Anda di halaman 1dari 12

Makalah

Budaya Melayu Riau

“Aktivitas Kebudayaan Melayu Riau Pada Masa Kelahiran”

Dosen Fasilitator

Ns. Raju Nitrigo, S.Kep.M.Epid

Nama Anggota Kelompok 2 :

Sarah Puspita Sari 21031014


Tri Aulia 21031017
Restia Asmita 21031018
Tiara Sajidah Pratania 21031019
Winda Utama 21031020
Herfina Ginting 21031021
Enjli Ranti 21031022
Dheatri Juita Farma 21031023
Jihan Rahayu 21031024
Fahri Saiful Iman 21031025

PROGRAM STUDI SARJANA KEPERAWATAN


FALKULTAS KESEHATAN
UNIVERSITAS HANGTUAH PEKANBARU
2023
KATA PENGANRAR

Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan kami kemudahan sehingga
kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu. Tanpa pertolongan-Nya tentunya
kami tidak akan sanggup untuk menyelesaikan makalah ini dengan baik. Shalawat serta
salam semoga terlimpah curahkan kepada baginda tercinta kita yaitu Nabi Muhammad SAW
yang kita nanti nantikan syafa’atnya di akhirat nanti.
Kami mengucapkan syukur kepada Allah SWT atas limpahan nikmat sehat-Nya,
baik itu berupa sehat fisik maupun akal pikiran, sehingga kami mampu untuk menyelesaikan
pembuatan makalah di Mata Kuliah Budaya Melayu Riau. Kami tentu menyadari bahwa
makalah ini masih jauh dari kata sempurna dan masih banyak terdapat kesalahan serta
kekurangan di dalamnya. Untuk itu, penulis mengharapkan kritik serta saran dari pembaca
untuk makalah ini, supaya makalah ini nantinya dapat menjadi makalah yang lebih baik lagi.
Kemudian apabila terdapat banyak kesalahan pada makalah ini, kami mohon maaf yang
sebesar-besarnya.
Kami juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak khususnya kepada
dosen fasilitator yang telah membimbing dalam menulis makalah ini.

Pekanbaru, 15 Mei 2023


Kelompok 2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR......................................................................................i
DAFTAR ISI....................................................................................................ii
BAB 1 PENDAHULUAN...............................................................................1
1.1 Latar Belakang..........................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah....................................................................................1
1.3 Tujuan Khusus..........................................................................................1
1.3.1 Tujuan Umum........................................................................................1
1.3.2 Manfaat Penulisan.................................................................................1
BAB II PEMBAHASAN.................................................................................2
2.1 Sejarah suku melayu ...............................................................................2
2.2 Aktivitas kebudayaan melayu riau..........................................................2
2.3 Upacara buka mulut pada budaya melayu riau....................................2
2.4 Upacara berayun pada budaya melayu riau..........................................2
2.4.1 Upacara mendidik telinga pada melayu riau......................................2
2.4.2 Upacara Turun mandi pada melayu riau............................................2
BAB III PENUTUP.........................................................................................3
3.1 Kesimpulan................................................................................................3
3.2 Saran..........................................................................................................3
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................4
BAB I
PENDAHULUAN

