Anda di halaman 1dari 51

BAB I

PENDAHULUAN

Gangren Pedis Diabetikum menurut International Concensus on the Diabetic Foot


gangren ditetapkan sebagai sebuah nekrosis yang berkelanjutan dari kulit dan struktur lain
yang mendasarinya. Luka gangren merupakan salah satu komplikasi kronik Diabetes
Melitus (DM) yang paling di takuti oleh setiap penderita DM yang disebabkan karena
adanya neuropati dan gangguan vaskular pada kaki (Tjokroprawiro, 2007). Luka gangren
adalah luka pada kaki yang merah kehitaman dan berbau busuk akibat sumbatan yang
terjadi di pembuluh darah sedang atau besar di tungkai. Angka kejadian gangren masih
tinggi, tidak hanya di negara maju tetapi juga di Negara berkembang (Perkumpulan
Endokrin Indonesia (PERKENI, 2008). Menurut Asni (2009) mengatakan bahwa gangren
diabetik memberi dampak luar biasa kepada penderitanya, selain amputasi, infeksi yang
terjadi seringkali mengharuskan penderita dirawat inap dalam waktu yang lebih lama
dibandingkan komplikasi DM lainnya, sehingga biaya perawatan yang dibutuhkan lebih
besar dan penderita gangren mempunyai resiko kematian lebih tinggi dibandingkan
dengan pasien DM tanpa gangren.
World Health Organization (WHO, 2012) mengatakan bahwa DM
termasuk dalam golongan penyakit kronik yang terjadi pada jutaan orang di dunia.
Interlantional Diabetes Federation (IDF, 2011) memperhitungkan angka kejadian DM di
dunia pada tahun 2012 adalah 371 juta jiwa, tahun 2013 meningkat menjadi 382 juta jiwa
dan diperkirakan pada tahun 2035 DM akan meningkat menjadi 592 juta jiwa (Persi,
2011). Di Indonesia angka kejadian DM termasuk urutan terbesar ke-7 dunia yaitu sebesar
7,6 juta jiwa, sedangkan angka kejadian penderita uklus atau gangren diabetik sebesar
15% dari penderita DM. Bahkan angka kematian dan amputasi masih tinggi yaitu sebesar
32,5% dan 23,5% (Persi,2011). Menurut Pengurus Persatuan Diabetes Indonesia
Subagijo Adi di Jawa Timur jumlah penderita DM 6% atau 2.248.605 orang dari total
jumlah penduduk Jawa Timur sebanyak 37.476.757 orang (Persi, 2011). Prvalensi
penderita luka gangren di Indonesia sekitar 15%, angka amputasi 30%, angka mortalitas
30%, dan luka gangren merupakan sebab perawatan rumah sakit yang terbanyak sebesar
80% untuk DM. Diperkirakan setiap tahun jumlah satu juta pasien yang menderita luka
ganggren menjalani amputasi ekstremitas bawah (85%) dan angka kematian yaitu 15-40%
setiap tahunnya serta 39-89% setiap 5 tahunnya (Bilous & Donelly, 2015). Data
penelitian Helena Fransiska (2014) di rumah luka Surabaya terdapat 40 penderita diabetes
mellitus dengan luka ganggren. Dalam 3 bulan terakhir, jumlah penderita luka gangren
yang di rawat semakin meningkat sebanyak 45 penderita.
Hypertensive Heart Disease (HHD) adalah suatu penyakit yang berkaitan dengan
dampak sekunder pada jantung karena hipertensi sistemik yang lama dan berkepanjangan.
HHD merujuk pada suatu keadaan yang disebabkan oleh peningkatan tekanan darah
(hipertensi). Hipertensi yang berkepanjangan dan tidak terkendali dapat mengubah
struktur miokard, pembuluh darah dan sistem konduksi jantung. Perubahan-perubahan ini
dapat mengakibatkan Left Ventricle Hypertrophy (LVH), penyakit arteri koroner,
gangguan sistem konduksi jantung, disfungsi sistolik dan diastolik miokard yang akan
bermanifestasi klinis sebagai angina (nyeri dada), infark miokard, aritmia jantung
(terutama fibrilasi atrium) dan gagal jantung kongestif.
BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

1. KAKI DIABETES

1.1 Definisi Kaki Diabetes

Kaki diabetes adalah kelainan tungkai kaki bawah akibat diabetes mellitus

yang tidak terkendali dengan baik yang disebabkan olah gangguan pembuluh

darah, gangguan persyarafan dan infeksi. Kaki diabetes merupakan gambaran

secara umum dari kelainan tungkai bawah secara menyeluruh pada penderita

diabetes mellitus yang diawali dengan adanya lesi hingga terbentuknya ulkus yang

sering disebut dengan ulkus kaki diabetika yang pada tahap selanjutnya dapat

dikategorikan dalam gangrene, yang pada penderita diabetes mellitus disebut

dengan gangrene diabetik (Misnadiarly, 2006).

Ulkus diabetika adalah salah satu bentuk komplikasi kronik diabetes

mellitus berupa luka terbuka pada permukaan kulit yang dapat disertai adanya

kematian jaringan setempat. Ulkus diabetika merupakan luka terbuka pada

permukaan kulit karena adanya komplikasi makroangiopati sehingga terjadi

vaskuler insusifiensi dan neuropati, yang lebih lanjut terdapat luka pada penderita

yang sering tidak dirasakan, dan dapat berkembang menjadi infeksi disebabkan

oleh bakteri aerob maupun anaerob (Tambunan, 2006).

1.2 Klasifikasi Kaki Diabetes

Ada berbagai macam klasifikasi kaki diabetes, mulai dari klasifikasi oleh

Edmonds dari King’s College Hospital London, klasifikasi Liverpool, klasifikasi

wagner, klasifikasi texas, serta yang lebih banyak digunakan adalah yang

dianjurkan oleh International Working Group On Diabetic Foot karena dapat

menentukan kelainan apa yang lebih dominan, vascular, infeksi, neuropatik,


sehingga arah pengelolaan dalam pengobatan dapat tertuju dengan baik

(Waspadji, 2006).

1 Klasifikasi Edmonds (2004 – 2005)

- Stage 1 : Normal foot

- Stage 2 : High Risk Foot

- Stage 3 : Ulcerated Foot

- Stage 4 : Infected Foot

- Stage 5 : Necrotic Foot

- Stage 6 : Unsalvable Foot

2 Derajat keparahan ulkus kaki diabetes menurut Wagner

Grade 1 : Ulkus superfisial tanpa terlibat jaringan dibawah kulit

Grade 2 : Ulkus dalam tanpa terlibat tulang / pembentukan abses.

Grade 3 : Ulkus dalam dengan selulitis/abses atau osteomielitis

Grade 4 : Tukak dengan Gangren lokal

Grade 5 : Tukak dengan Gangren luas / melibatkan keseluruhan kaki

3 Klasifikasi Liverpool

Klasifikasi primer : - Vascular

- Neuropati

- Neuroiskemik

Klasifikasi sekunder : - Tukak sederhana, tanpa komplikasi

- Tukak dengan komplikasi

4 Klasifikasi PEDIS menurut International Consensus On The Diabetic Foot (2003)

Impaired Perfusion 1 = None

2 = PAD + but not critical

3 = Critical limb ischemia


Size / Extent in mm2
Tissue loss / Depth 1 = Superficial fullthickness, not deeper than dermis

2 = Deep ulcer, below dermis. Involving

subcutaneous structures, fascia, muscle or tendon

3 = All subsequent layers of the foot involved

including bone and or joint

Infection 1 = No symptoms or signs of infection

2 = Infection of skin and subcutaneous tissue only

3 = Erythema > 2 cm or infection involving

subcutaneous structure, no systemic sign of

inflammatory response

4 = Infection with systemic manifestation : fever,

leucocytosis, shift to the left metabolic instability,

hypotension, azotemia

Impaired sensation 1 = Absent

2 = Present (Waspadji, 2006).


1.3 Tanda dan Gejala

Tanda dan gejala ulkus kaki diabetes seperti sering kesemutan, nyeri kaki

saat istirahat., sensasi rasa berkurang, kerusakan jaringan (nekrosis), penurunan

denyut nadi arteri dorsalis pedis, tibialis dan poplitea, kaki menjadi atrofi, dingin

dan kuku menebal dan kulit kering (Misnadiarly, 2006 ; Subekti, 2006).

1.4 Diagnosis Kaki Diabetes

Diagnosis kaki diabetes meliputi :

1. Pemeriksaan Fisik :

Inspeksi kaki untuk mengamati terdapat luka / ulkus pada kulit atau

jaringan tubuh pada kaki, pemeriksaan sensasi vibrasi / rasa berkurang atau

hilang, palpasi denyut nadi arteri dorsalis pedis menurun atau hilang.

2 Pemeriksaan Penunjang :

X-ray, EMG (Electromyographi) dan pemeriksaan laboratorium untuk

mengetahui apakah ulkus kaki diabetes menjadi infeksi dan menentukan kuman

penyebabnya (Waspadji, 2006).

1.5 Patogenesis Kaki Diabetes

Salah satu akibat komplikasi kronik atau jangka panjang diabetes mellitus

adalah ulkus kaki diabetes. Ulkus kaki diabetes disebabkan adanya tiga faktor

yang sering disebut trias yaitu : iskemik, neuropati, dan infeksi. Pada penderita

diabetes mellitus apabila kadar glukosa darah tidak terkendali akan terjadi

komplikasi kronik yaitu neuropati, menimbulkan perubahan jaringan syaraf

karena adanya penimbunan sorbitol dan fruktosa sehingga mengakibatkan akson

menghilang, penurunan kecepatan induksi, parastesia, menurunnya reflek otot,

atrofi otot, keringat berlebihan, kulit kering dan hilang rasa, apabila penderita
diabetes mellitus tidak hati-hati dapat terjadi trauma yang akan meneybabkan lesi

dan menjadi ulkus kaki diabetes (Waspadji, 2006).

Iskemik merupakan suatu keadaan yang disebabkan oleh karena

kekurangan darah dalam jaringan, sehingga jaringan kekurangan oksigen. Hal ini

disebabkan adanya proses makroangiopati pada pembuluh darah sehingga

sirkulasi jaringan menurun yang ditandai oleh hilang atau berkurangnya denyut

nadi pada arteri dorsalis pedis, tibialis dan poplitea, kaki menjadi atrofi, dingin

dan kuku menebal. Kelainan selanjutnya terjadi nekrosis jaringan sehingga timbul

ulkus yang biasanya dimulai dari ujung kaki atau tungkai. Aterosklerosis

merupakan sebuah kondisi dimana arteri menebal dan menyempit karena

penumpukan lemak pada bagian dalam pembuluh darah. Menebalnya arteri di

kaki dapat mempengaruhi otot-otot kaki karena berkurangnya suplai darah,

sehingga mengakibatkan kesemutan, rasa tidak nyaman, dan dalam jangka waktu

lama dapat mengakibatkan kematian jaringan yang akan berkembang menjadi

ulkus kaki diabetes. Proses angiopati pada penderita diabetes mellitus berupa

penyempitan dan penyumbatan pembuluh darah perifer, sering terjadi pada

tungkai bawah terutama kaki, akibat perfusi jaringan bagian distal dari tungkai

menjadi berkurang kemudian timbul ulkus kaki diabetes (Tambunan, 2006).

Pada penderita diabetes mellitus yang tidak terkendali kadar gula darahnya

akan menyebabkan penebalan tunika intima (hiperplasia membram basalis arteri)

pada pembuluh darah besar dan pembuluh kapiler bahkan dapat terjadi kebocoran

albumin keluar kapiler sehingga mengganggu distribusi darah ke jaringan dan

timbul nekrosis jaringan yang mengakibatkan ulkus diabetika. Eritrosit pada

penderita diabetes mellitus yang tidak terkendali akan meningkatkan HbA1C yang
menyebabkan deformabilitas eritrosit dan pelepasan oksigen di jaringan oleh

eritrosit terganggu, sehingga terjadi penyumbatan yang menggangu sirkulasi

jaringan dan kekurangan oksigen mengakibatkan kematian jaringan yang

selanjutnya timbul ulkus kaki diabetes. Peningkatan kadar fibrinogen dan

bertambahnya reaktivitas trombosit menyebabkan tingginya agregasi sel darah

merah sehingga sirkulasi darah menjadi lambat dan memudahkan terbentuknya

trombosit pada dinding pembuluh darah yang akan mengganggu sirkulasi darah.

Penderita diabetes mellitus biasanya kadar kolesterol total, LDL, trigliserida

plasma tinggi. Buruknya sirkulasi ke sebagian besar jaringan akan menyebabkan

hipoksia dan cedera jaringan, merangsang reaksi peradangan yang akan

merangsang terjadinya aterosklerosis. Perubahan / inflamasi pada dinding

pembuluh darah, akan terjadi penumpukan lemak pada lumen pembuluh darah,

konsentrasi HDL (highdensity- lipoprotein) sebagai pembersih plak biasanya

rendah. Adanya faktor risiko lain yaitu hipertensi akan meningkatkan kerentanan

terhadap aterosklerosis (Tambunan, 2006).

