Anda di halaman 1dari 16

Hukum Pidana Adat

“Pengakuan Atas Hukum Adat Melalui Putusan Pengadilan Dalam Perkara


Pidana”

Disusun oleh

Dyah Ayu Ngurah Intan Diana Putri (2014101156)

Prisella Santji Anatji Kiha (2014101159)

Kadek Dwi Januarta Sila Utama (2014101161)

Putu Darma Mahardipa (2014101167)

I Putu Andika Putra Negara (2014101171)

Wayan Dodi Sastrawan (2014101172)

Fakultas Hukum Dan Ilmu Sosial

Jurusan Hukum Dan Kewarganegaraan

Universitas Pendidikan Ganesha

2022
KATA PENGANTAR.............................................................................................i

DAFTAR ISI...........................................................................................................ii

BAB 1 PENDAHULUAN......................................................................................1

1.1 Latar Belakang............................................................................................1

1.2 Rumusan Masalah.......................................................................................2

1.3 Tujuan.........................................................................................................2

1.4 Manfaat.......................................................................................................2

BAB II PEMBAHASAN........................................................................................3

1.1 Pengakuan Pengadilan Atas Hukum Adat bali...........................................3

1.2 Pengakuan Pengadilan Atas Hukum Adat Sulawesi Selatan......................4

1.3 Pengakuan Pengadilan Atas Hukum Adat Sulawesi Utara.........................6

1.4 Pengakuan Pengadilan Atas Hukum Adat Sulawesi Tengah......................8

BAB III PENUTUP..............................................................................................10

3.1 Kesimpulan...............................................................................................10

3.2 Penutup......................................................................................................10

DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................11

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena telah memberikan
kesempatan kepada penulis untuk menyelesaikan makalah ini. Atas rahmat-Nya
juga penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Pengakuan Atas
Hukum Adat Melalui Putusan Pengadilan Dalam Perkara Pidana” dengan
tepat waktu. Penulis turut mengucapkan terima kasih Ni Putu Ega Parwati, S.H.,
M.H selaku dosen mata kuliah Hukum Pidana Adat atas arahan dan
bimbingannya.

Makalah ini disusun guna memenuhi tugas pada mata kuliah Hukum Pidana
Adat di Universitas Pendidikan Ganesha. Selain itu penulis juga berharap agar
makalah ini dapat menambah wawasan bagi pembaca mengenai Pengakuan Atas
Hukum Adat Melalui Putusan Pengadilan Dalam Perkara Pidana
Penulis menyadari makalah ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu
kritik dan saran yang membangun akan penulis terima demi kesempurnaan
makalah ini.

Singaraja, 26 Maret 2023

Penulis

ii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Keberadaan masyarakat hukum adat di Indonesia secara faktual sudah ada


sejak jaman nenek moyang sampai saat ini. Masyarakat hukum adat adalah
kesatuan masyarakat bersifat teritorial atau geneologis yang memiliki kekayaan
sendiri, memiliki warga yang dapat dibedakan dengan warga masyarakat hukum
lain dan dapat bertindak ke dalam atau luar sebagai satu kesatuan hukum (subyek
hukum) yang mandiri dan memerintah diri mereka sendiri.

Secara faktual setiap provinsi di Indonesia terdapat kesatuan-kesatuan


masyarakat hukum adat dengan karakteristiknya masing-masing yang telah ada
sejak ratusan tahun yang lalu. Undang-undang Dasar 1945 telah menegaskan
keberadaan masyarakat hukum adat. Dalam Pasal 18 B ayat (2) UUD 1945
sebagai hasil amandemen kedua menyatakan bahwa negara mengakui dan
menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak
tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan
masyarakat dan prinsip negara kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam
undang-undang.

Ketentuan Pasal 18 B ayat (2) UUD 1945 diperkuat dengan ketentuan pasal
281 ayat (3) UUD 1945 bahwa identitas budaya dan masyarakat tradisional
dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban. Selain UUD 1945,
beberapa Undang-undang sektoral juga memberikan jaminan hak-hak masyarakat
hukum adat, antara lain:

1. UU Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan dasar Pokok-pokok Agraria


(UUPA);
2. UU Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan;
3. UU Nomor 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang;
4. UU Nomor 32Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup;

1
5. UU Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa;
6. UU Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah;
7. UU Nomor 39 Tahun 2014 Tentang Perkebunan.