Latar Belakang
Dalam sejarah bangsa Indonesia, peradaban Melayu menempati posisi yang penting. Selain
bahasa Indonesia modern yang berasal dari bahasa Melayu Riau, berbagai bentuk kebudayaan
bangsa saat ini tidak bisa dilepaskan begitu saja dari sejarah peradaban Melayu (Abdullah,
2017; Azhari, 2013; Hashim, 1988; Putra, 2016). Setiap masyarakat memiliki sistem
kebudayaan yang berbeda-beda. Kebudayaan yang dimiliki masyarakat tersebut memiliki
sejarah dan perkembangannya sendiri. Kebudayaan sama seperti halnya makhluk hidup yang
lahir berkembang dan mati. Kebudayaan suatu daerah atau komunitas juga tidak terlepas dari
pengaruh keadaan di sekitarnya. Pada hakikatnya, kebudayaan yang dimiliki oleh suatu
kelompok masyarakat pada awalnya, lahir sebagai proses adaptasi masyarakat atau kelompok
tersebut dengan keadaan di sekitarnya. Hal ini menjadikan kebudayaan satu wilayah dengan
wilayah lainnya memiliki perbedaan. Kebudayaan Melayu dalam arti sempit merupakan
kebudayaan Melayu yang terdapat dalam daerah tertentu seperti Melayu Riau, Melayu
Medan, Melayu Betawi, Melayu Jambi, Melayu Palembang, dan sebagainya (Samin, 2008).
Budaya Melayu merupakan akal budi orang Melayu yang mengandung substansi, fungsi,
etika, dan artistik yang khas dan dapat dikenali (Ahmad, 2003).
Adapun budaya Melayu Riau menurut Mahayana (2001) menerangkan budaya Melayu Riau
ialah budaya rantau Riau. Melayu Riau juga bersentuhan dengan budaya Melayu Malaysia
dan Singapura yang masih dalam satu rantau Melayu. Kebudayaan Melayu juga sangat erat
hubungannya dengan agama islam. “Nilai-nilai dan estetika masyarakat Melayu mengacu
kepada ajaran agama islam” (Jalil dan Elmustian, 2001). Jadi, Budaya Melayu merupakan
kebudayaan secara turun-temurun dilakukan oleh masyarakat Melayu baik berupa
pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat, istiadat, dan kemampuan yang lain.
Menurut Effendy (2015), gambaran orang Melayu dibagi atas 29, yaitu ketakwaan kepada
Tuhan yang Maha Esa, ketaatan kepada ibu dan bapa, ketaatan kepada pemimpin, persatuan
dan kesatuan, keadilan dan kebenaran, keutamaan menuntut ilmu pengetahuan, ikhlas dan
rela berkorban, kerja keras rajin dan tekun, sikap mandiri dan percaya diri, bertanam budi dan
membalas budi, rasa tanggung jawab, orang Melayu mempunyai sifat malu, kasih sayang
adalah sifat terpuji, orang Melayu menjunjung tinggi hak dan milik, musyawarah dan
mufakat, orang Melayu menjunjung tinggi sifat berani, kesatria, taat, dan setia, kejujuran,
hemat dan cermat, sifat rendah hati, bersangka baik terhadap sesame makhluk, sifat perajuk,
sifat tahu diri, keterbukaan, sifat pemaaf dan pemurah, sifat Amanah, memanfaatkan waktu,
berpandangan jauh ke depan, mensyukuri nikmat Allah, dan hidup sederhana.
Rumusan Masalah
Bagaimana Sejarah suku Melayu?
Bagaimana Aktivitas Kebudayaan Melayu Riau Pada Masa Kelahiran?
Apa Konsep Upacara Buka Mulut Pada Suku Melayu Riau?
Apa Konsep Upacara Berayun Pada Suku Melayu Riau?
Apa Konsep Upacara Menindik Telinga Pada Suku Melayu Riau?
Apa Konsep Upacara Turun Mandi Pada Suku Melayu Riau?

Tujuan
Untuk Mengetahui Sejarah suku Melayu.
Untuk Mengetahui Aktivitas Kebudayaan Melayu Riau Pada Masa Kelahiran.
Untuk Mengetahui Konsep Upacara Buka Mulut Pada Suku Melayu Riau.
Untuk Mengetahui Konsep Upacara Berayun Pada Suku Melayu Riau.
Untuk Mengetahui Konsep Upacara Menindik Telinga Pada Suku Melayu Riau.
Untuk Mengetahui Konsep Upacara Turun Mandi Pada Suku Melayu Riau.

Manfaat
Untuk menambah wawasan bagi pembaca tentang kebudayaan melayu riau pada masa
kelahiran, dan diharapkan dapat bermanfaat dan mengambil hal posotf dari makalah inI
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Sejarah suku melayu

