Anda di halaman 1dari 27

LAPORAN PENDAHULUAN

DIABETIC FOOT
DI RUANG PENYAKIT DALAM RSUD ULIN BANJARMASIN

Preseptor Akademik : Solikin, Ns.,M.Kep.,Sp.Kep.MB


Preseptor Klinik : Helda Iriani, Ns.,M.Kep

Disusun Oleh :
Nurjanah, S. Kep
NPM. 2014901210131

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH BANJARMASIN


FAKULTAS KEPERAWATAN DAN ILMU KESEHATAN
PROGRAM STUDI PROFESI NERS
BANJARMASIN 2021
LP DIABETIC FOOT
I. Konsep Penyakit
I.1 Definisi
Diabetes Mellitus merupakan kondisi kronis yang ditandai dengan peningkatan
konsentrasi glukosa darah disertai munculnya gejala utama yang khas, yakni urin
yang berasa manis dalam jumlah besar (Bilous & Donelly, 2014).

Diabetic Foot (Kaki diabetik) adalah kelainan pada tungkai bawah yang merupakan
komplikasi kronik diabetes mellitus; merupakan suatu penyakit pada penderita
diabetes bagian kaki. Salah satu komplikasi yang sangat ditakuti penderita diabetes
adalah kaki diabetik. Komplikasi ini terjadi karena terjadinya kerusakan saraf,
pasien tidak dapat membedakan suhu panas dan dingin, rasa sakit pun berkurang

Kaki diabetik yaitu kelainan pada tungkai bawah yang merupakan komplikasi
kronik kaki Diabetes Mellitus. Merupakan salah satu gangguan kesehatan
komplikasi Diabetes Mellitus yang paling sering terjadi dimana perubahan
patologis pada anggota gerak bawah (kaki diabetik / diabetic foot) Dalam kondisi
keadaan kaki diabetik, yang terjadi adalah kelainan persarafan (neuropati),
perubahan struktural, tonjolan kulit (kalus), perubahan kulit dan kuku, luka pada
kaki, infeksi dan kelainan pembuluh darah. Keadaan kaki diabetik lanjut yang tidak
ditangani secara tepat dapat berkembang menjadi suatu tindakan pemotongan
(amputasi) kaki.

Kesimpulannya, Diabetes Mellitus adalah suatu penyakit gangguan metabolisme


yang ditandai dengan ketidakmampuan tubuh melakukan metabolisme karbohidrat,
lemak dan protein sehingga menyebabkan terjadinya hiperglikemia, Kaki diabetik
adalah salah satu komplikasi kronik Diabetes Mellitus yang bisa menurunkan
fungsi kaki sebagai alat mobilitas dan paling ditakuti oleh para penderita Diabetes
Mellitus.

I.2 Klasifikasi
Menurut Wagner, kaki diabetic diabagi dalam 6 grade, yaitu:
I.2.1 Grade 0 tidak ada lesi terbuka, kulit masih utuh disertai dengan
::

pembentukan kalus ”claw” Kulit utuh tapi ada kelainan pada kaki akibat
neuropati.
I.2.2 Grade I : terdapat ulkus superfisial, terbatas pada kulit.
I.2.3 Grade II : ulkus dalam menembus tendon dantulang.
I.2.4 Grade III : ulkus dengan atau tanpa asteomyelitis.
I.2.5 Grade IV : ganggren jari kaki atau bagian distal kaki, dengan atau tanpa
selulitis (infeksi jaringan).
I.2.6 Grade V : gangren seluruh kaki atau sebagian tungkai bawah.

I.3 Etiologi
Dasar terjadinya kaki diabetik adalah :
I.3.1 Adanya suatu kelainan pada saraf.
I.3.2 Kelainan pembuluh darah dan
I.3.3 Kemudian adanya infeksi (karena daya tahan tubuh menurun).
Dari ketiga hal tersebut, yang paling berperan adalah kelainan pada saraf,
sedangkan kelainan pembuluh darah lebih berperan nyata pada penyembuhan
luka sehingga menentukan nasib kaki. Keadaan kelainan saraf dapat
mengenai saraf sensorik, saraf motorik, dan saraf otonom.
Bila mengenai saraf sensoris akan terjadi hilang rasa yang menyebabkan
penderita tidak dapat merasakan rangsang nyeri sehingga kehilangan daya
kewaspadaan proteksi kaki terhadap rangsang dari luar. Akibatnya, kaki lebih
rentan terhadap luka meskipun terhadap benturan kecil. Bila sudah terjadi
luka, akan memudahkan kuman masuk yang menyebabkan infeksi.

Bila infeksi ini tidak diatasi dengan baik, hal itu akan berlanjut menjadi
pembusukan (gangren) bahkan dapat diamputasi. Gangguan pada serabut
saraf motorik (serabut saraf yang menuju otot) dapat mengakibatkan
pengecilan (atrofi) otot interosseus pada kaki. Akibat lanjut dari keadaan ini
terjadi ketidakseimbangan otot kaki, terjadi perubahan bentuk (deformitas)
pada kaki seperti jari menekuk (cock up toes), bergesernya sendi (luksasi)
pada sendi kaki depan (metatarsofalangeal) dan terjadi penipisan bantalan
lemak di bawah daerah pangkal jari kaki (kaput metatarsal). Hal ini
menyebabkan adanya perluasan daerah yang mengalami penekanan, terutama
di bawah kaput metatarsal.

Sementara itu, kelainan saraf otonom bisa menyebabkan perubahan pola


keringat sehingga penderita tidak dapat berkeringat, kulit menjadi kering,
mudah timbul pecah-pecah pada kulit kaki, akibatnya mudah terkena infeksi.
Selain itu, terjadi perubahan daya membesar-mengecil pembuluh darah
(vasodilatasi-vasokonstriksi) di daerah tungkai bawah, akibatnya sendi
menjadi kaku. Keadaan lebih lanjut terjadi perubahan bentuk kaki
(Charchot), yang menyebabkan perubahan daerah tekanan kaki yang baru dan
berisik terjadinya luka.
Kelainan pembuluh darah berakibat tersumbatnya pembuluh darah sehingga
menghambat aliran darah, mengganggu suplai oksigen, bahan makanan atau
obat antibiotika yang dapat menggagu proses penyembuhan luka. Pada
gangguan pembuluh darah, kaki bisa terasa sakit, jika diraba terasa dingin,
jika ada luka sukar sembuh karena aliran darah ke bagian tersebut sudah
berkurang. Pemeriksaan nadi pada kaki sukar diraba, kulit tampak pucat atau
kebiru-biruan, kemudian pada akhirnya dapat menjadi gangren/jaringan
busuk, kemudian terinfeksi dan kuman tumbuh subur, hal ini akan
membahayakan pasien karena infeksi bisa menjalar ke seluruh tubuh (sepsis).

Keberadaan masalah tersebut pada kaki diabetes akan memicu timbulnya


beberapa masalah baru antara lain: Kapalan, mata ikan dan melepuh;
cantengan (kuku masuk ke dalam jaringan); kulit kaki retak; dan kutil pada
telapak kaki radang ibu jari kaki. Faktor Resiko Terjadinya Kaki Diabetik
I.3.3.1 Penderita kaki diabetik sangat tergantung dari usia (usia pasien
lebih dari 40 tahun) karena semakin tua usia penderita Diabetes
Mellitus semakin mudah untuk mendapatkan masalah yang serius
pada kaki dan tungkainya.
I.3.3.2 Lamanya menderita Diabetes Mellitus (menderita Diabetes
Mellitus lebih dari 10 tahun).
I.3.3.3 Riwayat merokok.
I.3.3.4 Penurunan denyut nadi perifer.
I.3.3.5 Penurunan sensibilitas.
I.3.3.6 Deformitas Anatomis (bagian yang menonjol)
I.3.3.7 Riwayat ulkus kaki / amputasi.