Konsekuensi adanya aterosklerosis yaitu sirkulasi jaringan menurun

sehingga kaki menjadi atrofi, dingin dan kuku menebal. Kelainan selanjutnya

terjadi nekrosis jaringan sehingga timbul ulkus yang biasanya dimulai dari ujung

kaki atau tungkai. Pada penderita diabetes mellitus apabila kadar glukosa darah

tidak terkendali menyebabkan abnormalitas lekosit sehingga fungsi khemotoksis

di lokasi radang terganggu, demikian pula fungsi fagositosis dan bakterisid

menurun sehingga bila ada infeksi mikroorganisme sukar untuk dimusnahkan oleh

sistem plagositosis-bakterisid intra selluler. Pada penderita ulkus kaki diabetes, 50

% akan mengalami infeksi akibat adanya glukosa darah yang tinggi karena
merupakan media pertumbuhan bakteri yang subur. Bakteri penyebab infeksi pada

ulkus diabetika yaitu kuman aerobik Staphylococcus atau Streptococcus serta

kuman anaerob yaitu Clostridium Perfringens, Clostridium Novy, dan Clostridium

Septikum (Tambunan, 2006; Waspadji, 2006).

1.6 Faktor Risiko Terjadinya Kaki Diabetes

Faktor risiko terjadi ulkus diabetika yang menjadi gambaran dari kaki

diabetes pada penderita diabetes mellitus terdiri atas faktor-faktor risiko yang

tidak dapat diubah dan faktor-faktor risiko yang dapat diubah (Tambunan, 2006;

Waspadji, 2006).

Faktor - faktor risiko yang tidak dapat diubah :

1. Umur

Pada usia tua fungsi tubuh secara fisiologis menurun karena proses aging

terjadi penurunan sekresi atau resistensi insulin sehingga kemampuan fungsi

tubuh terhadap pengendalian glukosa darah yang tinggi kurang optimal . proses

aging menyebabkan penurunan sekresi atau resistensi insulin sehingga terjadi

makroangiopati, yang akan mempengaruhi penurunan sirkulasi darah salah

satunya pembuluh darah besar atau sedang di tungkai yang lebih mudah terjadi

ulkus kaki diabetes (Tambunan, 2006; Waspadji, 2006).

2. Lama Menderita Diabetes Mellitus ≥ 10 tahun.

Ulkus kaki diabetes terutama terjadi pada penderita diabetes mellitus yang

telah menderita 10 tahun atau lebih, apabila kadar glukosa darah tidak terkendali,

karena akan muncul komplikasi yang berhubungan dengan vaskuler sehingga

mengalami makroangiopati dan mikroangiopati yang akan terjadi vaskulopati dan

neuropati yang mengakibatkan menurunnya sirkulasi darah dan adanya robekan /


luka pada kaki penderita diabetes mellitus yang sering tidak dirasakan karena

terjadinya gangguan neurophati perifer (Tambunan, 2006; Waspadji, 2006).

Faktor-faktor risiko yang dapat diubah :

1. Neurophati (sensorik, motorik, perifer).

Kadar glukosa darah yang tinggi semakin lama akan terjadi gangguan

mikro sirkulasi, berkurangnya aliran darah dan hantaran oksigen pada serabut

saraf yang mengakibatkan degenerasi pada serabut syaraf yang lebih lanjut akan

terjadi neuropati. Syaraf yang rusak tidak dapat mengirimkan sinyal ke otak

dengan baik, sehingga penderita dapat kehilangan indra perasa selain itu juga

kelenjar keringat menjadi berkurang, kulit kering dan mudah robek. Neuropati

perifer berupa hilangnya sensasi rasa yang berisiko tinggi menjadi penyebab

terjadinya lesi yang kemudian berkembang menjadi ulkus kaki diabetes

(Tambunan, 2006; Waspadji, 2006).

2. Obesitas.

Pada obesitas dengan index massa tubuh ≥ 23 kg/m2 (wanita) dan IMT

(index massa tubuh) ≥ 25 kg/m2 (pria) atau berat badan ideal yang berlebih akan

sering terjadi resistensi insulin. Apabila kadar insulin melebihi 10 μU/ml, keadaan

ini menunjukkan hiperinsulinmia yang dapat menyebabkan aterosklerosis yang

berdampak pada vaskulopati, sehingga terjadi gangguan sirkulasi darah sedang /

besar pada tungkai yang menyebabkan tungkai akan mudah terjadi ulkus /

ganggren sebagai bentuk dari kaki diabetes (Tambunan, 2006; Waspadji, 2006).
3. Hipertensi.

Hipertensi (TD > 130/80 mm Hg) pada penderita diabetes mellitus karena

adanya viskositas darah yang tinggi akan berakibat menurunnya aliran darah

sehingga terjadi defesiensi vaskuler, selain itu hipertensi yang tekanan darah lebih

dari 130/80 mmHg dapat merusak atau mengakibatkan lesi pada endotel.

Kerusakan pada endotel akan berpengaruh terhadap makroangiopati melalui

proses adhesi dan agregasi trombosit yang berakibat vaskuler defisiensi sehingga

dapat terjadi hipoksia pada jaringan yang akan mengakibatkan terjadinya ulkus

(Tambunan, 2006; Waspadji, 2006).

4. Glikolisasi Hemoglobin (HbA1C) tidak terkontrol.

Glikosilasi Hemoglobin adalah terikatnya glukosa yang masuk dalam

sirkulasi sistemik dengan protein plasma termasuk hemoglobin dalam sel darah

merah. Apabila Glikosilasi Hemoglobin (HbA1c) ≥ 6,5 % akan menurunkan

kemampuan pengikatan oksigen oleh sel darah merah yang mengakibatkan

hipoksia jaringan yang selanjutnya terjadi proliferasi pada dinding sel otot polos

sub endotel (Tambunan, 2006; Waspadji, 2006).

5. Kadar Glukosa Darah Tidak Terkontrol.

Pada penderita diabetes mellitus sering dijumpai adanya peningkatan

kadar trigliserida dan kolesterol plasma, sedangkan konsentrasi HDL

(highdensity

- lipoprotein) sebagai pembersih plak biasanya rend≤ah45( mg/dl). Kadar

trigliserida ≥ 150 m g/dl, kolesterol total≥ 200 mg/dl dan HDL ≤ 45 mg/dl akan

mengakibatkan buruknya sirkulasi ke sebagian besar jaringan dan menyebabkan

hipoksia serta cedera jaringan, merangsang reaksi peradangan dan terjadinya

aterosklerosis. Konsekuensi adanya aterosklerosis adalah penyempitan lumen


pembuluh darah yang akan menyebabkan gangguan sirkulasi jaringan sehingga

suplai darah ke pembuluh darah menurun ditandai dengan hilang atau

berkurangnya denyut nadi pada arteri dorsalis pedis, tibialis dan poplitea, kaki

menjadi atrofi, dingin dan kuku menebal. Kelainan selanjutnya terjadi nekrosis

jaringan sehingga timbul ulkus yang biasanya dimulai dari ujung kaki atau tungkai

(Tambunan, 2006; Waspadji, 2006).

6. Kebiasaan Merokok.

Pada penderita diabetes mellitus yang merokok ≥ 12 batang per hari

mempunyai risiko 3x untuk menjadi ulkus kaki diabetes dibandingkan dengan

penderita diabetes mellitus yang tidak merokok. Kebiasaan merokok akibat dari

nikotin yang terkandung di dalam rokok akan dapat menyebabkan kerusakan

endotel kemudian terjadi penempelan dan agregasi trombosit yang selanjutnya

terjadi kebocoran sehingga lipoprotein lipase akan memperlambat clearance

lemak darah dan mempermudah timbulnya aterosklerosis. Aterosklerosis

berakibat insufisiensi vaskuler sehingga aliran darah ke arteri dorsalis pedis,

poplitea, dan tibialis juga akan menurun (Tambunan, 2006; Waspadji, 2006).

7. Ketidakpatuhan Diet Diabetes Mellitus.

Kepatuhan diet diabetes mellitus merupakan upaya yang sangat penting

dalam pengendalian kadar glukosa darah, kolesterol, dan trigliserida mendekati

normal sehingga dapat mencegah komplikasi kronik, seperti ulkus kaki diabetes.

Kepatuhan diet penderita diabetes mellitus mempunyai fungsi yang sangat penting

yaitu mempertahankan berat badan normal, menurunkan tekanan darah sistolik

dan diastolik, menurunkan kadar glukosa darah, memperbaiki profil lipid,


meningkatkan sensitivitas reseptor insulin dan memperbaiki sistem koagulasi

darah (Tambunan, 2006; Waspadji, 2006).

8. Kurangnya Aktivitas Fisik.

Aktivitas fisik (olah raga) sangat bermanfaat untuk meningkatkan sirkulasi

darah, menurunkan berat badan dan memperbaiki sensitivitas terhadap insulin,

sehingga akan memperbaiki kadar glukosa darah. Dengan kadar glukosa darah

terkendali maka akan mencegah komplikasi kronik diabetes mellitus. Olah raga

rutin (lebih 3 kali dalam seminggu selama 30 menit) akan memperbaiki

metabolisme karbohidrat, berpengaruh positif terhadap metabolisme lipid dan

sumbangan terhadap penurunan berat badan. Aktivitas fisik yang dilakukan

termasuk senam kaki. Senam kaki dapat membantu memperbaiki sirkualsi darah

dan memperkuat otot - otot kecil kaki dan mencegah terjadinya kelainan bentuk

kaki (deformitas), selain itu dapat meningkatkan kekuatan otot betis dan otot paha

(Gastrocnemeus, Hamsring, Quadriceps) dan juga mengatasi keterbatasan gerak

sendi.

Latihan senam kaki dapat dilakukan dengan posisi berdiri, duduk dan

tidur, dengan cara menggerakkan kaki dan sendi-sendi kaki misalnya berdiri

dengan kedua tumit diangkat, mengangkat kaki dan menurunkan kaki. Gerakan

dapat berupa gerakan menekuk, meluruskan, mengangkat, memutar keluar atau

kedalam dan mencengkram pada jari – jari kaki. Latihan dilakukan sesering

mungkin dan teratur terutama pada saat kaki terasa dingin. (Tambunan, 2006;

Waspadji, 2006).
9. Pengobatan Tidak Teratur.

Pengobatan rutin dan pengobatan intensif akan dapat mencegah dan

menghambat timbulnya komplikasi kronik, seperti ulkus diabetika. Sampai pada

saat ini belum ada obat yang dapat dianjurkan secara tepat untuk memperbaiki

vaskularisasi perifer pada penderita Diabetes Mellitus, namun bila dilihat dari

penelitian tentang kelainan akibat arterosklerosis ditemapt lain seperti jantung dan

otak, obat seperti aspirin dan lainnya yang sejenis dapat digunakan pada pasien

Diabetes Mellitus meskipun belum ada bukti yang cukup kuat untuk

menganjurkan penggunaan secara rutin (Waspadji, 2006).

Pengobatan tidak teratur termasuk di dalamnya pemeriksaan terhadap kaki

Penggolongan dari kaki diabetes berdasarkan risiko terjadinya yang dapat

dijadikan acuan dalam memeriksa kaki penderita diabetes mellitus dan tindakan

pencegahan yang dilakukan adalah sebagai berikut :

1. Sensasi normal tanpa deformitas

2. Sensasi normal dengan deformitas atau tekanan plantar

tinggi

3. Insensitivitas tanpa deformitas

4. Iskemia tanpa deformitas

5. Kombinasi antara adanya insensitivitas, deformitas dan /

atau iskemia (Tambunan, 2006; Waspadji, 2006).


10. Perawatan Kaki Tidak Teratur.

Perawatan kaki penderita diabetes mellitus yang teratur akan mencegah

atau mengurangi terjadinya komplikasi kronik pada kaki. Acuan dalam perawatan

kaki pada penderita diabetes mellitus yaitu meliputi seperti selalu menjaga kaki

dalam keadaan bersih, membersihkan dan mencuci kaki setiap hari dengan air

suam-suam kuku dengan memakai sabun lembut dan mengeringkan dengan

sempurna dan hati-hati terutama diantara jari-jari kaki, memakai krem kaki yang

baik pada kulit yang kering atau tumit yang retak-retak, supaya kulit tetap mulus,

dan jangan menggosok antara jari-jari kaki (contoh: krem sorbolene), tidak

memakai bedak, sebab ini akan menyebabkan kulit menjadi kering dan retak-

retak. menggunting kuku hanya boleh digunakan untuk memotong kuku kaki

secara lurus dan kemudian mengikir agar licin. Memotong kuku lebih mudah

dilakukan sesudah mandi, sewaktu kuku lembut, kuku kaki yang menusuk daging

dan kalus, hendaknya diobati oleh podiatrist. Jangan menggunakan pisau cukur

atau pisau biasa, yang bias tergelincir; dan ini dapat menyebabkan luka pada kaki,

jangan menggunakan penutup kornus/corns. Kornus-kornus ini seharusnya diobati

hanya oleh podiatrist, memeriksa kaki dan celah kaki setiap hari apakah terdapat

kalus, bula, luka dan lecet dan menghindari penggunaan air panas atau bantal

panas (Tambunan, 2006; Waspadji, 2006).


