Anda di halaman 1dari 32

MAKALAH

TOKOH MUFASSIR PERIODE MODERN - KONTEMPORER


Disusun Untuk Memenuhi Tugas Harian Mata Kuliah
Sejarah Perkembangan Tafsir
Dosen : Ust. Dr. Subur Wijaya, M.Pd.

Oleh :

Muhamad Syafrudin
Raja Syauqi Al-Fansyuri

PRODI ILMU AL QUR’AN DAN TAFSIR


SEKOLAH TINGGI KULLIYATUL QUR’AN AL HIKAM DEPOK
2021 M/1442 H

Jl. H Amat, No.21. RT.06/RW.01, Kukusan, Beji, Kota Depok, Jawa


Barat 16425

1
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kami ucapkan terima kasih kepada Allah SWT atas
rahmat dan karunia-Nya sehingga terwujudnya makalah kami yang berjudul
“TOKOH MUFASSIR PERIODE MODERN - KONTEMPORER”.
Makalah ini dibuat untuk memenuhi tugas mata kuliah Sejarah
Perkembangan Tafsir. dengan dosen pengampu Ust. Dr. Subur Wijaya,
M.Pd.
Terima kasih kepada dosen pengampu yang selalu membimbing
kami dan memberikan arahan serta ilmu yang telah beliau sampaikan. Dan
tak lupa pula kepada teman-teman sekalian yang telah mendukung kami
sehingga kami bisa menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu.
Kami haturkan mohon maaf apabila masih banyak kekurangan dalam
pembuatan makalah ini, untuk itu pemakalah menerima segala bentuk kritik
membangun demi terciptanya kesempurnaan dalam pembuatan makalah
selanjutnya.

Depok, 3 April 2021

penulis
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Mengenai perkembangan tafsir tentu tidak lepas dari peran mufassir
yang membuahkan kitab-kitab tafsir Al-Qur’an yang bermacam-macam
metode, corak dan karakteristiknya. Perbedaan tersebut didasari dengan
berbedanya latar belakang masing-masing mufassir. Mulai dari metode
tahlily (keseluruhan) dan maudhi’i (tematik), baik yang menggunakan
pendekatan bil ma’tsur (riwayat) ataupun bil ra’yi (penalaran) dan
masing-masing kitab mempunyai ciri-ciri atau karakteristik tersendiri
dalam menyampaikan isi kandungan Al-Qur’an.
Dan disini penulis ingin menguraikan sekedarnya untuk membuka
sudut pandang pengetahuan para pembaca, bahwa mufassir Pada Periode
Modern - Kontemporer itu bukan hanya menguasai ilmu tafsir, tapi
beliau mengusai hampir semua bidang ilmu. Sehingga penafsirannya
sangat luas pembahasan dan ruang lingkupnya.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana biografi tokoh mufassir Periode Modern -
Kontemporer?
2. Bagaimana corak penafsiran tokoh Periode Modern -
Kontemporer?
3. Bagaimana karakteristik penafsiran Periode Modern -
Kontemporer?

3
BAB II
PEMBAHASAN

A. MUHAMMAD ‘ABDUH
1. Biografi Muhammad ‘Abduh
Nama lengkap beliau Muhammad Ibn‘Abduh Ibn Hasan
Khairullah dilahirkan pada 1266 H, bertepatan dengan 1848 M dari
kedua orang tua yang sederhana. Menurut istilah mukti Ali, ia
berasal dari keluarga yang miskin sebagaimana umumnya orang-
orang desa di Mesir.1 Ayahnya berasal dari desa Mahallaf Nasr di
daerah al-Bahîrah, sedangkan ibunya yang disebut-sebut dari
keluarga Utsmân adalah dari desa Hashaq Syabsyir di daerah al-
Gharbiyah. Keluarga dari pihak ibunya berasal dari kalangan bani
‘Adi salah satu suku bangsa Arab.2 Kedua orang tuanya dikenal
berakhlak baik dan mulia. Ayahnya, di samping pemurah dan
pemberani, juga sebagai orang yang terpandang dan besar
wibawanya. Sedangkan ibunya dikenal penyantun dan pengasih pada
orang-orang miskin.
Perjalanan pendidikan syaikh Muhammad ‘Abduh dimulai
dengan belajar menulis dan membaca di rumah. Kemudian ia
menghafal Alquran di bawah bimbingan seorang guru yang hafal
kitab suci itu. Dalam masa dua tahun ia telah mempu menghafal
Alquran. Kemudian, pada 1279 H/1863 M, ia dikirim orang tuanya
ke Thantha untuk meluruskan bacaan Alqurannya (belajar ilmu
tajwid) di Masjid al-Ahmadi. Setelah berjalan dua tahun, barulah ia
mengikuti pelajaran-palajaran yang diberikan di mesjid itu, tetapi
karena metode pengajaran yang tidak tepat, setelah satu setengah
tahun belajar, Muhammad ‘Abduh kecil belum mengerti apa-apa.
Menurut pernyataannya sendiri, guru-gurunya cenderung mencekoki
para siswa dengan kebiasaan menghafal istilah-istilah tentang nahwu
atau fikih yang tidak dimengerti arti-artinya. Mereka seakan tidak
peduli apakah murid-murid mengerti atau tidak tentang istilah-istilah
itu.1
Dari Thantha, Muhammad Abduh menuju Kairo untuk
belajar di Al-Azhar, yaitu pada bulan Februari 1866. Namun sistem
pengajaran ketika itu tidak berkenan di hatinya, karena menurut
Abduh, “Kepada para mahasiswa hanya dilontarkan pendapat-
pendapat para ulama terdahulu tanpa mengantarkan mereka kepada
usaha penelitian, perbandingan, dan pentarjihan.” Namun
Demikian, di perguruan ini ia sempat berkenalan dengan sekian
banyak dosen yang dikaguminya.
Karya-karya syaikh Muhammad ‘Abduh dalam bidang tafsir
terbilang sedikit jika diukur dengan kemampuan tokoh ini. Karya-
karya tersebut adalah:
(1) Tafsir Juz ‘Amma, yang dikarangnya untuk menjadi
pegangan para guru mengaji di Marokko pada tahun 1321 H.
(2) Tafsir surat al-’Ashr, karya ini berasal dari kuliah atau
pengajian-pengajian yang disampaikannya di hadapan ulama dan
pemuka-pemuka masyarakat di Aljazair,
(3) Tafsir ayat-ayat surat al-Nisâ’: 77—78, al-Hajj: 52 dan 54,
dan al-Ahzâb: 37. Karya ini dimaksudkan untuk membantah
tanggapan-tanggapan negatif terhadap Islam dan nabinya.
(4) tafsir Alquran bermula dari al-Fâtihah sampai dengan ayat
129 surat al-Nisâ’ yang disampaikan di mesjid al-Azhar, sejak awal
1
Thahir al-Tanahi (ed.), Mudzakkirât al-Imâm Muhammad ‘Abduh (Cairo: Dar al-Hilâl,
2003),
29.

