pada jalan tol antar kota berbeda dengan jalan tol dalam
kota, karena kendaraan di jalan tol antar kota pada umumnya
menggunakan lajur kiri, kecuali untuk posisi menyalip kendaraan lain.
Oleh karena itu khusus untuk jalan tol sebaiknya menggunakan data
yang diperoleh dari survei di jalan tol sejenis.
4. Lintas Ekivalen Permulaan (LEP) sebagai lintas ekivalen di awal umur
rencana dihitung dengan menggunakan Rumus 5.4.

149
Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur Metode SNI 1732-1989-F

Tabel 5.3 Koefisien Distribusi ke Lajur Rencana


Kendaraan ringan* Kendaraan berat**
Jumlah lajur
1 arah 2 arah 1 arah 2 arah
1 lajur 1,00 1,00 1,00 1,00
2 lajur 0,60 0,50 0,70 0,50
3 lajur 0,40 0,40 0,50 0,475
4 lajur 0,30 0,45
5 lajur 0,25 0,425
6 lajur 0,20 0,40
* berat total < 5 ton, misalnya sedan, pick up
** berat total > 5 ton, misalnya bus, truk, traktor, trailer, dan lain-
lain
Sumber: SNI-1732-1989

in
LEP =
LHR
i1
i x Ei x Ci................................................................(5.4)

atau
in
LEP =
LHRT x E
i1
i i x Ci.............................................................(5.5)

dengan :
LEP = Lintas ekivalen di awal umur rencana, lss/hari/lajur
rencana
LHRi = LHR jenis kendaraan i di awal umur rencana,
ditentukan dengan menggunakan Rumus 5.3.
LHRTi = LHRT jenis kendaraan i di awal umur rencana
Ei = angka ekivalen untuk jenis kendaraan i
Ci = koefisien distribusi jenis kendaraan i

150
Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur

5. Hitunglah Lintas Ekivalen Akhir (LEA) sebagai lintas ekivalen di akhir


umur rencana dengan menggunakan Rumus 5.6.
UR...............................................................................
LEA = LEP (1+i) (5.6)

dengan:
LEA = Lintas ekivalen di akhir umur rencana,
lss/hari/lajur rencana
LEP = Lintas Ekivalen di awal umur rencana
i = faktor pertumbuhan lalu lintas, %/tahun
UR = umur rencana, tahun

6. Hitunglah Lintas Ekivalen Rencana (LER) sebagai lintas ekivalen


rencana dengan menggunakan Rumus 5.7.
LEP  LEA
LER = ( ) x FP........................................(5.7)
2
dengan:
LER = Lintas Ekivalen Rencana
FP = Faktor Penyesuaian Untuk Umur Rencana
= UR/10
UR = Umur Rencana, tahun

5.2 Daya Dukung Tanah Dasar Berdasarkan SNI 1732-1989-F

Daya dukung tanah dasar dinyatakan dengan parameter Daya Dukung


Tanah Dasar (DDT) yang merupakan korelasi dari nilai CBR. Nilai CBR
yang dipergunakan untuk menentukan DDT adalah CBR yang merupakan
nilai wakil untuk satu segmen jalan. Uraian tentang hal ini dapat dibaca
dalam Bab 3.2.3. DDT dapat diperoleh dengan menggunakan Gambar
5.1, Rumus 5.8 atau Tabel 5.4.

151
Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur Metode SNI 1732-1989-F

Rumus korelasi antara nilai CBR dengan DDT adalah:

DDT = 4,3 log CBR + 1,7......................................(5.8)

dengan:
DDT = Daya Dukung Tanah Dasar
CBR = CBR segmen, baca juga Bab 3.2.3

Skala DDT pada Gambar 5.1 adalah skala linier, sedangkan skala CBR
menggunakan skala logaritma.

Tabel 5.4. Korelasi antara CBR dan DDT


CBR DDT
DDT CBR
3 3,75
100
4 4,29 10

5 4,71 9 50
40
6 5,05
8 30
7 5,33
20
8 5,58 7

9 5,80 6 10
10 6,00
5
20 7,29 5
4
30 8,05 4
3
40 8,59 3 2
50 9,01
2
60 9,35 1

70 9,63 1

80 9,88 0 0
90 10,10
100 10,30 Gambar 5.1 Penentuan nilai DDT

152
Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur

5.3 Parameter Penunjuk Kondisi Lingkungan


Sesuai SNI 1732-1989-F

Kondisi lingkungan di lokasi ruas jalan mempengaruhi kinerja struktur


perkerasan selama masa pelayanan jalan. Parameter penunjuk kondisi
lingkungan sesuai metode SNI 1732-1989-F adalah Faktor Regional (FR).
Kondisi lingkungan yang mempengaruhi kinerja perkerasan jalan seperti
curah hujan dan iklim tropis, elevasi muka air tanah, kelandaian muka
jalan, fasilitas dan kondisi drainase, dan banyaknya kendaraan berat.
Nilai FR memiliki rentang antara 0,5 dan 4 seperti pada Tabel 5.5.
Berdasarkan pertimbangan teknis perencana dapat menambah nilai FR,
sesuai catatan kaki pada Tabel 5.5.

Tabel 5.5 Faktor Regional


Kelandaian I Kelandaian II Kelandaian III
(<6%) (6-10%) (>10%)
Curah
hujan kendaraan berat % kendaraan berat % kendaraan berat
≤ 30% > 30% ≤ 30% > 30% ≤ 30% > 30%
Iklim I
< 900 0,5 1,0 – 1,5 1,0 1,5 – 2,0 1,5 2,0 – 2,5
mm/thn
Iklim II
≥ 900 1,5 2,0 – 2,5 2,0 2,5 – 3,0 2,5 3,0 – 3,5
mm/thn
Catatan: pada bagian jalan tertentu, seperti persimpangan, pemberhentian
atau tikungan tajam (jari-jari 30 m),
FR ditambah dengan 0,5.
Pada daerah rawa, FR ditambah dengan 1,0
Sumber: SNI 1732-1989-F

5.4 Indeks Permukaan Sesuai SNI 1732-1989-F

Tebal perkerasan yang dibutuhkan dipengaruhi oleh nilai kinerja struktur


perkerasan yang diharapkan pada saat jalan dibuka untuk melayani arus

153
Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur Metode SNI 1732-1989-F

lalu lintas selama umur rencana, dan kondisi kinerja perkerasan diakhir
umur rencana. Kinerja struktur perkerasan dinyatakan dengan Indeks
Permukaan (IP) yang memiliki pengertian sama dengan serviceability
index (baca juga Bab 3.5 dan Bab 4.3).
IP di awal umur rencana atau awal masa pelayanan jalan (IP 0) ditentukan
dari jenis perkerasan yang dipergunakan untuk lapis permukaan seperti
pada Tabel 5.6

Tabel 5.6 Indeks Permukaan Pada Awal Umur Rencana (IP0)


Jenis Lapis Permukaan IP0 Roughness* (mm/km)
Laston ≥4 ≤ 1000
3,9 – 3,5 > 1000
Lasbutag 3,9 – 3,5 ≤ 2000
3,4 – 3,0 > 2000
HRA 3,9 – 3,5 ≤ 2000
3,4 – 3,0 > 2000
Burda 3,9 – 3,5 < 2000
Burtu 3,4 – 3,0 < 2000
Lapen 3,4 – 3,0 ≤ 3000
2,9 – 2,5 > 3000
Latasbum 2,9 – 2,5
Buras 2,9 – 2,5
Latasir 2,9 – 2,5
Jalan tanah ≤ 2,4
Jalan kerikil ≤ 2,4
* Alat roughometer yang digunakan adalah roughometer NAASRA, yang
dipasang pada kendaraan standar Datsun 1500 Station Wagen, dengan
kecepatan kendaraan ± 32 km/jam
Sumber: SNI 1732-1989-F

154
Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur

IP di akhir umur rencana yang diharapkan (IPt) ditentukan berdasarkan


fungsi jalan dan LER seperti pada Tabel 5.7.
Kinerja perkerasan jalan diakhir umur rencana seperti pada Tabel 5.7
digambarkan sebagai kondisi seperti pada Tabel 5.8

Tabel 5.7 Indeks Permukaan Pada Akhir Umur Rencana (IPt)


LER Fungsi Jalan
lss/hari/lajur
rencana Lokal Kolektor Arteri Tol
< 10 1,0 – 1,5 1,5 1,5 – 2,0 -
10 – 100 1,5 1,5 – 2,0 2,0 -
100 – 1000 1,5 – 2,0 2,0 2,0 – 2,5 -
> 1000 - 2,0 – 2,5 2,5 2,5
Sumber: SNI-1732-1989

Tabel 5.8 Kinerja struktur Perkerasan Jalan Di Akhir Umur Rencana

IPt Kinerja struktur perkerasan

Permukaan jalan dalam keadaan rusak berat, sehingga


1,0
sangat mengganggu lalu lintas kendaraan.

Tingkat pelayanan terendah yang masih mungkin (jalan tidak


1,5
putus)

2,0 Tingkat pelayanan rendah bagi jalan yang masih mantap

2,5 Permukaan jalan masih cukup stabil dan baik

> 2,5 Permukaan jalan masih stabil dan baik


Sumber: CER:04

155
Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur Metode SNI 1732-1989-F

5.5 Rumus Dasar Metode SNI 1732-1989-F

Rumus dasar Metode SNI 1732-1989-F mengacu kepada rumus


AASHTO’72 seperti Rumus 4.1 pada Bab 4, namun dimodifikasi untuk
Indonesia. Dengan demikian bentuk Rumus 4.1 diubah untuk Metode SNI
1732-1989-F menjadi seperti pada Rumus 5.9.

ITP
log (LERx 3650) = 9,36 log ( + 1) – 0,20 + Gt
1094 +
2,54 0,40 
ITP
( 2,54  1)5,19

1
log( )+ 0,372 (DDT – 3,0)...................................(5.9)
FR

dengan:
LER = Lintas Ekivalen Rencana,
dinyatakan dalam lss/hari/lajur rencana
3650 = jumlah hari dalam 10 tahun (karena nomogram
disediakan untuk umur rencana 10 tahun)

ITP = Indeks Tebal Perkerasan untuk keadaan lingkungan dan


daya dukung sesuai lokasi jalan dan Indeks Permukaan di
akhir umur rencana (nama ITP berasal dari thickness
index versi AASHTO pra ’72)
DDT = Daya Dukung Tanah Dasar
FR = Faktor Regional

Gt = log (IPo  IPt )


(4,2 1,5)

156
Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur

Secara grafis Rumus 5.9 digambarkan dalam bentuk nomogram.


Indonesia memiliki berbagai nilai IP0 dan IPt, maka nomogram yang
dihasilkan dari Rumus 5.9 ada 9 buah, berdasarkan nilai IP0 dan IPt
seperti pada Gambar 5.2 sampai dengan Gambar 5.11. Dengan
menggunakan nomogram tersebut, diperoleh Indeks Tebal Perkerasan

( ITP ) Jalan.

Indeks Tebal Perkerasan ( ITP )


ITP adalah angka yang menunjukkan nilai struktural perkerasan jalan
yang terdiri dari beberapa lapisan dengan mutu yang berbeda. Oleh
karena itu untuk menentukan ITP diperlukan koefisien relatif sehingga
tebal perkerasan setiap lapisan setelah dikalikan dengan koefisien relatif

dapat dijumlahkan. Jadi ITP dihitung seperti pada Rumus 5.10.

ITP = a1D1 + a2D2 + a3D3.................................................(5.10)

dengan:

ITP = Indeks Tebal Perkerasan


a1 = koefisien kekuatan relatif lapis permukaan
a2 = koefisien kekuatan relatif lapis pondasi
a3 = koefisien kekuatan relatif lapis pondasi bawah
D1 = tebal lapis permukaan
D2 = tebal lapis pondasi
D3 = tebal lapis pondasi bawah

157
Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur Metode SNI 1732-
DDT 2 3
1 Nomogram 1
10 ITP ITP
15
14

13 3

12

11
9 4
LER 10

8 10.000 9
1

5.000 5
7 8
1.000 FR
500 6
6 7 0.5
1.0
100 2.0 7
5 50 6
5.0
8
4 10
5 5
9
3
1 10
0.5 4
2 11

12
1
3 13

Gambar 5.2 Nomogram untuk IPt = 2,5 dan IPo =  4


14
15

Gambar 5.2 Nomogram untuk IPt = 2,5 dan IPo =  4


Nomogram 2

ITP ITP
15
14
DDT 2 3
1 13 3
10
12

9 11
4
LER 10
8 10.000
Perencanaan Tebal Perkerasan

5.000 9
5
7
8
1.000
500 FR
6 6
7 0.5
1.0

1
100
2.0 7
5 50 6
5.0
8
4 10
5
5
9
3
1 10
4
0.5
2 11

12
1
3 13
14
15

Gambar 5.3 Nomogram untuk IPt = 2,5 dan IPo = 3,9 – 3,5
Nomogram 3
ITP ITP
15

14
3

Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur Metode SNI 1732-


13

12
DDT 2 3
1
10 11 4

9 10

LER 9 5
8 10.000
5.000
8
7 FR 6
1.000
0.5
500 7
1

6 1.0
7
2.0
100 6 5.0
5
50 8

4 10 5 9
5
3 10
1
4 11
0.5
2
12
1
13
3
14

15

Gambar 5.4 Nomogram untuk IPt = 2,0 dan IPo =  4


Nomogram 4
ITP
ITP
15
14

13 3
DDT 2 3
1 12
10
11
9 4
10
LER
8 10.000 9
Perencanaan Tebal Perkerasan

5.000 5

7 8
1.000 FR 6
500 7 0.5
6
1.0

1
100 2.0 7
5 6
50
5.0
8
4 10
5
5 9
3
1 10
0.5 4
2 11

12
1
3 13

14
15

Gambar 5.5 Nomogram untuk IPt = 2,0 dan IPo = 3,9 – 3,5
Nomogram 5
ITP ITP
15

14

Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur Metode SNI 1732-


3
13

12
DDT 2 3
1
10 11 4

9 10

LER 9 5
8 10.000
5.000
8
7 FR 6
1.000 0.5
7
500
1

6 1.0
7
2.0
100 6 5.0
5 8
50

4 10 5 9
5
3 10
1
4 11
0.5
2
12

1 13
3
14

15

Gambar 5.6 Nomogram untuk IPt = 2,0 dan IPo = 3,9 – 3,5
Nomogram 6
ITP
ITP
15
14

13 3
DDT 3
1 2
12
10
11
9 4
10
LER
8 10.000 9
Perencanaan Tebal Perkerasan

5.000 5

7 8
1.000 FR
6
500 7 0.5
6
1.0

1
100 2.0 7
5 50 6
5.0
8
4 10
5
5 9
3
1 10
0.5 4
2 11

12
1
3 13

14

15

Gambar 5.7 Nomogram untuk IPt = 1,5 dan IPo = 3,4 – 3,0
Nomogram 7
ITP
ITP
15

3 14
DDT 2

Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur Metode SNI 1732-


1 13 3
10
12

9 11
4
LER 10
8 10.000
5.000 9

7 5
1.000 8
500 FR
6 6
7 0.5
1

1.0
100
5 2.0 7
50 6
5.0

4 8
10
5
5
9
3
1 10
0.5 4
2
11

12
1
3 13

14
15

Gambar 5.8 Nomogram untuk IPt = 1,5 dan IPo = 3,4 – 3,0
Nomogram 8
ITP ITP
15
14
3
13
DDT 2 3
1 12
10
11
4
9
10
LER
8 10.000 9
Perencanaan Tebal Perkerasan

5
5.000
8
7
1.000 FR
6
500 7 0.5
6
1.0

1
100 2.0 7
5 6
50 5.0
8
4 10 5
5 9
3
1 10
0.5 4
2 11

12
1
13
3
14
15

Gambar 5.9 Nomogram untuk IPt = 1,0 dan IPo = 2,9 – 2,5
Nomogram 9
ITP ITP
15
14

Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur Metode SNI 1732-


DDT 2 3
1 13 3
10
12

9 11

LER 4
10
8 10.000
5.000 9
5
7
1.000 8
500 FR
6 7 6
0.5
1

100 1.0
5 6 2.0 7
50
5.0

4 10 8
5
5
9
3
1 10
4
0.5
2 11

12
1
3 13

14
15

Gambar 5.10 Nomogram untuk IPt = 1,0 dan IPo =  2,4


Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur

Koefisien kekuatan relatif ditentukan dari fungsi dan mutu perkerasan


yang ditentukan melalui nilai stabilitas Marshall (MS), kuat tekan (Kt),
atau CBR. Tabel 5.9 menunjukkan nilai koefisien relatif untuk berbagai
jenis perkerasan yang digunakan sesuai dengan SNI 1732-1989-F.
Cement Treated Base (CTB) sering juga digunakan sebagai lapis pondasi
walaupun tidak terdapat pada Tabel yang diberikan pada SNI 1732-
1989-F.
Koefisien relatif untuk CTB sesuai dengan kuat tekannya adalah sebagai

berikut[CER:04]:

a. CTB dengan kuat tekan > 45 kg/cm2, a2 = 0,23


b. CTB dengan kuat tekan 28 - 45 kg/cm2, a2 = 0,20
c. CTB dengan kuat tekan < 28 kg/cm2, a2 = 0,15

5.6 Tebal Minimum Lapis Perkerasan

AASHO 1972 membatasi tebal minimal setiap lapisan berdasarkan mutu


perkerasan setiap lapis dan beban lalu lintas seperti Gambar 4.3,
sedangkan SNI 1732-1989-F menentukan tebal minimal berdasarkan ITP
dan jenis perkerasan setiap lapisan seperti pada Tabel 5.10.

5.7 Konstruksi Bertahap

Konstruksi bertahap adalah pelaksanaan struktur perkerasan dimana lapis


permukaan tidak dilaksanakan sekaligus setebal yang dibutuhkan untuk
melayani lalulintas selama umur rencana, tetapi melalui 2 tahap.
Pelaksanaan lapis tanah dasar, lapis pondasi bawah dan lapis pondasi
dilakukan sekaligus setebal yang dibutuhkan selama umur rencana.