Perawatan luka sejak pasien datang harus ditangani dengan baik dan teliti,

klasifikasi ulkus PEDIS dilakukan setelah debridement yang adekuat. Saat ini

terdapat banyak sekali macam Dressing (pembalut) yang masing – masing dapat

dimanfaatkan sesuai dengan keadaan luka dan letak luka tersebut, teapi jangan

lupa tindakan debridement merupakan syarat mutlak yang harus dikerjakan dahulu

sebelum menilai dan mengklasifikasikan luka, debridement yang baik and adekuat

tentu akan sangat membantu mengurangi jaringan nekrotik yang harus

dikeluarkan tubuh sehingga membantu mengurangi produksi pus/ cairan dari

ulkus / gangrene diabetik (Waspadji, 2006).

Berbagai terapi topical dapat dimanfaatkan untuk mengurangi mikroba

pada luka. Selama proses inflamsi masih ada, proses penyembuhan luka tidak

akan beranjak pada proses selanjutnya yaitu proses granulasi sampai epitealisasi.

Untuk menacapai suasana kondusif bagi kesembuhan luka dapat pula dipakai kasa

yang dibasahi dengan salin

11. Penggunaan Alas Kaki Tidak Tepat

Penderita diabetes mellitus tidak boleh berjalan tanpa alas kaki karena

tanpa menggunakan alas kaki yang tepat memudahkan terjadi trauma yang

mengakibatkan ulkus kaki diabetes yang diawali dari timbulnya lesi pada tungkai

kaki, terutama apabila terjadi neuropati yang mengakibatkan sensasi rasa

berkurang atau hilang. Pencegahan dalam faktor mekanik dengan memberikan

alas kaki yang pas dan nyaman untuk penderita diabetes mellitus. Penggunaan

alas kaki yang tepat harus memperhatikan hal hal berupa tidak boleh berjalan

tanpa alas kaki, termasuk di pasir, memakai sepatu yang sesuai atau sepatu khusus

untuk kaki dan nyaman dipakai, sebelum memakai sepatu, memerika sepatu
terlebih dahulu, kalau ada batu dan lain-lain, karena dapat menyebabkan

iritasi/gangguan dan luka terhadap kulit, sepatu harus terbuat dari kulit, kuat, pas

(cukup ruang untuk ibu jari kaki) dan tidak boleh dipakai tanpa kaus kaki, sepatu

baru harus dipakai secara berangsur-angsur dan hati-hati, memakai kaus kaki yang

bersih dan mengganti setiap hari, kaus kaki terbuat dari bahan wol atau katun.

Jangan memakai bahan sintetis, karena bahan ini menyebabkan kaki berkeringat

dan memakai kaus kaki apabila kaki terasa dingin (Tambunan, 2006; Waspadji,

2006).

Edukasi sangat penting untuk setiap tahap pengelolaan kaki diabetes.

Dengan penyuluhan yang baik penderita diabetes mellitus dengan kaki diabetes

maupun keluarganya diharapkan akan dapat membantu dan mendukung berbagai

tindakan yang diperlukan untuk kesembuhan luka yang optimal. Rehabilitasi

merupakan program yang sangat penting yang harus dilaksanakan unutk

pengelolaan kaki diabetes, bahkan sejak pencegahan terjadinya ulkus kaki

diabetes, keterlibatan ahli rehabilitasi medis sangat diperlukan untuk mengurangi

kecacatan yang mungkin timbul pada pasien. Keterlibatan ahli rehabilitasi medis

berlanjut sampai jauh sesudah amputasi, untuk memberikan bantuan bagi para

penderita kaki diabetes yang mengalami amputasi untuk menghindari terjadinya

ulkus baru. Pemakaian alas kaki khusus untuk mengurangi tekanan plantar akan

sangat membantu mencegah terbentuknya ulkus baru yang akan memberikan

prognosis yang lebih buruk dari ulkus sebelumnya


2. HYPERTENSIVE HEART DISEASE

Definisi
Hypertensive Heart Disease (HHD) adalah suatu penyakit yang berkaitan dengan
dampak sekunder pada jantung karena hipertensi sistemik yang lama dan berkepanjangan.
HHD merujuk pada suatu keadaan yang disebabkan oleh peningkatan tekanan darah
(hipertensi). Hipertensi yang berkepanjangan dan tidak terkendali dapat mengubah
struktur miokard, pembuluh darah dan sistem konduksi jantung. Perubahan-perubahan ini
dapat mengakibatkan Left Ventricle Hypertrophy (LVH), penyakit arteri koroner,
gangguan sistem konduksi jantung, disfungsi sistolik dan diastolik miokard yang akan
bermanifestasi klinis sebagai angina (nyeri dada), infark miokard, aritmia jantung
(terutama fibrilasi atrium) dan gagal jantung kongestif.

Klasifikasi Etiologi
Penyakit jantung hipertensi disebabkan oleh kausal yang jelas, yaitu adanya
riwayat hipertensi lama yang diderita oleh pasien. Hipertensi diklasifikasikan
berdasarkan etiologinya yaitu dengan penyebab yang tidak diketahui
(esensial/primer/idiopatik) atau yang diketahui (sekunder). Sebagian besar kasus
hipertensi diklasifikasikan sebagai esensial, tetapi kemungkinan penyebab yang
melatarbelakanginya harus selalu ditentukan.

1. Hipertensi Esensial
Sekitar 90% penderita yang menunjukkan meningkatnya tekanan darah mempunyai
penyebab yang tidak jelas untuk hipertensinya dan karenanya disebut mempunyai
hipertensi esensial/primer. Penemuan klinis dan fisiologis yang terperinci pada penderita
hipertensi esensial mengidentifikasikan bahwa keadaan tersebut bukan merupakan
lingkup tunggal, beberapa mekanisme yang berbeda mungkin ikut juga bertanggung
jawab. Bentuk khas pada seluruh penderita hipertensi ialah naiknya resistensi pembuluh
darah perifer. Mekanisme patofisiologi berdasarkan penelitian yang cermat ialah
bergantung dari tiga hal, yaitu keseimbangan natrium, sistem saraf simpatis, dan sistem
Renin-angiotensin-aldosterone.

a. Keseimbangan natrium
Kerusakan ekskresi natrium ginjal merupakan perubahan pertama yang ditemukan
pada hipertensi. Retensi natrium diikuti dengan ekspansi volume darah dan kemudian
peningkatan output jantung. Autoregulasi perifer meningkatkan resistensi pembuluh darah
perifer dan berakhir dengan hipertensi. Pada penderita dengan hipertensi esensial,
transpor natrium-kalium dalam sel darah merah dan darah putih menunjukkan
abnormalitas. Selanjutnya, plasma dari penderita hipertensi mempengaruhi transpor
natrium-kalium dalam sel darah putih dari individu yang normotensif. Penderita dengan
kegagalan untuk mengekskresi natrium mempunyai substansi yang menghambat transpor
natrium dari ginjal dan di manapun dalam tubuhnya. Kadar natrium tubuh total
mempunyai korelasi positif dengan tekanan darah pada beberapa penderita hipertensi,
tetapi tidak pada kontrol yang normotensif. Sebagian besar orang dewasa sehat
menunjukkan sedikit variasi pada tekanan darahnya terhadap penggunaan garam yang
berlebihan. Beberapa penderita hipertensi sensitif terhadap garam, tetapi defek alami yang
melatarbelakanginya tidak diketahui. Telah ditentukan bahwa naiknya kebocoran natrium
dalam sel dinding pembuluh darah arteri dapat meningkatkan kandungan kalsium
intraseluler. Hal ini akan menaikkan sisa tahanan vaskular dan resistensi pembuluh darah
perifer.

b. Sistem saraf simpatis


Tekanan darah merupakan suatu fungsi dari total resistensi perifer dan output
jantung; keduanya pada beberapa keadaan, ada dibawah pengawasan sistem saraf
simpatik. Penderita hipertensi esensial mempunyai tekanan darah yang lebih tinggi
dengan kadar katekolamin yang tinggi. Kadar katekolamin yang beredar mempunyai
variabel yang tinggi dan dipengaruhi umur, intake natrium, bentuk tubuh, stress dan
aktivitas. Pada penderita hipertensi berumur muda cenderung mempunyai kadar
noradrenalin plasma dalam keadaan istirahat yang lebih tinggi dibandingkan dengan
orang yang normotensif.

c. Sistem Renin-Angiotensin-Aldosterone
Renin dilepaskan dari apparatus jukstraglomerular ginjal, masuk ke dalam darah
melalui arteriol eferen. Kemudian renin berperan pada plasma globulin, yang disebut
“renin substrat” atau angiotensinogen, melepas angiotensin I. Ini diubah menjadi
angiotensin II oleh angiotensin converting enzyme (ACE). Angiotensin II merupakan
vasokonstriktor kuat dan karenanya mampu menimbulkan hipertensi. Tetapi hanya
sebagian kecil penderita hipertensi esensial yang menunjukkan kadar renin plasma yang
meningkat, dan tidak ditemukan korelasi antara aktivitas renin plasma dengan patogenesis
hipertensi. Telah dibuktikan bahwa angiotensin dapat merangsang saraf simpatik secara
sentral, dan banyak penderita hipertensi esensial memberikan respons terhadap
pengobatan dengan ACE Inhibitor (misalnya captopril dan enalapril maleate), yang
menghambat enzim yang mengubah angiotensin I menjadi angiotensin II.

Gambar 1 . Sistem Renin Angiotesin Aldosteron

Polimorfisme gen ACE juga dihubungkan dengan infark miokard akut dan dengan
hipertrofi jantung penderita normotensif yang belum dapat dijelaskan. Mekanisme yang
tepat dimana variasi genetik ini menyebabkan terjadinya perubahan struktural atau
patofisiologi tidak diketahui.

2. Hipertensi Sekunder
Hipertensi ini dapat disebabkan oleh berbagai kondisi, yaitu hipertensi renalis,
kelainan yang disebabkan endokrin, koarktasio aorta, dan terapi obat.

a. Hipertensi renalis
Beberapa bentuk akut, dan seluruh bentuk kronis penyakit ginjal dapat
dihubungkan dengan hipertensi. Dua mekanisme utama ialah Renin-dependen hipertensi
dan kadar garam dan air yang berlebihan
Kemungkinan penyakit ginjal perlu dipikirkan pada seluruh penderita hipertensi.
Pada beberapa kasus, stenosis fokal pada satu arteri renalis, sebagai akibat atheroma atau
dysplasia fibromuskuler arteri renalis, berperan terhadapiskemia ginjal yang unilateral dan
hiper-reninisme. Pembedahan dapat merupakan pengobatan kuratif pada beberapa
penderita. Penderita dengan gagal ginjal terminalis sangat sensitif dengan perubahan
keseimbangan garam dan air. Hipertensi pada penderita ini dapat diatur dan diawasi
dengan membatasi pemakaian garam dan air dan dengan dialisis yang seksama.

b. Sebab-sebabEndokrin
Sekresi kortikosteroid yang berlebihan pada sindroma Cushing dihubungkan
dengan hipertensi sistemik. Demikian pula, tumor adrenal yang mensekresi aldosterone
(sindroma Conn) atau katekolamin (feokromositoma) dapat mengakibatkan hipertensi.
Meskipun demikian, ini ditemukan kurang dari 1% dari seluruh penderita hipertensi.

c. Koarkatasio Aorta
Hipertensi sistemik merupakan salah satu bentuk paling sering pada koarktasio.
Naiknya tekanan darah akan dideteksi pada pergelangan tangan, tetapi tidak pada kaki.
Denyut femoral relatif sering lebih lambat dibandingkan radial. Kematian biasanya
disebabkan oleh gagal jantung, perdarahan otak akibat hipertensi atau aneurisma
disekting.

d. Terapi obat-obatan
Kortikosteroid, berbagai jenis pil kontrasepsi dan beberapa obat non-steroid anti-
inflamasi dapat merangsang terjadinya hipertensi.