5
Muharram 1317 H sampai dengan pertengahan Muharram 1323.
Meskipun penafsiiran ayat-ayat tersebut tidak ditulis langsung oleh
syaikh Muhammad ‘Abduh, namun dapat dikatakan sebagai hasil
karya beliau, karena muridnya, Rasyid Ridha, yang menulis kuliah-
kuliah tafsir tersebut menunjukkan artikel yang dibuatnya itu kepada
Abduh yang terkadang memperbaikinya dengan penambahan dan
pengurangan satu atau beberapa kalimat, sebelum disebarluaskan
dalam majalah al-manâr.
B. Sayyid Muhammad Rasyîd Ridhâ
1. Biografi Sayyid Muhammad Rasyid Ridha
Nama lengkap beliau Muhammad Rasyîd Bin Ali Ridhâ Bin
Syamsudin Bin Bahaudin Al-Qolmuni Al-Husaini dilahirkan di
Qalmun, suatu kampung sekitar 4 km dari Tripoli, Lebanon, pada 27
Jumadil ‘Ula 1282 H. Dia adalah seorang bangsawan Arab yang
mempunyai garis keturuna langsung dari Husein, putera Ali dan
Fatimah putri Rasulullah Saw.2 Gelar “sayyid” pada permulaan
namanya adalah gelar yang biasa diberikan kepada semua yang
mempunyai garis keturunan tersebut. Keluarga Ridhâ dikenal oleh
lingkungannya sebagai keluarga yang sangat taat beragama serta
menguasai ilmu-ilmu agama, sehingga mereka juga dikenal dengan
sebutan “syaikh”.
Mengenai riwayat pendidikan Sayyid Muhammad Rasyîd Ridhâ, di
samping orang tuanya sendiri, ia juga belajar kepada sejumlah guru. Di
masa kecilnya ia belajar di taman-taman pendidikan di kampungnya
yang ketika itu bernama al-Kuttâb; di sana diajarkan membaca Alquran,
menulis, dan dasar-dasar berhitung. Setelah tamat Sayyid Muhammad
Rasyîd Ridhâ kecil diutus oleh orang tuanya ke Tripoli (Libanon) untuk
2
Muhammad Quraish Shihab, Studi Kritis Tafsir al-Manâr karya Muhamad
Abduh dan Muhammad Rasyid Ridha (Jakarta: Pustaka Hidayah, Cet. I, 2004), 59.
belajar di madrasah Ibtidaiyyah yang mengajarkan ilmu Nahwu, sharaf,
Aqidah, fikih, berhitung, dan ilmu bumi. Bahasa pengantar yang
digunakan di sekolah tersebut adalah bahasa Turki, mengingat Libanon
ketika itu berada di bawah kekuasaan kerajaan Utsmaniah. Mereka yang
belajar di sana dipersiapkan untuk menjadi pegawai-pegawai
pemerintahan.
Oleh karenanya Ridhâ sangat tidak tertarik untuk terus belajar di
sana. Setahun kemudian, yaitu pada tahun 1299 H/1822 M, ia pindah ke
sekolah Islam negeri, yang merupakan sekolah terbaik saat itu dengan
bahasa Arab sebagai bahasa pengantar, di samping dianjarkan pula
bahasa Turki dan Prancis. Sekolah ini didirikan oleh seorang ulama
besar Syam saat itu, yakni syaikh Husain al-Jisr. Syaikh inilah yang
kelak memiliki andil yang sangat besar terhadap perkembanagan
pikiran Ridhâ, karena hubungan antara keduanya berhenti walaupun
kemudian sekolah itu ditutup oleh pemerintah Turki. Syaikh Husein al-
Jisr juga yang memberi kesempatan kepada Ridhâ untuk menulis di
beberapa surat kabar Tripoli—kesempatan ini kelak mengantarnya
memimpin majalah al-Manâr.3
Pada 22 Syawal 1315H/17 Maret 1898M majalah al-Manâr terbit
untuk kali pertama—meski pada mulanya tidak mendapat persetujuan
dari syaikh Muhammad ‘Abduh—berupa mingguan sebanyak delapan
halaman dan mendapat sambutan yang hangat, bukan hanya di Mesir
atau negara-negara Arab sekitarnya saja, tetapi sampai ke Eropa, bahkan
ke Indonesia. Sayyid Muhammad Rasyîd Ridhâ berhasil menulis sekian
banyak karya ilmiah antara lain sebagai berikut:
1. Al-Hikmah al-Syar’iyyah fi Muhakkamat al- Dardiriyah wa
al-Rifa’iyyah.
3
Muhammad Quraish Shihab, Studi Kritis Tafsir al-Manâr…, 60.

7
2. Al-Azhar dan Al-manâr.
3. Târîkh al-Ustâdz al-Imâm.
4. majalah al-Manâr (1315—1354H).
5. Tafsîr al-Manâr.
2. Corak Penafsiran Dalam Tafsir Al- Manar
Dari penafsirannya terhadap Alquran, Muhammad ‘Abduh
dan Rasyîd Ridhâ , dikenal sebagai mufassir yang memelopori
pengembangan tafsir yang bercorak al-Adab al-Ijtimâ’i, atau tafsir yang
berorientasi pada sastera, budaya, dan kemasyarakatan. Dengan
penegasan lain, menurut Muhammad Quraish Shihab, yang dimaksud
dengan tafsir bercorak al-Adab al-Ijtimâ’i ialah tafsir yang
menitikberatkan penjelasan ayat-ayat Alquran pada segi-segi ketelitian
redaksi Alquran, kemudian menyusun kandungan ayat-ayat tersebut
dalam suatu redaksi yang indah dengan penonjolan tujuan utama dari
tujuan diturunkannya Alquran, yakni sebagai petunjuk dalam kehidupan,
lalu menggandengkan pengertian ayat-ayat tersebut dengan hukum-
hukum alam yang berlaku dalam masyarakat dan pembangunan dunia.
Dengan demikian, corak penafsiran Tafsîr al-Manâr mengandung
ciri-ciri utama yaitu adanya penonjolan ketelitian redaksi ayat-ayat
Alquran, menguraikan makna yang dikandung dalam ayat dengan
redaksi yang menarik hati, dan adanya upaya untuk menggabungkan
ayat-ayat Alquran dengan hukum-hukum alam yang berlaku dalam
masyarakat.4
Kehidupannya berakhir ketika dalam perjalanan pulang dari kota
Suez di Mesir, setelah mengantar pangeran Sa’ud al-Faishal, mobil yang
dikendarainya mengalami kecelakaan dan ia menderita geger otak.
Selama dalam perjalanan, ia hanya membaca Alquran, walau ia telah
4
Ahmad Tholabi Kharlie, “Metode Tafsir Muhammad Abduh dan Muhammad Rasyîd Ridhâ
dalam Tafsîr Al-Manâr”. TAJDID. Vol. 25, No. 2, 2018. Hlm 132
sekian kali muntah. Setelah memperbaiki posisinya, tanpa disadari oleh
orang-orang yang menyertainya, tokoh ini wafat dengan wajah yang
sangat cerah disertai senyuman, pada 23 Jumâdil ‘Ulâ 1354H, bertepatan
dengan 22 Agustus 1935 M.
C. MUHAMMAD ALI AL-SHABUNI
1. Biografi Muhammad Ali Al-Shabuni
Nama lengkapnya adalah Muhammad bin Ali bin Jamil Al-
Shabuni. Beliau lahir di Kota Helb Syiria pada tahun 1928 M/1347 H.
al-Shabuni dibesarkan di tengah-tengah keluarga terpelajar, Ayah beliau,
Syekh Jamil, merupakan salah seorang ulama senior di Aleppo. Al-
Shabuni memperoleh pendidikan dasar dan formal mengenai bahasa
Arab, ilmu waris, dan ilmu-ilmu agama di bawah bimbingan langsung
sang ayah. Sejak usia kanak-kanak, ia sudah memperlihatkan bakat dan
kecerdasan dalam menyerap berbagai ilmu agama. Di usianya yang
masih belia, Al-Shabuni sudah hafal Alquran. Tak heran bila
kemampuannya ini membuat banyak ulama di tempatnya belajar sangat
menyukai kepribadian al-Shabuni. Selain ayah beliau, al-Shabuni juga
berguru pada ulama terkemuka di Aleppo, seperti Syekh Muhammad
Najib Sirajuddin, Syekh Ahmad al-Shama, Syekh Muhammad Said al-
Idlibi, Syekh Muhammad Raghib al-Tabbakh dan Syekh Muhammad
Najib Khayatah. Untuk menambah pengetahuannya, al-Shabuni juga
kerap mengikuti kajian-kajian para ulama lainnya yang biasa
diselenggarakan di berbagai masjid.5
Setelah menamatkan pendidikan dasar, al-Shabuni melanjutkan
pendidikan formalnya di sekolah milik pemerintah, Madrasah al-
Tijariyyah. Di sini, ia hanya mengenyam pendidikan selama satu tahun.

