Anda di halaman 1dari 24

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Telaah Pustaka
1. Konsep Teori Ulkus Diabetik
a. Definisi Ulkus Diabetik
Ulkus diabetik adalah salah satu bentuk komplikasi kronik Diabetes
Mellitus berupa luka terbuka pada permukaan kulit yang dapat disertai
adanya kematian jaringan setempat. Ulkus adalah rusaknya barier kulit
sampai ke seluruh lapisan (full thickness) dari dermis. Ulkus kaki
diabetik dapat diikuti oleh penyebaran bakteri ke seluruh tubuh sehingga
terjadi infeksi dan pembusukan, dapat terjadi di setiap bagian tubuh
terutama di bagian distal tungkai bawah (Angkasa, 2017).
Banyak pasien kaki diabetik dimulai dengan neuropati sensorik,
neuropati otonom dan motor neuropati sensorik. Neuropati sensorik
merupakan faktor pemulai utama untuk ulkus kaki dan infeksi dan dapat
menyebabkan Peradangan dan kerusakan jaringan. Lesi sistem saraf
otonom akan menyebabkan pasien kehilangan kemampuan kulit untuk
mengatur keringat, suhu dan aliran darah, sehingga mengurangi fl
eksibilitas jaringan lokal, membentuk kepompong tebal dan retak dan
melanggar. Tanpa pengobatan yang efektif, organ-organ vital utama
pasien akan rusak. Bahkan jika amputasi terjadi Saat ini, pengobatan
kaki diabetes terutama mencakup manajemen luka, kontrol glukosa
darah, terapi suportif, antiinfeksi dan menjaga stabilitas lingkungan
internal (Lin et al., 2019)
Terjadinya ulkus diabetikum tidak terlepas dari tingginya kadar
glukosa darah pasien diabetes melitus. Tingginya kadar gula darah yang
berkelanjutan dan dalam jangka waktu lama dapat menyebabkan
kelainan neuropati dan kelainan pada pembuluh darah kemudian
menimbulkan masalah pada kaki pasien diabetes melitus. Ada tiga
komplikasi diabetes melitus yang dapat meningkatkan risiko terjadinya
infeksi kaki pada pasien diabetes melitus, yaitu neuropati, penyakit
vaskuler perifer dan penurunan daya imunitas. Ketiga komplikasi
tersebut juga bermula dari tingginya konsentrasi glukosa dalam darah
(Angkasa, 2017)
b. Epidiomologi
Prevalensi kaki diabetes di Amerika Serikat diperkirakan sebesar
4%. Diperkirakan sebesar 5% pasien dengan diabetes pernah menderita
kaki diabetes, dengan lifetime risk sebesar 15%. Sebanyak 60-80% ulkus
yang timbul dapat disembuhkan, sedangkan sebesar 10-15% tidak
sembuh dan sisanya sebesar 5-24% berakhir pada amputasi dalam kurun
waktu 6 – 18 bulan (Hendra, Nugraha, Wahyuni, Ayu, & Saraswati,
2019). Prevalensi penderita diabetes mellitus dengan ulkus kaki diabetik
di Indonesia sekitar 15%. Angka amputasi penderita ulkus kaki diabetik
30%, angka mortalitas penderita ulkus kaki diabetik 32% dan ulkus kaki
diabetik merupakan sebab perawatan rumah sakit yang terbanyak
sebesar 80% untuk diabetes melitus. Penderita ulkus kaki diabetik di
Indonesia memerlukan biaya yang tinggi sebesar Rp. 1,3 juta - Rp. 1,6
juta perbulan dan Rp. 43,5 juta pertahun untuk seorang penderita
(Nurhanifah & Banjarmasin, 2017).
c. Etiologi
Proses terjadinya kaki diabetik diawali oleh angiopati, neuropati,
dan infeksi. Neuropati menyebabkan gangguan sensorik yang
menghilangkan atau menurunkan sensasi nyeri kaki, sehingga ulkus
dapat terjadi tanpa terasa. Gangguan motorik menyebabkan atrofi otot
tungkai sehingga mengubah titik tumpu yang menyebabkan ulserasi
kaki. Angiopati akan mengganggu aliran darah ke kaki; penderita dapat
merasa nyeri tungkai sesudah berjalan dalam jarak tertentu. Infeksi
sering merupakan komplikasi akibat berkurangnya aliran darah atau
neuropati. Ulkus diabetik bisa menjadi gangren kaki diabetik (Pb, Skp,
& Kartika, 2017).

