Anda di halaman 1dari 25

BAB VI

ISLAM DAN PESOALAN EKONOMI

A. Pendahuluan
Ekonomi Islam saat ini tumbuh dan berkembang menjadi kekuatan
ekonomi dunia yang sangat diperhitungkan. Pada saat dua sistem ekonomi
dunia, kapitalisme dan sosialisme terevaluasi secara tajam, ekonomi Islam
perlahan tapi pasti semakin tumbuh dan berkembang. Hal ini ditunjukkan
dengan perkembangan dan kemajuan praktik keuangan Islam yang fantastis,
telah mengubah peta pemikiran dan praktik keuangan dunia secara signifikan.
Meski baru lahir pada 1975 (merujuk pendirian Islamic Development
Bank/IDB di Jeddah), diskursus dan praktik keuangan Islam telah merambah
negara maju dan berkembang di lima benua. Padahal, sebelum IDB berdiri,
format ekonomi dan keuangan Islam masih kabur. Perkembangan itu tidak
hanya menghapuskan keraguan sebagian umat Islam akan kemampuannya
mengatasi persoalan-persoalan internal yang berat, melainkan juga
mempertebal keyakinan mereka bahwa sistem keuangan Islam jauh lebih adil,
fair, dan stabil dibanding sistem keuangan yang ada.
Di beberapa universitas di Saudi Arabia, mulai diajarkan Dirâsah Fî al-
Iqtishâd al-Islâmi, seperti di Universitas Imam di Riyadh dan Ummul Quro di
Makkah. Di Pakistan didirikan International Institute of Islamic Economics
pada 1980 dan di Malaysia didirikan Kulliyah of Islamic Economics pada
1983. Di Indonesia, walaupun isu tentang ekonomi Islam relatif terlambat
masuk, namun ada antusiasme yang kuat untuk mempelajarinya, seolah hendak
mengejar ketertinggalan. Di Indonesia, perkembagan kajian ilmiah ini sangat
beragam dan dinamis, karena telah melibatkan perguruan tinggi negeri dan
swasta, baik yang dimiliki umat Islam maupun non-Muslim. Hampir setiap
perguruan tinggi sudah mulai membuka program khusus Ekonomi Islam atau
dikenal juga dengan Ekonomi Syari’ah.

106
Sistem Keuangan Ekonomi Islam -kemudian makin mendunia setelah Inggris
mengadopsinya- telah berkembang pesat selama dekade terakhir. Sistem
ekonomi ini telah menarik semua pemain internasional kunci, meninggalkan
Amerika Serikat dalam industri global yang semakin menguntungkan itu.
Inggris telah menjadi penggerak pertama bagi pengembangan perbankan
syariah di Eropa, meskipun penduduk Muslimnya (1,8 juta orang) relatif lebih
kecil bila dibandingkan dengan Prancis (6 juta orang) dan Jerman (3,3 juta
orang). Indikator tersebut bisa dilihat dari posisi aset perbankan dan keuangan
syariah negara tersebut yang bertengger di posisi 8 dunia. Kinerja perbankan
Islam di Inggris sampai akhir 2010 ini masih terlihat mendominasi. Kemajuan
pesat ini disebabkan oleh kebijakan peraturan yang lebih kondusif dan mampu
menyedot perhatian investor, khususnya Timur Tengah. Hal yang sama juga
berusaha dilakukan oleh negara-negara Eropa lainnya, seperti Belanda yang
berambisi mengejar ketertinggalannya sebagai pemain di industri keuangan
syariah.
Tidak hanya Inggris dan Belanda, kinerja perbankan dan keuangan Islam
mengalami kemajuan yang sangat pesat di beberapa Negara Eropa lainnya.
Mereka berlomba-lomba menyiapkan berbagai fasilitas baik regulasi, kebijakan
dan infrastruktur untuk bisa menangkap peluang pasar yang ada. Regulasi
perbankan yang ada di Eropa memungkinkan pendatang pasar baru untuk
mengembangkan dan menembus pasar Eropa tanpa harus membentuk kantor
cabang di setiap negara anggota Uni Eropa. Prancis baru-baru ini
mengumumkan telah menghilangkan pajak bagi investor dan meningkatkan
kerangka regulasi yang kondusif untuk mendirikan lembaga keuangan Islam di
negara ini. Sedangkan Jerman telah menerbitkan sukuk, sebagai pintu
investasinya. Di sisi lain, Italia dan Belgia tengah melakukan kajian untuk
menerbitkan sukuk, mengikuti jejak Jerman.
Karena tingginya tingkat pertumbuhan perbankan syariah, pasar keuangan
syariah ini menjadi sangat menarik bagi perbankan konvensional yang ada di

107
Eropa. Bank-bank internasional besar seperti HSBC, UBS atau Deutsche Bank
telah menyiapkan diri untuk memenuhi kebutuhan, khususnya para nasabah.
Perkembangan ini menunjukkan posisi strategis ekonomi Islam dalam ranah
empiris sangatlah strategis. Hal ini juga menjadi bukti (burhan) yang sangat
jelas, bahwa Islam sebagai sebuah ajaran Agama tidak terlepas dari isu-isu
penting dan strategis dalam kehidupan manusia di muka bumi. Monzer Kahf1
menegaskan ada hubungan yang sangat kuat antara agama dan ekonomi. Ia
Menjelaskan bahwa jika agama sebagaimana didefinisikan oleh beberapa tokoh
seperti Michel Mayor dan Muhammad Abdullah Draz mencakup perilaku
manusia dalam semua tahap dan aspeknya, tentu ekonomi juga merupakan
masalah yang diperhatikan dalam kajian agama. Karena ekonomi pada
umumnya didefinisikan sebagai kajian tentang perilaku manusia dalam
hubungannya dengan pemanfaatan sumber-sumber produktif yang langka
untuk memproduksi barang-barang dan jasa-jasa serta mendistribusikannya
untuk dikonsumsi. Jelas ekonomi merupakan salah satu aspek yang
diperhatikan dalam agama, bahkan setiap agama memiliki ajaran sendiri
mengenai cara manusia mengorganisasikan kegiatan-kegiatan ekonominya.
Dalam al-Qur’an terdapat beberapa contoh jelas mengenai ajaran para Rasul di
masa lalu yang menekankan bahwa perilaku ekonomi merupakan salah satu
bidang perhatian agama. Contoh pernyataan Nabi Syu’aib berikut merupakan
pesan ekonomik.
Ketika Syu'aib Berkata kepada mereka: "Mengapa kamu tidak bertakwa?,
Sesungguhnya Aku adalah seorang Rasul kepercayaan (yang diutus)
kepadamu. Maka bertakwalah kepada Allah dan 'taatlah kepadaku; Dan Aku
sekali-kali tidak minta upah kepadamu atas ajakan itu; upahku tidak lain
hanyalah dari Tuhan semesta alam. Sempurnakanlah takaran dan janganlah
kamu termasuk orang- orang yang merugikan; Dan timbanglah dengan
timbangan yang lurus. Dan janganlah kamu merugikan manusia pada hak-

1
Monzer Kahf, Ekonomi Islam, Telaah Analitik Terhadap Sistem Ekonomi Islam,
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995, h. 1-2.