5
Fahd Abd Rahman al-Rumi, Ittijahat al-Tafsir fi al-Qarn al-Rabi‟ al-„Asr
( Saudi Arabia: Idarah al-Buhuts al-Ilmiyyah wa al-Ifta‟, 1987) jilid 2, h.
446.

9
Kemudian, ia meneruskan pendidikan di sekolah khusus syariah,
Khasrawiyyah, yang berada di Aleppo. Saat bersekolah di
Khasrawiyyah, ia tidak hanya mempelajari bidang ilmu-ilmu Islam,
tetapi juga mata pelajaran umum. Ia berhasil menyelesaikan pendidikan
di Khasrawiyyah dan lulus tahun 1949.
Atas beasiswa dari Departemen Wakaf Suriah, ia melanjutkan
pendidikannya di Universitas Al-Azhar, Mesir, hingga selesai strata satu
dari Fakultas Syariah pada tahun 1952. Dua tahun berikutnya, di
universitas yang sama, ia memperoleh gelar magister pada konsentrasi
peradilan Syariah (Qudha‟ al-Syariyyah) 1954 M. Studinya di Mesir
merupakan beasiswa dari Departemen Wakaf Suria. Selepas dari Mesir,
Al-Shabuni kembali ke kota kelahirannya, beliau mengajar di berbagai
sekolah menengah atas yang ada di Aleppo. Pekerjaan sebagai guru
sekolah menengah atas ini ia lakoni selama delapan tahun, dari tahun
1955 hingga 1962.6
Setelah itu, ia mendapatkan tawaran untuk mengajar di Fakultas
Syariah Universitas Ummu al-Qura‟ dan Fakultas Ilmu Pendidikan
Islam Universitas King Abdul Aziz. Kedua universitas ini berada di Kota
Makkah. Ia menghabiskan waktu dengan kesibukannya mengajar di dua
perguruan tinggi ini selama 28 tahun. Karena prestasi akademik dan
kemampuannya dalam menulis, saat menjadi dosen di Universitas Umm
al-Qura, al-Shabuni pernah menyandang jabatan ketua Fakultas Syariah.
Ia juga dipercaya untuk mengepalai Pusat Kajian Akademik dan
Pelestarian Warisan Islam. Hingga kini, ia tercatat sebagai guru besar
Ilmu Tafsir pada Fakultas Ilmu Pendidikan Islam Universitas King
Abdul Aziz.

6
Fahd Abd Rahman al-Rumi, Ittijahat al-Tafsir , jilid 2, h. 446. Lihat juga: Muhammad Ali
Ayazi, al-Mufasirun Hayatuhum wa Manhajuhum ( Teheran: Wujarah al-Tsaqafah al-
Islami, 1313 H), h. 608.
Di samping mengajar di kedua universitas itu, al-Shabuni juga
kerap memberikan kuliah terbuka bagi masyarakat umum yang
bertempat di Masjidil Haram. Kuliah umum serupa mengenai tafsir juga
digelar di salah satu masjid di Kota Jeddah. Kegiatan ini berlangsung
selama sekitar delapan tahun.Setiap materi yang disampaikannya dalam
kuliah umum ini, oleh al-Shabuni, direkam-nya dalam kaset. Bahkan,
tidak sedikit dari hasil rekaman tersebut yang kemudian ditayangkan
dalam program khusus di televisi. Proses rekaman yang berisi kuliah-
kuliah umum al-Shabuni ini berhasil diselesaikan pada tahun 1998.
Al-Shabuni dikenal sebagai pakar ilmu Al-Qur‟an, Bahasa Arab,
Fiqh, dan Sastra Arab. Abdul Qodir Muhammad Shalih dalam “Al-Tafsir
wa al-Mufassirun fi al-Ashri al-hadits” menyebutnya sebagai akademisi
yang ilmiah dan banyak menelurkan karya-karya bermutu”. Di antara
karya-karya beliau: “Al-Mawarits fi al-Syari‟ah al-Islamiyyah”, “ al-
Nubuwwah wa al-Anbiya”, “min Kunuz as-Sunnah”, “Risalah as-
Shalah”,. Nama besar Muhammad Ali al-Shabuni begitu mendunia.
Beliau merupakan seorang ulama dan ahli tafsir yang terkenal dengan
keluasan dan kedalaman ilmu serta sifat wara‟-nya.24
Menurut penilaian Abdullah Khayyat, khatib Masjidil Haram dan
penasehat kementrian pengajaran Arab Saudi, al- Shabuni adalah
seorang ulama yang memiliki banyak pengetahuan, salah satu cirinya
adalah aktivitasnya yang mencolok dalam bidang ilmu dan pengetahuan,
Ia banyak menggunakan kesempatan berlomba dengan waktu untuk
menelurkan karya ilmiahnya yang bermanfaat dengan member konteks
pencerahan, yang merupakan buah penelaahan, pembahasan dan
penelitian yang cukup lama. Dalam menuangkan pemikirannya, al-
Shabuni tidak tergesa-gesa, dan tidak berorientasi mengejar banyak
karya tulis, namun menekankan segi ilmiah ke dalam pemahaman serta

11
aspek-aspek kualitas dari sebuah karya ilmiah, untuk mendekati
kesempurnaan dan segi kebenaran.
Selain mengajar, al-Shabuni juga aktif dalam organisasi Liga
Muslim Dunia. Saat di Liga Muslim Dunia, ia menjabat sebagai
penasihat pada Dewan Riset Kajian Ilmiah mengenai Al-Qur‟an dan
Sunnah. Ia bergabung dalam organisasi ini selama beberapa tahun.
Setelah itu, ia mengabdikan dirinya sepenuhnya untuk menulis dan
melakukan penelitian. Berkat kiprahnya dalam dunia pendidikan Islam,
pada tahun 2007, panitia penyelenggara Dubai International Qur‟an
Award menetapkan al-Shabuni sebagai Personality of the Muslim World.
Ia dipilih dari beberapa orang kandidat yang diseleksi langsung oleh
Pangeran Muhammad ibn Rashid Al-Maktum, Wakil Kepala
Pemerintahan Dubai. Penghargaan serupa juga pernah diberikan kepada
sejumlah ulama dunia lainnya, di antaranya Syekh Yusuf Al Qaradhawi.
Di penghujung tahun 2011, beliau melakukan rihlah dakwah di sejumlah
negara di Asia Tenggara, diantaranya adalah Malaysia dan Indonesia.
Selain berdakwah, beliau juga membahas krisis yang terjadi di
Suriah saat ini yang menurutnya merupakan pertempuran antara
Mujahidin Islam dengan pemerintah Suriah yang Syiah Alawi dibantu
Hizbullah Libanon dan Syiah 12 Imam Iran
2. Karya Ali Al-Shabuni
Di sela-sela kesibukannya mengajar dan berdakwah, Muhammad
Ali al-Shabuni, juga seorang ulama yang produktif menulis buku yang
mencapai kurang lebih 40 kitab dalam berbagai disiplin ilmu, baik di
bidang tafsir, hadits maupun syariah. Di antara karya-karya beliau:
1. Rawa‟i al Bayan fi Tafsir Ayat al-Ahkam min Al Qur‟an.
2. Al-Tibyan fi „Ulum Al Qur‟an
3. Al Nubuwah wa Al Anbiya‟
4. Qabasun min Nur Al Qur‟an
5. Min Kunuz al-Sunnah; Dirisat Adabiyah wa Lughawiyyah
min al-Hadis al-Syarif)
6. Al-Mawarits fi al-Syari‟ah al-Islamiyyah
7. Mukhtasar Tafsir Ibn Katsir
8. Al-Tibyan fi „Ulum al-Qur‟an
9. Shafwah al-Tafasir.
3. Metode Dan Corak Penafsiran Dalam Kitab Shafwah Al-Tafasir.
Metode penafsiran al-Shabuniy dalam Safwah al-Tafâsîr
adalah metode tahlîlî. Pembuktiannya dengan menggunakan dua
indikator: Pertama, penggunaan langkah-langkah metode tahlîlî
dalam penafsirannya yaitu: Menetapkan kelompok ayat yang akan
ditafsirkan, menganalisis kosa kata dari sudut pandang bahasa Arab,
menjelaskan asbâb al-nuzûl, mengungkap kajian aspek kebahasaan
al-Qur‟an dari segi balaghah, melakukan kajian munâsabah suatu
ayat dengan ayat-ayat sekitarnya, memaparkan kandungan ayat
secara umum, manafsirkan ayat (al-tafsîr wa al-bayân), melakukan
istinbâth hukum dalam artian menjelaskan hukum yang dapat ditarik
dari ayat yang luas. Kedua, pembahasan dalam tafsir tersebut runtut
sesuai dengan urutan mushaf al-Qur‟an, yaitu dari awal surah al-
Fâtihah sampai akhir surah al-Nâss.
Corak penafsiraan dalam Safwah al-Tafâsîr adalah adabi al-
ijtima’i, hal tersebut terlihat dari penafsiran al-Shabuniy yang selalu
mengkaji setiap ayat dengan menggunakan pendekatan sastra atau
kebahasaan. Kemudian al-Shabuniy menjelaskan faedah atau
hikmah ayat yang ditafsirkan.7

