Anda di halaman 1dari 6

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Diabetes melitus (DM) atau penyakit kencing manis adalah penyakit yang
disebabkan karena kurangnya produksi insulin oleh pankreas didalam tubuh tidak
secara efektif. Penyebab diabetes melitus sangat kompleks, mulai dari gaya hidup tidak
sehat, lingkungan, faktor genetik, dan lainnya. Komplikasi DM yang sering dijumpai
adalah kaki diabetik yang dapat bermanifestasi menjadi ulkus dan artropati. Ulkus
diabetik merupakan kelainan tungkai bawah pada diabetes karena gangguan pembuluh
darah vena atau arteri, gangguan persarafan/neuropati serta adanya kondisi infeksi.
Sekitar 15% penderita DM dalam perjalanan penyakitnya akan mengalami komplikasi
ulkus (Muliadi et al., 2018).
Terjadi masalah kaki diawali adanya hiperglikemia pada penyandang DM yang
menyebabkan kelainan neuropati dan kelainan pada pembuluh darah. Neuropati, baik
neuropati sensosik maupun motorik dan autonomik akan mengakibatkan berbagai
perubahan pada kulit dan otot. Kemudian menyebabkan yang terjadinya perubahan
distribusi tekanan pada telapak kaki dan selanjutnya akan mempermudah terjadinya
ulkus. Adanya kerentanan terhadap infeksi menyebabkan infeksi mudah merebak
menjadi infeksi yang luas. Faktor aliran darah yang kurang juga akan lebih lanjut
menambah rumitnya pengelolaan kaki diabetes (Aru W. Sudoyo, 2007).
Ulkus diabetik merupakan penyakit yang terjadi pada kaki penderita diabetes
melitus, dimana gangguan pada kaki ini akibat adanya gangren. Gangguan kaki ini
dapat terjadi perubahan aktivitas, disebabkan adanya gangguan pembuluh darah,
gangguan persyarafan dan infeksi, amputasi, atau gangguan pada kaki ini dapat
mempengaruhi lamanya seseorang melakukan perawatan luka, biaya yang dikeluarkan
lebih besar pada penderita diabetes melitus dengan ulkus kaki diabetik, bahkan dapat
menyebabkan kematian. Diperkirakan setiap tahunnya satu juta pasien yang menderita
Ulkus Diabetik menjalani amputasi ekstremitas bawah (85%) dan angka kematian yaitu
15-40% setiap tahunnya serta 39-80% setiap 5 tahunnya. Untuk itu, perlu mengetahui
faktor yang berhubungan dengan ulkus kaki diabetik agar dapat waspada dan
mencegah terjadi ulkus kaki diabetik pada penderita diabetes melitus (Nurhanifah &
Banjarmasin, 2017).