162
Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur Metode SNI 1732-1989-F

Tabel 5.9 Koefisien Kekuatan Relatif


Koefisien Kekuatan Kekuatan bahan
Relatif Kt
MS CBR Jenis perkerasan
(kg/cm3
a1 a2 a3 (kg) (%)
)
0,40 744
0,35 590
0,32 454 Laston
0,30 340
0,35 744
0,31 590
0,28 454 Lasbutag
0,26 340
0,30 340 HRA
0,26 340 Penetrasi makadam
0,25 Lapen (mekanis)
0,20 Lapen (manual)
0,28 590
0,26 454 Laston atas
0,24 340
0,23 Lapen (mekanis)
0,19 Lapen (manual)
0,15 22 Stabilisasi dengan
0,13 18 semen
0,15 22 Stabilisasi dengan
0,13 18 kapur
0,14 100 Batu pecah (kelas A)
0,13 80 Batu pecah (kelas B)
0,12 60 Batu pecah (kelas C)
0,13 70 Sirtu/pitrun (kelas A)
0,12 50 Sirtu/pitrun (kelas B)
0,11 30 Sirtu/pitrun (kelas C)
0,10 20 Tanah/lempung
kepasiran
Catatan: Kuat tekan stabilisasi tanah dengan semen diperiksa pada hari ke 7.
Kuat tekan stabilisasi tanah dengan kapur diperiksa pada hari ke 21.

Sumber: SNI-1732-1989

163
Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur

Tabel 5.10 Tebal Minimum Lapis Perkerasan


Tebal
ITP minimum Jenis perkerasan
(cm)
Lapis Permukaan
< 3,00 Lapis pelindung: Buras, Burtu/Burda
3,00 – 6,70 5 Lapen/penetrasi makadam, HRA,
lasbutag, laston
6,71 – 7,49 7,5 Lapen/penetrasi makadam, HRA,
lasbutag, laston
7,50 – 9,99 7,5 lasbutag, laston
>> 10,00 10 Laston
Lapis Pondasi
< 3,00 15 Batu pecah, stabilitas tanah dengan
semen. Stabilitas tanah dengan kapur
3,00 – 7,49 20 Batu pecah, stabilitas tanah dengan
semen. Stabilitas tanah dengan kapur.
10 Laston atas

7,50 – 9,99 20* Batu pecah, stabilitas tanah dengan


semen. Stabilitas tanah dengan kapur,
pondasi makadam.
Laston atas
15
10,00 – 12,24 20 Batu pecah, stabilitas tanah dengan
semen. Stabilitas tanah dengan kapur,
pondasi makadam, lapen, laston atas.
>> 12,25 25 Batu pecah, stabilitas tanah dengan
semen. Stabilitas tanah dengan kapur,
pondasi makadam, lapen, laston atas.
Lapis Pondasi Bawah
Tebal minimal adalah 10 cm
* batas 20 cm tersebut dapat diturunkan menjadi 15 cm, jika untuk pondasi bawah
digunakan material berbutir kasar.
Sumber: SNI-1732-1989

164
Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur Metode SNI 1732-1989-F

Gambar 5.11 mengilustrasikan perbedaan antara konstruksi tidak


bertahap dengan bertahap, yang perbedaannya ada pada waktu pelaksa-
naan untuk lapis permukaan. Pada konstruksi tidak bertahap D 1 dilaksa-
nakan sekaligus untuk kebutuhan selama umur rencana seperti yang
diperoleh dengan menggunakan Rumus 5.10. Lapis permukaan pada
konstruksi bertahap dilaksanakan secara bertahap yaitu pertama kali
dilaksanakan dulu setebal Da yang digunakan selama n1 tahun dan
setelah itu dilaksanakan tahap kedua setebal D b untuk digunakan selama
n2 tahun.
Dengan demikian:
1. n1 + n2 = UR
2. Da + Db tidak sama dengan D1
3. Da + Db lebih tebal dari D1
4. Pada akhir n1 kinerja struktur perkerasan belum mencapai nilai IPt
sesuai n1, namun masih memiliki nilai pelayanan sisa.

Db Da D2
D1 D2 Lapis permukaan Lapis pondasi
D3
D3 Lapis pondasi bawah Lapis tanah dasar

a. konstruksi tidak bertahap b. Konstruksi bertahap

Gambar 5.11 Perbedaan konstruksi tidak bertahap dengan bertahap

165
Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur

Keuntungan melaksanakan konstruksi perkerasan jalan secara bertahap


adalah:
1. Biaya pelaksanaan dapat disediakan bertahap.
2. Penyesuaian desain akibat terjadinya beban lalu lintas yang berbeda
dengan perkiraan pada tahap desain dapat dilakukan pada tahap
kedua.
3. Perbaikan akibat adanya kelemahan setempat pada pelaksanaan
dapat diperbaiki terlebih dahulu sebelum tahap kedua dilaksanakan.

Kerugian melaksanakan konstruksi perkerasan jalan secara bertahap


adalah:
1. Biaya pelaksanaan secara keseluruhan menjadi lebih mahal karena
total tebal perkerasan bertambah.
2. Selama masa pelaksanaan tahap kedua akan mengganggu arus lalu
lintas.
3. Beberapa utilitas jalan terganggu dan menambah biaya pelaksanaan.

Masa pelayanan n1 umumnya dipilih antara 25 – 50% masa pelayanan

total, dengan demikian penentuan besarnya


ITP didasarkan pada LER1
1

untuk masa pelayanan tahap pertama. Nomogram yang digunakan sama


dengan nomogram pada konstruksi tidak bertahap tetapi LER yang
digunakan dimodifikasi terlebih dahulu. Modifikasi nilai LER dilakukan
berdasarkan asumsi bahwa lapis permukaan tahap kedua dilaksanakan
jika umur sisa dari lapis perkerasan tahap pertama mencapai nilai 40%.

Tahap pertama:
a. Jika umur sisa perkerasan diakhir tahap pertama adalah 0%, maka

ITP dihitung berdasarkan nilai LER1. ITP adalah ITP tahap


1 1

166
Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur Metode SNI 1732-1989-F

pertama, sedangkan LER1 adalah LER selama umur rencana tahap


pertama.
b. Jika umur sisa perkerasan diakhir tahap pertama adalah 40%, maka

ITP1 harus lebih besar dari nilai ITP untuk sisa umur rencana 0%.
1

Ini berarti untuk memikul beban yang sama yaitu LER1 tebal
perkerasan harus dibuat lebih tebal agar umur sisa perkerasan masih

40%. Untuk mendapatkan nilai ITP dari nomogram atau rumus


1

yang sama, maka LER1 harus dimodifikasi.


LER1 + (0,40x) LER1 = x LER1, sehingga diperoleh x =1,67.

Jadi,
ITP pada konstruksi bertahap dimana diharapkan pada akhir
1

tahap 1 masih tersisa umur rencana 40%, diperoleh dengan meng-


gunakan nomogram yang tersedia, tetapi LER yang digunakan harus
dikalikan dengan 1,67 menjadi 1,67 LER1.

Tahap kedua:

a. ITP1 adalah ITP selama umur rencana yaitu jumlah tahun tahap
2

pertama dan kedua. Jika perencanaan dilakukan sekaligus selama

umur rencana,
maka ITP1 ditentukan berdasarkan LER.
2

Karena pelaksanaan dilakukan bertahap maka LER1 adalah LER


selama umur rencana tahap pertama dan LER 2 adalah LER selama
umur rencana tahap kedua.

167
Tahap pertama, LER1, n1 tahun Tahap kedua, LER2, n2 tahun
n1 + n2 = umur rencana

168
Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur

b. Jika umur ITP1 ditentukan berdasarkan nilai LER2, maka LER2 harus
2

dimodifikasi agar mencakup penggunaan selama tahap kedua dan


tahap pertama yang memiliki sisa umur rencana sebanyak 40%.
(0,60 y) LER2 + LER2 = y LER2 , sehingga diperoleh y = 2,50.

Ini berarti
ITP1 yaitu ITP pada tahap pertama dan kedua, pada
2

konstruksi bertahap dimana diharapkan pada akhir tahap 1 masih


tersisa umur rencana 40%, diperoleh dengan menggunakan
nomogram yang tersedia, tetapi LER yang digunakan harus dikalikan
dengan 2,5 menjadi 2,5 LER2.

5.8 Prosedur Perencanaan Tebal Perkerasan Metode SNI 1732-


1989-F
Langkah-langkah perencanaan tebal perkerasan sesuai Metode SNI 1732-
1989-F seperti pada Gambar 5.12 adalah sebagai berikut:
1. Tentukan apakah konstruksi perkerasan akan dilaksanakan bertahap
atau tidak bertahap. Jika dilaksanakan bertahap tentukan masa
pelayanan tahap pertama dan kedua.
2. Tentukan beban lalu lintas pada lajur rencana (LER) seperti dije-
laskan pada Bab 5.1. Jika konstruksi perkerasan dilaksanakan secara
bertahap, maka beban lalu lintas dihitung sebagai LER 1 dan LER2
seperti yang diuraikan pada Bab 5.7.
3. Tentukan daya dukung tanah dasar (DDT) seperti diuraikan pada Bab
5.2.
4. Tentukan FR seperti diuraikan pada Bab 5.3.
5. Tentukan Indeks Permukaan awal dan akhir umur rencana seperti
diuraikan pada Bab 5.4.

169
Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur Metode SNI 1732-1989-F

Mul
Kekuatan tanah dasar
Input
Daya Dukung Tanah Dasar parameter
(DDT)

Faktor Regional (FR)


 Intensitas curah hujan Konstruksi
 Kelandaian jalan bertahap
 % kendaraan berat
 Pertimbangan Teknis Ya

Beban lalu lintas Tentukan Tentukan


LER pada lajur rencana ITP1 ITP
Tentukan
ITP1+2 untuk
Konstruksi bertahap atau tahap 1
tidak dan pentahapannya

Jenis Koefisien Tentukan


lapisan
Indeks Permukaan kekuatan tebal lapis
Gambar 5.12
awalBagan
 IPoalir perencanaan tebal perkerasan SNI 1732-1989-F
akhir  IPt
selesai

170
Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur

6. Tentukan ITP untuk konstruksi tidak bertahap atau ITP1 dan

ITP12 untuk konstruksi bertahap.


7. Tentukan tebal lapis permukaan (D1) atau Da dan Db untuk konstruksi
bertahap, lapis pondasi (D2), lapis pondasi bawah (D3) seperti
diuraikan pada Bab 5.6 sampai dengan Bab 5.8.

Sebaiknya tebal perkerasan direncanakan untuk beberapa variasi jenis


dan tebal lapis perkerasan, lalu dianalisis tentang biaya konstruksi,
kesukaran dalam pelaksanaan dan pemeliharaan, untuk akhirnya di-
putuskan hasil perencanaan yang optimal.

171
Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur Metode Pt-01-2002-B

BAB 6
Perencanaan Tebal Perkerasan
Metode Pt T-01-2002-B

Metode Pt T-01-2002-B mengacu kepada metode AASHO 1993 seperti


yang telah diuraikan pada Bab 4.3. Bagan alir perencanaan tebal
perkerasan seperti pada Gambar 6.1 sama dengan bagan alir untuk
perencanaan tebal perkerasan mengikuti metode AASHTO 1993.
Hampir keseluruhan tabel yang digunakan pada Metode Pt T-01-2002-B
merupakan adopsi identik dengan metode AASHTO 1993. Pada Bab 6 ini
penggunaan tabel pada Metode Pt T-01-2002-B yang sesuai dengan
tabel pada Metode AASHTO 1993, akan dirujuk langsung kepada Tabel
pada Bab 4. Di samping hal tersebut ada pula tabel yang digunakan pada
Metode SNI 1732-1989-F, digunakan juga pada Metode Pt T-01-2002-B.
Guna pemahaman yang komprehensif tentang metode ini sebaiknya
dibaca juga Bab 4.3.

6.1 Langkah-langkah Perencanaan Tebal Lapis Perkerasan


Metode Pt T-01-2002-B

Beban lalulintas berdasarkan Metode Pt T-01-2002-B dinyatakan dalam


kumulatif lintas sumbu standar selama umur rencana (W18 pada Bab 4.3).

172
Asumsi
- Umur rencana Structural
- Faktor distribusi arah (DA) Number
- Faktor distribusi Lajur (DL)
- Pertumbuhan Lalu lintas (i)
Repetisi beban Angka ESAL
- LHR pada tahun dibuka Tidak
lalu lintas - Beban & Konfigurasi Sumbu Ekivalen

Indeks permukaan -
Indeks Permukaan Akhir IP0
Perencanaan Tebal Perkerasan

(IP) -
Indeks Permukaan Akhir IPt

Ya Tebal
Reliabilitas -
Standar Normal Deviate (ZR) Perhitungan SN hasil hitung = perkerasa
SN asumsi D1, D2,
(R) Standar Deviation (S0) Nilai SN n

1
-
D3
minimu

CB Modulus Resilient (MR)


R

Koefisien
drainase
Gambar 6.1 Bagan Alir Metode Pt T-01-2002-B
Koefisien kekuatan
relatif lapisan (a)
Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur Metode Pt-01-2002-B

Langkah-langkah perencanaan tebal perkerasan berdasarkan Metode


Pt T-01-2002-B adalah sebagai berikut:
1. Tentukan Indeks Permukaan awal (IPo) dengan menggunakan Tabel
6.1 khusus untuk lapis permukaan laston, lasbutag, dan lapen. Tabel
ini sama dengan Tabel 5.6 untuk jenis lapis permukaan yang terbatas.

Tabel 6.1 Indeks Permukaan Pada Awal Umur Rencana (IP0)


Jenis Lapis Roughness* (IRI,
IP0
Permukaan m/km)
Laston ≥4 ≤ 1,0
3,9 – 3,5 > 1,0
Lasbutag 3,9 – 3,5 ≤ 2,0
3,4 – 3,0 > 2,0
Lapen 3,4 – 3,0 ≤ 3,0
2,9 – 2,5 > 3,0
*) Alat Pengukur ketidakrataan yang dipergunakan dapat berupa
roughometer NAASRA, Bump Integrator, dll.
Sumber: Pt T-01-2002-B

2. Tentukan Indeks Permukaan akhir (IPt) dengan menggunakan Tabel


6.2 ini sama dengan Tabel 5.7, tetapi tidak mencantumkan LER.

Tabel 6.2 Indeks Permukaan Pada Akhir Umur Rencana (IPt)

Fungsi Jalan
Lokal Kolektor Arteri Tol
1,0 – 1,5 1,5 1,5 – 2,0 -
1,5 1,5 – 2,0 2,0 -
1,5 – 2,0 2,0 2,0 – 2,5 -
- 2,0 – 2,5 2,5 2,5
Sumber: Pt T-01-2002-B

173
Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur

Untuk pererencanaan tebal lapis perkerasan jalan tol sebaiknya


menggunakan IPt = 3. IPt yang disediakan oleh metode ini berbeda
dengan yang disediakan oleh Metode AASHTO 1993, karena IPt pada
Metode AASHTO 1993 hanya memiliki 3 nilai yaitu 2, 2,5 dan 3.
3. Asumsikan nilai SN untuk digunakan menentukan angka ekivalen.
4. Tentukan angka ekivalen setiap jenis kendaraan dengan terlebih
dahulu menentukan angka ekivalen masing-masing sumbu. Rumus
untuk menghitung angka ekivalen sumbu tunggal roda tunggal seperti
pada Rumus 6.1.
beban sumbu tunggal, kN ..
Esumbu tunggal roda tunggal = ( )4 (6.1)
53 kN

Angka ekivalen untuk konfigurasi sumbu lainnya ditentukan dengan


mempergunakan tabel seperti pada Tabel di Lampiran 1. Tabel ini
sama dengan tabel yang diberikan oleh AASHTO 1993, sehingga tabel
yang tersedia hanya untuk IPt 2; 2,5 atau 3. Tidak ada tabel yang
tersedia untuk IPt = 1,5 dan 1. Rumus 4.4 dan Rumus 4.5 tak
dianjurkan untuk digunakan karena rumus ini berasal dari rumus
empiris yang berlaku pada kondisi IPo = 4,2 dan IPt = 3, 2,5; atau 2.
Oleh karena itu metode ini disarankan hanya digunakan sesuai
batasan yang diberikan oleh AASHTO 1993 saja.
5. Tentukan faktor distribusi arah (DA) jika volume lalulintas yang
tersedia dalam 2 arah. DA berkisar antara 0,3 – 0,7. Untuk perenca-
naan umumnya DA diambil sama dengan 0,5 kecuali pada kasus
khusus dimana kendaraan berat cenderung menuju satu arah tertentu
atau pada kasus dimana diperoleh data volume lalulintas untuk
masing-masing arah.

174
Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur Metode Pt-01-2002-B

6. Tentukan faktor distribusi lajur (D L) yaitu faktor distribusi ke lajur


rencana.
Tabel 6.3 menunjukkan faktor distribusi lajur (DL) yang diberikan
oleh Pt T-01-2002-B. Tabel ini sama dengan Tabel yang diberikan
oleh AASHTO 1993.

Tabel 6.3 Faktor Distribusi Lajur (DL)


Jumlah lajur per arah Persen sumbu standar dalam lajur rencana
1 100
2 80 100
3 60 – 80
4 50 - 75
Sumber: Pt T-01-2002-B dan AASHTO 1993

7. Hitunglah Lintas Ekivalen Selama Umur Rencana (W 18) seperti pada


Rumus 4.8 atau 4.9. Nilai N dapat dilihat pada Tabel 4.10.
8. Reliabilitas seperti telah dijelaskan pada Bab 4.3.2, besarnya
ditentukan berdasarkan Tabel 4.12. So dan ZR ditentukan dengan
menggunakan Tabel 4.11 sesuai reliabilitas yang dipilih.
9. Tentukan MR tanah dasar dengan menggunakan Rumus 3.18,
CBRsegmen ditentukan seperti diuraikan pada Bab 3.2.3.
10. Tentukan nilai SN dalam inci dengan menggunakan nomogram pada
Gambar 4.7 atau Rumus 4.13.
11. SN yang diperoleh pada Butir 10 harus sama dengan yang di-
asumsikan pada Butir 3. Jika SN yang diperoleh tidak sama dengan
SN yang diasumsikan, maka langkah diulang kembali mulai dari Butir
3 sampai ditemukan SN hasil hitungan = SN asumsi.