7
Rahmad Sani, “karakteristik penafsiran Muhammad ‘ali al-shabuniy dalam kitab shafwah
al-tafâsîr”. Majalah Ilmu Pengetahuan dan Pemikiran Keagamaan Tajdid, Vol. 21, No. 1,
2018. Hlm 38

13
D. SAYYID QUTHB
1. Biografi Sayyid Quthb
Sayyid Quthb lahir di kampung Musyah, salah satu provinsi Asyuth,
di dataran tinggi Mesir. Ia lahir pada 9 Oktober 1906 M. Nama lengkap
beliau adalah Sayyid Quthb Ibrahim Husain al-Shazili. Sayyid Quthb
tumbuh dalam keluarga yang taat pada ajaran Islam. Sayyid Quthb
mempunyai empat saudara kandung, saudara kandung pertamanya
adalah Nafisah, saudara perempuannya ini lebih tua tiga tahun darinya.
Berbeda dengan saudara-saudaranya yang lain yang berprofesi sebagai
penulis, Nafisah lebih memilih menjadi aktivis Islam dan menjadi
syahidah.
Ayah Sayyid Quthb bernama Al-Haj Quthb ibn Ibrahim, beliau
seorang petani terhormat yang relatif berada dan menjadi anggota
Komisaris Partai Nasional di desanya. Rumahnya dijadikan markas bagi
kegiatan politik partainya. Di sana dijadikan juga sebagai tempat rapat-
rapat penting yang diselenggarakan baik yang dihadiri oleh semua
orang, maupun yang sifatnya rahasia dan hanya dihadiri oleh orang-
orang tertentu.8
Ibunya berasal dari keluarga yang terkemuka dan taat beragama.
Keluarga ibunya memang dianugerahi dua kelebihan sekaligus kaya dan
berpendidikan tinggi. Ibu Sayyid Quthb mempunyai empat orang
saudara, dua diantaranya adalah alumnus-alumnus al-Azhar. Salah
seorang diantaranya adalah Ahmad Husain Utsman, yang meninggalkan
pengaruh besar pada diri Sayyid Quthb, karena Sayyid Quthb pernah
tinggal bersamanya di Kairo.

8
Nuim Hidayat, Biografi dan Kejernihan Pemikirannya, (Jakarta:GEMA INSANI PRESS
2005),15-17.
Sayyid Quthb bersekolah di daerahnya selama empat tahun dan ia
mampu menghapal Alquran ketika berusia sepuluh tahun.
Pengetahuannya yang mendalam dan luas tentang Alquran dalam
konteks pendidikan agama, tampaknya mempunyai pengaruh yang kuat
pada hidupnya. Setelah menyelesaikan pendidikan dasarnya, lalu
melanjutkan ke Kairo di Madrasah Sanawiah pada tahun 1921 dengan
tinggal bersama pamannya, Ahmad Husain Utsman. Selanjutnya Sayyid
Quthb melanjutkan studinya di Madrasah Mu’allimin Kairo tahun 1925
selama tiga tahun dan alumninya mendapat ijazah kafa’ah (kelayakan
mengajar). Pada tahun 1933, dia masuk kuliah ke Dār al-Ulūm dan
memperoleh gelar sarjana dalam bidang sastra sekaligus gelar diploma
dalam bidang pendidikan. Pendidikan dalam bidang sastra inilah yang
kelak menjadikan Sayyid Quthb, selain sebagai seorang pemikir juga
merupakan seorang sastrawan. Hal ini dapat dilihat dari buku-bukunya
yang banyak diwarnai dengan gaya bahasa dan sastra. Ketika kuliah ia
banyak dipengaruhi oleh pemikiran Abbas Mahmud al-‘Aqad yang
cenderung pada pendekatan pemikiran barat.
Sejak masuk sekolah dasar, Sayyid Quthb telah menghafal Alquran
dengan tekun. Ia juga mengikuti lomba hafalan Alquran di desanya,
Musyah. Ia dengan kemampuannya yang menakjubkan mampu
menghafal Alquran dengan akurat dalam waktu tiga tahun. Ia mulai
menghafal umur delapan tahun dan menyelesaikan hafalan Alquran
dengan sempurna pada umur sebelas tahun.
Dari pengetahuannya yang mendalam tentang Alquran dan sastra,
akhirnya Sayyid Quthb membuat karya at-Tashwir al-Fanni al-Qur’an.
Dalam bukunya ini, Quthb mengemukakan tentang keindahan atau
ilustrasi artistik dalam Alquran (at-Tashwir al-Fanni), Sayyid Quthb
berkata, “Ia adalah sebuah instrumen yang terpilih dalam gaya Alquran

15
yang memberikan ungkapan dengan suatu gambaran yang dapat
dirasakan dan dikhayalkan mengenai konsep akal pikiran, kondisi
kejiwaan, peristiwa nyata, adegan yang dapat ditonton, tipe manusia
dan juga tabiat manusia. Kemudian ia meningkat dengan gambaran
yang dilukiskan itu untuk memberikan kehidupan yang menjelma atau
aktivitas (gerak) yang progresif.9
Pada tahun 1948, ia menerbitkan karya monumentalnya
al-‘Adâlah al-Ijtimâ’iyah fî al-Islam (Keadilan Sosial di dalam Islam)
kemudian disusul Fî Zhilâl al-Qur’an (Di bawah Naungan al-Qur’an)
yang diselesaikan di dalam penjara.
2. Metode Penafsiran Dalam Kitab Fi Zhilal Al-Qur’an
Secara umum, metode penafsiran yang digunakan oleh Sayyid
Quthb adalah metode tafsîr bi ar-ra'yi, di mana corak pemikiran dan
pemahaman Sayyid Quthb terlihat lebih dominan dalam upayanya
menafsirkan al-Qur'an. Sayyid Quthb masih memperhatikan batasan-
batasan syari'ah dalam menafsirkan al-Qur'an. Ia tidak lantas
mengesampingkan apa yang telah menjadi aturan tetap Allah swt. dan
tuntunan Rasulullah saw. sehingga tafsirnya tidak bertentangan
dengan kaidah agama.
Hanya saja, sesuai dengan latar belakang kehidupan beliau
yang notabene merupakan pengikut aktif/ pimpinan gerakan
ikhwanul muslimin, maka tak heran jika pembahasan mengenai jihad
lebih banyak ia tekankan dalam buku tafsirnya tersebut. Sayyid
Quthb menganggap bahwa Allah swt. menciptakan manusia semata-
mata untuk selalu berjuang di jalan-Nya. Apapun yang dilakukan
oleh manusia selain jihad adalah sia-sia.

