Anda di halaman 1dari 13

JAQFI: Jurnal Aqidah dan Filsafat Islam, Vol. 3, No. 2, 2018 | h.

35-54 Riky Yudha


Permana
p-issn 2541-352x e-issn 2714-9420

AYAT-AYAT MENGELUARKAN PENDAPAT

Oleh:
Ruwaida Hasibuan
Universitas Islam Negeri Sumatera Utara
Email:ruwaidaahasibuan@gmai.com

Abstrak
Dalam tulisan ini, penulis mencoba mendudukan masalah ayat-ayat
mengeluarkan pendapat. Masalah kebebasan manusia sudah menjadi
perbincangan para pemikir dan negarawan sejak dahulu. Kebebasan manusia
yang paling ramai dibicarakan adalah kebebasan berpiir dan mengeluarkan
pendapat. Sebab berpikir dan mengeluarkan buah pikiran merupakan ciri
utama manusia. Namun kita sendiri tentu sadar, bahwa hidup di dunia ini tidak
sendiri melainkan bersama orang-orang lain. Mereka pun tentu saja ingin
hidup bebas dan nyaman, tanpa gangguan. Di sinilah kita menghadapi masalah
terutama dalam mengeluarkan pendapat. Sebab bisa jadi pendapat yang kita
sampailan mengganggu kebebasan orang lain yang ingin hidup tenang dan
tenteram. Penggunaan kebebasan mengeluarkan pendapat dewasa ini telah
semakin marak, termasuk di dalamnya ujaran kebencian. Dengan demkian
potensi gangguan kebebasan mengeluarkan pendapat terhadap orang yang
ingin hidup nyaman semakin besar karena didukung pesatnya kemajuan media
masa dan media sosial. Di sini perlu kita memahami sejauhmana kebebasan
mengeluarkan pendapat seharusnya kita terapkan dalam kehidupan.

Kata Kunci: kebebasan, pendapat, undang-undang, al-Quran, Hadist.

Abstract

The problem of human freedom has been the talk of thinkers and statesmen for a
long time. The most widely discussed human freedom is the freedom to think
and express opinions. Because thinking and bringing out ideas is the main
characteristic of humans. However, we ourselves are certainly aware that we do
not live in this world alone but with other people. They also of course want to
live freely and comfortably, without distractions. This is where we face
problems, especially in issuing opinions. Because it could be that the opinions
we convey interfere with the freedom of other people who want to live in peace
and quiet. The use of freedom of expression today has become increasingly
widespread, including hate speech. Thus, the potential for disruption of freedom

JAQFI | 1
JAQFI: Jurnal Aqidah dan Filsafat Islam, Vol. 3, No. 2, 2018 | h. 35-54 Riky Yudha
Permana
p-issn 2541-352x e-issn 2714-9420
of expression to people who want to live comfortably is increasing because it is
supported by the rapid advancement of mass media and social media. Here we
need to understand how far we should apply freedom of expression in life.
Keywords: freedom, opinion, law, al-Quran, Hadith.

A. Latar Belakang

1. PENDAHULUAN

Berpikir dan berpendapat merupakan potensi dasar yang sebaiknya


dikembangkan oleh manusia. Dengan kata lain, Islam mengajarkan bahwa
setiap manusia memiliki hak untuk berpendapat, yang itu tidak dapat
dipisahkan dari potensi sekaligus perintah Allah SWT agar manusia
senantiasa berpikir. Ada banyak sekali ayat-ayat al-Qur’an yang
memerintahkan agar manusia senantiasa berpikir. Misalnya saja firman
Allah SWT dalam surat al-Baqarah: 226, “Demikianlah Allah
menerangkan ayat-ayatNya kepada kamu supaya kamu memikirkannya”.
Dalam surat lain, yakni surat Adz Dzaariyaat: 20–21 Allah SWT
menjelaskan, “Dan di bumi itu terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah)
bagi orang-orang yang yakin. dan (juga) pada dirimu sendiri. Maka
apakah kamu tiada memperhatikan?”. Dalam hal berpendapat kemudian
Allah SWT memberikan penjelasannya dalam surat Asy Syura: 38
Lewat surat tersebut dapat dipahami bahwa Islam sangat mengenal konsep
musyawarah, yang tentu didalamnya terdapat menyampaikan pendapat
bahkan adu argumen. Alamiahnya, proses tersebut tentu sangat melibatkan
ra’yu (akal) agar tercapai keputusan yang benar dan memecahkan
masalah. Abu Zahrah dalam kitabnya “Tanzhim al-Islam” bahkan
menegaskan bahwa al-Qur’an menedorong penelitian yang rasional atas
dunia di sekeliling kita, dan hal ini tidak akan mungkin tanpa kebebasan
berpikir dan mengemukakan pendapat. al-Qur’an, dengan demikian sangat
menghargai upaya-upaya rasional yang disertai dengan ketulusan dalam
pencarian kebenaran dan keadilan.
Sebagai agama yang membawa pada kemaslahatan, Islam selalu menuntun
umatnya dalam hal penggunaan hak, tak terkecuali dalam kebebasan
berpendapat. Seperti halnya Islam memandang bahwa orang yang hendak
menjadi kaya itu adalah hak, tetapi tentu ada kaidah-kaidah bagaimana
mencapainya agar tidak terjadi bencana. Untuk memahami kaidah-kaidah
dalam berpendapat sebagaimana Islam mengajarkan, maka ayat-ayat di al-
Qur’an dan riwayat rasul dan para sahabat dapat dijadikan rujukan,

Pertama, berkomitmen dan konsisten hanya untuk kebenaran.


