Anda di halaman 1dari 5

BBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBB.

IX

Asuransi Syariah
1. Alasan Asuransi Syariah
Indonesia merupakan masyarakat muslim mayoritas, oleh sebab itu perlu adalah sebuah
alternatif sistem asuransi sesuai dengan syariat Islam mengingat banyak kalangan yang
berpendapat bahwa asuransi tidak Islami karena mendahului takdir Allah. Asuransi tidak
dijelaskan dengan jelas dan tegas dalam nash Al-Qur`an maka masalah asuransi ini dipandang
sebagai masalah ijtihadi yaitu perbedaan dikalangan ulama’ yang sulit dihindari dan perbedaan
tersebut harus dihargai sebagai bentuk rahmat.

Ulama’ yang melarang praktik Asuransi Konvensional diantaranya Sayyid Sabiq, ‘Abd Allâh al-Qalqi
(mufti Yordania), Yusuf Qaradhâwi dan Muhammad Bakhil al-Muth’i (mufti Mesir). Beliau
mengatakan bahwa Asuransi itu haram dalam segala macam bentuknya, temasuk asuransi jiwa.
Karena mengandung unsur ketidakjelasan (gharar), unsur penjudian (maisir), unsur bunga (riba).
Adapun asuransi syariah bersumber dari Alqur’an, Hadist, Ijma (Ijthihad).

Sedangkan para ulama’ yang memperbolehkan praktik asuransi dengan alasan bahwa:
1). Tidak ada nas (Al-Qur`an dan Sunnah) yang melarang
asuransi;
2). Ada kesepakatan dan kerelaan kedua belah pihak;
3). Saling menguntungkan kedua belah pihak;
4). Asuransi dapat menanggulangi kepentingan
umum, sebab premi-premi yang terkumpul dapat di investasikan untuk proyek-proyek yang
produktif dan pembangunan;
5). Asuransi termasuk akad mudhârbah (bagi hasil);
6). Asuransi termasuk koperasi (syirkah
ta’âwuniyah);
7). Asuransi dianalogikan (qiyas) dengan sistem
pensiun seperti taspen.

Adapun ulama’ yang memperbolehkan adanya praktik


asuransi diantaranya Abd. Wahab Khallaf, Mustafa Akhmad
Zarqa (guru besar Hukum Islam pada fakultas Syariah Universitas Syria), Muhammad Yûsuf Musa
(guru besar Hukum Isalm pada Universitas Cairo Mesir), dan ‘Abd Rahman ‘Isa (pengarang kitab
al-Muamalah al-Haditsah wa Ahkâmuha).

