PENDAHULUAN
TINJAUAN PUSTAKA
1. KAKI DIABETES
Kaki diabetes adalah kelainan tungkai kaki bawah akibat diabetes mellitus
yang tidak terkendali dengan baik yang disebabkan olah gangguan pembuluh
secara umum dari kelainan tungkai bawah secara menyeluruh pada penderita
diabetes mellitus yang diawali dengan adanya lesi hingga terbentuknya ulkus yang
sering disebut dengan ulkus kaki diabetika yang pada tahap selanjutnya dapat
mellitus berupa luka terbuka pada permukaan kulit yang dapat disertai adanya
vaskuler insusifiensi dan neuropati, yang lebih lanjut terdapat luka pada penderita
yang sering tidak dirasakan, dan dapat berkembang menjadi infeksi disebabkan
Ada berbagai macam klasifikasi kaki diabetes, mulai dari klasifikasi oleh
wagner, klasifikasi texas, serta yang lebih banyak digunakan adalah yang
(Waspadji, 2006).
3 Klasifikasi Liverpool
- Neuropati
- Neuroiskemik
inflammatory response
hypotension, azotemia
Tanda dan gejala ulkus kaki diabetes seperti sering kesemutan, nyeri kaki
denyut nadi arteri dorsalis pedis, tibialis dan poplitea, kaki menjadi atrofi, dingin
dan kuku menebal dan kulit kering (Misnadiarly, 2006 ; Subekti, 2006).
1. Pemeriksaan Fisik :
Inspeksi kaki untuk mengamati terdapat luka / ulkus pada kulit atau
jaringan tubuh pada kaki, pemeriksaan sensasi vibrasi / rasa berkurang atau
hilang, palpasi denyut nadi arteri dorsalis pedis menurun atau hilang.
2 Pemeriksaan Penunjang :
mengetahui apakah ulkus kaki diabetes menjadi infeksi dan menentukan kuman
Salah satu akibat komplikasi kronik atau jangka panjang diabetes mellitus
adalah ulkus kaki diabetes. Ulkus kaki diabetes disebabkan adanya tiga faktor
yang sering disebut trias yaitu : iskemik, neuropati, dan infeksi. Pada penderita
diabetes mellitus apabila kadar glukosa darah tidak terkendali akan terjadi
atrofi otot, keringat berlebihan, kulit kering dan hilang rasa, apabila penderita
diabetes mellitus tidak hati-hati dapat terjadi trauma yang akan meneybabkan lesi
kekurangan darah dalam jaringan, sehingga jaringan kekurangan oksigen. Hal ini
sirkulasi jaringan menurun yang ditandai oleh hilang atau berkurangnya denyut
nadi pada arteri dorsalis pedis, tibialis dan poplitea, kaki menjadi atrofi, dingin
dan kuku menebal. Kelainan selanjutnya terjadi nekrosis jaringan sehingga timbul
ulkus yang biasanya dimulai dari ujung kaki atau tungkai. Aterosklerosis
sehingga mengakibatkan kesemutan, rasa tidak nyaman, dan dalam jangka waktu
ulkus kaki diabetes. Proses angiopati pada penderita diabetes mellitus berupa
tungkai bawah terutama kaki, akibat perfusi jaringan bagian distal dari tungkai
Pada penderita diabetes mellitus yang tidak terkendali kadar gula darahnya
pada pembuluh darah besar dan pembuluh kapiler bahkan dapat terjadi kebocoran
penderita diabetes mellitus yang tidak terkendali akan meningkatkan HbA1C yang
menyebabkan deformabilitas eritrosit dan pelepasan oksigen di jaringan oleh
trombosit pada dinding pembuluh darah yang akan mengganggu sirkulasi darah.
pembuluh darah, akan terjadi penumpukan lemak pada lumen pembuluh darah,
rendah. Adanya faktor risiko lain yaitu hipertensi akan meningkatkan kerentanan
sehingga kaki menjadi atrofi, dingin dan kuku menebal. Kelainan selanjutnya
terjadi nekrosis jaringan sehingga timbul ulkus yang biasanya dimulai dari ujung
kaki atau tungkai. Pada penderita diabetes mellitus apabila kadar glukosa darah
menurun sehingga bila ada infeksi mikroorganisme sukar untuk dimusnahkan oleh
% akan mengalami infeksi akibat adanya glukosa darah yang tinggi karena
merupakan media pertumbuhan bakteri yang subur. Bakteri penyebab infeksi pada
Faktor risiko terjadi ulkus diabetika yang menjadi gambaran dari kaki
diabetes pada penderita diabetes mellitus terdiri atas faktor-faktor risiko yang
tidak dapat diubah dan faktor-faktor risiko yang dapat diubah (Tambunan, 2006;
Waspadji, 2006).
1. Umur
Pada usia tua fungsi tubuh secara fisiologis menurun karena proses aging
tubuh terhadap pengendalian glukosa darah yang tinggi kurang optimal . proses
satunya pembuluh darah besar atau sedang di tungkai yang lebih mudah terjadi
Ulkus kaki diabetes terutama terjadi pada penderita diabetes mellitus yang
telah menderita 10 tahun atau lebih, apabila kadar glukosa darah tidak terkendali,
Kadar glukosa darah yang tinggi semakin lama akan terjadi gangguan
mikro sirkulasi, berkurangnya aliran darah dan hantaran oksigen pada serabut
saraf yang mengakibatkan degenerasi pada serabut syaraf yang lebih lanjut akan
terjadi neuropati. Syaraf yang rusak tidak dapat mengirimkan sinyal ke otak
dengan baik, sehingga penderita dapat kehilangan indra perasa selain itu juga
kelenjar keringat menjadi berkurang, kulit kering dan mudah robek. Neuropati
perifer berupa hilangnya sensasi rasa yang berisiko tinggi menjadi penyebab
2. Obesitas.
Pada obesitas dengan index massa tubuh ≥ 23 kg/m2 (wanita) dan IMT
(index massa tubuh) ≥ 25 kg/m2 (pria) atau berat badan ideal yang berlebih akan
sering terjadi resistensi insulin. Apabila kadar insulin melebihi 10 μU/ml, keadaan
besar pada tungkai yang menyebabkan tungkai akan mudah terjadi ulkus /
ganggren sebagai bentuk dari kaki diabetes (Tambunan, 2006; Waspadji, 2006).
3. Hipertensi.
Hipertensi (TD > 130/80 mm Hg) pada penderita diabetes mellitus karena
adanya viskositas darah yang tinggi akan berakibat menurunnya aliran darah
sehingga terjadi defesiensi vaskuler, selain itu hipertensi yang tekanan darah lebih
dari 130/80 mmHg dapat merusak atau mengakibatkan lesi pada endotel.
proses adhesi dan agregasi trombosit yang berakibat vaskuler defisiensi sehingga
dapat terjadi hipoksia pada jaringan yang akan mengakibatkan terjadinya ulkus
sirkulasi sistemik dengan protein plasma termasuk hemoglobin dalam sel darah
hipoksia jaringan yang selanjutnya terjadi proliferasi pada dinding sel otot polos
(highdensity
trigliserida ≥ 150 m g/dl, kolesterol total≥ 200 mg/dl dan HDL ≤ 45 mg/dl akan
berkurangnya denyut nadi pada arteri dorsalis pedis, tibialis dan poplitea, kaki
menjadi atrofi, dingin dan kuku menebal. Kelainan selanjutnya terjadi nekrosis
jaringan sehingga timbul ulkus yang biasanya dimulai dari ujung kaki atau tungkai
6. Kebiasaan Merokok.
penderita diabetes mellitus yang tidak merokok. Kebiasaan merokok akibat dari
poplitea, dan tibialis juga akan menurun (Tambunan, 2006; Waspadji, 2006).
normal sehingga dapat mencegah komplikasi kronik, seperti ulkus kaki diabetes.