Dalam hal menyampaikan pendapat sebaiknya senantiasa berpegang
teguh pada kebenaran dan tidak memperturutkan hawa nafsu. Apabila
prinsip ini sudah dipegang, siapapun akan bersikap kritis dan tidak
JAQFI | 2
JAQFI: Jurnal Aqidah dan Filsafat Islam, Vol. 3, No. 2, 2018 | h. 35-54 Riky Yudha
Permana
p-issn 2541-352x e-issn 2714-9420
sembarang berbicara, serta tahu kapasitas diri dan mencari pengetahuan
yang benar terkait isu yang dikomentari. Hal ini sebagaimana firman
Allah dalam Surat Shad: 26 yang berbunyi:

“Janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan


kamu dari jalan Allah. Sesungguhnya orang-orang yang sesat dari jalan
Allah akan mendapat azab yang berat, karena mereka melupakan hari
perhitungan.”

Setiap ujaran sudah tentu merupakan bentuk pernyataan kebebasan


mengeluarkan buah pikiran dan pendapat dari setiap orang. Kemudian
muncul pertanyaan, apa yang disebut kebebasan itu? Apakah kebebasan
itu mutlak, sehingga dalam melahirkan ujaran itu boleh apa saja yang
dimaui pengujar? Apakah ada norma moral dan agama yang dapat
dijadikan pedoman ketika seseorang berujar sebagai pernyataan
kebebasannya?
Seseorang lari dari atau menghancurkan kekuatan yang
membelenggunya agar ia menjadi bebas. Ia merasa bebas dan dapat
melakukan sesuatu yang diinginkannya. J.S. Mill mengatakan bahwa
kebebasan adalah kemampuan dalam melakukan sesuatu yang seseorang
inginkan.1Jadi, seseorang disebut bebas kalau ia dapat melakukan sesuatu
yang disukainya tanpa hambatan dari orang lain. Namun demikian,
menurut Dewey, orang yang bebas adalah orang yang memerintah dirinya
sendiri dengan ketentuan-ketentuan rasio; orang yang mengikuti desakan
selera dan perasaan sedemikian patuhnya, adalah orang yang tidak bebas.2
Ada tiga macam kebebasan, yakni kebebasan eksistensial, kebebasan
berbuat dan memilih serta kebebasan sosial.

MACAM-MACAM KEBEBASAN

Kebebasan eksistensial. Kebebasan eksistensial ialah kebebasan


menyeluruh yang menyangkut seluruh pribadi manusia dan tidak terbatas
pada salah satu aspek saja. Kebebasan ini mencakup seluruh eksistensi
manusia. Orang yang bebas secara eksistensial seakan-akan memiliki
dirinya sendiri. Ia mencapai taraf otonomi, kedewasaan, otentisitas,
kematangan rohani. Orang yang sungguh-sungguh bebas dapat
mewujudkan eksistensinya secara kreatif. Ia dapat merealisasikan
kemungkinan-kemungkinannya dengan kemandirian dan otonomi yang
paling besar. Orang yang sungguh-sungguh bebas itu terlepas dari segala
alienasi atau keterasingan. Dengan alienasi dimaksudkan di sini keadaan
di mana manusia terasing dari dirinya dan justru tidak memiliki dirinya
sendiri. Hidup orang yang bebas dalam arti ini tidak merupakan salinan
hidup orang lain. Ia tidak mengekor saja. Kebebasan berbuat dan
memilih.
JAQFI | 3
JAQFI: Jurnal Aqidah dan Filsafat Islam, Vol. 3, No. 2, 2018 | h. 35-54 Riky Yudha
Permana
p-issn 2541-352x e-issn 2714-9420
Menurut Thomas Hobbes, kebebasan adalah tiadanya rintangan-
rintangan yang menghalangi berlangsungnya perbuatan. Misalnya, air
dalam gelas tidak bebas, karena gelas menghalangi air mengalir. Kalau
gelas pecah, air bisa mengalir lagi. Dalam pengertian ini, seseorang bisa
menikmati kebebasan sesuai dengan ruang yang mengjinkan.

Saya bebas berbuat ketika tidak seorangpun yang menghalangi


saya.Akan tetapi kita juga bebas untuk memilih apa yang kita mau. Inilah
pengertian lain dari kebebasan: kebebasan untuk memilih, kebebasan dalam
makna metafisis, free will.
Dalam kaitan ini Marcel Conché memberikan definisi yang sempurna
bahwa kebebasan kehendak adalah kebebasan untuk menentukan diri sendiri,
tidak ditentukan oleh sesuatupun.Kebebasan kita di dunia ini berarti
kemampuan memilih. Kita tidak mengatakan bahwa hakekat sedalam-
dalamnya dari kebebasan itu sama dengan kemampuan memilih. Hanya
dikemukakan bahwa kebebasan manusia di dunia ini berarti kemampuan
memilih Boleh juga dikatakan sebagai kebebasan pilihan. Dengan kebebasan
pilihan dimaksud, bahwa manusia bebas untuk memilih antara ini atau itu,
untuk bertindak atau tidak. Kehendak sendiri harus menentukan.
Kebebasan sosial. Kebebasan soaial meliputi kebebasan jasmani,
kebebasaan rohani dan kebebasan normatif. Bebas dalam arti jasmani dan
rohani berarti bahwa kita dapat atau sanggup untuk melakukan sesuatu.
Sedangkan bebas dalam arti normatif tidak mengatakan sesuatu tentang
kesanggupan kita, melainkan bahwa kita boleh melakukan sesuatu (entah kita
dapat melakukannya atau tidak). Maka gangguan terhadap kebebasan jasmani
dan rohani langsung memasuki otonomi manusia terhadap dirinya sendiri
karena membuat kita tidak sanggup untuk melakukan sesuatu, sedangkan
pembatasan kebebasan normatif membiarkan otonomi kita tetap utuh. Dengan
demikian, seseorang bebas dalam arti sosial, apabila ia tidak berada di bawah
paksaan, tekanan atau kewajiban dan larangan dari pihak lain.

