Kelompok 5 Hukum Pidana Adat
Kelompok 5 Hukum Pidana Adat
Disusun oleh
2022
KATA PENGANTAR.............................................................................................i
DAFTAR ISI...........................................................................................................ii
BAB 1 PENDAHULUAN......................................................................................1
1.3 Tujuan.........................................................................................................2
1.4 Manfaat.......................................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN........................................................................................3
3.1 Kesimpulan...............................................................................................10
3.2 Penutup......................................................................................................10
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................11
i
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena telah memberikan
kesempatan kepada penulis untuk menyelesaikan makalah ini. Atas rahmat-Nya
juga penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Pengakuan Atas
Hukum Adat Melalui Putusan Pengadilan Dalam Perkara Pidana” dengan
tepat waktu. Penulis turut mengucapkan terima kasih Ni Putu Ega Parwati, S.H.,
M.H selaku dosen mata kuliah Hukum Pidana Adat atas arahan dan
bimbingannya.
Makalah ini disusun guna memenuhi tugas pada mata kuliah Hukum Pidana
Adat di Universitas Pendidikan Ganesha. Selain itu penulis juga berharap agar
makalah ini dapat menambah wawasan bagi pembaca mengenai Pengakuan Atas
Hukum Adat Melalui Putusan Pengadilan Dalam Perkara Pidana
Penulis menyadari makalah ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu
kritik dan saran yang membangun akan penulis terima demi kesempurnaan
makalah ini.
Penulis
ii
BAB I
PENDAHULUAN
Ketentuan Pasal 18 B ayat (2) UUD 1945 diperkuat dengan ketentuan pasal
281 ayat (3) UUD 1945 bahwa identitas budaya dan masyarakat tradisional
dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban. Selain UUD 1945,
beberapa Undang-undang sektoral juga memberikan jaminan hak-hak masyarakat
hukum adat, antara lain:
1
5. UU Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa;
6. UU Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah;
7. UU Nomor 39 Tahun 2014 Tentang Perkebunan.
1.3 Tujuan
1.4 Manfaat
a. Teoretis
Makalah ini diharapkan dapat memberikan wawasan dan memperluas
pengetahuan tentang Pengakuan Atas Hukum Adat Melalui Putusan
Pengadilan Dalam Perkara Pidana.
b. Praktis
Makalah ini diharapkan bermanfaat bagi pihak-pihak tertentu yang
membutuhkan informasi mengenai makalah ini baik itu untuk penelitian,
penulisan, dan pembelajaran.
2
3
BAB II
PEMBAHASAN
Sebab dari segi historis, Masyarakat Hukum Adat memiiki latar belakang
sejarah serta kebudayaan yang lama. Keberadaan Hukum Adat sudah ada jauh
sebelum ada atau terbentuknya negara ini. Menurut pendapat Ter Haar di dalam
bukunya Beginselen en Stelsel van Het Adatrecht (1939) juga mengatakan bahwa
diseluruh kepulauan Indonesia pada tingkatan rakyat bawah, terdapat pergaulan
hidup di dalam golongan-golongan tertentu yang bertingkah laku sebagai kesatuan
terhadap dunia luar, lahir dan batin.Berdasarkan pendapat Ter Haar dapat
dirumuskan bahwa Hukum Adat yaitu pertama, kesatuan manusia yang
terstruktur, kedua, menetap disuatu daerah tertentu, ketiga mempunyai atau
memiliki penguasa, dan; keempat mempunyai kekayaa berwujud ataupun tidak
berwujud. Apabila menurut dasar susunannya maka struktur persektuan-
persektuan Masyrakat Hukum Adat dapat diolongkan menjadi dua;
a. Geneologis
Bersifat keanggotaan suatu kesatuan yang didasarkan pada faktor yang
berlandaskan kepada pertalian daerah, ataupun pertalian suatu keturunan.
b. Teritorial
Teritorial yaitu keanggotaan suatu kesatuan terikat pada suatu daerah
tertentu, hal ini merupakan faktor yang mempunyai peranan yang
terpenting dalam setiap timbulnya persekutuan hukum
4
Pada dasarnya Hukum adat di Bali memiliki prinsip dasar yang sama
namun dalam penerapannya tidak tertup adanya perbedaan sesuai dengan desa
kala patra (tempat, wakttu , dan kondisi) sesuai hukum adat itu diberlakukan.