I.3.4 Dm tipe I Insulin Dependent Diabetes Mellitus (IDDM)


Diabetes yang tergantung insulin ditandai dengan penghancuran sel-sel beta
pankreas yang disebabkan oleh:
I.3.4.1 Faktor genetik penderita tidak mewarisi Diabetes tipe itu sendiri,
tetapi mewarisi suatu predisposisi atau kecendrungan genetik
kearah terjadinya Diabetes Mellitus tipe I.
I.3.4.2 Faktor imunologi (autoimun)
I.3.4.3 Faktor lingkungan: virus atau toksin tertentu dapat memicu proses
autoimun yang menimbulkan estruksi sel beta.
I.3.5 Dm tipe II Non Insulin Dependent Diabetes Mellitus (NIDDM)
Disebabkan oleh kegagalan relatif sel beta dan resistensi insulin. Faktor
yang berhubungan dengan proses terjadinya diabetes mellitus tipe II: usia,
obesitas, riwayat dan keluarga.
(Nurarif & Kusuma, 2013).

I.4 Tanda Gejala


Adapun gambaran klinis kaki diabetik yang disebut 5P, yaitu :
I.4.1 Pain (nyeri).
I.4.2 Paleness (kepucatan)
I.4.3 Parestesia (parestesia dan kesemutan).
I.4.4 Pulselessness (denyut nadi hilang).
I.4.5 Paralisis (lumpuh).
Bila terjadi sumbatan kronik, akan timbul gambaran klinis menurut pola
dari Fontaine, yaitu :
I.4.6 Stadium I : asimptomatis atau gejala tidak khas (semutan
atau gringgingan).
I.4.7 Stadium II : terjadi klaudikasio intermiten.
I.4.8 Stadium III : timbul nyeri saat istirahat.
I.4.9 Stadium IV : berupa manifestasi kerusakan jaringan karena anoksia (ulkus).
(Tarwoto et al., 2012).

Dan tanda gejala pada diabetes mellitus adalah :


Sering kencing atau meningkatnya frekuensi buang air kecil (poliuria) adanya
hiperglikemia menyebabkan sebagian glukosa di keluarkan oleh ginjal bersama urin
karena keterbatasan kemampuan filtrasi ginjal dan kemampuan reabsorpsi dari
tubulus ginjal. Untuk mempermudah pengeluaran glukosa tubulus ginjal. Untuk
mempermudah pengeluaran glukosa maka diperlukan banyak air, sehingga frekuensi
miksi menjadi meningkat.
a. Meningkatnya rasa haus (polidipsi) banyaknya miski menyebabkan tubuh
kekurangan cairan (dehidrasi), hal ini merangsang pusat haus yang
mengakibatkan peningkatan rasa haus.
b. Meningkatnya rasa lapar (polipagia) meningkatnya katabolisme pemecahan
glikogen untuk energi menyebabkan energi berkurang keadaan ini menstimulasi
pusat lapar.
c. Penurunan berat badan disebabkan karena banyaknya kehilangan cairan,
glikogen dan cadangan trigliserida serta massa otot.
d. Kelainan pada mata, penglihatan kabur pada kondisi kronis keadaan
hiperglikemia menyebabkan aliran darah menjadi lambat, sirkulasi ke vaskuler
tidak lancar, termasuk pada mata yang dapat merusak retina serta kekeruhan
pada lensa.
e. Kulit gatal, infeksi kulit, gatal-gatal disekitar penis dan vagina peningkatan
glukosa darah mengakibatkan penumpukan pula pada kulit sehingga menjadi
gatal, jamur, dan bakteri mudah menyerang kulit.
f. Ketonuria ketika glukosa tidak lagi di gunakan untuk energi, maka digunakan
asam lemak untuk energi, asam lemak akan dipecah menjadi keton yang
kemudian berada pada darah dan dikeluarkan melalui ginjal.
g. Kelemahan dan keletihan, kurangnya cadangan energi adanyakelaparan sel,
kehilangan potassium menjadi akibat pasien mudah lelah dan letih.
h. Terkadang tanpa gejala pada keadaan tertentu, tubuh sudah dapat beradaptasi
dengan peningkatan glukosa darah
(Tarwoto et al., 2012).

I.5 Patofisiologi
Sebagian besar gambaran patologik dari DM dapat dihubungkan dengan salah satu
efek utama akibat kurangnya insulin berikut: berkurangnya pemakaian glukosa oleh
sel-sel tubuh yang mengakibatkan naiknya konsentrasi glukosa darah setinggi 300 -
1.200 mg/dl. Peningkatan mobilisasi lemak dari daerah penyimpanan lemak yang
menyebabkan terjadinya metabolisme lemak yang abnormal disertai dengan
endapan kolestrol pada dinding pembuluh darah dan akibat dari berkurangnya
protein dalam jaringan tubuh.

Pasien-pasien yang mengalami defisiensi insulin tidak dapat mempertahankan kadar


glukosa plasma puasa yang normal atau toleransi sesudah makan. Pada hiperglikemi
yang parah yang melebihi ambang ginjal normal (konsentrasi glukosa darah sebesar
160 - 180 mg/100 ml), akan timbul glikosuria karena tubulus-tubulus renalis tidak
dapat menyerap kembali semua glukosa. Glukosuria ini akan mengakibatkan
dieresis osmotik yang menyebabkan poliuri disertai kehilangan sodium, klorida,
potassium, dan pospat. Adanya poliuri menyebabkan dehidrasi dan timbul polidipsi.
Akibat glukosa yang keluar bersama urin maka pasien akan mengalami
keseimbangan protein negatif dan berat badan menurun serta cenderung terjadi
polifagi. Akibat yang lain adalah asthenia atau kekurangan energi sehigga pasien
menjadi cepat lelah dan mengantuk yang disebabkan oleh berkurangnya atau
hilangnya protein tubuh dan juga berkurangnya penggunaan karbohidrat untuk
energi.
Hiperglikemia yang lama akan menyebabkan arterosklerosis, penebalan membran
basalis dan perubahan pada saraf perifer. Ini akan memudahkan terjadinya gangren
pasien yang mengalami defisiensi insulin tidak dapat mempertahankan kadar
glukosa yang normal, atau toleransi glukosa sesudah makan karbohidrat, jika
hiperglikemianya parah dan melebihi ambang ginjal, maka timbul glukosoria.
Glukosoria ini akan mengakibatkan dieresis osmotik yang meningkatkan
mengeluarkan kemih (poliuria) harus testimulasi, akibatnya pasien akan minum
dalam jumlah banyak karena glukosa hilang bersama kemih, maka pasien
mengalami keseimbangan kalori negative dan berat badan berkurang. Rasa lapar
yang semakin besar (polifagia) timbul sebagai akibat kekurangan kalori (Wijaya &
Putri, 2013).