BINGKAI FILOSOFIS KEBEBASAN


Dengan kebebasan yang dimilikinya, manusia menjadi otonom. Artinya
manusia mampu hidup dengan aturan-aturan yang ditentukan sendiri, tanpa
paksaan. Dengan demikian, setiap paksaan seseorang terhadap orang lain,
berarti bisa dianggap sebagai penghinaan, karena melanggar kebebasannya.
Hal ini berarti pula bahwa martabatnya sebagai manusia sudah tidak dihormati
lagi. Untuk mengakui martabat orang lain, kita harus menghormati
kebebasannya. Oleh karena itu, dalam melaksanakan kebebasannya, manusia
harus bijak.Karena, kata Spinoza, kebebasan adalah nama lain bagi
kebijaksanaan (freedom is but another name from wisdom). Sedangkan John
Locke mengaitkan kebebasan dengan hukum atau peraturan. Menurut Locke,
apabila tidak ada hukum, tidak bisa ada kebebasan (where there is no law,
there can be no freedom). Karena untuk menjadi bebas, berarti bebas dari
JAQFI | 4
JAQFI: Jurnal Aqidah dan Filsafat Islam, Vol. 3, No. 2, 2018 | h. 35-54 Riky Yudha
Permana
p-issn 2541-352x e-issn 2714-9420
penganiayaan dan kekerasan dari yang lain. Pendek kata sesuatu tidak akan
menjadi mungkin jika tidak ada hukum. Berkenaan dengan itu maka menjadi
bebas berarti tidak terhalang dalam melakukan sesuatu yang kita ingini. Inilah
kebebasan berbuat, kebebasan dalam arti politis 9(ACS: 65).
Pelaksanaa kebebasan juga menyangkut tanggungjawab. Ada
pandangan yang sudah menjadi milik masyarakat luas, yang dirumuskan
dalam kalimat: berani berbuat, berani bertanggungjawab. Kata tanggung
jawab mengandung arti, mampu memberikan penjelasan tentang keputusan
yang diambil atau tindakan yang dilakukan, atau berani mengambil segala
konsekwensi dan resiko yang diakibatkan keputusan dan tindakannya itu.
Kebebasan, kata Hayek, tidak hanya berarti seseorang mempunyai
kesempatan dan bebas untuk memilih, melainkan harus memikul juga
konsekuensi dari perbuatan-perbuatannya, dan dengannya seseorang akan
menerima pujian atau cacian. Kebebasan dan tanggungjawab tidak dapat
dipisahkan.10 Dalam tanggung jawab terkandung pengertian penyebab. Orang
bertanggung jawab atas segala sesuatu yang disebabkan olehnya. Orang yang
tidak menjadi penyebab dari suatu akibat, tidak bertanggung jawab pula.
Dalam konteks hati nurani, dapat dibedakan antara tanggung jawab
retrospektif dan tanggung jawab prospektif. Tanggung jawab retrospektif
adalah tanggung jawab atas perbuatan yang telah berlangsung dan segala
konsekwensinya. Sedangkan tanggung jawab prospektif adalah tanggung
jawab atas perbuatan yang akan datang 11(Bertens: 125)
Dalam konteks kebebasan sosial, pertanggungjawaban harus selalu
dituntut. Untuk itu pembatasan kebebasan sosial harus dilakukan secara
terbuka dan terus terang. Tidak perlu ditutup-tutupi. Masyarakat dan pelbagai
lembaga di dalamnya, dalam batas wewenang masing-masing, memang
berhak untuk membatasi kebebasan manusia dan oleh karena itu tidak perlu
malu-malu melakukannya. Mereka hendaknya dengan terbuka
mengemukakan peraturan-peraturan dan larangan-larangan yang memang
mereka anggap perlu. Dengan demikian, masyarakat yang bersangkutan
seperlunya dapat menuntut pertanggungjawaban. Kalau aturan-aturan dan
larangan-larangan itu perlu, hendaknya hal itu diperlihatkan. Kalau perlunya
itu tidak dapat dipertanggungjawabkan, peraturan-peraturan itu bersifat
sewenang-wenang dan harus dicabut. Jadi kebebasan sosial manusia memang
jelas boleh dan bahkan harus dibatasi, tetapi pembatasan itu harus
dikemukakan dengan terus terang dan harus dapat dipertanggungjawabkan12
(Bertens: 127).