1
2

World Health Organization dan International Working Group on the Diabetic Foot
menjelaskan bahwa kaki diabetes adalah keadaan adanya ulkus dan infeksi yang
berhubungan dengan kelainan neurologi dan penyakit pembuluh darah perifer pada
ekstremitas bawah. Gangguan pada aliran darah dan saraf ini dikarenakan hiperglikemia
yang tidak terkontrol. Kejadian DM yang mengalami ulkus menurut American Diabetes
Association memperkirakan bahwa amputasi kaki ulkus akan terus meningkat 15%
orang dengan DM akan mengalami ulkus selama hidup mereka, dan 24% orang dengan
ulkus kaki akan memerlukan amputasi (Yoyoh & Mutaqqijn, 2016).
Prevalensi penderita diabetes mellitus dengan ulkus kaki diabetik di Indonesia
sekitar 15%. Angka amputasi penderita ulkus kaki diabetik 30%, angka mortalitas
penderita ulkus kaki diabetik 32% dan ulkus kaki diabetik merupakan sebab perawatan
rumah sakit yang terbanyak sebesar 80% untuk diabetes melitus. Penderita ulkus kaki
diabetik di Indonesia memerlukan biaya yang tinggi sebesar Rp. 1,3 juta - Rp. 1,6 juta
perbulan dan Rp. 43,5 juta pertahun untuk seorang penderita (Nurhanifah &
Banjarmasin, 2017). Prevalensi Diabetes Melitus yang terdiagnosis dokter tertinggi
terdapat di DI Yogyakarta (2,6%), DKI Jakarta (2,5%), Sulawesi Utara (2,4%) dan
Kalimantan Timur (2,3%). Dari jumlah kenaikan insidensi penyakit Diabetes mellitus
tersebut, Diabetes Mellitus Tipe II merupakan jenis yang paling banyak ditemukan yaitu
lebih dari 90% kasus (Tipe et al., 2018).
Ulkus kaki dan amputasi merupakan konsekuensi dari neuropati diabetik dan
penyakit arteri perifer yang biasa terjadi merupakan penyebab utama morbiditas dan
mortalitas pada penderita diabetes. Pengenalan dini dan perawatan pasien yang kurang
efektif dengan perawatan luka kaki akan berisiko untuk amputasi. Amputasi merupakan
cara yang dapat menunda atau mencegah hasil yang lebih merugikan (Azizah et al.,
2017).
Dampak yang diakibatkan oleh ulkus Diabetik begitu kompleksnya, hal ini
berdasarkan penelitian (Herber, Schnepp, & Rieger, 2007) di Jerman, dalam penelitian
ini dikemukakan bahwa 24% dari pasien ulkus yang berobat memiliki masalah bau pada
ulkus, ulkus Diabetik yang menimbulkan bau memiliki efek negatif pada kehidupan
sosial pasien, salah satunya menyebabkan kecemasan yang tinggi dan depresi, maupun
perubahan body image, efek dari masalah ulkus Diabetik bisa menyebabkan hubungan
dengan lingkungan menurun, seperti merasa malu karena bau dari ulkus Diabetik.
Tujuan utama dari tatalaksana ulkus kaki diabetik adalah untuk penyembuhan luka yang
3

lebih baik. Permasalahan yang sering ditemukan pada pasien pulang dari rumah sakit
adalah kondisi ulkus diabetik belum sembuh total karena membutuhkan waktu
perawatan yang lama, besarnya biaya perawatan dan menurunnya produktivitas yang
berdampak pada pasien harus pulang ketika kondisi luka belum sembuh total. Sehingga
pasien diharapkan bisa melanjutkan perawatan ulkus Diabetik secara mandiri di rumah,
dengan harapan terhindar terjadinya komplikasi lanjut dan amputasi (Basri, 2019).
Amputasi berasal dari kata “amputare” yang kurang lebih diartikan “pancung”
(Bararah dan Jauhar, 2012) dalam (Suwito, 2014) menyatakan bahwa “amputasi dapat
diartikan sebagai tindakan memisahkan bagian tubuh sebagian atau seluruh bagian
ekstremitas.Tindakan ini merupakan tindakan yang dilakukan dalam kondisi pilihan
terakhir manakala masalah organ yang terjadi pada ekstremitas sudah tidak mungkin
dapat diperbaiki dengan menggunakan teknik lain” (Mandiri et al., 2019).
Sekitar 1,6 juta orang dengan amputasi tinggal di Amerika Serikat, dengan sekitar
65% mengalami amputasi anggota gerak bawah. Sekitar 1 juta orang amputasi
ekstremitas bawah dikarenakan oleh penyakit pembuluh darah. Amputasi yang paling
sering dilakukan ialah amputasi pada jari kaki (33,2%), transtibial (28,2%), transfemoral
(26,1%), dan amputasi pada kaki (10,6%). Pergelangan kaki disarticulation dan
amputasi hemipelvictomy sekitar 1,5% (Mandiri et al., 2019).
Ketika vonis amputasi diterima oleh klien maka respon psikologis yang akan muncul
fase-fase sebelum masuk kepada kondisi kemampuan dalam menyesuaikan diri saat
menghadapi resiliensi. Komponen tersebut terdiri dari tujuan (Meaningfulness/purpose),
Ketekunan (Perseverance), Ketenangan (Equainimity), Kemandirian (Self-reliance),
kesendirian eksistensial (Existential Aloneness). Hal ini dibuktikan oleh penelitian yang
dilakukan oleh Wagnild (2010) menyatakan Orang yang tangguh (pasien yang resilien)
menanggapi tantangan hidup dengan keberanian dan stamina emotional, bahkan ketika
para pasien takut untuk diamputasi (Widianingsih & Diantina, 2018).
Studi pendahuluan yang dilakukan difasilitas pelayanan kesehatan (Fasyankes)
Nature Centre Indonesia (NCI) diperoleh data jumlah klien pada tahun 2019 sebanyak
108 orang, dimana 66 orang dengan diagnosis Diabetik foot Ulcer. Menurut Data
Laporan Tahunan NCI 2019 dari 66 orang pasien tersebut 17 diantaranya mengaku
divonis amputasi di RS. Wawancara dilakukan pada 1 orang klien untuk mengkonfirmasi
secara subjektif, dan klien mengaku menolak amputasi dengan alasan klien merasa
takut kehilangan organ tubuh dan juga mereka merasa kecewa, stress ketika divonis
amputasi, selain itu klien juga memutuskan ingin melakukan perawatan karena telah
mendengar keberhasilan dengan metode perawatan luka modern yang bertujuan
4