Pengakuan dan perlindungan hak masyarakat hukum adat memang penting,


karena harus diakui tradisional masyarakat hukum adat lahir dan telah ada jauh
sebelum Negara Kesatuan Republik Indonesia terbentuk. Namun dalam
perkembangannya hak-hak tradisional inilah yang harus menyesuaikan dengan
prinsip-prinsip dan semangat Negara Kesatuan Republik Indonesia melalui
persyaratan-persyaratan normatif dalam peraturan perundang-undangan itu
sendiri.

1.2 Rumusan Masalah


1. Bagaimana pengakuan pengadilan atas Hukum Adat Bali ?
2. Bagaimana pengakuan pengadilan atas Hukum Adat Sulawesi Selatan ?
3. Bagaimana pengakuan pengadilan atas Hukum Adat Sulawesi Utara ?
4. Bagaimana pengakuan pengadilan atas Hukum Adat Sulawesi Tengah ?

1.3 Tujuan

Untuk mengetahui bagaimana pengakuan pengadilan atas Hukum Adat di


Provinsi Bali, Sulawesi Selatan, Sulawesi Utara dan Sulawesi Tengah

1.4 Manfaat

a. Teoretis
Makalah ini diharapkan dapat memberikan wawasan dan memperluas
pengetahuan tentang Pengakuan Atas Hukum Adat Melalui Putusan
Pengadilan Dalam Perkara Pidana.
b. Praktis
Makalah ini diharapkan bermanfaat bagi pihak-pihak tertentu yang
membutuhkan informasi mengenai makalah ini baik itu untuk penelitian,
penulisan, dan pembelajaran.

2
3
BAB II

PEMBAHASAN

b.1 Pengakuan pengadilan atas Hukum Adat Bali

Eksistensi Masyarakat Hukum Adat mendapatkan pengakuan dalam Pasal 18


Undang-Undang Dasar yang menyatakan Pembagian daerah Indonesia atas daerah
besar dan kecil, dengan bentuk susunan pemerintahan ditetapkan dengan undang-
undang, dengan memandang dan mengingati dasar permusyawaratan dalam sistem
pemerintahan Negara, dan dalam hak asal-usul dalam daerah-daerah yang bersifat
istimewa.

Sebab dari segi historis, Masyarakat Hukum Adat memiiki latar belakang
sejarah serta kebudayaan yang lama. Keberadaan Hukum Adat sudah ada jauh
sebelum ada atau terbentuknya negara ini. Menurut pendapat Ter Haar di dalam
bukunya Beginselen en Stelsel van Het Adatrecht (1939) juga mengatakan bahwa
diseluruh kepulauan Indonesia pada tingkatan rakyat bawah, terdapat pergaulan
hidup di dalam golongan-golongan tertentu yang bertingkah laku sebagai kesatuan
terhadap dunia luar, lahir dan batin.Berdasarkan pendapat Ter Haar dapat
dirumuskan bahwa Hukum Adat yaitu pertama, kesatuan manusia yang
terstruktur, kedua, menetap disuatu daerah tertentu, ketiga mempunyai atau
memiliki penguasa, dan; keempat mempunyai kekayaa berwujud ataupun tidak
berwujud. Apabila menurut dasar susunannya maka struktur persektuan-
persektuan Masyrakat Hukum Adat dapat diolongkan menjadi dua;

a. Geneologis
Bersifat keanggotaan suatu kesatuan yang didasarkan pada faktor yang
berlandaskan kepada pertalian daerah, ataupun pertalian suatu keturunan.
b. Teritorial
Teritorial yaitu keanggotaan suatu kesatuan terikat pada suatu daerah
tertentu, hal ini merupakan faktor yang mempunyai peranan yang
terpenting dalam setiap timbulnya persekutuan hukum

4
Pada dasarnya Hukum adat di Bali memiliki prinsip dasar yang sama
namun dalam penerapannya tidak tertup adanya perbedaan sesuai dengan desa
kala patra (tempat, wakttu , dan kondisi) sesuai hukum adat itu diberlakukan.
Secara umum prinsip-prinsip yang terkandung dalam hukum adat Bali dapat
diuraikan sebagai berikut:

1. Kepatuhan dan Keseimbangan


Asas kepatutan dan keseimbangan adalah merupakan asas umum dalam
hukum adat. Asas kepatutan dan keseimbangan ini adalah merupakan asas
umum yang ada pada masyarakat yang berpaham komunal. Masyarakat
hukum adat adalah merupakan masyarakat komunal yang mementingkan
kebersamaan dan kerukunan dalam hidup bermasyarakat
2. Tri Murti sebagai suatu keyakinan
Suatu keyakinan bagi masyarakat hukum adat Bali tentang siklus
kehidupan manusia yang pasti akan dijalani, yakni lahir, hidup, dan mati.