PELAKSANAAN KEBEBASAN
Mengungkapkan buah pikiran dan pandangan baik secara lisan maupun
tulisan merupakan bentuk pelaksanaan kebebasan mengeluarkan pendapat.
Dalam Deklarasi Hak-hak Asasi Manusia dan Kewarganegaraan (DHAMK)
Perancis 1789 Pasal 10, dinyatakan bahwa tidak boleh ada yang ditakutkan
(oleh seseorang) karena pendapatnya, bahkan karena pendapatnya mengenai
JAQFI | 5
JAQFI: Jurnal Aqidah dan Filsafat Islam, Vol. 3, No. 2, 2018 | h. 35-54 Riky Yudha
Permana
p-issn 2541-352x e-issn 2714-9420
agama sekalipun, asalkan pendapatnya itu tidak mengganggu ketertiban
umum yang ditetapkan oleh undang-undang. Kemudian dalam Deklarasi
Umum Hak Asasi Manusia (DUHAM) PBB 1948 Pasal 19 dinyatakan bahwa
setiap orang berhak atas kebebasan memiliki dan mengeluarkan pendapat:
dalam hal ini termasuk kebebasan memiliki pendapat tanpa gangguan dan
untuk mencari, menerima dan menyampaikan informasi dan buah pikiran
melalui media apa saja dan denga tidak memandang batas-batas (wilayah).
Selanjutnya dalam Deklarasi Kairo (DK) Pasal 22a dinyatakan bahwa setiap
orang berhak mengungkapkan pendapatnya secara bebas dengan cara yang
tidak bertentangan degan syari’ah.Sedangkan Pasal 22b menyatakan bahwa
setiap orang berhak mempertahanan haknya, menyebarkan apa yang baik,
memberi peringatan

terhadap apa yang salah sesuai dengan norma-norma syari’at Islam.13


Kebebasan yang dimiliki untuk menyatakan pendapat ini tidaklah mutak,
melaikan ada batas-batas yang harus diperhatikan. Dalam DHAMK Pasal 4
dinyatakan bahwa kebebasan terdiri atas kekuasaan untuk melakukan apa
saja yang tidak mengganggu (kebebasan) orang lain. Pelaksanaan hak-hak
kodrati setiap orang tidak mempunyai batas-batas selain dari pada batas-
batas yang perlu untuk menjamin agar setiap orang lain dapat melaksanakan
secara bebas hak-hak yang sama; dan batas-batas hanya dapat ditentukan
oleh undang-undang. Kemudin DUHAM Pasal 1 menyatakan bahwa setiap
orang dilahirkan merdeka dan mempunyai martabat dan hak yang sama.
Mereka dikaruniai akal dan hati nurani dan hendaknya bergaul satu sama lain
dengan semangat persaudaraan. Sedangkan Pasal 29:2 menyatakan bahwa
dalam menjalankan hak-hak dan kebebasan-kebebasannya, setiap orang
harus tunduk hanya pada pembatasan-pembatasan yang ditetapkan oleh
undang-undangyang tujuannya semata-mata untuk menjamin pengakuan
serta penghormatan yang tepat terhadap hak-hak dan kebebasan orang lain
dan untuk memenuhi syarat-syarat yang adil dalam hal kesusilaan, ketertiban
dan kesejahteraan umum dalam suatu masyarakat yang demokratis.

