Anda di halaman 1dari 6

Tugas Essay

Nama : Muhammad Rifqi Adhyatma


NRT : 2019.1752.1.01
Kelas :D
Prodi : Hukum Keimigrasian
Mata Kuliah : Kriminologi
Dosen Pengampu : Heru Susetyo

PENDAHULUAN
Diakui bahwa keberadaan buruh migran, termasuk buruh migran Indonesia, di
negara maju telah memberikan manfaat bagi semua bangsa. Negara maju bisa
mengalami penurunan produktivitas dan kebangkrutan ekonomi tanpa kontribusi
buruh migran (Bangruptcy, n.d.). mendapat julukan “pahlawan devisa” di Indonesia 1
(Heru, Duta Buruh, 2007). Menurut siaran pers tahun 2008, 85 persen di antaranya
adalah pekerja rumah tangga perempuan. Dalam praktiknya, pekerja di sektor
domestik pada awalnya dibedakan berdasarkan ras. dan perbedaan kelas, namun
kedua faktor tersebut tidak lagi menjadi bagian penting karena semuanya dipandang
berdasarkan kebutuhan ekonomi global yang semakin mendesak (Pei-Chia Lan,
November 2003).
Pekerja di sektor domestik sendiri diyakini sebagai bagian dari sejarah kelam
perbudakan dan kolonialisme. Menurut Kurniawan, PRT Most (2010), perempuan
pekerja migran yang bekerja di sektor domestik, terutama sebagai pekerja rumah
tangga, rentan terhadap kekerasan dan pelecehan. Hal ini karena pekerjaannya
terisolasi, di balik tembok dan di balik pintu tertutup, sehingga di luar masyarakat
biasanya tidak menyadari kekerasan yang dialami oleh pekerja rumah tangga
migran perempuan. Pelecehan seksual, kekerasan fisik, dan pemerkosaan yang
menyebabkan kematian adalah contoh dari kekerasan berbasis gender yang
dimaksud (Komnas HAM, Hak Asasi Manusia, 2004). Jika pekerja migran
perempuan tidak berdokumen, yang menyebabkan dia dikeluarkan dari tempat
kerjanya (Raijman, Schammah-Gesser, Kemp, 2003), situasi ini semakin buruk.

1
Nani Malyani adalah seorang buruh migran perempuan asal Cianjur, Jawa
Barat. Majikannya berulang kali memperlakukannya dengan kekerasan seksual
sampai dia hamil. Jika Nani memberi tahu siapa pun tentang pemerkosaannya,
majikannya akan selalu mengancam akan membunuhnya. Nani menderita kerugian
psikologis akibat kekerasan seksual, dan dia juga tidak dibayar selama dua tahun
bekerja di Arab Saudi (Yopi, TKW Diperkosa, 2009). Modesta kehilangan sebelah
telinga akibat tidak menerima upah selama sembilan belas bulan (Yunita, Pulang
TKI, 2009). Contoh lain adalah Siti Hajar, seorang buruh migran perempuan yang
mengalami kekerasan fisik dan verbal dari majikannya selama tiga tahun bekerja
sebagai pembantu rumah tangga (Kembali TKI, 2009). Kisah tragis Nani Malyani,
Modesta, dan Siti Hajar hanyalah segelintir dari sekian banyak perempuan pekerja
migran yang bekerja sebagai PRT yang menjadi korban kekerasan.
Perempuan yang bekerja sebagai buruh migran seringkali menjadi korban
kekerasan berbasis gender, yang seringkali disertai dengan ancaman seperti
perasaan tidak aman dan tidak diperlakukan sama. Beberapa cerita yang baru saja
disebutkan menempatkan mereka pada posisi yang sulit. (Sihite, 2003; Santina,
1999). Kekejaman yang sering terjadi di Arab Saudi, misalnya, lebih banyak
dipengaruhi oleh variabel-variabel sosial Timur Tengah, di mana kesan penaklukan
dalam bangsa belum hilang dengan alasan bahwa desain superpatriarki masyarakat
Saudi terkait dengan pemerintahan agama negara. kekuasaan (Kusumadewi, 2011).
Menurut Sahrasad (2011), mayoritas orang Arab Saudi masih memandang pekerja
rumah tangga migran perempuan sebagai budak dari perspektif sosiologis.
Kekerasan fisik, psikis, ekonomi, dan seksual merupakan segala bentuk
kekerasan yang dapat dilakukan terhadap perempuan pekerja migran. Selain itu,
mereka menghadapi kekerasan struktural akibat tidak adanya kebijakan yang
melayani kepentingan mereka, perlindungan hukum dari pemerintah Indonesia
mutlak diperlukan untuk menjamin keselamatan dan pelaksanaan hak-hak mereka.

