Anda di halaman 1dari 38

TUGAS KEPERAWATAN KESEHATAN ANAK II

“PENGAMBILAN KEPUTUSAN DAN ADVOKASI PASIEN : PADA ANAK


DENGAN PENYAKIT KRONIS SISTEM RESPIRASI”

KELOMPOK 5
KELAS AJ 2 B21

1. Angga Riski Wijaya (131811123007)


2. Trias Isrichawati (131811123013)
3. Yulia Meiliany Naragale (131811123023)
4. Ria Ulfah Indriani (131811123055)
5. Kartika Fatmawati (131811123064)
6. M. Farid Ma’ruf Budiantoro (131811123077)
7. Anggrainy Lidia Ratoebandjoe (131811123080)

FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS AIRLANGGA
SURABAYA
2018
KATA PENGANTAR

Syukur Alhamdulillah senantiasa kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah
melimpahkan rahmat dan karunia-Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini guna
memenuhi tugas kelompok untuk mata kuliah Keperawatan Anak dengan judul
“PENGAMBILAN KEPUTUSAN DAN ADVOKASI PASIEN : PADA ANAK DENGAN PENYAKIT
KRONIS SISTEM RESPIRASI”.

Kami menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini tidak lepas dari bantuan banyak
pihak yang dengan tulus memberikan doa, saran dan kritik sehingga makalah ini dapat
terselesaikan.
Kami menyadari sepenuhnya bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna. Oleh
karena itu kami mengharapkan segala bentuk saran serta masukan bahkan kritik yang
membangun dari berbagai pihak. Akhirnya kami berharap semoga makalah ini dapat
memberikan manfaat bagi perkembangan dunia pendidikan.

Surabaya, November 2018

Penulis

ii
DAFTAR ISI

Halaman Sampul........................................................................................................ i
Kata Pengantar........................................................................................................... ii
Daftar Isi....................................................................................................................iii
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang.............................................................................................. 1
1.2 Rumusan Masalah......................................................................................... 3
1.3 Tujuan........................................................................................................... 3
1.4 Manfaat......................................................................................................... 3
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Bronkopneumonia........................................................................................ 4
2.2 Asuhan Keperawatan ...................................................................................11
2.3 Konsep Advokasi..........................................................................................17
2.4 Konsep Pengambilan Keputusan................................................................. 23
2.5 Informed Consent........................................................................................ 27
BAB 3 KASUS DAN PEMBAHASAN
3.1 Contoh Kasus.............................................................................................. 30
3.2 Penyelesaian Kasus..................................................................................... 30
BAB 4 PENUTUP
4.1 Kesimpulan................................................................................................. 33
4.2 Saran........................................................................................................... 33
DAFTAR PUSTAKA

iii
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Penyakit kronis merupakan salah satu beban ganda dalam bidang kesehatan selain
penyakit infeksi yang merajalela. Diprediksikan pada tahun 2020 penyakit tidak menular
akan mencapai 73% dari penyebab kematian dan 60% dari beban penyakit dunia. Penyakit
kronis tidak hanya mengakibatkan kesakitan, kematian, dan ketidakmampuan fisik dari
penderita, namun juga prosedur pengobatan yang panjang dan menghabiskan banyak biaya
(Hartholt et al, 2010).
Penyakit kronis banyak menyerang sistem pada tubuh manusia. Salah satunya yaitu pada
sistem respirasi (Saluran nafas) Penyakit saluran nafas menjadi penyebab angka kematian dan
kecacatan yang tinggi diseluruh dunia. Sekitar 80% dari seluruh kasus baru praktek umum
berhubungan dengan infeksi saluran nafas yang terjadi di masyarakat atau didalam rumah
sakit/pusat perawatan (Hamzah, 2016). Namun yang disayangkan kewaspadaan warga
Indonesia terhadap gangguan ini masih relatif rendah. Mungkin hal ini dikarenakan gejala
yang timbul sering dianggap sepele oleh masyrakat, seperti batuk dan sesak nafas. Penyakit
saluran pernafasan memilki prevalensi yang cukup tinggi, di Amerika sendiri kira kira 35 juta
warganya mengalami gangguan respirasi obstruktif. Gangguan ini menyebabkan angka
morbitas yang tinggi, kira kira ia menghabiskan uang 154 juta dolar Amerika untuk
mengatasi efeknya. Selain itu gangguan ini merupakan penyebab kematian ke-tiga tersering
di dunia, setelah gangguan jantung dan kanker dan angka ini terus naik. Pada tahun 2008
insiden mortalitasnya hingga 135,5/100.000 kematian (Tryanni & Syariffudin, 2013).
Bronkopneumonia penyakit saluran pernfasan yang biasanya ditemukan pada anak
merupakan salah satu merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas anak di bawah 5
tahun (Balita). Diperkirakan hampir seperlima kematian anak diseluruh dunia, lebih kurang 2
juta anak balita meninggal setiap tahun akibat pneumonia, sebagian terjadi di Afrika dan Asia
Tenggara. Insiden pneumonia di negara berkembang yaitu 30,45% per 1000 anak di bawah
usia 5 tahun, 16,22% per 1000 anak pada usia 5-9 tahun, dan 7,16% per 1000 anak pada yang
lebih tua (Alexander & Anggraeni, 2017).

Pada kasus bronkopneumonia masalah utama yang sering terjadi adalah sesak nafas.
Sesak nafas dapat disebabkan oleh aliran udara dalam saluran pernafasan karena
1
2

penyempitan. Penyempitan ini terjadi karena saluran pernafasan menguncup, oedema, atau
karena sekret yang menghalangi arus pertukaran O2 denganC O2. Pada kasus anak
bronkopneumonia dengan retensi sputum berlebihan dan ataupun terjadinya gagal nafas.
Diagnosis gagal nafas akut ditegakkan berdasaran anamnesis, pemeriksaan klinis, dan
pemeriksaan penunjang, termasuk pulse oksimetri dan analisa gas darah. Pengenalan dini dan
tatalaksana yang tepat merupakan hal yang harus diperhatikan karena prognosinya buruk bila
telah mengalami henti jantung. Tatalaksana tersebut meliputi perbaikan ventilasi dan
pemberian oksigen, terapi terhadap penyakit primer penyebab gagal nafas, tatalaksana
terhadap komplikasi yang terjadi. Analisi gas darah arteri masih merupakan baku emas dan
merupakan indikator definitif dari pertukaran gas untuk menilai gagal napas. Gas darah arteri
memberikan informasi status asam-basa (dengan ukuran pH dan menghitung bikarbonat)
sama seperti kadar PaO2 dan PaCO2. PaO2 merupakan faktor yang menentukan dalam
pengangkutan oksigen ke jaringan, dan PaCO2 merupakan pengukur yang sensitive untuk
ventilasi. Prinsip tatalaksana darurat gagal nafas adalah mempertahankan jalan nafas tetap
terbuka, salah satunya adalah pemasangan pipa endotracheal tube. Jika saluran benar-benar
terjamin terbuka, maka selanjutnya dilakukan pemberian oksigen untuk meniadakan
hipoksemia (Bachtiar, 2013).

Kemampuan pengambilan keputusan yang tepat dan akurat sangat diperlukan bagi tenaga
paramedis untuk dapat menyelamatkan pasien yang dihadapi terutama dengan pasien
penyakit kronis seperti gangguan pada sistem respirasi. Pola-pola perilaku pengambilan
keputusan yang dilakukan oleh tenaga paramedis ini melibatkan aspek-aspek fisik maupun
psikis yang sangat besar, mengandung resiko yang cukup tinggi antara keselamatan dan
kematian dari pasien yang sedang dihadapi. Perawat sebagai salah satu tenaga paramedis
memiliki tanggung jawab dan kewenangan untuk mengambil langkah- langkah keperawatan
yang diperlukan sesuai dengan standar keperawatan (Husin, 1995).

Berdasarkan uraian diatas, maka diperlukan tindakan advokasi terutama pada pasien
dengan penyakit kronis pada sistem respirasi yang dapat berakibat fatal apabila tidak dapat
diidentifikasi dengan baik serta dikomunikasi dengan efektif agar terciptanya komunikasi
terapeutik yang dapat dilakukan untuk mempercepat kesembuhan dan membantu dapat
melindungi kesejahteraan pasien serta membantu pasien dalam pengambilan keputusan dalam
menentukan tindakan penyembuhan yang perlu dilakukan.
3

1.2 Rumusan Masalah


Bagaimana proses pengambilan keputusan dan advokasi pasien pada kasus
berkaitan dengan penyakit kronis pada anak sistem respirasi?

1.3 Tujuan
Untuk mengetahui proses pengambilan keputusan dan advokasi pasien pada kasus
berkaitan dengan penyakit kronis pada anak sistem respirasi.