Adapun perbedaan asuransi Islam dan asuransi konvensional adalah sebagai berikut 9
1). Dari segi konsep. Dalam konsep konvensional, asuransi adalah perjanjian antara dua pihak
atau lebih, dengan mana pihak penanggung mengikatkan diri kepada tertanggung, dengan
menerima premi asuransi, untuk memberikan pergantian kepada tertanggung. Sedangkan dalam
konsep Islam, asuransi adalah sekumpulan orang-orang yang saling membantu, saling menjamin,
dan bekerja sama, dengan cara masing- masing mengeluarkan dana tabarru’.
2). Dari asal-usul. Asuransi Konvensional berasal dari masyarakat Babilonia 4000-3000 SM yang
dikenal dengan perjanjian Hammurabi. Pada tahun 1668 M di Coffe House London berdirilah
Lloyd of London sebagai cikal- bakal asuransi konvensional. Adapun Asuransi Islam berasal dari al
aqilah, kebiasaan suku Arab jauh sebelumIslam datang. Kemudian disahkan oleh Rasulullah
menjadi hukum Islam, bahkan telah dituangkan dalam konstitusi pertama di dunia (Konstitusi
Madinah) yang dibuat langsung oleh Rasulullah;
3). Dilihat dari sumber hukumnya. Asuransi konvensional bersumber dari pikiran manusia dan
kebudayaan. Asuransi konvensional berdasarkan pada hukum positif, hukum alam, dan contoh-
contoh yang ada sebelumnya. Sedangkan asuransi Islam bersumber dari wahyu Allah, Sunnah
Nabi Muhammad saw., Ijma’, qiyas, istihsan, ‘urf, dan maslahah mursalah.
4). Asuransi konvensional tidak selaras dengan syariah Islam karena adanya maisir, gharar, dan
riba yang diharamkan dalam mu’amalah. Sedangkan asuransi Islam bersih dari adanya maisir,
gharar, dan rib.10
5). Dalam asuransi konvensional tidak ada Dewan Pengawas Syariah, karena prinsip-prinsipnya
tidak berdasarkan syariah Islam sehingga dalam praktiknya banyak bertentangan dengan kaidah-
kaidah syara’.
6). Asuransi konvensional menggunakan akad jual- beli, sedangkan asuransi Islam menggunakan
akad tabarru’, tijarah, mudlarabah, wakalah, wadiah, syirkah, dan sebagainya.
7). Dari segi jaminan/risk, asuransi konvensional menggunakan transfer of risk, di mana terjadi
transfer risiko dari tertanggung kepada penanggung, sedangkan asuransi Islam menggunakan
sharing of risk, di mana terjadi proses saling menanggung antara satu peserta dengan peserta
lainnya;
8. Dari segi pengelolaan, dalam asuransi konvensional tidak ada pemisahan dana, yang berakibat
pada terjadinya dana hangus (untuk produk saving-life). Sedangkan dalam asuransi Islam, pada
produk-produk saving (life) terjadi pemisahan dana, yaitu dana tabarru’, derma dan dana peserta,
sehingga tidak mengenal istilah dana hangus.Untuk term insurance (life) dan general insurance
semuanya bersifat tabarru’.
9. Dalam asuransi konvensional bebas melakukan investasi
dalam batas-batas ketentuan perundang-undangan, dan tidak terbatasi pada halal dan haramnya
obyek atau sistem investasi yang digunakan. Sedangkan dalam asuransi Islam, investasi dapat
dilakukan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan, sepanjang tidak bertentangan dengan
prinsip-prinsip syariah Islam. Di samping itu, dalam melakukan investasi, asuransi bebas dari riba
dan tempat-tempat investasi yang terlarang;
10. Dalam asuransi konvensional, dana yang terkumpul dari premi peserta seluruhnya menjadi
milik perusahaan. Perusahaan bebas menggunakan dan menginvestasikan ke mana saja.
Sedangkan dalam asuransi Islam, dana yang terkumpul dari peserta dalam bentuk iuran atau
kontribusi, merupakan milik peserta, asuransi syariah hanya sebagai pemegang amanah dalam
mengelola dana tersebut;
11. Dalam asuransi konvensional, unsur premi terdiri dari
tabel mortalita (mortality tables), bunga (interest), biaya- biaya asuransi (cost of insurance).
Dalam asuransi Islam, iuran atau kontribusi terdiri dari unsur tabarru’ dan tabungan (yang tidak
mengandung unsur riba). Tabarru’ juga dihitung dari tabel mortalita, tetapi tanpa perhitungan
bunga teknik;
12. Loading pada asuransi konvensional cukup besar terutama diperuntukkan bagi komisi agen,
bisa menyerap premi tahun pertama dan kedua. Karena itu, nilai tunai pada tahun pertama dan
kedua biasanya belum ada (masih hangus), sedangkan pada sebagian asuransi Islam, loading
(komisi agen) tidak dibebankan pada peserta tetapi dari dana pemegang saham. Akan tetapi,
sebagian yang lainnya mengambilkan dari sekitar 20-30 persen saja dari premi tahun pertama.
Dengan demikian, nilai tunai tahun pertama sudah terbentuk;
13. Padaasuransikonvensional,sumberbiayaklaimadalahdari rekening perusahaan, sebagai
konsekuensi penanggung terhadap tertanggung. Dari praktiknya tampak benar bahwa asuransi
konvensional merupakan bisnis murni dan tidak ada nuansa spiritualnya; Sedangkan pada
asuransi Islam, sumber pembiayaan klaim diperoleh dari rekening tabarru’, di mana peserta saling
menanggung. Jika salah satu peserta mendapat musibah, peserta lainnya ikut menanggung
bersama risiko tersebut;
14. Sistem akuntansi yang dianut asuransi konvensional adalah konsep akuntansi accrual basis,
yaitu proses akuntasi yang mengakui terjadinya peristiwa atau keadaan nonkas. Di samping
asuransi konvensional juga mengakui pendapatan, peningkatan aset, expenses, leabilities dalam
jumlah tertentu yang baru akan diterima dalam waktu yang akan datang. Adapun asuransi Islam
menganut konsep akuntansi cash basis, mengakui apa yang benar-benar telah ada, sedangkan
accrual basis dianggap bertentangan dengan syariah karena mengakui adanya pendapatan, harta,
beban atau utang yang akan terjadi di masa yang akan datang. Sementara apakah itu benar-benar
dapat terjadi hanya Allah yang tahu;
15. Pada asuransi konvensional, keuntungan yang diperoleh dari surplus underwriting, komisi
reasuransi, dan hasil investasi seluruhnya adalah keuntungan perusahaan. Sedangkan pada
asuransi Islam, proit yang diperoleh dari surplus underwriting, komisi reasuransi dan hasil
investasi, bukan seluruhnya menjadi milik perusahaan, tetapi dilakukan bagi hasil dengan
peserta;
16. Secara garis besar misi utama asuransi konvensional adalah misi ekonomi dan sosial. Adapun
misi yang diemban oleh asuransi Islam adalah misi akidah, misi ibadah (ta’awun), misi ekonomi,
dan misi pemberdayaan umat.