PEMBAHASAN
Sejumlah kerentanan yang mungkin diterima oleh calon pekerja migran yang
masih berada di Indonesia dan pekerja migran Indonesia yang bekerja di luar negeri
seharusnya dapat menjadi landasan hukum dan payung bagi peraturan perundang-
undangan yang berlaku saat ini. pada kenyataannya, sejumlah peraturan
perundang-undangan yang ada belum sepenuhnya melindungi mereka.
Peneliti mencermati sejumlah undang-undang dan peraturan yang melindungi
pekerja migran dan menemukan beberapa kekurangan yang justru membuat para
pekerja ini lebih rentan terhadap kekerasan. Cacat tersebut antara lain kurangnya
perlindungan hukum, tanda-tanda eksploitasi, dan standarisasi yang tidak jelas.
Dengan kata lain, peraturan dan undang-undang yang ada belum mampu
sepenuhnya melindungi hak-hak pekerja migran yang merupakan warga negara
Indonesia. peraturan perundang-undangan yang seharusnya menjadi landasan
hukum dan payung hukum bagi buruh migran ternyata justru merugikan mereka
yang turut andil dalam kekerasan yang terjadi selama ini. kekerasan yang dialami
buruh migran.
Ketika sejumlah pekerja dikirim ke luar negeri, topik kekerasan terhadap
pekerja migran bukanlah hal baru. Pekerja rumah tangga migran, yang selanjutnya
disebut sebagai “pekerja rumah tangga migran”, sangat rentan terhadap kekerasan
karena mereka menempatkan nilai tinggi pada kemampuan mereka untuk bekerja.
pekerjaan rumah tangga rutin.
Setelah bertahun-tahun yang tak terhitung banyaknya tindakan mengirim
spesialis transien ke negara lain dan menjadikan mereka salah satu mata air gaji
negara (perdagangan yang tidak dikenal), barulah pada tahun 2004 peraturan lain
dibentuk tentang keamanan buruh musafir, khususnya Peraturan no. 39 Tahun 2004
tentang Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri dan Penempatannya
Akibat kebijakan yang begitu banyak memberi ruang kepada pihak swasta atau
PJTKI atau PPTKIS, tujuan mulia pemerintah ini malah menjadi pemicu
memburuknya kasus kekerasan. Menurut Quinney (1979), berkembangnya benih-
benih kapitalisme di Indonesia melalui kebijakan dibuktikan dengan adanya
kerjasama antara pemerintah dan swasta ini.
Perempuan yang bekerja sebagai pekerja rumahan akibat kebijakan ini kini
lebih berpeluang menjadi korban KDRT dibandingkan sebelumnya. Seperti yang
telah menjadi wacana publik, dugaan kekerasan tidak hanya mencakup kekerasan
fisik tetapi juga kekerasan struktural sebagai akibatnya. sebuah kebijakan negara.
PRT migran perempuan kini diperlakukan seperti komoditas milik negara yang siap
diekspor karena kewenangan PJTKI yang luas. Padahal, undang-undang ini
menggambarkan pekerja rumah tangga dan pekerja migran, khususnya perempuan,
secara struktural dieksploitasi oleh negara. Dengan kata lain, hukum ini mengizinkan
menyakiti orang lain.
Karena memiliki sejumlah kewenangan untuk menentukan penempatan dan
memberikan pelatihan bagi pekerja migran, maka kebijakan pemberian kekuasaan
untuk menetapkan penempatan ini mengangkat PJTKI di atas undang-undang,
PJTKI dan Pemerintah, sebagai mitra, bersama-sama mencari keuntungan tanpa
mempertimbangkan perlindungan yang layak. Secara alami, pekerja rumah tangga,
yang remitansinya lebih tinggi daripada laki-laki, adalah kelompok pekerja migran
yang paling terkena dampak.
Pemerintah menggunakan banyaknya jumlah perempuan tidak produktif yang
kurang pengetahuan dan keterampilan sebagai alasan untuk memberdayakan
mereka dan mengirim dan mempekerjakan mereka sebagai pekerja rumah tangga di
luar negeri dalam upaya untuk meningkatkan cadangan devisa negara (Vold, 1998).
dapat dipastikan bahwa mayoritas perempuan Indonesia yang dikirim sebagai
pekerja migran dipekerjakan sebagai pekerja rumah tangga dengan upah rendah
karena kerentanan mereka terhadap kekerasan dan kurangnya keterampilan. Selain
itu, meskipun mereka benar-benar membutuhkannya (Parkin, 1979), mereka tidak
memiliki perlindungan hukum yang dapat mereka andalkan jika terjadi sesuatu yang
merugikan mereka sebagai pekerja atau warga negara.
Sesuai dengan paradigma kriminologi kritis, yang menekankan bahwa
kejahatan disebabkan oleh kekuatan yang menciptakan ketidakseimbangan
kekuatan struktural (Vold et al., 1998). Pada kenyataannya, kebijakan saat ini sangat