Ayat-ayat AL- QURAN Tentng Mengelurkan Pendapat

Sudut pandang agama Islam


1. Tuntunan Al-Quran Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan
yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah
dengan melampaui batas tanpa pengetahuan (QS Al-An’am: 108). Dan
tolong-menolonglash kamu dalam mengerjakan kebajikan dan taqwa, dan
jangan tolong menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan (QS Al-
Maidah:2). Hai orang-orang yang beriman, janganlah suatu kaum, mengolok-
olok kaum yang lain, (karena) boleh jadi mereka yang (diolok-olok) lebih
baik dari mereka (yang mengolok-olok), dan jangan pula wanita-wanita
(mengolok-olok) wanita-wanita lain,
JAQFI | 6
JAQFI: Jurnal Aqidah dan Filsafat Islam, Vol. 3, No. 2, 2018 | h. 35-54 Riky Yudha
Permana
p-issn 2541-352x e-issn 2714-9420
(karena) boleh jadi wanita-wanita (yang diolok-olok) lebih baik dari wanita
(yang mengolok-olok), dan janganlah kamu mencela dirimu sendiri (yaitu
sesama mukmin), dan janganlah kamu panggil memanggil, dengan gelar-gelar
yang buruk. Seburuk-buruk panggilan ialah (panggilan) yang buruk sesudah
iman.
Dan barangsiapa yang tidak bertobat, maka mereka itulah orang-orang
ang zholim (QS Al-Hujurat: 11). Hai orang-orang yang beriman, jauhilah
kebanyakan dari prasangka. Sesungguhnya sebagian dari prasangka itu adalah
dosa. Dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain, dan janganlah
sebahagian kamu menggunjing sebahagian yang lain. Sukakah salah seorang
di antara kamu, memakan daging saudaranya yang telah mati? Maka tentulah
kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Alah. Sesungguhnya
Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang (QS Al-Hujurat: 12). Dan
janganlah kamu melupakan keutamaan di antara kamu. Sesungguhnya Allah
Maha Melihat segala apa yang kamu kerjakan (QS Al-Baqarah: 237). Jika
kamu berbuat baik (berarti) kamu berbuat baik bagi dirimu sendiri. Dan jika
kamu berbuat jahat, maka (kejahatan) itu bagi dirimu sendiri (QS Al-Isra:7).
Dan janganlah kamu ikuti setiap orang yang banyak bersumpah lagi
hina; yang banyak mencela, yang kian kemari menghambur fitnah, yang
banyak menghalangi perbuatan baik, yang melampaui batas dan banyak dosa
(QS Al-Qalam: 10-12). Sesungguhnya Allah menyuruh kamu berlaku adil dan
berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari
perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran
kepadamu agar kamu dapat mengambl pelajaran (QS An-Nahl: 90). Dan
Hamba-hamba Allah dari Tuhan Yang Maha Penyayang itu (ialah) orang-
orang yang berjalan di atas bumi dengan rendah hati dan apabila orang-orang
jahil menyapa mereka, mereka mengucapkan kata-kata (yang mengandung)
keselamatan (QS Al-Furqan: 63).
Dan orang-orang yang menyakiti orang-orang mukmin dan mukminat,
tanpa kesalahan yang mereka perbuat, maka sesungguhnya mereka (yang
menyakiti itu) telah memikul kebohongan dan dosa yang nyata (QS Al-
Ahzab: 58).
Prinsip ini juga mengajarkan jika dalam suatu perdebatan hendaknya
juga tetap menjunjung tinggi kebenaran dan jangan sampai kehilangan arah.
Ada riwayat dari Anas ibn Malik yang dapat dijadikan pelajaran, beliau
mengisahkan saat Rasulullah SAW berjalan-jalan bersama para sahabat
berkeliling Madinah, mereka bertemu dengan sekelompok kaum yang sedang
mengawinkan pohon kurma. Rasul kemudian memberikan tanggapan dengan
tidak menggunakan kata-kata yang menyebutkan kepastian. Rasul
menyampaikan: “Sekiranya mereka tidak melakukan hal itu, pohon kurma itu
juga akan tumbuh baik”. Karena yang mengatakan itu adalah Rasul, maka
masyarakat Madinah pun menaatinya dan meninggalkan kebiasaan yang
sudah dilakukan turun-temurun. Selang beberapa waktu, ternyata pohon
kurma yang biasanya tumbuh bagus tak sesuai dengan ekspektasi dan
JAQFI | 7
JAQFI: Jurnal Aqidah dan Filsafat Islam, Vol. 3, No. 2, 2018 | h. 35-54 Riky Yudha
Permana
p-issn 2541-352x e-issn 2714-9420
kebiasaan. Hingga akhirnya Rasul pun mengetahui bahwa usulannya kepada
masyarakat Madinah tersebut justru membuat pohon kurma rusak dan tak
tumbuh seperti biasanya. Dengan segala kerendahan hati, Rasul pun berkata
kepada para kaum di Madinah tersebut, “Antum a’lamu bi amri dunyakum”
(kalian lebih mengetahui urusan tersebut). Rasul mengajarkan jika suatu
kebenaran telah tampak, maka sebaiknya berpegang teguhlah padanya.

Kedua, berpendapat dengan cara yang baik. Berpendapat dalam bentuk


apapun sebaiknya tidak dengan hinaan, olok-olok dan bentuk lain yang
melukai. Sebaik apapun isi pendapat jika disampaikan dengan kata-kata yang
melukai maka tidak akan berguna sama sekali. Rasulullah SAW sendiri sudah
berpesan sebagaimana dalam H.R. Bukhari:

“Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir, maka berkatalah


yang baik atau diam.”

Bahkan Firman Allah dalam surat al-An’am: 108 juga sudah jelas
mengatur hal ini:

“Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka


sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan
melampaui batas..”

Ketiga, tetap mengedepankan persatuan. Saat terjadi perbedaan


pendapat, prinsip yang harus dipegang teguh adalah harus tetap menjaga
persatuan dan soliditas umat. Jangan sampai terjadi perpecahan yang akan
mengakibatkan bencana yang lebih besar. Sebagaimana firman Allah dalam
al-Anfal: 46:

“Dan janganlah kamu berbantah-bantahan, yang menyebabkan kamu


menjadi gentar dan hilang kekuatanmu.”
Allah Ta’ala berfirman:

( ‫ ْي ٍء‬#‫ش‬ َ ‫ا َز ْعتُ ْم ِفي‬#َ‫ِإن تَن‬#َ‫ ِر ِمن ُك ْم ف‬#‫و َل َوُأ ْولِي اَأل ْم‬#‫س‬
ُ ‫و ْا ال َّر‬#‫و ْا هّللا َ َوَأ ِطي ُع‬#‫و ْا َأ ِطي ُع‬#ُ‫ا الَّ ِذينَ آ َمن‬#‫يَا َأ ُّي َه‬
‫ْأ‬
ً‫سنُ تَ ِويال‬ ‫َأ‬ َ ْ ‫هّلل‬
َ ‫سو ِل ِإن ُكنتُ ْم تُْؤ ِمنُونَ بِا ِ َواليَ ْو ِم اآل ِخ ِر ذلِ َك َخ ْي ٌر َو ْح‬ ُ ‫)فَ ُردُّوهُ ِإلَى هّللا ِ َوال َّر‬

“Wahai orang-orang yang beriman! Taatlah kepada Allah dan taatlah


kepada Rasul, serta ulil amri diantara kalian. Jika kalian berselisih dalam
suatu hal, maka kembalikanlah kepada Allah dan Rasul-Nya. Jika kalian
benar-benar beriman kepada Allah dan hari akhir.Yang demikian itu lebih
utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya” (QS. An Nisa: 59).