1.4 Manfaat
Mahasiswa mampu memahami konsep dan proses pengambilan keputusan dan
advokasi pasien pada kasus berkaitan dengan penyakit kronis pada anak sistem respirasi
BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 BRONKOPNEUMONIA

2.1.1. PENGERTIAN

Bronchopneumoni merupakan salah satu jenis pneumonia yang memiliki pola


penyebaran berbercak, teratur dalam satu atau lebih area terlokalisasi di dalam bronchi &
meluas ke parenkim paru yang berdekatan di sekitarnya. (Smeltzer & Suzanne C, 2002 )

Pneumonia merupakan peradangan alveoli atau pada parenchim paru yg umumnya


terjadi pada anak. (Suriadi Yuliani, 2001). Pneumonia ialah suatu peradangan yg mengenai
parenkim paru, distal dari bronkiolus terminalis yg mencakup bronkiolus respiratorius,
alveoli, serta dapat menimbulkan konsolidasi jaringan paru & menimbulkan gangguan
pertukaran gas setempat. (Zul, 2001)

Definisi Pneumonia merupakan peradangan akut parenkim paru-paru yang biasanya


berasal darisuatu infeksi. (Price, 1995). Bronkopneumonia digunakan untuk menggambarkan
pneumonia yang mempunyai polapenyebaran berbercak, teratur dalam satu atau lebih area
terlokalisasi didalam bronkidan meluas ke parenkim paru yang berdekatan di sekitarnya.Pada
bronkopneumoniaterjadi konsolidasi area berbercak. (Smeltzer,2001).

Bronkopneumonia adalah suatu peradangan pada paruparu dan bronkiolus,


yangdisebabkan oleh bakteri ,misalnya staphylococcus atau streptococcus, virus
( influenza ), jamur candida albican atau aspirasi karena makanan atau benda asing.
(Suryanah, 1996).

2.1.2. KLASIFIKASI PNEUMONIA

Berikut merupakan klasifikasi pneumonia :

1. Community Acquired Pneunomia dimulai juga sebagai penyakit pernafasan umum &
dapat berkembang menjadi sebuah pneumonia. Pneumonia Streptococal ialah suatu
organisme penyebab umum. Type pneumonia ini umumnya menimpa kalangan anak-
anak atau kalangan orang lanjut usia

4
5

2. Hospital Acquired Pneumonia dikenal juga sebagai pneumonia nosokomial.


Organisme seperti ini ialah suatu aeruginisa pseudomonas. Klibseilla / aureus
stapilococcus, ialah bakteri umum penyebab hospital acquired pneumonia.
3. Lobar & Bronkopneumonia dikategorikan berdasarkan lokasi anatomi infeksi. Saat Ini
ini pneumonia diklasifikasikan berdasarkan organisme, bukan cuma menurut lokasi
anatominya.
4. Pneumonia viral, bakterial & fungi dikategorikan berdasarkan dari agen penyebabnya,
kultur sensifitas dilakukan untuk dapat mengidentifikasikan organisme perusak.
( Reeves, 2001)

2.1.3. ETIOLOGI

Umumnya individu yg terserang bronchopneumonia diakibatkan karena adanya penurunan


mekanisme pertahanan daya tahan tubuh terhadap virulensi organisme patogen. Orang yg
normal dan sehat mempunyai mekanisme pertahanan tubuh terhadap organ pernafasan yg
terdiri atas : reflek glotis & batuk, adanya lapisan mukus, gerakan silia yg menggerakkan
kuman ke arah keluar dari organ, & sekresi humoral setempat.

Timbulnya bronchopneumonia biasanya disebabkan oleh virus, jamur, protozoa, bakteri,


mikobakteri, mikoplasma, dan riketsia. (Sandra M. Nettiria, 2001 : 682) antara lain:

 Virus : Legionella pneumonia


 Jamur : Aspergillus spesies, Candida albicans
 Bakteri : Streptococcus, Staphylococcus, H. Influenzae, Klebsiella.
 Aspirasi makanan, sekresi orofaringeal atau isi lambung ke dalam paru-paru
 Terjadi karena kongesti paru yang lama.

2.1.4. PATOFISIOLOGI

Bronchopneumonia selalu didahului oleh infeksi saluran nafas bagian atas yang disebabkan
oleh bakteri staphylococcus, Haemophillus influenzae atau karena aspirasi makanan dan
minuman.

Dari saluran pernafasan kemudian sebagian kuman tersebut masuk ke saluran pernafasan
bagian bawah dan menyebabkan terjadinya infeksi kuman di tempat tersebut, sebagian lagi
6

masuk ke pembuluh darah dan menginfeksi saluran pernafasan dengan ganbaran sebagai
berikut. Infeksi saluran nafas bagian bawah menyebabkan tiga hal, yaitu dilatasi pembuluh
darah alveoli, peningkatan suhu, dan edema antara kapiler dan alveoli. Ekspansi kuman
melalui pembuluh darah kemudian masuk ke dalam saluran pencernaan dan menginfeksinya
mengakibatkan terjadinya peningkatan flora normal dalam usus, peristaltik meningkat akibat
usus mengalami malabsorbsi dan kemudian terjadilah diare yang beresiko terhadap gangguan
keseimbangan cairan dan elektrolit. (Soeparman, 1991)

2.1.5. WOC
7

(Sumber: dityanurse.blogspot.co.id/2012/02/laporan-pendahuluan-bronchopneumonia.html?
m=1).

2.1.6. GEJALA KLINIS

Bronchopneumonia biasanya didahului oleh suatu infeksi di saluran pernafasan bagian


atas selama beberapa hari. Pada tahap awal, penderita bronchopneumonia mengalami tanda
dan gejala yang khas seperti menggigil, demam, nyeri dada pleuritis, batuk produktif, hidung
kemerahan, saat bernafas menggunakan otot aksesorius dan bisa timbul sianosis (Barbara C.
long, 1996 :435)

Terdengar adanya krekels di atas paru yang sakit dan terdengar ketika terjadi konsolidasi
(pengisian rongga udara oleh eksudat). (Sandra M. Nettina, 2001 : 683)

Pnemonia bakteri

Gejala :

a. Anoreksia
b. Rinitis ringan
c. GelisahBerlanjut sampai:
 Nafas cepat dan dangkal.
 Demam
 Malaise (tidak nyaman)
 Ekspirasi berbunyi.
 Leukositosis
 Foto thorak pneumonia lebar
 Kurang dari 2 tahun vomitus dan diare ringan
 Lebih dari 5 tahun, sakit kepala dan kedinginan

Pnemonia Virus

Gejala awal :

a. Rhinitis
b. Batuk berkembang sampai
 Ronkhi basah.
8

 Emfisema obstruktif
 Demam ringan, batuk ringan dan malaise sampai demam tinggi batuk hebat
dan lesu.

Pneumonia mikroplasma

Gejala :

a. Anoreksia
b. Menggigil
c. Sakit kepala
d. Demam berkembang sampai
 Rhinitis alergi
 Sakit tenggorokan batuk kering berdarah
 Area konsolidasi pada penatalaksanaan pemeriksa thorak.

2.1.7. PEMERIKSAAN PENUNJANG

a. Pemeriksaan Laboratorium
 Pemeriksaan darah
Pada kasus bronchopneumonia oleh bakteri akan terjadi leukositosis (meningkatnya
jumlah neutrofil). (Sandra M. Nettina, 2001 : 684)
 Pemeriksaan sputum
Bahan pemeriksaan yang terbaik diperoleh dari batuk yang spontan dan dalam.
Digunakan untuk pemeriksaan mikroskopis dan untuk kultur serta tes sensitifitas untuk
mendeteksi agen infeksius. (Barbara C, Long, 1996 : 435)
 Analisa gas darah untuk mengevaluasi status oksigenasi dan status asam basa. (Sandra M.
Nettina, 2001 : 684)
 Kultur darah untuk mendeteksi bakterem
Sampel darah, sputum, dan urin untuk tes imunologi untuk mendeteksi antigen mikroba.
(Sandra M. Nettina, 2001 : 684)

b. Pemeriksaan Radiologi
 Rontgenogram Thoraks
9

Menunjukkan konsolidasi lobar yang seringkali dijumpai pada infeksi pneumokokal atau
klebsiella. Infiltrat multiple seringkali dijumpai pada infeksi stafilokokus dan haemofilus.
(Barbara C, Long, 1996 : 435)
 Laringoskopi/ bronkoskopi untuk menentukan apakah jalan nafas tersumbat oleh benda
padat. (Sandra M, Nettina, 2001)