mencegah amputasi sejak dini.

B. Rumusan Masalah
Penyakit Ulkus diabetik akan mengalami gangguan pembuluh darah, ganggguan
persarafan dan infeksi. Apabila perawatan tidak dilakukan secara baik maka akan
divonis amputasi. Vonis amputasi merupakan hal yang tidak mudah diterima oleh klien
karena akan memberikan dampak negatif setelah dilakukan tindakan amputasi. Ketika
vonis amputasi diberikan kepada klien , klien akan mengalami proses penyesuaian diri
yang merupakan respon tantangan dalam untuk menjalani kehidupan yang lebih baik
(Resiliensi). Resiliensi dapat membuat seseorang memaknakan hidupnya mampu untuk
dapat beraktifitas walaupun dengan kondisi tidak sempurna.
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dipapar diatas, maka rumusan
masalah dalam penelitian ini adalah “Bagaimana pengalaman klien dengan penyakit
ulkus diabetik yang menolak amputasi di fasilitas pelayanan kesehatan praktik
perawatan luka mandiri di Kalimantan Timur”.

C. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan skripsi ini adalah untuk mengeksplorasi Resiliensi klien dengan
penyakit ulkus diabetik yang menolak amputasi : Studi Fenomenologi

D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis
Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai salah satu rujukan dalam melaksanakan
asuhan keperawatan dengan klien ulkus diabetik yang menolak amputasi.
2. Manfaat Praktis
Hasil penelitian ini dapat menjadi acuan ketika menghadapi klien dengan situasi
menolak vonis amputasi.

E. Penelitian Terkait
Penelitian terkait yang telah dilakukan oleh peneliti-peneliti sebelumnya yang
berkaitan dengan studi fenomenologi, klien dengan ulkus diabetik yang menolak
amputasi :
1. Widianingsih, N., & Diantina, F. P. (2018). Gambaran Resiliensi Pasien Komplikasi
Ulkus Diabetik Pasca Amputasi. 331–338. Terdapat 14 pasien komplikasi ulkus
5