Maka penyelenggaraan hukum adat Bali itu jelas tampak dalam kehidupan
masyarakat hukum adat, yakni kehidupan masyarakat sebagai krama (warga) desa
pakraman. Dalam kehidupan sehari-hari masyarakat hukum adat Bali ada dalam
ikatan desa pakraman sebagai persekutuan hukum atas keterikatan teritorial
dimana mereka bermukim dan menjalani kehidupannya. Desa Pakraman sebagai
kesatuan masyarakat hukum memiliki wilayah, warga, aturan hidup,
kepengurusan, harta kekayaan diluar milik anggotanya serta tiada suatu keinginan
dari warganya untuk membubarkannya. Secara jelas hukum adat tampak pada
penyelengaraan desa pakraman. Keberadaan desa pakraman tersebut dapat dilihat
dari keberadaan Tri Kahyangan atau Kahyangan Desa dalam bentuk tempat
pemujaan yang terdiri dari Pura Desa (tempat berstana Dewa Brahma), Pura
Puseh atau Pura Segara (tempat berstana Dewa Wisne), dan Pura Dalem (tempat
berstana Dewa Ciwa). Penyelenggaraan desa pakraman adalah bentuk nyata dari
implementasi hukum adat Bali yang dijiwai agama Hindu, sehingga Hukum Adat
di Bali secara langsung dapat pengakuan sesuai Undang-Undang yang berlaku di
Indonesia.

5
2.2 Pengakuan Pengadilan atas Hukum adat Sulawesi Selatan
Sistem hukum dalam tatanan kehidupan masyarakat sebagai alat untuk
mengatur kehidupan masyarakat di Sulawesi Selatan sudah ada sejak
hubungan sosial masyarakat dimulai. Sistem hukum adat di Sulawesi Selatan
dikenal dengan istilah pangngaderreng (dalam Bahasa Bugis) atau
pangngadakkang (dalam Bahasa Makassar) yaitu merupakan (tempat berpijak
perilaku dan kehidupan masyarakat Bugis-Makasssar). Sistem ini mengatur
masyarakat hampir pada seluruh aspek kehidupan,mulai dari adat-istiadat, politik,
agama, sosial dan hukum. Sistem pangngaderreng ini mengakar dalam hati tiap
orang karena terlahir dari proses budaya yang panjang. Olehnya dalam
penerapannya masyarakat menjalankannya karena kesadaran yang hadir dalam
dirimereka, bukan karena suatu kewajiban atau paksaan

Masyarakat Bugis-Makassar mentaati sistem ini dan siapa saja yang


melanggarnya akan mendapatkan sanksi. Sanksi yang diberikanpun bervariasi,
ada yang mendapatkan semacam hukuman fisik dan moral sesuai dengan
tingkatan pelanggaran mereka terhadap pangngaderreng. Dalam menjalankan
ketaatanya terhadap pangngaderreng dilandaskan pada siri’ na pesse’
(merupakan karakter budaya yang terbentuk dari rasa malu dan rasa
kasihan/tidak tega) yang mereka pegang teguh. Siri’ ini yang mendorong
seseorang masyarakat Bugis-Makassar tidak ingin melanggaraturan ade’ (istilah
adat-istiadat). Akan timbul rasa malu apabila melakukan pelanggaran
terhadap adat, akan timbul rasa malu apabila harga diri disepelekan oleh
orang lain.

Besarnya konsekuensi yang didapatkan karena dipermalukan (ripakasiri’)


maupun mempermalukan membuat siri’ ini mengikat masyarakat dalam
bertingkah-laku. Hal ini karena konsekuensi atas siri’ dapat menimbulkan
suatu peristiwa berdarah (pembunuhan). Mereka yang melanggar
pangngaderreng akan merasa malu dan terbuang dari masyarakat, bahkan
apabila dianggap telah menodai pangngaderreng maka keluarga pelakupun
akan ikut mendapatkan sanksi, seperti dikeluarkan dari daerah tempat tinggal
(ripali)..

