Anda di halaman 1dari 24

SKRIPSI

HUBUNGAN DUKUNGAN KELUARGA DENGAN KEPATUHAN

MINUM OBAT PADA PASIEN GANGGUAN JIWA

DI UPT PUSKESMAS CISOMPET

TAHUN 2022

Skripsi ini Dibuat dan Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Untuk Mendapatkan
Gelar Sarjana Keperawatan (S.Kep)

Disusun Oleh :

RAEHAN RIFA’I

KHGC21143

STIKes KARSA HUSADA GARUT

PRODI S1 KEPERAWATAN NON REGULER

Jl.Nusa Indah No.24 Tarogong Kidul,Garut


ABSTRAK

Raehan Rifa’i, KHGC21143. Hubungan Dukungan Keluarga dengan Kepatuhan Minum


Obat Pada Pasien Gangguan Jiwa di Wilayah Kerja Puskesmas Cisompet Kabupaten
Garut, dibimbing oleh Dede suharta S.kep.,M.pd dan Rudi alfiansyah S.kep.ns.,M.Pd.

Latar belakang : Gangguan Jiwa adalah gangguan mental yang menyebabkan seseorang
menjadi disfungsional secara fisiologis untuk dirinya sendiri maupun interaksi secara sosial.
Penanganan klien gangguan jiwa harus melibatkan peran serta dan dukungan dari keluarga.
Meningkatnya angka kekambuhan terjadi karena tidak teratur dalam minum obat, yang
menjadi alasan yakni keluarga merasa bosan untuk mengantarkan klien berobat ke
puskesmas, keluarga merasa bosan untuk memperhatikan klien minum obat setiap hari serta
kurangnya dorongan atau motivasi dari keluarga kepada klien sehingga klien sering
mengalami putus obat. Untuk itu motivasi keluarga merupakan faktor yang sangat penting
dalam kepatuhan terhadap minum obat klien.Keluarga harus selalu membimbing dan
mengarahkan agar klien gangguan jiwa dapat minum obat dengan benar dan teratur

Tujuan penelitian: Untuk mengetahui adanya hubungan keluarga dengan kepatuhan minum
obat pada Pasien Gangguan Jiwa di wilayah kerja Puskesmas Cisompet Kabupaten Garut.
Metode: Penelitian ini menggunakan metode penelitian kuantitatif dengan desain Cross
Sectional Study. Instrumen yang digunakan adalah kuesioner yang berisi dan 21 Pertanyaan.
Sampel pada penelitian ini sebanyak 50 anggota keluarga pasien yang gangguan jiwa di
wilayah kerja Puskesmas Cisompet KabupatenGarut . Uji statistik yang digunakan adalah
Spearman dengan tingkat signifikan α=0.888.

Hasil: Pada penelitian ini diperoleh hasil bahwa semua responden (100%) memiliki motivasi
sedang dan tidak patuh minum obat.

Kesimpulan dan saran: Disimpulkan bahwa tidak ada hubungan dukungan keluarga dengan
kepatuhan minum obat pada pasien gangguan jiwa di wilayah kerja Puskesmas Cisompet
Kabupaten Garut.

Kata kunci : Hubungan keluarga, kepatuhan minum obat, pasien Gangguan Jiwa.
A. Latar Belakang

Kesehatan jiwa menurut UU No. 18 tahun 2014 adalah Kondisi seorang individu
dapat berkembang secara fisik, mental, spiritual dan sosial sehingga individu tersebut
menyadari kemampuan sendiri, dapat mengatasi tekanan, dapat bekerja secara produktif dan
mampu memberikan kontribusi untuk komunitasnya. Orang Dengan Gangguan Jiwa adalah
orang yang mengalami gangguan dalam pikiran, perilaku dan perasaan yang termanisfestasi
dalam bentuk sekumpulan gejala dan/atau perubahan perilaku yang bermakna, serta dapat
menimbulkan penderitaan dan hambatan dalam menjalankan fungsi orang sebagai manusia
(INFODATIN, 2019).

Menurut World Health Organization (2022) terdapat 300 juta orang di seluruh dunia
mengalami gangguan jiwa seperti depresi, bipolar, demensia, termasuk 24 juta orang yang
mengalami skizofrenia. Dari data prevalensi skizofrenia tercatat relatif lebih rendah
dibandingkan dengan data prevalensi gangguan jiwa lainnya. Namun berdasarkan National
Institute of Mental Health (NIMH), skizofrenia merupakan salah satu dari 15 penyebab besar
kecacatan di seluruh dunia (NIMH, 2019). Data American Psychiatric Association (APA)
(2018) menyebutkan 1% populasi penduduk dunia menderita skizofrenia.

Skizofrenia adalah penyakit gangguan jiwa berat yang dapat mempengaruhi fungsi
otak serta menyebabkan timbulnya distorsi pikiran, persepsi, emosi dan tingkah laku menjadi
terganggu, biasanya pasien dengan skizofrenia memiliki risiko lebih tinggi berperilaku
agresif, sehingga dapat membahayakan diri sendiri, orang lain dan lingkungan yang disebut
sebagai risiko perilaku kekerasan (Videbeck, 2018). Penanganan klien gangguan jiwa harus
melibatkan peran serta dan dukungan dari keluarga. Meningkatnya angka kekambuhan terjadi
karena tidak teratur dalam minum obat, yang menjadi alasan yakni keluarga merasa bosan
untuk mengantarkan klien berobat ke puskesmas, keluarga merasa bosan untuk
memperhatikan klien minum obat setiap hari serta kurangnya dorongan atau motivasi dari
keluarga kepada klien sehingga klien sering mengalami putus obat. Untuk itu motivasi
keluarga merupakan faktor yang sangat penting dalam kepatuhan terhadap minum obat
klien.Keluarga harus selalu membimbing dan mengarahkan agar klien gangguan jiwa dapat
minum obat dengan benar dan teratur (Santika, 2018).