2. Dasar Hukum Asuransi Syariah :


a. Pasal 1 ayat 1 Fatwa Dewan yariah Nasional MUI No. 21/DSN-MUI/X/2001 adalah usaha saling
melindungi dan tolong-menolong di antara sejumlah orang / pihak melalui investasi dalam
bentuk aset dan atau tabarru yang memberikan pola pengembalian untuk menghadapi resiko
tertentu melalui akad yang sesuai dengan syariah;
b. Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia No. 424.KMK.06/2003 Tentang Kesehatan
Keuangan Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi;
c. Keputusan Menteri Keuangaan Republik Indonesia No. 426/KMK.06/2003 Tentnag Perizinan
Usaha dan Kelembagaan Perusahaan Reasuransi;
d. Keputusan Dirjen Lembaga Keuangan No. Kep. 4499/LK/2000 Tentang Jenis, Penilaian, dan
Pembatasan Reasuransi dengan sistem syariah.

3. Penyelenggaraan asuransi syariah a. Pembuatan akad


Perjanjian yang digunakan adalah perjanjian tolong menolong (akad takaful) atau perjanjian
kebaikan (akad tabarru) dan perjanjian bagi hasil (akad mudharabah). Perusahaan asuransi telah
menyediakan rekening khusus sebagai dana tolong menolong yang telah diniatkan secara ikhlas
oleh peserta pada saat menjadi peserta asuransi. Oleh karena itu ketika pertama kali membayar
premi penempatannya dipisah menjadi dua, yaitu pada rekening peserta dan rekening tabarru
yang besarnya pada rekening tabarru tergantung usia, sehingga jika ada peserta yang meninggal
atau mengambil uang tunai dapat diambil di rekening itu.
b. Konsep Bagi Hasil (Akad Mudharabah)
Pengatutan penentuan penempatan dana pada pihak ketiga beserta bagi hasil diatur
dalam akad (Perjanjian).