Ras Melayu datang pertama kali ke daerah Riau sekitar tahun 2.500 SM. Mereka
datang dari daratan Asia bagian kedatangan ketiga sekitar tahun 300 SM. Suku Melayu Riau
adalah salah satu keturunan para migran dari daratan Asia tersebut. Dalam sejarah
kebudayaannya mereka juga telah mengalami beberapa pengaruh peradaban, seperti Hindu,
Islam, dan juga peradaban Cina dan Barat (Belanda, tengah dan menyeberang dari
Semenanjung Malaysia. Kedatangan kedua terjadi pada tahun 1.500 SM dan gelombang
Inggris dan Portugis). Pada abad-abad yang dulu mereka sempat mempunyai beberapa
kerajaan, seperti Kesultanan Bintan atau Tumasik, Kandis atau Kuantan, Gasib atau Siak,
Kriteng atau Inderagin, Lingga, Malaka, Rokan, Siak Sri Inderapura, Kampar, Pelalawan dan
Singingi. Pada masa sekarang populasi mereka di perkirakan berjumlah sekitar 1 juta jiwa,
tersebar terutama di Provinsi Riau maupun kepulauannya dan disekitar daerah aliran sungai-
sungai besar di daratan Sumatera bagian Timur.Bahasa Suku Melayu Riau Bahasa Melayu ini
tidak jauh berbeda dengan bahasa Indonesia sekarang, malah dianggap sebagai salah satu
dasar bahasa Indonesia. Di sebut juga bahasa Melayu Tinggi, karena awalnya digunakan
sebagai bahasa sastra oleh masyarakat Indonesia pada akhir abad yang lalu. Sebelum
mengenal tulisan latin, masyarakat ini menuliskan gagasan mereka dalam tulisan arab-melayu
atau arab gundul.

Mata Pencaharian Suku Melayu Riau Orang Melayu di Riau ini amat sedikit yang
bertanam padi di sawah, karena keadaan alamnya yang tidak memungkinkan untuk itu,
namun sebagian kecil ada juga yang berladang. Pada masa dulu mungkin mereka lebih
mengandalkan mata pencaharian mengolah sagu, mengumpulkan hasil hutan, menangkap
ikan, berladang dan berdagang. Tanaman mereka biasanya padi ladang, ubi, sayuran dan
buah-buahan. Kemudian mereka juga menanam tanaman keras yang sempat melambung
harganya yaitu karet. Sebagai masyarakat yang berdiam di wilayah perairan mereka juga
banyak mengembangkan alat transportasi di laut, seperti lancang (perahu layar dua tiang
dengan sebuah pondok di atasnya), penjajab (kapal kayu penjelajah), jung (perahu layar
kecil), sampan balang (perahu layar kecil untuk menangkap ikan). Untuk di sungai mereka
menggunakan sampan kolek, sampan kotak dan belukang, ketiganya tergolong perahu lesung
yang ramping bentuknya. Kemudian ada pula yang disebut perahu jalur, yaitu perahu panjang
yang digunakan untuk berlomba di sungai.

Masyarakat Melayu Riau Setiap keluarga inti berdiam di rumah sendiri, kecuali
pasangan baru yang biasanya lebih suka menumpang di rumah pihak isteri sampai mereka
punya anak pertama. Karena itu pola menetap mereka boleh dikatakan neolokal. Keluarga
inti yang mereka sebut kelamin umumnya mendirikan rumah di lingkungan tempat tinggal
pihak isteri. Prinsip garis keturunan atau kekerabatan lebih cenderung parental atau bilateral.
Hubungan kekerabatan dilakukan dengan kata sapaan yang khas. Anak pertama dipanggil
long, anak kedua ngah, dibawahnya dipanggil cik, yang bungsu dipanggil cu atau ucu.
Biasanya panggilan itu ditambah dengan menyebutkan ciri-ciri fisik orang yang
bersangkutan, misalnya cik itam jika cik itu orang hitam, ngah utih jika Ngah itu orangnya
putih, cu andak jika Ucu itu orangnya pendek, cik unggal jika si buyung itu anak tunggal dan
sebagainya. Pada masa dulu orang Melayu juga hidup mengelompok menurut asal keturunan
yang mereka sebut suku. Kelompok keturunan ini memakai garis hubungan kekerabatan yang
patrilineal sufatnya. Tetapi orang Melayu Riau yang tinggal di daratan Sumatera dan dekat
dengan Minangkabau sebagian menganut faham suku yang matrilineal. Ada pula yang
menyebut suku dengan hinduk (induk atau cikal bakal). Setiap suku dipimpin oleh seorang
penghulu. Kalau suku itu berdiam di sebuah kampung maka penghulu langsung pula menjadi
Datuk Penghulu Kampung (Kepala Kampung).