175
Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur

12. Tentukan koefisien drainase lapis pondasi dan lapis pondasi bawah
dengan menggunakan Tabel 4.13. dan Tabel 4.14.
13. Tentukan tebal minimum masing-masing lapisan perkerasan dengan
menggunakan Rumus 4.17 sampai dengan Rumus 4.22 dan Tabel
4.15.
14. Tentukan tebal setiap lapis dengan menggunakan Rumus 4.14.
Koefisien kekuatan relatif menggunakan Gambar 4.8 sampai dengan
Gambar 4.10 atau Rumus 4.15 dan Rumus 4.16. Tebal yang
diperoleh memiliki satuan inci, sehingga perlu diubah kesatuan cm
dan memperhatikan tebal minimum yang mungkin dapat
dilaksanakan untuk setiap jenis lapis perkerasan yang dipilih.
15. Analisis biaya yang dibutuhkan untuk konstruksi struktur perkerasan
dengan membandingkan berbagai kombinasi lapis perkerasan yang
dipilih sehingga akhirnya diperoleh desain akhir.

6.2 Konstruksi Bertahap Sesuai Metode Pt T-01-2002-B

Konstruksi bertahap sesuai metode Pt T-01-2002-B dilakukan dengan


alasan yang sama dengan yang dikemukakan pada Bab 5.7. Tahap
pertama diambil lebih pendek dari tahap kedua yaitu 25% - 50% dari
umur rencana total. Langkah-langkah perencanaan tebal perkerasan
bertahap sama dengan tanpa bertahap, hanya saja reliabilitas yang
digunakan untuk konstruksi bertahap dihitung dengan Rumus 6.2
.............................
Rbertahap = (Rseluruh)1/n (6.2)

dengan:
Rbertahap = reliabilitas masing-masing tahapan
Rseluruh = reliabilitas keseluruhan tahapan
n = jumlah tahapan selama umur rencana

176
Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur Metode Pt-01-2002-B

6.3 Tinjauan Metode Pt T-01-2002-B Terhadap


Metode AASHTO 1993

Metode Pt T-01-2002-B merupakan metode yang identik dengan metode


AASHTO 1993, walaupun terdapat beberapa hal yang kurang sesuai
untuk digunakan di Indonesia. Tabel 6.4 menunjukkan perbedaan utama
antara Metode Pt T-01-2002-B dan AASHTO 1993.
Beberapa hal yang perlu dipertimbangkan pada Metode Pt T-01-2002-B
adalah:
1. Penggunaan satuan yang tak lazim digunakan di Indonesia yaitu
satuan imperial. Tebal lapis perkerasan dinyatakan dalam satuan inci.
2. Jenis lapis permukaan yang dipilih dapat bukan beton aspal,
sehingga IP0 memiliki variasi nilai. Rumus empiris yang dihasilkan
oleh AASHTO 1993 hanya untuk lapis beton aspal.
3. Kinerja perkerasan jalan di akhir umur rencana (IP t) sesuai AASHTO
1993 hanya terdiri dari 3 nilai yaitu 2; 2,5; dan 3; sedangkan IP t pada
Metode Pt T-01-2002-B ada yang kurang dari 2. Tabel angka ekivalen
yang disediakan tidak ada untuk nilai IPt kurang dari 2. Rumus 4.4
dan 4.5 yang dipergunakan untuk menghitung angka ekivalen seperti
pada tabel Lampiran 1 tidak dapat digunakan untuk menghitung
angka ekivalen dengan IPt kurang dari 2.
4. Daya dukung tanah dasar dinyatakan dengan M R sebagai hasil dari
pengujian sesuai AASHTO T274. Nilai M R diperoleh dengan memper-
hatikan kondisi muka air tanah dan untuk perencanaan digunakan M R
efektif.
5. Untuk nilai CBR kurang dari 10%, kedua metode memberikan
korelasi MR dengan nilai CBR.

177
Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur

6. Koefisien kekuatan relatif ditentukan berdasarkan nilai modulus dari


setiap jenis lapis perkerasan. Untuk menyesuaikan dengan jenis lapis
perkerasan yang biasa di Indonesia disarankan untuk menggunakan
Tabel 5.9.

Tabel 6.4 Perbedaan Metode AASHTO1993 dengan PtT-01-2002-B


Keterangan AASHTO 1993 Pt T-01-2002-B
IPo bervariasi antara ≤ 2,4
Indeks
sampai ≥ 4, sesuai dengan
Permukaan po = 4,2
jenis lapis permukaan yang
Awal
dipilih (Tabel 6.1)

Indeks IPt bervariasi antara 1,0; 1,5;


Permukaan pt = 2, 2,5; atau 3,0 2,0; atau 2,5, berdasarkan
Akhir fungsi jalan (Tabel 6.2)

Disediakan dalam bentuk


Disediakan dalam
tabel, tetapi tidak ada
bentuk tabel
untuk IPt =1,5 dan 1,0.

E sumbu tunggal tidak


Angka Ekivalen dibedakan antara
E sumbu tunggal roda
sumbu tunggal roda
tunggal dihitung dengan
tunggal dengan
rumus khusus.
sumbu tunggal roda
ganda

Angka
SN dalam inci SN dalam inci
Struktural

178
Perencanaan Tebal Lapis Tambah

BAB 7
Perencanaan Tebal Lapis Tambah

Struktur perkerasan jalan mengalami penurunan kinerja akibat berbagai


sebab antara lain repetisi beban lalulintas, air yang dapat berasal dari air
hujan, sistem drainase yang kurang baik, perubahan temperatur dan
intensitas curah hujan, kondisi geologi lingkungan, kondisi tanah dasar
yang kurang stabil, dan proses pelaksanaan yang kurang baik. Penurunan
kinerja struktur perkerasan tidak disebabkan hanya oleh satu faktor saja,
pada umumnya saling berkaitan yang dapat saja dimulai dari satu
penyebab.
Selama masa pelayanan struktur perkerasan mengalami penurunan
kinerja dari kinerja awal yang diharapkan yaitu sama dengan IP o, sampai
dengan kinerja akhir yaitu sama dengan IP t. Gambar 7.1 menggambarkan
penurunan kinerja tanpa adanya pemeliharaan.
Waktu penurunan kinerja dari IP o sampai dengan IPt diharapkan sama
dengan umur rencana. Namun, mutu struktur perkerasan, repetisi dan
beban lalulintas yang terjadi, kondisi lapis permukaan, dan drainase jalan
dapat mempercepat terjadinya penurunan kinerja. Jika dilakukan pemeli-
haraan secara periodik penurunan dari IP o sampai mencapai IPt terjadi
pada waktu yang lebih panjang. Gambar 7.2 menggambarkan penurunan
kinerja dengan adanya pemeliharaan.

179
Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur

Gambar 7.1 Penurunan kinerja perkerasan dari IPo ke IPt


tanpa pemeliharaan

Gambar 7.2 Penurunan kinerja perkerasan dari IP o ke IPt


dengan pemeliharaan

Struktur perkerasan jalan yang telah mencapai indeks permukaan sama


dengan IPt disebut sebagai perkerasan yang telah habis masa pela-
yanannya. Peningkatan kinerja struktur perkerasan agar mampu melayani
repetisi lalulintas selama umur rencana atau masa layanan berikutnya,

180
Perencanaan Tebal Lapis Tambah

dilakukan dengan memberikan lapis tambah ( overlay) tanpa atau dengan


pelebaran jalan. Kebutuhan akan pelebaran jalan ditentukan dari kemam-
puan ruang jalan melayani arus lalulintas, sedangkan pemberian lapis
tambah ditentukan dari kemampuan jalan menerima beban lalulintas.

Sebelum perencanaan tebal lapis tambah perlu dilakukan terlebih dahulu


pengumpulan data tentang kondisi struktur perkerasan jalan yang akan
diberi lapis tambah.

7.1 Survei Kondisi Perkerasan Jalan

Survei kondisi struktur perkerasan jalan terdiri dari:


1. survei kondisi permukaan jalan
2. survei kondisi struktur perkerasan jalan.

Survei kondisi permukaan jalan bertujuan untuk mengetahui tingkat


kenyamanan (rideability) permukaan jalan. Survei dibedakan atas survei
kenyamanan berkendaraan dan survei kerusakan permukaan jalan.
Survei kenyamanan berkendaraan dapat dilakukan dengan menggunakan
alat roughometer atau melakukan survei perjalanan dengan mengendarai
mobil berkecepatan tetap. Kenyamanan dikelompokkan menjadi nyaman,
kurang nyaman, dan tidak nyaman.

Survei kerusakan meliputi penilaian terhadap jenis, kualitas, dan kuantitas


kerusakan yang terjadi pada muka jalan. Kerusakan yang mungkin terjadi
antara lain retak (cracking), distorsi, cacat permukaan, pengausan, kege-
mukan (bleeding), dan atau penurunan pada bekas penanaman utilitas.

Survei kondisi struktur perkerasan jalan bertujuan untuk mengetahui


kondisi struktur perkerasan secara menyeluruh untuk memikul beban.

181
Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur

Survei dapat dilakukan dengan dua cara yaitu secara destruktif atau
secara non destruktif.

7.1.1 Kerusakan Jalan

Sesuai Manual Pemeliharaan Jalan No: 03/MN/B/1983 kerusakan dikelom-


pokkan menjadi:
1. retak (cracking)
2. distorsi
3. cacat permukaan
4. pengausan
5. kegemukan (bleeding)
6. penurunan pada bekas penanaman utilitas.

Pada umumnya kerusakan yang terjadi merupakan gabungan dari ber-


bagai jenis kerusakan sebagai akibat dari berbagai faktor yang saling
terkait.

Retak

Retak yang terjadi pada permukaan jalan dibedakan atas:


1. retak halus (hair cracks), yaitu retak dengan lebar celah lebih kecil
atau sama dengan 3 mm. Retak rambut berkembang menjadi retak
kulit buaya.
2. retak kulit buaya (aligator cracks), yaitu retak dengan lebar celah
lebih besar dari 3 mm yang saling berangkai membentuk serangkaian
kotak- kotak kecil yang menyerupai kulit buaya.
3. retak pinggir (edge cracks), yaitu retak memanjang jalan, dengan
atau tanpa cabang yang mengarah ke bahu dan terletak dekat bahu.

182
Perencanaan Tebal Lapis Tambah

4. retak sambungan bahu dan perkerasan (edge joint cracks), yaitu


retak memanjang yang terjadi pada sambungan bahu dengan
perkerasan jalan.
5. retak sambungan jalan (lane joint cracks), yaitu retak memanjang
yang terjadi pada sambungan 2 lajur lalu lintas.
6. retak sambungan pelebaran jalan ( widening cracks), yaitu retak me-
manjang yang terjadi pada sambungan antara perkerasan lama
dengan perkerasan pelebaran.
7. retak refleksi (reflection cracks), yaitu retak memanjang, melintang,
diagonal, atau membentuk kotak sebagai gambaran pola retakan di-
bawahnya.
8. retak susut (shrinkage cracks), yaitu retak yang saling bersambungan
membentuk kotak-kotak besar dengan sudut yang tajam, akibat per-
ubahan volume pada lapis permukaan.
9. retak slip (slippage cracks), yaitu retak yang bentuknya melengkung
seperti sabit, akibat kurang baiknya ikatan antara lapis permukaan dan
lapis dibawahnya.
Semua retak harus diperbaiki terlebih dahulu sebelum diberi lapis
tambah.

Distorsi

Distorsi atau perubahan bentuk disebabkan oleh lemahnya tanah dasar


atau pemadatan yang kurang pada lapis pondasi, sehingga terjadi tam-
bahan pemadatan akibat beban lalulintas.
Berbagai jenis distorsi adalah:
1. alur (rutting), terjadi pada lintasan roda kendaraan yang sejajar
dengan sumbu jalan, akibat terjadinya tambahan pemadatan akibat

183
Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur

beban lalulintas. Alur dapat menjadi tempat genangan air yang meng-
akibatkan timbulnya kerusakan yang lain.
2. keriting (corrugation), alur yang terjadi dalam arah melintang jalan,
akibat rendahnya stabilitas struktur perkerasan jalan.
3. sungkur (solving), deformasi plastis yang terjadi setempat, biasanya di
tempat kendaraan sering berhenti, kelandaian curam, atau tikungan
tajam.
4. amblas (grade depressions), terjadi setempat pada ruas jalan. Amblas
dapat dideteksi dengan adanya genangan air setempat. Adanya
amblas mempercepat terjadinya lubang pada perkerasan jalan.
5. jembul (upheaval), terjadi setempat pada ruas jalan, yang disebabkan
adanya pengembangan tanah dasar akibat adanya tanah ekspansif.
Semua distorsi harus diperbaiki terlebih dahulu sebelum diberi lapis
tambah.

Cacat Permukaan

Cacat permukaan biasanya merupakan kerusakan muka jalan akibat


kimiawi dan mekanis material lapis permukaan.
Berbagai jenis cacat permukaan adalah:
1. lubang (potholes), berupa mangkuk, berukuran bervariasi dari kecil
sampai dengan besar. Lubang menjadi tempat berkumpulnya air yang
dapat meresap kelapisan dibawahnya yang menyebabkan kerusakan
semakin parah.
2. pelepasan butir (raveling) lapis permukaan, akibat buruknya material
yang digunakan, adanya air yang terjebak, atau kurang baiknya
pelaksanaan konstruksi.

184
Perencanaan Tebal Lapis Tambah

3. pengelupasan lapis permukaan (stripping), akibat kurang baiknya


ikatan antara aspal dengan agregat atau terlalu tipisnya lapis
permukaan.

Semua cacat permukaan harus diperbaiki terlebih dahulu sebelum diberi


lapis tambah.

Pengausan

Pengausan (polished aggregate) yaitu permukaan jalan licin sehingga


mudah terjadi slip yang membahayakan lalulintas. Pengausan terjadi
akibat ukuran, bentuk, dan jenis agregat yang digunakan untuk lapis aus
tidak memenuhi mutu yang disyaratkan.

Kegemukan

Kegemukan (bleeding) yaitu naik dan melelehnya aspal pada temperatur


tinggi. Kegemukan yang mengakibatkan jejak roda kendaraan pada
permukaan jalan dan licin disebabkan oleh penggunaan aspal yang terlalu
banyak.
Gambar 7.3 sampai dengan Gambar 7.9 memperlihatkan berbagai jenis
kerusakan struktur perkerasan.

Gambar 7.3 Retak kulit buaya (aligator cracks)

185
Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur

Gambar 7.4 Retak sambungan jalan

Gambar 7.5 Retak melintang jalan

Gambar 7.6 Alur (rutting)

186
Perencanaan Tebal Lapis Tambah

Gambar 7.7 Lubang (potholes)

Gambar 7.8 Pelepasan butir

Gambar 7.9 Amblas (grade depressions)

187
Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur

Penurunan pada bekas penanaman utilitas

Penurunan pada bekas penanaman utilitas (utility cut depressions) yaitu


kerusakan yang terjadi akibat ditanamnya utilitas pada bagian perkerasan
jalan dan tidak dipadatkan kembali dengan baik. Hal ini dapat meng-
akibatkan distorsi pada permukaan dan berlanjut dengan kerusakan
lainnya.
Sebelum diberi lapis tambah, semua penurunan akibat penanaman utilitas
ini harus diperbaiki terlebih dahulu sebelum diberi lapis tambah.

7.1.2 Kondisi Struktur Perkerasan Jalan Lama

Survei kondisi struktur perkerasan jalan dibedakan melalui pemeriksaan


destruktif dan pemeriksaan nondestruktif. Pemeriksaan destruktif dilaku-
kan dengan mengambil benda uji atau pengamatan visual pada tes pit
atau sumur uji yang dibuat pada perkerasan jalan lama. Pemeriksaan
destruktif kurang disukai karena mengakibatkan kerusakan pada perke-
rasan jalan lama. Namun demikian perencanaan tebal lapis tambah
berdasarkan analisis komponen membutuhkan data kondisi perkerasan
jalan yang diperoleh melalui pemeriksaan destruktif.
Pemeriksaan nondestruktif dilakukan melalui pengujian lendutan di atas
perkerasan jalan lama tanpa merusak struktur perkerasan jalan. Oleh
karena itu banyak digunakan untuk pengumpulan data guna perencanaan
tebal lapis tambah.

Alat yang digunakan antara lain:


1. Benkelman beam, alat ini sangat umum digunakan di Indonesia
sejak 1980 an.
2. Falling Weight Deflectometer (FWD).

188
Perencanaan Tebal Lapis Tambah

Alat Falling Weight Deflectometer (FWD) terdiri dari rangkaian alat yang
ditarik oleh kendaraan penarik seperti pada Gambar 7.10.

Processor Komputer
Trailer FWD

Kendaraan Penarik

Unit Hidrolik
Rem tangan
Kotak penghubung

Roda Depan / Penahan


Beban pelat Batang pengukur
Deflektor

Sumber: Pd.T-05-2005-B
Gambar 7.10 Falling Weight Deflectometer

Prinsip kerja alat Falling Weight Deflectometer (FWD) adalah


memberikan beban impuls kepada perkerasan jalan melalui pelat beban
berbentuk lingkaran yang efeknya merupakan simulasi dari beban sumbu
standar yang bergerak. Beban impuls berupa beban yang dijatuhkan dari
ketinggian tertentu, menimbulkan lendutan yang efeknya ditangkap oleh
7 buah deflektor atau geophone yang diletakkan pada jarak–jarak
tertentu yaitu 0, 30, 40, 60, 90, 120, dan 150 cm dari pusat beban.
Pengukuran temperatur perkerasan, tempertur udara, dan kondisi
drainase dilakukan bersamaan dengan pengukuran lendutan akibat beban

189
Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur

impuls. Hasil pengukuran FWD berupa berupa cekung lendutan seperti


pada Gambar 7.11.
Dari hasil pengukuran dan dengan menggunakan perhitungan balik ( back
calculations) dapat hitung modulus resilent tanah dasar dan lapis
perkerasan.