d. Patofisiologi
Ulkus kaki diabetes disebabkan tiga faktor yang sering disebut trias,
yaitu: iskemi, neuropati, dan infeksi. Kadar glukosa darah tidak
terkendali akan menyebabkan komplikasi kronik neuropati perifer
berupa neuropati sensorik, motorik, dan autonom. Neuropati sensorik
biasanya cukup berat hingga menghilangkan sensasi proteksi yang
berakibat rentan terhadap trauma fisik dan termal, sehingga
meningkatkan risiko ulkus kaki. Sensasi propriosepsi yaitu sensasi
posisi kaki juga hilang.
Penderita diabetes juga menderita kelainan vaskular berupa iskemi.
Hal ini disebabkan proses makroangiopati dan menurunnya sirkulasi
jaringan yang ditandai oleh hilang atau berkurangnya denyut nadi arteri
dorsalis pedis, arteri tibialis, dan arteri poplitea; menyebabkan kaki
menjadi atrofi, dingin, dan kuku menebal. Selanjutnya terjadi nekrosis
jaringan, sehingga timbul ulkus yang biasanya dimulai dari ujung kaki
atau tungkai.
Kelainan neurovaskular pada penderita diabetes diperberat dengan
aterosklerosis. Aterosklerosis merupakan kondisi arteri menebal dan
menyempit karena penumpukan lemak di dalam pembuluh darah.
Menebalnya arteri di kaki dapat mempengaruhi otot kaki karena
berkurangnya suplai darah, kesemutan, rasa tidak nyaman, dan dalam
jangka lama dapat mengakibatkan kematian jaringan yang akan
berkembang menjadi ulkus kaki diabetes. Proses angiopati pada
penderita DM berupa penyempitan dan penyumbatan pembuluh darah
perifer tungkai bawah terutama kaki, akibat perfusi jaringan bagian
distal tungkai berkurang.
DM yang tidak terkendali akan menyebabkan penebalan
(hyperplasia membran basalis arteri) pembuluh darah besar dan kapiler,
sehingga aliran darah jaringan tepi ke kaki terganggu dan nekrosis yang
mengakibatkan ulkus diabetikum. Peningkatan HbA1C menyebabkan
deformabilitas eritrosit dan pelepasan oksigen oleh eritrosit terganggu,
sehingga terjadi penyumbatan sirkulasi dan kekurangan oksigen
mengakibatkan kematian jaringan yang selanjutnya menjadi ulkus.
Peningkatan kadar fibrinogen dan bertambahnya reaktivitas trombosit
meningkatkan agregasi eritrosit, sehingga sirkulasi darah melambat dan
memudahkan terbentuknya thrombus (gumpalan darah) pada dinding
pembuluh darah yang akan mengganggu aliran darah ke ujung kaki.
Neuropati sensorik biasanya cukup berat hingga menghilangkan
sensasi proteksi yang berakibat rentan terhadap trauma fisik dan termal,
sehingga meningkatkan risiko ulkus kaki. Neuropati motorik
mempengaruhi semua otot, mengakibatkan penonjolan abnormal tulang,
arsitektur normal kaki berubah, deformitas khas seperti hammer toe dan
hallux rigidus. Deformitas kaki menimbulkan terbatasnya mobilitas,
sehingga dapat meningkatkan tekanan plantar kaki dan mudah terjadi
ulkus. Neuropati autonom ditandai dengan kulit kering, tidak
berkeringat, dan peningkatan pengisian kapiler sekunder akibat pintasan
arteriovenosus kulit. Hal ini mencetuskan timbulnya fisura, kerak kulit,
sehingga kaki rentan terhadap trauma minimal. Hal tersebut juga dapat
karena penimbunan sorbitol dan fruktosa yang mengakibatkan akson
menghilang, kecepatan induksi menurun, parestesia, serta menurunnya
refleks otot dan atrofi otot. Patogenesis ulkus diabetik pada diabetes
melitus pada bagan 2 berikut.
Diabetes Melitus

Makroangeopati Mikroangeopati

Atherosklerosis Neuropati

Penyempitan okupasi
Neuropati Neuropati Neuropati
Autonom Sensosik Motorik
Iskemia

Kulit kering Kehilangan Kelainan


anhidrosis sensasi bentuk
perlindungan
Stress
Simpati tona abnormal
(regulasi darah
yang diferensikan)
Tekanan plantar
tinggi

Pembentukan
kalus

Ulkus Diabetik

Amputasi
Bagan. Pathogenesis Ulkus Diabetik
Sumber : Kartika ( 2017) dengan modifikasi

e. Klasifikasi Kaki Diabetes


Klasifikasi Wagner-Meggit dikembangkanpada tahun 1970-an,
digunakan secara luas untuk mengklasifikasi lesi pada kaki diabetes.

Tabel 2.1 Klasifikasi kaki diabetes berdasarkan Wagner- Meggit.


Derajat Keterangan
Derajat 0 simptom pada kaki seperti Nyeri
Derajat 1 Ulkus Superfisial
Derajat 2 Ulkus dalam
Derajat 3 Ulkus sampai mengenai tulang
Derajat 4 Gangren telapak tangan
Derajat 5 Gangren seluruh kaki
Sumber : (Pb et al., 2017)