Setiap penghulu dibantu pula oleh beberapa tokoh seperti batin, jenang, tua-tua dan
monti. Di bidang keagamaan dikenal pemimpin seperti imam dan khotib.Pelapisan sosial
dalam kehidupan masyarakat Melayu Riau ini tidak lagi tajam seperti di zaman kesultanan
dulu. Walaupun begitu masih ada golongan-golongan tertentu yang dianggap mempunyai ciri
keturunan sendiri. Misalnya golongan bangsawan yang terdiri dari keturunan sultan dan raja,
golongan datuk-datuk kepala suku, atau penghulu kepala kampung, kemudian ada lagi
golongan pemuka masyarakat yang disebut cerdik pandai, orang tua-tua, golongan ulama dan
orang-orang kaya. Kesenian dan Budaya Suku Melayu Riau Kesenian orang Melayu Riau
kebanyakan bernafaskan budaya Islam.

Disini berkembang seni sastra keagamaan yang dinyanyikan pula dengan iringan
musik rebana, berdah, kerompang atau kompang dan sebagainya. Tari-tarian Melayu pernah
populer pada awal kemerdekaan Indonesia. Di lingkungan masyarakat ini pernah pula lahir
teater rakyat seperti mak yong, dul muluk, dan mendu. Musik Melayu dianggap sebagai dasar
dari perkembangan musik dangdut yang populer sekarang. Agama Suku Melayu Riau
Masyarakat Melayu Riau memeluk agama Islam sejak abad kesebelas Masehi. Tetapi dalam
masyarakat ini juga masih dapat di temui tokoh-tokoh yang menguasai ilmu gaib dan
keyakinan animistis yang di sebut bomo (dukun). Mereka percaya bahwa ada makhluk-
makhluk halus yang bisa berubah wujud menjadi buaya putih, gajah memo, ular bidai,
harimau tengkis dan lain-lain.

2.2 Tradisi atau aktivitas kebudayaan melayu riau masa kelahiran

Kelahiran seorang anak telah dipandang oleh orang Melayu sebagai suatu berkah
daripada Allah SWT. Anak dipandang sebagai penyambung zuriat. Kelakuan sang anak yang
bernada jenaka akan menjadi pelipur hati sedangkan perangainya yang menjunjung akhlak
mulia akan menjadi penyejuk pandangan mata. Sebab itu kelahiran anak amatlah
diperhatikan. Ketika ibunya sedang mengandung banyak kebaikan yang dianjurkan serta
beberapa larangan yang harus dihindarkan. Ini semuanya, agar anak yang lahir kelak,
merupakan anak yang sehat rohani dan jasmani. Dan lebih dari itu anak yang tahu berbakti
kepada ibu-bapa, taat menjalakan agama islam sehingga menjadi anak yang saleh, yang
akan selalu mendoakan kebajikan bagi ibu-bapanya, terlepas dari azab kubur dan siksa pada
hari kiamat.

Ibu yang hamil berpantang mencela orang, sebab celaan itu dipercaya dapat pula
menimpa anak yang akan dilahirkannya. Dia harus tetap taat beribadah, menjga tingkah laku
dan perangainya, termasuk apa-apa yang dimakannya. Jika mengidam, maka idamannya
diusahakan dapat dipenuhi oleh suaminya atau kerabatnya. Mengidam dipandang bukan
hanya sebatas keinginan ibu yang sedang mengandung, tetapi terlebih-lebih sebagai kiasan
terhadap keinginan anak yang dikandungnmya. Sebab itu keinginan itu sedapat mungkin
dipenuhi agar perasaan menjadi lega, sehingga jalan kehidupan menjadi lapang.