4. Syarat-syarat Pembayaran Klaim :


a. Polis asli;
b. Mengisi formulir pengajuan klaim;
c. Fotokopi identitas diri yang masih berlaku;
d. Melampirkan surat pemberitahuan jatuh tempo tahapan khusus;
e. Surat keterangan medis dari dokter;
f. Khusus yang meninggal, daftar pertanyaan;
g. Surat kematian dari pemerintah yang berwenang;
h. Surat dari dokter tentang sebab kematian;
i. Surat dari kepolisian tentang sebab meninggal (apabila kecelakaan).
5. Prosedur Pengacuan Klaim
a. Melapor kepada Perusahaan Asuransi jika terjadi evenemen, jika meninggal paling lama 6
bulan.
b. Mengisi pengajuan formuli klaim dan daftar pertanyaan, jika meninggal;
c. Dokumen-dokumen pendukung klaim;
d. Pembayaran dilakukan di kantor pusat cabang atau kantor perwakilan yang ditunjuk.

BBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBB.

X
PENYELESAIAN SENGKETA ASURANSI MELALUI BPSK DAN BADAN MEDIASI ASURANSI
INDONESIA

Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen


UU No 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen memiliki tujuan untuk memberdayakan
konsumen agar berada di posisi yang setara dan seimbang serta memberi kepastian hukum.
Terkait dengan hal tersebut dapat dilihat pada Pasal 4 :
a. Hak atas kenyamanan, keamanan dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan jasa; b.
Hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan /
atau jasa;
c. Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan / jasa yang digunakan;
d. Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan dan upaya penyelesaian sengketa
perlindungan konsumen secara patut;
e. Hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen;
f. Hak unuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;
g. Hak untuk memperoleh kompensasi ganti rugi dan / atau penggantian, apabila barang dan
jasa tidak sesuai dengan perjanjian.
Pasal 4 UU no 8 Tahun 1999 memberi peluang penyelesaian sengketa lainnya bagi Tertanggung
yang dirugikan untuk menyelesaikan sengketanya di Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen
selain mengajukan gugatan wanprestasi ke Pengadilan Negeri, jangka waktu yang lebih cepat
(putusan 21 hari, sementara 7 hari sejak tanggal dikeluarkannya putusan itu, harus ada
pelaksanaan. Selain itu putusannya juga bersifat final dan mengikat, juga membuat Tertanggung
dapat mengajukan sita eksekutorial ke Pengadilan Negeri, manakala hasil putusan tidak
dilaksanakan.

Biro Mediasi Asuransi Indonesia (BMAI)


Biro Mediasi Asuransi Indonesia (BMAI) yang memiliki dua tahap, yaitu: a. Mediasi
Laporan keluhan yang ditangani BMAI akan ditangani oleh Case Manager. Case Manager akan
mengusahakan agar Tertanggung dan Perusahaan Asuransi dapat mencapai suatu penyelesaian
secara damai dan adil bagi kedua belah pihak. Dalam kasus perselisihan
yang umum, Case Manager akan bertindak sebagai mediator b. Ajudikasi
Bila perselisihan tidak dapat diselesaikan melalui mediasi, kasus perselisihan akan dibawa ke
tingkat ajudikasi untuk diputuskan oleh Ajudikator atau Penal Ajudikator yang ditunjuk oleh BMAI
Lembaga ini hanya memproses sengketa yang terjadi antara pemegang polis dan perusahaan
asuransi. Klaim maksimal 500 juta untuk asuransi umum dan 300 juta untuk asuransi jiwa dan
asuransi jaminan sosial, selain itu harus dibawa ada penyelesaian internal terlebih dahulu tapi
gagal.
Sengketa yang tidak dapat diselesaikan di BMAI adalah penetapan harga premi, kebijakan yang
berhubungan dengan suku bunga dan biaya-biaya, standar aktuaria, dan ketentuan yang berlaku
umum serta terhubung dengan tindak kriminal.

Anda mungkin juga menyukai