Patogenesis
LVH merupakan kompensasi jantung terhadap tekanan darah tinggi ditambah
dengan faktor neurohormonal yang ditandai dengan penebalan konsentrik otot jantung
(hipertrofi konsentrik). Fungsi diastolik akan mulai terganggu akibat dari gangguan
relaksasi ventrikel kiri, kemudian disusul oleh dilatasi ventrikel kiri (hipertrofi esentrik).
Rangsangan simpatis dan aktivasi RAA memacu mekanisme Frank-Starling melalui
peningkatan volume diastolik ventrikel sampai tahap tertentu dan pada akhirnya akan
terjadi gangguan kontraksi miokard (penurunan / gangguan fungsi sistolik).
Iskemia miokard (asimptomatik, angina pektoris, infark jantung, dll.) dapat terjadi
karena kombinasi akselerasi proses aterosklerosis dengan peningkatan kebutuhan oksigen
miokard akibat LVH. LVH, iskemia miokard dan gangguan fungsi endotel merupakan
faktor utama kerusakan miosit pada hipertensi.
Evaluasi pasien hipertensi/penyakit jantung hipertensi ditujukan untuk:
 Meneliti kemungkinan hipertensi sekunder
 Menetapkan keadaan pra-pengobatan
 Menetapkan faktor-faktor yang mempengaruhi pengobatan atau faktor yang akan
berubah karena pengobatan
 Menetapkan kerusakan organ target
 Menetapkan faktor risiko PJK lainnya

Manifestasi Klinis
Pada tahap awal, seperti hipertensi pada umumnya kebanyakan pasien tidak ada
keluhan. Bila simptomatik, maka biasanya dapat berupa:
1. Peninggian tekanan darah itu sendiri, yang disertai berdebar-debar, rasa melayang
(dizzy) dan kemungkinan impoten
2. Mudah lelah, sesak nafas, sakit dada (bisa tanpa/disertai iskemia miokard atau
diseksi aorta), bengkak kedua kaki atau perut (apabila telah mengalami gagal
jantung kiri).
3. Gangguan vaskular lainnya seperti epistaksis, hematuria, pandangan kabur karena
perdarahan retina, dan transient cerebral ischemic.
4. Penyakit dasar seperti pada hipertensi sekunder: polidipsi, poliuria, dan kelemahan
otot pada aldosteronisme primer, peningkatan BB dengan emosi yang labil pada
sindroma Cushing. Feokromasitoma dapatmuncul dengan keluhan episode sakit
kepala, palpitasi, banyak keringat dan rasa melayang saat berdiri (postural dizzy).

Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik dimulai dengan melihat keadaan umum, memperhatikan apakah
ada keadaan khusus seperti: Cushing, Feokromasitoma, perkembangan tidak
proposionalnya tubuh atas dibanding bawah yang sering ditemukan pada koarktasio aorta.
Pemeriksaan tanda vital dengan pengukuran tekanan darah di tangan kiri dan kanan saat
posisi tidur dan berdiri. Pada pemeriksaan yang spesifik harus dilakukan pemeriksaan:
1. Pemeriksaan jantung untuk mencari pembesaran jantung (umumnya melebar ke
lateral) ditujukan untuk menilai LVH dan tanda-tanda gagal jantung. Impuls apeks
yang prominen. Bunyi jantung S2 yang meningkat akibat kerasnya penutupan
katup aorta. Kadang ditemukan murmur diastolik akibat regurgitasi aorta. Bunyi
S4 (gallop atrial atau presistolik) dapat ditemukan akibat dari peninggian tekanan
atrium kiri. Sedangkan bunyi S3 (gallop ventrikel atau prediastolik) ditemukan
bila tekanan akhir diastolik ventrikel kiri meningkat akibat dilatasi ventrikel kiri.
Bila S3 dan S4 ditemukan maka disebut summation gallop.
2. Paru-paru perlu diperhatikan apakah ada suara nafas tambahan seperti ronki basah
atau ronki kering/mengi. Bila ada suara ronki basah halus pada kedua basal paru,
maka perlu dicurigai telah terjadi kegagalan pada ventrikel kiri.
3. Pemeriksaan perut ditujukan untuk mencari aneurisma, pembesaran hati, limpa,
ginjal dan asites. Auskultasi bising sekitar kiri kanan umbilicus (renal artery
stenosis).
4. Arteri radialis, arteri femoralis dan arteri dorsalis pedia harus diraba. Tekanan
darah di betis harus diukur minimal sekali pada hipertensi umur muda (kurang dari
30 tahun).
5. Funduskopi dengan klasifikasi Keith-Wagener-Barker sangat berguna untuk
menilai prognosis. Palpasi dan auskultasi arteri karotis untuk menilai stenosis atau
oklusi.

Pemeriksaan Penunjang
 Urinalisis: Protein, leukosit, eritrosit, dansilinder
 Hemoglobin & Hematokrit
 Elektrolit darah: Kalium, Ureum dan kreatinin, Gula darah puasa
 Elektrokardiografi (EKG) efektif pada 20-50% pasien (gold standar). Ada beberapa
kriteria untuk menegakkan diagnosis HHD dengan ditemukannya tanda LVH, yakni
dari kriteria:
o Sokolow Lyonn: SV1 + RV5/6> 35 mm
o LV Strain: ST Depressi atau T-Inverted pada Lead V5 dan V6
o Cornell Criteria
- R pada AvL dan SV3> 28 mm (Untuk laki-laki)
- R pada AvL dan SV3> 20 mm (Untuk perempuan)
o Romhilt-Estes
Untuk poin ≥ 5 menunjukkan adanya HVK, jika poin 4 maka probable.
Kriteria EKG Poin
Kriteria Voltase (salah satu):
1. R atau S pada sadapan ekstremitas ≥ 20 mm
3
2. S pada V1 atau V2 ≥ 30 mm
3. R pada V5 atau V6 ≥ 30 mm
Abnormalitas pada segmen ST-T :
Tanpa Digitalis 3
Dengan Digitalis 1
Pembesaran atrium kiri pada V1 3
Deviasi aksis kiri 2
Durasi QRS > 0,09 detik 1
Delayed intrinsicoid deflection di V5 atau V6 (> 0,05
1
detik) / VAT
TOTAL POIN :

Apabila pasien mampu secara finansial, maka dapat dilakukan pemeriksaan:


 Thyroid Stimulating Hormone (TSH)
 Leukosit darah
 Profil Lipid: Trigliserida, High Density Lipoprotein(HDL),Low Density
Lipoprotein (LDL),dan total kolestrol
 Foto-Thoraks PA
 Ekokardiografi, dilakukan karena dapat menemukan LVH lebih dini dan lebih
spesifik (spesifitas sekitar 95-100%).
 Indikasi ekokardiografi pada pasien hipertensi adalah:
- Konfirmasi gangguan jantung atau murmur
- Hipertensi dengan kelainan katup
- Hipertensi pada anak atau remaja
- Hipertensi saat aktivitas, tetapi normal saat istirahat
- Hipertensi disertai sesak nafas yang belum jelas sebabnya (gangguan fungsi
sistolik atau diastolik)
 Ekokardiografi-Doppler dapat dipakai untuk menilai fungsi diastolik (gangguan
fungsi relaksasi ventrikel kiri, pseudo-normal atau tipe restriktif).

Penatalaksanaan
Tatalaksana umum hipertensi mengacu pada tuntunan umum (Joint National
Committe VII 2003). Pengelolaan lipid agresif dan pemberian aspirin sangat bermanfaat
untuk mencegah komplikasi lebih lanjut. Pasien hipertensi pasca infark miokard sangat
mendapat manfaat dari kontrol dengan pengobatan dengan Beta-Blocker, ACE Inhibitor
atau Anti-Aldosterone.
Pasien hipertensi dengan risiko tinggi PJK mendapat manfaat dengan pengobatan
diuretik, Beta-Blocker dan penghambat kalsium. Pasien hipertensi dengan gangguan
fungsi ventrikel mendapat manfaat tinggi dengan pengobatan diuretik,Angiotensin
Reseptor Blocker (ARB), ACE Inhibitor, Beta-Blocker dan Antagonis Aldosterone. Bila
sudah dalam tahap gagal jantung hipertensi, maka prinsip pengobatannya sama dengan
pengobatan gagal jantung yang lain yaitu diuretik, Angiotensin Converting Enzyme
Inhibitor (ACE-I), ARB, Beta-Blocker dan Antagonis Aldosterone.

3. DIABETES MILITUS TIPE 2

A. Definisi
Diabetes Melitus adalah penyakit kelainan metabolik yang dikarakteristikan
dengan hiperglikemia kronis serta kelainan metabolisme karbohidrat, lemak dan
protein diakibatkan oleh kelainan sekresi insulin, kerja insulin maupun keduanya.
Hiperglikemia kronis pada diabetes melitus akan disertai dengan kerusakan,ganguan
fungsi beberapa organ tubuh khususnya mata, ginjal, saraf, jantung, dan pembuluh
darah. Walaupun pada diabetes melitus ditemukan ganguan metabolisme semua
sumber makanan tubuh kita, kelainan metabolisme yang paling utama ialah kelainan
metabolisme karbohidarat. Oleh karena itu diagnosis diabetes melitus selalu
berdasarkan tinginya kadar glukosa dalam plasma darah.
Diabetes Melitus tipe 2, disebabkan insulin yang ada tidak dapat bekerja dengan
baik, kadar insulin dapat normal, rendah atau bahkan meningkat tetapi fungsi insulin
untuk metabolisme glukosa tidak ada atau kurang. Karena insulin tetap dihasilkan
oleh sel-sel beta pankreas, maka diabetes mellitus tipe 2 dianggap sebagai non insulin
dependent diabetes mellitus. Akibatnya glukosa dalam darah tetap tinggi sehingga
terjadi hiperglikemia, dan 75% dari penderita DM type II ini dengan obesitas atau
kegemukan dan biasanya diketahui DM setelah usia 30 tahun.

B. Epidemiologi
Prevalensi DM sulit ditentukan karena standar penetapan diagnosisnya berbeda-
beda. Berdasarkan kriteria American Diabetes Asociation tahun 2012 (ADA 2012),
sekitar 10,2 juta orang di Amerika Serikat menderita DM. Sementara itu, di Indonesia
prevalensi DM sebesar 1,5-2,3% penduduk usia >15 tahun,bahkan di daerah Manado
prevalensi DM sebesar 6,1%.
Kejadian DM Tipe 2 pada wanita lebih tinggi daripada laki-laki. Wanita lebih
berisiko mengidap diabetes karena secara fisik wanita memiliki peluang peningkatan
indeks masa tubuh yang lebih besar. Hasil Riset Kesehatan Dasar pada tahun 2008,
menunjukan prevalensi DM di Indonesia membesar sampai 57%, pada tahun 2012
angka kejadian diabetes melitus di dunia adalah sebanyak 371 juta jiwa, dimana
proporsi kejadian diabetes melitus tipe 2 adalah 95% dari populasi dunia yang
menderita diabetes mellitus dan hanya 5% dari jumlah tersebut menderita diabetes
mellitus tipe 1.
Pemeriksan laboratorium bagi penderita DM diperlukan untuk menegakan
diagnosis serta memonitor terapi dan timbulnya komplikasi. Dengan demikian,
perkembangan penyakit bisa dimonitor dan dapat mencegah komplikasi.

C. Klasifikasi
Klasifikasi Diabetes Melitus, yaitu:
1. Diabetes Melitus Tipe 1
DM ini disebabkan oleh kekurangan insulin dalam darah yang terjadi akibat
kerusakan dari sel beta pankreas. Gejala yang menonjol adalah sering kencing
(terutama malam hari), sering lapar dan sering haus, sebagian besar penderita
DM tipe ini berat badannya normal atau kurus. Biasanya terjadi pada usia muda
dan memerlukan insulin seumur hidup.
2. Diabetes Melitus Tipe 2
DM ini disebabkan insulin yang ada tidak dapat bekerja dengan baik, kadar insulin
dapat normal, rendah atau bahkan meningkat tetapi fungsi insulin untuk
metabolisme glukosa tidak ada atau kurang. Akibatnya glukosa dalam darah
tetap tinggi sehingga terjadi hiperglikemia, dan 75% dari penderita DM type II
ini dengan obesitas atau kegemukan dan biasanya diketahui DM setelah usia 30
tahun.
3. Diabetes Melitus Tipe lain
a. Defek genetik pada fungsi sel beta
b. Defek genetik pada kerja insulin
c. Penyakit eksokrin pankreas
d. Endokrinopati
e. Diinduksi obat atau zat kimia
f. Infeksi
g. Imunologi
4. DM Gestasional

D. Fisiologi
 Pengaturan Homeostasis Glukosa
Homeostasis glukosa mencerminkan keseimbangan antara produksi glukosa
hepatik dan pengambilan glukosa perifer dan pemanfaatannya. Insulin adalah
regulator terpenting dari keseimbangan metabolisme ini, tapi sinyal saraf, sinyal
metabolik, dan hormon lainnya (misalnya, glukagon) menghasilkan pengontrolan
terpadu untuk pasokan dan pemanfaatan glukosa.
Organ yang mengatur glukosa dan lipid berkomunikasi dengan mekanisme saraf
dan humoral dengan lemak dan otot memproduksi adipokines, myokines, dan
metabolit yang mempengaruhi fungsi hati. Dalam keadaan puasa, kadar insulin yang
rendah meningkatkan produksi glukosa dengan mempromosikan glukoneogenesis
hepatik dan glikogenolisis dan mengurangi penyerapan glukosa di jaringan sensitif
insulin (otot rangka dan lemak), sehingga meningkatkan mobilisasi prekursor
disimpan seperti asam amino dan asam lemak bebas (lipolisis).