108
haknya dan janganlah kamu merajalela di muka bumi dengan membuat
kerusaka.(QS. asy-Syuara : 177-183)
Ini merupakan salah satu contoh bahwa di Makah, bahkan sebelum
terbentukanya masyarakat Muslim di Madinah, ayat-ayat al-Qur`an sudah
menampilkan pandangan Islam mengenai hubungan antara agama dan
keimanan terhad apa adanya Allah dan Hari Kiamat, di satu pihak, dan perilaku
ekonomi dan sistem ekonomi, di pihak lain2.

B. Pengertian Ekonomi Islam


Dawam Rahardjo3, memilah istilah ekonomi Islam ke dalam tiga kemungkinan
pemaknaan, pertama yang dimaksud ekonomi Islam adalah ilmu ekonomi
yang berdasarkan nilai atau ajaran Islam. Kedua, yang dimaksud ekonomi
Islam adalah sistem. Sistem menyangkut pengaturan yaitu pengaturan kegiatan
ekonomi dalam suatu masyarakat atau negara berdasarkan suatu cara atau
metode tertentu. Sedangkan pilihan ketiga adalah ekonomi Islam dalam
pengertian perekonomian umat Islam.
Beberapa definisi dan pengertian Ekonomi Islam telah dikemukakan oleh para
pakar yang mengembangkan keilmuan ini. Dapat disebutkan di sini antara lain
para pakar ekonomi Islam kontemporer seperti: 1) Umar Chapra 4, Ilmu
ekonomi Islam menurutnya adalah suatu cabang pengetahuan yang membantu
merealisasikan kesejahteraan manusia melalui suatu alokasi dan distribusi
sumberdaya alam yang langka yang sesuai dengan Maqashid, tanpa mengekang
kebebasan individu untuk menciptakan keseimbangan makroekonomi dan
ekologi yang berkesinambungan, membentuk solidaritas keluarga, sosial dan
jaringan moral masyarakat; 2) S.M. Hasanuzzaman 5: “Ilmu ekonomi Islam
adalah pengetahuan dan aplikasi dari ajaran dan aturan syari’ah yang
mencegah ketidakadilan dalam memperoleh sumber-sumber daya material
2
Op.cit., h. 3.
3
M. Dawam Rahardjo, Islam dan Transformasi Sosial Ekonomi, Jakarta: LSAF, 1999, h. 3-4
4
M. Umar Chapra, The Future of Economics: an Islamic Perspektive, Jakarta: SEBI, 2001
5
Hasanuzzaman, “Definition of Islamic Economics” dalam Jurnal of Research in Islamic
Economics, Vol 1 No. 2, 1984.

109
sehingga tercipta kepuasan manusia dan memungkinkan mereka menjalankan
perintah Allah dan masyarakat.; 3) M. Nejatullah Siddiqi6 mendefisinisikan:
“Ilmu ekonomi Islam adalah jawaban dari pemikir muslim terhadap
tantangan-tantangan ekonomi pada zamannya, dengan panduan Qur’an dan
Sunnah, akal dan pengalaman.”; 4) Syed Nawab Haider Naqvi7: “ Ilmu
ekonomi Islam adalah perwakilan perilaku kaum muslimin dala suatu
masyarakat muslim tipikal”. Tidak jauh berbeda dengan pemikir lainnya,
Muhammad Abdul Manan8 berpendapat bahwa ilmu ekonomi Islam adalah
ilmu pengetahuan sosial yang mempelajari masalah-masalah ekonomi rakyat
yang diilhami oleh nilai-nilai Islam. Bagi Mannan ekonomi Islam merupakan
studi tentang masalah-masalah ekonomi dari setiap individu dalam masyarakat
yang memiliki kepercayaan terhadap nilai-nilai kehidupan Islam atau Homo
Islamicus. Secara keseluruhan gagasan ekonomi M.A Mannan dapat
dikategorikan sebagai gagasan Islamisasi ekonomi konvensional. Lebih lanjut
Ia mengatakan bahwa ekonomi Islam merupakan bagian dari suatu tata
kehidupan lengkap, berdasarkan empat bagian nyata dari pengetahuan, yaitu:
al-Quran, as-Sunnah, Ijma dan Qiyas.

C. Prinsip-prinsip dalam Ekonomi Islam


Menurut Metwally9, prinsip-prinsip ekonomi Islam secara garis besar dapat
dijabarkan sebagai berikut:
1. Sumber daya dipandang sebagai amanah Allah kepada manusia, sehingga
pemanfaatannya haruslah bisa dipertanggungjawabkan di akherat kelak.
Implikasinya adalah manusia harus menggunakannya dalam kegiatan yang
bermanfaat bagi dirinya dan orang lain.

6
Muhammad N. Siddiqi, Muslim Economic Thinking: A Survey of Contemporary Literature.
Jeddah and The Islamic Foundation, 1981.
7
Syed Nawab Haider naqvi, Etika dan Ilmu Ekonomi: Suatu Sintesis Islami, Bandung :
Mizan, 1985
8
Abdul Mannan, Teori dan Praktek Ekonomi Islam, Yogyakarta, Dhana Bakt Wakaf: 1997.
9
Metwally, M.M, Teori dan Model Ekonomi Islam. Jakarta : PT. Bangkit Daya Insana. 1995, h. 25

110
2. Kepemilikan pribadi diakui dalam batas-batas tertentu yang berhubungan
dengan kepentingan masyarakat dan tidak mengakui pendapatan yang
diperoleh secara tidak sah.
3. Bekerja adalah kekuatan penggerak utama kegiatan ekonomi Islam. Islam
mendorong manusia untuk bekerja dan berjuang mendapatkan materi/harta
dengan berbagai cara, asalkan mengikuti aturan yang telah ditetapkan. Hal
ini dijamin oleh Allah bahwa Allah telah menetapkan rizki setiap makhluk
yang diciptakan-Nya.
4. Kepemilikan kekayaan tidak boleh hanya dimiliki oleh segelintir orang-
orang kaya, dan harus berperan sebagai kapital produktif yang akan
meningkatkan besaran produk nasional dan meningkatkan kesejahteraan
masyarakat.
5. Islam menjamin kepemilikan masyarakat dan penggunaannya dialokasikan
untuk kepentingan orang banyak. Prinsip ini didasari oleh sunnah
Rasulullah yang menyatakan bahwa masyarakat mempunyai hak yang
sama atas air, padang rumput, dan api.
6. Seorang muslim harus tunduk pada Allah dan hari pertanggungjawaban di
akherat (QS. 2:281). Kondisi ini akan mendorong seorang muslim
menjauhkan diri dari hal-hal yang berhubungan dengan maisir, gharar, dan
berusaha dengan cara yang bathil, melampaui batas dan sebagainya.
7. Zakat harus dibayarkan atas kekayaan yang telah memenuhi batas (nisab).
Zakat ini merupakan alat distribusi sebagian kekayaan orang kaya yang
ditujukan untuk orang miskin dan mereka yang membutuhkan. Menurut
pendapat para ulama, zakat dikenakan 2,5% untuk semua kekayaan yang
tidak produktif, termasuk di dalamnya adalah uang kas, deposito, emas,
perak dan permata, dan 10% dari pendapatan bersih investasi.
8. Islam melarang riba dalam segala bentuknya. Secara tegas dan jelas hal ini
tercantum dalam QS 30:39, 4:160-161, 3:130, dan 2:278-279.