Sumber: Branley D Gambar 7.11 Diagram cekung lendutan

7.2 Pengujian Lendutan Perkerasan Lentur Dengan Alat

Benkelman Beam

Batang Benkelman untuk mengukur lendutan perkerasan jalan pertama


kali diperkenalkan oleh A.C.Benkelman pada awal 1950. Batang Benkel-
man yang digunakan di Indonesia terbagi menjadi dua bagian dengan
perbandingan 1:2 oleh sumbu O, seperti pada Gambar 7.12, dengan
panjang total batang adalah (366 ± 0,16) cm.

190
Perencanaan Tebal Lapis Tambah

pendatar arloji pengukur


penggetar
Tumit batang (beam toe) batang pengukur
baterai

titik kontak tumit batang dengan permukaan jalan


pengunci kerangka kaki belakang
sumbu O
kaki depan

Sumber: Pd.T-05-2005-
B
Gambar 7.12 Alat Benkelman Beam

Untuk mengukur lendutan perkerasan jalan batang Benkelman diletakkan


di antara roda belakang truk yang memiliki sumbu belakang sama dengan
jenis dan beban sumbu standar. Posisi ujung batang Benkelman seperti
pada Gambar 7.13.

Sumber: Pd.T-05-2005-B

Beban

Berat kosong 5 Ton

4,08 Ton
Gambar 7.13 Posisi Benkelman Beam

191
Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur

Karakteristik truk yang digunakan sebagai penyebab beban pada titik


yang hendak diukur lendutannya adalah sebagai berikut:
1. Berat kosong truk (5 ± 0,1) ton
2. Sumbu belakang truk adalah sumbu tunggal roda ganda
3. Beban masing-masing roda belakang ban ganda = (4,08 ± 0,045
ton) atau (9000 ± 100) pon. Beban sumbu belakang truk sama
dengan sumbu standar 18.000 pon.

Temperatur udara dan temperatur permukaan jalan diukur bersamaan


dengan pengukuran lendutan dengan menggunakan alat seperti pada
Gambar 7.14.

Gambar 7.14 Alat pengukur


temperatur permukaan

Alat benkelman beam digunakan untuk mengukur lendutan balik,


lendutan balik titik belok, lendutan maksimum, dan cekung lendutan.
Namun, hanya lendutan balik yang umum digunakan untuk merenca-
nakan tebal lapis tambah.
Lendutan balik (rebound deflection) adalah besarnya lendutan balik
vertikal akibat beban pada titik pengamatan dihilangkan. Pengukuran

192
Perencanaan Tebal Lapis Tambah

dilakukan setelah truk bergerak maju ke depan sejarak 6 m dari titik


pengamatan dengan kecepatan 5 km/jam. Gambar 7.15 menunjukkan
posisi beban pada saat pengukuran lendutan balik.

Besarnya lendutan balik dipengaruhi oleh temperatur, beban dan muka


air tanah pada saat pengukuran. Prosedur pengukuran mengikuti SNI M-
01-1990-F yaitu Metode Pengujian Lendutan Perkerasan Lentur dengan
alat Benkelman Beam.

1 2

1 2 3
d

½d 1 2 3
d
6m

Sumber: No.01/MN/B/1983.

Gambar 7.15 Hubungan lendutan dengan pembacaan dial alat benkelman beam

7.2.1 Lendutan Balik

Berdasarkan Pedoman Pd.T-05-2005-B, besarnya lendutan balik


ditentukan dengan menggunakan Rumus 7.1.

d = 2 x (d3 – d1) x Ft x Ca x FKB-BB............................ (7.1)

193
Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur

dengan:
d = lendutan balik (mm)
d1 = lendutan pada saat beban tepat pada titik pengukuran
d3 = lendutan pada saat beban berada pada jarak 6 meter dari titik
pengukuran
Ft = faktor penyesuaian lendutan balik terhadap temperatur standar
35oC, sesuai Rumus 7.2. untuk tebal lapis beraspal (HL) < 10
cm dan Rumus 7.3 untuk tebal lapis beraspal ≥ dengan 10 cm.
Tabel 7.1 dan Gambar 7.16 menunjukkan nilai Ft untuk
berbagai nilai TL.

1,80
1,70
1,60
1,50 Kurva B (HL  10 cm)
)t
1,40
F 1,30
( 1,20
Faktor Koreksi Lendutan

1,10
a 1,00
n 0,90 Kurva B (HL < 10 cm)
0,80
n 0,70
d 0,60
u 0,50
t 0,40
L
e

2025303540455055606570
Temperatur Perkerasan, TL (oC)
o
Temperatur Perkerasan, TL ( C)

Sumber: Pd.T-05-2005-B

Gambar 7.16 Faktor koreksi lendutan balik terhadap temperatur standar

194
Perencanaan Tebal Lapis Tambah

Tabel 7.1 Faktor Koreksi Lendutan Terhadap Temperatur Standar (Ft)


Faktor Koreksi (Ft)
TL
o Kurva A Kurva B
( C)
(HL ≤ 10 cm) (HL ≥ 10 cm)
20 1,25 1,53
22 1,21 1,42
24 1,16 1,33
26 1,13 1,25
28 1,09 1,19
30 1,06 1,13
32 1,04 1,07
34 1,01 1,02
36 0,99 0,98
38 0,97 0,94
40 0,95 0,90
42 0,93 0,87
44 0,91 0,84
46 0,90 0,81
48 0,88 0,79
50 0,87 0,76
52 0,85 0,74
54 0,84 0,72
56 0,83 0,70
58 0,82 0,68
60 0,81 0,67
62 0,79 0,65
64 0,78 0,63
66 0,77 0,62
68 0,77 0,61
70 0,76 0,59
Sumber: Pd.T-05-2005-B

195
Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur

-0,4025
Ft = 4,184 x T , untuk H < 10 cm...........................(7.2)
L

-0,7573
Ft = 14,785 x T , untuk H ≥ 10 cm.........................(7.3)
L

TL = temperatur lapis beraspal, diperoleh dari pengukuran


langsung di lapangan atau dapat diprediksi dari tempearatur
udara, yaitu:

TL = 1/3 (Tp +Tt + Tb)....................................................(7.4)

Tp = temperatur permukaan beraspal

Tt = temperatur tengah beraspal, dari Tabel 7.2.

Tb = temperatur bawah beraspal, atau dari Tabel 7.2.

Ca = faktor pengaruh muka air tanah (faktor musim)

= 1,2; jika pengujian dilakukan pada musim kemarau atau


muka air tanah rendah

= 0,9; jika pengujian dilakukan pada musim hujan atau muka


air tanah tinggi

FKB-BB = faktor koreksi beban uji Benkelman beam


......................
FKB-BB = 77,343 x (beban uji dalam ton)(-2,0715) (7.5)

Lendutan balik yang telah dikoreksi akibat temperatur, muka air tanah,
dan beban uji digambarkan seperti contoh pada Gambar 7.17. Gambar ini
mempermudah melihat secara visual tingkat keseragaman lendutan untuk
penentuan batas segmen pada tahap perencanaan tebal lapis tambah.

196
Perencanaan Tebal Lapis Tambah

Tabel 7.2 Temperatur Tengah (Tt) dan Bawah (Tb) Lapis Beraspal
T u + Tp Temperatur lapis beraspal (oC) pada kedalaman
(oC) 2,5 cm 5,0 cm 10 cm 15 cm 20 cm 30 cm
45 26,8 25,6 22,8 21,9 20,8 20,1
46 27,4 26,2 23,3 22,4 21,3 20,6
47 28,0 26,7 23,8 22,9 21,7 21,0
48 28,6 27,3 24,3 23,4 22,2 21,5
49 29,2 27,8 24,7 23,8 22,7 21,9
50 29,8 28,4 25,2 24,3 23,1 22,4
51 30,4 28,9 25,7 24,8 23,6 22,8
52 30,9 29,5 26,2 25,3 24,0 23,3
53 31,5 30 26,7 25,7 24,5 23,7
54 32,1 30,6 27,1 26,2 25,0 24,2
55 32,7 31,2 27,6 26,7 25,4 24,6
56 33,3 31,7 28,1 27,2 25,9 25,1
57 33,9 32,3 28,6 27,6 26,3 25,5
58 34,5 32,8 29,1 28,1 26,8 26,0
59 35,1 33,4 29,6 28,6 27,2 26,4
60 35,7 33,9 30,0 29,1 27,7 26,9
61 36,3 34,5 30,5 29,5 28,2 27,3
62 36,9 35,1 31,0 30,0 28,6 27,8
63 37,5 35,6 31,5 30,5 29,1 28,2
64 38,1 36,2 32,0 31,0 29,5 28,7
65 38,7 36,7 32,5 31,4 30,0 29,1
66 39,3 37,3 32,9 31,9 30,5 29,6
67 39,9 37,8 33,4 32,4 30,9 30,0
68 40,5 38,4 33,9 32,9 31,4 30,5
69 41,1 39,0 34,4 33,3 31,8 30,9
70 41,7 39,5 34,9 33,8 32,3 31,4
71 42,2 40,1 35,4 34,3 32,8 31,8
72 42,8 40,6 35,8 34,8 33,2 32,3
73 43,4 41,2 36,3 35,2 33,7 32,8
74 44,0 41,7 36,8 35,7 34,1 33,2
75 44,6 42,3 37,3 36,2 34,6 33,7
76 45,2 42,9 37,8 36,7 35,0 34,1
77 45,8 43,4 38,3 37,1 35,5 34,6
78 46,4 44,0 38,7 37,6 36,0 35,0
79 47,0 44,5 39,2 38,1 36,4 35,5
80 47,6 45,1 39,7 38,6 36,9 35,9
81 48,2 45,6 40,2 39,0 37,3 36,4
82 48,8 46,2 40,7 39,5 37,8 36,8
83 49,4 46,8 41,2 40,0 38,3 37,3
84 50,0 47,3 41,6 40,5 38,7 37,7
85 50,6 47,9 42,1 40,9 39,2 38,2
Sumber: Pd.T-05-2005-B

197
Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur

1,000
0,900
0,800
0,700
0,600
)
m 0,500
0,400
( 0,300
Lendutan FWD

m 0,200
D 0,100
0,000
F
W
a
82,0

82,1

82,2

82,3

82,4

82,5

82,6

82,7

82,8

82,9

83,0

83,1

83,9
00

00

00

00

00

00

00

00

00

00

00

00

00
Km
K
Lendutan Rata-rata

Sumber: Pd.T-05-2005-B

Gambar 7.17 Contoh hasil pengukuran lendutan balik

7.2.2 Lendutan Balik Segmen

Segmen adalah bagian dari ruas jalan yang memiliki tingkat keseragaman
nilai lendutan balik. Tingkat keseragaman dikategorikan atas sangat baik,
baik, dan cukup baik yang ditentukan dengan menggunakan Faktor
Keseragaman (FK) seperti pada Rumus 7.6.

s
FK = x 100%.................................................(7.6)
dR

dengan:
FK = faktor keseragaman
dR = lendutan balik rata-rata pada satu segmen jalan

198
Perencanaan Tebal Lapis Tambah

d s

1
dR = ........................................................ (7.7)
ns

S = deviasi standar atau simpangan baku

ns ns


ns ( d2 )  ( d)2 
S =......................................................................(7.8)
11
ns (ns 1)

d = lendutan balik
ns = jumlah data lendutan balik dalam satu segmen.

FK ijin adalah FK yang diijinkan untuk satu segmen jalan, atau nilai FK
yang dapat diterima untuk menunjukkan keseragaman satu segmen
jalan.
Ada 3 kategori tingkat keseragaman yaitu:
1. 0 – 10%, keseragaman sangat baik
2. 11 – 20%, keseragaman baik
3. 21 – 30%, keseragaman cukup baik.

Dwakil adalah nilai lendutan balik yang digunakan untuk menunjukkan


lendutan balik satu segmen jalan dan digunakan untuk perencanaan tebal
lapis tambah. Penentuan Dwakil dipengaruhi oleh fungsi jalan dan tingkat
kepercayaan yang digunakan. Rumus dasar adalah:

Dwakil = dR + K.s..........................................................(7.9)

dengan:
Dwakil = lendutan balik untuk mewakili satu segmen jalan

199
Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur

dR = lendutan balik rata-rata dari satu segmen jalan


K = konstanta terkait dengan tingkat kepercayaan yang dipilih
sesuai fungsi jalan
K = 2, tingkat kepercayaan 98%, digunakan untuk jalan arteri atau
tol
K = 1,64, tingkat kepercayaan 95%, digunakan untuk jalan kolektor
K = 1,28, tingkat kepercayaan 90%, digunakan untuk jalan lokal.

7.3 Perencanaan Tebal Lapis Tambah Berdasarkan


Metode SNI 1732-1989-F

Perencanaan tebal lapis tambah menggunakan metode SNI 1732-1989-F


hakikatnya sama dengan perencanaan tebal lapis perkerasan jalan baru
yang telah diuraikan pada Bab 5. Tebal lapis tambah diperoleh berdasar-
kan kinerja sisa dari lapis perkerasan jalan lama yang diperoleh sebagai
hasil pemeriksaan visual.

Langkah-langkah perencanaan tebal lapis tambah menggunakan Metode


SNI 1732-1989-B adalah sebagai berikut:

1. Tentukan ITP dengan mengikuti prosedur seperti pada Bab 5.8 sesuai
umur rencana. ITP ini adalah ITP yang dibutuhkan sesuai kondisi
daya dukung tanah dasar.
2. Tentukan ITPsisa dari perkerasan jalan yang akan diberi lapis tambah
dengan menggunakan Rumus 7.10.

ITPsisa = K1.a1D1 + K2.a2D2 + K3.a3D3...................... (7.10)

200
Perencanaan Tebal Lapis Tambah

dengan:
K1 = kondisi lapis permukaan berdasarkan nilai pada Tabel 7.3.
K2 = kondisi lapis pondasi berdasarkan nilai pada Tabel 7.3.
K3 = kondisi lapis pondasi bawah berdasarkan nilai pada
Tabel 7.3.
a1,a2,a3 = koefisien relatif untuk lapis permukaan, pondasi, dan
pondasi bawah (baca juga Bab 5.5)
D1,D2,D3 = tebal lapis permukaan, pondasi, dan pondasi bawah

(baca juga Bab 5.5)

3. Tentukan ∆ ITP dengan menggunakan Rumus 7.11.

∆ ITP = ITP ITPsisa ................................................(7.11)


-

4. Tentukan tebal lapis tambah dengan menggunakan Rumus 7.12.

ΔITP
D tambah ................................................(7.12)
= a1

7.4 Perencanaan Tebal Lapis Tambah Berdasarkan


Metode Pt T-01-2002-B

Perencanaan tebal lapis tambah menggunakan Metode Pt T-01-2002-B


yang sesuai dengan AASHTO 1993 dapat dilakukan melalui perhitungan
balik (backcalculation) dari nilai lendutan hasil pengukuran dengan FWD
atau menggunakan analisis komponen dari perkerasan jalan lama. Pada
buku ini hanya diuraikan perencanaan tebal lapis tambah menggunakan
analisis komponen.

201
Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur

Tabel 7.3 Nilai Kondisi Perkerasan Jalan


Nilai Kondisi
Keterangan Perkerasan
(%)
1. Lapis Permukaan:
a. Umumnya tidak retak, hanya sedikit deformasi
pada lajur roda 90 – 100

b. Terlihat retak halus, sedikit deformasi pada


lajur roda, namun masih tetap stabil 70 – 90
c. Retak sedang, beberapa deformasi pada lajur
roda, pada dasarnya masih menunjukkan ke-
stabilan 50 – 70
d. Retak banyak, demikian juga deformasi pada
lajur roda, menunjukkan gejala ketidak stabil- 30 - 50
an
2. Lapis Pondasi:
a. Pondasi beton aspal atau penetrasi makadam
- umumnya tidak retak 90 – 100
- terlihat retak halus, namun masih tetap stabil 70 - 90
- retak sedang, pada dasarnya masih menun-
jukkan kestabilan 50 – 70
- retak banyak, menunjukkan gejala ketidak 30 – 50
stabilan
b. Stabilisasi tanah dengan semen atau
70 – 100
kapur: Indeks Plastisitas ≤ 10%
c. Pondasi Macadam atau batu pecah
Indeks Plastisitas ≤ 6% 80 - 100

3. Lapis pondasi bawah:


Indeks Plastisitas ≤ 6% 90 – 100
Indeks Plastisitas > 6% 70 – 90
Sumber: SNI 1732-1989-B

202
Perencanaan Tebal Lapis Tambah

Langkah-langkah perencanaan tebal lapis tambah berdasarkan analisis


komponen yang menggunakan Metode Pt T-01-2002-B adalah sebagai
berikut:
1. Tentukan SN dengan mengikuti prosedur seperti pada Bab 6.1 sesuai
umur rencana. SN ini adalah SN yang dibutuhkan sesuai kondisi daya
dukung tanah dasar.

2. Tentukan SN efektif dari perkerasan jalan yang akan diberi lapis


tambah dengan menggunakan Rumus 7.13.