Diabetes Mellitus tipe I terdapat ketidakmampuan untuk menghasilkan insulin


karena sel-sel beta pankreas telah dihancurkan oleh proses autoimun. Hiperglikemi
puasa terjadi akibat produksi glukosa yang tidak terukur oleh hati. Disamping itu,
glukosa yang berasal dari makanan tidak dapat disimpan dalam hati meskipun tetap
berada dalam darah dan menimbulkan hiperglikemia postprandial (sesudah makan),
jika konsentrasi glukosa dalam darah cukup tinggi, ginjal tidak dapat menyerap
kembali semua glukosa yang tersaring keluar, akibatnya glukosa tersebut muncul
dalam urin (glukosuria). Ketika glukosa yang berlebih dieksresikan dalam urin,
eksresi ini akan disertai pengeluaran cairan dan elektrolit yang berlebihan, pasien
akan mengalami peningkatan dalam berkemih (poliuria) dan rasa haus (polidipsi)
(Brunner & Suddarth, 2006).

Defisiensi insulin juga mengganggu metabolisme protein dan lemak yang


menyebabkan penurunan berat badan. Pasien dapat mengalami peningkatan selera
makan (polifagia) akibat menurunnya simpanan kalori. Gejala lainnya mencakup
kelelahan dan kelemahan. Proses ini akan terjadi tanpa hambatan dan lebih lanjut
turut menimbulkan hiperglikemia. Disamping itu akan terjadi pemecahan lemak.
Badan keton merupakan asam yang mengganggu keseimbangan asam basa tubuh
apabila jumlahnya berlebihan. Ketoasidosis yang diakibatkannya dapat
menyebabkan tanda dan gejala seperti nyeri abdominal, mual, muntah,
hiperventilasi, nafas berbau aseton dan bila tidak di tangani akan menimbulkan
perubahan kesadaraan, koma bahkan kematian.2

Diabetes Mellitus tipe 2 terdapat dua masalah yang berhubungan dengan insulin,
yaitu resistensi insulin dan gangguan sekresi insulin. Normalnya insulin akan terikat
dengan reseptor khusus pada permukaan sel. Sebagai akibat terikatnya insulin
dengan reseptor tersebut, terjadi suatu rangkaian reaksi dalam metabolisme glukosa
didalam sel. Resistensi insulin pada Diabetes Mellitus tipe 2 disertai dengan
penurunan reaksi intrasel ini. Dengan demikian insulin menjadi tidak efektif untuk
menstimulus pengambilan glukosa oleh jaringan. Akibat intoleransi glukosa yang
berlangsung lambat dan progresif maka awitan Diabetes Mellitus tipe 2 dapat
berjalan tanpa terdeteksi. Jika gejalanya dialami pasien, gejala tersebut sering
bersifat ringan dan dapat mencakup kelelahan, iritabilitas, poliuria, polidipsia, luka
yang lama sembuh, infeksi vagina atau pandangan yang kabur (jika kadar
glukosanya sanggat tinggi) (Brunner & Suddarth, 2006).

Dan Diabetes seringkali menyebabkan penyakit vaskular perifer yang menghambat


sirkulasi darah. Dalam kondisi ini, terjadi penyempitan di sekitar arteri yang sering
menyebabkan penurunan sirkulasi yang signifikan di bagian bawah tungkai dan
kaki. Sirkulasi yang buruk ikut berperan terhadap timbulnya kaki diabetik dengan
menurunkan jumlah oksigen dan nutrisi yang disuplai ke kulit maupun jaringan lain,
sehingga menyebabkan luka tidak sembuh-sembuh

Kondisi kaki diabetik berasal dari suatu kombinasi dari beberapa penyebab seperti
sirkulasi darah yang buruk dan neuropati. Berbagai kelainan seperti neuropati,
angiopati yang merupakan faktor endogen dan trauma serta infeksi yang merupakan
faktor eksogen yang berperan terhadap terjadinya kaki diabetik.Angiopati diabetes
disebabkan oleh beberapa faktor yaitu genetik, metabolik dan faktor risiko yang
lain. Kadar glukosa yang tinggi (hiperglikemia) ternyata mempunyai dampak negatif
yang luas bukan hanya terhadap metabolisme karbohidrat, tetapi juga terhadap
metabolisme protein dan lemak yang dapat menimbulkan pengapuran dan
penyempitan pembuluh darah (aterosklerosis), akibatnya terjadi gaangguan
peredaran pembuluh darah besar dan kecil., yang mengakibatkan sirkulasi darah
yang kurang baik, pemberian makanan dan oksigenasi kurang dan mudah terjadi
penyumbatan aliran darah terutama derah kaki.