6
Penjatuhan sanksi ini biasanya dilakukan oleh arung atau raja sebagai salah
satu pelaksana peradilan. Pangngaderreng lahir sebagai bagian dari budaya
masyarakat Sulawesi Selatan yang dijalankan tanpa ada unsur paksaan. Inilah
yang membedakan pangngaderreng dengan suatu adat kebiasaan. Apabila
suatu adat kebiasaan, biasanya bersifat kesewenang-wenangan dan
akhirnya diterima sebagai suatu dampak dari sistem sosial, maka
pangngaderreng ini menentang adanya unsur kesewenang-wenangan tersebut,
termasuk pemerkosaan, penindasan dan kekerasan.

Berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun


1945 sebenarnya masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya dan
identitas budayanya masih mendapat penghormatan dan pengakuan dari
Negara. Hal ini dapat menjadi parameter bahwasanya hak-hak tradisional dan
identitas budaya yang dimaksud dari Pasal 18B ayat (2) dan Pasal 28I ayat
(3) UUD 1945 adalah juga termasuk badan peradilannya.

2.3 Pengakuan Pengadilan atas Hukum Adat Sulawesi Utara

Hukum adat Minahasa berkaitan erat dengan struktur sosial kemasyarakatan


yang sudah dibangun sejak zaman dahulu kala. Dengan berbagai cerita legenda
tentang lahirnya Minahasa dan penduduk Minahasa sehingga lahir pula adat
Minahasa, maka hukum adat Minahasa oleh para ahli dianggap sudah ada dan
sama sejak dahulu kala. Menurut Mieke Schouten, Minahasa memiliki arti
“bersatu” (Mieke Schouten, 1993). Oleh karena itu, struktur sosial masyarakat
Minahasa pada perkembangannya adalah sebuah kesatuan dari berbagai suku.

Masyarakat Minahasa pada zaman dahulu sangat terkenal kejam sekaligus


heroik, tetapi pada saat yang sama mereka menjunjung tinggi persatuan. Bentuk
masyarakat Minahasa pada zaman dahulu di Minahasa Tengah sebelum disentuh
oleh pengaruh luar adalah berebntuk suku atau tribe. Bentuk masyarakat demikian
dirinci oleh George Foster sebagai suku atau tribal system atau “orang
pedalaman” yang pokok kehidupannya adalah pertanian (George Foster, 1967 : 5).
Sebelum perkembangannya menjadi kesatuan, unit politik dan hukum tertinggi di
Minahasa adalah walak. Pengertian walak menurut kamus bahasa Tountemboan

7
yang dikutip G.A.Wilken pada tahun 1912 dapat berarti :1. Cabang keturunan 2.
Rombongan penduduk 3. Bagian penduduk 4. Wilayah kediaman cabang
keturunan Jadi, dapat dikatakan bahwa walak mengandung dua pengertian yakni
“serombongan penduduk secabang keturunan” dan “wilayah yang didiami
rombongan penduduk secabang keturunan”.

Pemimpin Minahasa zaman dahulu terdiri dari dua golongan yakni Walian
dan Tonaas. Walian mempunyai asal kata Wali yang artinya “mengantar jalan
bersama” dan “memberi perlindungan”. Golongan ini mengatur upacara agama
asli Minahasa sehingga disebut golongan Pendeta. Mereka ahli membaca tanda-
tanda alam dan benda alngit, menghitung posisi bulan dan matahari dengan
patokan gunung, mengamati munculnya bintang-bintang tertentu seperti Kateluan
(bintang tiga), Tetepi (Meteor) dan sebagainya untuk menentukan musim
menanam, menghafal urutan silsilah sampai puluhan generasi, menghafal cerita-
cerita dari leluhur Minahasa yang terkenal di masa lalu, dan ahli kerajinan
peralatan rumah tangga seperti menenun kain, mengayam tikar, keranjang, sendok
kayu, dan gayung air.(Jessy Wenas, 2007).

Pada zaman dahulu, dapat juga seorang Kepala Walak menjadi seorang
Walian, dan dalam fungsi itu kekuasaannya menjadi lebih mutlak. Dengan
kekuatan seorang Walian, iya dapat diangkat menjadi seorang pemimpin karena
dianggap yang terbaik di antara warga sederajatnya yang terdapat dalam wilayah.
Golongan kedua adalah golongan Tonaas yang mempunyai kata asal Tou yang
artinya manusia dan Ta'as / Naas yang artinya kayu keras / bagian dalam dari kayu
yang keras dan tumbuh menjulang tinggi ke atas.Jadi, Tonaas adalah orang yang
memiliki pengalaman banyak dan pengetahuan yang tinggi serta kebajikan yang
besar.Selain itu golongan Tona'as ini juga menentukan di wilayah mana rumah-
rumah itu dibangun untuk membentuk sebuah Wanua (Negeri) dan mereka juga
yang menjaga keamanan negeri maupun urusan berperang.