Gambar 2.1 klasifikasi kaki diabetik

Sumber : https://id.pinterest.com/pin/487444359648632322/

f. Pemeriksaan Diagnostik
Pemeriksaan Fisik :
1) Pemeriksaan Ulkus Keadaan Umum Ekstremitas.
Ulkus diabetes cenderung terjadi di daerah tumpuan beban
terbesar, seperti tumit, area kaput metatarsal di telapak, ujung jari
yang menonjol (jari pertama dan kedua). Ulkus di malleolus terjadi
karena sering mendapat trauma. Kelainan lain yang dapat ditemukan
seperti callus hipertropik, kuku rapuh/pecah, kulit kering, hammer
toes, dan fissure.
2) Penilaian Risiko Insufisiensi Arteri Perifer
Pemeriksaan fisik akan rnendapatkan hilang atau menurunnya
nadi perifer. Penemuan lain yang berhubungan dengan aterosklerosis
meliputi bising (bruit) arteri iliaka dan femoralis, atrofi kulit,
hilangnya rambut kaki, sianosis jari kaki, ulserasi dan nekrosis
iskemik, serta pengisian arteri tepi (capillary refill test) lebih dari 2
detik. Pemeriksaan vaskular non-invasif meliputi pengukuran
oksigen transkutan, anklebrachial index (ABI), dan tekanan sistolik
jari kaki. ABI dilakukan dengan alat Doppler. Cuff dipasang di
lengan atas dan dipompa sampai nadi brachialis tidak dapat dideteksi
Doppler. Cuff kemudian dilepas perlahan sampai Doppler dapat
mendeteksi kembali nadi brachialis. Tindakan yang sama dilakukan
pada tungkai, cuff dipasang di bagian distal dan Doppler dipasang di
arteri dorsalis pedis atau arteri tibialis posterior. ABI didapat dari
tekanan sistolik ankle dibagi tekanan sistolik brachialis. Bila ankle
brachial index <0,3, pasien didiagnosis critical limb ischemia, yang
berarti iskemi berat.
3) Penilaian Risiko Neuropati Perifer
Tanda neuropati perifer meliputi hilangnya sensasi rasa getar dan
posisi, hilangnya reflex tendon dalam, ulserasi trofik, foot drop, atrofi
otot, dan pembentukan callus hipertropik khususnya di daerah
penekanan misalnya tumit. Status neurologis dapat diperiksa
menggunakan monofilamen Semmes- Weinsten untuk mendeteksi
“sensasi protektif”. Hasil abnormal jika penderita tidak merasakan
sentuhan saat ditekan sampai monofilament bengkok. Alat
pemeriksaan lain adalah garpu tala 128 Hz untuk sensasi getar di
pergelangan kaki dan sendi metatarsofalangeal pertama. Pada
neuropati metabolik intensitas paling parah di daerah distal. Pada
umumnya, seseorang tidak merasakan getaran garpu tala di jari
tangan lebih dari 10 detik setelah pasien tidak dapat merasakan
getaran di ibu jari kaki. Beberapa penderita normal menunjukkan
perbedaan antara sensasi jari kaki dan tangan pemeriksa kurang dari
3 detik.
g. Pencegahan dan pengelolaan kaki diabetik
Pengelolaan kaki diabetes dapat dibagi menjadi 2 kelompok besar,
yaitu pencegahankaki diabetes dan ulkus (pencegahan primer sebelum
terjadi perlukaan kulit) dan pencegahan kecacatan yang lebih parah
(pencegahan sekunder dan pengelolaan ulkus/ gangren diabetik).
Pencegahan Primer, Penyuluhan cara terjadinya kaki diabetes sangat
penting, harus selalu dilakukan setiap saat. Berbagai usaha pencegahan
sesuai dengan tingkat risiko dengan melakukan pemeriksaan dini setiap
ada luka pada kaki secara mandiri ataupun ke dokter terdekat.
Deformitas (stadium 2 dan 5) perlu sepatu/ alas kaki khusus agar
meratakan penyebaran tekanan pada kaki. Pencegahan Sekunder,
Pengelolaan Holistik Ulkus/Gangren Diabetik Kerjasama multidisipliner
sangat diperlukan. Berbagai hal harus ditangani dengan baik dan
dikelola bersama, meliputi: Wound control, Microbiological control-
infection control, Mechanical control-pressure control, Educational
control
h. Prognosis
Prognosis kaki diabetik bergantung pada berbagai faktor yang
terlibat dalam patofisiologi, komplikasi, dan penyakit yang menyertai.
Penatalaksanaan holistik harus ditekankan untuk menurunkan mortalitas
dan morbiditas kaki diabetik.