Kami telah mendengar dan membaca, bahwa ada orang yang


mengatakan perbedaan pendapat itu rahmat dan mengambil salah satu
JAQFI | 8
JAQFI: Jurnal Aqidah dan Filsafat Islam, Vol. 3, No. 2, 2018 | h. 35-54 Riky Yudha
Permana
p-issn 2541-352x e-issn 2714-9420
pendapat dalam khilafiyah di dalamnya ada kemudahan bagi manusia. Maka
kami katakan kepada mereka:

Pertama: Allah ‘Azza Wa Jalla berfirman:

(‫ول‬
ِ ‫س‬ُ ‫)فَِإن تَنَا َز ْعتُ ْم فِي ش َْي ٍء فَ ُردُّوهُ ِإلَى هّللا ِ َوال َّر‬

“Jika kalian berselisih dalam suatu hal, maka kembalikanlah kepada


Allah dan Rasul-Nya”

Maksudnya kembali kepada Allah adalah kembali kepada Al Qur’an


dan kembali kepada Rasul adalah kembali kepada As Sunnah. Dan yang
menguasai hal itu adalah para ulama yang mengkhususkan diri dalam ilmu
agama.

Kedua: keringanan dan kemudahan itu datang dari syariat Allah dalam
kitab-Nya dan sunnah Rasul-Nya. Adapun mengambil pendapat yang
bertentangan dengan Kitabullah dan sunnah Rasul itu adalah kebinasaan.
Allah Ta’ala berfirman:

َّ ‫بِيلِ ِه َذلِ ُك ْم َو‬#‫س‬


(‫ ِه‬#ِ‫ا ُكم ب‬#‫ص‬ َ ‫ َّر‬#َ‫بُ َل فَتَف‬#‫الس‬
َ ‫ق بِ ُك ْم عَن‬ ُّ ‫و ْا‬##‫ستَقِي ًما فَاتَّبِ ُعوهُ َوالَ تَتَّبِ ُع‬
ْ ‫اطي ُم‬ ِ ‫َوَأنَّ َه َذا‬
ِ ‫ص َر‬
َ‫)لَ َعلَّ ُك ْم تَتَّقُون‬

“dan bahwa (yang Kami perintahkan) ini adalah jalan-Ku yang lurus,
maka ikutilah dia; dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain),
karena jalan-jalan itu mencerai-beraikan kamu dari jalan-Nya. Yang demikian
itu diperintahkan Allah kepadamu agar kamu bertakwa” (QS. Al An’am: 153).

Sebagian ulama mengatakan:

‫وليس كل خالف جاء معتبرا إال خالف له حظ من النظر‬

“tidak setiap perselisihan yang ada itu dianggap, kecuali perselisihan


yang memiliki ruang untuk berijtihad”

Ketiga: kami katakan, mengambil pendapat ulama yang tidak ada


dalilnya berarti menjadikan ulama tersebut sebagai rahib-rahib selain Allah.
Allah Ta’ala berfirman tentang orang Nasrani:

(‫ا‬##‫دُو ْا ِإلَ ًه‬#ُ‫ ُرو ْا ِإالَّ لِيَ ْعب‬#‫ا ُأ ِم‬##‫يح ابْنَ َم ْريَ َم َو َم‬
َ ‫س‬ِ ‫ات ََّخ ُذو ْا َأ ْحبَا َر ُه ْم َو ُر ْهبَانَ ُه ْم َأ ْربَابًا ِّمن دُو ِن هّللا ِ َوا ْل َم‬
ْ ُ‫س ْب َحانَهُ َع َّما ي‬
َ‫ش ِر ُكون‬ ُ ‫احدًا الَّ ِإلَهَ ِإالَّ ُه َو‬ ِ ‫)و‬ َ

“Mereka menjadikan orang-orang alimnya, dan rahib-rahib mereka


sebagai tuhan selain Allah, dan (juga mereka mempertuhankan) Al Masih
JAQFI | 9
JAQFI: Jurnal Aqidah dan Filsafat Islam, Vol. 3, No. 2, 2018 | h. 35-54 Riky Yudha
Permana
p-issn 2541-352x e-issn 2714-9420
putra Maryam; padahal mereka hanya disuruh menyembah Tuhan Yang Maha
Esa; tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia. Maha Suci Allah
dari apa yang mereka persekutukan” (QS. At Taubah: 31).

Dan ketika Adi bin Hatim radhiallahu’anhu mendengarkan ayat ini, ia


berkata: “wahai Rasulullah, sebenarnya kami tidak menyembah mereka”. Lalu
Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

(‫ك‬#‫ال فتل‬#‫ ق‬.‫ بلى‬:‫ال‬#‫ه ق‬#‫ َّل هللا فتح ِّرمون‬#‫ا أح‬#‫ون م‬#‫ه ويح ِّرم‬#‫ َّرم هللا فتحلّون‬#‫ا ح‬#‫أليسوا يحلّون م‬
‫)عبادتهم‬

“bukanlah para rahib itu menghalalkan yang Allah haramkan dan


pengikutnya ikut menghalalkannya, lalu para rahib itu mengharamkan apa
yang dihalalkan Allah lalu para pengikutnya mengharamkannya?”. Hatim
menjawab: “Ya”. Rasulullah bersabda: “Maka itulah bentuk penyembahan
mereka“.