Kepatuhan diet penderita diabetes mellitus mempunyai fungsi yang sangat penting
sehingga akan memperbaiki kadar glukosa darah. Dengan kadar glukosa darah
terkendali maka akan mencegah komplikasi kronik diabetes mellitus. Olah raga
termasuk senam kaki. Senam kaki dapat membantu memperbaiki sirkualsi darah
dan memperkuat otot - otot kecil kaki dan mencegah terjadinya kelainan bentuk
kaki (deformitas), selain itu dapat meningkatkan kekuatan otot betis dan otot paha
sendi.
Latihan senam kaki dapat dilakukan dengan posisi berdiri, duduk dan
tidur, dengan cara menggerakkan kaki dan sendi-sendi kaki misalnya berdiri
dengan kedua tumit diangkat, mengangkat kaki dan menurunkan kaki. Gerakan
kedalam dan mencengkram pada jari – jari kaki. Latihan dilakukan sesering
mungkin dan teratur terutama pada saat kaki terasa dingin. (Tambunan, 2006;
Waspadji, 2006).
9. Pengobatan Tidak Teratur.
saat ini belum ada obat yang dapat dianjurkan secara tepat untuk memperbaiki
vaskularisasi perifer pada penderita Diabetes Mellitus, namun bila dilihat dari
penelitian tentang kelainan akibat arterosklerosis ditemapt lain seperti jantung dan
otak, obat seperti aspirin dan lainnya yang sejenis dapat digunakan pada pasien
Diabetes Mellitus meskipun belum ada bukti yang cukup kuat untuk
dijadikan acuan dalam memeriksa kaki penderita diabetes mellitus dan tindakan
tinggi
atau mengurangi terjadinya komplikasi kronik pada kaki. Acuan dalam perawatan
kaki pada penderita diabetes mellitus yaitu meliputi seperti selalu menjaga kaki
dalam keadaan bersih, membersihkan dan mencuci kaki setiap hari dengan air
sempurna dan hati-hati terutama diantara jari-jari kaki, memakai krem kaki yang
baik pada kulit yang kering atau tumit yang retak-retak, supaya kulit tetap mulus,
dan jangan menggosok antara jari-jari kaki (contoh: krem sorbolene), tidak
memakai bedak, sebab ini akan menyebabkan kulit menjadi kering dan retak-
retak. menggunting kuku hanya boleh digunakan untuk memotong kuku kaki
secara lurus dan kemudian mengikir agar licin. Memotong kuku lebih mudah
dilakukan sesudah mandi, sewaktu kuku lembut, kuku kaki yang menusuk daging
dan kalus, hendaknya diobati oleh podiatrist. Jangan menggunakan pisau cukur
atau pisau biasa, yang bias tergelincir; dan ini dapat menyebabkan luka pada kaki,
hanya oleh podiatrist, memeriksa kaki dan celah kaki setiap hari apakah terdapat
kalus, bula, luka dan lecet dan menghindari penggunaan air panas atau bantal
klasifikasi ulkus PEDIS dilakukan setelah debridement yang adekuat. Saat ini
terdapat banyak sekali macam Dressing (pembalut) yang masing – masing dapat
dimanfaatkan sesuai dengan keadaan luka dan letak luka tersebut, teapi jangan
lupa tindakan debridement merupakan syarat mutlak yang harus dikerjakan dahulu
sebelum menilai dan mengklasifikasikan luka, debridement yang baik and adekuat
pada luka. Selama proses inflamsi masih ada, proses penyembuhan luka tidak
akan beranjak pada proses selanjutnya yaitu proses granulasi sampai epitealisasi.
Untuk menacapai suasana kondusif bagi kesembuhan luka dapat pula dipakai kasa
Penderita diabetes mellitus tidak boleh berjalan tanpa alas kaki karena
tanpa menggunakan alas kaki yang tepat memudahkan terjadi trauma yang
mengakibatkan ulkus kaki diabetes yang diawali dari timbulnya lesi pada tungkai
alas kaki yang pas dan nyaman untuk penderita diabetes mellitus. Penggunaan
alas kaki yang tepat harus memperhatikan hal hal berupa tidak boleh berjalan
tanpa alas kaki, termasuk di pasir, memakai sepatu yang sesuai atau sepatu khusus
untuk kaki dan nyaman dipakai, sebelum memakai sepatu, memerika sepatu
terlebih dahulu, kalau ada batu dan lain-lain, karena dapat menyebabkan
iritasi/gangguan dan luka terhadap kulit, sepatu harus terbuat dari kulit, kuat, pas
(cukup ruang untuk ibu jari kaki) dan tidak boleh dipakai tanpa kaus kaki, sepatu
baru harus dipakai secara berangsur-angsur dan hati-hati, memakai kaus kaki yang
bersih dan mengganti setiap hari, kaus kaki terbuat dari bahan wol atau katun.
Jangan memakai bahan sintetis, karena bahan ini menyebabkan kaki berkeringat
dan memakai kaus kaki apabila kaki terasa dingin (Tambunan, 2006; Waspadji,
2006).
Dengan penyuluhan yang baik penderita diabetes mellitus dengan kaki diabetes
kecacatan yang mungkin timbul pada pasien. Keterlibatan ahli rehabilitasi medis
berlanjut sampai jauh sesudah amputasi, untuk memberikan bantuan bagi para
ulkus baru. Pemakaian alas kaki khusus untuk mengurangi tekanan plantar akan
Definisi
Hypertensive Heart Disease (HHD) adalah suatu penyakit yang berkaitan dengan
dampak sekunder pada jantung karena hipertensi sistemik yang lama dan berkepanjangan.
HHD merujuk pada suatu keadaan yang disebabkan oleh peningkatan tekanan darah
(hipertensi). Hipertensi yang berkepanjangan dan tidak terkendali dapat mengubah
struktur miokard, pembuluh darah dan sistem konduksi jantung. Perubahan-perubahan ini
dapat mengakibatkan Left Ventricle Hypertrophy (LVH), penyakit arteri koroner,
gangguan sistem konduksi jantung, disfungsi sistolik dan diastolik miokard yang akan
bermanifestasi klinis sebagai angina (nyeri dada), infark miokard, aritmia jantung
(terutama fibrilasi atrium) dan gagal jantung kongestif.
Klasifikasi Etiologi
Penyakit jantung hipertensi disebabkan oleh kausal yang jelas, yaitu adanya
riwayat hipertensi lama yang diderita oleh pasien. Hipertensi diklasifikasikan
berdasarkan etiologinya yaitu dengan penyebab yang tidak diketahui
(esensial/primer/idiopatik) atau yang diketahui (sekunder). Sebagian besar kasus
hipertensi diklasifikasikan sebagai esensial, tetapi kemungkinan penyebab yang
melatarbelakanginya harus selalu ditentukan.