Gambar 3. Regulasi Homeostasis Glukosa.


Glukagon, disekresikan oleh sel alfa pankreas ketika glukosa darah atau insulin
tingkat rendah, merangsang glikogenolisis dan glukoneogenesis oleh hati dan medula
ginjal. Pada saat postprandial, beban glukosa memunculkan kenaikan insulin dan
penurunan glukagon, mengarah ke pembalikan proses ini. Insulin, suatu hormon
anabolik, mempromosikan penyimpanan karbohidrat dan lemak dan sintesis protein.
Bagian utama dari glukosa postprandial digunakan oleh otot rangka, efek dari
penyerapan glukosa yang dirangsang oleh insulin. Jaringan lain, terutama otak,
menggunakan glukosa dalam model insulin insulin. Faktor-faktor yang disekresi oleh
miosit skeletal (irisin), adiposit (leptin, resistin, adiponektin, dll), dan tulang juga
mempengaruhi homeostasis glukosa.
 Biosintesis Insulin
Insulin diproduksi di sel beta dari pulau pankreas. Hal ini awalnya disintesis
sebagai rantai tunggal asam amino-86 prekursor polipeptida, preproinsulin.
Pengolahan proteolitik selanjutnya menghilangkan sinyal peptida terminal amino,
sehingga menimbulkan proinsulin. Proinsulin secara struktural terkait dengan faktor
pertumbuhan seperti insulin I dan II, yang mengikat lemah pada reseptor insulin.
Pembelahan fragmen 31, residu internal dari proinsulin menghasilkan peptida C dan
A (21 asam amino) dan B (30 asam amino) rantai insulin, yang dihubungkan oleh
ikatan disulfida. Molekul insulin matang dan C peptida disimpan bersama-sama dan
untuk disekresikan dari butiran sekresi dalam sel beta. Karena C peptida dibersihkan
lebih lambat dari insulin, itu adalah penanda yang berguna sekresi insulin dan
memungkinkan diskriminasi sumber endogen dan eksogen insulin dalam evaluasi
hipoglikemia.
 Sekresi Insulin
Glukosa adalah tombol pengatur sekresi insulin oleh sel beta pankreas,
meskipun asam amino, keton, berbagai nutrisi, peptida gastro-intestinal, dan
neurotransmitter juga mempengaruhi sekresi insulin. Kadar glukosa >3,9 mmol L (70
mg/dL) merangsang sintesis insulin, terutama dengan meningkatkan protein
translation dan processing. Glukosa menstimulasi sekresi insulin dimulai dengan
transportasi ke dalam sel beta oleh transporter glukosa fasilitatif.
Gambar 4. Mekanisme glukosa merangsang sekresi insulin dan kelainan pada diabetes.
Fosforilasi glukosa oleh glukokinase adalah langkah tingkat pembatas yang
mengontrol glukosa dalam regulasi sekresi insulin.
 Aksi Insulin
Setelah insulin disekresikan ke dalam sistem vena portal, ~50% dihapus dan
terdegradasi oleh hati. Insulin yang tak terekstraksi memasuki sirkulasi sistemik di
mana ia mengikat reseptor di situs sasaran. Insulin mengikat reseptor yang akan
merangsang aktivitas tyrosine kinase intrinsik, yang mengarah ke autofosforilasi
reseptor dan perekrutan molekul sinyal intracellular, seperti substrat reseptor insulin
(IRS). IRS dan protein adaptor lainnya menginisiasi kaskade kompleks reaksi
phosphorylation dan defosforilasi, mengakibatkan metabolisme luas dan efek
mitogenik insulin. Sebagai contoh, aktivasi dari fosfatidilinositol-3'-kinase (PI-3-
kinase)

E. Patofisiologi DM Tipe II
Diabetes melitus merupakan penyakit yang disebabkan oleh adanya kekurangan
insulin secara relatif maupun absolut. Defisiensi insulin dapat terjadi melalui 3 jalan,
yaitu:
a. Rusaknya sel-sel B pankreas karena pengaruh dari luar (virus, zat kimia, dll)
b. Desensitasi atau penurunan reseptor glukosa pada kelenjar pankreas
c. Desensitasi atau kerusakan reseptor insulin di jaringan perifer.
Dalam patofisiologi DM tipe 2 terdapat beberapa keadaan yang berperan yaitu:
- Resistensi insulin
- Disfungsi sel B pancreas
DM tipe 2 mungkin mencakup berbagai gangguan dengan fenotipe umum dari
hiperglikemia.
- Pertimbangan Genetik
DM tipe 2 memiliki komponen genetik yang kuat. Kesesuaian DM tipe 2 pada
kembar identik adalah antara 70 dan 90%. Individu dengan orangtua dengan DM tipe
2 memiliki peningkatan risiko diabetes; jika kedua orang tua memiliki DM tipe 2,
risiko mendekati 40%. Resisten insulin, seperti yang ditunjukkan oleh penggunaan
glukosa berkurang di otot rangka, hadir dalam banyak kerabat nondiabetes, pertama-
tingkat individu dengan DM tipe 2. Penyakit ini poligenik dan multifaktor, karena
selain kerentanan genetik, faktor lingkungan (seperti obesitas, gizi, dan aktivitas fisik)
memodulasi fenotip. Lingkungan di dalam rahim juga berkontribusi, dan baik
ditambah atau dikurangi berat badan lahir meningkatkan risiko DM tipe 2 di usia
dewasa. Gen yang mempengaruhi mengetik 2 DM yang tidak lengkap diidentifikasi,
namun studi asosiasi genome baru-baru ini telah mengidentifikasi sejumlah besar gen
yang menyampaikan risiko yang relatif kecil untuk tipe 2 DM (>70 gen, masing-
masing dengan risiko relatif 1,06-1,5).
DM tipe 2 ditandai dengan gangguan sekresi insulin, resistensi insulin, produksi
glukosa hepatik yang berlebihan, dan metabolisme lemak yang abnormal. Obesitas,
terutama visceral atau pusat (yang dibuktikan dengan rasio pinggul-pinggang), adalah
sangat umum di DM tipe 2 (≥80% dari pasien mengalami obesitas). Pada tahap awal
dari gangguan, toleransi glukosa tetap mendekati normal, meskipun resistensi insulin,
karena sel-sel beta pankreas mengimbanginya dengan meningkatkan produksi insulin.

Gambar 5. Perubahan metabolik selama pengembangan diabetes mellitus tipe 2.


Sebagai resistensi insulin dan kemajuan kompensasi hiperinsulinemia, pulau
pankreas pada individu tertentu tidak dapat mempertahankan keadaan
hiperinsulinemia. IGT, ditandai dengan peningkatan glukosa postprandial. Penurunan
lebih lanjut dalam sekresi insulin dan peningkatan hepatik memimpin produksi
glukosa untuk diabetes yang nyata dengan hiperglikemia puasa. Pada akhirnya,
kegagalan sel beta terjadi kemudian. Meskipun kedua resistensi insulin dan gangguan
sekresi insulin berkontribusi pada patogenesis DM tipe 2, kontribusi relatif dari
masing-masing bervariasi dari individu ke individu.
- Abnormalitas Metabolik
Abnormalitas Metabolisme Jaringan Otot dan Lemak
Resistensi insulin, penurunan kemampuan insulin untuk bertindak secara efektif
pada jaringan target (terutama otot, hati, dan lemak), merupakan fitur yang menonjol
dari DM tipe 2 dan hasil dari kombinasi kerentanan genetik dan obesitas. Resistensi
insulin relatif, karena beredarnya tingkat insulin yang supranormal akan menormalkan
glukosa plasma. Pada kurva respon dosis insulin menunjukkan pergeseran ke kanan,
menunjukkan berkurangnya sensitivitas, dan respon maksimal berkurang,
menunjukkan penurunan secara keseluruhan dalam penggunaan glukosa maksimum
(30-60% lebih rendah dari pada individu normal). Resistensi insulin mengganggu
penggunaan glukosa oleh jaringan sensitif insulin dan meningkatkan output glukosa
hepatik; kedua efek berkontribusi pada terjadinya hiperglikemia.
Peningkatan output glukosa hepatik terutama menyumbang peningkatan tingkat
GDP, sedangkan penurunan hasil penggunaan glukosa perifer di hiperglikemia
postprandial. Pada otot rangka, ada penurunan lebih besar dalam penggunaan glukosa
nonoxidative (pembentukan glikogen) daripada metabolisme glukosa oksidatif melalui
glikolisis. metabolisme glukosa pada jaringan independen insulin tidak diubah dengan
DM tipe 2.
Mekanisme molekuler yang tepat mengarah ke resistensi insulin pada DM tipe 2
belum dijelaskan. Tingkat reseptor insulin dan aktivitas tyrosine kinase di otot rangka
berkurang, tetapi perubahan ini kemungkinan besar akibat hiperinsulinemia sekunder
dan bukan defek primer. Oleh karena itu, defek "postreseptor" pada insulin diatur oleh
fosforilasi/defosforilasi tampaknya memainkan peran dominan dalam resistensi
insulin. Kelainan termasuk akumulasi lipid dalam miosit skeletal, yang dapat
mengganggu fosforilasi oksidatif mitokondria dan mengurangi insulin merangsang
produksi ATP mitokondria. Gangguan oksidasi asam lemak dan akumulasi lipid
dalam miosit tulang juga dapat menghasilkan spesies oksigen reaktif seperti peroksida
lipid. Dari catatan, tidak semua jalur transduksi sinyal insulin resisten terhadap efek
insulin (misalnya, mereka mengendalikan pertumbuhan sel dan diferensiasi
menggunakan mitogenik jalur activated protein kinase). Akibatnya, hiperinsulinemia
dapat meningkatkan aksi insulin melalui jalur ini, berpotensi mempercepat kondisi
diabetes terkait seperti aterosklerosis.
Obesitas menyertai DM tipe 2, khususnya di lokasi pusat atau visceral, dianggap
bagian dari proses patogenik. Selain ini depot lemak putih, manusia sekarang diakui
memiliki lemak coklat, yang memiliki kapasitas termogenik yang jauh lebih besar.
Upaya sedang dilakukan untuk meningkatkan kegiatan atau kuantitas lemak coklat
(mis, myokine, irisin, dapat mengkonversi putih untuk lemak coklat). Massa adiposit
meningkat menyebabkan peningkatan kadar beredar asam lemak bebas dan produk sel
lemak lainnya. Misalnya, adipocytes mengeluarkan sejumlah produk biologis (asam
lemak bebas nonesterified, retinol-binding protein 4, leptin, TNF-α, resistin, IL-6, dan
adiponektin). Selain mengatur berat badan, nafsu makan, dan pengeluaran energi,
adipokines juga memodulasi sensitivitas insulin.

Gangguan Sekresi Insulin


Sekresi insulin dan sensitivitas saling terkait. Pada DM tipe 2, sekresi insulin
awalnya meningkatkan respons terhadap resistensi insulin untuk menjaga toleransi
glukosa normal. Awalnya, defek sekretori insulin ringan dan selektif melibatkan
glukosa yang merangsang sekresi insulin, termasuk penrunan pada fase sekretori
pertama. Respon terhadap secretagogues nonglucose lainnya, seperti arginin, yang
diawetkan, tapi fungsi beta keseluruhan berkurang sebanyak 50% pada awal DM tipe
2. Kelainan pada pengolahan proinsulin tercermin dengan peningkatan sekresi
proinsulin di DM tipe 2. Akhirnya, defek sekretori insulin adalah progresif. Alasan
penurunan kapasitas sekresi insulin dalam DM tipe 2 tidak jelas. Asumsinya adalah
bahwa defek genetik kedua menyebabkan kegagalan sel beta. Massa sel beta turun
sekitar 50% pada individu dengan lama DM tipe 2. Islet amyloid polipeptida atau
amylin, disekresikan oleh sel beta, membentuk deposit amyloid fibril ditemukan di
pulau dari individu dengan berdiri lama DM tipe 2.

Peningkatan Glukosa Hepatik dan Produksi Lipid


Pada DM tipe 2, resistensi insulin di hati mencerminkan kegagalan
hiperinsulinemia untuk menekan glukoneogenesis, yang menghasilkan puasa
hiperglikemia dan penurunan penyimpanan glikogen oleh hati di postprandial.
Peningkatan produksi glukosa hepatik terjadi di awal perjalanan diabetes, meskipun
mungkin setelah timbulnya kelainan sekresi insulin dan resistensi insulin di otot
rangka. Sebagai hasil dari resistensi insulin pada jaringan adiposa, lipolisis dan fluks
asam lemak bebas dari adipocytes meningkat, yang menyebabkan peningkatan lipid
(very low density lipoprotein [VLDL] dan trigliserida) sintesis dalam hepatosit.
penyimpanan lipid ini atau steatosis di hati dapat menyebabkan penyakit hati
berlemak nonalkohol dan tes fungsi hati yang abnormal. Hal ini juga bertanggung
jawab untuk dislipidemia ditemukan pada DM tipe 2 (peningkatan trigliserida,
mengurangi high density lipoprotein [HDL], dan peningkatan padat low density
lipoprotein [LDL] partikel kecil).