Gangguan jiwa yang sering terjadi adalah skizofrenia. Skizofrenia adalah gangguan
mental yang menyebabkan seseorang menjadi disfungsional secara fisiologis untuk dirinya
sendiri maupun interaksi secara sosial. Penyakit ini sering muncul pada awal usia 20 tahun
hingga usia paruh baya sehingga bagi banyak orang penyakit ini akan mengurangi
produktivitas kehidupan secara mendadak. Klien skizofrenia tidak mampu berkomunikasi
secara normal dengan orang lain, salah satunya adalah karena menganggap bahwa orang lain
ingin mencelakakannya. Selain itu mereka pun mengalami halusinasi dan ilusi sehingga
seakan-akan melihat hal yang tak nyata (Naafi, Perwitasari, & Darmawan, 2016). Skizofrenia
sering menyebabkan kegagalan individu dalam mencapai berbagai keterampilan yang
diperlukan untuk hidup dan menyebabkan klien menjadi beban keluarga dan masyarakat.
Klien yang telah didiagnosa mengalami skizofrenia biasanya sulit disembuhkan karena
memerlukan waktu yang sangat lama dan tidak bisa pulih lagi seperti sebelumnya. Berbagai
upaya telah dilakukan untuk mencegah terjadinya kekambuhan pada klien skizofrenia, namun
dalam penatalaksanaan skizofrenia, kontinuitas pengobatan merupakan salah satu faktor
utama keberhasilan terapi. Adapun dampak ketidak patuhan minum obat bagi keluarga adalah
terjadinya beban subjektif berupa beban emosional dan kecemasan, dan beban objektif yang
dirasakan keluarga meliputi terjadinya gangguan hubungan keluarga dan keterbatasan klien
dalam melakukan aktivitas sehari-hari. Kepatuhan minum obat adalah perilaku untuk
menyelesaikan menelan obat sesuai dengan jadwal dan dosis obat yang dianjurkan sesuai
kategori yang telah ditentukan (Santoso K.H & Kusuma F.H.D, 2019). Faktor lain yang
mempengaruhi kepatuhan minum obat ODGJ yakni kurangnya perhatian dari petugas
kesehatan dalam hal ini pengelola program kesehatan jiwa masyarakat, hal ini disampaikan
oleh sebagian besar keluarga ODGJ pada saat peneliti melakukan kunjungan rumah.

Hasil Riset Kesehatan Dasar, (2018) didapatkan bahwa prevalensi data skizofrenia di
indonesia mencapai 6,7 % penderita. Sedangkan provinsi Bali pada tahun 2018 menduduki
urutan pertama dengan prevalens i penderita skizofrenia sebesar 11,1%. Prevalensi
skizofrenia tertinggi di Provinsi Bali berada di Kabupaten Gianyar sebesar 25,6% dan
terendah di Kabupaten Jembrana sebesar 2,4% (Riskesdas Provinsi Bali 2018). Berdasarkan
hasil studi pendahuluan dan wawancara yang di lakukan di wilayah kerja UPT PUSKESMAS
CISOMPET pada tanggal tanggal 9 januari 2023 di dapatkan hasil bahwa angka prevalensi
skizofrenia pada tahun 2023 tercatat sebanyak 79 jiwa dengan jumlah masing-masing
puskesmas pembantu depok yaitu tercatat 12 jiwa, pustu jatisari tercatat 10 jiwa, pustu
sukamukti tercatat 10 jiwa, pustu cisompet tercatat 6 jiwa, pustu neglasari 4 jiwa, pustu
margamulya tercatat 10 jiwa, pustu cihaurkuning tercatat 7 jiwa, pustu sindangsari tercatat 5
jiwa, pustu panyindangan 6 tercatat 6 jiwa, pustu cikondang tercatat 7 jiwa, pustu sukanagara
tercatat 2 jiwa, yang mengalami gangguan jiwa berat yaitu skizofrenia.
Berdasarkan latar belakang yang telah di paparkan di atas, peneliti ingiun
melaksanakan asuhan keperawatan “ Hubungan dukungan keluarga terhadap kepatuhan
minum obat pada pasien gangguan jiwa di wilayah kerja UPT PUSKESMAS CISOMPET”.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut maka rumusan masalah dalam penelitian ini “Apakah ada
Hubungan Dukungan Keluarga dengan Kepatuhan Minum Obat pada Pasien Gangguan Jiwa
di UPT puskesmas Cisompet ?”.

C. Tujuan penelitian
1. Tujuan Umum
Penelitian ini bertujuan ingin mengetahui hubungan dukungan keluarga terhadap
kepatuhan minum obat pada pasien gangguan jiwa di UPT Puskesmas Cisompet.
2. Tujuan Khusus
a. Mengidentifikasi karasteristik responden pasien gangguan jiwa di UPT Puskesmas
Cisompet.
b. Mengidentifkasi kepatuhan minum obat pada pasien gangguan jiwa di UPT
Puskesmas Cisompet.
c. Menganalisis hubungan dukungan keluarga terhadap kepatuhan minum obat pada
pasien gangguan jiwa di UPT Puskesmas Cisompet.

D. Manfaat penelitian
1. Bagi profresi keperawatan,
Sebagai landasan pengetahuan bagi perawat untuk meningkatkan dan
mengembangkan ilmu pengetahuan di bidang keperawatan psikiatrik terutama dalam
dukungan keluarga terhadap kepatuhan minum obat pada pasien gangguan jiwa.
2. Bagi puskesmas
Untuk meningkatkan intensitas komunikasi dengan keluarga pasien sehingga dapat
meningkatkan perhatian dan dukungan bagi pasien untuk mempercepat proses
penyembuhan pasien.
3. Bagi institusi pendidikan
Diharapkan penelitian ini dapat menjadi bahan pertimbangan dan menambah
wawasan dalam proses pembelajaran keperawatan jiwa, khususnya materi
pembelajaran tentang pentingnya dukungan keluarga terhadap kepatuhan minum obat
pasien gangguan jiwa.
4. Bagi keluarga
Dapat memberikan pengetahuan bagi keluarga, mengingat keluarga merupakan orang
terdekat dengan pasien yang mempunyai peranan penting dalam kesembuhan pasien.
Karena itu diperlukan dukungan sosial keluarga untuk selalu membantu dan
memonitor pasien dalam memonitor pasien dalam minum obat secara teratur dan
rutin.
5. Bagi Peneliti
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan, informasi, serta
pengalaman dalam meningkatkan ilmu pengetahuan yang baik dalam bidang ilmu
keperawatan jiwa. Hasil penelitian ini juga dapat digunakan sebagai data dasar dalam
melaksanakan penelitian lebih lanjut yang berkaitan dengan topik permasalahan yang
sama.
BAB II
Tinjauan Pustaka