Dan ada pula orang yang mengatakan bahwa “di masa sekarang ini
banyak perselisihan, maka yang lebih tepat adalah kita mengambil pendapat
yang sesuai dengan selera orang-orang di zaman ini“. Perkataan ini memiliki
makna bahwa syariat tidak cocok untuk semua masa dan tempat. Dan juga
bermakna bahwa syariat Allah tidak bersifat umum untuk manusia dari awal
hingga akhir yaitu hingga hari kiamat. Padahal Rasulullah Shallallahu’alaihi
Wasallam bersabda:

(‫فإنه من يعش منكم فسيرى اختالفا ً كثيراً فعليكم بسنتي وسنة الخلفاء الراشدين المهديين من‬
‫)بعدي‬

“barangsiapa yang hidup sepeninggalku, maka ia akan melihat banyak


perselisihan. Maka wajib bagi kalian untuk berpegang kepada sunnahkiu dan
sunnah Khulafa Ar Rasyidin yang tertunjuki sepeninggalku”

Kami juga mendengar ada yang mengatakan bahwa perselisihan itu


rahmat. Maka kami katakan, justru rahmat itu dengan persatuan dan bukan
dengan perselisihan. Allah Ta’ala berfirman:

(‫َص ُمو ْا بِ َح ْب ِل هّللا ِ َج ِمي ًعا َوالَ تَفَ َّرقُو ْا‬


ِ ‫) َوا ْعت‬

“berpegang teguhlah kepada tali Allah dan janganlah berpecah-belah”


(QS. Al Imran: 103).

dan Ia juga berfirman:

ٌ ‫اختَلَفُو ْا ِمن بَ ْع ِد َما َجاء ُه ُم ا ْلبَيِّنَاتُ َوُأ ْولَِئ َك لَ ُه ْم َع َذ‬


(‫اب َع ِظي ٌم‬ ْ ‫) َوالَ تَ ُكونُو ْا َكالَّ ِذينَ تَفَ َّرقُو ْا َو‬
JAQFI | 10
JAQFI: Jurnal Aqidah dan Filsafat Islam, Vol. 3, No. 2, 2018 | h. 35-54 Riky Yudha
Permana
p-issn 2541-352x e-issn 2714-9420

“dan janganlah kalian seperti orang-orang yang berpecah-belah dan


berselisih setelah datang kepada mereka penjelasan-penjelasan. Dan bagi
mereka itu adzab yang pedih” (QS. Al Imran: 105).

Allah Jalla wa ‘Alaa juga berfirman:

( َ‫)والَ يَ َزالُونَ ُم ْختَلِفِينَ ِإالَّ َمن َّر ِح َم َربُّك‬


َ

“dan mereka senantiasa berselisih kecuali orang yang dirahmati Allah”


(QS. Huud: 118).

Demikianlah, orang-orang yang mereka tidak saling berselisih ternyata


Allah merahmati mereka.

Imam Malik berkata:

(‫)ال يصلح آخر هذه األمة إال ما أصلح أولها‬

“tidaklah baik generasi terakhir umat ini, kecuali dengan apa yang
membuat baik generasi awalnya”

2. Tuntunan Al-Hadits Seorang muslim dan muslim (lainnya) adalah


bersaudara tidak boleh saling menzholimi dan dizholimi (HR Bukhari dan
Muslim). Jauhkanlah dirimu dari prasangka buruk, karena prasangka buruk itu
sejelek-jelek pembicaraan, dan janganlah kamu mengintai-intai atau memata-
matai orag lain, dan janganlah kamu berlomba-lomba atau saling dengki, dan
janganlah kamu saling membenci dan janganlah kamu saling membelakangi.
Hendaklah kamu hamba-hamba Allah bersaudara sebagaimana telah Ia
perintahkan kepadamu. Orang Islam itu adalah saudara dari orang Islam yang
lain, maka jangan dianiaya, jangan dihina dan jangan pula direndahkan.
Taqwa itu di sini (Nabi menunjuk ke dadanya); cukup besar kejahatan seorang
muslim yang menghina saudaranya sesama muslim. Tiap-tiap muslim
haramlah darahnya, haramlah kehormatannya, dan haram pula hartanya (HR
Muslim).
Berbahagialah orang yang lebih memikirkan aibnya sendiri dari pada
aib orang lain (HR Dailami). Bukanlah orang mukmin, orang pencaci,
pengutuk, orang yang kotor dan pemaki (HR Tirmidzi). Mengutuk seorang
mukmin itu sama dengan membunuhnya (HR Bukhari dan Muslim).
Barangsiapa yang menyakiti seorang muslim, Allah akan menyakiti dia, dan
barangsiapa yang menyempitkan seorang musim, Allah menyempitkannya
pula (HR Abu Dawud dan Tirmidzi). Tidaklah beriman seorang kamu
sehingga ia mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri
(HR Bukhari dan Muslim). Jadilah kamu hamba Allah yang bersaudara (HR
JAQFI | 11
JAQFI: Jurnal Aqidah dan Filsafat Islam, Vol. 3, No. 2, 2018 | h. 35-54 Riky Yudha
Permana
p-issn 2541-352x e-issn 2714-9420
Muslim). Kepala akal sesudah iman ialah berkasih-kasihan sesama manusia
dan membuat kebajikan kepada semua orang, baik orang itu shalih ataupun
fasik (HR Thobroni)
Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia
mengatakan kebaikan atau diam. Barangsiapa yang beriman kepada Allah
dan hari akhir hendaklah ia memuliakan tetangganya. Barangsiapa yang
beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia memuliakan tamunya.
(HR Bukhari dan Muslim)