2. Amputasi
a. Definisi
Amputasi merupakan penghilang ektremitas sebagian total.
Amputasi dapat menjadi akibat proses akut, seperti kejasian traumatic,
atau kondisi kronik, seperti penyakit vaskular perifer atau diabetes
melitus. Tanpa mempertimbangkan penyebab, amputasi melemahkan
untuk pasien. Kehilangan semua atau sebagian ekstremitas memiliki
dampak fisik dan psikososial yang signifikan pada pasien dan keluarga.
Adaptasi dapat memerlukan waktu lama dan memerlukan lebih banyak
usaha. Asuahan kesehatan antardisiplin selalu diperlukan, tetapi
diperlukan secara khusus untuk memenuhi kebutuhan fisik, spiritual,
kultural, dan emosi setelah amputasi yang tidak diharapkan atau
direncanakan (LeMone & dkk, 2017)
b. Penyebab amputasi
Penyakit vaskuler perifer ( peripheral vasculas disease, PVD)
merupakan penyebab utama amputasi pada ekstremitas bawah.faktor
risiko umum untuk terjadinya PVD,antara lain hipertensi, diabetes,
merokok, dan hyperlipidemia. Neuropati perifer juga menempatkan
orang yang mengalami diabetes melitus berisiko amputasi. Pada
neuropati perifer, kehilangan sensasi sering kali menyebabkan cedera
yang tidak diketahui dan infeksi. infeksi yang tidak ditangani dapat
menyebabkan gangrene/ulkus dan perlu amputasi.
Amputasi akibat dari atau diperlukan dengan gangguan aliran darah,
baik akut maupun kronik.pada situasi trauma akut,eksterimitas
mengalami gangguan berat sebagian atau seluruhnya dan kematian
jaringan terjadi. Akan tetapi, replantasi jari tangan, bagian tubuh yang
kecil, dan seluruh ekstremitas telah berhasil. Pada proses penyakit
kronik, sirkulasi mengalami gangguan, mulai terjadi pembengkakan
vena, protein bocor keinterstisium, dan terjadi edema. Edema
meningkatkan risiko cedera dan kemudian menurunkan sirkulasi.
Terjadi ulkus statis dan telah menjadi terinfeksi karena gangguan
penyembuhan dan gangguan proses imun yang memungkinkan bakteri
berproliferasi.adanya infeksi yang progresif lebih lanjut menurunkan
sirkulasi dan pada akhirnya menyebabkan gangrene (kematian
jaringan), yang memerlukan amputasi.
c. Tingkat Amputasi
Tingkat amputasi ditentukan oleh faktor local dan sistemik. Faktor
local, antara lain iskemia dan gangrene; faktor sistemik, antara lain
status kardiovasklar, fungsi ginjal, dan keparahan diabetes melitus.
Tujuannya adalah meredakan gejala, unutk mempertahankan kesehatan
jaringan dan untuk meningkatkan hasil fungsional. Ketika
memungkinkan, sendi dipelihara karena memungkinkan fungsi
ekstremitas yang lebih besar (LeMone & dkk, 2017)
d. Jenis amputasi
Amputasi dapat terbuka (guillotine) atau tertutup (flap). Amputasi
terbuka dilakukan ketika infeksi terjadi. Luka tidak menutup, tetapi tetap
terbuka untuk drain. Ketika infeksi tidak lagi terjadi, pembedahan
dilakukan untuk menutup luka. Pada amputasi tertutup, luka di tutup
dengan flap (penutup) kulit yang dihjahit diatas puntung.
e. Penyembuhan tempat amputasi
Agar prostesis pas dengan baik,tempat amputasi harus sembuh
dengan tepat. Untuk meningkatkan penyembuhan, balutan yang kaku
atau tekan diberikan untuk mencegah infeksi dan meminimalkan edema.
Balutan yang dikaku dibuat dengan meletakkan gips pada punting dan
membentuk puntung untuk prostesis yang pas. Balutan kompresi lunak
diberikan ketika pemeriksaan luka yang sering diperlukan. Ketika
balutan jenis ini digunakan, belat terkadang dipasang untuk membantu
membentuk ekstremitas agar pas dengan prostesis. Setelah luka dibalut,
pasien dianjurkan untuk mengeraskan kulit puntung dengan
menekannya pertama kali pada permukaan lunak dan kemudian
permukaan keras. Puntung dibungkus dengan Ace bandage untuk
memungkinkan bentuk kerucut untuk membentuk dan mencegah edema.
(LeMone & dkk, 2017)
f. Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi setelah amputasi, antara lain infeksi,
penyembuhan terlambat, nyeri puntung kronik dan nyeri fantom, serta
kontraktur. Infeksi, Secara umum, pasien yang mengalami amputasi
traumatik memiliki risiko infeksi lebih besar dibandingkan orang yang
menjalani amputasi terencana. Akan tetapi, meskipun amputasi
terencana membawa risiko infeksi. pasien lansia, menderita diabetes
melitus, atau menderita penurunan neurovascular perifer terutama
berisiko tinggi untuk infeksi. infeksi dapat terjadi secara lokal ataupun
sistemik. Manifestasi local infeksi, antara lain drainase, bau, kemerahan,
dan peningkatan ketidaknyamanan pada garis jahitan. Manifestasi
sistemik, antara lain demam peningkatan kecepatan jantung, penurunan
tekanan darah, mengigil, dan luka positif atau kultur darah.
Penyembuhan terlambat, Jika terdapat infeksi atau jika sirkulasi
tetap menurun, penyembuhan terlambat (terjadi pada kecepatan yang
lebih lama daripada yang diharapkan) akan terjadi. Pada pasien lansia,
kondisi yang ada sebelumnya dapat meningkatkan risiko penyembuhan
terlambat. Pada pasien semua usia. Ketidakseimbangan elektrolit dapat
berkontribusi pada proses penyembuhan terlambat, seperti diet yang
kurang nutrisi yang tepat untuk memenuhi kebutuhan metabolic tubuh
yang meningkat selama penyembuhan.
Nyeri puntung kronik dan nyeri limba fantom, nyeri puntung kronik
