DIABETIC FOOT
DI RUANG PENYAKIT DALAM RSUD ULIN BANJARMASIN
Disusun Oleh :
Nurjanah, S. Kep
NPM. 2014901210131
Diabetic Foot (Kaki diabetik) adalah kelainan pada tungkai bawah yang merupakan
komplikasi kronik diabetes mellitus; merupakan suatu penyakit pada penderita
diabetes bagian kaki. Salah satu komplikasi yang sangat ditakuti penderita diabetes
adalah kaki diabetik. Komplikasi ini terjadi karena terjadinya kerusakan saraf,
pasien tidak dapat membedakan suhu panas dan dingin, rasa sakit pun berkurang
Kaki diabetik yaitu kelainan pada tungkai bawah yang merupakan komplikasi
kronik kaki Diabetes Mellitus. Merupakan salah satu gangguan kesehatan
komplikasi Diabetes Mellitus yang paling sering terjadi dimana perubahan
patologis pada anggota gerak bawah (kaki diabetik / diabetic foot) Dalam kondisi
keadaan kaki diabetik, yang terjadi adalah kelainan persarafan (neuropati),
perubahan struktural, tonjolan kulit (kalus), perubahan kulit dan kuku, luka pada
kaki, infeksi dan kelainan pembuluh darah. Keadaan kaki diabetik lanjut yang tidak
ditangani secara tepat dapat berkembang menjadi suatu tindakan pemotongan
(amputasi) kaki.
I.2 Klasifikasi
Menurut Wagner, kaki diabetic diabagi dalam 6 grade, yaitu:
I.2.1 Grade 0 tidak ada lesi terbuka, kulit masih utuh disertai dengan
::
pembentukan kalus ”claw” Kulit utuh tapi ada kelainan pada kaki akibat
neuropati.
I.2.2 Grade I : terdapat ulkus superfisial, terbatas pada kulit.
I.2.3 Grade II : ulkus dalam menembus tendon dantulang.
I.2.4 Grade III : ulkus dengan atau tanpa asteomyelitis.
I.2.5 Grade IV : ganggren jari kaki atau bagian distal kaki, dengan atau tanpa
selulitis (infeksi jaringan).
I.2.6 Grade V : gangren seluruh kaki atau sebagian tungkai bawah.
I.3 Etiologi
Dasar terjadinya kaki diabetik adalah :
I.3.1 Adanya suatu kelainan pada saraf.
I.3.2 Kelainan pembuluh darah dan
I.3.3 Kemudian adanya infeksi (karena daya tahan tubuh menurun).
Dari ketiga hal tersebut, yang paling berperan adalah kelainan pada saraf,
sedangkan kelainan pembuluh darah lebih berperan nyata pada penyembuhan
luka sehingga menentukan nasib kaki. Keadaan kelainan saraf dapat
mengenai saraf sensorik, saraf motorik, dan saraf otonom.
Bila mengenai saraf sensoris akan terjadi hilang rasa yang menyebabkan
penderita tidak dapat merasakan rangsang nyeri sehingga kehilangan daya
kewaspadaan proteksi kaki terhadap rangsang dari luar. Akibatnya, kaki lebih
rentan terhadap luka meskipun terhadap benturan kecil. Bila sudah terjadi
luka, akan memudahkan kuman masuk yang menyebabkan infeksi.
Bila infeksi ini tidak diatasi dengan baik, hal itu akan berlanjut menjadi
pembusukan (gangren) bahkan dapat diamputasi. Gangguan pada serabut
saraf motorik (serabut saraf yang menuju otot) dapat mengakibatkan
pengecilan (atrofi) otot interosseus pada kaki. Akibat lanjut dari keadaan ini
terjadi ketidakseimbangan otot kaki, terjadi perubahan bentuk (deformitas)
pada kaki seperti jari menekuk (cock up toes), bergesernya sendi (luksasi)
pada sendi kaki depan (metatarsofalangeal) dan terjadi penipisan bantalan
lemak di bawah daerah pangkal jari kaki (kaput metatarsal). Hal ini
menyebabkan adanya perluasan daerah yang mengalami penekanan, terutama
di bawah kaput metatarsal.