Pada zaman modern saat ini, meskipun telah memiliki struktur sosial yang
berubah, Tonaas dan Walian masih tetap diakui namun keberadaannya sudah
sangat jarang ditemui.Yang ada dan diakui secara hukum saat ini adalah
pemimpin yang disebut sebagai Hukum Tua / Kuntua.Hukum Tua dapat

8
disejajarkan dengan seorang Kepala Desa, dipilih langsung oleh masyarakat, yang
memiliki kemampuan untuk mengatur pemerintahan sebuah desa.

2.4 Pengakuan Pengadilan Atas Hukum Adat di Sulawesi Tengah


Eksistensi hukum adat sebagai salah satu bentuk hukum yang diakui
keberadaannya dalam kehidupan dan budaya hukum masyarakat Indonesia
tercantum pada Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 atau
untuk singkatnya UUD ’45 yaitu pada pasal 18B ayat (2) yang menentukan
“Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan Masyarakat Hukum Adat
beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan
perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang
diatur dalam undang-undang”. Penjelasan mengenai pengakuan hukum adat oleh
Negara juga terdapat pada pasal 27 ayat (1) UUD ’45 yang menentukan “Segala
warga Negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan
wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”,
yang Adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai
dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik
Indonesia, yang diatur dalam undang-undang”. Penjelasan mengenai pengakuan
hukum adat oleh Negara juga terdapat pada pasal 27 ayat (1) UUD ’45 yang
menentukan “Segala warga Negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum
dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan
tidak ada kecualinya”, yang mana dari rumusan ketentuan tersebut dapat ditarik
kesimpulan bahwa baik warga sipil maupun aparatur pemerintahan tanpa
terkecuali diwajibkan untuk menjunjung hukum yang berlaku dalam kehidupan
dan budaya hukum masyarakat Indonesia baik itu hukum pidana, hukum perdata,
maupun hukum adat.
Salah satu Hukum dan sanksi Adat aplikasinya berorientasi pada ketetapan
Givu bagi masyarakat Kaili yang berdominsili di lembah Palu, Sulawesi Tengah.
Bila ditelusuri dari aspek budaya dan kearifan lokal ternyata hukum dan sanksi
adat memiliki nilai-nilai luhur dan tetap dijunjung tinggi serta ditaati. Namun di
era modern sekarang ini sebagian besar orang sudah melupakannya dan bahkan
dianggap sebagai pamali (pantangan) dalam kesehariannya. Akan tetapi hukum
dan sanksi adat masih tetap dipedomani untuk menjaga pengaruh negatif

9
modernisasi dalam merusak tatanan kehidupan. Sanksi adat diberlakukan bagi
siapa saja yang melanggar adat termasuk dari golongan bangsawan (madika)
sampai masyarakat biasa. Demi menjujunjung penegakan hukum nilai adat yang
dikandung, seluruh warga masyarakat yang berada dalam 5 wilayah keadatan
memperoleh hukum atau sanksi yang sama walaupun suku, pangkat, dan golongan
berbeda.
Dengan menggunakan falsafah: ”dimana bumi dipijak disitu langit
didunjunjung”, makna strategisnya kata berpijak adalah mentaati hukum adat
yang berlaku pada suatu wilayah. Tujuannya adalah untuk memberikan
penanaman nilai budi pekerti, yang gunannya melindungi seluruh warga dari
perbuatan sewenang–wenang dan tindakan yang tidak terpuji. Manfaatnya
menciptakan perdamaian dan kedamaian menuju suatu kehidupan yang bernilai
budaya. Sehingga bila dimaknai secara seksama hukum adat dapat memanusiakan
manusia.

10
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Pada banyak sisi jika dilihat, persyaratan normatif tersebut menjadi


kendala keberadaan hak-hak masyarakat hukum adat, karena :

Pertama, dalam praktik penyelenggaran pembangunan, rumusan frasa


“sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip
Negara Kesatuan Republik Indonesia” dimaknai bahwa kehadiran hak-hak
masyarakat hukum adat sebagai pranata yang diakui sepanjang tidak bertentangan
dengan semangat pembangunan, sehingga ada kesan pemerintah mengabaikan hak
masyarakat hukum adat. Sementara secara faktual di masyarakat terjadi semangat
menguatkan kembali hak-hak masyarakat hukum adat.