Secara umum prinsip-prinsip yang terkandung dalam hukum adat Bali dapat
diuraikan sebagai berikut:
Maka penyelenggaraan hukum adat Bali itu jelas tampak dalam kehidupan
masyarakat hukum adat, yakni kehidupan masyarakat sebagai krama (warga) desa
pakraman. Dalam kehidupan sehari-hari masyarakat hukum adat Bali ada dalam
ikatan desa pakraman sebagai persekutuan hukum atas keterikatan teritorial
dimana mereka bermukim dan menjalani kehidupannya. Desa Pakraman sebagai
kesatuan masyarakat hukum memiliki wilayah, warga, aturan hidup,
kepengurusan, harta kekayaan diluar milik anggotanya serta tiada suatu keinginan
dari warganya untuk membubarkannya. Secara jelas hukum adat tampak pada
penyelengaraan desa pakraman. Keberadaan desa pakraman tersebut dapat dilihat
dari keberadaan Tri Kahyangan atau Kahyangan Desa dalam bentuk tempat
pemujaan yang terdiri dari Pura Desa (tempat berstana Dewa Brahma), Pura
Puseh atau Pura Segara (tempat berstana Dewa Wisne), dan Pura Dalem (tempat
berstana Dewa Ciwa). Penyelenggaraan desa pakraman adalah bentuk nyata dari
implementasi hukum adat Bali yang dijiwai agama Hindu, sehingga Hukum Adat
di Bali secara langsung dapat pengakuan sesuai Undang-Undang yang berlaku di
Indonesia.
5
2.2 Pengakuan Pengadilan atas Hukum adat Sulawesi Selatan
Sistem hukum dalam tatanan kehidupan masyarakat sebagai alat untuk
mengatur kehidupan masyarakat di Sulawesi Selatan sudah ada sejak
hubungan sosial masyarakat dimulai. Sistem hukum adat di Sulawesi Selatan
dikenal dengan istilah pangngaderreng (dalam Bahasa Bugis) atau
pangngadakkang (dalam Bahasa Makassar) yaitu merupakan (tempat berpijak
perilaku dan kehidupan masyarakat Bugis-Makasssar). Sistem ini mengatur
masyarakat hampir pada seluruh aspek kehidupan,mulai dari adat-istiadat, politik,
agama, sosial dan hukum. Sistem pangngaderreng ini mengakar dalam hati tiap
orang karena terlahir dari proses budaya yang panjang. Olehnya dalam
penerapannya masyarakat menjalankannya karena kesadaran yang hadir dalam
dirimereka, bukan karena suatu kewajiban atau paksaan
6
Penjatuhan sanksi ini biasanya dilakukan oleh arung atau raja sebagai salah
satu pelaksana peradilan. Pangngaderreng lahir sebagai bagian dari budaya
masyarakat Sulawesi Selatan yang dijalankan tanpa ada unsur paksaan. Inilah
yang membedakan pangngaderreng dengan suatu adat kebiasaan. Apabila
suatu adat kebiasaan, biasanya bersifat kesewenang-wenangan dan
akhirnya diterima sebagai suatu dampak dari sistem sosial, maka
pangngaderreng ini menentang adanya unsur kesewenang-wenangan tersebut,
termasuk pemerkosaan, penindasan dan kekerasan.
7
yang dikutip G.A.Wilken pada tahun 1912 dapat berarti :1. Cabang keturunan 2.
Rombongan penduduk 3. Bagian penduduk 4. Wilayah kediaman cabang
keturunan Jadi, dapat dikatakan bahwa walak mengandung dua pengertian yakni
“serombongan penduduk secabang keturunan” dan “wilayah yang didiami
rombongan penduduk secabang keturunan”.
Pemimpin Minahasa zaman dahulu terdiri dari dua golongan yakni Walian
dan Tonaas. Walian mempunyai asal kata Wali yang artinya “mengantar jalan
bersama” dan “memberi perlindungan”. Golongan ini mengatur upacara agama
asli Minahasa sehingga disebut golongan Pendeta. Mereka ahli membaca tanda-
tanda alam dan benda alngit, menghitung posisi bulan dan matahari dengan
patokan gunung, mengamati munculnya bintang-bintang tertentu seperti Kateluan
(bintang tiga), Tetepi (Meteor) dan sebagainya untuk menentukan musim
menanam, menghafal urutan silsilah sampai puluhan generasi, menghafal cerita-
cerita dari leluhur Minahasa yang terkenal di masa lalu, dan ahli kerajinan
peralatan rumah tangga seperti menenun kain, mengayam tikar, keranjang, sendok
kayu, dan gayung air.(Jessy Wenas, 2007).