I.5 Patofisiologi
Sebagian besar gambaran patologik dari DM dapat dihubungkan dengan salah satu
efek utama akibat kurangnya insulin berikut: berkurangnya pemakaian glukosa oleh
sel-sel tubuh yang mengakibatkan naiknya konsentrasi glukosa darah setinggi 300 -
1.200 mg/dl. Peningkatan mobilisasi lemak dari daerah penyimpanan lemak yang
menyebabkan terjadinya metabolisme lemak yang abnormal disertai dengan
endapan kolestrol pada dinding pembuluh darah dan akibat dari berkurangnya
protein dalam jaringan tubuh.
Diabetes Mellitus tipe 2 terdapat dua masalah yang berhubungan dengan insulin,
yaitu resistensi insulin dan gangguan sekresi insulin. Normalnya insulin akan terikat
dengan reseptor khusus pada permukaan sel. Sebagai akibat terikatnya insulin
dengan reseptor tersebut, terjadi suatu rangkaian reaksi dalam metabolisme glukosa
didalam sel. Resistensi insulin pada Diabetes Mellitus tipe 2 disertai dengan
penurunan reaksi intrasel ini. Dengan demikian insulin menjadi tidak efektif untuk
menstimulus pengambilan glukosa oleh jaringan. Akibat intoleransi glukosa yang
berlangsung lambat dan progresif maka awitan Diabetes Mellitus tipe 2 dapat
berjalan tanpa terdeteksi. Jika gejalanya dialami pasien, gejala tersebut sering
bersifat ringan dan dapat mencakup kelelahan, iritabilitas, poliuria, polidipsia, luka
yang lama sembuh, infeksi vagina atau pandangan yang kabur (jika kadar
glukosanya sanggat tinggi) (Brunner & Suddarth, 2006).
Kondisi kaki diabetik berasal dari suatu kombinasi dari beberapa penyebab seperti
sirkulasi darah yang buruk dan neuropati. Berbagai kelainan seperti neuropati,
angiopati yang merupakan faktor endogen dan trauma serta infeksi yang merupakan
faktor eksogen yang berperan terhadap terjadinya kaki diabetik.Angiopati diabetes
disebabkan oleh beberapa faktor yaitu genetik, metabolik dan faktor risiko yang
lain. Kadar glukosa yang tinggi (hiperglikemia) ternyata mempunyai dampak negatif
yang luas bukan hanya terhadap metabolisme karbohidrat, tetapi juga terhadap
metabolisme protein dan lemak yang dapat menimbulkan pengapuran dan
penyempitan pembuluh darah (aterosklerosis), akibatnya terjadi gaangguan
peredaran pembuluh darah besar dan kecil., yang mengakibatkan sirkulasi darah
yang kurang baik, pemberian makanan dan oksigenasi kurang dan mudah terjadi
penyumbatan aliran darah terutama derah kaki.
Merangsang hipotalamus
BB menurun
keteasidosis
Gambar: 1.3
(Sumber: Nurarif & Kusuma, 2013).
II. Rencana Asuhan Keperawatan
II.1 Pengkajian
Menurut Riyadi & Sukarmin. (2008) menyatakan Konsep Asuhan Keperawatan
meliputi Assasment Pengkajian:
II.1.1 Keluhan Utama
Penderita biasanya datang dengan keluhn menonjol badan terasa sangat
lemas sekali disertai penglihatan yang kabur. Meskipun muncul keluhan
banyak kencing (poliura) kadang penderita belum tahu kalau itu slaah satu
tanda penyakit Diabetes Mellitus.
e) Telinga
- Daun telinga dilakukan inspeksi: masih simetris antara
kanan dan kiri
- Lubang telinga: produksi serumen tidak sampai
mengganggu diameter lubang
- Gendang telinga: kalau tidak tertutup serumen berwarna
putih keabuan, dan masih dapat bervibrasi dengan baik
apabila tidak mengalami ineksi sekunder.
f) Pendengaran
Pengkajian ketajaman pendengaran terhadap bisikan atau tes
garputala dapat mengalami penurunan.