2.1.8. PENATALAKSANAAN

1. Terapi oksigen (O2)


2. Antibiotic seperti ; penisilin, kindomisin, eritromicin, dan sefalosforin
3. Nebulizer, agar dapat mengencerkan dahak yang kental dan pemberian bronkodilator.
4. Kemoterafi untuk mikoplasma pneumonia dapat diberikan therapy eritromicin 4x 500
mg / hari atau tetrasiklin 3-4 x 500mg/ hari.
5. Istirahat yang cukup

2.1.9. KOMPLIKASI BRONKOPNEUMONIA

1. Otitis media akut (OMA) terjadi jika tidak diobati maka sputum yang berlebihan akan
masuk kedalam tuba eusthacii sehingga menghalangi masuknya udara ketelinga tengah
dan mengakibatkan hampa udara kemudian gendang telinga akan tertarik kedalam
timfusefusi (Asih, 2006).
2. Atelectasis terjadi akibat penyumbatan saluran udara pada bronkus atau bronkiolus
sehingga menyebabkan alveolus kurang berkembang atau bahkan tidak berkembang dan
akhirnya kolaps (Asih, 2006).
3. Meningitis disebabkan oleh baakteri yang sama dengan pneumonia. Pada pneumonia
bakteri masuk kesaluran nafas bagian bawah dan dapat menyerang pembuluh darah dan
masuk ke otak sehingga menyebabkan radang selaput otak (Prijanto, 2009).
4. Abses paru, pada pneumonia yang memberatakan menjadi abses paru dan sering nya pada
pneumonia aspirasi yang disebabkan oleh mikoroorganisme anaerob (Prijanto, 2009).
5. Gagal nafas terjadi karena berkurangnya valume paru secara fungsional karena proses
inflamasi akan mengganggu proses difusi dan akan menyebabkan gangguanp ertukaran
gas yang akan menyebabkan hipoksia. Pada keadaan berat bisa terjadi gagal nafas
(Prijanto, 2009).
10

2.2. ASUHAN KEPERAWATAN


2.2.1. PENGKAJIAN
a) Identitas klien dan penanggung jawab
b) Riwayat kesehatan
 Keluhan utama
 Riwayat kesehatan sekarang
 Riwayat kesehatan dahulu
 Riwayat kesehatan keluarga
 Genogram
 Riwayat prenatal
Anak ke Usia Jenis Penolong Ket
sekarang persalinan Hidup/mati

c) Data umum kesehatan saat ini


 Keadaan umum/kesadaran
 TTV
 Pengkajian kepala
 Pengkajian dada
 Pengkajian abdomen
 Pengkajian genetalia
 Pengkajian ekstremitas

d) Pola fungsional
 Manajemen kesehatan
 Eliminasi (BAB/BAK)
 Nutrisi dan cairan
 Istirahat dan pola tidur
 Mobilisasi dan latihan
 Persepsi sensori dan kognitif
 Pola seksual dan reproduksi
11

 Hubungan dan peran


 Mekanisme koping dan stress
 Spiritual/keyakinan
e) Obat-obatan
f) Hasil pemeriksaan penunjang

2.2.2. DIAGNOSA KEPERAWATAN


1. Ketidakefektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan mukus berlebih
2. Hipertermi berhubungan dengan penyakit
3. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan antara pemasukan dan
pengeluaran oksigen.
4. Resiko kekurangan volume cairan berhubungan dengan kehilangan cairan aktif
5. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan kurang
asupan makan

2.2.3. INTERVENSI KEPERAWATAN

No Diagnosa Tujuan Intervensi Rasionalisasi


1 Ketidakefektif NOC NIC Rasional:
an bersihan Setelah dilakukan 1. Auskultasi suara 1. Mengetahui
jalan nafas b.d tindakan nafas, catat adanya obstruksi pada
mukus keperawatan selama suara nafas saluran napas dan
berlebih 3 x 24 jam, pasien tambahan manifestasinya
tidak pada suara napas.
mengalamimasalah 2. Posisikan pasien 2. Penurunan
pernafasan dengan untuk diafragma dapat
kriteria hasil: memaksimalkan membantu
 Mendemonstrasi ventilasi ekspansi paru
kan batuk dengan
efektif dan suara maksimal
nafas yang 3. Ubah posisi klien 3. Posisi klien yang
bersih, tidak ada sesering mungkin tetap secara terus
12

sianosis dan  tiap 4 jam menerus dapat


dyspneu mengakibatkan
(mampu akumulasi sekret
mengeluarkan dan cairan pada
sputum, mampu lobus yang
bernafas dengan berada di bagian
mudah, tidak bawah.
ada pursed lips). 4. Ajarkan klien dan 4. Batuk merupakan
 Menunjukkan keluarga batuk mekanisme
jalan nafas yang efektif alamiah untuk
paten (klien mengeluarkan
tidak merasa benda asing dari
tercekik, irama saluran nafas
nafas, frekuensi dengan baik dan
pernafasan benar
dalam rentang 5. Lakukan suction 5. Mengeluarkan
normal, tidak atau fisioterapi mukus yang
ada suara nafas dada bila perlu menghambat
abnormal). jalan napas
 Mampu 6. Monitor tanda- 6. Mengetahui
mengidentifikas tanda vital tiap 2-4 perkembangan
i dan mencegah jam pernapasan klien
faktor yang 7. Pemberian 7. Untuk
menghambat nebulizer merangsang
jalan nafas batuk efektif
klien
8. Pemberian obat 8. Pelebaran saluran
ekspetoran, napas sekret yang
bronkodilstor, mudah keluar
mukolitik dan akan
pemeriksaan memudahkan
penunjang klien untuk
13

bernapas
2 Hipertermi NOC NIC Rasional
berhubungan Setelah dilakukan 1. Monitor TTV 1. Mengetahui
dengan tindakan perkembangan
penyakit keperawatan selama klien
3 x 24 jam, pasien 2. Kompres hangat 2. Kompres
tidak mengalami pada dahi, aksila, hangat dapat
hipertermi dengan dan lipatan paha menurunkan
kriteria hasil: suhu badan
 Suhu tubuh dalam rentang
dalam rentang 36,5 - 37 0C
normal (36,5- 3. Kolaborasi 3. Pemberian
370C) pemberian cairan cairan IV
 Nadi dan RR intravena dan digunakan
dalam rentang antipiretik untuk
normal mengganti
Nadi (80-90 x / cairan yang
menit) hilang akibat
RR (20-30 x / penguapan
menit ) berlebih
akibat suhu
yang tinggi
3 Intoleransi NOC NIC
aktivitas Setelah dilakukan 1. Ciptakan lingkungan 1. Lingkungan
berhubungan tindakan 3 x 24 jam yang tenang tanpa yang tenang
dengan pasien dapat stress dapat
ketidakseimba beraktivitas tanpa memberikan
ngan antara hambatan dengan rasa nyaman
pemasukan dan kriteria hasil: pada klien
pengeluaran  Berpartisipasi 2. Ubah posisi secara 2. Membantu
oksigen dalam aktivitas bertahap dan mobilisasi
fisik tanpa tingkatkan aktivitas secara
disertai
14

peningkatan sesuai toleransi bertahap


tekanan darah,
nadi dan RR 3. Sertakan orang tua 3. Istirahat tidur
 Mampu dalam meningkatkan lebih efektif
melakukan kebutuhan istirahat dengan peran
aktivitas sehari- serta orang tua
hari secara
mandiri
 Status respirasi :
pertukaran gas
dan ventilasi
adekuat
4 Resiko NOC NIC Rasional
kekurangan Setelah dilakukan
1. Tingkatkan 1. Membantu
volume cairan tindakan
frekuensi mengencerkan
berhubungan keperawatan selama
pemasukan sekresi
dengan 3x24 jam, kebutuhan
cairan melalui pernafasan dan
kehilangan cairan pasien
oral mencegah
cairan aktif terpenuhi ,dengan
status cairan
kriteria hasil:
tubuh
1. Mempertahan
2. Monitor 2. Mengetahui
kan urine
pengeluaran perbandingan
output sesuai
urine tiap 8 jam antara
dengan usia
pemasukan dan
dan BB
pengeluaran
(7,9kg-
cairan.
10,1kg)
3. Berikan cairan 3. Memenuhi
2. Nadi, suhu
infus sesuai kebutuhan
tubuh dalam
program dokter cairan dan
batas normal
elektrolit
Nadi (80-90
4. Kolaborasi 4. Mencegah
x / menit)
tentang timbulnya
Suhu ((36,5-
15