2.1 Konsep Gangguan Jiwa


2.1.1 Pengertian Gangguan jiwa

Gangguan jiwa menurut (Depkes RI, 2019) adalah suatu perubahan pada fungsi jiwa
yang menyebabkan adanya gangguan pada fungsi jiwa yang menimbulkan penderitaan pada
individu dan hambatan dalam melaksanakan peran sosial. Gangguan jiwa merupakan
kumpulan dari keadaan-keadaan yang tidak normal, baik yang berhubungan dengan fisik,
maupun dengan mental. Ke abnormalan tersebut dibagi ke dalam dua golongan yaitu :
gangguan jiwa (Neurosa) dan sakit jiwa (Psikosa). Keabnormalan terlihat dalam berbagai
macam gejala yang terpenting diantaranya adalah ketegangan (tension), rasa putus asa dan
murung, gelisah, cemas, perbuatan-perbuatan yang terpaksa (convulsive), hysteria, rasa
lemah, tidak mampu mencapai tujuan, takut, pikiran-pikiran buruk. Gangguan jiwa
menyebabkan penderitanya tidak sanggup menilai dengan baik kenyataan, tidak dapat lagi
menguasai dirinya untuk mencegah mengganggu orang lain merusak/menyakiti dirinya
sendiri. Gangguan Jiwa sesungguhnya sama dengan gangguan jasmaniah lainnya, hanya saja
gangguan jiwa bersifat lebih kompleks, mulai dari yang ringan seperti rasa cemas, takut
hingga yang tingkat berat berupa sakit jiwa atau lebih kita kenal sebagai gila.

2.1.2 Faktor Yang Menyebabkan Gangguan Jiwa

Gejala utama atau gejala yang paling menonjol pada gangguan jiwa terdapat pada
unsur kejiwaan, tetapi penyebab utamanya mungkin dibadan (somatogenik), di lingkungan
sosial (sosiogenik) ataupun psikis (psikogenik), (Maramis, 2018). Biasanya tidak terdapat
penyebab tunggal, akan tetapi beberapa penyebab sekaligus dari berbagai unsur itu yang
saling mempengaruhi atau kebetulan terjadi bersamaan, lalu timbul lah gangguan badan
ataupun gangguan jiwa. Penyebab gangguan jiwa menurut (Stuart, G. W. & Sundeen, 2008).

a). Faktor Biologis/Jasmaniah

1. Keturunan

Peran yang pasti sebagai penyebab belum jelas, mungkin terbatas dalam mengakibatkan
kepekaan untuk mengalami gangguan jiwa tapi hal tersebut sangat ditunjang dengan faktor
lingkungan kejiwaan yang tidak sehat.
2. Jasmaniah

Beberapa peneliti berpendapat bentuk tubuh seseorang berhubungan dengan ganggua jiwa
tertentu. Misalnya yang bertubuh gemuk/endoform cenderung menderita psikosa manik
depresif, sedang yang kurus/ectoform cenderung menjadi skizofrenia.

3. Temperamen

Orang yang terlalu peka/sensitif biasanya mempunyai masalah kejiwaan dan ketegangan yang
memiliki kecenderungan mengalami gangguan jiwa.

4. Penyakit dan cedera tubuh

Penyakit-penyakit tertentu misalnya penyakit jantung, kanker, dan sebagainya mungkin dapat
menyebabkan merasa murung dan sedih. Demikian pula cedera/cacat tubuh tertentu dapat
menyebabkan rasa rendah diri.

b). Ansietas dan Ketakutan

Kekhawatiran pada sesuatu hal yang tidak jelas dan perasaan yang tidak menentu akan
sesuatu hal menyebabkan individu merasa terancam. ketakutan hingga terkadang
mempersepsikan dirinya terancam.

c). Faktor Psikologis

Bermacam pengalaman frustasi, kegagalan dan keberhasilan yang dialami akan mewarnai
sikap, kebiasaan dan sifatnya. Pemberian kasih sayang orang tua yang dingin, acuh tak acuh,
Kaku dan keras akan menimbulkan rasa cemas dan tekanan serta memiliki kepribadian yang
bersilat menolak dan menentang terhadap lingkungan.

d). Faktor Sosio-Kultural

Beberapa penyebab gangguan jiwa menurut (Wahyu, 2012) yaitu:

1. Penyebab primer (primary cause)

Kondisi yang secara langsung menyebabkan terjadinya gangguan jiwa. Kondisi yang tanpa
kehadirannya suatu gangguan jiwa tidak akan muncul
2. Penyebab yang menyiapkan (predisposing cause)

Menyebabkan seseorang rentan terhadap salah satu bentuk gangguan jiwa.

3. Penyebab yang pencetus (precipatating cause)

Ketegangan-ketegangan atau kejadian-kejadian traumatik yang langsung dapat menyebabkan


gangguan jiwa atau mencetuskan gangguan jiwa.

4. Penyebab menguatkan (reinforcing cause)

Kondisi yang cenderung mempertahankan mempengaruhi tingkah laku maladaptif yang


terjadi.

5. Multifle cause

Serangkaian faktor penyebab yang kompleks serta saling mempengaruhi. Dalam


kenyataannya, suatu gangguan jiwa jarang disebabkan oleh satu penyebab tunggal, bukan
sebagai hubungan sebab akibat, melainkan saling mempengaruhi antara satu taktor penyebab
dengan penyebab lainnya.

e. Faktor Presipitasi

Faktor stressor presipitasi mempengaruhi dalam kejiwaan seseorang. Sebagai faktor stimulus
dimana setiap individu mempersepsikan dirinya melawan tantangan, ancaman, atau tuntutan
untuk koping. Masalah Khusus tentang konsep diri disebabkan oleh setiap situasi dimana
individu tidak mampu menyesuaikan. Lingkungan dapat mempengaruhi konsep diri dan
komponennya. Lingkungan dan stressor yang dapat mempengaruhi gambaran diri dan
hilangnya bagian badan, tindakan operasi, proses patologi penyakit, perubahan struktur dan
fungsi tubuh, proses tumbuh kembang, dan prosedur tindakan serta pengobatan.