9
Asep rohmat, Teknik Taswir Sayyid Quthb dan Penerapannya pada Ayat-ayat Sedekah
dalamTafsir Fi> Zhil>l al-Qur‟an, (Bandung: 2012), 67.
Adapun sistematika penulisan tafsir yang digunakan dalam
buku Fî zhilâl al-Qur'an adalah sebagai berikut.
a. Sayyid Quthb memulai tafsirnya dengan menyusun,
mengelompokkan, dan mengaitkan ayat-ayat yang
berhubungan terlebih dahulu.
b. Menjelaskan maksud dari ayat secara global, biasanya
dengan menyebutkan sebab turunnya ayat jika ada.
c. Menafsirkan kandungan ayat dengan menyebutkan ayat
lain/ hadits yang senada, membahas arti ayat dari segi
bahasa, menegaskan hal-hal yang dianggap penting dan
berhubungan dengan perilaku manusia, meluruskan
interpretasi keliru yang berkembang di masyarakat,
diakhiri dengan mencoba memaparkan bentuk aplikasi
ayat dalam kehidupan sosial masyarakat
E. WAHBAH AZ-ZUHAYLI
1. Biografi Wahbah Az- Zuhayli
Wahbah az-Zuhayli lahir di Dair ‘Atiyah yang terletak dipelosok
kota Damaskus, Suriah, pada tahun 1351 H/1932 M. Nama Lengkapnya
Wahbah bin Mustafa az-Zuhayli. Ia putera syaikh Musthafa az-Zuhayli,
seorang petani sederhana nan alim, hafal al-Qur’an, rajin beribadah, dan
gemar berpuasa. Dibawah bimbingan ayahnya , Wahbah mengenyam
dasar-dasar agama Islam . Setelah itu, ia bersekolah di Madrasah
Ibtidaiyah di kampungnya, hingga jenjang pendidikan formal
berikutnya. Gelar sarjana diraihnya pada tahun 1953 M di Fakultas
Shari’ah Universitas Damaskus. Tahun 1956 M. ia meraih gelar doktor
dalam bidang Shari’ah dari Universitas al-Azhar, Kairo . 10

10
Saiful Amin Ghofur, Profil Para Mufasir Al-Qur’an, 2008, (Yogyakarta: Pustaka Insan
Madani), 174

17
Pada tahun 1963 M, ia diangkat sebagai dosen di Fakultas Shari’ah
Universitas Damaskus dan secara berturut-turut menjadi Wakil Dekan,
kemudian Dekan dan Ketua Jurusan Fiqh Islami wa Madhahabih
di Fakultas yang sama. Ia mengabdi selama lebih dari tujuh tahun
dan dikenal alim dalam bidang Fiqh, Tafsir dan Dirasah
Islamiyyah.11

2. Karya-karyanya
Wahbah al-Zuhayli menulis buku, kertas kerja dan artikel dalam
berbagai ilmu Islam. Buku-bukunya melebihi 133 buah buku dan jika
dicampur dengan risalah-risalah kecil melebihi lebih 500 makalah.
Satu usaha yang jarang dapat dilakukan oleh ulama kini seolah-olah
ia merupakan as-Suyuti kedua (as-Sayuti al-Thani) pada zaman ini,
mengambil sampel seorang Imam Shafi’iyyah yaitu Imam al-Sayuti.
diantara buku-bukunya adalah sebagai berikut :
1. Athar al-Harb fi al-Fiqh al-Islami - Dirasat Muqaranah, Dar
al-Fikr, Damsyiq, 1963.
2. Al-Wasit fi Usul al-Fiqh, Universiti Damsyiq, 1966.
3. Al-Fiqh al-Islami fi Uslub al-Jadid, Maktabah al-Hadithah,
Damsyiq, 1967.
4. Nazariat al-Darurat al-Syar’iyyah, Maktabah al-Farabi, Damsiq,
1969.
5. Nazariat al-Daman, Dar al-Fikr, Damsyiq, 1970.
6. Al-Ushul al-Ammah li Wahdah al-Din al-Haq, Maktabah al-
Abassiyah, Damsyiq, 1972.

11
http://referensiagama.blogspot.com/2011/01/sekilas-tentang-tafsir-munir.
html
7. Al-Alaqat al-Dawliah fi al-Islam, Muassasah al-Risalah, Beirut,
1981.
8. Al-Fiqh al-Islami wa Adilatuh, (9 jilid), Dar al-Fikr, Damsyiq,
1984.
9. Usul al-Fiqh al-Islami (dua Jilid), Dar al-Fikr al-Fikr, Damsyiq,
1986.
10. Juhud Taqnin al-Fiqh al-Islami, (Muassasah al-Risalah, Beirut,
1987.
11. Tafsir al munir
3. Metode Penulisan Tafsir Al- Munir
Tafsir Munir pada metode pembahasannya yang secara merata,
urut dan tuntas mulai dari surah al-Fatihah sampai dengan surah an-
Nas, berdasarkan urutan surah dalam al-Mushaf al-Usmani. Hal ini
sangat mempermudah dalam memahami maksud dan penjelasan setiap
surah yang ada didalam tafsir Munir.
Tafsir Munir menggunakan metodologi bi al-Ma’tsur dan al-
Ra’yi. Bi al-Ma’tsur yakni menafsirkan al-Qur’an dengan ayat al-
Qur’an, menafsirkan dengan hadith Nabi, riwayat dari para Sahabat,
Tabi’in, dan Tabi’u at-Tabi’in. Metodologi ini adalah metodologi
terbaik dalam manafsirkan al-Qur’an sebagaimana yang diungkapkan
oleh Shaikhul Islam Ibnu Taymiyah, Ibnu Kathur, dan Imam al-
Zarkashi. Beliau menyajikan dengan gaya bahasa dan redaksi yang
sangat teliti, penafsirannya juga disesuaikan dengan situasi yang
berkembang dan dibutuhkan dalam di tengah-tengah masyarakat. 12

F. AHMAD MUSTHAFA AL-MARAGHI


1. Biografi Ahmad Musthafa Al- Maraghi

12
Moch. Yunus, “Kajian Tafsir Munir Karya wahbah Az-Zuhayli”, .Humanistika, Volume
4, Nomor 2, Juni 2018. Hlm 65.

19
Al-Maraghi bernama lengkap Ahmad Musthafa bin
Muhammad bin Abdul Mun’in al-Qadhi al-Maraghi. Beliau
dilahirkan pada tahun 1300 H/1883 m di desa al-Margha yaitu sebuah
desa di propinsi Suhaj, sekitar 700 Km arah selatan kota Kairo.
Ahmad Musthafa al-Maraghi berasal dari keluarga ulama yang
taat dan menguasai berbagai lapangan ilmu agama. Hal itu dapat
dilihat bahwa 5 dari 8 orang putera Syekh Musthafa al-Maraghi (ayah
al-Maraghi) tercatat sebagai ulama besar yang terkenal seperti,
1. Syekh Muhammad Musthafa al-Maraghi, pernah menjadi Syekh
Al-Azhar selama dua periode.
2. Syekh Ahmad Musthafa al-Maraghi (kajian kita ini), pernah
menjadi rektor Universitas Al-Azhar dan sebagai guru besar di
sebuah Universitas di Sudan.
3. Syekh Abdul Azis al-Marghi, menjadi Dekan Fakultas
Ushuluddin Universitas Al- Azhar
4. Syekh Abdullah Musthafa al-Maraghi, menjadi inspektur
Umum di Universitas Al-Azhar.
5. Syekh Abu al-Wafa’ Musthafa al-Maraghi, pernah menjabat
sebagai sekretaris Badan Penelitian dan Pengembangan di
Universitas Al-Azhar.13