2.3 Tradisi Berayun


berayun dalam wadah bisa juga digantungkan pada seutas tali yang kemudian
didorong sehingga bergerak ke dua arah. wadah berayun disebut ayunan. pengertian ayunan
anak secara sederhana ayunan anak dapat diartikan sebagai suatu peristiwa mengayunkan
anak-anak atau bayi (laki-laki) secara masal dalam suatu ayunan khusus yang diiringi dengan
nyanyian lagu yang berisi petuah, petuah, dan doa. menidurkan anak dengan lagu dan puisi,
doa dan nasehat merupakan nilai luhur yang akan tertanam dalam jiwa anak. bahkan jika
disampaikan sambil bersenandung agar anak tertidur. setiap kata dan lagu yang didengar
diharapkan menjadi doa bagi anak atau bayi yang diayunkan. karena orang tua dulu selalu
menyenandungkan kata kata bijak penuh nasehat agar anak memiliki segala kebaikan dalam
setiap perbuatannya nilai adat mengayun anak laki-laki pada masyarakat melayu memiliki
nilai adat mengayun anak laki-laki yang mengandung makna filosofis yang diwarisi dari
nenek moyang melayu dan mengandung pesan moral kepada sang buah hati serta budi pekerti
luhur nilai-nilai seperti nilai religi, nilai adat, nilai adat dan nilai sosial.

2.4 Upacara Turun Mandi

Pengertian Tradisi bacungak atau turun mandi ini adalah sebuah tradisi yang
dilakukan oleh masyarakat pangean untuk meresmikan seorang bayi yang baru lahir agar
bisa mandi kesungai dan keluar rumah dengan “bebas”. Tujuan dari penelitian ini adalah
untuk pertama-tama mengetahui tradisi mandi di desa penghijauan. Tujuan kedua adalah
untuk mengetahui apa saja peralatan dan prosedur untuk melaksanakan tradisi mandi di desa
penghijauan. Tujuan ketiga adalah untuk mengetahui kearifan lokal dari dusun Penghijauan.
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode deskriptif. Pengumpulan
data dilakukan dengan observasi, wawancara, dokumentasi dan studi literatur. Berdasarkan
temuan penelitian, terlihat bahwa orang-orang di dusun penghijauan masih mengangkat dan
menjalankan tradisi turun mandi meskipun ada perubahan yang terjadi, yaitu tempat prosesi
pelaksanaan di mana tradisi turun mandi dulu dilakukan di sungai tetapi sekarang sungai
telah tercemar dan tidak lagi cocok digunakan untuk melaksanakan tradisi mandi.

Karena itu, orang sekarang menjalankan tradisi mandi di rumah mereka dan tradisi
bacungak ini salah satu kearifan lokal dari masyarakat dusun penghijauan. Pelaksanaan
Tradisi Turun Mandi dan Perlengkapan yang Digunakan Prosesi turun mandi sangat penting
bagi bayi yang baru lahir hal ini bertujuan untuk membantu bayi tersebut beradaptasi
terhadap lingkungan sekitar. Prosesi turun mandi sangat penting bagi bayi yang baru lahir hal
ini bertujuan untuk membantu bayi dapat beradaptasi dengan lingkungan sekitar. Hal ini
tidak terlepas dari tingginya tingkat kepercayaan masyarakat terhadap hal-hal mistis yang
akan menggangu pertumbuhan dan perkembangan bayi. Prosesi turun mandi dijadikan
sebagai prosesi yang membentengi dan menguatkan bayi terhadap hal-hal mistis tersebut.
Sebelum bayi ini dimandikan oleh dukun beranak atau dikenal dengan istilah (dukun
kampong) dan pelaksanaan prosesi akikah berlangsung, ada beberapa hal yang mesti
dipersiapkan ketika melaksanakan acara turun mandi dan prosesi akikah ini, pertama adalah
hari pelaksanaan turun mandi. jika bayi laki-laki maka acara turun mandinya dilaksanakan
pada hari ganjil yaitu hari ke 1,3, 5, 7, 9, 11, dan seterusnya dari hari kelahiran sang bayi,
dan jika bayinya perempuan maka hari turun mandinya hari genap seperti hari ke 2, 4, 6, 8,
10, 12 dan seterusnya.