2.1.3 Klasifikasi gangguan jiwa

Klasifikasi berdasarkan Diagnosis gangguan jiwa menurut (Dalami, 2009) dibagi menjadi:

a. Gangguan Jiwa Psikotik

Gangguan jiwa psikotik yang meliputi gangguan otak organik ditandai dengan
hilangnya kemampuan menilai realita, ditandai waham (delusi) dan halusinasi, misalnya
SkizoIfrenia dan demensia.
b. Gangguan Jiwa Neurotik

Gangguan kepribadian dan gangguan jiwa yang lainnya merupakan suatu ekspresi dari
ketegangan dan konflik dalam jiwanya. Namun umumnya penderita tidak menyadari bahwa
ada hubungan antara gejala-gejala yang dirasakan dengan konflik emosinya. Gangguan ini
tanpa ditandai kehilangan intrapsikis atau peristiwa kehidupan yang menyebabkan kecemasan
(ansietas), dengan gejala- gejala obsesi, fobia, dan kompulsif.

c. Depresi

Depresi merupakan penyakit (merasa sedih), tak berdaya, putus asa, mudah tersinggung,
gelisah kombinasi dari karakteristik ini. Penderita depresi sering mengalami kesulitan dengan
memori, konsentrasi, atau mudah terganggu dan juga sering mengalami delusi atau
halusinasi. Ketika seseorang dalam keadaan depresi ada penurunan signifikan dalam personal
hygiene dan mengganggu kebersihan mulut.

2.1.4 Jenis - Jenis Penyakit Gangguan Jiwa


a. Skizofrenia

Merupakan bentuk psikosa fungsional paling berat, dan menimbulkan disorganisasi


personalitas yang terbesar. Skizofrenia juga merupakan suatu bentuk psikosa yang sering
dijumpai dimana-mana sejak dahulu kala.

b. Depresi

Merupakan suatu masa terganggunya fungsi manusia yang berkaitan dengan alam perasaan
yang sedih dan gejala penyertanya, termasuk pada pola tidur dan nafsu makan, psikomotor,
Konsentrasi, Kelelahan, putus asa dan tak berdaya, serta gagasan bunuh diri.

c. Kecemasan

Sebagai pengalam psikis yang biasa dan wajar, yang pernah dialami oleh setiap orang dalam
memacu individu untuk mengatasi masalah yang dihadapi sebaik-baiknya.

d. Gangguan kepribadian

Klinik menunjukkan bahwa gejala-gejala gangguan kepribadian (psikopatia) dan gejala-


gejala neurosa berbentuk hampir sama pada orang- orang dengan intelegensi tinggi ataupun
rendah. Jadi boleh dikatakan bahwa gangguan kepribadian, neurosa dan gangguan intelegensi
sebagian besar tidak tergantung pada satu atau lain atau tidak berkorelasi.
e. Gangguan mental organic

Merupakan gangguan jiwa yang psikotik atau non-psikotik yang disebabkan oleh gangguan
fungsi jaringan otak. Gangguan fungsi jaringan otak ini dapat disebabkan oleh penyakit
badaniah yang terutama mengenai otak atau yang terutama diluar otak.

f. Gangguan psikosomatik

Merupakan komponen psikologik yang diikuti gangguan fungsi badaniah. Sering terjadi
perkembangan neurotik yang memperlihatkan sebagian besar atau semata-mata karena
gangguan fungsi alat-alat tubuh yang dikuasai oleh susunan Saraf Vegetative.

g. Retardasi mental

Retardasi mental merupakan keadaan perkembangan jiwa yang terhenti atau tidak lengkap,
yang terutama ditandi oleh terjadinya hendaya keterampilan selama masa perkembangan,
sehingga berpengaruh pada tingkat kecerdasan secara menyeluruh, misalnya kemampuan
kognitif, bahasa, motorik, dan sosial (Yusuf, A.H & , R & Nihayati, 2015).

2.1.5 Tanda dan Gejala Gangguan Jiwa

Gejala-gejala gangguan jiwa adalah hasil interaksi yang kompleks antara unsur
somatic, psikologik, dan sosio-budaya. Gejala-gejala inilah sebenarnya menandakan
dekompensasi proses adaptasi dan terdapat terutama pemikiran, perasaan dan perilaku
(Maramis, 2010). Gangguan mental dan penyakit mental dalam tahap awal gejala-gejalanya
sulit dibedakan, bahkan gejala itu kadangkala menampak pada orang normal yang sedang
tertekan emosinya dalam batas-batas tertentu. Pada tahap awal sulit dibedakan dengan gejala
pada gangguan mental gejala umum yang muncul mengenahi keadaan fisik, mental, dan
emosi.

Tanda dan gejala gangguan jiwa secara umum menurut (Yosep, 2009) adalah sebagai berikut

a. Ketegangan (tension)

Rasa putus asa dan murung, gelisah, cemas, perbuatan-perbuatan yang terpaksa (convulsive),
hysteria, rasa lemah, tidak mampu mencapai tujuan, takut, pikiran-pikiran buruk.

b. Gangguan kognisi

Pada persepsi merasa mendengar (mempersepsikan ) sesuatu bisikan yang menyuruh


membunuh, melempar, naik genting, membakar rumah, padahal orang diskitarnya tidak
mendengarnya dan suara tersebut sebenarnya tidak ada hanya muncul dari dalam individu
sebagai bentuk kecemasan yang sangat berat dia rasakan. Hal ini sering disebut halusinas.
Klien bisa mendengar melihat sesuatu merasakan sesuatu yang sebenarnya tidak ada menurut
orang lain.

c. Gangguan kemauan

Klien memiliki kemauan yang lemah (abulia) susah membuat keputusan atau memulai
tingkah laku, susah sekali bangun pagi, mandi, merawat diri sendiri sehingga terlihat kotor,
bau, dan acak-acakan.

d. Ganggaun emosi Klien merasa Senang

Gembira yang berlebihan (Waham kebesaran). Klien merasa sebagai orang penting, sebagai
raja, pengusaha, orang kaya, titisan Bung Karno tetapi dilain waktu bisa merasa sangat sedih,
menangis, tak berdaya (depresi) samapai ada ide ingin mengakhiri hidupnya.

e. Gangguan psikomotor Hiperaktivitas

Klien melakukan pergerakan yang berlebihan naik keatas genting berlari, berjalan maju
mundur, meloncat-loncat, melakukan apa-apa yang tidak disuruh atau menentang apa yang
disuruh, diam lama tidak bergerak atau melakukan gerakan aneh.