370C) demam
pemberian
3. Tidak ada
antipiretik
tanda
dehidrasi
4. Turgor kulit
baik,
membran
mukosa
lembab, tidak
ada rasa haus
yang
berlebihan
5 Ketidakseimba NOC NIC Rasional
ngan nutrisi Setelah dilakukan
1. Mengetahui
kurang dari tindakan 3x24 jam, 1. Kolaborasi
jumlah kalori
kebutuhan kebutuhan nutrisi dengan ahli gizi
yang
tubuh pasien tercukupi untuk
dibutuhkan
berhubungan dengan kriteria hasil: menentukan
pasien secara
dengan kurang 1. Adanya jumlah kalori
tepat
asupan makan peningkatan dan nutrisi yang
berat badan dibutuhkan
2. Berat badan pasien
ideal sesuai 2. Monitor kalori 2. Mengetahui
tinggi badan dan intake ada atau
3. Mampu nutrisi tidak
mengidentifi abnormalitas
kasi pada intake
kebutuhan nutrisi pasien
nutrisi
4. Tidak ada 3. Berikan makan 3. Meningkatka

tanda porsi kecil tetapi n masukan

malnutrisi sering termasuk nutrisi

makanan kering meskipun


16

5. Menunjukkan atau makanan


nafsu makan
peningkatan yang menarik
mungkin
fungsi untuk pasien.
lambat untk
pengecapan
kembali
dari menelan

4. Monitor mual
dan muntah 4. Mengetahui
intake dan
output
makan
pasien

2.3. KONSEP ADVOKASI


2.3.1. Definisi

Istilah advokasi di bidang kesehatan mulai digunakan pertama kali oleh WHO pada
tahun 1984 sebagai salah satustrategi global pendidikan atau promosi kesehatan. WHO
merumuskan bahwa dalam mewujudkan visi dan misi promosi kesehatan secara efektif
menggunakan 3 starategi pokok yaitu,advocacy, social support, empowerment
(Supartini,2012).
Advokasi merupakan peran profesional perawat untuk melakukan pembelaan dan
perlindungan kepada klien. Dalam pelaksanaannya terdapat faktor yang menghambat dan
mendukung peran advokat perawat. Peran advokasi perawat yaiu tindakan perawat untuk
memberikan informasi dan bertindak atas nama klien. Pelaksanaan tindakan peran advokasi
meliputi memberi informasi, menjadi mediator dan melindungi klien (Supartini, 2012).
Advokasi adalah tindakan membela hak-hak pasien dan bertindak atas nama pasien.
Perawat mempunyai kewajiban untuk menjamin diterimanya hak-hak pasien. Perawat harus
membela pasien apabila haknya terabaikan. Advokasi juga mempunyai arti tindakan
melindungi, berbicara atau bertindak untuk kepentingan klien dan perlindungan kesejahteraan
(Vaartio, 2005). Advokasi adalah tindakan membela hak-hak pasien dan bertindak atas nama
17

pasien. Perawat mempunyai kewajiban untuk menjamin diterimanya hak-hak pasien. Perawat
harus membela pasien apabila haknya terabaikan (Blais, 2007).

2.3.2. Tugas Dan Fungsi Perawat Sebagai Advokat

Menurut Mubaraq, (2011) untuk menjalankan perannya sebagai advokat, perawat


harus memiliki nilai-nilai dasar, yaitu:
1. Pasien adalah makhluk holistik dan otonom yang mempunyai hak untuk menentukan
pilihan dan mengambil keputusan.
2. Pasien berhak untuk mempunyai hubungan perawat-pasien yang didasarkan atas dasar
saling menghargai, percaya, bekerja sama dalam menyelesaikan masalah yang
berhubungan dengan masalah kesehatan dan kebutuhan perawatan kesehatan, dan
saling bebas dalam berpikir dan berperasaan.
3. Perawat bertanggung jawab untuk memastikan bahwa pasien telah mengetahui cara
memelihara kesehatannya.
Selain harus memiliki nilai-nilai dasar di atas, perawat harus memiliki sikap yang baik
agar perannya sebagai advokat pasien lebih efektif. Beberapa sikap yang harus dimiliki
perawat, adalah:
1. Bersikap asertif berarti mampu memandang masalah pasien dari sudut pandang yang
positif. Asertif meliputi komunikasi yang jelas dan langsung berhadapan dengan
pasien.
2. Mengakui bahwa hak-hak dan kepentingan pasien dan keluarga lebih utama.
3. Sadar bahwa konflik dapat terjadi sehingga membutuhkan konsultasi, konfrontasi atau
negosiasi antara perawat dan bagian administrasi atau antara perawat dan dokter.
4. Dapat bekerjasama dengan tenaga kesehatan lain
5. Perawat tidak dapat bekerja sendiri dalam memberikan perawatan yang berkualitas
bagi pasien. Perawat harus mampu berkolaborasi dengan tenaga kesehatan lain yang
ikut serta dalam perawatan pasien.
6. Tahu bahwa peran advokat membutuhkan tindakan yang politis, seperti melaporkan
kebutuhan perawatan kesehatan pasien kepada pemerintah atau pejabat terkait yang
memiliki wewenang/otoritas.
7. Pelaksanaan tindakan peran advokasi meliputi member informasi, menjadi mediator
dan melindungi pasien (Negarandeh & Reza, 2006).
18

2.3.3. Tugas Dan Wewenang Perawat

Tugas perawat menurut UU No.38 tahun 2014 pasal 29 sebagai berikut:


1. Dalam menyelenggarakan Praktik Keperawatan, Perawat bertugas sebagai:
a. pemberi Asuhan Keperawatan;
b. penyuluh dan konselor bagi Klien;
c. pengelola Pelayanan Keperawatan;
d. peneliti Keperawatan;
e. pelaksana tugas berdasarkan pelimpahan wewenang; dan/atau
f. pelaksana tugas dalam keadaan keterbatasan tertentu.
2. Perawat dalam melaksanakan Praktik Keperawatan berhak (pasal 36):
a. memperoleh pelindungan hukum sepanjang melaksanakan tugas sesuai dengan
standar pelayanan, standar profesi, standar prosedur operasional, dan ketentuan
Peraturan Perundang-undangan;
b. memperoleh informasi yang benar, jelas, dan jujur dari Klien dan/atau keluarganya.
c. menerima imbalan jasa atas Pelayanan Keperawatan yang telah diberikan;
d. menolak keinginan Klien atau pihak lain yang bertentangan dengan kode etik, standar
pelayanan, standar profesi, standar prosedur operasional, atau ketentuan Peraturan
Perundang-undangan; dan
e. memperoleh fasilitas kerja sesuai dengan standar.
3. Perawat dalam melaksanakan Praktik Keperawatan berkewajiban (pasal 37):
a. melengkapi sarana dan prasarana Pelayanan Keperawatan sesuai dengan standar
Pelayanan Keperawatan dan ketentuan Peraturan Perundang-undangan;
b. memberikan Pelayanan Keperawatan sesuai dengan kode etik, standar Pelayanan
Keperawatan, standar profesi, standar prosedur operasional, dan ketentuan Peraturan
Perundang-undangan;
c. merujuk Klien yang tidak dapat ditangani kepada Perawat atau tenaga kesehatan lain
yang lebih tepat sesuai dengan lingkup dan tingkat kompetensinya;
d. mendokumentasikan Asuhan Keperawatan sesuai dengan standar;
e. memberikan informasi yang lengkap, jujur, benar, jelas, dan mudah dimengerti
mengenai tindakan Keperawatan kepada Klien dan/atau keluarganya sesuai dengan
batas kewenangannya;
19

f. melaksanakan tindakan pelimpahan wewenang dari tenaga kesehatan lain yang sesuai
dengan kompetensi Perawat; dan
g. melaksanakan penugasan khusus yang ditetapkan oleh Pemerintah.

Hak dan Kewajiban klien dalam praktik keperawatan menurut UU No.38 tahun 2014 yaitu :
1. Dalam Praktik Keperawatan, Klien berhak (pasal 38):
a. mendapatkan informasi secara, benar, jelas, dan jujur tentang tindakan Keperawatan
yang akan dilakukan;
b. meminta pendapat Perawat lain dan/atau tenaga kesehatan lainnya;
c. mendapatkan Pelayanan Keperawatan sesuai dengan kode etik, standar Pelayanan
Keperawatan, standar profesi, standar prosedur operasional, dan ketentuan Peraturan
Perundang-undangan;
d. memberi persetujuan atau penolakan tindakan Keperawatan yang akan diterimanya;
dan
e. memperoleh keterjagaan kerahasiaan kondisi kesehatannya.
2. Dalam Praktik Keperawatan, Klien berkewajiban (pasal 40) :
a. memberikan informasi yang benar, jelas, dan jujur tentang masalah kesehatannya;
b. mematuhi nasihat dan petunjuk Perawat;
c. mematuhi ketentuan yang berlaku di Fasilitas Pelayanan Kesehatan; dan
memberikan imbalan jasa atas pelayanan yang diterima

2.3.4. Peran Perawat Sebagai Advokat Dalam Berbagai Tingkat Usia

Berikut ini akan dijelaskan bagaimana peran perawat sebagi advokat klien pada berbagai
tingkat usia, antara lain :
1. Usia Bayi dan Neonatus
Suatu waktu anak dan keluarganya mempunyai kebutuhan psikologis berupa dukungan
/dorongan mental. Sebagai konsoler , perawat dapat menberi konseling keperawatan ketika
anak dan orang tuanya membutuhkan. Hal inilah yang membedakan layanan konseling
dengan pendidikan kesehatan, dengan cara mendengarkan segala keluhan, melakukan
sentuhan, dan hadir secara fisik perawat dapat bertukar pikir dengan dan pendapat dengan
20

orang tua tentang masalah anak dengan orang tuanya, membantu mencarikan alternatif
pemecahannya (Supartini,2012).