dipengaruhi oleh keinginan untuk memperbaiki perekonomian negara, tetapi mereka
sangat menentang perlindungan yang seharusnya diberikan kepada perempuan
pekerja rumah tangga migran (Deliarnov, 2006; Engels, 2004; Parkin, 1979)
Perempuan merupakan mayoritas pekerja migran, dan sebagian besar dari
mereka melakukan tugas-tugas rumah tangga. Pekerja rumah tangga biasanya
berasal dari keluarga miskin dan memiliki pendidikan dan pengalaman yang
terbatas. Situasi ini menunjukkan upaya Pemerintah untuk mengeksploitasi sumber
daya mereka dan menunjukkan pengakuan berkelanjutan Indonesia terhadap
pembagian kerja berbasis gender (Evoita, 1992; Hoyle and Young, 2002; Olley,
Wolhuter, dan Denham, 2009).
Memanfaatkan sumber daya dengan keterbatasan ekonomi dan pengetahuan
adalah cara termudah bagi negara berkembang untuk mendapatkan sejumlah
manfaat (Marazzi, 2010). Besarnya perlindungan yang seharusnya mereka terima
tidak diimbangi dengan kebijakan ini. Padahal, ranah domestik telah disebut sebagai
ruang privat hingga saat ini, dan tidak semua orang bisa mengetahui atau bahkan
mengontrol apa yang terjadi di sana. Akibatnya, seharusnya ada bentuk pertahanan
negara yang lebih kuat dan kokoh terhadap mereka.
Karena tidak ada perlindungan yang cukup bagi mereka, sikap negara ini
membuat mereka lebih cenderung menjadi korban kekerasan. Ini adalah kejahatan
negara, menurut Clinard dan Yeager (1980), ketika suatu kebijakan menguntungkan
satu pihak sementara menyebabkan penderitaan bagi pihak lain.
Selain itu, Indonesia belum meratifikasi konvensi migran, yang justru dapat
memperkuat posisi tawar Indonesia dengan dunia internasional. Akibatnya, negara
seolah mengabaikan segala hal yang dialami pekerja migran, khususnya pekerja
rumah tangga perempuan, selama proses tersebut. kelalaian menunjukkan adanya
ketakutan dan menunjukkan bahwa tidak ada upaya serius yang dilakukan untuk
mengatasi berbagai masalah yang muncul. Pemerintah bertanggung jawab atas
perlindungan yang lebih substansial dan luas. Menurut Dye (1972), kelalaian ini
sebenarnya juga merupakan bentuk Akan tetapi, Negara ikut berkontribusi terhadap
kekerasan terhadap warga negara jika membiarkan warganya mengalami tindakan
kekerasan melalui kebijakannya. Negara telah melakukan kejahatan terhadap
warganya dari sudut pandang kriminologi. Kriminologi juga memperhitungkan sejauh
mana dimana suatu kebijakan mempengaruhi penderitaan pekerja migran,
khususnya perempuan migran domestik pekerja, serta ada atau tidaknya suatu
tindakan dalam peraturan perundang-undangan Pemerintah (KUHP).
Dengan menggunakan kriminologi kritis, kebijakan dapat dijadikan bahan
kajian untuk mengungkap suatu kejahatan (Powell, 2009), dan terbukti bahwa sikap
pemerintah yang kurang memberikan perlindungan telah menunjukkan minat untuk
meningkatkan dukungan devisa bagi kebijakannya (Quinney, 1979)).
Menurut Spicker (1995), pemerintah seharusnya dapat memberikan
perlindungan yang maksimal sebagai bentuk pelayanan kepada warga negara.
Mereka berhak atas perlindungan ini sebagai warga negara, dan mereka juga telah
memberikan kontribusi yang signifikan terhadap penerimaan devisa negara.
perlindungan menunjukkan bahwa mereka adalah korban ekonomi politik
pemerintah, di mana tujuan mendapatkan uang melalui devisa diprioritaskan
daripada memberikan perlindungan untuk membantu mencapai tujuan tersebut.
Perempuan lebih cenderung dipekerjakan di ranah domestik karena
pembagian kerja gender, yang juga meningkatkan kerentanan mereka terhadap
kekerasan. Mereka berhak mendapat perhatian dan perlindungan lebih karena
lingkungan kerja. Marazzi (2010) menyatakan bahwa situasi ini adalah juga
dipengaruhi oleh tuntutan global yang memaksa negara berkembang untuk terus
memberdayakan perempuan dari kelas ekonomi bawah untuk turut serta
meningkatkan perekonomian negara. Selain itu, Indonesia masih menerapkan
pembagian kerja berdasarkan gender. Mereka akhirnya menjadi korban kekerasan
struktural akibat kebijakan ini (Clinard dan Yeager, 1980), karena Negara
menggunakan kekuasaannya untuk membuat kebijakan tanpa mempertimbangkan
isu perlindungan menyeluruh. Selama ini terjadi, kekerasan struktural merupakan
salah satu jenis kejahatan negara.