Secara deskriptif, tiga fase dapat dikenali pada urutan klinis yang biasa. Pertama,
glukosa plasma tetap normal walaupun terlihat resistensi insulin karena kadar insulin
meningkat. Pada fase kedua, resistensi insulin cenderung memburuk sehingga
meskipun konsentrasi insulin meningkat, tampak intoleransi glukosa dalam bentuk
hiperglikemia setelah makan. Pada fase ketiga, resistensi insulin tidak berubah, tetapi
sekresi insulin menurun, menyebabkan hiperglikemia puasa dan diabetes yang nyata.

F. Faktor Resiko
Faktor Resiko Diabetes Melitus:
1. Obesitas
Terdapat korelasi bermakna antara obesitas dengan kadar glukosa darah, pada
derajat kegemukan dengan IMT > 23 dapat menyebabkan peningkatan kadar glukosa
darah menjadi 200mg%.
2. Hipertensi
Peningkatan tekanan darah pada hipertensi berhubungan erat dengan tidak
tepatnya penyimpanan garam dan air, atau meningkatnya tekanan dari dalam tubuh
pada sirkulasi pembuluh darah perifer.
3. Riwayat Keluarga Diabetes Mellitus
Seorang yang menderita Diabetes Mellitus diduga mempunyai gen diabetes.
Diduga bahwa bakat diabetes merupakan gen resesif. Hanya orang yang bersifat
homozigot dengan gen resesif tersebut yang menderita Diabetes Mellitus.
4. Dislipedimia
Adalah keadaan yang ditandai dengan kenaikan kadar lemak darah (Trigliserida
> 250 mg/dl). Terdapat hubungan antara kenaikan plasma insulin dengan rendahnya
HDL (< 35 mg/dl) sering didapat pada pasien Diabetes.
5. Umur
Berdasarkan penelitian, usia yang terbanyak terkena Diabetes Mellitus adalah >
45 tahun.
6. Riwayat persalinan
Riwayat abortus berulang, melahirkan bayi cacat atau berat badan bayi > 4000
gram.
7. Alkohol dan Rokok
Perubahan-perubahan dalam gaya hidup berhubungan dengan peningkatan
frekuensi DM tipe 2. Walaupun kebanyakan peningkatan ini dihubungkan dengan
peningkatan obesitas dan pengurangan ketidakaktifan fisik, faktor-faktor lain yang
berhubungan dengan perubahan darilingkungan tradisional kelingkungan kebarat-
baratan yang meliputi perubahan-perubahan dalam konsumsi alkohol dan rokok,
juga berperan dalam peningkatan DM tipe 2. Alkohol akan mengganggu
metabolisme gula darah terutama pada penderita DM, sehingga akan mempersulit
regulasi gula darah dan meningkatkan tekanan darah.

G. Manifestasi Klinik
Gejala diabetes melitus dibedakan menjadi akut dan kronik. Gejala akut
diabetes melitus yaitu: Poliphagia (banyak makan), polidipsia (banyak minum),
poliuria (banyak kencing/sering kencing di malam hari), nafsu makan bertambah
namun berat badan turun dengan cepat (5-10 kg dalam waktu 2-4 minggu), mudah
lelah.
Gejala kronik diabetes melitus yaitu: Kesemutan, kulit terasa panas atau seperti
tertusuk tusuk jarum, rasa kebas di kulit, kram, kelelahan, mudah mengantuk,
pandangan mulai kabur, gigi mudah goyah dan mudah lepas, kemampuan seksual
menurun bahkan pada pria bisa terjadi impotensi, pada ibu hamil sering terjadi
keguguran atau kematian janin dalam kandungan atau dengan bayi berat lahir lebih
dari 4kg.
Patofisiologi gejala DM
Pada keadaan defisiensi insulin relatif, masalah yang akan ditemui terutama
adalah hiperglikemia dan hiperosmolaritas yang terjadi akibat efek insulin yang tidak
adekuat.
Hiperglikemia pada diabetes melitus terjadi akibat penurunan pengambilan
glukosa darah ke dalam sel target, dengan akibat peningkatan konsentrasi glukosa
darah setinggi 300 sampai 1200 mg per 100ml. Hal ini juga diperberat oleh adanya
peningkatan produksi glukosa dari glikogen hati sebagai respon tubuh terhadap
kelaparan intrasel. Keadaan defisiensi glukosa intrasel ini juga akan menimbulkan
rangsangan terhadap rasa lapar sehingga frekuensi rasa lapar meningkat (polifagi).
Kadar glukosa plasma yang tinggi (di atas 180 mg%) yang melewati batas
ambang bersihan glukosa pada filtrasi ginjal, yaitu jika jumlah glukosa yang masuk
tubulus ginjal dalam filtrat meningkat kira-kira diatas 225mg/menit, maka glukosa
dalam jumlah bermakna mulai dibuang atau terekskresi ke dalam urin yang disebut
glukosuria. Keberadaan glukosa dalam urin menyebabkan keadaan diuresis osmotik
yang menarik air dan mencegah reabsorbsi cairan oleh tubulus sehingga volume urin
meningkat dan terjadilah poliuria. Karena itu juga terjadi kehilangan Na dan K
berlebih pada ginjal.

H. Diagnosis
Keluhan dan gejala yang khas ditambah hasil pemeriksaan glukosa darah
sewaktu >200 mg/dl, glukosa darah puasa >126 mg/dl sudah cukup untuk
menegakkan diagnosis DM. Untuk diagnosis DM dan gangguan toleransi glukosa
lainnya diperiksa glukosa darah 2 jam setelah beban glukosa. Sekurang-kurangnya
diperlukan kadar glukosa darah 2 kali abnormal untuk konfirmasi diagnosis DM pada
hari yang lain atau Tes Toleransi Glukosa Oral (TTGO) yang abnormal. Konfirmasi
tidak diperlukan pada keadaan khas hiperglikemia dengan dekompensasi metabolik
akut, seperti ketoasidosis, berat badan yang menurun cepat.
Tabel 1. Kriteria Diagnosis DM

Ada perbedaan antara uji diagnostik DM dan pemeriksaan penyaring. Uji


diagnostik dilakukan pada mereka yang menunjukkan gejala DM, sedangkan
pemeriksaan penyaring bertujuan untuk mengidentifikasi mereka yang tidak bergejala,
tetapi punya resiko DM (usia > 45 tahun, berat badan lebih, hipertensi, riwayat
keluarga DM, riwayat abortus berulang, melahirkan bayi > 4000 gr, kolesterol HDL
<= 35 mg/dl, atau trigliserida ≥ 250 mg/dl). Uji diagnostik dilakukan pada mereka
yang positif uji penyaring.
Pemeriksaan penyaring dapat dilakukan melalui pemeriksaan kadar glukosa
darah sewaktu atau kadar glukosa darah puasa, kemudian dapat diikuti dengan tes
toleransi glukosa oral (TTGO) standar.

Gambar 6. Langkah-langkah diagnostik DM dan gangguan toleransi


glukosa

I. Tatalaksana
Tujuan Tatalaksana
- Jangka pendek: menghilangkan keluhan dan tanda DM, mempertahankan rasa
nyaman, dan mencapai target pengendalian glukosa darah.
- Jangka panjang: mencegah dan menghambat progresivitas penyulit mikroangiopati,
makroangiopati, dan neuropati.
- Tujuan akhir pengelolaan adalah turunnya morbiditas dan mortalitas DM.

Dasar-dasar Pengobatan Terapi DM Tipe 2


Resistensi insulin merupakan dasar dari diabetes tipe 2, dan kegagalan sel β
mulai terjadi sebelum berkembangnya diabetes yaitu dengan terjadinya
ketidakseimbangan antara resistensi insulin dan sekresi insulin. De Fronzo
menyatakan bahwa fungsi sel β menurun sebesar kira-kira 20% pada saat terjadi
intoleransi glukosa. Dengan demikian jelas bahwa pendekatan pengobatan DM tipe 2
harus memperbaiki resistensi insulin dan memperbaiki fungsi sel β.
Hal yang mendasar dalam pengel olaan Diabetes mellitus tipe 2 adalah
perubahan pola hidup yaitu pola makan yang baik dan olahraga teratur. Dengan atau
tanpa terapi farmakologik, pola makan yang seimbang dan olahraga teratur (bila tidak
ada kontraindikasi) tetap harus dijalankan.

Target Glikemik
Penelitian UKPDS (United Kingdom Prospective Diabetes Study) dan Studi
Kumamoto pada pasien DM tipe 2 menunjukkan target glikemik terapi DM tipe 2
yang menghasilkan perbaikan prognosis jangka panjang. Hasil penelitian klinik dan
epidemiologik menunjukkan bahwa dengan menurunkan kadar glukosa maka kejadian
komplikasi mikrovaskuler dan neuropati akan menurun.
Target glikemik yang paling baru adalah dari ADA (American Diabetes
Association) yang dibuat berdasarkan kepraktisan dan projeksi penurunan kejadian
komplikasi, yaitu A1c <7%.