2. Usia Remaja
a. Advokasi diri
Perawat harus mampu mengajarkan kepada remaja bagaimana cara dan langkah untuk
dapat memberikan advokasi kepada dirinya sendiri.
b. Perilaku perawatan kesehatan yang independen
Perawat membimbing remaja untuk mampu melakukan perawatan kesehatan secara
mandiri.
c. Kesehatan seksual
Perawat memberikan gambaran dan pendidikan kesehatan dalam bidang kesehatan
reproduksi dan seksual.
d. Dukungan psikosial
Perawat harus mendukun klien remaja dalam hal perkembangan psikologi dan sosial
remaja
e. Perencanaan pendidikan
f. Kesehatan dan gaya hidup (Sousa, 2015).
3. Usia Dewasa Dan Lanjut Usia
Peran perawat sebagi advocator disini adalah mencegah ketidakmampuan sebagai akibat
proses penuaan, perawatn untuk pemenuhan kebutuhan lansia dan pemulihan untuk
mengatasi kebutuhan lansia. Perawat memiliki tanggung jawab untuk membantu klien dalam
memperoleh kesehatan yang optimal, memelihara kesehatan, menerima kondisinya, serta
persiapan dalam menghadapi ajal (Buchanan, 2010).
Ada beberapa standar yang perlu diperhatikan oleh seorang perawat yang berperan sebagai
advokat dalam merawat pasien lanjut usia, anatara lain:
a. Perawat mampu bertanggung jawab untuk menilai klien dan lingkungan yang dapat
membahayakan atau mengancam keselamatan serta perencanaan dan intervensi yang
tepat untuk menjaga lingkungan yang aman.
b. Perawat membantu klien untuk mempertahankan regulasi homeostasis melalui peilaian
dan manajemen perawatan fisiologis untuk meminimalkan efek samping dari
penggunaan obat, prosedur diagnostik, infeksi nosokomial atau stress lingkungan.
21

c. Perawat mendukung klien gerontik untuk mengoptimalkan kesehatan fungsional yang


mencakup integrasi kemampuan yang melibatkan fisik, kognitif, status psikologis, sosial
dan spiritual.
d. Perawat harus memberikan perawatan responsif yang memfasilitasi dan memberdayakan
kemandirian klien melalui pendekatan .
e. Perawat mengembangkan dan melestarikan perawatan hubungan terapeutik.
f. Perawat harus mampu menyadari pengaruh ekonomi dan politik dengan menyediakan dan
memfasilitasi perawatan yang mendukung (Buchanan, 2010).

2.3.5. Tujuan dari Peran Perawat Sebagai Advokat Pasien

Tujuan dari peran advokat berhubungan dengan pemberdayaan kemampuan pasien dan
keluarga dalam mengambil keputusan.Saat berperan sebagai advokat bagi pasien, perawat
perlu meninjau kembali tujuan peran tersebut untuk menentukan hasil yang diharapkan bagi
pasien. Menurut Ellis & Hartley (2000), tujuan peran advokat adalah :
1. Menjamin bahwa pasien, keluarga dan tenaga kesehatan lain adalah partner dalam
perawatan pasien. Sebagai partner, pasien diharapkan akan bekerja sama dengan perawat
dalam perawatannya.
2. Melibatkan pasien dalam pengambilan keputusan.
Pasien adalah makhluk yang memiliki otonomi dan berhak untuk menentukan pilihan
dalam pengobatannya. Namun, perawat berkewajiban untuk menjelaskan semua kerugian
dan keuntungan dari pilihan-pilihan pasien.
3. Memiliki saran untuk alternatif pilihan.
Saat pasien tidak memiliki pilihan, perawat perlu untuk memberikan alternatif pilihan pada
pasien dan tetap memberi kesempatan pada pasien untuk memilih sesuai keinginannya.
4. Menerima keputusan pasien walaupun keputusan tersebut bertentangan dengan
pengobatannya.
5. Membantu pasien melakukan yang mereka ingin lakukan.
Saat berada di rumah sakit, pasien memiliki banyak keterbatasan dalam melakukan berbagai
hal. Perawat berperan sebagai advokat untuk membantu dan memenuhi kebutuhan pasien
selama dirawat di rumah sakit.

Hasil yang diharapkan, adalah pasien akan :


22

1. Mengerti hak-haknya sebagai pasien.


2. Mendapatkan informasi tentang diagnosa, pengobatan, prognosis, dan pilihan-pilihannya.
3. Bertanggung jawab atas keputusan yang diambilnya.
4. Memiliki otonomi, kekuatan, dan kemampuan memutuskan sendiri.
5. Perasaan cemas, frustrasi, dan marah akan berkurang.
6. Mendapatkan pengobatan yang optimal.
7. Memiliki kesempatan yang sama dengan pasien lain.
8. Mendapatkan perawatan yang berkesinambungan.
9. Mendapatkan perawatan yang efektif dan efisien.

2.4. KONSEP PENGAMBILAN KEPUTUSAN


2.4.1. Definisi

Dalam pemberian asuhan keperawatan, perawat terus ditantang untuk membuat


keputusan dengan tujuan untuk memberikan hak perawatan terbaik bagi pasien (Canaerts,
2014). Membuat dan melakukan keputusan ini tidak hanya memerlukan kompetensi klinis
tetapi juga kompetensi etis yang melibatkan lebih dari pemahaman teori etika (Canaerts,
2014). Oleh karena itu diperlukan pemahaman etika yang mendalam bagi perawat sehingga
perawat dapat mengambil keputusan paling tepat ketika terjadi dilema etis.

2.4.2. Tipe – Tipe Etika


1. Bioetik
Bioetika adalah ilmu mempelajari tentang permasalahan etik yang berhubungan dengan
masalah biologi dan pengobatan. Pada lingkup yang lebih luas, bioetik mengevaluasi pada
semua tindakan moral yang mungkin membantu atau bahkan membahayakan kemampuan
organisme terhadap perasaan takut dan nyeri yang meliputi semua tindakan yang
berhubungan dengan pengobatan dan biologi.

2. Clinical ethics/Etik Klinik


Etik klinik merupakan bagian dari bioetik yang lebih memperhatikan pada masalah etik
selama pemberian pelayanan pada klien. Contoh clinical ethis: adanya persetujuan atau
penolakan dan bagaimana seseorang sebaiknya merespon permintaan medis yang kurang
bermanfaat (sia-sia)
23

3. Nursing ethics/Etik Perawatan


Etika keperawatan dapat diartikan sebagai landasan yang dipakai dalam pelaksanaan praktek
keperawatan, mengarah pada tanggungjawab dan moral. (Krisnana,dkk, 2016)