1. Hipertensi Esensial
Sekitar 90% penderita yang menunjukkan meningkatnya tekanan darah mempunyai
penyebab yang tidak jelas untuk hipertensinya dan karenanya disebut mempunyai
hipertensi esensial/primer. Penemuan klinis dan fisiologis yang terperinci pada penderita
hipertensi esensial mengidentifikasikan bahwa keadaan tersebut bukan merupakan
lingkup tunggal, beberapa mekanisme yang berbeda mungkin ikut juga bertanggung
jawab. Bentuk khas pada seluruh penderita hipertensi ialah naiknya resistensi pembuluh
darah perifer. Mekanisme patofisiologi berdasarkan penelitian yang cermat ialah
bergantung dari tiga hal, yaitu keseimbangan natrium, sistem saraf simpatis, dan sistem
Renin-angiotensin-aldosterone.
a. Keseimbangan natrium
Kerusakan ekskresi natrium ginjal merupakan perubahan pertama yang ditemukan
pada hipertensi. Retensi natrium diikuti dengan ekspansi volume darah dan kemudian
peningkatan output jantung. Autoregulasi perifer meningkatkan resistensi pembuluh darah
perifer dan berakhir dengan hipertensi. Pada penderita dengan hipertensi esensial,
transpor natrium-kalium dalam sel darah merah dan darah putih menunjukkan
abnormalitas. Selanjutnya, plasma dari penderita hipertensi mempengaruhi transpor
natrium-kalium dalam sel darah putih dari individu yang normotensif. Penderita dengan
kegagalan untuk mengekskresi natrium mempunyai substansi yang menghambat transpor
natrium dari ginjal dan di manapun dalam tubuhnya. Kadar natrium tubuh total
mempunyai korelasi positif dengan tekanan darah pada beberapa penderita hipertensi,
tetapi tidak pada kontrol yang normotensif. Sebagian besar orang dewasa sehat
menunjukkan sedikit variasi pada tekanan darahnya terhadap penggunaan garam yang
berlebihan. Beberapa penderita hipertensi sensitif terhadap garam, tetapi defek alami yang
melatarbelakanginya tidak diketahui. Telah ditentukan bahwa naiknya kebocoran natrium
dalam sel dinding pembuluh darah arteri dapat meningkatkan kandungan kalsium
intraseluler. Hal ini akan menaikkan sisa tahanan vaskular dan resistensi pembuluh darah
perifer.
c. Sistem Renin-Angiotensin-Aldosterone
Renin dilepaskan dari apparatus jukstraglomerular ginjal, masuk ke dalam darah
melalui arteriol eferen. Kemudian renin berperan pada plasma globulin, yang disebut
“renin substrat” atau angiotensinogen, melepas angiotensin I. Ini diubah menjadi
angiotensin II oleh angiotensin converting enzyme (ACE). Angiotensin II merupakan
vasokonstriktor kuat dan karenanya mampu menimbulkan hipertensi. Tetapi hanya
sebagian kecil penderita hipertensi esensial yang menunjukkan kadar renin plasma yang
meningkat, dan tidak ditemukan korelasi antara aktivitas renin plasma dengan patogenesis
hipertensi. Telah dibuktikan bahwa angiotensin dapat merangsang saraf simpatik secara
sentral, dan banyak penderita hipertensi esensial memberikan respons terhadap
pengobatan dengan ACE Inhibitor (misalnya captopril dan enalapril maleate), yang
menghambat enzim yang mengubah angiotensin I menjadi angiotensin II.
Polimorfisme gen ACE juga dihubungkan dengan infark miokard akut dan dengan
hipertrofi jantung penderita normotensif yang belum dapat dijelaskan. Mekanisme yang
tepat dimana variasi genetik ini menyebabkan terjadinya perubahan struktural atau
patofisiologi tidak diketahui.
2. Hipertensi Sekunder
Hipertensi ini dapat disebabkan oleh berbagai kondisi, yaitu hipertensi renalis,
kelainan yang disebabkan endokrin, koarktasio aorta, dan terapi obat.
a. Hipertensi renalis
Beberapa bentuk akut, dan seluruh bentuk kronis penyakit ginjal dapat
dihubungkan dengan hipertensi. Dua mekanisme utama ialah Renin-dependen hipertensi
dan kadar garam dan air yang berlebihan
Kemungkinan penyakit ginjal perlu dipikirkan pada seluruh penderita hipertensi.
Pada beberapa kasus, stenosis fokal pada satu arteri renalis, sebagai akibat atheroma atau
dysplasia fibromuskuler arteri renalis, berperan terhadapiskemia ginjal yang unilateral dan
hiper-reninisme. Pembedahan dapat merupakan pengobatan kuratif pada beberapa
penderita. Penderita dengan gagal ginjal terminalis sangat sensitif dengan perubahan
keseimbangan garam dan air. Hipertensi pada penderita ini dapat diatur dan diawasi
dengan membatasi pemakaian garam dan air dan dengan dialisis yang seksama.
b. Sebab-sebabEndokrin
Sekresi kortikosteroid yang berlebihan pada sindroma Cushing dihubungkan
dengan hipertensi sistemik. Demikian pula, tumor adrenal yang mensekresi aldosterone
(sindroma Conn) atau katekolamin (feokromositoma) dapat mengakibatkan hipertensi.
Meskipun demikian, ini ditemukan kurang dari 1% dari seluruh penderita hipertensi.
c. Koarkatasio Aorta
Hipertensi sistemik merupakan salah satu bentuk paling sering pada koarktasio.
Naiknya tekanan darah akan dideteksi pada pergelangan tangan, tetapi tidak pada kaki.
Denyut femoral relatif sering lebih lambat dibandingkan radial. Kematian biasanya
disebabkan oleh gagal jantung, perdarahan otak akibat hipertensi atau aneurisma
disekting.
d. Terapi obat-obatan
Kortikosteroid, berbagai jenis pil kontrasepsi dan beberapa obat non-steroid anti-
inflamasi dapat merangsang terjadinya hipertensi.
Patogenesis
LVH merupakan kompensasi jantung terhadap tekanan darah tinggi ditambah
dengan faktor neurohormonal yang ditandai dengan penebalan konsentrik otot jantung
(hipertrofi konsentrik). Fungsi diastolik akan mulai terganggu akibat dari gangguan
relaksasi ventrikel kiri, kemudian disusul oleh dilatasi ventrikel kiri (hipertrofi esentrik).
Rangsangan simpatis dan aktivasi RAA memacu mekanisme Frank-Starling melalui
peningkatan volume diastolik ventrikel sampai tahap tertentu dan pada akhirnya akan
terjadi gangguan kontraksi miokard (penurunan / gangguan fungsi sistolik).
Iskemia miokard (asimptomatik, angina pektoris, infark jantung, dll.) dapat terjadi
karena kombinasi akselerasi proses aterosklerosis dengan peningkatan kebutuhan oksigen
miokard akibat LVH. LVH, iskemia miokard dan gangguan fungsi endotel merupakan
faktor utama kerusakan miosit pada hipertensi.
Evaluasi pasien hipertensi/penyakit jantung hipertensi ditujukan untuk:
Meneliti kemungkinan hipertensi sekunder
Menetapkan keadaan pra-pengobatan
Menetapkan faktor-faktor yang mempengaruhi pengobatan atau faktor yang akan
berubah karena pengobatan
Menetapkan kerusakan organ target
Menetapkan faktor risiko PJK lainnya
Manifestasi Klinis
Pada tahap awal, seperti hipertensi pada umumnya kebanyakan pasien tidak ada
keluhan. Bila simptomatik, maka biasanya dapat berupa:
1. Peninggian tekanan darah itu sendiri, yang disertai berdebar-debar, rasa melayang
(dizzy) dan kemungkinan impoten
2. Mudah lelah, sesak nafas, sakit dada (bisa tanpa/disertai iskemia miokard atau
diseksi aorta), bengkak kedua kaki atau perut (apabila telah mengalami gagal
jantung kiri).
3. Gangguan vaskular lainnya seperti epistaksis, hematuria, pandangan kabur karena
perdarahan retina, dan transient cerebral ischemic.
4. Penyakit dasar seperti pada hipertensi sekunder: polidipsi, poliuria, dan kelemahan
otot pada aldosteronisme primer, peningkatan BB dengan emosi yang labil pada
sindroma Cushing. Feokromasitoma dapatmuncul dengan keluhan episode sakit
kepala, palpitasi, banyak keringat dan rasa melayang saat berdiri (postural dizzy).
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik dimulai dengan melihat keadaan umum, memperhatikan apakah
ada keadaan khusus seperti: Cushing, Feokromasitoma, perkembangan tidak
proposionalnya tubuh atas dibanding bawah yang sering ditemukan pada koarktasio aorta.