Neuropati diabetik dapat menyebabkan insensitivitas atau hilangnya kemampuan


untuk merasakan nyeri, panas, dan dingin. Diabetes yang menderita neuropati dapat
berkembang menjadi luka, parut, lepuh, atau luka karena tekanan yang tidak disadari
akibat adanya insensitivitas. Apabila cedera kecil ini tidak ditangani, maka
akibatnya dapat terjadi komplikasi dan menyebabkan ulserasi dan bahkan amputasi.
neuropati juga dapat menyebabkan deformitas seperti Bunion, Hammer Toes (ibu
jari martil), dan Charcot Foot.
I.6 Pemeriksaan Penunjang
Menurut Riyadi & Sukarmin (2008) Pemeriksaan gula darah pada pasien Diabetes
Mellitus antara lain:
I.6.1 Gula darah puasa (GDP) 70 - 110 mg/dl
Kriteria diagnostik untuk DM > 140 mg/dl paling sedikit dalam dua kali
pemeriksaan atau > 140 mg/dl disertai gejala klasik hiperglikemia, atau IGT
115 - 140 mg/dl.
I.6.2 Gula darah 2 jam post prondial < 140 mg/dl
Digunakan untuk skrining atau evaluasi pengobatan bukan di diagnostik.
I.6.3 Gula darah sewaktu < 140 mg/dl
Digunakan untuk skrining bukan diagnostik.
I.6.4 Tes Toleransi Glukosa Oral (TTGO)
GD <115 mg/dl ½ jam, 1 jam, 1 ½ jam < 200 mg/dl, 2 jam < 140 mg/dl.
TTGO dilakukan hanya pada pasien yang telah bebas dan diet dan
beraktivitas fisik 3 hari sebelum tes tidak dianjurkan pada:
I.6.4.1 Hiperglikemi yang sedang puasa
I.6.4.2 Orang yang mendapat thiazide, dilantin, propanolol, lasik, thyroid,
estrogen, pil KB, steroid.
I.6.4.3 Pasien yang dirawat atau sakit akut atau pasien inaktif.
I.6.5 Tes Toleransi Glukosa Intravena (TTGI)
Dilakukan jika TTGO merupakan kontraindikasi atau terdapat kelainan
gastrointestinal yang mempengaruhi absorbsi glukosa.
I.6.6 Tes Toleransi Kortison Glukosa
Digunakan jika TTGO tidak bermakna, kortison menyebabkan peningkatan
kadar gula darah abnormal dan menurunkan penggunaan gula darah perifer
pada orang yang berpredisposisi menjadi DM kadar glukosa darah 140 mg/dl
pada akhir 2 jam dianggap sebagai hasil positif.
I.6.7 Glycosatet Hemoglobin
Berguna dalam memantau kadar glukosa dengan rata-rata selam lebih dari 3
bulan.
I.6.8 C-Peptide 1 - 2 mg/dl (puasa) 5 - 6 kali meningkat setelah pemberian
glukosa
Untuk mengukur proinsulin (produk samping yang tak aktif secara biologis)
dari pembentukan insulin dapat membantu mengetahui sekresi insulin.
I.6.9 Insulin serum puasa: 2 - 20 mu/ml post glukosa sampai 120 mu/ml, tidak
digunakan secara luas dalam klinik, dapat digunakan dalam diagnosa
hipoglikemia atau dalam penelitian Diabetes.
I.7 Komplikasi
Menurut Baradero et al., (2009) Komplikasi Diabetes mellitus diklasifikasi menjadi
akut dan kronis. Yang termasuk dalam komplikasi akut adalah hipoglikemia,
Diabetes Ketoasidosis, dan hyperglycemic hyperosmolar nonketotic coma yang
termasuk dalam komplikasi kronis adalah retinopati diabetik, nefropati diabetic,
neuropati, dispidemia, dan hipertensi.
I.7.1 Komplikasi Akut
I.7.1.1 Hipoglikemia
Hipoglikemia adalah keadaan dengan kadar glukosa darah dibawah
60 mg/dl, yang merupakan komplikasi potensial terapi insulin atau
obat hipoglikemik oral. Penyebab hipoglikemia pada pasien yang
sedang menerima pengobatan insulin eksogen atau hipoglikemik
oral antara lain:
a) Regimen insulin yang tidak fisiologis
b) Overdosis insulin atau sulfonylurea
c) Tidak makan
d) Tidak mengonsumsi kudapan yang telah diirencanakan
e) Gerak badan tanpa konpensasi makanan
f) Penyakit ginjal stadium akhir
g) Penyakit hati stadium akhir
h) Konsumsi alkohol
I.7.1.2 Diabetes ketoasidosis
Diabetes ketoasidosis adalah akibat yang berat dari deficit insulin
yang berat dari jaringan adipose, otot skeletal, dan hepar. Jaringan
tersebut termasuk sangat sensitive terhadap kekurangan insulin.
DKA dapat dicetuskan oleh infeksi (penyakit).
I.7.1.3 Hyperglycemic Hyperosmolar Nonketotic Coma (HHNC).
HHNC adalah komplikasi akut DM tipe II. HHNC merupakan
kondisi kedaruratan medis. Penanganan utama adalah rehidrasi
dengan larutan hipotonik intravena (salin normal 0.45%). Pasien ini
diberikan larutan hipotonik karena masalah hiperglikemia juga
akan teratasi. Pasien tidak perlu diberi insulin.
I.7.2 Komplikasi Kronis
Klasifikasi komplikasi kronis adalah mikrovaskular (menyangkut pembuluh
darah kecil) dan makrovaskular (menyangkut pembuluh darah besar).
Komplikasi ini adalah akibat lama dan beratnya hiperglikemia. Perubahan
pada pembuluh darah mengakibatkan retinopati diabetic, nefropati diabetik,
neuropati perifer dan autonomic, penyakit vascular perifer, penyakit
serebrovaskular (stroke), serta penyakit arteri koroner. Komplikasi
mikrovaskular dari Diabetes Mellitus Tipe II jarang ditemukan dal 5 - 10
tahun setelah penyakit diketahui. Rokok bisa mempercepat timbulnya
komplikasi mikrovaskular dan makrovaskular.
I.7.2.1 Retino diabetik
Lesi paling awal yang timbul adalah mikroaneurisma pada
pembuluh retina. Terdapat pula bagian iskemik, yaitu retina akibat
berkurangnya aliran darah retina. Respons terhadap iskemik retina
ini adalah pembentukan pembuluh darah baru, tetapi pembuluuh
darah tersebut sangat rapuh sehingga mudah pecah dan
menyebabkan perdarahan vitreous (perdarahan dalam cairan
vitreous). Perdarahan ini bisa mengakibatkan ablasio retina
(lepasnya retina) atau berulang yang mengakibatan kebutaan
permanen. Pengobatan dengan laser fotokoagulasi pada tahap awal
dapat mencegah kebutaan. Laser fotokoagulasi dapat menutupi
kebocoran pembuluh darah retina.
I.7.2.2 Nefropati diabetik
Lesi renal yang khas dari nefropati diabetic adalah
glomerulosklerosis yang nodular yang tersebar di kedua ginjal yang
disebut sindrom Kommelstiel-Wilson.
Glomerulosklerosis nodular dikaitkan dengan proteinuria, edema,
dan hipertensi. Lesi sindrom Kommelstiel-Wilson ditemukan hanya
pada DM. sekitar 10 - 35 % pasien dengan DM menderita
komplikasi ini. Permulaan nefropati diabetik adalah hipertropi dan
hiperfiltrasi glomerulus.
I.7.2.3 Neuropati
Neuropati diabetik terjadi pada 60 - 70 % individu DM. Neuropatik
diabetik yang paling sering ditemukan adalah neuropatik perifer
dan autonomik.
I.7.2.4 Dislipidemia
50% individu dengan diabetes mellitus mengalami dislipidemia.
Ada peningkatan kolesterol Low Density Lipoprotein (LDL) dan
trigliserida yang bisa mengakibbatkan aterosklirosis. Karena
resistensi insulin, profil lipid pasien dengan DM tipe II adalah
hipertrigliseridemia dan hiperkolerterolemia.
I.7.2.5 Hipertensi
Sebanyak 60% - 65% pasien dengan DM mengalami hipertensi.
Hipertensi pada pasien dengan DM Tipe I menunjukan penyakit
ginjal, mikroalbuminuria, atau proteinuria. Pada pasien DM tipe II,
hipertensi bisa menjadi hipertensi esensial. Hipertensi harus
secepat mungkin diketahui dan ditangani secara agresif karena bisa
memperberat retinopati, nefropati, dan penyakit makrovaskular.
Tujuan penanganan hipertensi adalah tekanan darah mencapai
130/85 mmHg.
I.8 Penatalaksanaan
Menurut Tarwoto et al. (2012) menyebutkan bahwa penatalaksanaan adalah:

I.8.1 Penatalaksanaan Medis


Penatalaksanaan Medis pada pasien dengan ulkus diabetikum meliputi:
I.8.1.1 Obat hiperglikemik oral (OHO).Berdasarkan cara kerjanya OHO
dibagi menjadi 4 golongan
a. :Pemicu sekresi insulin.
b. Penambah sensitivitas terhadap insulin
c. Penghambat glukoneogenesis.
d. Penghambat glukosidase alfa.
I.8.1.2 Insulin
Insulin diperlukan pada keadaan :
a. Penurunan berat badan yang cepat.
b. Hiperglikemia berat yang disertai ketoasidosis.
c. Ketoasidosis diabetik.
d. Gangguan fungsi ginjal atau hati yang berat.
I.8.1.3 Terapi Kombinasi
Pemberian OHO maupun insulin selalu dimulai dengan dosis rendah,
untuk kemudian dinaikkan secara bertahap sesuai dengan respon
kadar glukosa darah,
I.8.1.4 Antibiotik
Antibiotic sangat diperlukan bagi penderita ulkus diabetikum untuk
mencegah kerusakan jaringan lebih parah dengan mengurangi resiko
amputasi.
I.8.1.5 Analgesic
Mengurasi rasa sakit yang di timbulkan dari ulkus diabetikum.
a. Debridement
b. Nekrotomi
c. Amputasi
Amputasi dilakukan bila luka sudah menyebar menjadi jaringan nekrosis
pada area kaki.
1) Derajat 0 : perawatan lokal secara khusus tidak ada
2) Derajat I-IV : pengelolaan medik dan tindakan bedah minor
3) Derajat V : tindakan bedah minor, bila gagal dilanjutkan dengan tindakan
bedah mayor seperti amputasi diatas lutut atau amputasi bawah lutut