111
Adapun yang terkait dengan transaksi, Abdul Ghafur10 menegaskan bahwa
Islam secara prinisip melarangnya apabila mengandung unsur perjudian
(maisyir), unsur ketidakjelasan (gharar), unsur riba, dan unsure bathil.
Sedangkan menurut Yusuf Qardhawi11, ilmu ekonomi Islam memiliki tiga
prinsip dasar yaitu tauhid, akhlak, dan keseimbangan. Dua prinsip yang
pertama dipastikan tidak ada dalam landasan dasar ekonomi konvensional.
Prinsip keseimbangan pun, dalam praktiknya, justru yang membuat ekonomi
konvensional semakin dikritik. Ekonomi Islam dikatakan memiliki dasar
sebagai ekonomi Insani karena sistem ekonomi ini dilaksanakan dan ditujukan
untuk kemakmuran manusia.
Sistem ekonomi konvensional yang didominasi oleh sistem kapitalis maupun
sosialis jelas tidak sesuai dengan sistem nilai dan prinsip Ekonomi Islam.
Keduanya bersifat eksploitatif dan tidak adil serta memperlakukan manusia
bukan sebagai manusia. Kedua sistem itu juga tidak mampu menjawab
tantangan ekonomi, politik, sosial dan moral di zaman sekarang. Hal ini bukan
saja dikarenakan ada perbedaan ideologis, sikap moral dan kerangka sosial
politik, tetapi juga karena alasan-alasan yang lebih bersifat ekonomis duniawi,
perbedaan sumberdaya, stuasi ekonomi internasional yang berubah, tingkat
ekonomi masing-masing dan biaya sosial ekonomi pembangunan.
Teori pembangunan seperti yang dikembangkan di Barat, banyak dipengaruhi
oleh kakrakteristik unik dan spesifik, juga  dipengaruhi oleh nilai dan infra
struktur sosial politik ekonomi Barat. Teori demikian jelas  tidak dapat
diterapkan persis di negara-negara Islam. Terlebih lagi, sebagian teori
pembangunan Barat lahir dari teori Kapitalis. Karena kelemahan mendasar
inilah, maka teori tersebut tidak mampu menyelesaikan persoalan
pembangunan di berbagai negara berkembang.

10
Abdul Ghafur, Asuransi Syari’ah di Indonesia, Regulasi dan Operasionalisasinya di
dalam Kerangka Hukum Positif di Indonesia, Yogyakarta: UII Press, 2007, h. 3
11
Yusuf Qardhawi, Peran Nilai dan Moral dalam Perekonomian Islam, Robbani Press, Jakarta,
2004, h. 10.

112
Ilmu Ekonomi Pembangunan sekarang ini menghadapi masa krisis dan re-
evaluasi. Ia menghadapi serangan dari berbegai penjuru. Banyak ekonom dan
perencana pembangunan yang skeptis tentang pendekatan utuh ilmu ekonomi
pembangunan kontemporer. Menurut Kursyid Ahmad, sebagian mereka
berpendapat bahwa teori yang didapat dari pengalaman pembangunan Barat
kemudian diterapkan di negara-negara berkembang, jelas tidak sesuai dan
merusak masa depan pembangunan itu sendiri12.

C. Beberapa Persoalan Ekonomi dalam Islam


1. Perbankan Syari’ah
Secara umum pengertian Bank Islam (Islamic Bank) adalah bank yang
pengoperasiannya disesuaikan dengan prinsip syariat Islam. Saat ini banyak
istilah yang diberikan untuk menyebut entitas Bank Islam selain istilah Bank
Islam itu sendiri, yakni Bank Tanpa Bunga (Interest-Free Bank), Bank Tanpa
Riba (Lariba Bank), dan Bank Syari’ah (Shari’a Bank). Di Indonesia secara
teknis yuridis penyebutan Bank Islam mempergunakan istilah resmi “Bank
Syariah”, atau yang secara lengkap disebut “Bank Berdasarkan Prinsip
Syariah”.
Fungsi Bank Syariah secara garis besar tidak berbeda dengan bank
konvensional, yakni sebagai lembaga intermediasi (intermediary institution)
yang mengerahkan dana dari masyarakat dan menyalurkan kembali dana-dana
tersebut kepada masyarakat yang membutuhkannya dalam bentuk fasilitas
pembiayaan. Perbedaan pokoknya terletak dalam jenis keuntungan yang
diambil bank dari transaksi-transaksi yang dilakukannya. Bila bank
konvensional mendasarkan keuntungannya dari pengambilan bunga, maka
Bank Syariah dari apa yang disebut sebagai imbalan, baik berupa jasa (fee-base
income) maupun mark-up atau profit margin, serta bagi hasil (loss and profit
sharing).

12
Kursyid Ahmad, Pembangunan Ekonomi dalam Perspektif Islam, dalam  Etika Ekonomi
Politik, Jakarta: Risalah Gusti, , 1977, h. 9

113
Beberapa produk jasa yang disediakan oleh bank berbasis syariah antara lain13:
 Al-Wadi'ah (jasa penitipan), adalah jasa penitipan dana dimana penitip
dapat mengambil dana tersebut sewaktu-waktu. Dengan sistem wadiah
Bank tidak berkewajiban, namun diperbolehkan, untuk memberikan bonus
kepada nasabah. Bank Muamalat Indonesia-Shahibul Maal.
 Deposito Mudhorobah, nasabah menyimpan dana di Bank dalam kurun
waktu yang tertentu. Keuntungan dari investasi terhadap dana nasabah
yang dilakukan bank akan dibagikan antara bank dan nasabah dengan
nisbah bagi hasil tertentu.
 Al-Musyarakah (Joint Venture), konsep ini diterapkan pada model
partnership atau joint venture. Keuntungan yang diraih akan dibagi dalam
rasio yang disepakati sementara kerugian akan dibagi berdasarkan rasio
ekuitas yang dimiliki masing-masing pihak. Perbedaan mendasar dengan
mudharabah ialah dalam konsep ini ada campur tangan pengelolaan
manajemennya sedangkan mudharabah tidak ada campur tangan
 Al-Mudharabah, adalah perjanjian antara penyedia modal dengan
pengusaha. Setiap keuntungan yang diraih akan dibagi menurut rasio
tertentu yang disepakati. Resiko kerugian ditanggung penuh oleh pihak
Bank kecuali kerugian yang diakibatkan oleh kesalahan pengelolaan,
kelalaian dan penyimpangan pihak nasabah seperti penyelewengan,
kecurangan dan penyalahgunaan.
 Al-Muzara'ah, adalah bank memberikan pembiayaan bagi nasabah yang
bergerak dalam bidang pertanian/perkebunan atas dasar bagi hasil dari
hasil panen.
 Al-Musaqah, adalah bentuk lebih yang sederhana dari muzara'ah, di mana
nasabah hanya bertanggung-jawab atas penyiramaan dan pemeliharaan,
dan sebagai imbalannya nasabah berhak atas nisbah tertentu dari hasil
panen.