Penentuan hari pelaksanaan tersebut tergantung pada kesiapan dan tali pusat sang
bayi sudah lepas. Sehari sebelum pelaksanaan prosesi turun mandi dan prosesi akikah
tersebut hal-hal yang mesti dipersiapkan oleh tuan rumah (orang tua sang bayi) berupa
Karambial Satali (2 buah kelapa yang belum dikupas kulitnya dan diambil sedikit kulitnya
dan diikat satu sama lain), sakampial bore (beras yang dimasukkan kedalam kantong yang
terbuat dari daun pandan kering), satu ekor ayam toge (maksudnya disini adalah bukan
sejenis makanan, tetapi seekor ayam kampung yang beratnya sekitar 7-9 ons), limau mandi
(buah jeruk purut yang direbus bersama dengan akar bunga siak-siak, sejenis bunga hutan
yang mempunya akar yang wangi), katupek (ketupat yang terbuat dari beras pulut), satu
buah cermin kecil, sisir, bedak dan minyak kelapa, sedangkan prosesi akikah hal-hal yang
mesti di persiapkan adalah penyembelihan dua ekor kambing jikalau ayak laki-laki,
penyembelihan satu ekor kambing jikalau anak perempuan.

Setelah semua bahan dipersiapkan maka sang dukun bayi memulai prosesi turun
mandi yang dimulai dengan memberikan/memasang colak (colak terbuat dari ramuan arang
kayu dan jaring laba-laba yang berwarna hitam pekat) kepada bayi yang telah dia persiapkan
sebelumnya dari rumah dengan menggunakan kuas bulu ayam, ini dipasang ke alis mata
sang bayi dengan disertai mantera-mantera, Setelah itu sang bayi dan ibunya dibawa keluar
rumah menuju sungai Batang Kuantan /tempat pemandian, sang dukun yang menggendong
bayi tersebut menggunakan payung dan memegang parasopan (puntung kayu yang di bakar)
yang diiringi dengan rarak calempong (musik tradisional), bayi ini terlebih dahulu dibawa
bersilat di halaman rumah oleh sang dukun sebelum menuju sungai dan diringi dengan
membawa bintang limau (semua peralatan turun mandi di kumpulkan pada satu tempat/
wadah) dan ayam toge (seekor ayam kampung yang memiliki berat 7-9 ons ). Sesampainya
di tepian sungai, sang dukun bayi memulai prosesi turun mandi ini dengan beragam cara
seperti Mempersiapkan bintang limau (alat-alat serta perlengkapan untuk tradisi turun
mandi).

sebelum mandi ke sungai sang bayi ini dipasangkan colak yang terbuat dari ramuan
arang kayu dan sarang laba-laba. si bayi menduduki ayam yang di apit oleh kedua paha sang
ibu dan dukun menyiram kan air limau mandi ke atas kepala sang ibu. Menghanyutkan bara
kayu ke sungai. menghadapkan sang bayi ke cermin setelah dibedaki Setelah prosesi turun
mandi selesai dilaksanakan, ketupat yang ada didalam bintang limau tadi diperebutkan oleh
para penonton. Sesampainya dirumah sang bayi dimasukkan kedalam ayunan yang terlebih
dahulu dibuat dengan menggunakan kain sarung yang juga dibawahnya diletakkan parasopan
(asap yang ditimbulkan oleh sabut kepala yang dibakar) dengan diiringi menbaca doa oleh
dukun bayi.

Sampai bayi tertidur di dalam ayunan, ini menandakan prosesi turun mandi bagi sang
bayi telah selesai. Setelah prosesi turun mandi selesai prosesi akikah berlangsung di sinilah
proses penyembelihan hewan kambing atas rasa syukur kepada Allah SWT atas kelahiran
anak. Dan daging kambing tersebul di masak oleh tuan ruman untuk di hidangkan pada
masyarakat setempat. Setelah masyarakat setempat menyantap hidangan dari tuan rumah
proses terakhir dari akikah adalah si bayi di do’akan agar mendapat keselamatan sepanjang
hidupnya sebagai tanda syukur kepda Allah, setelah pembacaan do’a orang tua sang bayi
memperkenalkan nama bayi kepada masyarakat yang datang dalam prosesi akikah dan
mulai saat itu bayi resmi memiliki nama yang sudah di sematkan oleh orang tua nya.