Pilar Penatalaksanaan DM
1. Edukasi
2. Terapi gizi medis
3. Latihan jasmani
4. Intervensi farmakologis
5. Cangkok pankreas
Pengelolaan DM dimulai dengan pengaturan makan dan latihan jasmani selama
beberapa waktu (24 minggu). Apabila kadar glukosa darah belum mencapai sasaran,
dilakukan intervensi farmakologis dengan obat hipoglikemik oral (OHO) dan atau
suntikan insulin. Pada keadaan tertentu, OHO dapat segera diberikan secara tunggal
atau langsung kombinasi, sesuai indikasi. Dalam keadaan dekompensasi metabolik
berat, misalnya ketoasidosis, stres berat, berat badan yang menurun dengan cepat, dan
adanya ketonuria, insulin dapat segera diberikan.
1. Edukasi
Diabetes tipe 2 umumnya terjadi pada saat pola gaya hidup dan perilaku telah
terbentuk dengan mapan. Pemberdayaan penyandang diabetes memerlukan partisipasi
aktif pasien, keluarga dan masyarakat. Tim kesehatan mendampingi pasien dalam
menuju perubahan perilaku sehat. Untuk mencapai keberhasilan perubahan perilaku,
dibutuhkan edukasi yang komprehensif dan upaya peningkatan motivasi. Pengetahuan
tentang pemantauan glukosa darah mandiri, tanda dan gejala hipoglikemia serta cara
mengatasinya harus diberikan kepada pasien. Pemantauan kadar glukosa darah dapat
dilakukan secara mandiri, setelah mendapat pelatihan khusus.
2. Terapi Nutrisi Medis
- Terapi Nutrisi Medis (TNM) merupakan bagian dari penatalaksanaan diabetes
secara total. Kunci keberhasilan TNM adalah keterlibatan secara menyeluruh
dari anggota tim (dokter, ahli gizi, petugas kesehatan yang lain serta pasien dan
keluarganya).
- Setiap penyandang diabetes sebaiknya mendapat TNM sesuai dengan
kebutuhannya guna mencapai sasaran terapi.
- Prinsip pengaturan makan pada penyandang diabetes hampir sama dengan
anjuran makan untuk masyarakat umum yaitu makanan yang seimbang dan
sesuai dengan kebutuhan kalori dan zat gizi masingmasing individu. Pada
penyandang diabetes perlu ditekankan pentingnya keteraturan makan dalam hal
jadwal makan, jenis, dan jumlah makanan, terutama pada mereka yang
menggunakan obat penurun glukosa darah atau insulin.
Komposisi makanan yang dianjurkan terdiri dari:
Karbohidrat
- Karbohidrat yang dianjurkan sebesar 4565% total asupan energi.
- Pembatasan karbohidrat total <130 g/hari tidak dianjurkan
- Makanan harus mengandung karbohidrat terutama yang berserat tinggi.
- Gula dalam bumbu diperbolehkan sehingga penyandang diabetes dapat makan sama
dengan makanan keluarga yang lain.
- Sukrosa tidak boleh lebih dari 5% total asupan energi.
- Pemanis alternatif dapat digunakan sebagai pengganti gula, asal tidak melebihi batas
aman konsumsi harian (Accepted-Daily Intake)
- Makan tiga kali sehari untuk mendistribusikan asupan karbohidrat dalam sehari.
Kalau diperlukan dapat diberikan makanan selingan buah atau makanan lain sebagai
bagian dari kebutuhan kalori sehari.
Lemak
- Asupan lemak dianjurkan sekitar 2025% kebutuhan kalori. Tidak diperkenankan
melebihi 30% total asupan energi.
- Lemak jenuh < 7 % kebutuhan kalori
- Lemak tidak jenuh ganda < 10 %, selebihnya dari lemak tidak jenuh tunggal.
- Bahan makanan yang perlu dibatasi adalah yang banyak mengandung lemak jenuh
dan lemak trans antara lain: daging berlemak dan susu penuh (whole milk).
- Anjuran konsumsi kolesterol <200 mg/hari.
Protein
- Dibutuhkan sebesar 10 – 20% total asupan energi.
- Sumber protein yang baik adalah seafood (ikan, udang, cumi,dll), daging tanpa
lemak, ayam tanpa kulit, produk susu rendah lemak, kacang-kacangan, tahu, dan
tempe.
- Pada pasien dengan nefropati perlu penurunan asupan pro-tein menjadi 0,8 g/KgBB
perhari atau 10% dari kebutuhan energi dan 65% hendaknya bernilai biologiktinggi.
Natrium
- Anjuran asupan natrium untuk penyandang diabetes sama dengan anjuran untuk
masyarakat umum yaitu tidak lebih dari 3000 mg atau sama dengan 6-7 gram (1
sendok teh) garam dapur.
- Mereka yang hipertensi, pembatasan natrium sampai 2400 mg.
- Sumber natrium antara lain adalah garam dapur, vetsin, soda, dan bahan pengawet
seperti natrium benzoat dan na-trium nitrit.
Serat
- Seperti halnya masyarakat umum penyandang diabetes di-anjurkan mengonsumsi
cukup serat dari kacang-kacangan, buah, dan sayuran serta sumber karbohidrat yang
tinggi serat, karena mengandung vitamin, mineral, serat, dan bahan lain yang baik
untuk kesehatan.
- Anjuran konsumsi serat adalah ± 25 g/hari.
Pemanis alternative
- Pemanis dikelompokkan menjadi pemanis berkalori dan pemanis tak berkalori.
Termasuk pemanis berkalori adalah gula alkohol danfruktosa.
- Gula alkohol antara lain isomalt, lactitol, maltitol, mannitol, sorbitol danxylitol.
- Dalam penggunaannya, pemanis berkalori perlu diperhitungkan kandungan
kalorinya sebagai bagian dari kebutuhan kalori sehari.
- Fruktosa tidak dianjurkan digunakan pada penyandang diabetes karena efek
samping pada lemak darah.
- Pemanis tak berkaloriyang masih dapat digunakan antara lain aspartam, sakarin,
acesulfame potassium, sukralose, dan neotame.
- Pemanis aman digunakan sepanjang tidak melebihi batas aman (Accepted Daily
Intake / ADI).
Kebutuhan Kalori
Ada beberapa cara untuk menentukan jumlah kalori yang dibutuhkan
penyandang diabetes. Di antaranya adalah dengan memperhitungkan kebutuhan kalori
basal yang besarnya 2530 kalori/kgBB ideal, ditambah atau dikurangi bergantung
pada beberapa faktor seperti: jenis kelamin, umur, aktivitas, berat badan, dll.
Perhitungan berat badan Ideal (BBI) dengan rumus Brocca yang dimodifikasi
adalah sbb:
 Berat badan ideal = 90% x (TB dalam cm 100) x 1 kg.
 Bagi pria dengan tinggi badan di bawah 160 cm dan wanita di bawah 150 cm,
rumus dimodifikasi menjadi :
Berat badan ideal (BBI) = (TB dalam cm 100) x 1 kg.
BB Normal : BB ideal ± 10 %
Kurus : < BBI 10 %
Gemuk : > BBI + 10 %
Perhitungan berat badan ideal menurut Indeks Massa Tubuh (IMT).Indeks massa
tubuh dapat dihitung dengan rumus:
IMT = BB(kg)/TB(m2)
Klasifikasi IMT*
BB Kurang < 18,5
BB Normal 18,522,9
BB Lebih ≥ 23,0
*WHO WPR/IASO/IOTF dalam The Asia-Pacific Perspective:RedefiningObesity and
its Treatment.
 Dengan risiko 23,024,9
 Obes I 25,029,9
 Obes II > 30

Faktorfaktor yang menentukan kebutuhan kalori antara lain:


- Jenis Kelamin
Kebutuhan kalori pada wanita lebih kecil daripada pria. Kebutuhan kalori wanita
sebesar 25 kal/kg BB dan untuk pria sebesar 30 kal/kg BB.
- Umur
Untuk pasien usia di atas 40 tahun, kebutuhan kalori dikurangi 5% untuk dekade antara
40 dan 59 tahun, dikurangi 10% untuk dekade antara 60 dan 69 tahun dan dikurangi
20%, di atas usia 70 tahun.
- Aktivitas Fisik atau Pekerjaan
Penambahan sejumlah 10% dari kebutuhan basal diberikan pada kedaaan istirahat, 20%
pada pasien dengan aktivitas ringan, 30% dengan aktivitas sedang, dan 50% dengan
aktivitas sangat berat.
- Berat Badan
Bila kegemukan dikurangi sekitar 2030% tergantung kepada tingkat kegemukan. Bila
kurus ditambah sekitar 2030% sesuai dengan kebutuhan untuk meningkatkan BB.
Untuk tujuan penurunan berat badan jumlah kalori yang diberikan paling sedikit
10001200 kkal perhari untuk wanita dan 12001600 kkal perhari untuk pria.
3. Latihan Jasmani
Kegiatan jasmani seharihari dan latihan jasmani secara teratur (34 kali seminggu
selama kurang lebih 30 menit). Latihan jasmani selain untuk menjaga kebugaran juga
dapat menurunkan berat badan dan memperbaiki sensitivitas insulin, sehingga akan
memperbaiki kendali glukosa darah. Latihan jasmani yang dianjurkan berupa latihan
jasmani yang bersifat aerobik seperti jalan kaki, bersepeda santai, jogging, dan
berenang. Latihan jasmani sebaiknya disesuaikan dengan umur dan status kesegaran
jasmani.
Tabel 2. Aktivitas Sehari-hari

4. Terapi Farmakologi
Terapi farmakologis diberikan bersama dengan pengaturan makan dan latihan
jasmani (gaya hidup sehat). Terapi farmakologis terdiri dari obat oral dan bentuk
suntikan.
Obat Hipoglikemik Oral
Berdasarkan cara kerjanya, OHO dibagi menjadi 5 golongan:
a. Pemicu sekresi insulin (insulin secretagogue): sulfonilurea dan glinid.
1) Sulfonilurea
Obat golongan ini mempunyai efek utama meningkatkan sekresi insulin oleh sel
beta pankreas, dan merupakan pilihan utama untuk pasien dengan berat badan
normal dan kurang. Namun masih boleh diberikan kepada pasien dengan berat
badan lebih.
Untuk menghindari hipoglikemia berkepanjangan pada berbagai keadaaan seperti
orang tua, gangguan faal ginjal dan hati, kurang nutrisi serta penyakit
kardiovaskular, tidak dianjur kan penggunaan sulfonilurea kerja panjang.
2) Glinid
Glinid merupakan obat yang cara kerjanya sama dengan sulfonilurea, dengan
penekanan pada peningkatan sekresi insulin fase pertama. Golongan ini terdiri
dari 2 macam obat yaitu Repaglinid (derivat asam benzoat) dan Nateglinid
(derivat fenilalanin). Obat ini diabsorpsi dengan cepat setelah pemberian
secara oral dan diekskresi secara cepat melalui hati. Obat ini dapat mengatasi
hiperglikemia post prandial.
b. Peningkat sensitivitas terhadap insulin: metformin dan tiazolidindion.
1) Tiazolidindion
Tiazolidindion (pioglitazon) berikatan pada Peroxisome Proliferator Activated
Receptor Gamma (PPARg), suatu reseptor inti di sel otot dan sel lemak.
Golongan ini mempunyai efek menurunkan resistensi insulin dengan
meningkatkan jumlah protein pengangkut glukosa, sehingga meningkatkan
ambilan glukosa di perifer. Tiazolidindion dikontraindikasikan pada pasien
dengan gagal jantung kelas IIV karena dapat memperberat edema/retensi
cairan dan juga pada gangguan faal hati. Pada pasien yang menggunakan
tiazolidindion perlu dilakukan pemantauan faal hati secara berkala.
c. Penghambat glukoneogenesis (metformin).
1) Metformin
Obat ini mempunyai efek utama mengurangi produksi glukosa hati
(glukoneogenesis), di samping juga memperbaiki ambilan glukosa perifer.
Terutama dipakai pada penyandang diabetes gemuk. Metformin
dikontraindikasikan pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal (serum
kreatinin >1,5 mg/dL) dan hati, serta pasienpasien dengan kecenderungan
hipoksemia (misalnya penyakit serebrovaskular, sepsis, renjatan, gagal
jantung). Metformin dapat memberikan efek samping mual. Untuk
mengurangi keluhan tersebut dapat diberikan pada saat atau sesudah makan.
Selain itu harus diperhatikan bahwa pemberian metformin secara titrasi pada
awal penggunaan akan memudahkan dokter untuk memantau efek samping
obat tersebut.
d. Penghambat absorpsi glukosa: penghambat glukosidase alfa (Acarbose).
Obat ini bekerja dengan mengurangi absorpsi glukosa di usus halus, sehingga
mempunyai efek menurunkan kadar glukosa darah sesudah makan. Acarbose
tidak menimbulkan efek samping hipoglikemia. Efek samping yang paling
sering ditemukan ialah kembung dan flatulens.
e. DPPIV inhibitor.
Glucagon-like peptide-1(GLP1) merupakan suatu hormon peptida yang dihasilkan
oleh sel L di mukosa usus. Peptida ini disekresi oleh sel mukosa usus bila ada
makanan yang masuk ke dalam saluran pencernaan. GLP1 merupakan
perangsang kuat penglepasan insulin dan sekaligus sebagai penghambat sekresi
glukagon. Namun demikian, secara cepat GLP1 diubah oleh enzim dipeptidyl
peptidase4 (DPP4), menjadi metabolit GLP1(9,36)amide yang tidak aktif.
Sekresi GLP1 menurun pada DM tipe 2, sehingga upaya yang ditujukan untuk
meningkatkan GLP1 bentuk aktif merupakan hal rasional dalam pengobatan
DM tipe 2. Peningkatan konsentrasi GLP1 dapat dicapai dengan pemberian obat
yang menghambat kinerja enzim DPP4 (penghambat DPP4), atau memberikan
hormon asli atau analognya (analog incretin=GLP1 agonis). Berbagai obat yang
masuk golongan DPP4 inhibitor, mampu menghambat kerja DPP4 sehingga
GLP1 tetap dalam konsentrasi yang tinggi dalam bentuk aktif dan mampu
merangsang penglepasan insulin serta menghambat penglepasan glukagon.
Cara Pemberian OHO, terdiri dari:
- OHO dimulai dengan dosis kecil dan ditingkatkan secara bertahap sesuai respons
kadar glukosa darah, dapat diberikan sampai dosis optimal
- Sulfonilurea: 15 –30 menit sebelum makan
- Repaglinid, Nateglinid: sesaat sebelum makan
- Metformin : sebelum /pada saat / sesudah makan
- Penghambat glukosidase (Acarbose): bersama makan suapan pertama
- Tiazolidindion: tidak bergantung pada jadwal makan.
- DPPIV inhibitor dapat diberikan bersama makan dan atau sebelum makan.
Suntikan
1) Insulin
Insulin diperlukan pada keadaan:
- Penurunan berat badan yang cepat
- Hiperglikemia berat yang disertai ketosis
- Ketoasidosis diabetik
- Hiperglikemia hiperosmolar non ketotik
- Hiperglikemia dengan asidosis laktat
- Gagal dengan kombinasi OHO dosis optimal
- Stres berat (infeksi sistemik, operasi besar, IMA, stroke)
- Kehamilan dengan DM/diabetes melitus gestasional yang tidak terkendali
dengan perencanaan makan
- Gangguan fungsi ginjal atau hati yang berat
- Kontraindikasi dan atau alergi terhadap OHO
Berdasar lama kerja, insulin terbagi menjadi empat jenis, yakni:
- Insulin kerja cepat (rapid acting insulin)
- Insulin kerja pendek (short acting insulin)
- Insulin kerja menengah (intermediate actinginsulin)
- Insulin kerja panjang (long acting insulin)
- Insulin campuran tetap, kerja pendek dan menengah (premixed insulin).
Efek samping terapi insulin
- Efek samping utama terapi insulin adalah terjadinya hipoglikemia.
- Efek samping yang lain berupa reaksi imunologi terhadap insulin yang dapat
menimbulkan alergi insulin atau resistensi insulin.
Dasar pemikiran terapi insulin:
- Sekresi insulin fisiologis terdiri dari sekresi basal dan sekresi prandial. Terapi
insulin diupayakan mampu meniru pola sekresi insulin yang fisiologis.
- Defisiensi insulin mungkin berupa defisiensi insulin basal, insulin prandial
atau keduanya. Defisiensi insulin basal menyebabkan timbulnya hiperglikemia
pada keadaan puasa, sedangkan defisiensi insulin prandial akan menimbulkan
hiperglikemia setelah makan.
- Terapi insulin untuk substitusi ditujukan untuk melakukan koreksi terhadap
defisiensi yang terjadi.
- Sasaran pertama terapi hiperglikemia adalah mengendalikan glukosa darah
basal (puasa, sebelum makan). Hal ini dapat dicapai dengan terapi oral
maupun insulin. Insulin yang dipergunakan untuk mencapai sasaran glukosa
darah basal adalah insulin basal (insulin kerja sedang atau panjang).
- Penyesuaian dosis insulin basal untuk pasien rawat jalan dapat dilakukan
dengan menambah 24 unit setiap 34 hari bila sasaran terapi belum tercapai.
- Apabila sasaran glukosa darah basal (puasa) telah tercapai, sedangkan A1C
belum mencapai target, maka dilakukan pengendalian glukosa darah prandial
(mealrelated). Insulin yang dipergunakan untuk mencapai sasaran glukosa
darah prandial adalah insulin kerja cepat (rapid acting) atau insulin kerja
pendek (short acting). Kombinasi insulin basal dengan insulin prandial dapat
diberikan subkutan dalam bentuk 1 kali insulin basal + 1 kali insulin prandial
(basal plus), atau 1 kali basal + 2 kali prandial (basal 2 plus), atau 1 kali basal
+ 3 kali prandial (basal bolus).
- Insulin basal juga dapat dikombinasikan dengan OHO untuk menurunkan
glukosa darah prandial seperti golongan obat peningkat sekresi insulin kerja
pendek (golongan glinid), atau penghambat penyerapan karbohidrat dari lumen
usus (acarbose).
- Terapi insulin tunggal atau kombinasi disesuaikan dengan kebutuhan pasien
dan respons individu, yang dinilai dari hasil pemeriksaan kadar glukosa darah
harian.
2) Agonis GLP-1
Pengobatan dengan dasar peningkatan GLP1 merupakan pendekatan baru untuk
pengobatan DM. Agonis GLP1 dapat bekerja sebagai perangsang penglepasan
insulin yang tidak menimbulkan hipoglikemia ataupun peningkatan berat badan
yang biasanya terjadi pada pengobatan dengan insulin ataupun sulfonilurea.
Agonis GLP1 bahkan mungkin menurunkan berat badan. Efek agonis GLP1
yang lain adalah menghambat penglepasan glukagon yang diketahui berperan
pada proses glukoneogenesis. Pada percobaan binatang, obat ini terbukti
memperbaiki cadangan sel beta pankreas. Efek samping yang timbul pada
pemberian obat ini antara lain rasa sebah dan muntah.
Terapi Kombinasi
Pemberian OHO maupun insulin selalu dimulai dengan dosis rendah, untuk
kemudian dinaikkan secara bertahap sesuai dengan respons kadar glukosa darah.
Bersamaan dengan pengaturan diet dan kegiatan jasmani, bila diperlukan dapat
dilakukan pemberian OHO tunggal atau kombinasi OHO sejak dini. Terapi dengan
OHO kombinasi (secara terpisah ataupun fixed-combinationdalam bentuk tablet
tunggal), harus dipilih dua macam obat dari kelompok yang mempunyai mekanisme
kerja berbeda. Bila sasaran kadar glukosa darah belum tercapai, dapat pula diberikan
kombinasi tiga OHO dari kelompok yang berbeda atau kombinasi OHO dengan
insulin. Pada pasien yang disertai dengan alasan klinis di mana insulin tidak
memungkinkan untuk dipakai, terapi dengan kombinasi tiga OHO dapat menjadi
pilihan.
Penilaian Hasil Terapi
a. Pemeriksaan kadar glukosa darah. Tujuan pemeriksaan glukosa darah:
- Untuk mengetahui apakah sasaran terapi telah tercapai
- Untuk melakukan penyesuaian dosis obat, bila belum tercapai sasaran terapi. Guna
mencapai tujuan tersebut perlu dilakukan pemeriksaan kadar glukosa darah puasa,
glukosa 2 jam post prandial, atau glukosa darah pada waktu yang lain secara
berkala sesuai dengan kebutuhan.
b. Pemeriksaan A1C
Tes hemoglobin terglikosilasi, yang disebut juga sebagai glikohemoglobin, atau
hemoglobin glikosilasi (disingkat sebagai A1C), merupakan cara yang digunakan
untuk menilai efek perubahan terapi 812 minggu sebelumnya. Tes ini tidak dapat
digunakan untuk menilai hasil pengobatan jangka pendek. Pemeriksaan A1C
dianjurkan dilakukan setiap 3 bulan, minimal 2 kali dalam setahun.
c. Pemeriksaan Glukosa Urin
Pengukuran glukosa urin memberikan penilaian yang tidak langsung. Hanya
digunakan pada pasien yang tidak dapat atau tidak mau memeriksa kadar glukosa
darah. Batas ekskresi glu-kosa renal rata-rata sekitar 180 mg/dL, dapat bervariasi pada
beberapa pasien, bahkan pada pasien yang sama dalam jangka waktu lama. Hasil
pemeriksaan sangat bergantung pada fungsi ginjal dan tidak dapat dipergunakan untuk
menilai keberhasilan terapi.