2.4.3. Prinsip- Prinsip Etik


1. Otonomi (Autonomy)
Otonomi berarti menghargai kemampuan individu yang mempunyai harga diri dan martabat,
yang mampu memutuskan sendiri hal hal berkaitan dengan dirinya. Otonomi berarti
kemampuan mengatur atau menentukan sendiri. Otonomi berakar pada rasa hormat terhadap
individu. Didalam prinsip otonomi, perawat harus menghargai dan menghormati hak pasien
untuk memilih dan memutuskan sendiri pengobatannya.Keputusan untuk memilih
pengobatan dan siapa yang mengobati adalah hak penuh seorang pasien. Konflik yang sering
terjadi berkaitan dengan otonomi pasien yang menenempatkan perawat pada posisi beresiko.
Namun keyakinan terhadap tugas dan prinsip bahwa perawat dapat perawat mampu
melaksanankan tugas secara mandiri dan menerima konsekwensi yang berlaku (Anne Dreyer,
2011)
2. Berbuat Baik (Beneficience)
Perawat memiliki kewajiban untuk melakukan tindakan dengan baik, yaitu melakukan proses
keperawatan dengan baik dan semaksimal mungkin. Prinsip ini menuntut perawat untuk
melakukan tindakan yang menguntungkan pasiennya atas dasar kebaikan.(Masruroh H, 2014)
3. Keadilan (Justice)
Perawat dituntut untuk memberikan perawatan sesuai dengan kebutuhan pasien. Perawatan
yang diberikan harus sesuai dengan standar praktik keperawatan secara profesional dan
sesuai dengan hukum yang berlaku. (Masruroh H, 2014).
4. Tidak merugikan (Nonmaleficience)
Nonmaleficience adalah tidak melukai atau tidak membahayakan orang lain. Dalam hal ini
perawat dituntut untuk melakukan tindakan yang tidak membahayakan atau berisiko
menciderai pasiennya. Oleh karena itu perawat harus selalu hati-hati dalam melakukan
pengambilan keputusan etik (Masruroh H, 2014).
5. Kejujuran (Veracity)
Prinsip Veracity berarti penuh dengan kebenaran. Menyampaikan sesuatu secara benar,
akurat, komprehensif, dan objektif untuk memfasilitasi pemahaman dan penerimaan materi
24

yang ada, dan mengatakan yang sebenarnya kepada klien tentang segala sesuatu yang
berhubungan dengan keadaan dirinya selama menjalani perawatan (Ilya Krisnana,dkk, 2016)
6. Menepati janji (Fidelity)
Prinsip Fidelity dibutuhkan individu untuk menghargai janji dan komitmennya terhadap
orang lain. Perawat setia pada komitmennya dan menepati janji serta menyimpan rahasia
klien. Ketaatan, kesetiaan, adalah kewajiban seorang perawat untuk mempertahankan
komitmen yang dibuatnya kepada pasien (Krisnana,dkk, 2016)
7. Kerahasiaan (Confidentiality)
Prinsip kerahasiaan adalah informasi tentang klien harus dijaga privasinya. Segala sesuatu
yang terdapat dalam dokumen catatan kesehatan klien hanya boleh dibaca dalam rangka
pengobatan klien. Tidak ada seorangpun dapat memperoleh informasi tersebut kecuali jika
diijinkan oleh klien dengan bukti persetujuan (Krisnana,dkk, 2016).
2.4.1. Dilema Etik

Dilema Etik adalah situasi yang dihadapi seseorang untuk membuat suatu keputusan
mengenai perilaku yang layak harus di buat (Krisnana,dkk, 2016).
Dilema etik adalah kondisi yang mengharuskan perawat untuk melakukan analisa,
menepis, melakukan sintesa dan menentukan keputusan terbaik bagi pasien. Dilema etik
menempatkan perawat pada kondisi dimana dia harus menimbang, memilah dan menapis
pilihan keputusan yang menjadi sulit diputuskan jika kedua piihan tidak ada yang benar benar
baik ataupun keduanya sama sama baik berdasarkan prinsip etis. Prinsip prinsip etis yang
menjadi bahan pertimbangan dalam setiap pengambilan keputusan etis diantaranya adalah
otonomi, nonmaleficience, beneficience, justice, fidelity dan veracity.(Masruroh H,
2014).Untuk itu diperlukan pengambilan keputusan untuk menghadapi dilema etik tersebut.
Enam pendekatan dapat dilakukan orang yang sedang menghadapi dilema tersebut, yaitu :
1. Mendapatkan fakta-fakta yang relevan
2. Menentukan isu-isu etika dari fakta-fakta
3. Menentukan siap dan bagaimana orang atau kelompok yang dipengaruhi dilema
4. Menentukan alternatif yang tersedia dalam memecahkan dilemma
5. Menentukan konsekuensi yang mungkin dari setiap alternatif
6. Menetapkan tindakan yang tepat (Krisnana,dkk, 2016).

2.4.2. Model Pemecahan Masalah


25

1. Model Pemecahan Masalah (Krisnana,dkk, 2016)


a. Mengkaji situasi
b. Mendiagnosa masalah etik moral
c. Membuat tujuan dan rencana pemecahan
d. Melaksanakan rencana
e. Mengevaluasi hasil
2. Kerangka Pemecahan dilema etik (Krisnana,dkk, 2016)
a. Mengembangkan data dasar
1) Siapa yang terlibat dalam situasi tersebut dan bagaimana keterlibatannya
2) Apa tindakan yang diusulkan
3) Apa maksud dari tindakan yang diusulkan
4) Apa konsekuensi-konsekuensi yang mungkin timbul dari tindakan yang diusulkan
b. Mengidentifikasi konflik yang terjadi berdasarkan situasi tersebut
c. Membuat tindakan alternative tentang rangkaian tindakan yang direncanakan dan
mempertimbangkan hasil akhir atau konsekuensi tindakan tersebut
d. Menentukan siapa yang terlibat dalam masalah tersebut dan siapa pengambil keputusan
yang tepat
e. Mengidentifikasi kewajiban perawat
f. Membuat keputusan
3. Model Murphy dan Murphy
a. Mengindentifikasi masalah kesehatan
b. Mengidentifikasi masalah etik
c. Siapa yang terlibat dalam pengambilan keputusan
d. Mengidentifikasi peran perawat
e. Mempertimbangkan alternatif-alternatif yang mungkin dilaksanakan
f. Mempertimbangkan besar kecilnya konsekuensi untuk setiap alternatif keputusan
g. Memberi keputusan
h. Mempertimbangkan bagaimana keputusan tersebut hingga sesuai dengan falsafah umum
untuk perawatan klien
i. Analisa situasi hingga hasil akurat dari keputusan telah tampak dan menggunakan
informasi tersebut untuk membantu membuat keputusan berikutnya (Krisnana,dkk, 2016).
4. Langkah-Langkah menurut Thompson & Thompson
26

a. Meninjau situasi untuk menentukan masalah kesehatan, keputusan yang diperukan,


komponen etis dan petunjuk individual
b. Mengumpulkan informasi tambahan untuk mengklarifikasi situasi
c. Mengidentifikasi isu etik
d. Menentukan posisi moral pribadi dan professional
e. Mengidentifikasi posisi moral dari petunjuk individual yang terkait
f. Mengidentifikasi konflik nilai yang ada

2.5. INFORMED CONSENT


2.5.1. Definisi

Persetujuan yang diberikan oleh pasien atau keluarga terdekat, setelah mendapat penjelasan
secara lengkap mengenai tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang akan dilakukan
terhadap pasien (Peraturan Menteri Kesehatan No.290 Tahun 2008).

2.5.2. Tindakan yang Memerlukan Informed Consent

Perlunya Informed Consent dilatarbelakangi oleh hal-hal dibawah ini (Sofwan


Dahlan,2000) :
1. Tindakan medis merupakan upaya yang penuh dengan ketidak-pastian dan
hasilnyapun tidak dapat diperhitungkan secara matematis
2. Hampir semua tindakan medis memiliki risiko, yang bias terjadi dan bias juga tidak
terjadi
3. Tindakan medis tertentu sering diikutkan oleh akibat ikutan yang sifatnya tidak
menyenangkan bagi pasien. Sebagai contoh, operasi pengangkatan Rahim pasti akan
diikuti oleh kemandulan.
4. Semua resiko tersebut jika benar-benar terjadi akan ditanggung dan dirasakan sendiri
oleh pasien, sehingga sangatlah logis bila pasien sendirilah yang paling utama untuk
dimintai persetujuannya
5. Risiko yang terjadi ataupun akibat ikutannya sangat mungkin sulit atau bahkan tidak
dapat diperbaiki
6. Semakin kuatnya pengaruh pola hidup konsumerisme, walaupun harus diingat bahwa
otonomi pasien dibatasi oleh otonomi profesi
27

2.5.3. Dasar Hukum Informed Consent


1. UU No. 32 Tahun 1992 tentang Kesehatan
2. Peraturan Pemerintah No. 32 Tahun 1998 Tentang tenaga Kesehatan
3. Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 159 b/Menkes/SK/Per/II/1998 Tentang RS
4. Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 749A/Menkes/Per/IX/1989 tentang Rekam
medis/ Medical record
5. Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 585/Menkes/Per/IX/1989 Tentang
Persetujuan Tindakan Medis
6. Kep Menkes RI No. 466/Menkes/SK dan standar Pelayanan Medis di RS
7. Fatwa pengurus IDI Nomor: 139/PB/A.4/88/Tertanggal 22 Februari 1988 Tentang
Informed Consent
Peraturan Pemerintah RI Nomor 18 Tahun 1981 Tertanggal 16 juni 1981Tentang Bedah
Mayat Klinik dan Bedah Mayat Anatomis serta Transplantasi Alat dan/atau Jaringan Tubuh
Manusia