13
http://id.wikipedia.org/wiki/Perbankan_syariah, diakses tgl. 6/02/2012

114
 Bai' Al-Murabahah, adalah penyaluran dana dalam bentuk jual beli.
Bank akan membelikan barang yang dibutuhkan pengguna jasa kemudian
menjualnya kembali ke pengguna jasa dengan harga yang dinaikkan sesuai
margin keuntungan yang ditetapkan bank, dan pengguna jasa dapat
mengangsur barang tersebut. Besarnya angsuran flat sesuai akad diawal
dan besarnya angsuran=harga pokok ditambah margin yang disepakati.
Contoh: harga rumah 500 juta, margin bank/keuntungan bank 100 jt, maka
yang dibayar nasabah peminjam ialah 600 juta dan diangsur selama waktu
yang disepakati diawal antara Bank dan Nasabah.
 Bai' As-Salam, Bank akan membelikan barang yang dibutuhkan di
kemudian hari, sedangkan pembayaran dilakukan di muka. Barang yang
dibeli harus diukur dan ditimbang secara jelas dan spesifik, dan penetapan
harga beli berdasarkan keridhaan yang utuh antara kedua belah pihak.
Contoh: Pembiayaan bagi petani dalam jangka waktu yang pendek (2-6
bulan). Karena barang yang dibeli (misalnya padi, jagung, cabai) tidak
dimaksudkan sebagai inventori, maka bank melakukan akad bai' as-salam
kepada pembeli kedua (misalnya Bulog, pedagang pasar induk, grosir).
Contoh lain misalnya pada produk garmen, yaitu antara penjual, bank, dan
rekanan yang direkomendasikan penjual.
 Bai' Al-Istishna', merupakan bentuk As-Salam khusus di mana harga
barang bisa dibayar saat kontrak, dibayar secara angsuran, atau dibayar di
kemudian hari. Bank mengikat masing-masing kepada pembeli dan
penjual secara terpisah, tidak seperti As-Salam di mana semua pihak diikat
secara bersama sejak semula. Dengan demikian, bank sebagai pihak yang
mengadakan barang bertanggung-jawab kepada nasabah atas kesalahan
pelaksanaan pekerjaan dan jaminan yang timbul dari transaksi tersebut.

2. Asuransi (Takâful)
Asuransi dalam bahasa Arab disebut At’ta’mîn yang berasal dari kata amanah
yang berarti memberikan perlindungan, ketenangan, rasa aman serta bebas dari

115
rasa takut. Istilah menta’minkan sesuatu berarti seseorang memberikan uang
cicilan agar ia atau orang yang ditunjuk menjadi ahli warisnya mendapatkan
ganti rugi atas hartanya yang hilang.
Menurut Fatwa Dewan Asuransi Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia
(DSN-MUI) Fatwa DSN No.21/DSN-MUI/X/2001 tentang Pedoman Umum
Asuransi Syariah bagian pertama menyebutkan pengertian Asuransi Syariah
(ta’mîn, takâful’ atau tadhâmun) adalah usaha saling melindungi dan tolong
menolong di antara sejumlah orang atau pihak melalui investasi dalam bentuk
set dan atau tabarru yang memberikan pola pengembalian untuk mengehadapi
resiko tertentu melalui akad atau perikatan yang sesuai dengan syariah14.
Akad atau perjanjian yang menjadi dasar bagi setiap transaksi, termasuk dalam
asuransi atau yang lazim disebut dengan polis juga harus disesuaikan dengan
prinsip-prinsip syari’ah, Untuk itu maka dalam pembuatan polis asuransi dapat
menerapkan akad-akad tradisional Islam. Berdasarkan fatwa DSN-MUI, jenis-
jenis akad yang dapat diterapkan dalam asuransi syari’ah adalah : akad
mudhârabah, akad mudhârabah musytarakah, akad wakâlahbil-ujrah, dan
akad tabarru’15.
Konsep asuransi syari’ah adalah risk sharing (pembagian resiko) berdasarkan
prinsip tolong menolong. Ini berbeda dengan asuransi konvensional yang
menekankan pada pengalihan resiko (risk transfering). Prinsip tolong
menolong ini dalam Islam dikenal dengan prinsip ta’âwuniyah. Hal ini
didasarkan pada ketentuan al-Qur `an surat al-Maidah ayat 2 berikut :
”..dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan
jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran..”

3. Penggadaian (Rahn)
Gadai merupakan salah satu kategori dari perjanjian utang-piutang, yang mana
untuk suatu kepercayaan dari orang yang berpiutang, maka orang yang
berutang menggadaikan barangnya sebagai jaminan terhadap utangnya itu.
14
Abdul Ghafur, Log.cit. , h. 4
15
Ibid, h. 22

116
Dalam istilah bahasa Arab, gadai diistilahkan dengan rahn dan dapat juga
dinamai al- habsu . Secara etimologis, pengertian rahn adalah tetap dan lama,
sedangkan al-habsu berarti penahanan terhadap suatu barang tersebut.
Praktik seperti ini telah ada sejak jaman Rasulullah SAW., dan Rasulullah
sendiri pernah melakukannya. Gadai mempunyai nilai sosial yang sangat tinggi
dan dilakukan secara sukarela atas dasar tolong-menolong. Sesuai dengan PP
103 Tahun 2000 Pasal 8, Perum Pegadaian melakukan kegiatan usaha utamanya
dengan menyalurkan uang pinjaman atas dasar hukum gadai serta menjalankan usaha
lain seperti penyaluran uang pinjaman berdasarkan layanan jasa titipan, sertifikasi
logam mulia, dan lainnya.
Adapun boleh tidaknya transaksi gadai menurut Islam diatur dalam Al-Qur’an,
As-Sunnah dan Ijtihad. Dari ketiga sumber hukum tersebut disajikan dasar
hukum sebagai berikut:
1. Al-Qur’an : Ayat-ayat Al-Qur’an yang dapat dijadikan dasar hukum
perjanjian gadai adalah Q.S Al-Baqarah ayat 282 dan 283. Inti dari dua ayat
tersebut adalah: “Apabila kamu bermu’amalah tidak secara tunai untuk waktu
yang ditentukan hendaklah kamu menuliskan, yang dipersaksikan dua orang
saksi laki-laki atau satu seorang saksi laki-laki dan dua orang saksi
perempuan”.
2. As-Sunnah : Dalam hadist berasal dari ‘Aisyah disebutkan bahwa Nabi
Muhammad SAW pernah membeli makanan dari seorang Yahudi dengan harga
yang diutang, sebagai tanggungan atas utangnya itu Nabi Muhammad SAW
menyerahkan baju besinya (HR. Bukhari).
Secara umum lembaga pegadaian mempunyai produk jasa berupa 16 :
a. Gadai
Gadai merupakan kredit jangka pendek guna memenuhi kebutuhan dana yang
harus dipenuhi pada saat itu juga, dengan barang jaminan berupa barang bergerak
berwujud seperti perhiasan, kendaraan roda dua, barang elektronik dan barang
rumah tangga.
16
Mariam Darus Badrul Zaman, Aneka Hukum Bisnis, Bandung: PT Alumni, 2005,
h. 158-159