Pemeriksaan tanda vital dengan pengukuran tekanan darah di tangan kiri dan kanan saat
posisi tidur dan berdiri. Pada pemeriksaan yang spesifik harus dilakukan pemeriksaan:
1. Pemeriksaan jantung untuk mencari pembesaran jantung (umumnya melebar ke
lateral) ditujukan untuk menilai LVH dan tanda-tanda gagal jantung. Impuls apeks
yang prominen. Bunyi jantung S2 yang meningkat akibat kerasnya penutupan
katup aorta. Kadang ditemukan murmur diastolik akibat regurgitasi aorta. Bunyi
S4 (gallop atrial atau presistolik) dapat ditemukan akibat dari peninggian tekanan
atrium kiri. Sedangkan bunyi S3 (gallop ventrikel atau prediastolik) ditemukan
bila tekanan akhir diastolik ventrikel kiri meningkat akibat dilatasi ventrikel kiri.
Bila S3 dan S4 ditemukan maka disebut summation gallop.
2. Paru-paru perlu diperhatikan apakah ada suara nafas tambahan seperti ronki basah
atau ronki kering/mengi. Bila ada suara ronki basah halus pada kedua basal paru,
maka perlu dicurigai telah terjadi kegagalan pada ventrikel kiri.
3. Pemeriksaan perut ditujukan untuk mencari aneurisma, pembesaran hati, limpa,
ginjal dan asites. Auskultasi bising sekitar kiri kanan umbilicus (renal artery
stenosis).
4. Arteri radialis, arteri femoralis dan arteri dorsalis pedia harus diraba. Tekanan
darah di betis harus diukur minimal sekali pada hipertensi umur muda (kurang dari
30 tahun).
5. Funduskopi dengan klasifikasi Keith-Wagener-Barker sangat berguna untuk
menilai prognosis. Palpasi dan auskultasi arteri karotis untuk menilai stenosis atau
oklusi.
Pemeriksaan Penunjang
Urinalisis: Protein, leukosit, eritrosit, dansilinder
Hemoglobin & Hematokrit
Elektrolit darah: Kalium, Ureum dan kreatinin, Gula darah puasa
Elektrokardiografi (EKG) efektif pada 20-50% pasien (gold standar). Ada beberapa
kriteria untuk menegakkan diagnosis HHD dengan ditemukannya tanda LVH, yakni
dari kriteria:
o Sokolow Lyonn: SV1 + RV5/6> 35 mm
o LV Strain: ST Depressi atau T-Inverted pada Lead V5 dan V6
o Cornell Criteria
- R pada AvL dan SV3> 28 mm (Untuk laki-laki)
- R pada AvL dan SV3> 20 mm (Untuk perempuan)
o Romhilt-Estes
Untuk poin ≥ 5 menunjukkan adanya HVK, jika poin 4 maka probable.
Kriteria EKG Poin
Kriteria Voltase (salah satu):
1. R atau S pada sadapan ekstremitas ≥ 20 mm
3
2. S pada V1 atau V2 ≥ 30 mm
3. R pada V5 atau V6 ≥ 30 mm
Abnormalitas pada segmen ST-T :
Tanpa Digitalis 3
Dengan Digitalis 1
Pembesaran atrium kiri pada V1 3
Deviasi aksis kiri 2
Durasi QRS > 0,09 detik 1
Delayed intrinsicoid deflection di V5 atau V6 (> 0,05
1
detik) / VAT
TOTAL POIN :
Penatalaksanaan
Tatalaksana umum hipertensi mengacu pada tuntunan umum (Joint National
Committe VII 2003). Pengelolaan lipid agresif dan pemberian aspirin sangat bermanfaat
untuk mencegah komplikasi lebih lanjut. Pasien hipertensi pasca infark miokard sangat
mendapat manfaat dari kontrol dengan pengobatan dengan Beta-Blocker, ACE Inhibitor
atau Anti-Aldosterone.
Pasien hipertensi dengan risiko tinggi PJK mendapat manfaat dengan pengobatan
diuretik, Beta-Blocker dan penghambat kalsium. Pasien hipertensi dengan gangguan
fungsi ventrikel mendapat manfaat tinggi dengan pengobatan diuretik,Angiotensin
Reseptor Blocker (ARB), ACE Inhibitor, Beta-Blocker dan Antagonis Aldosterone. Bila
sudah dalam tahap gagal jantung hipertensi, maka prinsip pengobatannya sama dengan
pengobatan gagal jantung yang lain yaitu diuretik, Angiotensin Converting Enzyme
Inhibitor (ACE-I), ARB, Beta-Blocker dan Antagonis Aldosterone.
A. Definisi
Diabetes Melitus adalah penyakit kelainan metabolik yang dikarakteristikan
dengan hiperglikemia kronis serta kelainan metabolisme karbohidrat, lemak dan
protein diakibatkan oleh kelainan sekresi insulin, kerja insulin maupun keduanya.
Hiperglikemia kronis pada diabetes melitus akan disertai dengan kerusakan,ganguan
fungsi beberapa organ tubuh khususnya mata, ginjal, saraf, jantung, dan pembuluh
darah. Walaupun pada diabetes melitus ditemukan ganguan metabolisme semua
sumber makanan tubuh kita, kelainan metabolisme yang paling utama ialah kelainan
metabolisme karbohidarat. Oleh karena itu diagnosis diabetes melitus selalu
berdasarkan tinginya kadar glukosa dalam plasma darah.
Diabetes Melitus tipe 2, disebabkan insulin yang ada tidak dapat bekerja dengan
baik, kadar insulin dapat normal, rendah atau bahkan meningkat tetapi fungsi insulin
untuk metabolisme glukosa tidak ada atau kurang. Karena insulin tetap dihasilkan
oleh sel-sel beta pankreas, maka diabetes mellitus tipe 2 dianggap sebagai non insulin
dependent diabetes mellitus. Akibatnya glukosa dalam darah tetap tinggi sehingga
terjadi hiperglikemia, dan 75% dari penderita DM type II ini dengan obesitas atau
kegemukan dan biasanya diketahui DM setelah usia 30 tahun.
B. Epidemiologi
Prevalensi DM sulit ditentukan karena standar penetapan diagnosisnya berbeda-
beda. Berdasarkan kriteria American Diabetes Asociation tahun 2012 (ADA 2012),
sekitar 10,2 juta orang di Amerika Serikat menderita DM. Sementara itu, di Indonesia
prevalensi DM sebesar 1,5-2,3% penduduk usia >15 tahun,bahkan di daerah Manado
prevalensi DM sebesar 6,1%.
Kejadian DM Tipe 2 pada wanita lebih tinggi daripada laki-laki. Wanita lebih
berisiko mengidap diabetes karena secara fisik wanita memiliki peluang peningkatan
indeks masa tubuh yang lebih besar. Hasil Riset Kesehatan Dasar pada tahun 2008,
menunjukan prevalensi DM di Indonesia membesar sampai 57%, pada tahun 2012
angka kejadian diabetes melitus di dunia adalah sebanyak 371 juta jiwa, dimana
proporsi kejadian diabetes melitus tipe 2 adalah 95% dari populasi dunia yang
menderita diabetes mellitus dan hanya 5% dari jumlah tersebut menderita diabetes
mellitus tipe 1.
Pemeriksan laboratorium bagi penderita DM diperlukan untuk menegakan
diagnosis serta memonitor terapi dan timbulnya komplikasi. Dengan demikian,
perkembangan penyakit bisa dimonitor dan dapat mencegah komplikasi.
C. Klasifikasi
Klasifikasi Diabetes Melitus, yaitu:
1. Diabetes Melitus Tipe 1
DM ini disebabkan oleh kekurangan insulin dalam darah yang terjadi akibat
kerusakan dari sel beta pankreas. Gejala yang menonjol adalah sering kencing
(terutama malam hari), sering lapar dan sering haus, sebagian besar penderita
DM tipe ini berat badannya normal atau kurus. Biasanya terjadi pada usia muda
dan memerlukan insulin seumur hidup.