merupakan akibat dari pembentukan neuroma, menyebabkan nyeri
terbakar hebat. Intervensi untuk meredakan nyeri ini, antara lain
sirkulasi, penyumbatan saraf, stumulasi saraf elektrikal transkutaneus
dan rekontriksi pembedahan puntung. Nyeri limba fantom tidak sama
dengan sensasi limba fantom. Mayoritas orang yang menjalani amputasi
mengalami sensasi limba fantom (seperti kesemutan, baal, kram, atau
gatal pada kaki atau tangan fantom).
Kontraktur, Kontraktur adalah fleksi dan fiksasi sendi yang
abnormal yang disebabkan oleh atrofi dan pemendekan otot. Kontraktur
sendi di atas amputasi merupakan komplikasi yang umum. Pasien perlu
diajarkan untuk mengulurkan sendi dan untuk melakukan latihan
penguatan otot. Pasien yang menjalani amputasi lutut bawah harus
meninggikan puntung, mempertahankan lutut tetap ekstensi.
Immobilizer lutut dapat digunakan untuk mempertahankan ekstensi
sendi. Prinsip yang sama diterapkan pada ekstremitas atas. Semua sendi
harus menerima latihan ROM aktif dan pasif setiap 2 hingga 4 jam.
Medikasi, Medikasi digunakan untuk mengelola nyeri , mencegah
atau menangani infeksi, dan jika diperlukan untuk mempertahankan
curah jantung dan perpufi jaringan. Pasca operasi, pasien melanjutkan
kembali semua medikasi yang diprogramkan secara rutin dan selain itu
dapat menerima antibiotik dan analgesik. Steroid dapat diberikan untuk
mengurangi pembengkakan (LeMone & dkk, 2017)
g. Penatalaksanaan Amputasi
Tujuan utama pembedahan adalah mencapai penyembuhan luka
amputasi dan  menghasilkan sisa tungkai (puntung) yang tidak nyeri
tekan dengan kulit yang sehat. pada lansia mungkin mengalami
kelembatan penyembuhan luka karena nutrisi yang buruk dan masalah
kesehatan lainnya. Percepatan penyembuhan dapat dilakukan dengan
penanganan yang lembut terhadap sisa tungkai, pengontrolan edema sisa
tungkai dengan balutan kompres lunak (rigid) dan menggunakan teknik
aseptik dalam perawatan luka untuk menghindari infeksi.
Balutan rigid tertutup, Balutan rigid adalah balutan yang
menggunakan plaster of paris yang dipasang waktu dikamar operasi.
Pada waktu memasang balutan ini harus direncanakan apakah penderita
harus imobilisasi atau tidak dan pemasangan dilengkapi tempat
memasang ekstensi prosthesis sementara (pylon) dan kaki buatan.
Balutan ini sering digunakan untuk mendapatkan kompresi yang merata,
menyangga jaringan lunak dan mengontrol nyeri dan mencegah
kontraktur. Kaoskaki steril dipasang pada sisi steril dan bantalan
dipasang pada daerah peka tekanan. Sisa tungkai (punting) kemudian
dibalut dengan gips elastic yang ketika mengeras akan memberikan
tekanan yang merata. Hati-hati jangan sampai menjerat pembuluh darah.
Gips diganti sekitar 10-14 hari. Bila terjadi peningkatan suhu tubuh,
nyeri berat atau gips mulai longgar harus segara diganti.
Balutan lunak, Balutan lunak dengan atau tanpa kompresi dapat
digunakan bila diperlukan inspeksi berkala sisa tungkai (puntung) sesuai
kebutuhan. Bidai imobilisasi dapat dibalutkan pada balutan. Hematoma
puntung dikontrol dengan alat drainase luka untuk meminimalkan
infeksi.
Amputasi bertahap, Amputasi  bertahap dilakukan bila ada gangren
atau infeksi. Pertama-tama dilakukan amputasi guillotine untuk
mengangkat semua jaringan nekrosis dan sepsis. Luka didebridemen dan
dibiarkan mengering. Jika dalam beberapa hari infeksi telah terkontrol
dank lien telah stabil, dilakukan amputasi definitife dengan penutupan
kulit.
h. Prostesis
Kadang diberikan pada hari pertama pasca bedah sehingga latihan
segera dapat dimulai. Keuntungan menggunakan protesis sementara
adalah membiasakan klien menggunakan protesis sedini mungkin.
Kadang protesis darurat baru diberikan setelah satu minggu luka
sembuh. Pada amputasi, untuk penyakit pembuluh darah proteis
sementara diberikan setelah 4 minggu. Protesis ini bertujuan untuk
mengganti bagian ekstremitas yang hilang. Artinya defek system
musculoskeletal harus diatasi, temasuk defek faal. Pada ekstremitas
bawah, tujuan protesis ini sebagian besar dapat dicapai. Jenis prostesis
yang pilih untuk pasien amputasi bergantung pada tingkat amputasi dan
juga pekerjaan serta gaya hidup pasien. Setiap prostesis berdasarkan
pada program prostesis terperinci dan dibuat sesuai untuk pasien.
Sebagian besar terbuat dari bahan plastik dan busa. Banyak faktor yang
mempengaruhi penggunaan prostesis pada pasien, termasuk status
ekstremitas yang tersisa, status kognitif, status kardiovaskuler, tinggkat
aktivitas praoperasi, dan motivasi untuk menggunakan prostesis.
Pasien yang mengalami amputasi ekstremitas bawah sering kali
dipas dengan alat bantu berjalan awal. Alat pneumatic yang pas dengan
puntung digunakan segera setelah periode pascaoperasi untuk
memungkinkan ambulasi dini, mengurangi pembengkakan pascaoperasi,
dan memperbaiki semangat. Pasien dapat mulai menyangga beban
segera setelah 2 minggu setelah pembedahan. Pasien yang menjalani
amputasi ekstremitas atas dapat pas untuk prostesis segera setelah
pembedahan. Rehabilitasi pasien yang menjalani amputasi adalah usaha
tim, melibatkan pasien, perawat, dokter, terapis fisik, petugas pembuat
prostesis, dan konselor vokasional.