2.5.4. Bentuk Informed Consent


Ada dua bentuk informed consent (Febiyanti Rizky, 2011)
1. Implied constructive Consent (Keadaan Biasa)
Tindakan yang biasa dilakukan , telah diketahui, telah dimengerti oleh masyarakat
umum, sehingga tidak perlu lagi di buat tertulis misalnya pengambilan darah untuk
laboratorium, suntikan, atau hecting luka terbuka.
2. Implied Emergency Consent (keadaan Gawat Darurat)
Secara umum bentuk persetujuan yang diberikan pengguna jasa tindakan medis
(pasien) kepada pihak pelaksana jasa tindakan medis (dokter) untuk melakukan tindakan
medis dapat dibedakan menjadi tiga bentuk, yaitu :
a. Persetujuan Tertulis, biasanya diperlukan untuk tindakan medis yang mengandung
resiko besar.
b. Persetujuan Lisan, biasanya diperlukan untuk tindakan medis yang bersifat non-
invasif dan tidak mengandung resiko tinggi, yang diberikan oleh pihak pasien
c. Persetujuan dengan isyarat, dilakukan pasien melalui isyarat, misalnya pasien yang
akan disuntik atau diperiksa tekanan darahnya, langsung menyodorkan lengannya
sebagai tanda menyetujui tindakan yang akan dilakukan terhadap dirinya.
28

2.5.5. Tujuan Informed Consent


1. Memberikan perlindungan kepada pasien terhadap tindakan dokter yang sebenarnya tidak
diperlukan dan secara medik tidak ada dasar pembenarannya yang dilakukan tanpa
sepengetahuan pasiennya.
2. Memberi perlindungan hukum kepada dokter terhadap suatu kegagalan dan bersifat
negatif.

2.5.6. Perlindungan Pasien

Perlindungan pasien tentang hak memperoleh Informed Consent dijabarkan seperti


dibawah ini:  UU N0 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan Pasal 56
1. Setiap orang berhak menerima atau menolak sebagian atau seluruh tindakan pertolongan
yang akan diberikan kepadanya setelah menerima dan memahami informasi mengenai
tindakan tersebut secara lengkap
2. Hak menerima atau menolak sebagaimana dimaksud pada ayat (1)  tidak berlaku pada:
a. penderita penyakit yang cepat menular ke masyarakat yang lebih luas
b. keadaan seseorang yang tidak sadarkan diri; atau
c. gangguan mental berat

2.5.7. Penerima Informed Consent

Hak untuk memberikan Informed Consent adalah sebagai berikut :


1. Pasien dewasa dan sehat akal adalah pasien yang bersangkutan
2. Pasien anak-anak adalah keluarga terdekat atau walinya
3. Pasien tidak sehat akal (walau ia sudah dewasa) adalah keluarga atau wali, atau
kuratornya
4. Pasien yang sudah menikah adalah pasien yang bersangkutan, kecuali untuk tindakan
medis tertentu harus disertai persetujuan pasangannya, yaitu untuk tindakan yang
mempunyai pengaruh bukan saja terhadap pasien, namun juga terhadap pasangannya.
Sebagai contoh adalah operasi tubectomi atau vasectomy.

2.5.8. Syarat Sah dan Pembatalan Informed Consent


1. Voluntary (suka rela, tanpa unsur paksaan)
2. Unequivocal (dengan jelas dan tegas)
29

3. Conscious (dengan kesadaran)


4. Naturally (sesuai kewajaran)
Pembatalan informed consent :
1. Oleh pasien sendiri sepanjang tindakan medis tersebut belum dilakukan, atau secara
medis mungkin lagi untuk dibatalkan
2. Dalam hal informed consent diberikan oleh wali atau keluarga terdekatnya, maka
sepatutnya pembatalan tersebut adalah oleh anggota keluarga yang bersangkutan atau
oleh anggota keluarga lainnya yang mempunyai kedudukan hukum lebih berhak untuk
bertindak sebagai wali.
3. Dalam hukum perdata, suami atau isteri dari pasien lebih berhak daripada anak atau orang
tuannya.
BAB 3
KASUS DAN PEMBAHASAN

3.1 Contoh Kasus


Seorang anak laki-laki bernama An. R (9 tahun) telah dirawat selama 3 hari di ruang
perawatan rawat inap RSUA dengan keadaan sesak nafas, batuk berdahak sejak satu
minggu yang lalu. Ny. M (orang tua An. R) mengatakan bahwa anaknya mempunyai
riwayat bronkopneumoni dan sering kambuh selama satu bulan terakhir ini, dan baru kali
ini yang terparah. Awal masuk RS anaknya sesak nafas berat, pernafasan cuping hidung,
dan batuk. Dari hasil pemeriksaan yang didapatkan saat ini An. R sesak nafas, terpasang
nasal kanul dengan 4L/menit, IVFD WIDA D5 10 tpm mikro IV, RR= 45x/menit, TD =
77/36 mmHg, S = 37o C, Nadi = 144x/menit, BB = 28 kg, TB = 110 cm, anak tampak
batuk berdahak. An. R telah diberikan perawatan selama 3 hari ruang rawat inap, dengan
diberikan obat IVFD WIDA D5 10 tpm mikro IV, ambroxol syrup 3x1 cth, cefotaxime
125 mg/8 jam, gentamycin 25 mg/24 jam, nebu ventolin 1 respul/8 jam dan inj.
Ampicilin 150 gr/8 jam. berdasarkan keterangan dokter, An. R diperbolehkan pulang
setelah dilakukan pemeriksaan lab lanjutan dan rontgen dada. Jadi An. R diperbolehkan
pulang setelah hari ke 5. Tetapi orang tua An. R meminta untuk dipulangkan pada hari ke
3 perawatan, karena merasa anaknya tidak ada perubahan yang signifikan.
3.2. Penyelesaian Kasus
Penyelesaian kasus diatas, menggunakan langkah – langkah kerangka pemecahan etik
yang dikemukakan oleh Murphy dan Murphy:
3.2.1 Mengidentifikasi masalah kesehatan
Pada kasus di atas dapat disimpulkan bahwa An. R mengalami bronkopneumonia
kronik. Dari hasil pemeriksaan didapatkan terpasang nasal kanul dengan 4L/menit,
IVFD RL, RR= 38x/menit, TD = 77/36 mmHg, S = 37o C, Nadi = 144x/menit, RR =
45x/menit, BB = 28 kg, TB = 110 cm, anak tampak batuk berdahak. Sesak yang
dirasakan pasien sifatnya berulang,
Sesak ini sangat menggangu sehingga pasien kelihatan gelisah, batuk – batuk   dan
tampak tarikan cuping hidung. Sesak yang di alami pasien biasanya berlangsung selama
1 menit.

30
31

3.2.2 Mengidentifikasi masalah etik


Ibu An. R merasa, pengobatan yang dilakukan anaknya di RS, tidak memberikan
hasil yang maksimum, jadi orang tua An. R meminta untuk segera memulangkan
anaknya saja. Dan akan melakukan perawatan dirumah, dengan menggunakan obat-
obatan herbal saja. Merujuk pada prinsip etik otonomi, maka keputusan tentang
pemilihan tindakan medis sepenuhnya ada di klien, dalam hal ini orangtua An. R.
Namun, di sisi lain sesuai prinsip etik nomaleficience (tidak merugikan) yang
mengharuskan perawat untuk menjaga keselamatan pasien, maka terjadi dilema etik
dalam kasus di atas. Apabila tidak dilakukan tindakan sesuai anjuran medis maka
kondisi anak akan terus memburuk dan tidak menutup kemungkinan menyebabkan
kejadian yang tidak diharapkan pada klien.
3.2.3 Siapa yang terlibat dalam pengambilan keputusan
1. Ny. I dan Tn. K (Orang tua anak R sebagai pembuat keputusan medis untuk
pasien)
2. An. R (perlu dilibatkan tentang kondisi medis dan tindakan medis yang akan
dilakukan untuk memutuskan tindakan medis selanjutnya).
3. Dokter Sp.Anak
4. Perawat penanggung jawab pasien.
3.2.4 Mengidentifikasi peran perawat
Sesuai kasus di atas peran perawat adalah sebagai fasilitator antara klien sebagai
penerima layanan kesehatan dan dokter sebagai pemberi layanan kesehatan agar terjadi
kesepahaman antara klien dan dokter. Bisa juga perawat dalam kasus di atas bertindak
sebagai advokator, yakni memfasilitasi klien/keluarga untuk berkonsultasi dengan
orang yang lebih berkompeten. Seperti beberapa dokter untuk meyakinkan keputusan
yang dipilih. Sebagai konsultan, perawat harus mampu menjawab semua pertanyaan
klien/keluarga tentang kondisi penyakit, tindakan yang akan dilakukan dan sebagainya.
3.2.5 Mempertimbangkan berbagai alternatif-alternatif yang mungkin dilaksanakan
Pada kasus di atas, alternatif tindakan lain dapat dilakukan selain dilakukan
perawatan di rumah sakit yaitu : melakukan kontrol rawat jalan di RS, dengan terapi
berupa paracetamol sirup 3x1 cth, dan amoxilin sirup 3x1 cth, dan keluarga dapat
melakukan terapi obat tradisional dengan meminum air perasan jeruk nipis yang telah
dioles kapur sirih dan dibakar, teh peppermint, eukaliptus atau fenugreek karena dalam
penelitian yang dipublikasikan di Evidence Based Complementary And Alternative
32