d. Pemantauan Benda Keton


Pemantauan benda keton dalam darah maupun dalam urin cukup penting
terutama pada penyandang DM tipe 2 yang terkendali buruk (kadar glukosa darah>300
mg/dL). Peme-riksaan benda keton juga diperlukan pada penyandang diabe-tes yang
sedang hamil. Tes benda keton urin mengukur kadar asetoasetat, sementara benda
keton yang penting adalah asam beta hidroksibutirat. Saat ini telah dapat dilakukan
pemeriksaan kadar asam beta hidroksibutirat dalam darah secara langsung dengan
menggunakan strip khusus. Kadar asam beta hidroksibutirat darah <0,6 mmol/L
dianggap normal, di atas 1,0 mmol/L disebut ketosis dan melebihi 3,0 mmol/L indikasi
adanya KAD. Pengukuran kadar glukosa darah dan benda ke-ton secara mandiri, dapat
mencegah terjadinya penyulit akut diabetes, khususnya KAD.
Kriteria Pengendalian DM
Untuk dapat mencegah terjadinya komplikasi kronik, diper-lukan pengendalian DM
yang baik yang merupakan sasaran terapi. Diabetes terkendali baik, apabila kadar glukosa
darah mencapai kadar yang diharapkan serta kadar lipid dan A1C juga mencapai kadar
yang diharapkan. Demikian pula status gizi dan tekanan darah.
Untuk pasien berumur lebih dari 60 tahun dengan komplikasi, sasaran kendali kadar
glukosa darah dapat lebih tinggi dari biasa (puasa 100-125 mg/dL, dan sesudah makan
145-180 mg/dL). Demikian pula kadar lipid, tekanan darah, dan lain-lain, mengacu pada
batasan kriteria pengendalian sedang. Hal ini dilakukan mengingat sifat-sifat khusus
pasien usia lanjut dan juga untuk mencegah kemungkinan timbulnya efek samping
hipoglikemia dan interaksi obat.
Table 3. Target Pengendalian DM
DAFTAR PUSTAKA

American Diabetes Association (ADA) Diabetes Guidelines Summary


Recommendations from NDEI. 2016.
American Diabetes Association; Standards of Medical Care in Diabetes 2014.
American Diabetes Association. Diabetes CareVolume 38, Supplement 1,
January 2015. USA.
Foster DW, et al. Diabetes melitus. Dalam: Harrison Prinsip-prinsip ilmu
penyakit dalam. Asdie, A, editor. Volume 5. Jakarta : EGC, 2000; 2196.
Gustaviani R. Diagnosis dan Klasifikasi Diabetes Melitus. Dalam: Buku Ajar
Ilmu Penyakit Dalam. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I dkk, editor. Jilid III. Edisi
V. Jakarta : balai penerbit FKUI, 2009.
Harding, Anne Helen et al. Dietary Fat and Risk of Clinic Type Diabetes.
American Journal of Epidemiology.2003;15(1);150-9.
Hawkins M, Rossetti L. Insulin Resistance and Its Role in the Pathogenesis of
Type 2 Diabetes. In : Kahn CR, King GL, Moses AC, Weir GC, Jacobson AM,
Smith RJ (Eds) Joslin’s Diabetes Mellitus. Lippincott Williams & Wilkin.
Philadelphia. Pg 425-448, 2005
Hendromartono. (2006). Diabetes Mellitus di Indonesia, Dalam : Aru W, dkk,
editors, Ilmu Penyakit Dalam, Jilid III, Edisi 4., Jakarta: FK UI
Leahy JL. B-cell Dysfunction in Type 2 Dia betes In: Kahn CR, King GL,
Moses AC, Weir GC, Jacobson AM , Smith RJ (Eds) Joslin’s Diabetes Mellitus.
Lippincott Williams & Wilkin. Philadelphia. Pg 449-462, 2005
Mansjoer. (1999). Kapita Selekta Kedokteran, Edisi 3., Jakarta: Media
Aesculapius .FKUI
Misnadiarly. (2006). Diabetes Mellitus : Ulcer, Infeksi, Gangren, Jakarta:
Penerbit Popular Obor.
Nabil. (2009). Mengenal Diabetes, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. PERKENI.
(2006) Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Mellitus
Nathan MN, Buse JB, Mayer BD, Ferrannini E, Holman RR, Sherwin R et al.
Medical management of Hyperglycemia in Type 2 Diabetes A consensus Algorithm
for the Initiation and Adjustment of Therapy. A consensus statement of the
American Diabetes Association and the European Association for the Study of
Diabetes. Diabetes Care 2008; 31:1-11.
PERKENI, 2008, Petunjuk Praktis Terapi Insulin pada Padien Diabetes Mellitus,
Penerbit PERKENI, Jakarta
PERKENI. Konsensus Pengelolaan dan pencegahan diabetes melitus tipe 2 di
Indonesia. 2011. Pengurus Besar Perkumpulan Endokrinologi Indonesia. Jakarta.
2011.
Persi, dkk. Faktor Lingkungan dan Gaya Hidup Berperan Besar Memicu
Diabetes. 2008.
Price, Sylvia Aderson. Pankreas: Metabolisme glukosa dan diabetes mellitus.
Patofisiologi : Konsep klinis proses-proses/ Sylvia Anderson price, Lorraine Mc
Carty Wilson; alih bahasa, Brahm U. Pendit[et.al.]editor bahasa Indonesia Edisi 6.
Jakarta; 2014; hal.1259
Shahab, A. (2006). Diabetes mellitus di Indonesia. Dalam : Aru W, dkk, editors,
Ilmu Penyakit Dalam, Jilid III, Edisi 4., Jakarta: FK UI.
Soebardi. (2006). Terapi Farmakologis Diabetes Mellitus. Dalam : Aru W, dkk,
editors, Ilmu Penyakit Dalam, Jilid III, Edisi 4., Jakarta: FK UI.
Soegondo S, dkk. Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus
tipe 2 di Indonesia 2011. Jakarta : PERKENI, 2011
Subekti, I. (2006). Diabetes mellitus di Indonesia. Dalam : Aru W, dkk, editors,
Ilmu Penyakit Dalam, Jilid III, Edisi 4., Jakarta: FK UI.

Suyono, S. (2006). Diabetes mellitus di Indonesia, Dalam : Aru W, dkk, editors,


Ilmu Penyakit Dalam, Jilid III, Edisi 4, Jakarta: FK UI,

Tambunan, M. (2006). Perawatan Kaki Diabetes, Jakarta: FK UI.


Teixeria L. Regular physical exercise training assists in preventing type 2
diabetes development: focus on its antioxidant and anti-inflammantory properties.
Biomed Central Cardiovascular Diabetology. 2011; 10(2);1-15.
Tipe 2 di Indonesia, Jakarta: Kongres Persadia

Tjokroprawiro, A. (2001). Hidup Sehat dan Bahagia Bersama Diabetes,


Jakarta: PT Gramedia
Waspadji S, dkk. Komplikasi kronik diabetes: mekanisme terjadinya,
diagnosis dan strategi pengelolaannya. Dalam : buku ajar ilmu penyakit dalam.
Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I dkk, editor. Jilid III. Edisi IV. Jakarta : balai
penerbit FKUI, 2006.
Waspadji, S. (2006). Diabetes mellitus di Indonesia, Dalam : Aru W,
dkk, editors, Ilmu Penyakit Dalam, Jilid III, Edisi 4., Jakarta: FK UI.
WHO, 2012, Diabetes; Fact sheet, Department of Sustainable Development and
Healthy Environments, Regional Office for South-East Asia.

Anda mungkin juga menyukai