Beberapa tindakan bedah khusus diperlukan dalam pengelolaan kaki diabetik


ini, sesuai indikasi dan derajat lesi yang dijumpai seperti :
a. Insisi : abses atau selullitis yang luas
b. Eksisi : pada kaki diabetik derajat I dan II
c. Debridement/nekrotomi : pada kaki diabetik derajat II, III,IV dan V
d. Mutilasi : pada kaki diabetik derajat IV dan V
e. Amputasi : pada kaki diabetik derajat V

I.8.2 Penatalaksanaan keperawatan


I.8.2.1 Perawatan Kaki Diabetik
Upaya pencegahan primer pada pengelolaan kaki diabetik : Yang
bertujuan untuk mencegahnya luka. Upaya yang dilakukan antara lain:
a. Edukasi kesehatan diabetes melitus, komplikasi dan perawatan kaki.
b. Status gizi yang baik dan pengendalian diabetes melitus
c. Pemeriksaan berkala diabetes melitus
d. Pemeriksaan berkala kaki penderita
e. Pencegahan/ perlindungan terhadap trauma seperti sepatu khusus
f. Higiene personal (kebersihan diri) termasuk kaki
g. Menghilangkan faktor biomekanis yang mungkin menyebabkan ulkus
Adapun cara perawatan kaki diabetik adalah :
a. Periksalah kaki setiap hari terutama telapak kaki, jari kaki dan sela
jari kaki. Pemeriksaan dilakukan di tempat yang terang, gunakan
cermin untuk memudahkan pemantauan, untuk melihat bagian
bawah kaki, atau minta bantuan orang lain untuk memeriksa.
Perhatikan apakah ada luka atau tidak, kulit kemerahan atau
penebalan kulit.
b. Bersihkan kaki setiap hari pada waktu mandi dengan air bersih (air
hangat) dan sabun mandi. Bila perlu gosok kaki dengan sikat lunak
atau batu apung. Keringkan kaki dengan handuk bersih, lembut,
sela- sela jari kaki harus kering, terutama sela jari kaki ke-3-4 dan
ke-4-5. jangan gunakan air panas, suhu air yang digunakan untuk
mencuci kaki antara 29,5 – 30 oc (85 – 90 oF) dan bila perlu
diukur dahulu dengan termometer. Atau periksa air dengan
menggunakan sikut tanggan (jangan menggunakan kaki).
c. Berikan pelembab / losion pada daerah kaki yang kering, teteapi
tidak pada sela jari, gunanya menjaga agar kaki tidak retak.
d. Perawatan kuku dilakukan setiap hari bersamaan dengan
perawatan kulit kaki. Saat pemotongan kuku, jika kuku terlalu
keras dan kotor, rendam dalam air sabun hangat selama 5 menit
agar kotoran mudah lepas dan kuku menjadi agak lunak. Jika
penglihatan penderita terganggu, sebaiknya minta tolong pada
orang lain untuk memotong kukunya.
e. Arah pemotongan kuku sesuai dengan bentuk kuku. Gunting kuku
kaki lurus mengikuti bentuk normal jari kaki, tidak terlalu pendek
atau terlalu dekat dengan kulit, kemudian kikir agar kuku tidak
tajam. Jika ditemukan adanya kelainan kuku atau luka dianjurkan
berkonsultasi ke dokter. Pada kulit kering dapat ditambahkan
lotion, kecuali pada sela jari dan bila kulit sudah pecah-pecah atau
luka terbuka. Jangan memakai powder karena dapat menjadi lebih
kering dan merupakan bahan iritan kulit.
f. Pakai alas kaki sepatu atau sandal untuk melindungi kaki agar
tidak terjadi luka, juga di dalam rumah.
g. Sepatu yang dipakai harus sesuai dengan bentuk dan besarnya
kaki. Hal ini dapat dilihat dari gambaran telapak kaki yang dibuat
pada kertas yang dapat dibuat sendiri. Permukaan atas sepatu harus
lunak, bagian tumit sepatu harus kokoh agar kaki stabil, bagian
alas sepatu yang bersentuhan dengan kaki (insole) permukaannya
harus sesuai dengan bentuk permukaan telapak kaki yang normal,
yaitu memiliki kelengkungan (arch support). Dengan
kelengkungan ini seluruh permukaan telapak kaki akan tertahan
dengan baik dan benar. Alas sepatu ini harus dilapisi dengan
bahan yang halus dan empuk agar permukaan telapak kaki tidak
lecet. Apabila sepatu yang dipakai baru dibeli, sebaiknya pada
pemakaian awal diperiksa adakah daerah kemerahan akibat
penekanan yang berlebihan. Apabila memakai kaus kaki,
sebaiknya memakai kaus kaki dari bahan katun yang dapat
menyerap keringat. Tebal kaus kaki harus sesuai dengan sepatu
yang dipakai, jangan terasa sempit.
h. Periksa sepatu sebelum dipakai, apakah ada kerikil / benda tajam
lain. Lepas sepatu setiap 4-6 jam serta gerakkan pergelangan
dan jari-jari kaki agar sirkulasi darah tetap baik.
i. Bila ada luka kecil, obati luka dan tutup dengan pembalut
bersih.
j. Periksa apakah ada tanda-tanda radang.
k. Segera ke dokter bila kaki mengalami luka.
l. Periksakan kaki ke dokter secara rutin. Adapun manfaat perawatan
kaki diabetik adalah untuk mencegah terjadinya luka pada kaki ,
pencegahan ini secara langsung akan mengurangi kemungkinan
terjadinya amputasi.

I.8.2.2 Tindakan Yang Tidak Boleh Dilakukan Pada Pasien Dm


Adapun beberapa tindakan yang tidak boleh dilakukan pada pasien
Diabetes Mellitas :
a. Jangan merendam kaki.
b. Jangan gunakan botol panas atau peralatan listrik untuk
memanaskan kaki.
c. Jangan gunakan batu / silet untuk mengurangi kapalan (callus).
d. Jangan merokok.
e. Jangan pakai sepatu / kaos kaki sempit.
f. Jangan menggunakan obat-obat tanpa
g. anjuran dokter untuk menghilangkan mata ikan.
h. Jangan gunakan sikat atau pisau untuk kaki.
i. Jangan membiarkan luka kecil di kaki, sekecil apa pun luka
tersebut.