Disamping itu, selain al-Maraghi berasal dari keturunan ulama


yang menjadi ulama, beliau yang berhasil mendidik putera-
puteranya menjadi ulama dan intelektual yang senantiasa
mengabdikan dirinya untuk masyarakat bahkan mendapat
kedudukan penting di jajaran pemerintah Mesir. Hal itu terbukti
pada 4 (empat) orang puteranya yaitu,

13
Abdul Jalal, H.A, Tafsir al-Maraghi dan Tafsir al-Nur Sebuah Studi Perbandingan,
Yogyakarta, IAIN Sunan Kalijaga, 1985, hal.109
1. Muhammad Azis Al-Maraghi sebagai hakim di Pengadilan tinggi
di Kairo

2. Abdul Hamid al-Maraghi, seorang hakim di pengadilan tinggi


di Kairo dan Kuwait
3. Ashim Ahmad al-Maraghi, seorang hakim di Pengadilan tinggi
di Kairo dan Kuwait
4. Ahmad Midhat al-Maragi, sebagai hakim di Pengadilan Tinggi
di Kairo dan wakil Menteri kehakiman Mesir
Ketika al-Maraghi menginjak usia sekolah, beliau oleh orang
tuanya disuruh belajar al-Qur’an dan Bahasa Arab di desa
kelahirannya. Dan selanjutnya memasuki pendidikan Dasar dan
Menengah. Dengan didorong oleh keinginan agar Maraghi kelak
menjadi ulama yang terkemuka, maka orang tuanya menyuruhnya
untuk melanjutkan pendidikan di Universitas Al-Azhar. Disinilah ia
mendalami berbagai aspek ilmu seperti Bahasa Arab, Tafsir, Hadist,
Fiqih, Ahlak dan ilmu Falak. Disamping itu beliau juga menuntut
ilmu di fakultas Dar al-Ulum Kairo sehingga pada akhirnya al-
Maraghi menyelesaikan studinya di studinya di dua Universitas ini.
Diantara guru yang adalah Muhammad Abduh Syekh Muhammad
Hasan al-Adawi, Syekh Muhammad Bahits al-Mut’i dan Syekh
Muhammad Rifa’i al-Fayyumi.
masa studinya, telah terlihat kecerdasan al-Maraghi yang
menonjol sehingga ketika beliau menyelesaikan studinya pada tahun
1909 al-Maraghi tercatat sebagai alumnus terbaik dan termuda.

Setelah al-Maraghi menamatkan studinya, beliau mulai meniti


karier dengan menjadi guru di beberapa sekolah menengah.
Kemudian diangkat sebagai Direktur Madrasah Mu’allimin di

21
Fayyum yaitu sebuah kota kira-kira 300 km sebelah barat daya kota
Kairo. Pada tahun 1916, beliau diangkat menjadi dosen Arab dan
ilmu Syari’ah di Sudan. Di Sudan, selain sibuk mengajar, al-
Maraghi juga giat mengarang buku-buku ilmiah salah satu buku
yang berhasil dikarangnya adalah ‘Ulum al-Balaghah. Dan pada
tahun 1920, beliau kembali ke Kairo dan diangkat sebagai dosen
Bahasa Arab dan ilmu Syariah di Dar al-Ulum sampai pada tahun
1940. Dimasa itu, beliau juga dinobatkan menjadi dosen Balagha
dan sejarah Kebudayaan Islam di Fakultas Adab Universitas Al-
Azhar.14

Sebagai ulama, al-Maraghi Memiliki pandangan-pandangan


yang terkenal tajam tentang Islam seperti menyangkut penafsiran al-
Qur’an dalam hubungannya dengan kehidupan sosial dan pentingya
akal dalam menafsirkan al-Qur’an.
2. Karya-karya al-Maraghi

Sebagaimana disinggung di atas, disamping menjalankan


aktifitas mengajar, al-Maraghi juga aktif menulis atau mengarang
buku. Diantara karya- karyanya adalah :

1. Ulum al-Balaghah

2. Hidayahnya al-Thalib

3. Tahzib al-Taudhih

4. Buhut wa Ara’

5. Tarikh ‘Ulum al-Balaghah wa Ta’rif bi Rijaliha

6. Mursyid al-Tullab

14
Departemen Agama, Ensiklopedi Islam, Jakarta, 1993, hal 696
7. Al-Mujaz fi al-Adab al-Arabi

8. Al-Mujaz fi Ulum al-Ushul

9. Al-Diyanat wa al-Akhlak
10. Tafsir al-Maraghi, merupakan karyanya yang terbesar
3. Metode Dan Corak Penafsiran Dalam Tafsir Al- Maraghi
1) Segi Sumber Tafsirnya
Dari segi sumber penafasirannya, metode yang digunakan
oleh al- Maraghi untuk menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an dalam
tafsirnya ialah dengan menggabungkan antara metode bil Ma’tsur
dan metodebi Ra’yi atau disebut juga dengan metode bil Iqtirani.
2) Segi Cara Penjelasannya
Dari segi cara penjelasannya metode yang digunakan oleh al-
Maraghi dalam tafsirnya adalah Muqarin. Dalam menafsirkan
ayat beliau seringkali mengemukakan penafsiran yang
dikemukakan oleh ulama mengenai lafadz atau ayat, yang
terkadang menguatkan salah satu dari pendapat tersebut.
3) Segi Keluasannya Penjelasannya
Dari segi keluasan penjelasannya Al-Maraghi menggunakan
metode Itnabi Tafsili. Yakni, dengan caramenafsirkan ayat al-
Qur’an secara mendetail rinci, dengan uraian-uraian yang panjang
lebar, sehingga cukup jelas dan terang.

4) Segi Sasaran dan Tertib Ayat yang Ditafsirkan Sedangkan dari


segi sasaran dan tertib ayatnya, al-Maraghi menggunakan
metodebi al-Tahlili. Yakni dengan mendeskripsikan dan
menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an yang mengikuti tata tertib dan

23
urutan ayatayat dan surat-surat dalam mushaf, dari awal surat al-
Fatihah hingga akhir surat an-Nass.
5) Corak Penafsiran
Dari aspek kecenderungan atau corak yang paling dominan al-
Maraghi memeberikan warna tafsirnya dengan al-Adabi al-
Ijtima’i. M. Quraish Shihab menyatakan bahwa al-Maraghi dalam
penafsiran al-Qur’an mengikuti corak yang digagas oleh
Muhammad Abduh yaitu al-Adabī al- Ijtimā’ī.15
G. THANTAWI JAUHARI
1. Biografi Thantawi Jauhari
Syeikh Thantāwī bin Jauhārī al-Misri lahir pada tahun 1287
H/ 1862 M, di desa’Iwadhillah Hijazi bagian Timur Mesir.1Adapun
kondisi social ekonomi desa tersebut berjalan sebagaimana layaknya
desa di sekitar kota Mesir, begitu juga aktifitas yang dilakukan oleh
penduduknya, yaitu dengan bekerja keras membanting tulang untuk
mencukupi kehidupan mereka masing-masing. Di antara mata
pencarian yang menonjol pada saat itu adalah profesi sebagai petani.
Thanthawi Jauhari dilahirkan dalam sebuah keluarga petani,
sehingga aktifitas masa kecilnya sering membantu oaring tuanya
sebagai petani. dan wafat pada tahun 1358/1940 M, ia adalah salah
seorang pemikir dan cendekiawan Mesir ada yang menyebutnya
sebagai seorang filosof Islam.
Dalam kehidupannya, sejak kecil beliau dikenal sebagai
sosok yang sangat rajin dan juga mencintai agamanya. Meskipun
dilahirkan dari kalangan keluarga petani yang bisa dikatakansangat