117
b. Jasa taksir
Jasa taksir diberikan kepada mereka yang ingin mengetahui kualitas barang
miliknya seperti emas, perak dan berlian.
c. Jasa titipan
Jasa titipan merupakan cara pemecahan masalah yang paling tepat bagi masyarakat
yang menghendaki keamanan yang baik atyas barang berharga miliknya. Barang-
barang yang dapat dititipkan di pegadaian adalah perhiasan, surat-surat berharga,
sepeda motor dan sebagainya.
Sistem operasional produk Pegadaian syari’ah dilakukan melalui prinsip-prinsip
sebagai berikut :
1) Prinsip Wadi’ah (Simpanan);
2) Prinsip Tijarah (Jual Beli atau Pengembalian Bagi Hasil);
3) Prinsip Ijarah (Sewa);
4) Prinsip al-Ajr wa al-Umulah (Pengembalian Fee);
5) Prinsip al-Qard (Biaya Administrasi)17.

4. Baitul Mâl wa Tamwîl (BMT)


Istilah BMT sebenarnya dapat dipilah sebagai Baitul Mâl (BM) dan Baitul
Tamwîl (BT). Menurut fungsinya, BM bertugas menghimpun, mengelola dan
menyalurkan dana ZIS (Zakat, Infak, Sedekah) sebagai bagian yang
menitikberatkan pada aspek sosial. Sementara, BT merupakan lembaga
komersial dengan pendanaan dari pihak ke tiga, bisa berupa pinjaman atau
investasi18.
Arti kata Baitul Tamwîl (BT) dari sudut etimologi adalah tempat
pengembangan harta/kekayaan. Dari sudut ekonomi Baitul Tamwîl (BT)
adalah Lembaga Keuangan Islam yang usaha pokoknya menghimpun dana dari
pihak lain (anggota/deposan) dan menyalurkannya kepada yang memerlukan

17
Ibid. h.6
18
Widodo, Hertanto, Panduan Praktis Operasional Baitul Maal wat Tamwil (BMT), Dompet
Duafa Republika, 1999, h. :36

118
melalui pembiayaan (kredit/pinjaman) untuk usaha produktif dan investasi
dengan sistem syariah.
Dapatlah disimpulkan bahwa penggunaan istilah BMT diambil dari kata-kata
Baitul Mâl dan Baitul Tamwîl, yang kemudian dalam perkembangannya
menjadi Baitul Mâl Wa Baitul Tamwîl yang disingkat menjadi BMT. Ada dua
bagian dari BMT yang keduanya memiliki fungsi dan pengertian yang berbeda.
Pertama, Baitul Mâl merupakan lembaga penerima zakat, infak, sedekah dan
sekaligus menjalankannya sesuai dengan peraturan dan amanahnya. Sedangkan
Baitul Tamwîl adalah lembaga keuangan yang berorientasi bisnis dengan
mengembangkan usaha-usaha produktif dan investasi dalam meningkatkan
kualitas kehidupan ekonomi masyarakat terutama masyarakat dengan usaha
skala kecil. Dalam perkembangannya BMT juga diartikan sebagai Balai-usaha
Mandiri Terpadu yang singkatannya juga BMT.
Dengan mengetahui nama dan membaca pengertian diatas sudah sedikit
tergambar apa itu BMT, namun akan lebih jelas lagi bila kita lihat lebih jauh
beberapa ciri dari BMT. Adapun ciri dari BMT adalah :
1. Berorientasi bisnis dan mencari laba bersama
2. Bukan lembaga sosial tapi dapat dimanfaatkan untuk mengefektifkan
penggunaan zakat, infak dan sadaqoh.
3. Ditumbuhkan dari bawah dan berlandaskan pada peran serta masyarakat.
4. Milik masyarakat secara bersama, bukan milik perorangan.
5. Dalam melakukan kegiatannya para pengelola BMT bertindak aktif,
dinamis, berpandangan proaktif.
6. Melakukan upaya peningkatan wawasan dan pengamalan nilai-nilai Islam
kepada semua personil dan nasabah BMT. Biasanya dilakukan dengan
pengajian-pengajian atau diskusi-diskusi dengan topik-topik yang
terencana.
7. Manajemen BMT dikelola secara profesional dan Islami.

5. Pasar Modal Syariah

119
Menurut Undang-undang no. 8 tahun 1995 tentang pasar modal mendefinisikan
pasar modal sebagai “Kegiatan yang bersangkutan dengan Penawaran umum
dan perdagangan efek, perusahaan publik yang berkaitan dengan efek yang
diterbitkannya, serta lembaga dan profesi yang berkaitan dengan efek 19.
Menurut Kepres No. 60 Tahun1988, pasar modal adalah bursa yang merupakan
sarana untuk mempertemukan penawar dan peminta dana jangka panjang
dalam bentuk efek20.
Sedangkan pasar modal syari’ah sendiri dapat diartikan sebagai pasar modal
yang menerapkan prinsip-prinsip syari’ah dalam kegiatan transaksi ekonomi
dan terlepas dari hal-hal yang dilarang seperti: riba, perjudian, spekulasi, dan
lain-lain21. Dari pengertian tersebut tampak jelas sekali ada yang berbeda antara
pasar modal konvensional dengan pasar modal syari’ah.
Pasar modal syari’ah adalah pasar modal yang dijalankan dengan konsep
syari’ah, di mana setiap perdagangan surat berharga mentaati ketentuan
transaksi sesuai dengan ketentuan syari’ah. Pasar modal syari’ah tidak hanya
ada dan berkembang di Indonesia tetapi jugadi negara-negara lain, seperti
negara Malaysia. Lembaga keuangan yang pertama kali menaruh perhatian di
dalam mengoperasikan portofolionya dengan manajemen portofolio syri’ah di
pasar syari’ah adalah Amanah Income Fund yang didirikan pada bulan Juni
1986 oleh para anggota The North American Islamic Trust yang bermarkas di
Indiana Amerika Serikat.
Pasar modal syari’ah dapat diartikan sebagai pasar modal yang menerapkan
prinsip-prinsip syari’ah dalam kegiatan transaksi ekonomi dan terlepas dari
hal-hal yang dilarang seperti riba, perjudian, spekulasi, dan lain-lain.
Dalam Islam investasi merupakan kegiatan muamalah yang sangat dianjurkan,
karena dengan berinvestasi harta yang dimiliki menjadi produktif dan juga
mendatangkan manfaat bagi orang lain. Al-Quran dengan tegas  melarang