SNeff = a1’D1’ + a2’ m2D2’ + a3’ m3D3’..........................(7.13)

dengan:

SN = angka struktural efektif dari perkerasan jalan lama, inci

a1’ = koefisien kekuatan relatif lapis permukaan sesuai kondisi

jalan lama yang diperoleh dari Tabel 7.4

a2’ = koefisien kekuatan relatif lapis pondasi sesuai kondisi

jalan lama yang diperoleh dari Tabel 7.4

a 3’ = koefisien kekuatan relatif lapis pondasi bawah sesuai

kondisi jalan lama yang diperoleh dari Tabel 7.4

D1’ = tebal lapis permukaan jalan lama, inci

D2’ = tebal lapis pondasi jalan lama, inci

D3’ = tebal lapis pondasi bawah jalan lama, inci

203
Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur

*)
Tabel 7.4 Koefisien Kekuatan Relatif (a) Jalan Lama

Koefisien
Bahan Kondisi Permukaan Kekuatan
Relatif (a)
Terdapat sedikit atau sama sekali tidak
terdapat retak kulit buaya dan/atau
hanya terdapat retak melintang dengan 0,35 – 0,40
tingkat keparahan rendah.
< 10% retak kulit buaya dengan tingkat
keparahan rendah dan/atau 0,25 – 0,35
< 5% retak melintang dengan tingkat
keparahan sedang dan tinggi
> 10% retak kulit buaya dengan tingkat
keparahan rendah dan/atau
< 10% retak kulit buaya dengan tingkat 0,20 – 0,30
Lapis keparahan sedang dan/atau 5-10%
permukaan retak melintang dengan tingkat
beton aspal keparahan sedang dan tinggi
> 10% retak kulit buaya dengan tingkat
keparahan sedang dan/atau 0,14 – 0,20
< 10% retak kulit buaya dengan tingkat
keparahan tinggi dan/atau > 10% retak
melintang dengan tingkat keparahan
sedang dan tinggi

> 10% retak kulit buaya dengan tingkat 0,08 – 0,15


keparahan tinggi dan/atau
> 10% retak melintang dengan tingkat
keparahan tinggi

Lapis Terdapat sedikit atau sama sekali tidak


pondasi terdapat retak kulit buaya dan/atau 0,20 – 0,35
yang hanya terdapat retak melintang dengan
distabilisasi tingkat keparahan rendah.

204
Perencanaan Tebal Lapis Tambah

Koefisien
Bahan Kondisi Permukaan Kekuatan
Relatif (a)
< 10% retak kulit buaya dengan tingkat
keparahan rendah dan/atau
< 5% retak melintang dengan tingkat 0,15 – 0,25
keparahan sedang dan tinggi.
> 10% retak kulit buaya dengan tingkat
keparahan rendah dan/atau
< 10% retak kulit buaya dengan tingkat 0,15 – 0,20
keparahan sedang dan/atau 5-10%
retak melintang dengan
Lapis
tingkat keparahan sedang dan
pondasi
tinggi.
yang > 10% retak kulit buaya dengan tingkat
distabilisasi keparahan sedang dan/atau
< 10% retak kulit buaya dengan tingkat 0,10 – 0,20
keparahan tinggi dan/atau > 10% retak
melintang dengan tingkat keparahan
sedang dan tinggi.
> 10% retak kulit buaya dengan tingkat
keparahan tinggi dan/atau 0,08 – 0,15
> 10% retak melintang dengan tingkat
keparahan tinggi.
Lapis Tidak ditemukan adanya pumping, de-
pondasi gradasi, atau kontaminasi oleh butir 0,10 – 0,14
atau lapis halus.
pondasi
bawah Terdapat pumping, degradasi, atau 0,00 – 0,10
granular kontaminasi oleh butir halus.
Keterangan:
*)
Penilaian dilakukan untuk tiap segmen jalan 100m. Kerusakan yang
terjadi diperbaiki atau dikoreksi, maka nilai kondisi perkerasan jalan
harus disesuaikan. Nilai ini dipergunakan untuk mengkoreksi koefisien
kekuatan relatif perkerasan jalan lama
Sumber: Pt T-01-2002-B

205
Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur

3. Tentukan SNol yaitu SN yang dibutuhkan untuk tebal lapis tambah


dengan menggunakan Rumus 7.14.

SNol = SN - SNeff.........................................................(7.14)

4. Tentukan tebal lapis tambah dengan menggunakan Rumus 7.15


Dol = SNol SN  ............................................ (7.15)
SNeff 
aol aol

dengan:
Dol = tebal lapis tambah dalam inci
aol = koefisien relatif lapis tambah
SNol = SN tebal lapis tambah dalam inci

7.5 Perencanaan Tebal Lapis Tambah Berdasarkan


Metode No.01/MN/B/1983

Perencanaan tebal lapis tambah Metode No.01/MN/B/1983 mengikuti


metode yang dikembangkan oleh Asphalt Institute. Tebal lapis tambah
ditentukan berdasarkan data lendutan balik yang diperoleh dari hasil
pengukuran dengan menggunakan alat benkelman beam (baca juga Bab
7.2).

Langkah-langkah perencanaan tebal lapis tambah menggunakan data


lendutan balik sesuai Metode No.01/MN/B/1983 adalah sebagai berikut:
1. Tentukan AE18ksal dengan menggunakan Rumus 7.16.

AE18KSAL=  LHRi x Ei x DA x DL x 365 x N.............................(7.16)

Rumus 7.16 ini sama dengan Rumus 4.8, yaitu menghitung repetisi
beban sumbu standar pada lajur rencana selama umur rencana.

206
Perencanaan Tebal Lapis Tambah

2. Tentukan Dwakil dari segmen sesuai Rumus 7.9.

3. Tentukan lendutan balik yang diizinkan berdasarkan AE18KSAL dengan


menggunakan Gambar 7.18 atau Gambar 7.19. Gambar 7.18
digunakan untuk kondisi kritis, yaitu jika lapis permukaan bukan dibuat
dari beton aspal, sedangkan Gambar 7.19 digunakan untuk kondisi
failure, yaitu jika lapis permukaan dibuat dari beton aspal.
Di
zin

Gambar 7.18 Lendutan balik yang diizinkan berdasarkan kondisi kritis

Rumus 7.17 dapat digunakan untuk menentukan lendutan balik yang


diijinkan (Dizin) untuk kondisi kritis, yaitu jika digunakan lapis permukaan
bukan lapis beton aspal.

Dizin = 5,5942. e-0,2769 log AE18KSAL.......................................(7.17)

207
Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur

Rumus 7.18 dapat digunakan untuk menentukan lendutan balik yang


diijinkan (Dizin) untuk kondisi failure, yaitu jika digunakan beton aspal
sebagai lapis permukaan.

Dizin = 8,6685. e-0,2769 log AE18KSAL.......................................(7.18)


Di
zin

Gambar 7.19 Lendutan balik yang diizinkan berdasarkan kondisi failure

4. Tentukan tebal lapis tambah berdasarkan lendutan balik yang diizinkan


dan Dwakil dari kondisi jalan lama dengan menggunakan Gambar 7.20.
Dwakil menunjukkan lendutan balik sebelum diberi lapis tambah, dan
Dizin menunjukkan lendutan balik setelah diberi lapis tambah. Jenis
lapis tambah yang diperoleh adalah jenis beton aspal. Jika hendak
digunakan jenis perkerasan lainnya tebal lapis tambah yang diperoleh
dari Gambar 7.20 dikonversikan dengan menggunakan koefisien relatif
(baca juga Bab 5.5.)

208
Perencanaan Tebal Lapis Tambah

2,0

Lendutan setelah lapis tambah,

1,5

1,0

0,5
1,00 1,50 2,00 2,50 3,00 3,50

Lendutan sebelum Lapis Tambah (mm)

Sumber: No.01/MN/B/1983

Gambar 7.20 Hubungan lendutan balik sebelum dan estela diberi lapis tambah

7.6 Perencanaan Tebal Lapis Tambah Berdasarkan


Metode Road Design System (RDS)

Metode RDS ini dikembangkan sejak tahun 1980an dan sebelumnya


dikenal sebagai Hot Rolled Overlay Design (HRODI). Tebal lapis tambah
terdiri dari tebal yang dibutuhkan untuk membentuk bentuk permukaan
kembali dan tebal untuk meningkatkan kinerja struktur perkerasan.

Langkah-langkah perencanaan tebal lapis tambah menggunakan Metode


RDS adalah sebagai berikut:
1. Tentukan RCI dari jalan lama dengan menggunakan alat roughometer
atau secara visual dengan menggunakan Tabel 7.5.

2. Tentukan ESA dengan menggunakan Rumus 7.19

ESA=  LHRi x Ei x DA x DL x 365 x N...........................(7.19)

209
Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur

Rumus 7.19 ini sama dengan Rumus 4.8, yaitu menghitung repetisi
beban sumbu standar pada lajur rencana selama umur rencana.

Tabel 7.5 Nilai RCI secara visual


Kondisi permukaan
RCI jalan beraspal ditinjau Tipe permukaan yang khas
secara visual
Beton aspal yang baru setelah
8 -10 Sangat rata dan teratur peningkatan dengan menggunakan
beberapa lapis
Beton aspal setelah pemakaian
Sangat baik, umumnya beberapa tahun atau beton aspal yang
7-8
rata baru diletakkan sebagai lapisan tipis di
atas penetrasi macadam
Lapisan tipis lama dari beton aspal,
6-7 Baik
lasbutag baru.
Cukup, sedikit sekali Penetrasi macadam baru, latasbum
atau tidak ada lubang- baru, lasbutag setelah pemakaian
5-6 lubang, tetapi beberapa lama
permukaan jalan tidak
rata
Jelek, kadang-kadang Penetrasi macadam setelah pemakaian
4–5 ada lubang, permukaan 2 atau 3 tahun, latasbum baru,
tidak rata pemeliharaan jelek, berkerikil.
rusak, bergelombang, Penetrasi macadam lama, latasbum
3–4
banyak lubang lama, pemeliharaan jelek, berkerikil
rusak berat, banyak Semua tipe perkerasan yang tidak
lubang dan seluruh dipelihara sejak lama
2–3
daerah perkerasan
hancur
tidak dapat dilewati Jalan tanah dengan drainase jelek, tipe
1 kecuali oleh jeep sumbu perkerasan yang tidak dipelihara sama
ganda sekali.
Sumber: CER:04

3. Tentukan Dwakil dari segmen sesuai Rumus 7.9.

210
Perencanaan Tebal Lapis Tambah

4. Tentukan tebal lapis tambah untuk membentuk kembali bentuk


permukaan yang telah rusak dengan menggunakan Rumus 7.20.

T = 0,001 (9 – RCI)4,5 + Pd. Cam/4 + Tmin.....................(7.20)

dengan:
T = tebal lapis tambah untuk membentuk kembali permukaan
yang telah rusak, cm
Pd = lebar perkerasan dalam meter
RCI = Road Condition Index seperti pada Tabel 7.5 atau hasil
pengukuran dengan alat roughometer
Cam = perubahan kemiringan melintang yang dibutuhkan untuk
menghasilkan kemiringan melintang yang direncanakan
Tmin = tebal minimum lapisan penutup minimal 2 cm, tetapi jika RCI
≥ 5, maka Tmin = 0

5. Tentukan tebal lapis tambah untuk meningkatkan kinerja struktur


perkerasan jalan dengan menggunakan Rumus 7.21.

2,303log Dwakil  0,048(1 log ESA).................................


t= 0,08  0,013log ESA (7.21)

dengan:
t = tebal lapis tambah untuk meningkatkan struktur perkerasan
jalan
Dwakil = lendutan balik yang mewakili lendutan balik
sepanjang satu segmen
ESA = repetisi beban lalulintas selama umur rencana

6. Tebal lapis tambah yang dibutuhkan adalah HRS setebal t + T cm.

211
Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur

7.7 Perencanaan Tebal Lapis Tambah Berdasarkan


Metode Pd T-05-2005-B

Perencanaan tebal lapis tambah Metode Pd T-05-2005-B ditentukan


berdasarkan data lendutan balik yang diperoleh dari hasil pengukuran
dengan menggunakan alat benkelman beam (baca juga Bab 7.2).

Langkah-langkah perencanaan tebal lapis tambah menggunakan data


lendutan balik sesuai Metode Pd T-05-2005-B adalah sebagai berikut:
1. Angka ekivalen dihitung untuk setiap jenis kendaraan dengan terlebih
dahulu dihitung angka ekivalen masing-masing sumbu. Rumus untuk
menghitung angka ekivalen sesuai jenis sumbu seperti pada Rumus
7.22 sampai dengan Rumus 7.25.
beban
Esumbu tunggal roda tunggal..................................................= (
sumbu tunggal, kg
)4 (7.22)
5.400
beban
Esumbu tunggal roda ganda...................................................= (
sumbu ganda, kg
)4 (7.23)
8.160

beban
Esumbu tandem
sumbu tunggal, kg roda ganda...................................................= (
)4 (7.24)
13.760
beban
Esumbu tripel roda ganda.......................................................= (
sumbu ganda, kg
)4 (7.25)
18.450

Angka ekivalen untuk berbagai jenis dan beban sumbu dapat dilihat
pada Lampiran 2.

2. Tentukan akumulasi ekivalen beban sumbu standar (Cummulative


Equivalent Single Axleload) dengan menggunakan Rumus 7.26.

in

 212
CESA = LHRi x 365 x Ei x Ci x N..................................(7.26)
i1

213
Perencanaan Tebal Lapis Tambah

dengan:

CESA = akumulasi ekivalen beban sumbu standar selama umur


rencana, lss/ur/lajur
LHRi = LHR jenis kendaraan i di awal umur rencana,
ditentukan dengan menggunakan Rumus 5.3.
Ei = angka ekivalen untuk jenis kendaraan i
Ci = koefisien distribusi jenis kendaraan i

365 = lama hari dalam satu tahun

N = faktor umur rencana, seperti pada Tabel 4.10 atau


menggunakan Rumus 4.10.

Rumus 7.24 ini memiliki pengertian yang sama dengan Rumus 4.8;
Rumus 4.9; dan Rumus 7.16, hanya saja beberapa parameter meng-
gunakan simbul yang berbeda.

3. Hitunglah lendutan balik rencana atau lendutan balik izin dengan


menggunakan Rumus 7.27 atau Gambar 7.21.
.................................................
Drencana = 22,208 x CESA(-0,2307) (7.27)

dengan:

Drencana = lendutan balik rencana dimana lendutan diukur dengan


menggunakan alat benkelman beam.

4. Hitung tebal lapis tambah (H0) dengan menggunakan Rumus 7.28 atau
Gambar 7.22.

[Ln(1,0364)  Ln(Dsblov )  Ln(Dstlov


H0 = .............................. (7.28)
)] 0,0597

214
Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur

dengan:
Ho = tebal lapis tambah sebelum dikoreksi dengan temperatur
rata-rata tahunan di lokasi jalan, dalam satuan cm.
Dsblov = lendutan balik sebelum lapis tambah, = Dwakil pada Bab 7.2,
dalam satuan mm..
Dstlov = lendutan balik setelah lapis tambah, = lendutan balik
rencana = lendutan balik izin, dalam satuan mm.

Sumber: Pd T-05-2005-B

Gambar 7.21 Hubungan antara lendutan balik rencana dan CESA

5. Hitung faktor koreksi lapis tambah akibat perbedaan teperatur lokasi


jalan dengan temperatur standar dengan menggunakan Rumus 7.29
atau Gambar 7.23.

..............................
Fo = 0,5032 x Exp(0,0194 x TPRT)
(7.29)
dengan:
Fo = faktor koreksi tebal lapis tambah
TPRT = Temperatur Perkerasan Rata-rata Tahunan untuk
daerah atau kota tertentu

215
Perencanaan Tebal Lapis Tambah

Sumber: Pd T-05-2005-B

Gambar 7.22 Hubungan antara lendutan balik sebelum dan setelah lapis tambah

Sumber: Pd T-05-2005-B

Gambar 7.23 Faktor koreksi tebal lapis tambah (Fo)

216
Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur

6. Hitung tebal lapis tambah terkoreksi (Ht) dengan mengalikan Ho


dengan faktor koreksi lapis tambah Fo seperti Rumus 7.30.

Ht = Ho x Fo..............................................................(7.30)

7. Koreksi tebal lapis tambah jika jenis lapis tambah yang digunakan
tidak lapis beton aspal dengan modulus resilient (M R) = 2000 Mpa dan
stabilitas Marshall minimum 800 kg dengan menggunakan Rumus
7.31, Tabel 7.6, atau Gambar 7.24.
..............................................
FKTBL = 12,51 x MR-0,333 (7.31)

Sumber: Pd T-05-2005-B

Gambar 7.24 Faktor koreksi tebal lapis tambah penyesuaian jenis lapisan

Tabel 7.6 Faktor Koreksi Penyesuaian Jenis Lapis Tambah (FKTBL)


Modulus Stabilitas
Jenis Lapisan FKTBL
Resilient, MPa Marshall, kg
Laston Modifikasi 3000 min 1000 0,85
Laston 2000 min 800 1,00
Lataston 1000 min 800 1,23
Sumber: Pd T-05-2005-B

217
Daftar Pustaka

DAFTAR PUSTAKA

1. AASHTO, 1972, AASHTO Interim Guide for Design of Pavement


Structures.

2. AASHTO, 1993, AASHTO Guide for Design of Pavement Structures.

3. AASHTO, 1990, Standard Spesifications for Transportation Materials


and Methods of Sampling and Testing.

4. AASHTO Subcommittee on Highway Transport, 2004, Engineering


Issues Related to Trucking – Pavements.

5., Traffic Monitoring Guide.

6. Bian, Yi, Subgrade under the Pavement, Term Project for ECI281A.

7. Branley D, 2002, Falling Weight Deflectometers, University of Illinois


at Urbana.

8. California Department of Transportation, 2001, Flexible Pavement


Rehabilitation Manual.

9. Croney, D & Croney P., 1991, The Design And Performance Of Road
Pavements, Second Edition, McGraw-Hill International Edition.

10. Departemen Pekerjaan Umum, Cara Uji CBR Dengan Dynamic Cone
Penetrometer (DCP).

11. Departemen Pekerjaan Umum Badan Pembinaan Konstruksi dan


Sumber Daya Manusia Pusat Pembinaan Kompetensi dan pelatihan
Konstruksi, CER:04, Standar Desain Jalan.

12. Departemen Pekerjaan Umum, Badan Penelitian dan Pengem-


bangan, Pusat Litbang Jalan Dan Jembatan, 2007, Spesifikasi Umum
Bidang Jalan Dan Jembatan.

218
Perkerasan Lentur Jalan Raya

13. Departemen Pekerjaan Umum Direktorat Jenderal Bina Marga,


Manual Pemeriksaan Perkerasan Jalan Dengan Alat Benkelman Beam
No. 01/MN/BM/83.

14. Departemen Pekerjaan Umum, Petunjuk Perencanaan Tebal Perke-


rasan Lentur Jalan Raya Dengan Metode Analisa Komponen, SKBI
2.3.26.1987, UDC:625.73(02).

15. Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah, Pedoman Peren-


canaan Tebal Perkerasan Lentur, Pt T-01-2002-B.

16. Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah, Pedoman Peren-


canaan Tebal Lapis Tambah Perkerasan Lentur Dengan Metode
Lendutan, Pd T-05-2005-B.

17. Harman Thomas, 2001, 2002 Pavement Design, US Department of


Transportation, Federal Highway Administration.

18. Janisch,David, 2003, An Overview of Mn/DOT’s Pavement Condition


Rating Procedures and Indices.

19. Japan Road Association, 1980, “Manual for Design and Construction
of Asphalt Pavement”.

20. Krebs, R and Walker R, 1971, Highway Materials, McGraw-Hill Book


Company, New York.

21. LTRC, Research Project 03-3P, 2003, Comparative Evaluation of


Subgrade Resilient Modulus from Non-destructive, In-situ, and
Laboratory Methods.

22. Monsere Chris, Portland State University, CE 454 Urban Trans-


portation System, Introduction to Pavement Design.

23. Olidis, C & Hein, D, Guide for the Mechanistic-Empirical Design of


New and Rehabilitated Pavement Structures, Material Charac-

219
Daftar Pustaka

terization, 2004 Annual Conference of the Transportation Asso-ciation


of Canada, Quebec.

24. Peraturan Pemerintah No.43 Tahun 1993 tentang Prasarana dan Lalu
lintas Jalan.

25. Purnomo, 2005, Manajemen Pembangunan Jalan.

26. Rao S, Weigh-In Motion (WIM) Detectors, 2002.

27. Rohan Perera, Effect of variation of simulation speed of quarter car


ini the IRI algorithm, Pymouth, Michigan.

28. Seeds,SB, 1999, Flexible Pavement Design, Summary of the State of


the Art.

29. SNI 03-1738-1989, Metode Pengujian CBR Lapangan.

30. SNI 03-2416-1991, Metode Pengujian Lendutan Perkerasan Lentur


Dengan Alat Benkelman Beam.

31. Suaryana N. & Anggodo Y, Kajian Metoda Perencanaan Tebal Lapis


Tambah Perkerasan Lentur, Puslitbang Jalan Dan jembatan,
Bandung.

32. Sukirman S., 1999, Perkerasan Lentur Jalan Raya, Nova, Bandung.

33. Sukirman S., 2003, Beton Aspal Campuran Panas, Granit, Jakarta.

34. Sukirman S., 2006, Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur, Institut


Teknologi Nasional,Bandung.

35. TRRL, Road Note No.40, A Guide to The Measurement Of Axle Loads
In Developing Countries Using A Portable Weighbridge.

36. Tutumluer, R. & Dawson, A., 2004, Resilient Characterization of


Compacted Aggregate

37. Undang-Undang Republik Indonesia No.38 Tahun 2004 tentang Jalan

220
Perkerasan Lentur Jalan Raya

38. Undang-Undang Republik Indonesia No.22 Tahun 2009 tentang


Lalulintas Dan Angkutan Jalan

39. Washington State Department of Transportation, 1995, WSDOT


Pavement Guide, Volume 2, Pavement Notes, For Design, Evaluation
and Rehabilitation.

40. Wright, PH and Dixon K, 2004, Highway Engineering, John Wiley &
Sons Pte,Ltd, Singapore

41. Witczak, M.W., 2001, Design of New and Rehabilitated AC Pavement


Design Structures, Scandinavian Seminar Series.

42. Wu, Z, 2007, Structural Overlay Design Using NDT Methods,


Louisiana Transportation Research Center.

43. http://www.pages.drexel.edu/hsuanyg/classnote%.

44. http://www.pages.drexel.edu/hsuanyg/classnote2

45. http://www.mapc.org/transportation/Highway_Design_Guidelines

46. http://www.vhb.com/mhdGuide

47. http://cobweb.ecn.purdue.edu/~spave

48. http://pas.ce.wsu.edu/CE473

49. http://www.u.arizona.edu/~mhickman/CE363

50. http://www.cecs.pdx.edu

51. http://www.engr.psu.edu/ce/Academics

52. http://www2.et.byu.edu/~msaito/CE361MS

221
Lampiran 1, Tabel Angka Ekivalen Berdasarkan AASHTO’93

LAMPIRAN 1
Angka ekivalen Berdasarkan AASHTO’93
Dilengkapi dengan nilai angka ekivalen berdasarkan
SNI 1732-1989-F dan Pd.T-05-2005-B

Tabel L 1.1 Nilai Angka Ekivalen Untuk Sumbu Tunggal, IPt = 2,0
Beban SNI Pd.T-05-
Angka Struktural (SN)1)
Sumbu 1732- 2005-B3)
1989- Roda
kips ton 1 2 3 4 5 6 ganda
F2)
2 0,9 0,0002 0,0002 0,0002 0,0002 0,0002 0,0002 0,0001 0,0001
4 1,8 0,002 0,003 0,002 0,002 0,002 0,002 0,002 0,002
6 2,7 0,01 0,01 0,01 0,01 0,01 0,01 0,01 0,01
8 3,6 0,03 0,04 0,04 0,03 0,03 0,03 0,04 0,04
10 4,5 0,08 0,08 0,09 0,08 0,08 0,08 0,09 0,09
12 5,4 0,16 0,18 0,19 0,18 0,17 0,17 0,19 0,19
14 6,4 0,32 0,34 0,35 0,35 0,34 0,33 0,38 0,38
16 7,3 0,59 0,60 0,61 0,61 0,60 0,60 0,64 0,64
18 8,2 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00
20 9,1 1,61 1,59 1,56 1,55 1,57 1,60 1,55 1,55
22 10,0 2,49 2,44 2,35 2,31 2,35 2,41 2,26 2,26
24 10,9 3,71 3,62 3,43 3,33 3,40 3,51 3,18 3,18
26 11,8 5,36 5,21 4,88 4,68 4,77 4,96 4,37 4,37
28 12,7 7,54 7,31 6,78 6,42 6,52 6,83 5,87 5,87
30 13,6 10,4 10,0 9,2 8,7 8,7 9,2 7,72 7,72
32 14,5 14,0 13,5 12,4 11,5 11,5 12,1 9,97 9,97
34 15,4 18,6 17,9 16,3 15,0 14,9 15,6 12,69 12,69
36 16,3 24,2 23,3 21,2 19,3 19,0 19,9 15,92 15,92
38 17,2 31,1 30,0 27,1 24,6 24,0 25,1 19,74 19,74
40 18,1 39,6 38,0 34,3 30,9 30,0 31,3 24,21 24,21
42 19,0 49,7 47,7 43,0 38,6 37,2 38,5 29,39 29,39
44 19,9 61,8 59,3 53,4 47,6 45,7 47,1 35,37 35,37
46 20,8 76,1 73,0 65,6 58,3 55,7 57,0 42,22 42,22
48 21,7 92,9 89,1 80,0 70,9 67,3 68,6 50,01 50,01
50 22,6 113,0 108,0 97,0 86,0 81,0 82,0 58,84 58,84
1)
Sumber: AASHTO’93
2)
menggunakan Rumus 5.1
3)
menggunakan Rumus 7.23

222
Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur

Tabel L 1.2 Nilai Angka Ekivalen Untuk Sumbu Tandem, IPt = 2,0
Beban SNI
Angka Struktural (SN)1)
sumbu 1732- Pd.T-05-
1989- 2005-B3)
kips ton 1 2 3 4 5 6
F2)
2 0,9 0,0000 0,0000 0,0000 0,0000 0,0000 0,0000 0,00001 0,00002
4 1,8 0,0003 0,0003 0,0003 0,0002 0,0002 0,0002 0,0002 0,0003
6 2,7 0,001 0,001 0,001 0,001 0,001 0,001 0,001 0,001
8 3,6 0,003 0,003 0,003 0,003 0,003 0,002 0,003 0,005
10 4,5 0,007 0,008 0,008 0,007 0,006 0,006 0,008 0,011
12 5,4 0,013 0,016 0,016 0,014 0,013 0,012 0,016 0,024
14 6,4 0,024 0,029 0,029 0,026 0,024 0,023 0,033 0,047
16 7,3 0,041 0,048 0,050 0,046 0,042 0,040 0,055 0,079
18 8,2 0,066 0,077 0,081 0,075 0,069 0,066 0,088 0,126
20 9,1 0,103 0,117 0,124 0,117 0,109 0,105 0,133 0,191
22 10,0 0,156 0,171 0,183 0,174 0,164 0,158 0,194 0,279
24 10,9 0,227 0,244 0,260 0,252 0,239 0,231 0,274 0,394
26 11,8 0,322 0,340 0,360 0,353 0,338 0,329 0,376 0,541
28 12,7 0,447 0,465 0,487 0,481 0,466 0,455 0,505 0,726
30 13,6 0,607 0,623 0,646 0,643 0,627 0,617 0,664 0,954
32 14,5 0,810 0,823 0,843 0,842 0,829 0,819 0,857 1,233
34 15,4 1,06 1,07 1,08 1,08 1,08 1,07 1,09 1,57
36 16,3 1,38 1,38 1,38 1,38 1,38 1,38 1,37 1,97
38 17,2 1,76 1,75 1,73 1,72 1,73 1,74 1,70 2,44
40 18,1 2,22 2,19 2,15 2,13 2,16 2,18 2,08 2,99
42 19,1 2,77 2,73 2,64 2,62 2,66 2,70 2,53 3,64
44 20 3,42 3,36 3,23 3,18 3,24 3,31 3,04 4,37
46 21 4,20 4,11 3,92 3,83 3,91 4,02 3,63 5,22
48 22 5,10 4,98 4,72 4,58 4,68 4,83 4,30 6,19
50 23 6,15 5,99 5,64 5,44 5,56 5,77 5,06 7,28
52 24 7,37 7,16 6,71 6,43 6,56 6,83 6,44 9,25
54 24 8,77 8,51 7,93 7,55 7,69 8,03 6,44 9,25
56 25 10,4 10,1 9,3 8,8 9,0 9,4 7,58 10,90
58 26 12,2 11,8 10,9 10,3 10,4 10,9 8,86 12,75
60 27 14,3 13,8 12,7 11,9 12,0 12,6 10,31 14,82
62 28 16,6 16,0 14,7 13,7 13,8 14,5 11,92 17,15
64 29 19,3 18,6 17,0 15,8 15,8 16,6 13,72 19,73
66 30 22,2 21,4 19,6 18,0 18,0 18,9 15,71 22,59
1)
Sumber: AASHTO’93
2)
menggunakan Rumus 5.2
3)
menggunakan Rumus 7.24

223
Lampiran 1, Tabel Angka Ekivalen Berdasarkan AASHTO’93

Tabel L 1.3 Nilai Angka Ekivalen Untuk Sumbu Tridem, IPt = 2,0
Beban
Angka Struktural (SN)1) Pd.T-05-
sumbu
2005-B2)
kips ton 1 2 3 4 5 6
2 0,9 0,0000 0,0000 0,0000 0,0000 0,0000 0,0000 0,00001
4 1,8 0,0001 0,0001 0,0001 0,0001 0,0001 0,0001 0,00009
6 2,7 0,0004 0,0004 0,0003 0,0003 0,0003 0,0003 0,00
8 3,6 0,0009 0,0010 0,0009 0,0008 0,0007 0,0007 0,00
10 4,5 0,002 0,002 0,002 0,002 0,002 0,001 0,00
12 5,4 0,004 0,004 0,004 0,003 0,003 0,003 0,01
14 6,4 0,006 0,007 0,007 0,006 0,006 0,005 0,01
16 7,3 0,010 0,012 0,012 0,010 0,009 0,009 0,02
18 8,2 0,016 0,019 0,019 0,017 0,015 0,015 0,04
20 9,1 0,024 0,029 0,029 0,026 0,024 0,023 0,06
22 10,0 0,034 0,042 0,042 0,038 0,035 0,034 0,09
24 10,9 0,049 0,058 0,060 0,055 0,051 0,048 0,12
26 11,8 0,068 0,080 0,083 0,077 0,071 0,068 0,17
28 12,7 0,093 0,107 0,113 0,105 0,098 0,094 0,22
30 13,6 0,125 0,140 0,149 0,140 0,131 0,126 0,30
32 14,5 0,164 0,182 0,194 0,184 0,173 0,167 0,38
34 15,4 0,213 0,233 0,248 0,238 0,225 0,217 0,49
36 16,3 0,273 0,294 0,313 0,303 0,288 0,279 0,61
38 17,2 0,346 0,368 0,390 0,381 0,364 0,353 0,76
40 18,1 0,434 0,456 0,481 0,473 0,454 0,443 0,93
42 19,1 0,538 0,560 0,587 0,580 0,561 0,548 1,12
44 20 0,662 0,682 0,710 0,705 0,686 0,673 1,35
46 21 0,807 0,825 0,852 0,849 0,831 0,818 1,62
48 22 0,976 0,992 1,015 1,014 0,999 0,987 1,91
50 23 1,17 1,18 1,20 1,20 1,19 1,18 2,25
52 24 1,40 1,40 1,42 1,42 1,41 1,40 2,86
54 24 1,66 1,66 1,66 1,66 1,66 1,66 2,86
56 25 1,95 1,95 1,93 1,93 1,94 1,94 3,37
58 26 2,29 2,27 2,24 2,23 2,25 2,27 3,94
60 27 2,67 2,64 2,59 2,57 2,60 2,63 4,59
62 28 3,10 3,06 2,98 2,95 2,99 3,04 5,30
64 29 3,59 3,53 3,41 3,37 3,42 3,49 6,10
66 30 4,13 4,05 3,89 3,83 3,90 3,99 6,99
1)
Sumber: AASHTO’93
2)
menggunakan Rumus 7.25

224
Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur

Tabel L 1.4 Nilai Angka Ekivalen Untuk Sumbu Tunggal, IPt = 2,5
Beban SNI Pd.T-05-
Angka Struktural (SN)1)
sumbu 1732- 2005-B3)
1989- Roda
kips Ton 1 2 3 4 5 6 ganda
F2)
2 0,9 0,0004 0,0004 0,0003 0,0002 0,0002 0,0002 0,0001 0,0001
4 1,8 0,003 0,004 0,004 0,003 0,003 0,002 0,002 0,002
6 2,7 0,01 0,02 0,02 0,01 0,01 0,01 0,01 0,01
8 3,6 0,03 0,05 0,05 0,04 0,03 0,03 0,04 0,04
10 4,5 0,08 0,10 0,1 0,10 0,09 0,08 0,09 0,09
12 5,4 0,17 0,20 0,18 0,21 0,19 0,18 0,19 0,19
14 6,4 0,33 0,36 0,35 0,39 0,36 0,34 0,38 0,38
16 7,3 0,59 0,61 0,61 0,65 0,62 0,61 0,64 0,64
18 8,2 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00
20 9,1 1,61 1,57 1,55 1,47 1,51 1,55 1,55 1,55
22 10,0 2,48 2,38 2,28 2,09 2,18 2,30 2,26 2,26
24 10,9 3,69 3,49 3,23 2,89 3,03 3,27 3,18 3,18
26 11,8 5,33 4,99 4,42 3,91 4,09 4,48 4,37 4,37
28 12,7 7,49 6,98 5,92 5,21 5,39 5,98 5,87 5,87
30 13,6 10,3 9,5 7,9 6,8 6,97 7,8 7,72 7,72
32 14,5 13,9 12,8 10,5 8,8 8,9 10,0 9,97 9,97
34 15,4 18,4 16,9 13,7 11,3 11,2 12,5 12,69 12,69
36 16,3 24,0 22,0 17,7 14,4 13,9 15,5 15,92 15,92
38 17,2 30,9 28,3 22,6 18,1 17,2 19,0 19,74 19,74
40 18,1 39,3 35,9 28,5 22,5 21,1 23,0 24,21 24,21
42 19,0 49,3 45,0 35,6 27,8 25,6 27,7 29,39 29,39
44 19,9 61,3 55,9 44,0 34,0 31,0 33,1 35,37 35,37
46 20,8 75,5 68,8 54,0 41,4 37,2 39,3 42,22 42,22
48 21,7 92,2 83,9 65,7 50,1 44,5 46,5 50,01 50,01
50 22,6 112,0 102,0 79,0 60,0 53,0 55,0 58,84 58,84
1)
Sumber: AASHTO’93
2)
menggunakan Rumus 5.1
3)
menggunakan Rumus 7.23