Kedua, dalam UUD 1945 disebutkan bahwa hak-hak tradisional masyarakat


hukum adat dihormati sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan
masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam
undang-undang.

Secara jelas maka dapat disimpulkan bahwa Hukum Adat itu masih ada di
Indonesia apabila Pemerintah ataupun warga setempat mengakui kebradaannya
sebab dalam UU sudah tertuang bukti bahwa Hukum Adat patut dihormati
sampai kapanpun walupun perkembangan zaman sudah berubah.

3.2 Saran

Apabila eksitensi hukum adat di Indonesia tetap masih ada maka setiap
daerah harus tetap menjaga dan menerapkan Hukum Adat yang sudah berlaku
jauh sebelum adanya hukum berdasarkan UU, selain itu untuk mengakui
kebradaan Hukum Adat harus ada upaya penyeragaman kelembagaan desa ,
urusan serta beberapa kriteria tertentu yang sudah disyaratkan menurut UU , agar
nantinya Hukum Adat itu sendiri tidak dilupakan seiring berjalan waktu yang
sudah semakin modern.

11
DAFTAR PUSTAKA
A. Undang-Undang

Kitab Undang Undang Hukum Pidana (KUHP)

B. Buku

Simarmata, Rikardo, 2006, Pengakuan Hukum terhadap Masyarakat Adat di


Indonesia, UNDP, Jakarta.

Laksanto Utomo, St. Hukum Adat, (Jakarta, PT Raja Grafindo Persada, 2016)

Husein Alting, Dinamika Hukum dalam Pengakuan dan Perlindungan Hak


Masyarakat Hukum Adat atas Tanah, Yogyakarta, 2010, hal.31

Naskah Akademis. RUU Pengakuan dan Perlindungan Hak Masyarakat


Hukum Adat, hal. 2

Jimly Ashiddiqie, Konsolidasi Naskah UUD 1945, Penerbit Yarsif Watampoe,


Jakarta, 2003 hal.32-33

Abdurrahman, Peranan Hukum Adat dalam Aplikasi Kehidupan Berbangsa


dan Bernegara dalam Majalah Hukum Nasional No. 1 Tahun 2007 hal.191 BPHN
Departemen Hukum dan HAM RI

Jurnal

Atmadi., Setyaningsih, 2000. Transformasi Penndidikan, Yogyakarta : Kanisius


dan Universitas Sanata Dharma.

Djahiri, Achmad Kosasi., 1985. Prosedur Penelitian; Suatu Pendekatan Praktis,


Cetakan IV, Jakarta : Bina Aksara.

Kaswadi, (ed.), 1999. Pendidikan Nilai Memasuki Tahun 2000, Cetakan I, Malang
: Aneka Media.

Luntungan., Piet J., 2004. Mapalus dan Dana Abadi Desa Sebagai Sistem
Ekonomi Kerakyatan, Makalah Kuliah Umum Enterpreneurship yang
disampaikan di Universitas Sam Ratulangi pada 24 September 2004.

Mamengko, Roy. E., (ed.), 2002. Etnik Minahasa Dalam Akselarasi dan
Perubahan, Jakarta : Sinar Harapan.

12
Martorella, Peter., 1976. Social Study Strategies Theory, London : Into Practise.

Mertawidjaja, Ramlie., 1979. Sistem dan Prosedur, Bandung : Tarsito.

Salam, B., 1999. Materi Kuliah Dasar – Dasar Pendidikan Moral, Manado : IKIP
Manado.

Schouten., Mieke., 1993. Minahasan Metamorphoses, Leadership and Social


Mobility in a South East Asian Society c.1690 – 1983, Holland:
Academisch Proefschrift.

Senduk, Wem., 1998. Ekonomi Tamber – Secuil Kajian Tentang Suatu Lembaga
Tradisional Minahasa, Manado : s.n s.a.

Warokka, Djerry., 2004. Kamus Bahasa Daerah Manado – Minahasa, Jakarta :


Alfa indah.

Wenas, Jessy., 2007. Tonaas dan Walian Abad 7,


http://www.theminahasa.net/history/stories/tonaasid.html. __, 2007.

13

Anda mungkin juga menyukai