g) Hidung
Jarang terjadi pembesaran polip dan sumbatan hidung kecuali
ada infeksi sekunder seperti influenza.
h) Mulut dan faring
Inspeksi pada bibir (sianosis, pucat apabila mengalami asidosis
atau penurunan perfusi ringan pada stadium lanjut), Mukosa
oral (kering dalam kondisi dehidrasi akibat diuresis osmosis),
gusi, langit-langit mulut, lidah, dan faring.
i) Leher
Pada inspeksi jarang tampak distensi vena jugularis,
pembesaran kelenjar limfe leher dapat muncul apabila ada
infeksi sistemik.
j) Toraks dan paru-paru
- Inspeksi frekuensi: irama, kedalaman dan upaya bernafas,
antara lain: takipnea, hipernea, dan pernafasan chyne stoke
(pada kondisi ketoasidosis).
- Amati bentuk dada: normal atau tidak.
- Dengarkan pernafasan pasien: Stridor pada obstruksi jalan
nafas. Mengi (apabila penderita sekaligus mempunyai
riwayat astma atau bronchitis kronik).
k) Dada
Dada posterior:
- Inspeksi: defoemitas, atau asimetris dan retruksi inspirasi
abdomen.
- Palpasi: adanya nyeri tekan atau tidak.
- Perkusi: pekak terjadi apabila cairan atau jaringan padat
menggantikan bagian paru yang normalnya terisi udara
(terjadi pada penderita dengan penyakit lain seperti effuse
pleura, tumor atau pasca penyembuhan TBC).
- Auskultasi: bunyi nafas vesikuler, bronco vesikuler (dalam
kondisi normal)
Dada anterior:
- Inpeksi: defoemitas, atau asimetri
- Palpasi: adanya nyeri tekan, ekspensi pernafasa
- Perkusi: pada penderita normal area paru terdengar sonor
- Auskultasi: bunyi nafas vesikuler, bronco vesikuler (dalam
kondisi tanpa penyerta penyakit lain).
l) Aksila
- Inpeksi terhadap kemerahan, infeksi dan pigmentasi
- Palpasi kelenjar aksila sentralis apakah ada linfodenopati.
m) Sistem kardiovaskuler
Adanya riwayat hipertensi, infark miokard akut, takikardi,
tekanan darah yang cenderung meningkat, disritmea, nadi yang
menurun, rasa kesemutan dan kebas pada ekstremitas
merupakan tanda gejala dari penderita Diabetes Mellitus.
n) Abdomen
- Inspeksi: pada kulit apakah strie dan simetris adanya
pembesaran organ (pada penderita dengan penyerta
penyakit sirosis hepatik atau hepatomegali dan
splenomegali).
- Auskultasi: bising usus apakah terjadi penurunan atau
peningkatan motilitas.
- Perkusi: tympani
- Palpasi: apakah ada nyeri tekan/massa.
o) Ginjal
Palpasi ginjal apakah ada nyeri tekan sudut kosta veterbral.
p) Genetalia
Penis: ada inspeksi apakah ada timosis pada prepusium dan
apakah ada hipospadia pada meatus uretara, apakah ada
kemerahan pada kulit skrotum.
q) Sistem musculoskeletal
Inspeksi persendian dan jaringan sekitar saat anda memeriksa
berbagai kondisi tubuh. Amati kemudahan dan rentang
gesekan kondisi jaringan sekitar, setiap deformitas
muskuloskletal, termasuk kurvatura abnormal dari tulang
belakang. Sering mengalami penurunan kekuatan
musculoskeletal dibuktikan dengan skor kekuatan otot yang
menurun dari angka 5.
r) Sistem neurosensori
Penderita Diabetes Mellitus biasanya merasakan gejala seperti:
- Pusing
- Sakit kepala
- Kesemutan, kebas kelemahan pada otot, parestesia
- Gangguan penglihatan
II.3 Perencanaan
II.3.1 Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan
dengan ketidakcukupan insulin.