225
Lampiran 1, Tabel Angka Ekivalen Berdasarkan AASHTO’93

Tabel L 1.5 Nilai Angka Ekivalen Untuk Sumbu Tandem, IPt = 2,5
Beban SNI
Angka Struktural (SN)1)
sumbu 1732- Pd.T-05-
1989- 2005-B3)
kips ton 1 2 3 4 5 6
F2)
2 0,9 0,0001 0,0001 0,0001 0,0000 0,0000 0,0000 0,00001 0,00002
4 1,8 0,0005 0,0005 0,0004 0,0003 0,0003 0,0002 0,0002 0,0003
6 2,7 0,002 0,002 0,002 0,001 0,001 0,001 0,001 0,001
8 3,6 0,004 0,006 0,005 0,004 0,003 0,003 0,003 0,005
10 4,5 0,008 0,013 0,011 0,009 0,007 0,006 0,008 0,011
12 5,4 0,015 0,024 0,023 0,018 0,014 0,013 0,016 0,024
14 6,4 0,026 0,041 0,042 0,033 0,027 0,024 0,033 0,047
16 7,3 0,044 0,065 0,070 0,057 0,047 0,043 0,055 0,079
18 8,2 0,070 0,097 0,109 0,092 0,077 0,070 0,088 0,126
20 9,1 0,107 0,141 0,162 0,141 0,121 0,110 0,133 0,191
22 10,0 0,160 0,198 0,229 0,207 0,180 0,166 0,194 0,279
24 10,9 0,231 0,273 0,315 0,292 0,260 0,242 0,274 0,394
26 11,8 0,327 0,370 0,420 0,401 0,364 0,342 0,376 0,541
28 12,7 0,451 0,493 0,548 0,534 0,495 0,470 0,505 0,726
30 13,6 0,611 0,648 0,703 0,695 0,658 0,633 0,664 0,954
32 14,5 0,813 0,843 0,889 0,887 0,857 0,834 0,857 1,233
34 15,4 1,06 1,08 1,11 1,11 1,09 1,08 1,09 1,57
36 16,3 1,38 1,38 1,38 1,38 1,38 1,38 1,37 1,97
38 17,2 1,76 1,73 1,69 1,68 1,70 1,73 1,70 2,44
40 18,1 2,21 2,16 2,06 2,03 2,08 2,14 2,08 2,99
42 19,1 2,76 2,67 2,49 2,43 2,51 2,61 2,53 3,64
44 20 3,41 3,27 2,99 2,88 3,00 3,16 3,04 4,37
46 21 4,18 3,98 3,58 3,40 3,55 3,79 3,63 5,22
48 22 5,08 4,80 4,25 3,98 4,17 4,49 4,30 6,19
50 23 6,12 5,76 5,03 4,64 4,86 5,28 5,06 7,28
52 24 7,33 6,87 5,93 5,38 5,63 6,17 6,44 9,25
54 24 8,72 8,14 6,95 6,22 6,47 7,15 6,44 9,25
56 25 10,3 9,6 8,1 7,2 7,4 8,2 7,58 10,90
58 26 12,1 11,3 9,4 8,2 8,4 9,4 8,86 12,75
60 27 14,2 13,1 10,9 9,4 9,6 10,7 10,31 14,82
62 28 16,5 15,3 12,6 10,7 10,8 12,1 11,92 17,15
64 29 19,1 17,6 14,5 12,2 12,2 13,7 13,72 19,73
66 30 22,1 20,3 16,6 13,8 13,7 15,4 15,71 22,59
1)
Sumber: AASHTO’93
2)
menggunakan Rumus 5.2
3)
menggunakan Rumus 7.24

226
Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur

Tabel L1.6 Nilai Angka Ekivalen Untuk Sumbu Tridem, IPt = 2,5
Beban
Angka Struktural (SN)1) Pd.T-05-
sumbu
2005-B2)
kips ton 1 2 3 4 5 6
2 0,9 0,0000 0,0000 0,0000 0,0000 0,0000 0,0000 0,00001
4 1,8 0,0002 0,0002 0,0002 0,0001 0,0001 0,0001 0,00009
6 2,7 0,0006 0,0007 0,0005 0,0004 0,0003 0,0003 0,00
8 3,6 0,001 0,002 0,001 0,001 0,001 0,001 0,00
10 4,5 0,003 0,004 0,003 0,002 0,002 0,002 0,00
12 5,4 0,005 0,007 0,006 0,004 0,003 0,003 0,01
14 6,4 0,008 0,012 0,010 0,008 0,006 0,006 0,01
16 7,3 0,012 0,019 0,018 0,013 0,011 0,010 0,02
18 8,2 0,018 0,029 0,028 0,021 0,017 0,016 0,04
20 9,1 0,027 0,042 0,042 0,032 0,027 0,024 0,06
22 10,0 0,038 0,058 0,060 0,048 0,040 0,036 0,09
24 10,9 0,053 0,078 0,084 0,068 0,057 0,051 0,12
26 11,8 0,072 0,103 0,114 0,095 0,080 0,072 0,17
28 12,7 0,098 0,133 0,151 0,128 0,109 0,099 0,22
30 13,6 0,129 0,169 0,195 0,170 0,145 0,133 0,30
32 14,5 0,169 0,213 0,247 0,220 0,191 0,175 0,38
34 15,4 0,219 0,266 0,308 0,281 0,246 0,228 0,49
36 16,3 0,279 0,329 0,379 0,352 0,313 0,292 0,61
38 17,2 0,352 0,403 0,461 0,436 0,393 0,368 0,76
40 18,1 0,439 0,491 0,554 0,533 0,487 0,459 0,93
42 19,1 0,543 0,594 0,661 0,644 0,597 0,567 1,12
44 20 0,666 0,714 0,781 0,769 0,723 0,692 1,35
46 21 0,811 0,854 0,918 0,911 0,868 0,838 1,62
48 22 0,979 1,015 1,072 1,069 1,033 1,005 1,91
50 23 1,17 1,20 1,24 1,25 1,22 1,20 2,25
52 24 1,40 1,41 1,44 1,44 1,43 1,41 2,86
54 24 1,66 1,66 1,66 1,66 1,66 1,66 2,86
56 25 1,95 1,93 1,90 1,90 1,91 1,93 3,37
58 26 2,29 2,25 2,17 2,16 2,20 2,24 3,94
60 27 2,67 2,60 2,48 2,44 2,51 2,58 4,59
62 28 3,09 3,00 2,82 2,76 2,85 2,95 5,30
64 29 3,57 3,44 3,19 3,10 3,22 3,36 6,10
66 30 4,11 3,94 3,61 3,47 3,62 3,81 6,99
1)
Sumber: AASHTO’93
2)
menggunakan Rumus 7.25

227
Lampiran 1, Tabel Angka Ekivalen Berdasarkan AASHTO’93

Tabel L1.7 Nilai Angka Ekivalen Untuk Sumbu Tunggal, IPt = 3,0
Beban SNI Pd.T-05-
Angka Struktural (SN)1)
sumbu 1732- 2005-B3)
1989- Roda
kips ton 1 2 3 4 5 6 ganda
F2)
2 0,9 0,0008 0,0009 0,0006 0,0003 0,0002 0,0002 0,0001 0,0001
4 1,8 0,004 0,008 0,006 0,004 0,002 0,002 0,002 0,002
6 2,7 0,014 0,030 0,028 0,018 0,012 0,010 0,01 0,01
8 3,6 0,035 0,070 0,080 0,055 0,040 0,034 0,04 0,04
10 4,5 0,082 0,132 0,168 0,132 0,101 0,086 0,09 0,09
12 5,4 0,173 0,231 0,296 0,260 0,212 0,187 0,19 0,19
14 6,4 0,332 0,388 0,468 0,447 0,391 0,358 0,38 0,38
16 7,3 0,594 0,633 0,695 0,693 0,651 0,622 0,64 0,64
18 8,2 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00
20 9,1 1,60 1,53 1,41 1,38 1,44 1,51 1,55 1,55
22 10,0 2,47 2,29 1,96 1,83 1,97 2,16 2,26 2,26
24 10,9 3,67 3,33 2,69 2,39 2,60 2,96 3,18 3,18
26 11,8 5,29 4,72 3,65 3,08 3,33 3,91 4,37 4,37
28 12,7 7,43 6,56 4,88 3,93 4,17 5,00 5,87 5,87
30 13,6 10,2 8,9 6,5 5,0 5,1 6,3 7,72 7,72
32 14,5 13,8 12,0 8,4 6,2 6,3 7,7 9,97 9,97
34 15,4 18,2 15,7 10,9 7,8 7,6 9,3 12,69 12,69
36 16,3 23,8 20,4 14,0 9,7 9,1 11,0 15,92 15,92
38 17,2 30,6 26,2 17,7 11,9 11,0 13,0 19,74 19,74
40 18,1 38,8 33,2 22,2 14,6 13,1 15,3 24,21 24,21
42 19,0 48,8 41,6 27,6 17,8 15,5 17,8 29,39 29,39
44 19,9 60,6 51,6 34,0 21,6 18,4 20,6 35,37 35,37
46 20,8 74,7 63,4 41,5 26,1 21,6 23,8 42,22 42,22
48 21,7 91,2 77,3 50,3 31,3 25,4 27,4 50,01 50,01
50 22,6 110,0 94,0 61,0 37,0 30,0 32,0 58,84 58,84
1)
Sumber: AASHTO’93
2)
menggunakan Rumus 5.1
3)
menggunakan Rumus 7.23

228
Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur

Tabel L1.8 Nilai Angka Ekivalen Untuk Sumbu Tandem, IPt = 3,0
Beban SNI Pd.T-
Angka Struktural (AS)1)
sumbu 1732- 05-
1989- 2005-
kips ton 1 2 3 4 5 6
F2) B3)
2 0,9 0,0002 0,00002 0,0001 0,0001 0,0000 0,0000 0,00001 0,00002
4 1,8 0,001 0,0003 0,001 0,000 0,000 0,000 0,0002 0,0003
6 2,7 0,003 0,001 0,003 0,002 0,001 0,001 0,001 0,001
8 3,6 0,006 0,005 0,009 0,005 0,003 0,003 0,003 0,005
10 4,5 0,011 0,011 0,020 0,012 0,008 0,007 0,008 0,011
12 5,4 0,019 0,024 0,039 0,024 0,017 0,014 0,016 0,024
14 6,4 0,031 0,047 0,068 0,045 0,032 0,026 0,033 0,047
16 7,3 0,049 0,079 0,109 0,076 0,055 0,046 0,055 0,079
18 8,2 0,075 0,126 0,164 0,121 0,090 0,076 0,088 0,126
20 9,1 0,113 0,191 0,232 0,182 0,139 0,119 0,133 0,191
22 10,0 0,166 0,279 0,313 0,260 0,205 0,178 0,194 0,279
24 10,9 0,238 0,394 0,407 0,368 0,292 0,257 0,274 0,394
26 11,8 0,333 0,541 0,517 0,476 0,402 0,360 0,376 0,541
28 12,7 0,457 0,726 0,643 0,614 0,538 0,492 0,505 0,726
30 13,6 0,616 0,954 0,788 0,773 0,702 0,656 0,664 0,954
32 14,5 0,817 1,233 0,956 0,953 0,896 0,855 0,857 1,233
34 15,4 1,07 1,57 1,15 1,15 1,12 1,09 1,09 1,57
36 16,3 1,38 1,97 1,38 1,38 1,38 1,38 1,37 1,97
38 17,2 1,75 2,44 1,64 1,62 1,66 1,70 1,70 2,44
40 18,1 2,21 2,99 1,94 1,89 1,98 2,08 2,08 2,99
42 19,1 2,75 3,64 2,29 2,19 2,33 2,50 2,53 3,64
44 20 3,39 4,37 2,70 2,52 2,71 2,97 3,04 4,37
46 21 4,15 5,22 3,16 2,89 3,13 3,50 3,63 5,22
48 22 5,04 6,19 3,70 3,29 3,57 4,07 4,30 6,19
50 23 6,08 7,28 4,31 3,74 4,05 4,70 5,06 7,28
52 24 7,27 9,25 5,01 4,24 4,57 5,37 6,44 9,25
54 24 8,65 9,25 5,81 4,79 5,13 6,10 6,44 9,25
56 25 10,2 10,90 6,7 5,4 5,7 6,9 7,58 10,90
58 26 12,0 12,75 7,7 6,1 6,4 7,7 8,86 12,75
60 27 14,1 14,82 8,9 6,8 7,1 8,6 10,31 14,82
62 28 16,3 17,15 10,2 7,7 7,8 9,5 11,92 17,15
64 29 18,9 19,73 11,6 8,6 8,6 10,5 13,72 19,73
66 30 21,8 22,59 13,2 9,6 9,5 11,6 15,71 22,59
1)
Sumber: AASHTO’93
2)
menggunakan Rumus 5.2
3)
menggunakan Rumus 7.24

229
Lampiran 1, Tabel Angka Ekivalen Berdasarkan AASHTO’93

Tabel L1.9 Nilai Angka Ekivalen Untuk Sumbu Tridem, IPt = 3,0
Beban
Angka Struktural (AS)1) Pd.T-05-
sumbu
2005-B2)
kips ton 1 2 3 4 5 6
2 0,9 0,0001 0,0001 0,0001 0,0000 0,0000 0,0000 0,00001
4 1,8 0,0005 0,0004 0,0003 0,0002 0,0001 0,0001 0,00009
6 2,7 0,001 0,001 0,001 0,001 0,000 0,000 0,00
8 3,6 0,003 0,004 0,002 0,001 0,001 0,001 0,00
10 4,5 0,005 0,008 0,005 0,003 0,002 0,002 0,00
12 5,4 0,007 0,014 0,010 0,006 0,004 0,003 0,01
14 6,4 0,011 0,023 0,018 0,011 0,007 0,006 0,01
16 7,3 0,016 0,035 0,030 0,018 0,013 0,010 0,02
18 8,2 0,022 0,050 0,047 0,029 0,020 0,017 0,04
20 9,1 0,031 0,069 0,069 0,044 0,031 0,026 0,06
22 10,0 0,043 0,090 0,097 0,065 0,046 0,039 0,09
24 10,9 0,059 0,116 0,132 0,092 0,066 0,056 0,12
26 11,8 0,079 0,145 0,174 0,126 0,092 0,078 0,17
28 12,7 0,104 0,179 0,223 0,168 0,126 0,107 0,22
30 13,6 0,136 0,218 0,279 0,219 0,167 0,143 0,30
32 14,5 0,176 0,265 0,342 0,279 0,218 0,188 0,38
34 15,4 0,226 0,319 0,413 0,350 0,279 0,243 0,49
36 16,3 0,286 0,382 0,491 0,432 0,352 0,310 0,61
38 17,2 0,359 0,456 0,577 0,524 0,437 0,389 0,76
40 18,1 0,447 0,543 0,671 0,626 0,536 0,483 0,93
42 19,1 0,550 0,643 0,775 0,740 0,649 0,593 1,12
44 20 0,673 0,760 0,889 0,865 0,777 0,720 1,35
46 21 0,817 0,894 1,014 1,001 0,920 0,865 1,62
48 22 0,984 1,048 1,152 1,148 1,080 1,030 1,91
50 23 1,18 1,23 1,30 1,31 1,26 1,22 2,25
52 24 1,40 1,43 1,47 1,48 1,45 1,43 2,86
54 24 1,66 1,66 1,66 1,66 1,66 1,66 2,86
56 25 1,95 1,92 1,86 1,85 1,88 1,91 3,37
58 26 2,28 2,21 2,09 2,06 2,13 2,20 3,94
60 27 2,66 2,54 2,34 2,28 2,39 2,50 4,59
62 28 3,08 2,92 2,61 2,52 2,66 2,84 5,30
64 29 3,56 3,33 2,92 2,77 2,96 3,19 6,10
66 30 4,09 3,79 3,25 3,04 3,27 3,58 6,99
1)
Sumber: AASHTO’93
2)
menggunakan Rumus 7.25

230
Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur

LAMPIRAN 2

Angka ekivalen Berdasarkan SNI 1732-1989-F


DAN
Pd.T-05-2005-B

231
Lampiran 2 Angka ekivalen Berdasarkan SNI 1732-1989-F Dan Pd.T-05-2005-B

LAMPIRAN 2

Angka ekivalen Berdasarkan


SNI 1732-1989-F DAN Pd.T-05-2005-B
Tabel L 2.1 Nilai Angka Ekivalen Untuk Sumbu Tunggal Roda Tunggal
Beban
SNI 1732- Pd.T-05-
Sumbu,
1989-F1) 2005-B2)
ton
1 0,0002 0,0012
2 0,0036 0,0188
3 0,02 0,10
4 0,06 0,30
5 0,14 0,74
6 0,29 1,52
7 0,54 2,82
8 0,92 4,82

Beban
SNI 1732- Pd.T-05-
Sumbu,
1989-F1) 2005-B2)
ton
9 1,48 7,72
10 2,26 11,76
11 3,30 17,22
12 4,68 24,39
13 6,44 33,59
14 8,66 45,18
15 11,42 59,54
16 14,78 77,07
1)
menggunakan Rumus 5.1
2)
menggunakan Rumus 7.22

Tabel L 2.2 Nilai Angka Ekivalen Untuk Sumbu Tunggal Roda Ganda

232
Beban
SNI 1732- Pd.T-05-
Sumbu,
1989-F1) 2005-B2)
ton
1 0,0002 0,0002
2 0,0036 0,0036
3 0,02 0,02
4 0,06 0,06
5 0,14 0,14
6 0,29 0,29
7 0,54 0,54
8 0,92 0,92
9 1,48 1,48
10 2,26 2,26
11 3,30 3,30
12 4,68 4,68
13 6,44 6,44
14 8,66 8,66
15 11,42 11,42

Beban
SNI 1732- Pd.T-05-
Sumbu,
1989-F1) 2005-B2)
ton
16 14,78 14,78
17 18,84 18,84
18 23,68 23,68
19 29,39 29,39
20 36,09 36,09
21 43,86 43,86
22 52,84 52,84
23 63,12 63,12
24 74,83 74,83
25 88,10 88,10
26 103,07 103,07
27 119,87 119,87
28 138,63 138,63
29 159,53 159,53
30 182,69 182,69
1)
menggunakan Rumus 5.1
2)
menggunakan Rumus 7.23

233
Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur

Tabel L 2.3 Nilai Angka Ekivalen Untuk Sumbu Ganda Roda Ganda
Beban Beban
SNI 1732- Pd.T-05- SNI 1732- Pd.T-05-
Sumbu, Sumbu,
1989-F1) 2005-B2) 1989-F1) 2005-B2)
ton ton
1 0,00002 0,00003 16 1,27 1,83
2 0,00031 0,0004 17 1,62 2,33
3 0,00 0,00 18 2,04 2,93
4 0,00 0,01 19 2,53 3,64
5 0,01 0,02 20 3,10 4,46
6 0,03 0,04 21 3,77 5,43
7 0,05 0,07 22 4,54 6,53
8 0,08 0,11 23 5,43 7,81
9 0,13 0,18 24 6,44 9,25
10 0,19 0,28 25 7,58 10,90
11 0,28 0,41 26 8,86 12,75
12 0,40 0,58 27 10,31 14,82
13 0,55 0,80 28 11,92 17,15
14 0,75 1,07 29 13,72 19,73
15 0,98 1,41 30 15,71 22,59
1)
menggunakan Rumus 5.2
2)
menggunakan Rumus 7.24