19
Indah Yuliana, Investasi Produk Keuangan Syari’ah, Malang: UIN –Maliki Press, 2010, h. 33
20
Sri Handaru Yuliati, dkk, Manajemen Portofolio dan Analisis Investasi, Yogyakarta: Andi,
1996, h. 2
21
Op. Ci.t, hal. 45

120
aktivitas  penimbunan (iktinaz) terhadap harta yang dimiliki (9:33). Dalam
sebuah hadits, Nabi Muhammad Saw bersabda,”Ketahuilah, Siapa yang
memelihara anak yatim, sedangkan anak yatim itu memiliki harta, maka
hendaklah ia menginvestasikannya (membisniskannya), janganlah ia
membiarkan harta itu idle, sehingga harta itu terus berkurang lantaran zakat”

D. Bekerja Sebagai Kewajiban dan Ibadah


Bekerja adalah manifestasi amal saleh. Bila kerja itu amal saleh, maka kerja
adalah ibadah. Dan bila kerja itu ibadah, maka kehidupan manusia tidak bisa
dilepaskan dari kerja. Seorang muslim dalam mengerjakan sesuatu selalu
melandasinya dengan mengharap ridha Allah. Ini berimplikasi bahwa ia tidak
boleh melakukan sesuatu dengan sembrono, sikap seenaknya, dan secara acuh
tak acuh. Sehubungan dengan ini, optimalisasi nilai hasil kerja berkaitan erat
dengan konsep ihsan. Ihsan berkaitan dengan etos kerja, yaitu melakukan
pekerjaan dengan sebaik mungkin, sesempurna mungkin atau seoptimal
mungkin. Allah mewajibkan atas segala sesuatu, sebagaimana firman-Nya,
“Yang membuat segala sesuatu yang Dia ciptakan sebaik-baiknya“. (QS. As-
Sajdah ayat 7).
Rasulullah SAW menjadikan kerja sebagai aktualisasi keimanan dan
ketakwaan. Rasul bekerja bukan untuk menumpuk kekayaan duniawi. Beliau
bekerja untuk meraih keridaan Allah SWT.Suatu hari Rasulullah SAW
berjumpa dengan Sa’ad bin Mu’adz Al-Anshari. Ketika itu Rasul melihat
tangan Sa’ad melepuh, kulitnya gosong kehitam-hitaman seperti terpanggang
matahari. “Kenapa tanganmu?,” tanya Rasul kepada Sa’ad. “Wahai
Rasulullah,” jawab Sa’ad, “Tanganku seperti ini karena aku mengolah tanah
dengan cangkul itu untuk mencari nafkah keluarga yang menjadi
tanggunganku”. Seketika itu beliau mengambil tangan Sa’ad dan menciumnya
seraya berkata, “Inilah tangan yang tidak akan pernah disentuh api neraka”.

121
Dalam kisah lain disebutkan bahwa ada seseorang yang berjalan melalui
tempat Rasulullah SAW. Orang tersebut sedang bekerja dengan sangat giat dan
tangkas. Para sahabat kemudian bertanya, “Wahai Rasulullah, andaikata
bekerja semacam orang itu dapat digolongkan jihad fî sabilillâh, maka
alangkah baiknya.” Mendengar itu Rasul pun menjawab, “Kalau ia bekerja
untuk menghidupi anak-anaknya yang masih kecil, itu adalah fî sabilillâh;
kalau ia bekerja untuk menghidupi kedua orangtuanya yang sudah lanjut usia,
itu adalah fî sabilillâh; kalau ia bekerja untuk kepentingan dirinya sendiri agar
tidak meminta-minta, itu juga fî sabilillâh.” (HR Ath-Thabrani).
Kemuliaan seorang manusia itu bergantung kepada apa yang dilakukannya. 
Dengan itu, sesuatu amalan atau pekerjaan yang mendekatkan seseorang
kepada Allah adalah sangat penting serta patut untuk diberi perhatian.  Amalan
atau pekerjaan yang demikian selain memperoleh keberkahan serta kesenangan
dunia, juga ada yang lebih penting yaitu merupakan jalan atau tiket dalam
menentukan tahap kehidupan seseorang di akhirat kelak; apakah masuk
golongan ahli surga atau sebaliknya. Istilah ‘kerja’ dalam Islam bukanlah
semata-mata merujuk kepada mencari rezeki untuk menghidupi diri dan
keluarga dengan menghabiskan waktu siang maupun malam, dari pagi hingga
sore, terus menerus tak kenal lelah, tetapi kerja mencakup segala bentuk
amalan atau pekerjaan yang mempunyai unsur kebaikan dan keberkahan bagi
diri, keluarga dan masyarakat sekelilingnya serta negara.
Islam menempatkan kerja atau amal sebagai kewajiban setiap muslim. Kerja
bukan sekedar upaya mendapatkan rezeki yang halal guna memenuhi
kebutuhan hidup, tetapi mengandung makna ibadah seorang hamba kepada
Allah, menuju sukses di akhirat kelak. Oleh sebab itu, muslim mesti
menjadikan kerja sebagai kesadaran spiritualnya.
Dengan semangat ini, setiap muslim akan berupaya maksimal dalam
melakukan pekerjaannya. la berusaha menyelesaikan setiap tugas dan
pekerjaan yang menjadi tanggungjawabnya dan berusaha pula agar setiap hasil
kerjanya menghasilkan kualitas yang baik dan memuaskan. Dengan kata lain,