3. Konsep Resiliensi pasien dengan ulkus diabetik pasca amputasi


Istilah resilensi dikemukakan pertama oleh block dengan nama ego-
resilience yang artinya kemampuan dalam menyesuaikan diri saat
menghadapi tekanan yang di alami baik secara internal maupun eksternal.
Menurut Reivich, K dan Shatte, A yang dituangkan dalam bukunya “The
Resiliency Factor” menjelaskan bahwa resiliensi adalah kemampuan
individu dalam mengatasi serta beradaptasi terhadap kejadian yang berat
atau permasalahan yang sedang terjadi dalam kehidupan. Mampu bertahan
dalam keadaan tertekan dan bahkan mampu menghadapi kesengsaraan
(adversity) maupun trauma (traumatic) yang dihadapi dalam
kehidupannya.
Resiliensi keluarga (family resilience) adalah kemampuan keluarga
untuk melanjutkan hidup setelah ditimpa kemalangan atau tekanan yang
berat. Pendekatan resiliensi keluarga bertujuan untuk mengenali dan
membetengi proses interaksi yang menjadi kunci bagi kemampuan
keluarga untuk bertahan dan bangkit dari tantangan kehidupan yang
menganggu. Resiliensi bukanlah hal yang dibicarakan fokus pada individu
saja melainkan sebuah proses interaksional antara karakteristik individual
dan lingkungannya. Keluarga yang resilien adalah keluarga yang dapat
beradaptasi dengan sukses mencapai keseimbangan dalam keluarga.
Sebelum keluarga bisa berseliensi, ada beberapa tahapan yang dilalui
yaitu: (1) Tahap Denial (penolakan), dimulai dari rasa ketidakpercayaan
akan diagnosa dari dokter yang menyatakan bahwa klien divonis untuk
amputasi akibat dari penyakit dengan ulkus diabetik. Perasaan selanjutnya
yang muncul pada keluarga adalah kebingungan. Bingung atas hasil dari
diagnosa dokter, bingung akan apa yang hendak dilakukan, sekaligus
bingung akan kenapa hal ini dapat menimpa klien dan keluarganya.
Kebingungan ini merupakan reaksi yang manusiawi diawal fase diagnosa.
Tak jarang keluarga akan melakukan penolakan terhadap kondisi tersebut.
Tindakan penolakan ini biasanya dilakukan dengan maksud menghilangkan
kesedihan yang dirasa, akan tetapi hal itu akan membuat klien semakin
tersiksa; (2) Tahap anger (marah). Tahapan yang ditandai dengan adanya
tensi emosi yang tinggi pada keluarga yang memiliki klien dengan ulkus
diabetik. Keluarga akan menjadi pribadi yang jauh lebih sensitif dari
sebelumnya terhadap hal-hal kecil sekalipun yang akhirnya dapat
menimbulkan amarah. Kemarahan keluarga biasanya ditujukan pada orang-
orang disekitarnya tidak terkecuali para dokter. Pernyataan yang sering
muncul, dalam hati (sebagai reaksi atas rasa marah) muncul dalam bentuk
“Tidak adil rasanya...”, “Mengapa kami yang mengalami ini?” atau “Apa
salah kami?” (3) Tahap bargaining (tawar-menawar). Tahapan dimana
keluarga mulai berusaha untuk menghibur diri dengan pernyataan seperti
“mungkin kalau kami menunggu lebih lama lagi, keadaan akan membaik
dengan sendirinya” dan berpikir tentang upaya apa yang akan dilakukan
untuk membantu proses peyembuhan klien dengan ulkus diabetik; (4)
Tahap depression (depresi).
Tahapan yang muncul pada fase ini adalah keputusasaan dan
hilangnya harapan. Putus asa menjadi bagian dari depresi akan muncul saat
keluarga mulai dibayangi akan masa depan yang akan dihadapi klien.
Terutama jika keluarga memikirkan sewaktu-waktu kliennya dapat
terenggut nyawanya dari sisi keluarga. Harapan atas masa depan klien
menjadi buram, dan muncul dalam bentuk pertanyaan “Akankah klien kami
mampu bertahan lebih lama dan dapat kembali hidup sehat seperti
sediakala?”. Pada tahap depresi, keluarga cenderung murung, menghindar
dari lingkungan sosial terdekat, lelah sepanjang waktu dan kehilangan
gairah hidup; (5) Tahap acceptance (penerimaan). Tahapan dimana
kelurga telah mencapai pada titik pasrah dan mencoba untuk menerima
keadaan klien dengan tenang. Keluarga pada tahap ini cenderung
mengharapkan yang terbaik sesuai dengan kapasitas dan kemampuan klien.
Pada tahap ini keluarga sudah mampu menyesuaikan diri dan mengontrol
emosi dengan baik. Tahap ini menjelaskan bahwa keluarga sudah mampu
menerima segala kondisi yang ada dengan lapang dada dan ikhlas serta siap
akan semua konsekuensinya yang akan terjadi dalam hidup.
Wagnild (2014) mendefinisikan resiliensi sebagai kapasitas yang
dimiliki individu untuk berkembang dan menyesuaikan diri secara positif
meskipun adanyastres yang dirasakan terus-menerus. Wagnild (2010)
berpendapat bahwa individu yang resiliensi merespon tantangan dalam
hidup dengan keberanian dan daya tahan secara emosional walaupun ia
merasa takut. Resiliensi bukan sesuatu yang merupakan bawaan lahir tapi
sesuatu yang dapat dipelajari dan membutuhkan waktu. Dalam Jurnal
Discovering Your Resilience Core, Wagnild (2010) menyatakanOrang yang
tangguh (pasien yang resilien) menanggapi tantangan hidup dengan
keberanian dan stamina emotional, bahkan ketika para pasien takut.
Bahkan dalam fase penurunan fungsi hidup para pasien akan menganggap
hal tersebut sebagai tantangan lalu menghadapinya dan mengatasinya.
Terdapat 5 komponen resiliensi, yaitu :
Tabel 2.2 Tahap Resiliensi
Komponen Keterangan
Meaningfulness/purpose kesadaran individu bahwa hidup memiliki
tujuan. Tujuan memberikan kekuatan pendorong
dalam hidup, ketika individu mengalami
kesulitan yang tidak terelakkan, tujuan dari
individu tersebut menariknya ke maju.
Perseverance tekad untuk terus maju meskipun terdapat
kekecewaan dan kesulitan dalam hidup. Individu
berjuang untuk menyusun kembali hidupnya,
disiplin terhadap diri.
Equinimity keseimbangan dan harmoni dalam hidup. Lebih
fokus pada aspek positif daripada negatif dari
setiap kejadian dalam hidup, berusaha bersikap
tenang. Individu yang resilien dapat
menertawakan diri para pasien dalam keadaan
apapun.
Self-reliance keyakinan pada diri sendiri dengan pemahaman
yang jelas terhadap kemampuan dan
keterbatasan. Mengembangkan banyak
kemampuan untuk mengatasi masalahnya
sendiri. Keterampilan tersebut memunculkan
rasa percaya akan kemampuan dirinya sendiri.
Dapat mengembangkan berbagai kemampuan
pemecahan masalah.
Existential aloneness individu merasa nyaman, puas dan menghargai
keunikan yang dimiliki dirinya. Individu
menghargai dirinya. Individu pun tidak