I.8.2.3 Senam Kaki Diabetik


Cara Senam Kaki Diabetik.
a. Dilakukan dalam posisi berdiri, duduk dan tidur
b. Menggerakkan kaki dan sendi kaki
c. Berdiri dengan kedua tumit diangkat
d. Mengangkat dan menurunkan kaki
e. Gerakan menekuk, meluruskan, mengangkat, memutar keluar atau
ke dalam dan mencengkram pada jari-jari kaki.
I.8.2.4 Fungís Senam Kaki Diabetik.
a. Memperbaiki sirkulasi darah (melancarkan aliran darah kaki)
sehingga nutrisi terhadap jeringan lebih lancar.
b. Mennguatkan otot-otot betis dan telapak kaki sehingga sewaktu
berjalan kaki menjadi lebih stabil.
c. Mencegah terjadinya kelainan pada bentuk kaki.
d. Meningkatkan kekuatan otot betis dan paha (gastrocnemius,
hamstring, quadriceps).
e. Mengatasi keterbatasan sendi, menambah kelenturan sendi
sehingga kaki terhindar dari sendi kaku.
f. Memelihara fungsi syaraf.
g. Kondisi gerak tetap terpelihara, meningkatkan ketahanan jantung
dan paru sehingga daya tahan aktivitas fisik bertambah, menambah
toleransi jalan dan meningkatkan skill dan motivasi
I.9 Pathway Faktor genetik
Inveksi virus
Ketidakseimbangan Kerusakan sel Beta Pengrusakan
produksi insulin imunlogik
Gula dalam darah tidak
dapat dibawa masuk dalam
Vikosi Syok Anabolisme protein
tas hiperglikemia
Hiperglikemia menurun

Batas melebihi ambang Aliran darah Koma diabetik Kerusakan pada


lambat
ginjal antibodi

Iskemik jaringan Kekebalan


glukosuria
tubuh menurun
Ketidakefektifan
perfusi jar.perifer
Dieresis osmotik
Resiko infeksi Neuropati
Kehilangan kalori
Poliuri restensi urin sensori
perifer
Sel kekurangan
Nekrosisi Klien tidak
bahan untuk
Kehilangan elektrolit dalam luka merasa sakit
metabolisme
sel
gangren
dehidrasi
Kerusakan
integritas
Protein dan lemak
Resiko syok jaringan
dibakar

Merangsang hipotalamus
BB menurun

Pusat lapar dan haus


kelemahan

Polidipsi dan polipagia

Katabolisme Pemecahan protein


lemak
Ketidakseimbangan
nutrisi kurang dari
kebutuhan tubuh Asam lemak
keton ureum

keteasidosis

Gambar: 1.3
(Sumber: Nurarif & Kusuma, 2013).
II. Rencana Asuhan Keperawatan
II.1 Pengkajian
Menurut Riyadi & Sukarmin. (2008) menyatakan Konsep Asuhan Keperawatan
meliputi Assasment Pengkajian:
II.1.1 Keluhan Utama
Penderita biasanya datang dengan keluhn menonjol badan terasa sangat
lemas sekali disertai penglihatan yang kabur. Meskipun muncul keluhan
banyak kencing (poliura) kadang penderita belum tahu kalau itu slaah satu
tanda penyakit Diabetes Mellitus.

II.1.2 Riwayat Penyakit


Riwayat penyakit ini biasanya yang dominan adalah munculnya sering
buang air kecil (poliuria), sering lapar dan haus (polidipsi dan polifagia),
sebelumnya penderita mempunyai berat badan yang berlebih. Biasanya
penderita belum menyadari kalau itu merupakan perjalanan penyakit
Diabetes Mellitus. Penderita baru tahu kalau sudah memeriksakan diri di
pelayanan kesehatan.
II.1.3 Riwayat Kesehatan Dahulu
Diabetes dapat terjadi saat kehamilan, yang terjadi hanya saat hamil saja dan
biasanya tidak dialami setelah melahirkan namun perlu diwaspadai akan
kemungkinan mengalami diabetes yang sesungguhnya dikemudian hari.
Diabetes sekunder umumnya digambarkan sebagai kondisi penderita yang
pernah mengalami suatu penyakit dan mengkonsumsi obat-obatan atau zat
kimia tertentu. Penyakit yang dapat menjadi pemicu Diabetes Mellitus dan
perlu dialkukan pengkajian diantaranya:
II.1.3.1 Penyakit prankeas
II.1.3.2 Gangguan penerimaan insulin
II.1.3.3 Gangguan hormonal
II.1.4 Riwayat Kesehatan Keluarga
Diabetes dapat menurun menurut silsilah keluarga yang mengidap Diabetes,
karena kelainan gen yang mengakibatkan tubuhnya tak dapat menghasilkan
insulin dengan baik akan disampaikan informasinya pada keturunan
berikutnya.
II.1.5 Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan yang dilakukan menurut Riyadi & Sukarmin (2008) antara lain:
II.1.5.1 Status penampilan kesehatan: yang sering muncul adalah
kelemahan fisik.
II.1.5.2 Tingkat kesadaran: normal, letargi, stupor, koma (tergantung kadar
gula yang dimiliki dan kondisi fisiologi untuk melakukan
kompensasi kelebuhan gula darah).
II.1.5.3 Tanda-tanda vital
Frekuensi nadi dan tekanan darah: takikardi (terjadi kekurangan
energi sel sehingga jantung melakukan kompensasi untuk
meningkatkan pengiriman), hipertensi (karena peningkatan
viskositas darah oleh glukosa sehingga terjadi peningkatan tekanan
pada dinding pembuluh darah dan resiko terbentuknya plak pada
pembuluh. Kondisi ini terjadi pada fase diabetes mellitus yang
sudah lama atau penderita yang memang mempunyai hipertensi).
Frekuensi pernafasan: takhipnea (pada kondisi ketoasidosis)
Suhu tubuh: demam (pada penderita dengan komplikasi infeksi
pada luka atau pada jaringan lain), hipotermia (pada penderita yang
tidak mengalami infeksi atau penurunan metabolik akibat
menurunnya masukkan nutrisi secara drastis).
II.1.5.4 Berat badan melalui penampilan atau pengukuran : kurus ramping
(pada Diabetes Mellitus fase lanjutan dan lama tidak mengalami
terapi). Gemuk padat, gendut (pada fase awal penyakit atau
penderita lanjutan dengan pengobatan yang rutin dan pola makan
yang masih tidak terkontrol).
II.1.5.5 Kulit
a) Warna: perubahan-perubahan pada melanin, kerotemia (pada
penderita yang mengalami peningkatan trauma mekanik yang
berakibat luka sehingga menimbulkan gangren. Tampak warna
kehitam-hitaman disekitar luka. Daerah yang sering terkena
dalah ekstremitas bawah).
b) Kelembaban: lembab (pada penderita yang tidak mengalami
diuresis osmosis dan tidak mengalami dehidrasi), kering (pada
pasein yang mengalami diuresis osmosis dan dehidrasi).
c) Suhu: dingin (pada penderita yang tidak mengalami infeksi
dan menurunnya masukan nutrisi), hangat (mengalami infeksi
atau kondisi intake nutrisi normal sesuai aturan diet).
d) Tekstur: Halus (cadangan lemak dan glikogen belum banyak di
bongkar), kasar (terjadi pembongkaran lemak, protein,
glikogen otot untuk produksi energi).
e) Turgor: Menurun pada dehidrasi.
II.1.5.6 Kuku
Warna: Pucat, sianosis (penurunan perfusi pada kondisi
ketoasidosis atau komplikasi infeksi saluran pernafasan).
II.1.5.7 Rambut
a) Kuantitas: tipis (banyak yang rontok karena kekurangan nutrisi
dan buruknya sirkulasi), lebat.
b) Penyebaran: jarang atau alopesia total.
c) Tekstur: halus atau kasar.
II.1.5.8 Mata dan kepala
a) Kepala
Rambut: termasuk kuantitas, penyebaran dan tekstur antara
lain: kasar dan halus
b) Kulit kepala: termasuk benjolan atau lesi, antara lain : kista
pilar dan psoriasis (yang rentan terjadi pada penderita Diabetes
Mellitus karena penurunan antibodi).
c) Wajah: termasuk simestris dan ekspresi wajah, antara lain:
paralisi wajah (pada penderita dengan komplikasi stroke) dan
emosi.
d) Mata
Yang perlu dikaji lapang pandang dan uji ketajaman pandang
dari masing-masing mata (ketajaman menghilang).
Inspeksi:
- Posisi dan kesejajaran mata: mungkin muncul eksoftalmus,
strabismus.
- Alis mata: dermatitis, seborea (penderita sangat beresiko
tumbuhnya mikroorganisme dan jamur pada kulit).
- Kelopak mata
- Aparatus akrimalis: mungkin ada pembengkakan sakus
lakrimalis.
- Sklera dan konjungtiva: sclera mungkin ikterik.
Konjungtiva anemia pada derita yang sulit tidur karena
banyak kencing pada malam hari).
- Kornea, iris dan lensa: opaksitas atau katarak (penderita
Diabetes Mellitus sangat beresiko pada kekeruhan lensa
mata).
- Pupil: miosis, midriosis atau anisokor.