Menurut (Yosep, 2009) dalam keadaan fisik dapat dilihat pada anggota tubuh seseorang yang
menderita gangguan jiwa, diantaranya adalah:

a. Suhu Badan berubah

Orang normal rata-rata mempunyai suhu badan sekitar 37c. Pada orang yang sedang
mengalami gangguan mental meskipun secara fisik tidak terkena penyakit kadang kala
mengalami perubahan

b. Denyut nadi menjadi cepat

Denyut nadi berirama, terjadi sepanjang hidup. Ketika menghadapi keadaan yang tidak
menyenangkan, seseorang dapat mengalami denyut nadi semakin cepat

c. Nafsu makan berkurang

Seseorang yang sedang terganggu kesehatan mentalnya akan mempengaruhi pula dalam
nafsu makan. Keadaan mental dan emosi nampak ditandai dengan :
- Delusi atau Waham yaitu keyakinan yang tidak rasional (tidak masuk akal) meskipun
telah dibuktikkan secara obyektif bahwa keyakinannya itu tidak rasional, namun
penderita tetap meyakini kebenarannya.
- Halusinasi yaitu pengelaman panca indera tapa ada rangsangan misalnya penderita
mendengar suara-suara atau bisikan-bisikan di telinganya padahal tidak ada sumber
dari suara/bisikan itu.
- Kekacauan alam pikir yaitu yang dapat dilihat dari isi pembicaraannya, misalnya
bicaranya Kacau sehingga tidak dapat jalan.
- Gaduh gelisah, tidak dapat diam, mondar-mandir, agresif, bicara dengan sangat
gembira berlebihan.
- Tidak atau kehilangan Kehendak (avalition) tidak ada inisiatif, tidak ada upaya usaha,
tidak ada spontanitas, monoton, serta tidak ingin apa- apa dan serba malas dan selalu
terlihat sedih.
2.1.6 Dampak gangguan jiwa
1. Dampak gangguan jiwa bagi masyarakat

Menurut (Admin, 2010), dampak gangguan jiwa cukup besar, baik bagi pasien, bagi
masyarakat dan lingkungan. Dampak tersebut antara lain:

a. Sebagai penyebab paling utama dari disabilitas Kelompok usia produktif


b. Penderita gangguan jiwa menjadi tidak produktif dan menganggur
c. Penderita mengalami penolakan, pengucilan, dan diskriminasi
d. Biaya perawatan yang tinggi
2. Dampak gangguan jiwa bagi keluarga

Dampak dari anggota yang mengalami gangguan jiwa bagi keluarga diantaranya keluarga
belum terbiasa dengan:

a. Penolakan

Sering terjadi ketika keluarga yang menderita gangguan jiwa pihak anggota keluarga lain
menolak penderita tersebut dan meyakini penyakit yang berkelanjutan. Selama episode akut
anggotakeluarga akan khawatir dengan apa yang terjadi pada mereka yang dicintai.
b. Stigma

Keluarga menganggap penderita gangguan jiwa tidak dapat berkomunikasi layaknya orang
normal lainnya. Hal in menyebabkan beberapa anggota keluarga merasa tidak nyaman untuk
mengundang penderita gangguan jiwa dalam kegiatan tertentu.

c. Frustasi, tidak berdaya dan cemas

Sulit bagi siapa saja untuk menangani pemikiran aneh dan tingkah laku anen yang tak terduga
dari penderita gangguan jiwa Keluarga dapat menjadi marah, cemas dan frustasi karena
berusaha untuk mendapatkan rutinitas yang sebelumnya penderita lakukan.

d. Kelelahan dan bournout

Seringkali keluarga menjadi putus asa berhadapan dengan orang yang memiliki penyakit
mental. Mereka mungkin merasa tidak mampu dan lelah mengatasi orang yang sakit terus-
menerus.

e. Duka

Keluarga berduka ketika orang yang dicintai sulit disembuhkan.

3. Dampak gangguan jiwa bagi penderita

Persepsi masyarakat dan keluarga yang salah dapat menyebabkan penderita siksaan
yang bisa dapatkan oleh penderita gangguan jiwa seperti pemasungan yang dilakukan oleh
masyarakat dan keluarga. Kesembuhan pada pendrita gangguan jiwa menjadi sangat kecil
karena kurangnya dukungan dari masyarakat dan keluarga. Setelah penderita gangguan jiwa
sembuh ada Kemungkinan terjadi Kekambuhan pada penderita gangguan jiwa. Sikap
keluarga dan masyarakat yang memberikan label mantan gangguan jiwa mereka tetap
mempersepsikan negatif schingga penderita gangguan jiwa merasa menjadi beban bagi
keluarga dan masyarakat (Arum, 2008).
2.1.7 Usaha-usaha untuk menanggulangi Gangguan jiwa

Usaha-usaha penanggulangan penyakit gangguan jiwa yaitu :

1. Terapi psikofarmaka

Psikofarmaka atau obat psikotropik adalah obat yang bekerja secara selekftif pada system
saraf pusat dan mempunyai efek utama terhadap aktivitas mental dan perilaku, digunakan
untuk terapi gangguan psikiatrik yang berpengaruh terhadap taraf kualitas hidup klien.

2. Terapi somatik

Terapi ini hanya dilakukan pada gejala yang ditimbulkan akibat gangguan jiwa sehingga
diharapkan tidak dapat menganggu sistem tubuh lain. Salah satu bentuk terapi ini adalah
Electro Convulsive Therapy,

3. Terapi elektrokonvulsif (ECT)

Merupakan suatu jenis pengobatan somatik dimana arus listrik digunakan pada otak melalui
elektroda yang ditempatkan pada pelipis. Arus tersebut cukup menimbulkan kejang grand
mal, yang darinya diharapkan efek yang terapeutik tercapai. Mekanisme kerja ECT
sebenarnya tidak diketahui, tetapi diperkirakan bahwa CT menghasilkan perubahan-
perubahan biokimia di dalam otak (peningkatan kadar epinefrin dan serotonin) mirip dengan
Obat annti depresan

4. Terapi modalitas

Terapi modalitas adalah suatu pendekatan penanganan klien gangguan yang bervariasi yang
bertujuan mengubah perilaku klien gangguan jiwa dengan perilaku maladaptifnya menjadi
perilaku yang adaptif (Yusuf, A.H & , R & Nihayati, 2015)