diabetik pasca amputasi di RSUP Hasan Sadikin. Mereka mampu bangkit dari
keterpurukannya dengan melakukan berbagai hal positif yang disebut dengan
resiliensi. Wagnild (2014) mendefinisikan resiliensi sebagai kapasitas yang dimiliki
individu untuk berkembang dan menyesuaikan diri secara positif meskipun adanya
stres yang dirasakan terus-menerus. Resiliensi terdiri dari 5 aspek, meaningfulness,
perseverance, equanimity, self reliance dan existential aloneness. Resiliensi dapat
membuat seseorang lebih memaknakan hidupnya, membuatnya mampu untuk
dapat beraktivitas walaupun dengan kondisi fisik yang sudah tidak
sempurna.Penelitian ini menggunakan metode studi deskriptif dengan subjek
berjumlah 14 orang pasien. Alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini adalah
Resilience scale 25 (RS-25), dengan reliabilitas 0,973. Dari hasil penelitian,
sebanyak 3 pasien (21,43%) memiliki resiliensi sangat tinggi, 5 pasien (35,71%)
memiliki resiliensi tinggi, 2 pasien (14,29%) memiliki resiliensi rata-rata, 2 pasien
(14,29%) memiliki resiliensi dibawah rata-rata, 1 pasien (7,14%) memiliki resiliensi
rendah dan 1 pasien (7,14%) memiliki resiliensi sangat rendah. Perbedaan dari
penelitian sudah melakukan amputasi, penggunaaan studi kuantitatif dan deskriptif
teknik pendekatan, tempat penelitian, waktu penelitian, sample penelitian, dan jenis
penelitian. Persamaan dari penelitian tersebut dengan penelitian yang akan
dilakukan variabel penelitian, partisipan yang akan diteliti.
2. Basri, M. H. (2019). Pengalaman Pasien DMTIPE 2 dalam Melakukan Perawatan
Ulkus diabetik Secara Mandiri. 4(1), 58–69. Tujuan dari penelitian ini untuk
mendapatkan pemahaman yang mendalam tentang arti dan makna pengalaman
pasien Diabetes Melitus tipe 2 dalam melakukan perawatan secara mandiri di
rumah. Penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan metode fenomenologi
dengan sampel tiga partisipan. Hasil analisa data teridentifikasi tiga tema yaitu
perawatan ulkus diabetik, harapan terhadap pelayan anda perubahan aktivitas.
Hasil penelitian partisipan belum patuh dalam pengaturan diet, kontrol kesehatan,
terapi dan olahraga. Kesimpulan kurangnya pendidikan kesehatan dan minimnya
sumber informasi yang ada di pelayanan kesehatan dapat menjadikan alasan
partisipan tidak patuh. Saran diperlukan peningkatan pelayanan yang lebih baik
terutama dalam hal pendidikan kesehatan dan akses informasi, membuat leaflet
yang diberikan pada pasien dan keluarga saat berobat dan pendidikan kesehatan
yang berkelanjutan sampai ke lingkungan masyarakat. Perbedaan dari penelitian
tempat penelitian, waktu penelitian, sample penelitian. Persamaan penelitian
menggunakan jenis penelitian dan metode penelitian.
6

3. Christanty, D. A. (2013). Hubungan Persepsi Dukungan Sosial dengan Penerimaan


Diri Pasien Penderita Diabetes Mellitus Pasca Amputasi. 2(2), 55–61. Penelitian ini
bertujuan untuk mengetahui apakah ada hubungan antara persepsi dukungan sosial
dengan penerimaan diri pasien penderita diabetes mellitus pasca amputasi.
Penelitian ini dilakukan pada 30 orang yang seluruhnya adalah pasien penderita
diabetes mellitus pasca amputasi. Alat pengumpulan data berupa kuisioner,
Inventory of Socially Supportive Behaviors (ISSB) untuk mengukur persepsi
dukungan sosial yang terdiri dari 40 butir dan Berger’s Self-ac- ceptance Scale
untuk mengukur penerimaan diri yang terdiri dari 36 butir. Analisis data dilaku-kan
dengan menggunakan teknik statistik Spearman’s rho untuk data non-parametrik,
dengan bantuan program statistik SPSS versi 16.0 for windows. Pada hasil
penelitian ini diperoleh taraf signifikansi antara persepsi dukungan sosial dengan
penerimaan diri sebesar 0,716. Sedangkan besarnya koefisien korelasi (r) antara
persepsi dukungan sosial dengan penerimaan diri adalah 0,069. Berdasarkan hasil
analisis data yang diperoleh, penelitian ini menunjukkan tidak ad- anya hubungan
yang positif antara persepsi dukungan sosial dengan penerimaan diri pasien
penderita diabetes mellitus pasca amputasi. Perbedaan dari penelitian ini teknik
penggunaan secara kuantitatif, waktu penelitian, sample penelitian, dan jenis
penelitian. Persamaan dari partisipan yang merupakan pasien diabetes melitus
yang di vonis amputasi.

Anda mungkin juga menyukai