Sumber : widianingsih & diantina (2018)

4. Konsep Adaptasi klien dengan ulkus diabetik


Aplikasi teori praktik keperawatan yang menerangkan pengalaman
klien dengan penyakit ulkus diabetik yang menolak amputasi. Teori
Model Roy berfokus pada konsep adaptasi manusia konsep-konsepnya
mengenai keperawatan manusia, kesehatan, dan lingkungan yang saling
berhubungan dengan adaptasi sebagai konsep sentralnya. Manusia
mengalami stimulus lingkungan secara terus menerus pada akhirnya
manusia memberikan respon dan adaptasi pun terjadi. Respon adaptif
meningkatkan integritas dan membantu manusia dalam mencapai tujuan
adaptasi. Keperawatan memiliki tujuan yang unik untuk membantu upaya
adaptasi seseorang dengan mengelola lingkungannya. Hasilnya adalah
pencapaian tingkat kesejahteraan seseorang. Manusia menerima input atau
stimulus baik dari lingkungan atau dalam diri sendiri. Tingkat adaptasi
ditentukan oleh kombinasi efek stimulus fokal dan residual. Respon
adaptif ini meningkatkan integritas seseorang, yang akan membawanya
menuju sehat. Subsistem proses primer, fungsional, atau kontrol terdiri
dari regulator dan kognator. Sedangkan subsistem sekunder dan efektor
terdiri dari 4 mode adaptif berikut : (1) kebutuhan fisiologis, (2) konsep
diri, (3) fungsi peran, dan (4) interdependens (Nursalam, 2016).
Roy mengidentifikasi input sebagai stimulus yang berasal dari dalam
diri individu. Ada 3 stimulus yang terjadi pada individu itu sendiri yaitu
stimulus focal yang mengambarkan klien dapat menerima keputusannya
dengan baik, stimulus konseptualyang menggambarkan sikap individu
dalam menanggapi penyakit dengan ulkus diabetik yang diderita, dan
stimulus residual yang menggambarkan sikap individu dalam
menghadapi penyakit dengan ulkus diabetik. Stimulus yang terjadi akan
menyebabkan suatu proses kontrol yaitu pada mekanisme koping dimana
proses penerimaan dan beradaptasi dari individu terhadap penyakit dengan
ulkus diabetik yang menolak amputasi, dan kognator dimana proses
kontrol yang terjadi bahwa individu belajar menerima keadaaan yang
dialami dengan baik. Sehingga dari beberapa proses kontrol yang terjadi
akan menimbulkan suatu efek fungsi fisiologi yaitu berpengaruh pada
proses metabolisme tubuh, gangguan tidur serta aktivitas sehari-hari klien.
Efek yang terjadi pada konsep diri yaitu individu mampu merawat luka
yang diderita. Individu mampu menerima dengan baik. Sehingga dari
beberapa efek yang terjadi pada individu maka akan menimbulkan suatu
respon adaptif yaitu individu mampu mengontrol emosi dengan baik,
individu mampu menjelaskan apa yang terjadi pada dirinya, mampu
beradaptasi dengan lingkungan sekitarnya, dan individu juga mempunyai
harapan yang besar di masa mendatang. Sehingga ketika individu
memiliki respon adaptif pada terhadap konsep dirinya maka akan
berdampak terhadap proses adaptasi yang dijalani. (Nursalam, 2016).
a. Input
Sistem adaptasi mempunyai input yang berasal dari internal individu.
Roy mengidentifikasi input sebagai suatu stimulus. Stimulus
merupakan suatu unit informasi, kejadian, atau energy yang berasal
dari lingkungan. Adanya stimulus fokal berisi keinginan keluarga agar
klien dapat cepat sembuh dan dapat beraktivitas dengan baik. Stimulus
konseptul yaitu dimana kondisi keluarga menggangap tidak ada
harapan lagi pada klien untuk sembuh seperti normal, dan stimulus
residual yaitu sikap keluarga dalam menghadapi klien dengan ulkus
diabetik yang menolak amputasi. Sejalan dengan stimulus, tingkat
adaptasi bergantung dari stimulus yang didapat berdasarkan
kemampuan individu. Tingkat respon antara individu sangat unik dan
bervariasi bergantung pada pengalaman yang didapatkan sebelumnya,
status kesehatan individu, dan stressor yang diberikan (Nursalam,
2016).
b. Proses
1) Roy menggunakan istilah mekanisme koping untuk menjelaskan
proses kontrol dari individu sebagai suatu sistem adaptasi.
2) Subsistem regulator mempunyai komponen input, proses internal,
dan output. Stimulus input berasal dari dalaam dan luar individu.
Perantara sistem regulator berupa saraf atau endokrin yang
berhubungan dengan kemampuan keluarga dalam mengatasi emosi
terdapat kondisi klien.
3) Proses kontrol kognator berhubungan dengan fungsi otak yang
tinggi terhadap persepsi aatu proses informasi, pengambilan
keputusan, dan emosi yang dihubungkan dengan keluarga belajar
untuk menerima kondisi klien dan keluarga dapat mengontrol emosi
dalam merawat klien dengan ulkus diabetik (Nursalam, 2016).
c. Efektor
Sistem adaptasi proses internal yang terjadi pada individu didefinisikan
sebagai sistem efektor. Empat efektor atau model adaptasi tersebut
meliputi ; 1) fisiologis, 2) Konsep diri, 3) fungsi peran, 4)
ketergantungan (interdependen) mekanisme regulator dan kognator
bekerja pada model adaptasi (Nursalam, 2016).
d. Output
Perilaku seseorang berhubungan dengan metode adatasi. Dampak dari
respon sakit (maladatif) sebagai akibat dari koping yang tidak efektif.
Ketika individu memiliki koping yang tidak efektif maka akan
berdampak pada masalah keperawatan (adaptasi) (Nursalam, 2016).
Kerangka Teori keperawatan