2. Diabetes Melitus Tipe 2
DM ini disebabkan insulin yang ada tidak dapat bekerja dengan baik, kadar insulin
dapat normal, rendah atau bahkan meningkat tetapi fungsi insulin untuk
metabolisme glukosa tidak ada atau kurang. Akibatnya glukosa dalam darah
tetap tinggi sehingga terjadi hiperglikemia, dan 75% dari penderita DM type II
ini dengan obesitas atau kegemukan dan biasanya diketahui DM setelah usia 30
tahun.
3. Diabetes Melitus Tipe lain
a. Defek genetik pada fungsi sel beta
b. Defek genetik pada kerja insulin
c. Penyakit eksokrin pankreas
d. Endokrinopati
e. Diinduksi obat atau zat kimia
f. Infeksi
g. Imunologi
4. DM Gestasional
D. Fisiologi
Pengaturan Homeostasis Glukosa
Homeostasis glukosa mencerminkan keseimbangan antara produksi glukosa
hepatik dan pengambilan glukosa perifer dan pemanfaatannya. Insulin adalah
regulator terpenting dari keseimbangan metabolisme ini, tapi sinyal saraf, sinyal
metabolik, dan hormon lainnya (misalnya, glukagon) menghasilkan pengontrolan
terpadu untuk pasokan dan pemanfaatan glukosa.
Organ yang mengatur glukosa dan lipid berkomunikasi dengan mekanisme saraf
dan humoral dengan lemak dan otot memproduksi adipokines, myokines, dan
metabolit yang mempengaruhi fungsi hati. Dalam keadaan puasa, kadar insulin yang
rendah meningkatkan produksi glukosa dengan mempromosikan glukoneogenesis
hepatik dan glikogenolisis dan mengurangi penyerapan glukosa di jaringan sensitif
insulin (otot rangka dan lemak), sehingga meningkatkan mobilisasi prekursor
disimpan seperti asam amino dan asam lemak bebas (lipolisis).
E. Patofisiologi DM Tipe II
Diabetes melitus merupakan penyakit yang disebabkan oleh adanya kekurangan
insulin secara relatif maupun absolut. Defisiensi insulin dapat terjadi melalui 3 jalan,
yaitu:
a. Rusaknya sel-sel B pankreas karena pengaruh dari luar (virus, zat kimia, dll)
b. Desensitasi atau penurunan reseptor glukosa pada kelenjar pankreas
c. Desensitasi atau kerusakan reseptor insulin di jaringan perifer.
Dalam patofisiologi DM tipe 2 terdapat beberapa keadaan yang berperan yaitu:
- Resistensi insulin
- Disfungsi sel B pancreas
DM tipe 2 mungkin mencakup berbagai gangguan dengan fenotipe umum dari
hiperglikemia.
- Pertimbangan Genetik
DM tipe 2 memiliki komponen genetik yang kuat. Kesesuaian DM tipe 2 pada
kembar identik adalah antara 70 dan 90%. Individu dengan orangtua dengan DM tipe
2 memiliki peningkatan risiko diabetes; jika kedua orang tua memiliki DM tipe 2,
risiko mendekati 40%. Resisten insulin, seperti yang ditunjukkan oleh penggunaan
glukosa berkurang di otot rangka, hadir dalam banyak kerabat nondiabetes, pertama-
tingkat individu dengan DM tipe 2. Penyakit ini poligenik dan multifaktor, karena
selain kerentanan genetik, faktor lingkungan (seperti obesitas, gizi, dan aktivitas fisik)
memodulasi fenotip. Lingkungan di dalam rahim juga berkontribusi, dan baik
ditambah atau dikurangi berat badan lahir meningkatkan risiko DM tipe 2 di usia
dewasa. Gen yang mempengaruhi mengetik 2 DM yang tidak lengkap diidentifikasi,
namun studi asosiasi genome baru-baru ini telah mengidentifikasi sejumlah besar gen
yang menyampaikan risiko yang relatif kecil untuk tipe 2 DM (>70 gen, masing-
masing dengan risiko relatif 1,06-1,5).
DM tipe 2 ditandai dengan gangguan sekresi insulin, resistensi insulin, produksi
glukosa hepatik yang berlebihan, dan metabolisme lemak yang abnormal. Obesitas,
terutama visceral atau pusat (yang dibuktikan dengan rasio pinggul-pinggang), adalah
sangat umum di DM tipe 2 (≥80% dari pasien mengalami obesitas). Pada tahap awal
dari gangguan, toleransi glukosa tetap mendekati normal, meskipun resistensi insulin,
karena sel-sel beta pankreas mengimbanginya dengan meningkatkan produksi insulin.
Secara deskriptif, tiga fase dapat dikenali pada urutan klinis yang biasa. Pertama,
glukosa plasma tetap normal walaupun terlihat resistensi insulin karena kadar insulin
meningkat. Pada fase kedua, resistensi insulin cenderung memburuk sehingga
meskipun konsentrasi insulin meningkat, tampak intoleransi glukosa dalam bentuk
hiperglikemia setelah makan. Pada fase ketiga, resistensi insulin tidak berubah, tetapi
sekresi insulin menurun, menyebabkan hiperglikemia puasa dan diabetes yang nyata.
F. Faktor Resiko
Faktor Resiko Diabetes Melitus:
1. Obesitas
Terdapat korelasi bermakna antara obesitas dengan kadar glukosa darah, pada
derajat kegemukan dengan IMT > 23 dapat menyebabkan peningkatan kadar glukosa
darah menjadi 200mg%.
2. Hipertensi
Peningkatan tekanan darah pada hipertensi berhubungan erat dengan tidak
tepatnya penyimpanan garam dan air, atau meningkatnya tekanan dari dalam tubuh
pada sirkulasi pembuluh darah perifer.
3. Riwayat Keluarga Diabetes Mellitus
Seorang yang menderita Diabetes Mellitus diduga mempunyai gen diabetes.
Diduga bahwa bakat diabetes merupakan gen resesif. Hanya orang yang bersifat
homozigot dengan gen resesif tersebut yang menderita Diabetes Mellitus.
4. Dislipedimia
Adalah keadaan yang ditandai dengan kenaikan kadar lemak darah (Trigliserida
> 250 mg/dl). Terdapat hubungan antara kenaikan plasma insulin dengan rendahnya
HDL (< 35 mg/dl) sering didapat pada pasien Diabetes.
5. Umur
Berdasarkan penelitian, usia yang terbanyak terkena Diabetes Mellitus adalah >
45 tahun.
6. Riwayat persalinan
Riwayat abortus berulang, melahirkan bayi cacat atau berat badan bayi > 4000
gram.
7. Alkohol dan Rokok
Perubahan-perubahan dalam gaya hidup berhubungan dengan peningkatan
frekuensi DM tipe 2. Walaupun kebanyakan peningkatan ini dihubungkan dengan
peningkatan obesitas dan pengurangan ketidakaktifan fisik, faktor-faktor lain yang
berhubungan dengan perubahan darilingkungan tradisional kelingkungan kebarat-
baratan yang meliputi perubahan-perubahan dalam konsumsi alkohol dan rokok,
juga berperan dalam peningkatan DM tipe 2. Alkohol akan mengganggu
metabolisme gula darah terutama pada penderita DM, sehingga akan mempersulit
regulasi gula darah dan meningkatkan tekanan darah.
G. Manifestasi Klinik
Gejala diabetes melitus dibedakan menjadi akut dan kronik. Gejala akut
diabetes melitus yaitu: Poliphagia (banyak makan), polidipsia (banyak minum),
poliuria (banyak kencing/sering kencing di malam hari), nafsu makan bertambah
namun berat badan turun dengan cepat (5-10 kg dalam waktu 2-4 minggu), mudah
lelah.
Gejala kronik diabetes melitus yaitu: Kesemutan, kulit terasa panas atau seperti
tertusuk tusuk jarum, rasa kebas di kulit, kram, kelelahan, mudah mengantuk,
pandangan mulai kabur, gigi mudah goyah dan mudah lepas, kemampuan seksual
menurun bahkan pada pria bisa terjadi impotensi, pada ibu hamil sering terjadi
keguguran atau kematian janin dalam kandungan atau dengan bayi berat lahir lebih
dari 4kg.