15
Fithrotin, “Metodologi Dan Karakteristik Penafsiran Ahmad Mustafa Al Maraghi
Dalam Kitab Tafsir Al Maraghi” Al Furqan: Jurnal Ilmu Al Qur’an dan Tafsir,
Volume 1 Nomor 2 Desember 2018. Hlm 117
sederhana, namun tidak mengundurkan semangatnya untuk terus
berjuang dalam menuntut ilmu. Pendidikannya dimulai di Desa al-
Ghar, dan bahkan semangat untuk belajarnya dari waktu ke waktu
semakin menggebu. Di sisi lain beliau turut membantu orang tuanya
sebagai petani di desanya. Thanthawi tidak hanya belajar di
sekolahnya saja, melainkan juga belajar kepada orang tuanya sendiri
beserta pamannya, yakni Syaikh Muhammad Syalabi

Selain sebagai petani, orang tua Thanthawi merupakan


seorang tokoh agama di desanya, sehingga orang tuanya sangat
memperhatikan pendidikan yang ditempuh anaknya. Tidak cukup
sampai di situ, orang tuanya juga sangat mendorong anaknya agar
menjadi orang yang terdidik dan terpelajar. Sehingga orang tuanya
menyuruh anaknya, Thanthawi, agar melanjutkan pendidikannya di
Al-Azhar Kairo, Mesir.

Di jenjang pendidikan inilah, Thanthawi Jauhari


dipertemukan dengan berbagai tokoh pembaharu terkemuka di
Mesir. Dan di antara sekian banyak tokoh pembaharu tersebut, yang
sangat berpengaruh terhadap pembentukan kepribadiannya adalah
Muhammad Abduh, atau yang dikenal sebagai salah satu pengarang
Tafsir Al-Manar. Bagi Thanthawi Jauhari, Abduh tidak hanya
dianggap sekedar guru saja, melainkan juga sebagai mitra dialog.
Sebab, pemikiran Abduh sangat berpengaruh besar terhadap
pemikiran Thanthawi selanjutnya, terutama keilmuannya dalam
bidang tafsir Sebagai akademisi, Thanthawi selalu aktif untuk
mencermati serta meneliti setiap perkembangan ilmu pengetahuan
dan dilakukan secara massif dengan menggunakan cara yang
beragam, mulai dari membaca buku, menelaah artikel di media

25
massa, sampai menghadiri berbagai seminar keilmuan pada masa
itu. Dari sekian banyak jenis keilmuan yang dipelajari, Thanthawi
Jauhari lebih tertarik dan tergila-gila dengan ilmu tafsir.

Oleh sebab itu, ia terus belajar ilmu tafsir dengan sangat


cermat dan teliti. Dan pada gilirannya, bentuk kecintaan dan
kepeduliannya terhadap ilmu tafsir tersebut kemudian dibuktikan
dengan memunculkan sebuah karya tafsir, yaitu Al- Jawāhir Fī
Tafsīr Al-Qur’an Al-Karīm. Karena memang Thanthawi mahir di
bidang sains atau ilmu pengetahuan, tafsir yang dihasilkannya pun
lebih bercorak ilmu pengetahuan (tafsir ilmy). Dengan segenap
kemampuannya, ia berusaha menafsirkan al-Qur‘an dengan corak
khasnya tersebut yang memang sangat dibutuhkan seluruh umat
Islam pada masa kini.

Setelah menyelesaikan pendidikannya di al-Azhar, kemudian


Thanthāwī melanjutkan pendidikannya di Dar al- Ulum, dan
menyelesaikannya pada tahun 1311 H atau 1893 M. Atas bimbingan
Muhammad Abduh, yang telah membuka cakrawala pemikirannya
sehingga demikian luas ketika menempuh studi di Al- Azhar.
Setelah menyelesaikan pendidikannya, Thanthāwī Jauhārī memulai
perjuangannya sebagai pendidik. Pada awalnya, beliau menjadi guru
madrasah ibtida‘iyyah dan tsanawiyyah, kemudian juga memberi
kuliah di Universitas Dar al-Ulum, tempat belajarnya duhulu.

Pada tahun 1912, Thanthāwī Jauhārī diangkat sebagai dosen


di al-Jami‘ah al-Mishriyyah dalam mata kuliah filsafat Islam. Selain
itu, dia juga aktif menulis dalam rangka menunjang dan memberikan
semangat terhadap gerakan kebangkitan dan kehidupan umat, dan
tulisan-tulisannya tersebut banyak dimuat di Koran Al-Liwa.
Sebagai cendekiawan, beliau pun terus berupaya untuk selalu
mencermati setiap perkembangan keilmuan. Banyak hal yang
diupayakan untuk menambah khazanah keilmuannya, yakni dengan
membaca buku-buku literatur, membaca majalah dan artikel di
media massa, serta mengikuti berbagai seminar dan pertemuan ilmu
pengetahuan. Dalam hal ini, yang menjadi fokus utama Thanthawi
Jauhari adalah dalam ilmu tafsir. Di sisi lain, dia juga belajar tentang
ilmu fisika. Hal ini dilakukan sebagai upaya Thanthawi untuk
memberikan pandangan dan pengetahuannya dengan berusaha
menangkal kesalahpahaman yang kerap kali menuding Islam
sebagai agama dan ajaran yang menentang ilmu pengetahuan dan
teknologi modern.

Karena kecerdasannya tentang dua fokus disiplin ilmu yang


dipelajari dan selanjutnya dipadukan itu, kemudian dibarengi dengan
penguasaan kedua ilmu tersebut, akhirnya pemikiran tafsirnya yang
dengan menggunakan berbagai argumentasi dan bantahan-bantahan
yang sangat ilmiah, cukup membuat dan menggemparkan Mesir
pada waktu itu.

Selama bertahun-tahun, segala perhatiannya dicurahkan


sebagai upaya untuk meningkatkan kepedulian umat terhadap
pentingnya meningkatkan kualitas sumber daya manusia dengan
cara menguasai ilmu pengetahuan. Dan lambat laun, gagasan
pemikirannya mulai diperhitungkan dan menjadikannya termasuk
dalam salah satu jajaran pemikir Islam terkemuka. Karena
kepandaiannya itu, setidaknya terdapat tiga hal mendasar yang perlu
dicatat dari pemikiran Thanthawi Jauhari. Pertama, obsesinya untuk
memajukan daya pikir umat. Kedua, pentingnya ilmu bahasa dalam

27
menguasai idiom-idiom modern. Dan ketiga, pengkajiannya
terhadap al-Qur‘an sebagai satu-satunya kitab suci yang memotivasi
pengembangan ilmu tersebut.

2. Karya-Karya Thantawi Jauhari

Berdasarkan literatur yang terdapat di dalam Kitab Al-


Mufassirūn Hayātuhum wa Manhajuhum karya Sayyid Muhammad
Ali Iyazi, selain menghasilkan kitab tafsir yang luar biasa yaitu Al-
Jawāhir Fī Tafsīr Al-Qur‟an Al-Karīm,setidaknya ada sembilan
karya lain yang dihasilkan oleh Thanthawi Jauhari, di antaranya
adalah

a. Jawāhir al-Ulūm.

b. Al-Nidhām wa al-Islam.

c. Al-Tāj wa al-Marsha.

d. Nidhām al-Ālam wa al-Umam.

e. Aina al-Insān.

f. Ashlu al-Ālam.

g. Al-Hikmah wa al-Hukamā.

h. Bahjat al-ulūm fi al-Falsafat al-Arabiyyati waMuwāzanatuhā


bi al-ulūm al-Ashriyyah.

i. Al-Farāid al-Jauhariyyah fi at-Thariq an-Nahwiyyah.