Tidak adanya sungai yang dapat digunakan untuk turun mandi menyebabkan
banyaknya kegiatan- kegiatan dan unsu-runsur dalam prosesi turun mandi mulai berubah
bahkan ada yang sudah hilang. Seperti tempat prosesi turun mandi yang tidak dilakukan
disungai melainkan didepan rumah dengan air secukupnya. Perubahan tempat tersebut
menghilangkan kegiatan menghanyutkan bara kayu ke sungai. Namun lain halnya dengan
yang terjadi pada saat sekarang, sekitar tahun 2005 tradisi ini sudah hampir punah (hilang) di
karenakan faktor alam yang mana hampir seluruh sungai di daerah ini sudah tercemar akibat
aktivitas tambang emas. Akan tetapi tradisi ini masih ada dilakukan pada saat sekarang,
namun pelaksanaanya tidak di sungai lagi tatapi didepan rumah dan tata caranya pun sudah
berbeda, tradisi ini tidak semeriah dulu, yang dulunya tradisi turun mandi bayi ini ditunggu-
tunggu oleh anak kecil sekarang tradisi ini cuma disaksikan oleh keluarga dan orang
disekitar rumahnya.

2.4 Upacara Menindik Telinga pada suku Melayu Riau

upacara menindik suku Melayu mengenal tradisi penandaan tubuh melalui tindik di
daun telinga sejak abad ke-17. Tidak sembarangan orang biasa menindik tubuhnya, hanya
pemimpin suku atau panglima perang yang mengenakan tindik telinga. hukum nya Imam Ar-
Ramli mengikuti Imam Al-Ghazali berpendapat bahwa menindik telinga hukumnya haram
baik bagi perempuan dan laki-laki karena itu adalah bentuk melukai anggota tubuh tanpa
kebutuhan tertentu.Tindik atau yang disebut dengan piercing merupakan sebuah tindakan
yang sudah begitu akrab dilihat oleh mata kita, dan sering didengar oleh telinga kita.

Sekarang, tindik tersebut bukan merupakan hal yang asing dan aneh dalam kehidupan
para kalangan remaja di negara kita, Indonesia, terutama bagi mereka yang berdomisili di
kota-kota besar di Indonesia yang sudah mengalami banyak proses modernisasi yang berasal
dari dunia barat. Pengertian dari piercing itu sendiri secara umum adalah penyematan benda
(logam, tulang, gigi, dan sebagainya) pada bagian tubuh seseorang. Tindik tersebut dapat
bersifat permanen maupun semi permanen.
BAB III
PENUTUP

Budaya adalah suatu cara hidup yang berkembang dan dimiliki bersama oleh sebuah
kelompok orang dan di wariskan dari generasi ke generasi. Budaya terbentuk dari banyak
unsur yang rumit, termasuk sistem agama dan politik, adat istiadat, bahasa, perkakas, pakain,
bangunan, dan karya seni. Bahasa, sebagaimana juga budaya, merpakan bagian tak
terpisahkan dari diri manusia sehingga banyak orang cenderung menggapnya diwariskan
secara genetis, Ketika seseorang berusaha berkomunikasi dengan orang yang berbeda budaya
dan menyesuaikan perbedaan perbedaannya, membuktikan bahwa budaya itu dipelajari.
DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, I. (2017). Glokalisasi Identitas Melayu: Potensi dan Tantang Budaya Dalam
Reproduksi Kemelayuan. MANHAJ: Jurnal Penelitian dan Pengabdian, 6(2), 1-7.

Azhari, I. (2013). Kesultanan Serdang: Perkembangan Islam pada Masa Pemerintahan


Sulaiman Shariful Alamsyah Jakarta: Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama
Republik Indonesia.

Hashim, M. Y. (1988). Di Antara Fakta dan Mitos: Tradisi Pensejarahan Di Dalam Hikayat
Siak Atau Sejarah Raja-Raja Melayu SEJARAH: Journal of the Department of History, 1(1),
63-116.

Putra, B. A. (2016). Historiografi Melayu:


Islam Dalam Sejarah dan Kebudayaan Melayu. Tsaqofah dan Tarikh: Jurnal Kebudayaan dan
Sejarah, 1(1), 91-102.

Effendy, T. (2015). Tunjuk Ajar MELAYU. Pekanbaru: Dinas Pendidikan dan Kebudayaan
Provinsi Riau.

Mahayana, MS. (2001). Akar Melayu: Sistem Sastra dan Konflik Ideologi di Indonesia dan
Malaysia. Magelang: IndonesiaTera.

https://riauheadline.com/Traveler/Sejarah-Asal-Usul-Suku-Melayu-Riau

Anda mungkin juga menyukai