Simpulan

Islam sangat menghargai hak setiap orang dalam mengemukakan


pendapat. Tetapi Islam juga mengajarkan mengenai kaidah-kaidahnya agar
kebebasan berpendapat dapat membawa manfaat dan tidak mengakibatkan
kerusakan. Tentu kaidah-kaidah sebagaimana dijelaskan di atas dalam
implementasinya perlu dirumuskan melalui regulasi yang lebih kongkret.
Dengan demikian, kebebasan berpendapat akan berlangsung dengan etis,
ilmiah dan bermartabat.
Setiap manusia mempunyai kebebasan yang harus dijaga dan
dipertahankan, termasuk kebebasan megeluarkan pendapat baik lisan
maupun tulisan. Sudah tentu setiap manusia ingin menjalankan
kebebasannya, yang bisa jadi yang dikehendakinya berlawanan dengan
kehendak orang lain. Oleh karena itu, dalam menjalankan kebebasannya
manusia harus bijak agar tidak mengganggu kebebasan orang lain.
Sedangkan untuk menjamin kebebasan setiap orang, diperlukan peraturan
perundang-undangan; sebab kalau tidak maka yang kuat saja yang bisa
menjalankan kebebasannya, sedangkan yang lemah akan menjadi korban
kebebasan yang kuat.
Dalam dokumen-dokumen tentang hak asasi manusia, seperti DHAMK
Perancis, DUHAM PBB dan Deklarasi Kairo ada norma norma moral yang
hendaknya jadi pegangan setiap orang untuk menjalankan kebebasannya.
DHAMK Perancis dan GUHAM PBB menekankan perlunya Undang-undang
dalam mengatur pelaksanaan kebebasan setiap orang. Sedangkan dalam
Deklarasi Kairo pelaksanaan kebebasan jangan sampai bertentangan dengan
syari’ah.
Kemudian dalam DHAMK Perancis dan DUHAM PBB ditekankan
bahwa pengaturan pelaksanaan kebebasan itu adalah untuk menjamin hak
dan kebebasan orang lain, ketertiban dan kesejahteraan umum serta
kesusilaan. Adapun yang harus diperhatikan sebagai kalimat kunci dari
pelaksanaan kebebasan setiap orang adalah sebagaimana tertuang dalam
Pasal 1 DUHAM PBB, yaitu semangat persaudaraan, bukan semangat
permusuhan (hal ini mengandung makna harus mengedepankan cinta, dan
mengesampingkan benci). Makna dan semangat yang terkandung dalam
semua dokumen HAM di atas sejalan dengan pesan moral agama
JAQFI | 12
JAQFI: Jurnal Aqidah dan Filsafat Islam, Vol. 3, No. 2, 2018 | h. 35-54 Riky Yudha
Permana
p-issn 2541-352x e-issn 2714-9420
Islam, baik yang dinyatakan dalam Al-Quran maupun Hadits. Agama
Islam menuntun agar setiap muslim menjaga dan mempertahankan
kebebasannya serta harus sesuai dengan syari’ah. Dalam menjalankan
kebebasannya setiap muslim agar selalu menjunjung tinggi cinta, dan
menyingkirkan benci. Dalam melaksanakan kebebasan mengeluarkan
pendapatnya jangan sampai menyakiti sesama manusia. Islam menuntun
agar setiap muslim berbicara dengan rendah hati, tutur kata yang sopan dan
membawa keselamatan bagi sesamanya. Karena prinsip keumatan dalam
Islam adalah cinta yang memperkokoh persaudaraan, maka ujaran kebencian
yang akan mengobarkan permusuhan bertentangan dengan ajaran Islam.
Oleh karena itu, penegakkan hukum agar dilakukan sungguh-sungguh,
sehingga kerukunan dan kedamaian serta kenyamanan dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara terpelihara.

Daftar Pustaka

Al-Quran dan Al-Hadits Bertens, K, 1994, Etika, Jakarta: Gramedia


Comte-Sponville, Andre, 2004,

The Little Book of Philosophy, London: William Heineman. Dewey, John,


1998,
Budaya dan Kebebasan, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Driyarkara, N.,
Pendalaman istilah kemerdekaan, dalam A.Sudiarja dkk, 2006,
Karya Lengkap Driyarkara, Jakarta: Gramedia. Efa Ainul Falah, Hak
Asasi Manusia Perspektif Isam dan Barat: Sebuah Tawaran Materi Diklat,
Jurnal Dikat Vol.VIII No. 02 Tahun 2011. Hayek, FA, 2007,

The Constittion of Liberty, London: Routledge Classics. Magnis-Suseno,


Franz, 1993, Etika Dasar, Yogyakarta: Janisius. Skinner, BF, 1972,

Beyond Freedom and Dignity, New York: Ventage Books. Snijders,


Adelbert, 2004, Antropologi Filsafat Manusia, Yogyakarta: Kanisius.
Soewandi, 1957,
Hak-hak Dasar dalam Konstitusi-konstitusi Demokrasi Modern, Jakarta:
Pembangunan. Le Monde de la Revolution francaise No. 8, aout 1989.

JAQFI | 13

Anda mungkin juga menyukai