2.2 Konsep keluarga


2.2.1 Pengertian keluarga

Keluarga adalah dua orang atau lebih yang disatukan oleh ikatan-ikatan kebersamaan
dan ikatan emosional dan mengidentitikasian diri mereka sebagai bagian dari keluarga
(Zakaria, 2017). Sedangkan menurut Depkes RI tahun 2000, keluarga adalah unit terkecil dari
masyarakat yang terdiri dari kepala keluarga dan beberapa orang yang terkumpul dan tinggal
di suatu tempat di bawah Satu atap dalamn keadaan Saling kebergantungan Duval dan Logan
(1986 dalam Zakaria, 2017) mengatakan keluarga adalah sekumpulan orang dengan ikatan
perkawinan. kelahiran dan adopsi yang bertujuan menciptakan, mempertahankan budaya dan
meningkatkan pertumbuhan fisik, mental-emosional serta sosial dari satu atap anggota
keluarganya. Dari hasil analisa Walls, 1986 (dalam Zakaria, 2017) keluarga sebagai unit yang
perlu dirawat, boleh jadi tidak di ikat oleh hubungan darah atau hukum, tetapi berfungsi
sedemikian rupa sehingga menganggap diri mereka sebagai suatu keluarga Jadi, dapat
disimpulkan bahwa keluarga adalah dua orang atau lebih yang disatukan oleh ikatan
perkawinan, kelahiran, adopsi dan boleh jadi tidak diikat oleh hubungan darah dan hukum
yang tinggal di suatu tempat di bawah satu atar dengan keadaan saling ketergantungan dan
memiliki kedekatan emosional yang memilki tujuan mempertahankan budaya meingkatkan
pertumbuhan fisik, mental, emosional serta sosial sehingga menganggap diri mereka sebagai
suatu keluarga. yang disatukan oleh ikatan perkawinan, kelahiran, adopsi dan boleh jadi tidak
diikat oleh hubungan darah dan hukum yang tinggal di suatu tempat di bawah satu atar
dengan keadaan saling ketergantungan dan memiliki kedekatan emosional yang memilki
tujuan mempertahankan budaya meingkatkan pertumbuhan fisik, mental, emosional serta
sosial sehingga menganggap diri mereka sebagai suatu keluarga.

2.2.2. Tipe keluarga

Menurut Nadirawati (2018) pembagian tipe keluarga adalah :

1. Keluarga Tradisional
a. Keluarga Inti (The Nuclear Family) adalah keluarga yang terdiri dari suami, istri, dan
anak baik dari sebab biologis maupun adopsi yang tinggal bersama dalam satu rumah.
Tipe keluarga diantaranya:
- Keluarga Tapa Anak (The Dyad Family) yaitu keluarga dengan suami dan istri
(tapa anak) yang hidup bersama dalam satu rumah.
- The Childless Family yaitu keluarga tanpa anak dikarenakan terlambat
menikah dan untuk mendapatkan anak terlambat waktunya disebabkan
mengejar karir/pendidikan yang terjadi pada wanita.
- Keluarga Adopsi yaitu keluarga yang mengambil tanggung jawab secara sah
dari orang tua kandung ke keluarga yang menginginkan anak.
b. Keluarga Besar (The Extended Fmily) yaitu keluarga yang terdiri dari tiga generasi
yang hidup bersama dalam satu rumah, contohnya seperti nuclear family disertai
paman, tante, kakek dan nenek.
c. Keluarga Orang Tua Tunggal (The Single-Parent Family) yaitu keluarga yang terdiri
dari satu orang tua (ayah atau ibu) dengan anak. Hal ini biasanya terjadi karena
perceraian, kematian atau karena ditinggalkan (menyalahi hukum pernikahan).
d. Commuter Family yaitu kedua orang tua (suami-istri) bekerja di kota yang berbeda,
tetapi salah satu kota, tersebut sebagal tempat tinggal dan yang bekerja di luar kota
bisa berkumpul dengan anggota keluarga pada saat akhir minggu, bulan atau pada
waktu- waktu tertentu.
e. Multigeneration Family yaitu kelurga dengan beberapa generasi atau kelompok umur
yang tinggal bersama dalam satu rumah.
f. Kin-Network Family yaitu beberapa keluarga inti yang tinggal dalam satu tumah atau
berdekatan dan saling menggunakan barang-barang dan pelayanan yang sama.
Contohnya seperti kamar mandi, dapur, televise dan lain-lain.
g. Keluarga Campuran (Blended Family) yaitu duda atau janda (karena perceraian) yang
menikah kembali dan membesarkan anak dari hasil berkawinan atau dari perkawinan
sebelumnya.
h. Dewasa Lajang yang Tinggal Sendiri (The Single Adult Living Alone), yaitu
keluarga vang terdiri dari orang dewasa yang hidup sendiri karena pilihannya atau
perpisahan (separasi.seperti perceraian atau ditinggal mati.
i. Foster Family yaitu pelayanan untuk suatu keluarga dimana anak ditempatkan di
rumah terpisah dari orang tua aslinya jika orang tua dinyatakan tidak merawat anak-
anak mereka dengan baik. Anak tersebut akan dikembalikan kepada orang tuanya jika
orang tuanya sudah untuk merawat.
j. Keluarga Binuklir yaitu bentuk keluarga stela cerai di mana anak menjadi anggota
dari suatu sistem yang terdiri dari dua rumah tangga inti.
2. Keluarga Non-tradisional
a. The Unmarried Teenage Motheryaitu keluarga yang terdiri dari orang tua (terutama
ibu) dengan anak dari hubungan tapa nikah.
b. The Step Parent Family yaitu keluarga dengan orang tua tiri.
c. Commune Family yaitu beberapa keluarga (dengan anak) yang tidak ada hubungan
saudara yang hidup bersama dalam satu rumah, sumber, dan fasilitas yang sama,
pengalaman yang sama serta sosialisasi anak melalui aktivitas
kelompok/membesarkan anak bersama.
d. Keluarga Kumpul Kebo Heteroseksual (The Nonmarital Heterosexual Cohabiting
Family), keluarga yang hidup bersama berganti-ganti pasangan tapa melakukan
pernikahan.
e. Gay and Lesbian Families, yaitu seseorang yang mempunyai persamaan seks hidup
bersama sebagaimana marital partners.
f. Cohabitating Family yaitu orang dewasa yang tinggal bersama diluar hubungan
perkawinan melainkan dengan alasan tertentu.
g. Group-Marriage family, yaitu beberapa orang dewasa yang menggunakan alat-alat
rumah tanga bersama yang saling merasa menikah satu dengan lainnya, berbagi
sesuatu termasuk seksual dan membesarkan anak.

h. Group Network Family, keluarga intl yang dibatasi aturan/nilai-nilai, hidup


berdekatan satu sama lain, dan saling menggunakan alat-alat rumah tangga bersama,
pelayanan, dan bertanggung jawab membesarkan anaknya.

i. Foster Family, keluarga menerima anak yang tidak ada hubungan keluarga/saudara di
dalam waktu sementara, pada saat orang tua anak tersebut perlu mendapatkan bantuan
untuk menyatukan kembali keluarga aslinya.

j. Homeless Family, yaitu keluarga yang terbentuk dan tidak mempunyai perlindungan
yang permanen karena krisis personal yang dihubungkan dengan keadaan ekonomi
dan atau masalah kesehatan mental.

k. Gang, bentuk keluarga yang destruktif dari orang-orang muda yang mencari ikatan
emosional dan keluarga mempunyal perhatian tetapi berkembang dalam kekerasan
dan kriminal dalam kehidupannya.