Proses Efektor Output


Input
kontrol

Mekanisme Fungsi fisiologis Respon


Tingkat
koping Konsep diri adaptif
Adaptasi
Regulator Fungsi peran Dan
Stimulus
kognator interdependensi inefektif

Umpan Balik

Skema 2.1. Konsep Teori Penelitian


(Sumber: (Alligood, 2017)
B. Kerangka Teori
Berdasarkan terjadinya ulkus diabetik yang menolak ampuatasi berdasarkan model
calista Roy, Yaitu:

Skema 2.1 kerangka teori modifikasi dari model adaptasi callista Roy

(Tingkat Adaptasi)

1. Stimulus Focal Ulkus


Input Diabetik
Keinginan keluarga agar klien dapat sembuh dan
dan braktifitas setip hari dengan baik
2. Stimulus Konseptual
Kondisi dimana keluarga menggangap tidak
Infeksi luka
adaharapan bagi klien untuk sembuh seperti normal
3. Stimulus Residual
Sikap keluarga dalam menghadapi klien yang
mengalami ulkus diabetik yang menolak amputasi
Vonis
amputasi

Proses Kontrol Mekanisme Koping Kontrol prilaku untuk


Regulator Kognator melakukan perawatan luka
ulkus diabetik

Fungsi fisiologis
Efektor
Konsep Diri Proses adaptasi
Fungsi peran
Interdependensi

1. Keluarga dapat mengontrol emosi


Adaptif dengan baik
2. Keluarga yakin dapat merawat klien
Output yang ulkus diabetik
Penghentian perawatan 3. Keluarga mampu menjelaskan apa
Maladaptif
Ulkus diabetik yang terjadi pada dirinya
4. Keluarga mampu beradaptasi dengan
lingkungan sekitarnya
5. Keluarga mempunyai harapan agar
Ketoasidosis klien mempunyai harapan dengan
Amputasi masa depan yang baik
DAFTAR PUSTAKA

Alligood, M. R. (2017). Pakar Teori Keperawatan dan Karya Mereka. Singapore:


elservier.

Hendra, M., Nugraha, S., Wahyuni, N., Ayu, P., & Saraswati, S. (2019).
Neuromuscular Facilitation Pada Ulkus Diabetikum The Effectiveness Of Low
Power Laser Therapy And Proprioceptive Neuromuscular Facilitation On Grade
2 Diabetik Foot Ulcers. 43–50. Tersedia : https://bit.ly/2PDgZss
Lemone, P., & dkk. (2017). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta: EGC.
Lin, C., Ye, S., Ji, L., Xiaoping, S., Sebuah, Y., Yin, G., … Sebuah, L. (2019). Saudi
Journal of Biological Sciences Amputasi dan kelangsungan hidup pasien
dengan kaki diabetik berdasarkan pembentukan model prediksi. (xxxx).
https://doi.org/10.1016/j.sjbs.2019.12.020.
Nurhanifah, D., & Banjarmasin, U. M. (2017). Faktor-Faktor Yang Berhubungan
Dengan Ulkus Kaki Diabetik ( factors related to diabetik Ulcers legs In
policlinic of diabetik leg ). 1(1), 32–41. Tersedia : https://bit.ly/2TucLER
Pb, A., Skp, I. D. I., & Kartika, R. W. (2017). Pengelolaan Gangren Kaki Diabetik.
44(1), 18–22. Tersedia : https://bit.ly/2x3qFpX

Anda mungkin juga menyukai