Tabel L 2.4 Nilai Angka Ekivalen Untuk Sumbu Tripel Roda Ganda
Beban Beban
SNI 1732- Pd.T-05- SNI 1732- Pd.T-05-
Sumbu, Sumbu,
1989-F1) 2005-B2) 1989-F1) 2005-B2)
ton ton
1 0,00001 16 0,57
2 0,00014 17 0,72
3 0,00 18 0,91
4 0,00 19 1,12
5 0,01 20 1,38
6 0,01 21 1,68
7 0,02 22 2,02
8 tidak ada 0,04 23 tidak ada 2,42
pedoman pedoman
9 0,06 24 2,86
untuk itu untuk itu
10 0,09 25 3,37
11 0,13 26 3,94
12 0,18 27 4,59
13 0,25 28 5,30
14 0,33 29 6,10
15 0,44 30 6,99

1)
tidak ada
2)
menggunakan Rumus 7.25

234
Lampiran 3 Daftar Rumus

LAMPIRAN 3

Daftar Rumus

halaman
Bab 2 Jenis dan Fungsi Lapisan Perkerasan Jalan

Rumus 2.1 :
D15pondasi ..................................................27
D15tanahdasar 5

Rumus 2.2 :
D15pondasi .................................................27
D85tanah dasar
5

Bab 3 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Perencanaan


Tebal Perkerasan

P
Rumus 3.1 : a .....................................................................................37

Rumus 3.2 : F1 = G l2/l..............................................................39

Rumus 3.3 : F2 = G l1/l..............................................................39

Rumus 3.4 : F1 = 0,0A G dan F2 = 0,0B G...................................39

Rumus 3.5 : LHRT =


Jumlah kendaraan dalam 1
........ ..........46
tahun 365

Rumus 3.6 : LHR =


Jumlah kendaraan selama pengamatan................
jumlah hari pengamatan 47

Rumus 3.7 : Q =  LHRi x DA x DL..............................................54

235
Rumus 3.8 : Q =  LHRTi x DA x DL............................................54

Rumus 3.9 : Q =  LHRTi x Ci....................................................54

236
Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur

Rumus 3.10 : Q =  LHRi x Ci......................................................54

Rumus 3.11 : CBRttk pengamatan


h1 3 CBR1  .........h n 3 CBR n ..... 62
=3 (
)
h

Rumus 3.12 : CBRsegmen = CBRrata-rata – K.S.....................................64

Rumus 3.13 : CBRsegmen = CBRrata-rata -(CBRmaks-CBRmin)/R.................64

Rumus 3.14 : DN =
D.............................................................................
N 69

Rumus 3.15 : Log10 (CBR) = 2,8135 – 1,313 Log10 DN.......................73

Rumus 3.16 : Log10 (CBR) = 1,352 – 1,125 Log10 DN......................73

σd
Rumus 3.17 : MR =
εr .......................................................... 75

Rumus 3.18 : MR = 1500 (CBR), MR dalam psi................................77

Rumus 3.19 : MR = 2555 (CBR)0,64, MR dalam psi............................77

Rumus 3.20 : IP = (5) e(-0,18) (IRI)) .............................................................................

94

Rumus 3.21 : IP = (5) e(-0,26) (IRI)) .......................................................................

94

Rumus 3.22 : IP = 5,697 – (2,104)IRI.........................................94

Rumus 3.23 : f = F/L....................................................................95

237
Rumus 3.24 : SN atau FN = 100 (F/L)...........................................95

238
Lampiran 3 Daftar Rumus

BAB 4 Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur Metode AASHTO

Rumus 4.1 : log W18 = 9,36 log (SN + 1) – 0,20 +

Gt
+ log R + 0,372 (S – 3,0)...........106
1094
0,40 
(SN  1)
5,19

Rumus 4.2 : Gt = log


(4,2  pt )
.............................................106
(4,2 
1,5)

Rumus 4.3 : SN = a1D1 + a2D2 + a3D3.........................................106


4,79
W L  L   10 G/β x 
Rumus 4.4 : W
L x  L18  2s L 
 G/β18  2x 4,33 .......................111
  10
18  x 2x   

Rumus 4.5 : β 0,081(Lx  L2x )3,23 ..................................112


=
x 0, (SN  1) 5,19
L 3,23
2

Rumus 4.6 : Ekendaraan = Σ Esumbu...................................................117

Rumus 4.7 : E sumbu =


f i
...............................................118
Ei

f i

Rumus 4.8 : W18 =  LHRi x Ei x DA x DL x 365 x N......................121

Rumus 4.9 : W18 =  LHRTi x Ei x DA x DL x 365 x N....................121

Rumus 4.10 : N = r
[(1 r) 1]
n

239
.................................. ............... ...122

Rumus 4.11 :............................................................................Wt

= (wt)(FR) 127

Rumus 4.12 : FR = 10ZR (S0 )............................................................................................................. 128

240
Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur

Rumus 4.13 : log (W18) = ZR x S0 + 9,36 x log (SN + 1) – 0,20 +

log[ PSI ]
4.2  1.5 + 2,32 x log (MR) – 8,07............132
0,40  1094
(SN  1)5,19

Rumus 4.14 : SN = a1D1 + a2 m2D2 + a3 m3D3...............................133

Rumus 4.15 : a2 = 0,249 (log EBS) – 0,977....................................135

Rumus 4.16 : a3 = 0,227 (log ESB) – 0,839....................................136

Rumus 4.17 :
SN1
D* ≥ ........................................................... 138
a1
1

Rumus 4.18 :
SN* 1 = a1. D* 1 ≥ SN1 ............................................ 138

Rumus 4.19 :
* SN2  SN* ................................................... 138
D2 ≥ 1

Rumus 4.20 : a 2.m2


..............................................................
SN* = a2. m2 D* 138
2 2
Rumus 4.21 : SN* + SN* ≥ SN2....................................................138
1 2

SN  (SN*  SN * )
Rumus 4.22 : D ≥
* 3 1 2 .................................... 139
3
a 3 m3

Bab 5 Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur Metode SNI 1732-


1989-F

beban sumbu tunggal, kg .........


Rumus 5.1 : Esumbu tunggal = ( 8.160 )4 142

241
beban sumbu ganda, kg 4...........
Rumus 5.2 : Esumbu ganda = 0,086 ( ) 142
8.160

Rumus 5.3 : LHR awal umur rencana = (1+a) n. LHRs................143

242
Lampiran 3 Daftar Rumus

in
Rumus 5.4 : LEP =
i1
LHR i x Ei x Ci..........................................145

in
Rumus 5.5 : LEP =
i1
LHRT i x Ei x Ci.........................................145

..................................................
Rumus 5.6 : LEA = LEP (1+i)UR 146

Rumus 5.7 : LER =


LEP  LEA
( ) x FP...........................................146
2

Rumus 5.8 : DDT = 4,3 log CBR + 1,7.......................................147

ITP
Rumus 5.9 : log (LERx 3650) = 9,36 log ( + 1) – 0,20 +
2,54

0,40  1
Gt ) + 0,372 (DDT–3,0) .. .151
+ log(
1094 FR
ITP
( 
1)5,19 2,54

Rumus 5.10 : ITP = a1D1 + a2D2 + a3D3.......................................152

Bab 6 Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur Metode Pt T-01-


2002-B
beban sumbu tunggal, kN 4......
Rumus 6.1 : Esumbu tunggal roda tunggal = ( ) 174
53 kN
1/n...............................................
Rumus 6.2 : Rbertahap = (R 176
selur

Bab 7 Perencanaan Tebal Lapis Tambah

243
Rumus 7.1 : d = 2 x (d3 – d1) x Ft x Ca x FKB-BB............................ 193

Rumus 7.2 : Ft = 4,184 x TL-0,4025, untuk HL < 10 cm....................196

244
Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur

-0,7573
Rumus 7.3 : Ft = 14,785 x T , untuk H ≥ 10cm...................196
L

Rumus 7.4 : TL = 1/3 (Tp +Tt + Tb)............................................196


.........
Rumus 7.5 : FKB-BB = 77,343 x (beban uji dalam ton)(-2,0715) 196

Rumus 7.6 : FK =
s
x 100%...................................................198
dR

d
s

Rumus 7.7 : dR = 1
............................................................ 199
ns

ns ns

ns ( d2 )  ( d)2  
Rumus 7.8 : S =.......................................................................199
11
ns (ns 1)

Rumus 7.9 : Dwakil = dR + K.s......................................................199

Rumus 7.10 :
ITPsisa = K1.a1D1 + K2.a2D2 + K3.a3D3........................200

Rumus 7.11 : ∆ ITP = ITP - ITPsisa....................................................................................................201

Rumus 7.12 : D tambah =


ΔITP
............................................. 202
a1

Rumus 7.13 : SNeff = a1’D1’ + a2’ m2D2’ + a3’ m3D3’......................203

Rumus 7.14 : SNol = SN - SNeff...................................................206

Rumus 7.15 : Dol =


SNol SN  ........................................ 206
SNeff 
245
aol aol

Rumus 7.16 : AE18KSAL=  LHRi x Ei x DA x DL x 365 x N.............206


..................................
Rumus 7.17 : Dizin = 5,5942. e-0,2769 log AE18KSAL
207

246
Lampiran 3 Daftar Rumus

..................................
Rumus 7.18 : Dizin = 8,6685. e-0,2769 log AE18KSAL
208

Rumus 7.19 : ESA=  LHRi x Ei x DA x DL x 365 x N......................209

Rumus 7.20 : T = 0,001 (9 – RCI)4,5 + Pd. Cam/4 + Tmin...............211

Rumus 7.21 : t =
2,303log Dwakil  0,048(1 log
......................211
ESA) 0,08  0,013log ESA

beban sumbu tunggal, kg 4.........


Rumus 7.22 : Esumbu tunggal roda tunggal = ( ) 212
5.400
beban sumbu ganda, kg
Rumus 7.23 : Esumbu tunggal roda ganda = ( )4
212
8.160

beban sumbu tunggal, kg


Rumus 7.24 : Esumbu tandem roda ganda = ( )4
212
13.760
beban sumbu ganda, kg
Rumus 7.25 : Esumbu tripel roda ganda = ( )4
212
18.450

in
Rumus 7.26 : CESA=
LHR
i1
i x 365 x Ei x Ci x N..........................212

..................................
Rumus 7.27 : Drencana = 22,208 x CESA(-0,2307) 213

Rumus 7.28 : H0 =
[Ln(1,0364)  Ln(Dsblov )  Ln(Dstlov )].....................
0,0597 213

..................................
Rumus 7.29 : Fo = 0,5032 x Exp(0,0194 x TPRT)
214

Rumus 7.30 : Ht = Ho x Fo........................................................... 216

247
............................................
Rumus 7.31 : FKTBL = 12,51 x MR-0,333 216

248
Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur

LAMPIRAN 4

DAFTAR TABEL

249
Lampiran 4 Daftar Tabel

LAMPIRAN 4
Daftar Tabel

halaman
Bab 2 Jenis dan Fungsi Lapisan Perkerasan Jalan

Tabel 2.1 Ketentuan Sifat Campuran Latasir....................................17


Tabel 2.2 Ketentuan Sifat Campuran Lataston.................................18
Tabel 2.3 Ketentuan Sifat Campuran Laston....................................19
Tabel 2.4 Ketentuan Sifat Campuran Laston Modifikasi....................20
Tabel 2.5 Ketentuan Sifat Campuran Lasbutag................................21
Tabel 2.6 Tebal Nominal Minimum Lapis Permukaan........................22
Tabel 2.7 Gradasi Lapis Pondasi Agregat.........................................24
Tabel 2.8 Ketentuan Sifat Lapis Pondasi Agregat............................25
Tabel 2.9 Ketentuan Sifat Lapis Pondasi Tanah Semen.....................25
Tabel 2.10 Ketentuan Sifat Lapis Pondasi Agregat Semen..................26
Tabel 2.11 Gradasi Lapis Pondasi Agregat Kelas C............................28
Tabel 2.12 Ketentuan Sifat Lapis Pondasi Agregat Kelas C..................28

Bab 3 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Perencanaan


Tebal Perkerasan
Tabel 3.1 Distribusi Beban Sumbu Untuk Berbagai Jenis Kendaraan 40
Tabel 3.2 Jenis Lokasi Pos Timbang Dan Jumlah Sampel..................43
Tabel 3.3 Contoh Spektra Beban Sumbu Kendaraan.........................53
Tabel 3.4 Beban Untuk Melakukan Penetrasi Batu Pecah Standar . 57
Tabel 3.5 Nilai R Untuk Menghitung CBR Segmen............................65
Tabel 3.6 Contoh Metode Grafis Untuk Menentukan CBRsegmen...........68
Tabel 3.7 Contoh Hasil Pengujian Dengan Alat DCP.........................71

250
Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur

Tabel 3.8 Korelasi Nilai MR dengan klasifikasi AASHTO dan CBR........77


Tabel 3.9 Korelasi Nilai MR dengan klasifikasi USCS dan CBR............78
Tabel 3.10 Berbagai Fungsi Jalan......................................................83
Tabel 3.11 Nilai IP dan Persentase Responden Yang Menerimanya......93
Tabel 3.12 Nilai IRI dan Persentase Responden Yang Menerimanya 94

Bab 4 Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur Metode AASHTO

Tabel 4.1 Gradasi Agregat Lapis Beton Aspal ................................ 99


Tabel 4.2 Karakteristik Benda Uji Beton Aspal............................... 99
Tabel 4.3 Gradasi Agregat Lapis Pondasi ..................................... 100
Tabel 4.4 Gradasi Agregat Lapis Pondasi Bawah ........................... 101
Tabel 4.5 Tebal Perkerasan Untuk Setiap Loop ............................ 102
Tabel 4.6 Beban Sumbu Dan Jenis Kendaraan Pada
Jalan Percobaan .......................................................... 103
Tabel 4.7 Perbedaan Antara Metode AASHO 1972 Dengan
Metode AASHTO 1993 ................................................. 110
Tabel 4.8 Contoh Data Frekwensi Beban Sumbu Untuk Truk
1.22+22 ...................................................................... 119
Tabel 4.9 Contoh Perhitungan E Truk 1.22+22 ............................ 120
Tabel 4.10 Faktor Umur Rencana ................................................. 123
Tabel 4.11 Nilai Reliabilitas, ZR Dan FR ........................................ 129
Tabel 4.12 Nilai Reliabilitas Sesuai Fungsi Jalan ............................ 130
Tabel 4.13 Kelompok Kualitas Drainase ......................................... 131
Tabel 4.14 Koefisien Drainase (m) ................................................ 132
Tabel 4.15 Tebal Minimum Lapis Permukaan Dan Lapis Pondasi....... 139

251
Lampiran 4 Daftar Tabel

Bab 5 Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur Metode SNI 1732-


1989-F

Tabel 5.1 Perbedaan Antara Metode AASHTO 1972


& SNI 1732-1989-F .............................................. 142
Tabel 5.2 Jumlah Lajur Berdasarkan Lebar Jalur .......................... 144
Tabel 5.3 Koefisien Distribusi ke Lajur Rencana ........................... 145
Tabel 5.4. Korelasi antara CBR dan DDT ....................................... 147
Tabel 5.5 Faktor Regional ........................................................... 139
Tabel 5.6 Indeks Permukaan Pada Awal Umur Rencana (IP0) ........ 148
Tabel 5.7 Indeks Permukaan Pada Akhir Umur Rencana (IPt) ........ 149
Tabel 5.8 Kinerja Struktur Perkerasan Jalan Di Akhir Umur Rencana 150
Tabel 5.9 Koefisien Kekuatan Relatif ........................................... 163
Tabel 5.10 Tebal Minimum Lapis Perkerasan......................................164

Bab 6 Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur


Metode Pt T-01-2002-B
Tabel 6.1 Indeks Permukaan Pada Awal Umur Rencana (IP0) ........ 173

Tabel 6.2 Indeks Permukaan Pada Akhir Umur Rencana (IPt) ........ 173

Tabel 6.4 Faktor Distribusi Lajur (DL) ........................................... 175


Tabel 6.4 Perbedaan metode AASHTO1993 dengan
Metode PtT-01-2002-B .............................................. 178

Bab 7 Perencanaan Tebal Lapis Tambah


Tabel 7.1 Faktor Koreksi Lendutan Terhadap Temperatur
Standar (Ft) ................................................................ 195
Tabel 7.2 Temperatur Tengah (Tt) dan Bawah (Tb) Lapis Beraspal 197
Tabel 7.3 Nilai Kondisi Perkerasan Jalan ..................................... 202
Tabel 7.4 Koefisien Kekuatan Relatif (a) Jalan Lama ...................... 204

252
Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur

Tabel 7.5 Nilai RCI secara visual.......................................................210

Tabel 7.6 Faktor Koreksi Penyesuaian Jenis Lapis Tambah (FKTBL).......216

Lampiran
Tabel L1.1 Nilai Angka Ekivalen Untuk Sumbu Tunggal, IPt = 2,0........221
Tabel L1.2 Nilai Angka Ekivalen Untuk Sumbu Tandem, IPt = 2,0........222
Tabel L1.3 Nilai Angka Ekivalen Untuk Sumbu Tridem, IPt = 2,0.........223
Tabel L1.4 Nilai Angka Ekivalen Untuk Sumbu Tunggal, IPt = 2,5........224
Tabel L1.5 Nilai Angka Ekivalen Untuk Sumbu Tandem, IPt = 2,5........225
Tabel L1.6 Nilai Angka Ekivalen Untuk Sumbu Tridem, IPt = 2,5.........226
Tabel L1.7 Nilai Angka Ekivalen Untuk Sumbu Tunggal, IPt = 3,0........227
Tabel L1.8 Nilai Angka Ekivalen Untuk Sumbu Tandem, IPt = 3,0........228
Tabel L1.9 Nilai Angka Ekivalen Untuk Sumbu Tridem, IPt = 3,0 229
Tabel L2.1 Nilai Angka Ekivalen Untuk Sumbu Tunggal Roda Tunggal 231
Tabel L2.2 Nilai Angka Ekivalen Untuk Sumbu Tunggal Roda Ganda. 231
Tabel L2.3 Nilai Angka Ekivalen Untuk Sumbu Ganda Roda Ganda 232
Tabel L2.4 Nilai Angka Ekivalen Untuk Sumbu Tripel Roda Ganda 232

253

Anda mungkin juga menyukai