2.2.3 Struktur keluarga

Beberapa ahli meletakkan struktur pada bentu/tipe keluarga, namun ada juga yang
menggambarkan subsitem-subsistemnya sebagai dimensi struktural. Struktur keluarga
menurut Friedman (2009) dalam Nadirawati (2018) sebagai berikut:

1. Pola dan Proses Komunikasi

Komunikasi keluarga merupakan suatu proses simbolik, transaksional untuk menciptakan


mengungkapkan pengertian dalam keluarga.
2. Struktur Kekuatan

Struktur keluarga dapat diperluas dan dipersempit tergantung pada kemampuan keluarga
untuk merespon stressor yang ada dalam keluarga. Struktur kekuatan keluarga merupakan
kemampuan (potensial/aktual) dari individu untuk mengontrol atau memengaruhi perilaku
anggota keluarga. Beberapa macam struktur keluarga:

a. Legimate power/authority (hak untuk mengontrol) seperti orang tua terhadap anak
b. Referent power (seseorang yang ditiru) dalam hal ini orang tua adalah sesorang yang
dapat ditiru oleh anak.
c. Resource or expert power (pendapat, ahli, dan lain).
d. Reward Dower (pengaruh kekuatan karena adanya harapan yang akan diterima).
e. Coercive Dower (pengaruh yang dipaksa dengan keinginannya).
f. Informational power (pengaruh yang dilalui melalui pesuasi)
g. Affective power (pengaruh yang diberikan melalui manipulasi cinta kasih, misalnya
hubungan seksul

Sedangkan sifat struktural di dalam keluarga sebagai berikut:

a. Struktur egilasi (demokrasi), yaitu dimana masing-masing anggota keluarga memillki


hak yang sama dalam menyampaikan pendapat.
b. Struktur yang hangat, menerima, dan toleransi
c. Struktur yang terbuka dan anggota yang terbuka (honesty authenticity), struktur
keluarga ini mendorong kejujuran dan kebenaran.
d. Struktur yang kaku, yaitu suka melawan dan bergantun pada peraturan.
e. Struktur yang bebas (permissiveness), pada struktur ini tidak adanya peraturan yang
memaksa.
f. Struktur yang kasar (abuse); penyiksaan, kejam dan kasar.
g. Suasana emosi yang dingin, isolasi dan sukar berteman.
h. Disorganisasi keluarga; disfungsi individu, stres emosional.
3. Struktur Peran

Peran biasanya meyangkut posisi dan posisi mengidentifikasi status atau tempat sementara
dalam suatu sistem sosial tertentu.

a. Peran-peran formal dalam keluarga


Peran formal dalam keluarga dalah posisi formal pada keluarga, seperti ayah. ibu dan anak
Setiap anggota keluarga memiliki peran masing-masing. Ayah sebagai pemimpin keluarga
memiliki peran sebagai pencari nafkah, pendidik, pelindung, pemberi rasa aman bagi seluruh
anggota keluarga, dan sebagal anggota masyarakat atau kelompok sosial tertentu. Ibu
berperan sebagai pengurus rumah tangga, pengasuh dan pendidik anak, pelindung keluarga
sebagai pencari nafkah tambahan keluarga, serta sebagai anggota masyarakat atau sosial
tertentu. Sedangkan anak berperan sebagai pelaku psikososial sesuai dengan perkembangan
fisik, mental, sosial dan spiritual.

b. Peran Informal keluarga

Peran informal atau peran tertutup biasanya bersifat implisit, tidak tampak ke permukaan, dan
dimainkan untuk memenuhi kebutuhan emosional atau untuk menjaga keseimbangan
keluarga.

4. Struktur Nilai

Sistem nilai dalam keluarga sangat memengaruhi nilal-nilai masyarakat. Nilai keluarga akan
membentuk pola dan tingkah laku dalam menghadapi masalah yang dialami keluarga. Nilai
keluarga ini akan menentukan bagaimana keluarga menghadapi masala kesehatan dan
stressor-stressor lain.

2.2.4 Fungi Keluarga

Fungi keluarga menurut Friedman (2003) dalam Nadirawati (2018)

sebagai berikut:

1. Fungsi afektif dan koping dimana keluarga memberikan kenyamanan emosional


anggota, membantu anggota dalam membentuk identitas, mempertahankan saat terjadi
stres.
2. Fungi sosialisasi, keluarga sebagai guru, menanamkan Kepercayaan nilai, sikap, dan
mekanisme Koping, memberikan feedback dan saran dalam penyelesaian masalah.
3. Fungi reproduksi dimana keluarga melanjutkan garis Keturunannya dengan
melahirkan anak.
4. Fungsi ekonomi, keluarga memberikan finansial untuk anggota keluarga dan
kepentingan di masyarakat.
5. Fungsi pemeliharaan kesehatan; keluarga memberikan keamanan dan kenyamanan
lingkungan yang dibutuhkan untuk pertumbuhan, perkembangan dan istirahat juga
penyembuhan dari sakit

2.2.5 Tugas Keluarga

Tugas kesehatan keluarga menurut Bsilon dan Maglalaya (2009) :

1. Mengenal masalah kesehatan

Orang tua perlu mengenal keadaan kesehatan dan perubahan- perubahan yang dialami
anggota keluarga. Dan sejauh mana keluarga mengenal dan mengetahui fakta-fakta dari
masalah kesehatan yang meliputi pengertian, tanda dan gejala, faktor penyebab dan yang
mempengaruhinya, persepsi keluarga terhadap masalah kesehatan.