Patofisiologi gejala DM
Pada keadaan defisiensi insulin relatif, masalah yang akan ditemui terutama
adalah hiperglikemia dan hiperosmolaritas yang terjadi akibat efek insulin yang tidak
adekuat.
Hiperglikemia pada diabetes melitus terjadi akibat penurunan pengambilan
glukosa darah ke dalam sel target, dengan akibat peningkatan konsentrasi glukosa
darah setinggi 300 sampai 1200 mg per 100ml. Hal ini juga diperberat oleh adanya
peningkatan produksi glukosa dari glikogen hati sebagai respon tubuh terhadap
kelaparan intrasel. Keadaan defisiensi glukosa intrasel ini juga akan menimbulkan
rangsangan terhadap rasa lapar sehingga frekuensi rasa lapar meningkat (polifagi).
Kadar glukosa plasma yang tinggi (di atas 180 mg%) yang melewati batas
ambang bersihan glukosa pada filtrasi ginjal, yaitu jika jumlah glukosa yang masuk
tubulus ginjal dalam filtrat meningkat kira-kira diatas 225mg/menit, maka glukosa
dalam jumlah bermakna mulai dibuang atau terekskresi ke dalam urin yang disebut
glukosuria. Keberadaan glukosa dalam urin menyebabkan keadaan diuresis osmotik
yang menarik air dan mencegah reabsorbsi cairan oleh tubulus sehingga volume urin
meningkat dan terjadilah poliuria. Karena itu juga terjadi kehilangan Na dan K
berlebih pada ginjal.
H. Diagnosis
Keluhan dan gejala yang khas ditambah hasil pemeriksaan glukosa darah
sewaktu >200 mg/dl, glukosa darah puasa >126 mg/dl sudah cukup untuk
menegakkan diagnosis DM. Untuk diagnosis DM dan gangguan toleransi glukosa
lainnya diperiksa glukosa darah 2 jam setelah beban glukosa. Sekurang-kurangnya
diperlukan kadar glukosa darah 2 kali abnormal untuk konfirmasi diagnosis DM pada
hari yang lain atau Tes Toleransi Glukosa Oral (TTGO) yang abnormal. Konfirmasi
tidak diperlukan pada keadaan khas hiperglikemia dengan dekompensasi metabolik
akut, seperti ketoasidosis, berat badan yang menurun cepat.
Tabel 1. Kriteria Diagnosis DM
I. Tatalaksana
Tujuan Tatalaksana
- Jangka pendek: menghilangkan keluhan dan tanda DM, mempertahankan rasa
nyaman, dan mencapai target pengendalian glukosa darah.
- Jangka panjang: mencegah dan menghambat progresivitas penyulit mikroangiopati,
makroangiopati, dan neuropati.
- Tujuan akhir pengelolaan adalah turunnya morbiditas dan mortalitas DM.
Target Glikemik
Penelitian UKPDS (United Kingdom Prospective Diabetes Study) dan Studi
Kumamoto pada pasien DM tipe 2 menunjukkan target glikemik terapi DM tipe 2
yang menghasilkan perbaikan prognosis jangka panjang. Hasil penelitian klinik dan
epidemiologik menunjukkan bahwa dengan menurunkan kadar glukosa maka kejadian
komplikasi mikrovaskuler dan neuropati akan menurun.
Target glikemik yang paling baru adalah dari ADA (American Diabetes
Association) yang dibuat berdasarkan kepraktisan dan projeksi penurunan kejadian
komplikasi, yaitu A1c <7%.
Pilar Penatalaksanaan DM
1. Edukasi
2. Terapi gizi medis
3. Latihan jasmani
4. Intervensi farmakologis
5. Cangkok pankreas
Pengelolaan DM dimulai dengan pengaturan makan dan latihan jasmani selama
beberapa waktu (24 minggu). Apabila kadar glukosa darah belum mencapai sasaran,
dilakukan intervensi farmakologis dengan obat hipoglikemik oral (OHO) dan atau
suntikan insulin. Pada keadaan tertentu, OHO dapat segera diberikan secara tunggal
atau langsung kombinasi, sesuai indikasi. Dalam keadaan dekompensasi metabolik
berat, misalnya ketoasidosis, stres berat, berat badan yang menurun dengan cepat, dan
adanya ketonuria, insulin dapat segera diberikan.
1. Edukasi
Diabetes tipe 2 umumnya terjadi pada saat pola gaya hidup dan perilaku telah
terbentuk dengan mapan. Pemberdayaan penyandang diabetes memerlukan partisipasi
aktif pasien, keluarga dan masyarakat. Tim kesehatan mendampingi pasien dalam
menuju perubahan perilaku sehat. Untuk mencapai keberhasilan perubahan perilaku,
dibutuhkan edukasi yang komprehensif dan upaya peningkatan motivasi. Pengetahuan
tentang pemantauan glukosa darah mandiri, tanda dan gejala hipoglikemia serta cara
mengatasinya harus diberikan kepada pasien. Pemantauan kadar glukosa darah dapat
dilakukan secara mandiri, setelah mendapat pelatihan khusus.
2. Terapi Nutrisi Medis
- Terapi Nutrisi Medis (TNM) merupakan bagian dari penatalaksanaan diabetes
secara total. Kunci keberhasilan TNM adalah keterlibatan secara menyeluruh
dari anggota tim (dokter, ahli gizi, petugas kesehatan yang lain serta pasien dan
keluarganya).
- Setiap penyandang diabetes sebaiknya mendapat TNM sesuai dengan
kebutuhannya guna mencapai sasaran terapi.
- Prinsip pengaturan makan pada penyandang diabetes hampir sama dengan
anjuran makan untuk masyarakat umum yaitu makanan yang seimbang dan
sesuai dengan kebutuhan kalori dan zat gizi masingmasing individu. Pada
penyandang diabetes perlu ditekankan pentingnya keteraturan makan dalam hal
jadwal makan, jenis, dan jumlah makanan, terutama pada mereka yang
menggunakan obat penurun glukosa darah atau insulin.
Komposisi makanan yang dianjurkan terdiri dari:
Karbohidrat
- Karbohidrat yang dianjurkan sebesar 4565% total asupan energi.
- Pembatasan karbohidrat total <130 g/hari tidak dianjurkan
- Makanan harus mengandung karbohidrat terutama yang berserat tinggi.
- Gula dalam bumbu diperbolehkan sehingga penyandang diabetes dapat makan sama
dengan makanan keluarga yang lain.
- Sukrosa tidak boleh lebih dari 5% total asupan energi.
- Pemanis alternatif dapat digunakan sebagai pengganti gula, asal tidak melebihi batas
aman konsumsi harian (Accepted-Daily Intake)
- Makan tiga kali sehari untuk mendistribusikan asupan karbohidrat dalam sehari.
Kalau diperlukan dapat diberikan makanan selingan buah atau makanan lain sebagai
bagian dari kebutuhan kalori sehari.
Lemak
- Asupan lemak dianjurkan sekitar 2025% kebutuhan kalori. Tidak diperkenankan
melebihi 30% total asupan energi.
- Lemak jenuh < 7 % kebutuhan kalori
- Lemak tidak jenuh ganda < 10 %, selebihnya dari lemak tidak jenuh tunggal.
- Bahan makanan yang perlu dibatasi adalah yang banyak mengandung lemak jenuh
dan lemak trans antara lain: daging berlemak dan susu penuh (whole milk).
- Anjuran konsumsi kolesterol <200 mg/hari.
Protein
- Dibutuhkan sebesar 10 – 20% total asupan energi.
- Sumber protein yang baik adalah seafood (ikan, udang, cumi,dll), daging tanpa
lemak, ayam tanpa kulit, produk susu rendah lemak, kacang-kacangan, tahu, dan
tempe.