122
ia akan menjadi orang yang terbaik dalam setiap bidang yang ditekuninya. Ada
dua tahapan yang harus dilakukan seseorang agar prestasi kerja meningkat dan
kerjapun bernilai ibadah.
Pertama, Kerja Ikhlas. Betapa banyak para pekerja dalam melaksanakan
pekerjaannya dengan tekun, cerdas, gigih dan penuh tanggungjawab namun
jauh dari nilai-nilai keikhlasan akhirnya menjadi petaka. Bekerja dengan
dilandasi keikhlasan adalah suatu keharusan agar materi dari hasil kerja didapat
sementara pahala diraih. Sesuai dengan doa yang seringkali dibaca ‘fiddunya
hasanah wafil akhirati hasanah…”Dan katakanlah : “Bekerjalah kamu, maka
Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu,
dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) Yang mengetahui akan yang gaib
dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu
kerjakan” (al-Qur’an Surat At-Taubah ayat 105)
Kedua, Kerja keras dan cerdas. Ukuran kerja keras adalah kesempatan
berbuat, tanpa pamrih, bekerja maksimal dan Kepasifan dalam menghadapi
pekerjaan membatasi seseorang tidak berusaha meningkatkan kemampuan
profesionalismenya. Profesionalisme biasanya dijadikan ukuran dalam
peningkatan prestasi di setiap pekerjaan. Dalam mengerjakan sesuatu, seorang
muslim selalu melandasinya dengan mengharap ridha Allah. Ini berimplikasi
bahwa ia tidak boleh melakukan sesuatu dengan sembrono, sikap seenaknya,
dan secara acuh tak acuh. Sehubungan dengan ini, optimalisasi nilai hasil kerja
berkaitan erat dengan konsep ihsan. Ihsan berkaitan dengan etos kerja, yaitu
melakukan pekerjaan dengan sebaik mungkin, sesempurna mungkin atau
seoptimal mungkin
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah nasib manusia sebelum mereka
mengubah apa yang ada pada dirinya. (Q.S. Ar-Ra’du ayat 11).
“dan bahwasannya seorang manusia tidak akan memperoleh selain apa yang
telah diusahakannya”.  (Q.S. Al-Najm ayat 39).

E. Akhlak (Etos) Bekerja dalam Islam

123
Pembahasan Akhlak bekerja, dikenal juga dengan istilah Etos kerja (work
ethic). Etos kerja suatu masyarakat tidak bisa dilepaskan dari pemahaman dan
pengamalan atas doktrin-doktrin keagamaan atau ideologi yang dianut. Agama
atau ideologi merupakan pembentuk etika yang paling dasar yang
dikembangkan sedemikian rupa sesuai dengan tuntutan aktual masyarakat.
Cendikiawan Muslim Nurcholis Majid dalam bukunya Islam Dogma dan
Peradaban22 mencatat beberapa konsep ajaran Islam yang terkait erat dengan
peningkatan kualitas etos kerja umat, antara lain :
1. Niat dan Tauhidullah
Dalam Islam kedudukan niat merupakan yang paling fundamental dalam setiap
praktek ibadah baik mahdah maupun ghairu mahdah. Baik buruknya suatu
pekerjaan tergantung pada niat pelakunya. Rasulullah bersabda :

‫إمنا األعمال بالنية وإمنا لكل امرئ ما نوى‬


"Sesungguhnya setiap amal itu dengan niatnya, dan setiap perkara tergantung
pada apa yang ia niatkan".
Inilah yang membedakan antara sistem Islam dengan yang lain. Termasuk
dengan konfusianisme, faham ini secara nyata memang memberi pengaruh kuat
kepada pemeluknya untuk melakukan kerja keras. Sebab secara umum ajaran
yang ditekankan lebih mengarah kepada materialisme. Dimana kepemilikan
seseorang akan materi akan sangat menentukan tingkatan kastanya baik waktu
di dunia maupun ketika sesudah mati. Itulah karenanya dalam sistem ekonomi
negara yang menganut paham kongfusianisme lebih mengarah kepada sistem
yang menjunjung tinggi materi sebagai pusat perbaikan suatu bangsa.
Islam adalah agama yang mengajarkan tauhid pada setiap aspek kehidupan
umatnya. Seoarang muslim yang beriman wajib meyakini dengan lisan dan
qalbunya syahadat Lâ ilâha illallâh, lafadz ini berarti menafikan tuhan-tuhan
lain selain Allah. Tuhan-tuhan itu bisa berarti benda yang dicenderungi
maupun disembah (paganisme), ideologi seperti materialisme, hedonisme, atau

22
Nurcholish Madjid, Islam, Doktrin dan Peradaban: Sebuah Telaah Kritis tentang Masalah
Keimanan, Kemanusiaan, dan Kemodernan, cet. I., Jakarta: Pramadina, 1992, h. 104

124
sistem kepercayaan yang diikuti yang lebih diutamakan dari pada Allah. Maka
ketika seseorang bekerja dengan didasarkan pada tauhid, hal itu menjadikanya
merdeka untuk melakukan apa saja yang diyakini selama tidak bertentangan
dengan kehendak Allah Swt.
2. Ihsan dan Itqan
Untuk memperkuat dan memperjelas niat, umat Islam diperintahkan untuk
mengucapkan nama Allah (bismillâh) setiap awal pekerjaannya. Secara
filosofis ikrar kepada sesuatu berarti pengakuan atas apa yang dimiliki olehnya.
Allah dalam pandangan umat Islam adalah Tuhan yang maha segala-galanya,
tidak ada yang lebih maha dari pada Dia. Hal ini melahirkan kesadaran bahwa
sesuatu yang didasarkan kepada derajat tertinggi akan memberi motivasi kuat
untuk menyamakannya. Itulah Ihsan. Ihsan merupakan bentuk kerja yang
didasarkan pada kualitas kerja terbaik. Rasulullah bersabda :

‫ "إن اهلل‬:‫قال‬ ‫ عن رسول اهلل‬،‫عن أيب يعلى شداد بن عوص رضي اهلل عنه‬
‫ وإذا ذحبتم فأحسنوا‬،‫ فإذا قتلتم فأحسنوا القتلة‬:‫كتب اإلحسان على كل شئ‬
‫ وليحد أحدكم شفرته ولريح ذبيحته" رواه مسلم‬،‫الذحبة‬
"Sesungguhnya Allah mewajibkan Ihsan atas segala sesuatu, maka jika kamu
membunuh hendaklah membunuh degnan cara yang baik, dan jika kamu
menyembelih maka sembelihlah dengan cara yang baik, dan hendaklah
menajamkan pisau dan menyenangkan hewan sembelihan itu (mempecepat
proses matinya)".
Berihsan dengan menajamkan pisau untuk menyembelih hewan qurban tidak
saja dilihat dari sudut pandang "kehewanan" tetapi juga menunjukkan kerja
yang efektif dan efisien. Dalam sistem kerja masyarakat modern, efektifitas
dan efisiensi merupakan tuntutan utama yang harus dimiliki semua orang jika
ingin berhasil.
Selain ihsan dikenal juga itqan, yaitu proses kerja dengan standar mutu terbaik.
Seorang muslim dituntut untuk tidak kerja asal-asalan, tetapi berorientasi pada

125
karya terbaik, indah dan memiliki kualitas yang diperhitungkan semua orang.
Rasulullah bersabda :

C‫إن اهلل حيب أحدكم إذا عمل عمال أن يتقنه‬


"Sesungguhnya Allah menyukai seseorang jika melakukan suatu kerja dengan
ber-itqan"