Medicine menemukan fakta bahwa pepermint dan eukaliptus dapat menenangkan


tenggorokan untuk orang dengan infeksi saluran pernafasan bagian atas. Serta dapat
meringankan iritasi dan mengeluarkan lendir-lendir yang menggangu, karena
peppermint termasuk kedalam dekongestan, anti peradangan, dan penghilang rasa sakit.
Namun dalam hal ini lebih diutamakan untuk meneruskan pengobatan yang sudah
didapatkan di ruamh sakit untuk mencegah hal-hal lain yang diakibatkan akibat
memutus pengobatan secara sepihak.
3.2.6 Pemberi keputusan
Ny. I dan Tn. K sebagai ibu dan ayah kandung dari An. R adalah pengambilan
keputusan dalam kasus tersebut.
3.2.7 Pengambilan Keputusan Sesuai dengan Falsafah Keperawatan.
Caring adalah suatu ilmu pengetahuan yang mencakup suatu hal
berperikemanusiaan, orientasi ilmu pengetahuan manusia ke proses kepeduliaan pada
manusia, peristiwa, dan pengalaman. Perilaku caring meliputi mendengarkan penuh
perhatian, penghiburan, kejujuran, kesabaran, tanggung jawab, menyediakan
informasi sehingga pasien dapat membuat suatu keputusan. Sesuai dengan Falsafah
keperawatan menurut Jean Watson (Caring) (Kurnia, 2016:112).
Sesuai teori di atas perawat berusaha agar klien dapat mengambil keputusan
dengan tepat, melalui diskusi yang baik dan tidak memaksakan pendapat. Memberi
masukan, pengertian, serta pemahaman sesuai dengan ilmu keperawatan.
Memfasilitasi klien atau keluarga untuk bertukar pikiran dengan orang yang ahli di
bidangnya sehingga klien atau keluarga dapat memutuskan pilihan pengobatan dengan
tepat.
3.2.8. Analisa Situasi
Pada kasus diatas Ny. I merasa bahwa penyakit anaknya tidak mengalami
perubahan. Dan Ny. I berkeinginan untuk melakukan perawatan di rumah saja, selain
pengobatannya lebih murah, ekonomis tetapi anaknya dapat menjadi tenang, karena
banyak keluarganya. Ketidakpercayaan Ny. I pada perawatan An. R dan merasa
bahwa tidak ada kemajuan perkembangan penyakit anaknya menjadi lebih baik,
sehingga Ny. I menuntut untuk pulang sehingga diperlukan konseling dan sharing
ilmu tentang kelebihan dan kekurangan jika melanjutkan perawatan pada anaknya
atau memilih pulang secara paksa/ penghentian pengobatan.
BAB 4
KESIMPULAN DAN SARAN

4.1 Kesimpulan
Etik merupakan kesadaran yang sistematis terhadap prilaku yang dapat
dipertanggung jawabkan. Etik berbicara tentang hal yang benar dan hal yang salah dan
didalam etik terdapat nilai-nilai moral yang merupakan dasar dari prilaku manusia .
Pasien sebagai penerima asuhan keperawatan mempunyai hak yang sama walaupun
sedang dalam kondisi sakit. Dilema etik merupakan bentuk konflik yang terjadi
disebabkan oleh beberapa faktor, baik faktor internal dan faktor eksternal. Selain itu,
dilema etik terjadi karena adanya interaksi atau hubungan yang saling membutuhkan.
Penyelesaian dilema etik harus mempunyai kerangka berfikir yang jelas sehingga
keputusan yang diambil dapat memberi kepuasan terhadap semua pihak baik pemberi
dan penerima asuhan keperawatan. Perawat berperan sebagai advokat dan konselor
pasien bila terjadi dilema etik. Sehingga dengan bantuan konseling dan advokasi dari
perawat, pasien dapat memilih pilihan yang terbaik bagi dirinya ketika terjadi dilema.
4.2 Saran
Dalam setiap putusan tindakan keperawatan perawat harus melibatkan pasien atau
keluarga. Putusan yang diambil harus melalui proses analisa dan berdasarkan prinsip etik
yang berlaku. Keputusan etik yang diambil adalah bersifat situasional, dalam arti hal ini
berkenaan dengan tujuan dan kondisi dari kasus itu sendiri. Keputusan etik dibuat
berdasarkan kesepakatan antara pasien dan perawat. Kesepakatan persetujuan antara
pasien dan perawat tentang keputusan tindakan tersebut dapat berupa informed consent,
sehingga terdapat bukti yang kuat bahwa keputusan etik tersebut diambil berdasarkan
kesepakatan bersama. Sebagai konselor dan advocator, perawat harus memberikan
informasi tentang kondisi dan situasi yang terjadi, dan melibatkan pasien dan keluarga
dalam proses pengambilan keputusan dan melindungi hak pasien untuk mendapatkan
perawatan yang menguntungkan dan tidak merugikan pasiennya.

33
DAFTAR PUSTAKA

Anne Dreyer, Reidun Forde, Per Nortvedt. (2011). Ethical decision-making in nursing
homes: Influence of organizational factors. Nursing Ethics.

Bakhtiar. 2013. Aspek Klinis Dan Tatalaksana Gagal Nafas Akut Pada Anak. JKS Volume 3:
173-178

Blais, Kathleen Koenig. (2007). Praktik keperawatan profesional : Konsep dan perspektif (4
ed.). Jakarta: Penerbit buku kedokteran : EGC.

Brown, Deonne J. (2007). Consumer perspectives on nurse practicioners and independent


practice. Journal of the American academy of nurse practicioners.

Cahyono. 2008. Membangun budaya keselamatan pasien dalam praktik kedokteran. Jakarta:
Kanisius.

Cannaerts, N. (2014), Contribution of ethics education to the ethical competence of nursing


student. Nejsagepub. 21 (8). 862.

Hamzah. 2016. Rancang Bangun Sistem Informasi Asuhan Keperawatan Bagi Penderita
Pneumonia. Jurnal Sistem Informasi (JSI), Vol. 8, No. 1

Hartholt, K.A., Van der Velde, N., Looman, C.W., Van Lieshout, E.M., Panneman, M.J., et
al., 2010, Trends in fall-related hospital admissions in older persons in the
Netherlands, Arch Intern Med, 170: 905–911

Intubasi Endotrakeal. Availeble from : http://medlinux.blogspot.com/2007/09/intubasi-


endotrakeal.html/ Diunduh tanggal 06 November 2018.

Kartika et al. 2015. Pengalaman Keluarga Dalam Merawat Penderita Sakit Kronis. Jurnal
Keperawatan Indonesia, Volume 18 No.1.

Kim, Y. (2012). Moral sensitivity relating to the application of the code ethucs. Nejsagepub .
20 (4). 471- 472.

Knutson, G. (2012). Nurses ethical problem solving . University of toronto. 15 (1).

Kurnia. 2016. Buku Ajar Keperawatan Anak 2. Surabaya: Fakultas Keperawatan


Universitas Airlangga.

Linasari, Desy. 2017. Bronkopneumonia Anak Pada Program Pendampingan 1000 Hari
Pertama Kehidupan, Studi Kasus. medikakartika.unjani.ac.id

Leuter, C. (2012). Ethical difficulties in nursing, educational needs and attitudes about using
ethics resources. Nedsagepub. 20 (3). 348
Masruroh H, Joko P, Abdul G. (2014). Buku pedoman keperawatan. Yogyakarta: Indoliterasi.

Persatuan perawat indonesia. (2000). Kode etik keperawatan, lambang dan panji PPNI dan
ikrar perawat indonesia. Jakarta : PPNI

Protap pemasangan ETT (Endotrakeal tube) available


from:http://www.scribd.com/doc/58779525/17/Pengertian-Intubasi/ Diunduh pada tanggal 06
November 2018.

Smeltzer, Suzanne.2000. Buku Ajar Keperawatan Medikal bedah.Vol 1.Jakarta : EGC

Tryanni & Syarifudin. 2013. Prevalensi Gangguan Respirasi dan Hubungannya


dengan Perilaku Warga Rumah Susun Serta Faktor yang berhubungan. lib.ui.ac.id

Anda mungkin juga menyukai