Pada zaman dahulu, dapat juga seorang Kepala Walak menjadi seorang
Walian, dan dalam fungsi itu kekuasaannya menjadi lebih mutlak. Dengan
kekuatan seorang Walian, iya dapat diangkat menjadi seorang pemimpin karena
dianggap yang terbaik di antara warga sederajatnya yang terdapat dalam wilayah.
Golongan kedua adalah golongan Tonaas yang mempunyai kata asal Tou yang
artinya manusia dan Ta'as / Naas yang artinya kayu keras / bagian dalam dari kayu
yang keras dan tumbuh menjulang tinggi ke atas.Jadi, Tonaas adalah orang yang
memiliki pengalaman banyak dan pengetahuan yang tinggi serta kebajikan yang
besar.Selain itu golongan Tona'as ini juga menentukan di wilayah mana rumah-
rumah itu dibangun untuk membentuk sebuah Wanua (Negeri) dan mereka juga
yang menjaga keamanan negeri maupun urusan berperang.
Pada zaman modern saat ini, meskipun telah memiliki struktur sosial yang
berubah, Tonaas dan Walian masih tetap diakui namun keberadaannya sudah
sangat jarang ditemui.Yang ada dan diakui secara hukum saat ini adalah
pemimpin yang disebut sebagai Hukum Tua / Kuntua.Hukum Tua dapat
8
disejajarkan dengan seorang Kepala Desa, dipilih langsung oleh masyarakat, yang
memiliki kemampuan untuk mengatur pemerintahan sebuah desa.
9
modernisasi dalam merusak tatanan kehidupan. Sanksi adat diberlakukan bagi
siapa saja yang melanggar adat termasuk dari golongan bangsawan (madika)
sampai masyarakat biasa. Demi menjujunjung penegakan hukum nilai adat yang
dikandung, seluruh warga masyarakat yang berada dalam 5 wilayah keadatan
memperoleh hukum atau sanksi yang sama walaupun suku, pangkat, dan golongan
berbeda.
Dengan menggunakan falsafah: ”dimana bumi dipijak disitu langit
didunjunjung”, makna strategisnya kata berpijak adalah mentaati hukum adat
yang berlaku pada suatu wilayah. Tujuannya adalah untuk memberikan
penanaman nilai budi pekerti, yang gunannya melindungi seluruh warga dari
perbuatan sewenang–wenang dan tindakan yang tidak terpuji. Manfaatnya
menciptakan perdamaian dan kedamaian menuju suatu kehidupan yang bernilai
budaya. Sehingga bila dimaknai secara seksama hukum adat dapat memanusiakan
manusia.
10
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Secara jelas maka dapat disimpulkan bahwa Hukum Adat itu masih ada di
Indonesia apabila Pemerintah ataupun warga setempat mengakui kebradaannya
sebab dalam UU sudah tertuang bukti bahwa Hukum Adat patut dihormati
sampai kapanpun walupun perkembangan zaman sudah berubah.
3.2 Saran
Apabila eksitensi hukum adat di Indonesia tetap masih ada maka setiap
daerah harus tetap menjaga dan menerapkan Hukum Adat yang sudah berlaku
jauh sebelum adanya hukum berdasarkan UU, selain itu untuk mengakui
kebradaan Hukum Adat harus ada upaya penyeragaman kelembagaan desa ,
urusan serta beberapa kriteria tertentu yang sudah disyaratkan menurut UU , agar
nantinya Hukum Adat itu sendiri tidak dilupakan seiring berjalan waktu yang
sudah semakin modern.
11
DAFTAR PUSTAKA
A. Undang-Undang
B. Buku
Laksanto Utomo, St. Hukum Adat, (Jakarta, PT Raja Grafindo Persada, 2016)
Jurnal
Kaswadi, (ed.), 1999. Pendidikan Nilai Memasuki Tahun 2000, Cetakan I, Malang
: Aneka Media.
Luntungan., Piet J., 2004. Mapalus dan Dana Abadi Desa Sebagai Sistem
Ekonomi Kerakyatan, Makalah Kuliah Umum Enterpreneurship yang
disampaikan di Universitas Sam Ratulangi pada 24 September 2004.
Mamengko, Roy. E., (ed.), 2002. Etnik Minahasa Dalam Akselarasi dan
Perubahan, Jakarta : Sinar Harapan.
12
Martorella, Peter., 1976. Social Study Strategies Theory, London : Into Practise.
Salam, B., 1999. Materi Kuliah Dasar – Dasar Pendidikan Moral, Manado : IKIP
Manado.
Senduk, Wem., 1998. Ekonomi Tamber – Secuil Kajian Tentang Suatu Lembaga
Tradisional Minahasa, Manado : s.n s.a.
13