- Pada pasien dengan nefropati perlu penurunan asupan pro-tein menjadi 0,8 g/KgBB
perhari atau 10% dari kebutuhan energi dan 65% hendaknya bernilai biologiktinggi.
Natrium
- Anjuran asupan natrium untuk penyandang diabetes sama dengan anjuran untuk
masyarakat umum yaitu tidak lebih dari 3000 mg atau sama dengan 6-7 gram (1
sendok teh) garam dapur.
- Mereka yang hipertensi, pembatasan natrium sampai 2400 mg.
- Sumber natrium antara lain adalah garam dapur, vetsin, soda, dan bahan pengawet
seperti natrium benzoat dan na-trium nitrit.
Serat
- Seperti halnya masyarakat umum penyandang diabetes di-anjurkan mengonsumsi
cukup serat dari kacang-kacangan, buah, dan sayuran serta sumber karbohidrat yang
tinggi serat, karena mengandung vitamin, mineral, serat, dan bahan lain yang baik
untuk kesehatan.
- Anjuran konsumsi serat adalah ± 25 g/hari.
Pemanis alternative
- Pemanis dikelompokkan menjadi pemanis berkalori dan pemanis tak berkalori.
Termasuk pemanis berkalori adalah gula alkohol danfruktosa.
- Gula alkohol antara lain isomalt, lactitol, maltitol, mannitol, sorbitol danxylitol.
- Dalam penggunaannya, pemanis berkalori perlu diperhitungkan kandungan
kalorinya sebagai bagian dari kebutuhan kalori sehari.
- Fruktosa tidak dianjurkan digunakan pada penyandang diabetes karena efek
samping pada lemak darah.
- Pemanis tak berkaloriyang masih dapat digunakan antara lain aspartam, sakarin,
acesulfame potassium, sukralose, dan neotame.
- Pemanis aman digunakan sepanjang tidak melebihi batas aman (Accepted Daily
Intake / ADI).
Kebutuhan Kalori
Ada beberapa cara untuk menentukan jumlah kalori yang dibutuhkan
penyandang diabetes. Di antaranya adalah dengan memperhitungkan kebutuhan kalori
basal yang besarnya 2530 kalori/kgBB ideal, ditambah atau dikurangi bergantung
pada beberapa faktor seperti: jenis kelamin, umur, aktivitas, berat badan, dll.
Perhitungan berat badan Ideal (BBI) dengan rumus Brocca yang dimodifikasi
adalah sbb:
Berat badan ideal = 90% x (TB dalam cm 100) x 1 kg.
Bagi pria dengan tinggi badan di bawah 160 cm dan wanita di bawah 150 cm,
rumus dimodifikasi menjadi :
Berat badan ideal (BBI) = (TB dalam cm 100) x 1 kg.
BB Normal : BB ideal ± 10 %
Kurus : < BBI 10 %
Gemuk : > BBI + 10 %
Perhitungan berat badan ideal menurut Indeks Massa Tubuh (IMT).Indeks massa
tubuh dapat dihitung dengan rumus:
IMT = BB(kg)/TB(m2)
Klasifikasi IMT*
BB Kurang < 18,5
BB Normal 18,522,9
BB Lebih ≥ 23,0
*WHO WPR/IASO/IOTF dalam The Asia-Pacific Perspective:RedefiningObesity and
its Treatment.
Dengan risiko 23,024,9
Obes I 25,029,9
Obes II > 30
4. Terapi Farmakologi
Terapi farmakologis diberikan bersama dengan pengaturan makan dan latihan
jasmani (gaya hidup sehat). Terapi farmakologis terdiri dari obat oral dan bentuk
suntikan.
Obat Hipoglikemik Oral
Berdasarkan cara kerjanya, OHO dibagi menjadi 5 golongan:
a. Pemicu sekresi insulin (insulin secretagogue): sulfonilurea dan glinid.
1) Sulfonilurea
Obat golongan ini mempunyai efek utama meningkatkan sekresi insulin oleh sel
beta pankreas, dan merupakan pilihan utama untuk pasien dengan berat badan
normal dan kurang. Namun masih boleh diberikan kepada pasien dengan berat
badan lebih.
Untuk menghindari hipoglikemia berkepanjangan pada berbagai keadaaan seperti
orang tua, gangguan faal ginjal dan hati, kurang nutrisi serta penyakit
kardiovaskular, tidak dianjur kan penggunaan sulfonilurea kerja panjang.
2) Glinid
Glinid merupakan obat yang cara kerjanya sama dengan sulfonilurea, dengan
penekanan pada peningkatan sekresi insulin fase pertama. Golongan ini terdiri
dari 2 macam obat yaitu Repaglinid (derivat asam benzoat) dan Nateglinid
(derivat fenilalanin). Obat ini diabsorpsi dengan cepat setelah pemberian
secara oral dan diekskresi secara cepat melalui hati. Obat ini dapat mengatasi
hiperglikemia post prandial.
b. Peningkat sensitivitas terhadap insulin: metformin dan tiazolidindion.
1) Tiazolidindion
Tiazolidindion (pioglitazon) berikatan pada Peroxisome Proliferator Activated
Receptor Gamma (PPARg), suatu reseptor inti di sel otot dan sel lemak.
Golongan ini mempunyai efek menurunkan resistensi insulin dengan
meningkatkan jumlah protein pengangkut glukosa, sehingga meningkatkan
ambilan glukosa di perifer. Tiazolidindion dikontraindikasikan pada pasien
dengan gagal jantung kelas IIV karena dapat memperberat edema/retensi
cairan dan juga pada gangguan faal hati. Pada pasien yang menggunakan
tiazolidindion perlu dilakukan pemantauan faal hati secara berkala.
c. Penghambat glukoneogenesis (metformin).
1) Metformin
Obat ini mempunyai efek utama mengurangi produksi glukosa hati
(glukoneogenesis), di samping juga memperbaiki ambilan glukosa perifer.
Terutama dipakai pada penyandang diabetes gemuk. Metformin
dikontraindikasikan pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal (serum
kreatinin >1,5 mg/dL) dan hati, serta pasienpasien dengan kecenderungan
hipoksemia (misalnya penyakit serebrovaskular, sepsis, renjatan, gagal
jantung). Metformin dapat memberikan efek samping mual. Untuk
mengurangi keluhan tersebut dapat diberikan pada saat atau sesudah makan.
Selain itu harus diperhatikan bahwa pemberian metformin secara titrasi pada
awal penggunaan akan memudahkan dokter untuk memantau efek samping
obat tersebut.
d. Penghambat absorpsi glukosa: penghambat glukosidase alfa (Acarbose).
Obat ini bekerja dengan mengurangi absorpsi glukosa di usus halus, sehingga
mempunyai efek menurunkan kadar glukosa darah sesudah makan. Acarbose
tidak menimbulkan efek samping hipoglikemia. Efek samping yang paling
sering ditemukan ialah kembung dan flatulens.
e. DPPIV inhibitor.
Glucagon-like peptide-1(GLP1) merupakan suatu hormon peptida yang dihasilkan
oleh sel L di mukosa usus. Peptida ini disekresi oleh sel mukosa usus bila ada
makanan yang masuk ke dalam saluran pencernaan. GLP1 merupakan
perangsang kuat penglepasan insulin dan sekaligus sebagai penghambat sekresi
glukagon. Namun demikian, secara cepat GLP1 diubah oleh enzim dipeptidyl
peptidase4 (DPP4), menjadi metabolit GLP1(9,36)amide yang tidak aktif.
Sekresi GLP1 menurun pada DM tipe 2, sehingga upaya yang ditujukan untuk
meningkatkan GLP1 bentuk aktif merupakan hal rasional dalam pengobatan
DM tipe 2. Peningkatan konsentrasi GLP1 dapat dicapai dengan pemberian obat
yang menghambat kinerja enzim DPP4 (penghambat DPP4), atau memberikan
hormon asli atau analognya (analog incretin=GLP1 agonis). Berbagai obat yang
masuk golongan DPP4 inhibitor, mampu menghambat kerja DPP4 sehingga
GLP1 tetap dalam konsentrasi yang tinggi dalam bentuk aktif dan mampu
merangsang penglepasan insulin serta menghambat penglepasan glukagon.