PENUTUP
A. Kesimpulan
Pemerintah tidak memberikan perlindungan bagi mereka sebagai pemangku
kepentingan dalam menentukan sebuah kebijakan. Padahal dilihat dari paradigma
kritis kriminologi, sebenearnya kewenangan merumuskan kebijakan yang mengatur
tentang pihak-memihak kebijakan tersebut telah dimiliki oleh pemerintah. Padahal
faktanya kebijakan yang ada dapat memberikan peluang bagi pemegang
kekuasaan untuk mengambil keuntungan. Artinya bahwa kekerasan terhadap
mereka dapat berkembang sehingga berakibat kebijakan yang telah ada tidak
dapat diandalkan lagi.
Dalam hal ini individu yang membutuhkan pemberdayaan dipandang oleh
pemerintah hanya sebagai alat untuk meningkatkan perekonomian bangsa.
Ironisnya Negara sebagai pembuat kebijakan tidak ingin memberikan layanan
kepada perempuan migran domestic. Pemerintah menganggap bahwa seorang
pekerja harus diimbangi dengan perlindungannya, hal itu yang membuat negara
terkesan memandang mereka hanya sebagai alat komunikasi nasional.
Salah satu bentuk dari sebuah pembiaraan adalah pemerintah yang focus
utuk meningkatkan negara tanpa memberikan perlindungan kepada warga negara
yang paling berhak. Walaupun hal ini mengurangi potensi terjadinya eksploitasi,
diskriminasi, dan kekerasan, hal ini tetap sebuah kebijakan yang dapat di terapkan
dalam suatu negara. Dalam hal ini, berarti sebuah negara ikut berpartisipasi dalam
kekerasan struktural terhadap mereka dengan menerapkan kebijakan yang tidak
memberikan pelayanan atas kebutuhan pekerja migran.
B. Saran
Jangan hanya mengakui bahwa kekerasan dalam rumah tangga terjadi. Karena
kebijakan yang tidak memihak ini, diperlukan pemahaman yang lebih luas
tentang fakta bahwa mereka sebenarnya adalah korban kekerasan struktural.
Batasan Izin PJTKI. PJTKI jauh dari tugas dan tanggung jawab pemerintah
selama pra-penempatan, relokasi dan repatriasi.
Tawarkan pekerja rumah tangga, terutama perempuan, kepada pekerja migran
sebagai pekerja daripada komoditas. Untuk memastikan bahwa mereka tidak
terus menjadi korban kekerasan fisik, psikis, seksual, ekonomi dan struktural
sebagai akibat dari kebijakan, mereka berhak mengetahui semua tanggung
jawabnya sebagai pekerja.

Anda mungkin juga menyukai