e) Telinga
- Daun telinga dilakukan inspeksi: masih simetris antara
kanan dan kiri
- Lubang telinga: produksi serumen tidak sampai
mengganggu diameter lubang
- Gendang telinga: kalau tidak tertutup serumen berwarna
putih keabuan, dan masih dapat bervibrasi dengan baik
apabila tidak mengalami ineksi sekunder.
f) Pendengaran
Pengkajian ketajaman pendengaran terhadap bisikan atau tes
garputala dapat mengalami penurunan.
g) Hidung
Jarang terjadi pembesaran polip dan sumbatan hidung kecuali
ada infeksi sekunder seperti influenza.
h) Mulut dan faring
Inspeksi pada bibir (sianosis, pucat apabila mengalami asidosis
atau penurunan perfusi ringan pada stadium lanjut), Mukosa
oral (kering dalam kondisi dehidrasi akibat diuresis osmosis),
gusi, langit-langit mulut, lidah, dan faring.
i) Leher
Pada inspeksi jarang tampak distensi vena jugularis,
pembesaran kelenjar limfe leher dapat muncul apabila ada
infeksi sistemik.
j) Toraks dan paru-paru
- Inspeksi frekuensi: irama, kedalaman dan upaya bernafas,
antara lain: takipnea, hipernea, dan pernafasan chyne stoke
(pada kondisi ketoasidosis).
- Amati bentuk dada: normal atau tidak.
- Dengarkan pernafasan pasien: Stridor pada obstruksi jalan
nafas. Mengi (apabila penderita sekaligus mempunyai
riwayat astma atau bronchitis kronik).
k) Dada
Dada posterior:
- Inspeksi: defoemitas, atau asimetris dan retruksi inspirasi
abdomen.
- Palpasi: adanya nyeri tekan atau tidak.
- Perkusi: pekak terjadi apabila cairan atau jaringan padat
menggantikan bagian paru yang normalnya terisi udara
(terjadi pada penderita dengan penyakit lain seperti effuse
pleura, tumor atau pasca penyembuhan TBC).
- Auskultasi: bunyi nafas vesikuler, bronco vesikuler (dalam
kondisi normal)
Dada anterior:
- Inpeksi: defoemitas, atau asimetri
- Palpasi: adanya nyeri tekan, ekspensi pernafasa
- Perkusi: pada penderita normal area paru terdengar sonor
- Auskultasi: bunyi nafas vesikuler, bronco vesikuler (dalam
kondisi tanpa penyerta penyakit lain).
l) Aksila
- Inpeksi terhadap kemerahan, infeksi dan pigmentasi
- Palpasi kelenjar aksila sentralis apakah ada linfodenopati.
m) Sistem kardiovaskuler
Adanya riwayat hipertensi, infark miokard akut, takikardi,
tekanan darah yang cenderung meningkat, disritmea, nadi yang
menurun, rasa kesemutan dan kebas pada ekstremitas
merupakan tanda gejala dari penderita Diabetes Mellitus.
n) Abdomen
- Inspeksi: pada kulit apakah strie dan simetris adanya
pembesaran organ (pada penderita dengan penyerta
penyakit sirosis hepatik atau hepatomegali dan
splenomegali).
- Auskultasi: bising usus apakah terjadi penurunan atau
peningkatan motilitas.
- Perkusi: tympani
- Palpasi: apakah ada nyeri tekan/massa.
o) Ginjal
Palpasi ginjal apakah ada nyeri tekan sudut kosta veterbral.
p) Genetalia
Penis: ada inspeksi apakah ada timosis pada prepusium dan
apakah ada hipospadia pada meatus uretara, apakah ada
kemerahan pada kulit skrotum.

q) Sistem musculoskeletal
Inspeksi persendian dan jaringan sekitar saat anda memeriksa
berbagai kondisi tubuh. Amati kemudahan dan rentang
gesekan kondisi jaringan sekitar, setiap deformitas
muskuloskletal, termasuk kurvatura abnormal dari tulang
belakang. Sering mengalami penurunan kekuatan
musculoskeletal dibuktikan dengan skor kekuatan otot yang
menurun dari angka 5.
r) Sistem neurosensori
Penderita Diabetes Mellitus biasanya merasakan gejala seperti:
- Pusing
- Sakit kepala
- Kesemutan, kebas kelemahan pada otot, parestesia
- Gangguan penglihatan

II.2 Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul


II.2.1 Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan
dengan ketidakcukupan insulin
II.2.2 Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan tekanan perubahan status
metabolik
II.2.3 Resiko infeksi berhubungan dengan perlukaan jaringan

II.3 Perencanaan
II.3.1 Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan
dengan ketidakcukupan insulin.
Tujuan: setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 hari keperawatan
masalah Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh dapat teratasi
Kriteria evaluasi:
II.3.1.1 Pasien tidak lemah atau penurunan tingkat kelemahan
II.3.1.2 Peningkatan berat badan atau berat badan ideal atau normal
II.3.1.3 Lingkar lengan meningkat atau mendekati 10 cm
II.3.1.4 Nilai laboratorium hemoglobin untuk pria 13 - 16 gr/dl, untuk
wanita 12 - 14 gr/dl.
II.3.1.5 Nilai laboratorium yang terkait Diabetes Mellitus normal (terutama
GDS 60 - 100 mg/dl, kolesterol total 150 - 250 mg/dl, protein total
6 - 7,0 gr/dl)

Intervensi untuk etiologi kekurangan insulin:

1) Timbang berat badan atau ukur lingkar lengan setiap hari sesuai dengan
indikasi
Rasional: mengkaji indikasi terpenuhinya kebutuhan nutrisi dan
menentukan jumlah kalori yang harus dikonsumsi penderita Diabetes
Mellitus
2) Tentukan program diet dan pola makan pasien sesuai dengan kadar gula
yang dimiliki (dengan memakai rumus kebutuhan kalori untuk laki-
laki= berat badan ideal x 30, sedangkan untuk wanita berat badan ideal
x 25)
Rasional: menyesuaikan antara kebutuhan kalori dan kemampuan sel
untuk mengambil glukosa
3) Libatkan keluarga pasien pada dalam memantau waktu makan, jumlah
nutrisi
Rasional: meningkatkan partisipasi keluarga dan mengontrol masukan
nutrisi sesuai dengan kemampuan untuk menarik glukosa dalam sel.
4) Observasi tanda-tanda hipoglikemi (perubahan tingkat kesadaran, kulit
lembab/dingin, denyut nadi cepat, lapar, peka rangsang, cemas, sakit
kepala, pusing, sempoyongan)
Rasional: karena metabolisme karbohidrat mulai terjadi, gula darah akan
berkurang dan sementara pasien tetap diberikan insulin maka
hipoglikemi dapat terjadi.
Kolaborasi:
1) Pantau pemeriksaan laboratorium seperti glukosa darah, aseton, PH dan
HCO3.
Rasional: Gula darah akan menurun perlahan dengan penggunaan terapi
insulin terkontrol. Dengan pemberian insulin dosis optimal glukosa
dapat masuk ke dalam sel dan digunakan untuk sumber kalori.
Peningkatan aseton, PH dan HCO3 sebagai indikasi kelebihan benda
keton.
2) Berikan pengobatan insulin secara teratur dengan tehnik intravena
secara intermitten atau secara continue.
Rasional: insulin regular memiliki awitan cepat dan karenanya dengan
cepat pula dapat membantu memindahkan ke dalam sel, pemberian
melalui intravena merupakan rute pilihan utama karena absorbsi dari
jaringan subkutan mungkin tidak mennetu/sangat lambat.

3) Lakukan konsultasi dengan ahli diet


Rasional: kebutuhan diet penderita harus disesuaikan dengan jumlah
kalori karena kalau tidak terkontrol akan beresiko hiperglikemia.
4) Berikut diet 60 % karbohidrat, 20 % protein, dan 20 % lemak dan
penataan makan dan pemberian makanan tambahan
Rasional: intake kompleks karbohidrat (jagung, wortel, brokoli, buncis,
gandum) berdampak pada penekanan kadar glukosa darah, kebutuhan
insulin, menurunkan kadar kolesterol, dan meningkatkan rasa kenyang.
II.3.2 Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan tekanan perubahan status
metabolik.
Tujuan: setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2 jam keperawatan
masalah Kerusakan integritas kulit dapat teratasi.
Kriteria hasil:
II.3.2.1 Terjadi perbaikan status metabolik yang dibuktikan oleh gula darah
dalam batas normal dalam 36 jam.
II.3.2.2 Bebas dari drainase purulen dalam 48 jam
II.3.2.3 Menunjukan tanda-tanda penyembuhan dengan tepi luka bersih
dalam 60 jam
II.3.2.4 Tidak terdapat pembengkakan pada luka
Intervensi untuk etiologi perubahan status metabolik:
1) Kaji kondisi luka pada jaringan pasien (terutama area kaki dan
punggung)
Rasional: mengidentifikasi tingkat metabolisme jaringan dan tingkat
disintegritas
2) Rendam kaki atau punggung (kalau memungkinkan dengan ember
khusus) dalam air steril pada suhu kamar dengan larutan betadin (yang
diencerkan) atau perhidrol 3 kali sehari selama 15 menit
Rasional: membersihkan luka, efektif untuk membantu penyembuhan
dan meningkatkan sirkulasi metabolik
3) Rawat luka dengan tehnik steril dan kaji area luka setiap kali mengganti
balutan
Rasional: mencegah peningkatan presentasi mikroorganisme akibat
kelainan metabolik (glukosa tinggi) dan memberikan informasi tentang
efektifitas terapi
4) Balut luka dengan kassa steril
Rasional: menjaga kebersihan luka/meminimalkan kontaminasi asing
5) Berikan 15 unit insulin humulun N, SC pada siang hari setelah contoh
darah harian diambil
Rasional: mengobati disfungsi metabolik yang mendasari menurunkan
hiperglikemia dan meningkatkan penyembuhan.
II.3.3 Resiko infeksi berhubungan dengan perlukaan jaringan
Tujuan: setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1 jam keperawatan
masalah Resiko infeksi dapat teratasi.
Kriteria hasil:
II.3.3.1 Tidak terdapat tanda-tanda peradangan dan infeksi seperti rubor,
kalor, dolor, tumor, fungtioleisa, dan angka leukosit dalam batas
5.000 - 11.000 ul.
II.3.3.2 Suhu tubuh tidak tinggi (36,5 - 37ºc)
II.3.3.3 Hitung jenis leukosit: Basofil (0-1), eosinofil (1 - 3), neutrofil
batang (2 - 6), neutrofil segemn (50 - 70), limfosit (20 - 40),
monosit (2 - 8)

Intervensi:

1) Observasi tanda-tanda infeksi dan peradangan


Rasional: memastikan kondisi pasien pada periode peradangan atau
sudah terjadi infeksi. Terjadinya sepsis dapat dicegah lebih awal
2) Tingkatkan upaya pencegahan dengan melakukan cuci tangan, memakai
handscoon, masker, kebersihan lingkungan
Rasional: meminimalkan invasi mikroorganisme
3) Pertahankan tehnik aseptik dan sterilisasi alat pada prosedur invasif
Rasional: invasi alat dapat menjadi mediator masuknya mikroorganisme
4) Anjurkan untuk makan sesuai jumlah kalori yang dianjurkan terutama
membatasi masuknya gula
Rasional: menurunkan resiko kadar gula darah tinggi yang merupakan
media terbaik untuk pertumbuhan mikroorganisme
5) Bantu pasien untuk personal hygiene
Rasional: menurunkan resiko invasi mikroorganisme
Kolaborasi:
1) Berikan obat antibiotik yang sesuai
Rasional: penanganan awal dapat membantu mencegah timbulnya sepsis
2) Lakukan pemeriksaan kultur dan sensitivitas sesuai dengan indikasi
Rasional: untuk mengidentifikasi organisme sehingga dapat memilih atau
memberikan terapi antibiotik yang terbaik.
(Riyadi & Sukarmin, 2008).

Daftar Pustaka

Baradero, Dayrit M, & Siswadi M. (2009), Klien Gangguan Endokrin: Seri Asuhan
Keperawatan. Edisi 1. Jakarta: EGC.
Bilous. R & Donelly.R . (2014), Buku Pegangan Diabetes. Edisi 4. Cetakan 1. Jakarta: Bumi
Medika.

Brunner & Suddarth. (2006). Patofisiologi Konsep Klinis Proses - Proses Penyakit. Edisi 6.
Cetakan 1. Jakarta:EGC.

Black M. J & Hawks H. J. (2009). Medical Surgical Nursing. Eighth Edition. Vol. 1.
Singapore: Elsevier.

Nurarif, H.A & Kusuma, H. (2013). Asuhan Keperawatan berdasarkan Diagnosa Medis &
Nanda. Edisi Revisi. Jilid 1. Yogyakarta: Med Action.

Riyadi, S & Sukarmin. (2008). Asuhan Keperawatan pada pasien dengan Gangguan
Eksokrin dan Endokrin pada Pankreas. Edisi 1. Yogyakarta: Graha Ilmu.

Tarwoto, Wartonah, Taufiq, I. & Mulyati, L. (2012). Keperawatan Medika Bedah Gangguan
sistem Endokrin. Edisi 1. Jakarta: Trans Info Media.

Banjarmasin, 27 Mei 2021

Preseptor Akademik Preseptor Klinik

(Solikin, Ns.,M.Kep.,Sp.Kep.MB) (Helda Iriani, Ns.,M.Kep)

Anda mungkin juga menyukai