Cara Pemberian OHO, terdiri dari:
- OHO dimulai dengan dosis kecil dan ditingkatkan secara bertahap sesuai respons
kadar glukosa darah, dapat diberikan sampai dosis optimal
- Sulfonilurea: 15 –30 menit sebelum makan
- Repaglinid, Nateglinid: sesaat sebelum makan
- Metformin : sebelum /pada saat / sesudah makan
- Penghambat glukosidase (Acarbose): bersama makan suapan pertama
- Tiazolidindion: tidak bergantung pada jadwal makan.
- DPPIV inhibitor dapat diberikan bersama makan dan atau sebelum makan.
Suntikan
1) Insulin
Insulin diperlukan pada keadaan:
- Penurunan berat badan yang cepat
- Hiperglikemia berat yang disertai ketosis
- Ketoasidosis diabetik
- Hiperglikemia hiperosmolar non ketotik
- Hiperglikemia dengan asidosis laktat
- Gagal dengan kombinasi OHO dosis optimal
- Stres berat (infeksi sistemik, operasi besar, IMA, stroke)
- Kehamilan dengan DM/diabetes melitus gestasional yang tidak terkendali
dengan perencanaan makan
- Gangguan fungsi ginjal atau hati yang berat
- Kontraindikasi dan atau alergi terhadap OHO
Berdasar lama kerja, insulin terbagi menjadi empat jenis, yakni:
- Insulin kerja cepat (rapid acting insulin)
- Insulin kerja pendek (short acting insulin)
- Insulin kerja menengah (intermediate actinginsulin)
- Insulin kerja panjang (long acting insulin)
- Insulin campuran tetap, kerja pendek dan menengah (premixed insulin).
Efek samping terapi insulin
- Efek samping utama terapi insulin adalah terjadinya hipoglikemia.
- Efek samping yang lain berupa reaksi imunologi terhadap insulin yang dapat
menimbulkan alergi insulin atau resistensi insulin.
Dasar pemikiran terapi insulin:
- Sekresi insulin fisiologis terdiri dari sekresi basal dan sekresi prandial. Terapi
insulin diupayakan mampu meniru pola sekresi insulin yang fisiologis.
- Defisiensi insulin mungkin berupa defisiensi insulin basal, insulin prandial
atau keduanya. Defisiensi insulin basal menyebabkan timbulnya hiperglikemia
pada keadaan puasa, sedangkan defisiensi insulin prandial akan menimbulkan
hiperglikemia setelah makan.
- Terapi insulin untuk substitusi ditujukan untuk melakukan koreksi terhadap
defisiensi yang terjadi.
- Sasaran pertama terapi hiperglikemia adalah mengendalikan glukosa darah
basal (puasa, sebelum makan). Hal ini dapat dicapai dengan terapi oral
maupun insulin. Insulin yang dipergunakan untuk mencapai sasaran glukosa
darah basal adalah insulin basal (insulin kerja sedang atau panjang).
- Penyesuaian dosis insulin basal untuk pasien rawat jalan dapat dilakukan
dengan menambah 24 unit setiap 34 hari bila sasaran terapi belum tercapai.
- Apabila sasaran glukosa darah basal (puasa) telah tercapai, sedangkan A1C
belum mencapai target, maka dilakukan pengendalian glukosa darah prandial
(mealrelated). Insulin yang dipergunakan untuk mencapai sasaran glukosa
darah prandial adalah insulin kerja cepat (rapid acting) atau insulin kerja
pendek (short acting). Kombinasi insulin basal dengan insulin prandial dapat
diberikan subkutan dalam bentuk 1 kali insulin basal + 1 kali insulin prandial
(basal plus), atau 1 kali basal + 2 kali prandial (basal 2 plus), atau 1 kali basal
+ 3 kali prandial (basal bolus).
- Insulin basal juga dapat dikombinasikan dengan OHO untuk menurunkan
glukosa darah prandial seperti golongan obat peningkat sekresi insulin kerja
pendek (golongan glinid), atau penghambat penyerapan karbohidrat dari lumen
usus (acarbose).
- Terapi insulin tunggal atau kombinasi disesuaikan dengan kebutuhan pasien
dan respons individu, yang dinilai dari hasil pemeriksaan kadar glukosa darah
harian.
2) Agonis GLP-1
Pengobatan dengan dasar peningkatan GLP1 merupakan pendekatan baru untuk
pengobatan DM. Agonis GLP1 dapat bekerja sebagai perangsang penglepasan
insulin yang tidak menimbulkan hipoglikemia ataupun peningkatan berat badan
yang biasanya terjadi pada pengobatan dengan insulin ataupun sulfonilurea.
Agonis GLP1 bahkan mungkin menurunkan berat badan. Efek agonis GLP1
yang lain adalah menghambat penglepasan glukagon yang diketahui berperan
pada proses glukoneogenesis. Pada percobaan binatang, obat ini terbukti
memperbaiki cadangan sel beta pankreas. Efek samping yang timbul pada
pemberian obat ini antara lain rasa sebah dan muntah.
Terapi Kombinasi
Pemberian OHO maupun insulin selalu dimulai dengan dosis rendah, untuk
kemudian dinaikkan secara bertahap sesuai dengan respons kadar glukosa darah.
Bersamaan dengan pengaturan diet dan kegiatan jasmani, bila diperlukan dapat
dilakukan pemberian OHO tunggal atau kombinasi OHO sejak dini. Terapi dengan
OHO kombinasi (secara terpisah ataupun fixed-combinationdalam bentuk tablet
tunggal), harus dipilih dua macam obat dari kelompok yang mempunyai mekanisme
kerja berbeda. Bila sasaran kadar glukosa darah belum tercapai, dapat pula diberikan
kombinasi tiga OHO dari kelompok yang berbeda atau kombinasi OHO dengan
insulin. Pada pasien yang disertai dengan alasan klinis di mana insulin tidak
memungkinkan untuk dipakai, terapi dengan kombinasi tiga OHO dapat menjadi
pilihan.
Penilaian Hasil Terapi
a. Pemeriksaan kadar glukosa darah. Tujuan pemeriksaan glukosa darah:
- Untuk mengetahui apakah sasaran terapi telah tercapai
- Untuk melakukan penyesuaian dosis obat, bila belum tercapai sasaran terapi. Guna
mencapai tujuan tersebut perlu dilakukan pemeriksaan kadar glukosa darah puasa,
glukosa 2 jam post prandial, atau glukosa darah pada waktu yang lain secara
berkala sesuai dengan kebutuhan.
b. Pemeriksaan A1C
Tes hemoglobin terglikosilasi, yang disebut juga sebagai glikohemoglobin, atau
hemoglobin glikosilasi (disingkat sebagai A1C), merupakan cara yang digunakan
untuk menilai efek perubahan terapi 812 minggu sebelumnya. Tes ini tidak dapat
digunakan untuk menilai hasil pengobatan jangka pendek. Pemeriksaan A1C
dianjurkan dilakukan setiap 3 bulan, minimal 2 kali dalam setahun.
c. Pemeriksaan Glukosa Urin
Pengukuran glukosa urin memberikan penilaian yang tidak langsung. Hanya
digunakan pada pasien yang tidak dapat atau tidak mau memeriksa kadar glukosa
darah. Batas ekskresi glu-kosa renal rata-rata sekitar 180 mg/dL, dapat bervariasi pada
beberapa pasien, bahkan pada pasien yang sama dalam jangka waktu lama. Hasil
pemeriksaan sangat bergantung pada fungsi ginjal dan tidak dapat dipergunakan untuk
menilai keberhasilan terapi.