3. Metode Penafsiran
Dalam menyusun kitab tafsirnya, Tanthawi menggunakan metode
tahlili dengan corak/nuansa penafsiran‘ilmi, karya tafsirnya berbeda
dengan yang lain, karena kebanyakan penafsiran yang berkembang
pada masanya adalah penafsiran yang lebih menekankan aspek
kebahasaan(penjelasan kosa kata, struktur bahasa, dan gramatikanya),
sehingga terpaku pada analisa lafaz.
4. Karakteristik Tafsir al-Jawahir
1. Secara metodologi penafsiran, banyak menekankan pada
analisis spirit dan pandangan dunia al-Qur’an.
2. Dari metode penafsiran di atas memberikan karakteristik pada
tafsir ini yang lebih menampilkan aspek ilmiah (saintifik) dan
dikarenakan hal tersebut Thantawi banyak merujuk pada
pemikiran dan karya filosof klasik-modern, muslim-non
muslim, dan juga hasil-hasil penelitian para ilmuwan Barat
modern, bahkan Injil sekalipun.
3. Tidak banyak terlibat dalam perdebatan teologis, fiqhiyah,
ataupun kebahasaan.
4. Memberikan gambaran yang transparan atas fakta-fakta ilmiah
kepada pembaca dengan meletakkan ilustrasi gambar-gambar,
tumbuhan, hewan, pemandangan alam, eksperimen ilmiah, peta
serta tabel ilmiah. 16

BAB III
PENUTUP

1. KESIMPULAN

Muhammad ‘Abduh dilahirkan pada 1266 H, bertepatan


dengan 1849 M dari kedua orang tua yang sederhana. Diantara
16
Armainingsih, “STUDI TAFSIR SAINTIFIK: Al-Jawahir Fi Tafsr Al-Qur’an Al-Karim
Karya Syeikh Thantawi Jauhari”. Jurnal At-Tibyan Vol. I No.1 Januari–Juni 2016.hlm 172

29
Karya-karya syaikh Muhammad ‘Abduh dalam bidang tafsir seperti,
Tafsir Juz ‘Amma, Tafsir surat al-’Ashr dan tafsir Alquran bermula
dari al-Fâtihah sampai dengan ayat 129 surat al-Nisâ’.
Sayyid Muhammad Rasyîd Ridhâ dilahirkan di Qalmun, suatu
kampung sekitar 4 km dari Tripoli, Lebanon, pada 27 Jumadil ‘Ula
1282 H Dari penafsirannya terhadap Alquran, Muhammad ‘Abduh
dan Rasyîd Ridhâ , dikenal sebagai mufassir yang memelopori
pengembangan tafsir yang bercorak al-Adab al-Ijtimâ’i.
Muhammad bin Ali bin Jamil Al-Shabuni. Beliau lahir di
Kota Helb Syiria pada tahun 1928 M/1347 H. al-Shabuni dibesarkan
di tengah-tengah keluarga terpelajar, Ayah beliau, Syekh Jamil,
merupakan salah seorang ulama senior di Aleppo. Metode penafsiran
al-Shabuniy dalam Safwah al-Tafâsîr adalah metode tahlîlî. Corak
penafsiraan dalam Safwah al-Tafâsîr adalah adabi al-ijtima’i,
Sayyid Quthb lahir di kampung Musyah, salah satu provinsi
Asyuth, di dataran tinggi Mesir. Ia lahir pada 9 Oktober 1906 M.
Nama lengkap beliau adalah Sayyid Quthb Ibrahim Husain al-Shazili.
Secara umum, metode penafsiran yang digunakan oleh Sayyid Quthb
adalah metode tafsîr bi ar-ra'yi, di mana corak pemikiran dan
pemahaman Sayyid Quthb.
Wahbah az-Zuhayli lahir di Dair ‘Atiyah yang terletak dipelosok
kota Damaskus, Suriah, pada tahun 1351 H/1932 M. Nama Lengkapnya
Wahbah bin Mustafa az-Zuhayli Tafsir Munir pada metode
pembahasannya yang secara merata, urut dan tuntas mulai dari surah al-
Fatihah sampai dengan surah an-Nas, Tafsir Munir menggunakan
metodologi bi al-Ma’tsur dan al-Ra’yi.
Al-Maraghi bernama lengkap Ahmad Musthafa bin
Muhammad bin Abdul Mun’in al-Qadhi al-Maraghi. Dari segi
sumber penafasirannya, metode yang digunakan oleh al- Maraghi
untuk menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an dalam tafsirnya ialah dengan
menggabungkan antara metode bil Ma’tsur dan metodebi Ra’yi atau
disebut juga dengan metode bil Iqtirani.
Syeikh Thantāwī bin Jauhārī al-Misri lahir pada tahun 1287
H/ 1862 M, di desa’Iwadhillah Hijazi bagian Timur Mesir. Dalam
menyusun kitab tafsirnya, Tanthawi menggunakan metode tahlili
dengan corak/nuansa penafsiran‘ilmi.

DAFTAR PUSTAKA

Abdul Jalil, H.A. DR, Tafsir al-Maraghi dan Tafsir al-Nur Sebuah Studi
Perbandingan, Yogyakarta, IAIN Sunan Kalijaga, 1985

31
Ahmad Tholabi Kharlie, “Metode Tafsir Muhammad Abduh dan Muhammad
Rasyîd Ridhâ dalam Tafsîr Al-Manâr”. TAJDID. Vol. 25, No. 2,
2018
Al- Tanahi, Thahir (ed.). Mudzakkirât al-Imâm Muhammad ‘Abduh.
Kairo: Dar al-Hilal, t.t.
Ali, A. Mukti. Ijtihad dalam Pandangan Muhammad Abduh, Ahmad
Dahlan, dan Mohammad Iqbal. Jakarta: Bulan Bintang, Cet. XII,
2000.
Al-Rumi, Fahd Abd Rahman al-Rumi. Ittijah al-Tafsir fi al-
Qarn al-Rabi‟ „Asara (Saudi Arabia: t.th)
Armainingsih, “STUDI TAFSIR SAINTIFIK: Al-Jawahir Fi Tafsr Al-Qur’an
Al-Karim Karya Syeikh Thantawi Jauhari”. Jurnal At-Tibyan Vol. I
No.1 Januari–Juni 2016
Fithrotin, “Metodologi Dan Karakteristik Penafsiran Ahmad Mustafa Al
Maraghi Dalam Kitab Tafsir Al Maraghi” Al Furqan: Jurnal Ilmu Al
Qur’an dan Tafsir, Volume 1 Nomor 2 Desember 2018
Ghofur, Saiful Amin. Profil Para Mufasir Al-Qur’an. Yogyakarta:
Pustaka Insan Madani. 2008.
Sani, Rahmad. “karakteristik penafsiran Muhammad ‘ali al-shabuniy dalam
kitab shafwah al-tafâsîr”. Majalah Ilmu Pengetahuan dan Pemikiran
Keagamaan Tajdid, Vol. 21, No. 1, 2018
Shihab, Muhammad Quraish. Studi Kritis Tafsîr al-Manâr Karya
Muhammad Abduh dan Muhammad Rasyid Ridha. Jakarta: Pustaka
Hidayah, 2004.
Yunus, Moch. “Kajian Tafsir Munir Karya wahbah Az-Zuhayli”,
.Humanistika, Volume 4, Nomor 2, Juni 2018.

Anda mungkin juga menyukai