Tujuan: setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 hari keperawatan
masalah Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh dapat teratasi
Kriteria evaluasi:
II.3.1.1 Pasien tidak lemah atau penurunan tingkat kelemahan
II.3.1.2 Peningkatan berat badan atau berat badan ideal atau normal
II.3.1.3 Lingkar lengan meningkat atau mendekati 10 cm
II.3.1.4 Nilai laboratorium hemoglobin untuk pria 13 - 16 gr/dl, untuk
wanita 12 - 14 gr/dl.
II.3.1.5 Nilai laboratorium yang terkait Diabetes Mellitus normal (terutama
GDS 60 - 100 mg/dl, kolesterol total 150 - 250 mg/dl, protein total
6 - 7,0 gr/dl)
1) Timbang berat badan atau ukur lingkar lengan setiap hari sesuai dengan
indikasi
Rasional: mengkaji indikasi terpenuhinya kebutuhan nutrisi dan
menentukan jumlah kalori yang harus dikonsumsi penderita Diabetes
Mellitus
2) Tentukan program diet dan pola makan pasien sesuai dengan kadar gula
yang dimiliki (dengan memakai rumus kebutuhan kalori untuk laki-
laki= berat badan ideal x 30, sedangkan untuk wanita berat badan ideal
x 25)
Rasional: menyesuaikan antara kebutuhan kalori dan kemampuan sel
untuk mengambil glukosa
3) Libatkan keluarga pasien pada dalam memantau waktu makan, jumlah
nutrisi
Rasional: meningkatkan partisipasi keluarga dan mengontrol masukan
nutrisi sesuai dengan kemampuan untuk menarik glukosa dalam sel.
4) Observasi tanda-tanda hipoglikemi (perubahan tingkat kesadaran, kulit
lembab/dingin, denyut nadi cepat, lapar, peka rangsang, cemas, sakit
kepala, pusing, sempoyongan)
Rasional: karena metabolisme karbohidrat mulai terjadi, gula darah akan
berkurang dan sementara pasien tetap diberikan insulin maka
hipoglikemi dapat terjadi.
Kolaborasi:
1) Pantau pemeriksaan laboratorium seperti glukosa darah, aseton, PH dan
HCO3.
Rasional: Gula darah akan menurun perlahan dengan penggunaan terapi
insulin terkontrol. Dengan pemberian insulin dosis optimal glukosa
dapat masuk ke dalam sel dan digunakan untuk sumber kalori.
Peningkatan aseton, PH dan HCO3 sebagai indikasi kelebihan benda
keton.
2) Berikan pengobatan insulin secara teratur dengan tehnik intravena
secara intermitten atau secara continue.
Rasional: insulin regular memiliki awitan cepat dan karenanya dengan
cepat pula dapat membantu memindahkan ke dalam sel, pemberian
melalui intravena merupakan rute pilihan utama karena absorbsi dari
jaringan subkutan mungkin tidak mennetu/sangat lambat.
Intervensi:
Daftar Pustaka
Baradero, Dayrit M, & Siswadi M. (2009), Klien Gangguan Endokrin: Seri Asuhan
Keperawatan. Edisi 1. Jakarta: EGC.
Bilous. R & Donelly.R . (2014), Buku Pegangan Diabetes. Edisi 4. Cetakan 1. Jakarta: Bumi
Medika.
Brunner & Suddarth. (2006). Patofisiologi Konsep Klinis Proses - Proses Penyakit. Edisi 6.
Cetakan 1. Jakarta:EGC.
Black M. J & Hawks H. J. (2009). Medical Surgical Nursing. Eighth Edition. Vol. 1.
Singapore: Elsevier.
Nurarif, H.A & Kusuma, H. (2013). Asuhan Keperawatan berdasarkan Diagnosa Medis &
Nanda. Edisi Revisi. Jilid 1. Yogyakarta: Med Action.
Riyadi, S & Sukarmin. (2008). Asuhan Keperawatan pada pasien dengan Gangguan
Eksokrin dan Endokrin pada Pankreas. Edisi 1. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Tarwoto, Wartonah, Taufiq, I. & Mulyati, L. (2012). Keperawatan Medika Bedah Gangguan
sistem Endokrin. Edisi 1. Jakarta: Trans Info Media.