3. Pentingya bekerja dalam Islam


Kerja merupkan wujud keberadaan manusia di muka bumi (mode of existence).
Jika bapak filsafat modern Rene Descartes memformulasikan sebuah prinsip,
aku berpikir maka aku ada (cogito ergo sum), maka dalam tema ini menjadi
"aku bekerja maka aku ada". Sesorang akan dikenal dan diperhitungkan
berdasarkan kerja yang dilakukan. Selain kerja sebagai usaha memenuhi
kebutuhan, juga sebagai penunjukkan jati diri masyarakat dengan ideologi yang
diyakininya. Masyarakat di beberapa negara maju asia seperti Jepang, Korea
Selatan dan Hongkong dikenal sebagai masyarakat pekerja. Satu dengan yang
lain saling berlomba untuk bisa menjadi yang terbaik di Asia. Itulah yang
disebut dengan fighting Spirit (semangan bersaing) dalam rangka mencapai
idealisme ideologi yang mereka anut.
Fighting Spirit sudah ada dalam sistem ajaran islam. Dianjurkan kepada
pemeluknya untuk berlomba-lomba dalam kebaikan (fastabiqul khairat). Allah
berfirman :
ِ ‫ولِ ُك ٍّل ِوجهةٌ هو مولِّيها فَاستَبِ ُقواْ اخْل ير‬
‫ات َأيْ َن َما تَ ُكونُواْ يَْأ ِت بِ ُك ُم اللّهُ مَجِ ًيعا ِإ َّن‬ َ َْ ْ َ َُ َ ُ َ ْ َ
‫اللّهَ َعلَى ُك ِّل َش ْي ٍء قَ ِد ٌير‬
"Dan bagi tiap-tiap umat ada kiblatnya (sendiri) yang ia menghadap
kepadanya. Maka berlomba-lombalah kamu (dalam berbuat) kebaikan. Di
mana saja kamu berada pasti Allah akan mengumpulkan kamu sekalian (pada
hari kiamat). Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu." (QS. Al-
Baqarah : 148)

126
Bekerja dengan semangat beramal soleh dalam rangka kejayaan diri, agama
dan bangsa merupakan jargon yang tak akan pernah padam karena merupakan
semangat utama yang bisa menjadikan pemeluk agama ini berada pada
tingkatan tertinggi dalam peradaban manusia. Dan itu pernah terjadi pada masa
sahabat dan daulah Islamiyah.
4. Mukmin yang Kuat lebih dicintai Allah
Kebanggaan sebagai suatu bangsa secara nyata telah menjadikan bangsa
tersebut sebagai bangsa pesaing. Masyarakat Inggris pernah mengklaim dirinya
sebagai manusia terdepan dalam sistem evolusi manusia ketika ditemukannya
fosil manusia Fieltdown, yang kemudian berlanjut dengan penjajahan kepada
bangsa-bangsa diberbagai tempat di dunia. Islam tidak mengajarkan rasisme
seperti itu, tetapi menanamkan keberanian dan kepercayaan diri untuk
melakukan banyak hal sebagai seorang muslim yang mukmin kepadaNya.
Allah berfirman :
ِ ‫َّاس تَْأمرو َن بِالْمعر‬
‫وف َوَتْن َه ْو َن َع ِن الْ ُمن َك ِر َو ُتْؤ ِمنُو َن‬ ِ ‫ُكنتم خير َُّأم ٍة ُأخ ِرج‬
ُْ َ ُُ ِ ‫ت للن‬ ْ َ ْ ََْ ْ ُ
‫بِاللّ ِه‬
"Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh
kepada yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada
Allah…." (QS. Ali-Imran : 110)
Atau sabda Rasulullah saw. :

‫ ويف كل خري‬C‫املؤمن القوي خري وأحب إىل اهلل من املؤمن الضعيف‬


"Orang mukmin yang kuat itu lebih baik dan lebih dicintai Allah dari pada
mukmin yang lemah, dan dalam berbagai hal (nyata) lebih baik"
Juga sabdanya saw. :

‫ يعلو وال يعلى عليه‬C‫اإلسالم‬


"Islam itu tinggi dan tidak ada yang lebih tinggi darinya"

Kebanggaan sebagai seoarang muslim ini nyata telah menjadikan para sahabat
dulu memiliki jiwa dan semangat yang membara dalam rangka menyebarkan

127
Islam ke berbagai pelosok bumi. Semangat seperti ini seharusnya ditumbuhkan
kembali dalam rangka menjadikan umat Islam saat ini bangkit dari perasaan
terkucilkan, lemah, malas dan takut bersaing dengan negara atau bangsa lain.

128
Daftar Pustaka
Ahmad, Kursyid, Pembangunan Ekonomi dalam Perspektif Islam, dalam  Etika
Ekonomi Politik, Jakarta: Risalah Gusti, , 1977.
An-Nabhani, Taqyiddin, Membangun Sistem Ekonomi Alternatif Perspektif Islam,
Surabaya, Risalah Gusti : 1996.
Chapra, M. Umar, The Future of Economics: an Islamic Perspektive, Jakarta:
SEBI, 2001
Chapra, M. Umer, Islam dan Tantangan Ekonomi, Islamisasi Ekonomi
Kontemporer, Surabaya, Risalah Gusti : 1999.
Ghafur, Abdul, Asuransi Syari’ah di Indonesia, Regulasi dan
Operasionalisasinya di dalam Kerangka Hukum Positif di Indonesia,
Yogyakarta: UII Press, 2007
Hasanuzzaman, “Definition of Islamic Economics” dalam Jurnal of Research in
Islamic Economics, Vol 1 No. 2, 1984.
Indah Yuliana, Investasi Produk Keuangan Syari’ah, Malang: UIN –Maliki Press,
2010
Madjid, Nurcholish. Islam, Doktrin dan Peradaban: Sebuah Telaah Kritis tentang
Masalah Keimanan, Kemanusiaan, dan Kemodernan, cet. I., Jakarta:
Pramadina, 1992
Mannan, Abdul, Teori dan Praktek Ekonomi Islam, Yogyakarta, Dhana Bakt
Wakaf: 1997.
Mariam Darus Badrul Zaman, Aneka Hukum Bisnis, Bandung: PT Alumni, 2005
Metwally, M.M, Teori dan Model Ekonomi Islam. Jakarta : PT. Bangkit Daya
Insana. 1995
Naqvi, Syed Nawab Haider, Etika dan Ilmu Ekonomi: Suatu Sintesis Islami,
Bandung : Mizan, 1985
Rahman, Azalur, Doktrin Ekonomi Islam Jilid II, Yogyakarta, 1995
Siddiqi, Muhammad N., Muslim Economic Thinking: A Survey of Contemporary
Literature. Jeddah and The Islamic Foundation, 1981.

129
Sri Handaru Yuliati, dkk, Manajemen Portofolio dan Analisis Investasi,
Yogyakarta: Andi, 1996
Widodo, Hertanto, Panduan Praktis Operasional Baitul Maal wat Tamwil (BMT),
Dompet Duafa Republika, 1999
Yusuf Qardhawi, Peran Nilai dan Moral dalam Perekonomian Islam, Jakarta :
Robbani Press, 2004
http://id.wikipedia.org/wiki/Perbankan_syariah,

130

Anda mungkin juga menyukai