2. Membuat keputusan tindakan kesehatan yang tepat

Hal ini meliputi sejauh mana kemampuan keluarga mengenal sifat dan luasnya masalah.
Apakah keluarga merasakan adanya masalah kesehatan, menyerah terhadap masalah yang
dialami, adakah perasaan takut akan akibat penyakit, adalah sikap negatif terhadap masalah
kesehatan, apakah keluarga dapat menjangkau tasilitas kesehatan yang ada. Kepercayaan
Keluarga terhadan tenaga kesenatan, dan apakah keluarga mendapat informasi yang benar
mengatasi masalah kesehatan.

3. Memberi perawatan pada anggota keluarga yang sakit

Ketika memberikan perawatan kepada anggota keluarganya yang sakit keluarga harus
mengetahui beberapa hal seperti keadaan penyakit, sifat dan perkembangan perawatan yang
dibutuhkan, keberadaan fasilitas yang diperlukan, sumber-sumber yang ada dalam keluarga
(anggota Keluarga yang bertanggung jawab, finansial fasilitas psikososial), dan sikap
keluarga terhadap yang sakit.

4. Memodifikasi lingkungan atau menciptakan suasana rumah yang sehat.

Hal-hal yang harus diketahui oleh keluarga untuk memodifikasi lingkungan atau menciptakan
suasana rumah yang sehat yaitu sumber-sumber keluarga yang dimiliki, mantaat dan
keuntungan memelihara lingkungan, pentingnya dan sikap keluarga terhadap hygiene
sanitasi, upaya pencegahan penyakit.

5. Merujuk pada fasilitas kesehatan masyarakat

Hal-hal yang harus diketahui keluarga untuk merujuk anggota keluarga ke fasilitas kesehatan
yaitu keberadaan fasilitas keluarga, keuntungan- keuntungan yang dapat diperoleh dari
fasilitas kesehatan, tingkat kepercayaan keluarga dan adanya pengalaman yang kurang balk
terhadap petugas dan fasilitas kesehatan, fasilitas yang ada terjangkau oleh keluarga.

2.2.6 Tahap Keluarga Sejahtera

Tingakatan kesehatan kesejahteraan keluarga menurut Amin Zakaria (2017) adalah:

1. Keluarga Prasejarah

Keluarga yang belum bisa memenuhi kebutuhan dasar minimal, yaitu kebutuhan pengajaran
agama, sandang, pangan, papan dan kesehatan. Dengan kata lain tidak bisa memenuhi salah
satu atau lebih indikator

2. Keluarga sejahtera tahap I.

Keluarga yang sudah dapat memenuhi kebutuhan dasar minimal, tetapi belum bisa memenuhi
seluruh kebutuhan psikososial, seperti pendidikan, KB, interaksi dalam keluarga, lingkungan
sosial dan transportasi. Indikator keluarga tahap I yaitu melaksanakan ibadah menurut
kepercayaan masing-masing, makan dua kali sehari, pakaian yang berbeda untuk berbagai
keperluan, lantai rumah bukan dari tanah, kesehatan (anak sakit. KB dibawa keperawatan
pelayanan kesehatan)

3. Keluarga Sejahtera Tahap Il

Pada tahap II ini keluarga sudah mampu memenuhi kebutuhan dasar minimal, dapat
memenuhi seluruh kebutuhan psikososial, tetapi belum dapat memenuhi kebutuhan
perkembangan (kebutuhan menabung dan memperoleh informasi. Indikator keluarga tahap Il
adalah seluruh ditambah dengan melaksanakan kegiatan secara teratur, makan
daging/ikan/telur sebagai lauk pauk minimal satu tahun terakhir, luas lantai rumah perorang
8m² kondisi anggota keluarga sehat dalam 3 bulan terakhir, Keluarga usia 1) tahun keatas
memiliki penghasilan tetap, anggota keluarga usia 15-60 tahun mampu membaca dan
menulis. anak usia 7-15 tahun bersekolah semua dan dua anak atau lebih PUS menggunakan
Alkon.
4. Keluarga Sejahtera Tahap Ill

Keluarga yang telah dapat memenuhi kebutuhan dasar minimal, setelah memenuhi
keseluruhan kebutuhan psikososial, dan memenuhi kebutuhan perkembangan, tetapi belum
bisa memberikan sumbangan secara maksimal pada masyarakat dalam bentuk material dan
keuangan dan belum berperan serta dalam lembaga kemasyarakatan.

5. Keluarga Sejahtera Tahap III Plus

Memenuhi indikator keluarga tahap sebelumnya ditambah dengan upaya keluarga


menambahkan pengetahuan tentang agama, makan bersama minima satu kali sehari ikut serta
dalam kegiatan masyarakat, rekreasi sekurangnya dalam enam bulan, dapat memperoleh
berita dari media cetak maupun media elektronik, anggota Keluarga mampu menggunakan
sarana transportasi.

2.2.7 Teori perkembangan keluarga

Salah satu tori perkembangan keluarga adalah keluarga berkembang dari waktu-
kewaktu dengan pola secara umum dan dapat diprediksi(Zakaria, 2017). Paradigma Siklus
Kehidupan ialah menggunakan tingkat usia, tingkat sekolah dan anak paling tua sebagai
tonggak untuk interval siklus kehidupan (Duvall dan Miller, 1987 dalam Zakaria, 2017).

Tabel 2.1 Tahap siklus kehidupan keluarga

Tahap I Keluarga pemula (Keluarga baru menikah - hamil)


Tahap II Keluarga mengasuh anak (anak tertua bayi - umur 30 bulan)
Tahap III Keluarga dengan anak usia pra sekolah (anak tertua berusia 2 - 6
tahun)
Tahap IV Keluarga dengan anak usia sekolah (anak tertua berusia 6 tahun -
13 tahun )
Tahap V Keluarga dengan anak usia remaja (anak tertua berusia 13 - 20
tahun)
Tahap VI Keluarga melepas anak usia dewasa muda (mencakup anak
pertama sampai dengan anak terakhir meninggalkan rumah)
Tahap VII Orang tua usia pertengahan (tanpa Jabatan, pension )
Tahap VIII Keluarga dalam masa pension dan lansia ( hingga pasangan
meninggal dunia)
(Sumber,Duval dan Miller, 1985 Dalam Zakaria,2017).

Anda mungkin juga menyukai