Anda di halaman 1dari 24

PEMBERITAAN INTERNASIONAL PADA MUSLIM ROHINGYA DAN

GAMBARAN SIKAP PADA MAHASISWA UNIVERSITAS RIAU

Qeissa Hudiev

Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik


UniversitasRiau
Qeissa.hudiev6183@student.unri.ac.id

ABSTRACT
Myanmar has long been prone to social conflicts, especially religious issues, as a
multi-ethnic country. The Rohingya, a predominantly Muslim ethnic minority group in
Buddhist-majority Myanmar, are fleeing historical demands and human rights abuses,
both in law and practice. The role of the media ideally is to convey factual information
and sometimes reveal the reality of trans-folding events. Changing the ideology and
perception of society and being a beacon of education is quite a difficult task. Audience
responses to media messages are highly subjective and unique. The degree of influence
exerted is not uniform among audiences. As a result, reporting by the international
media about the crisis experienced by Rohingya Muslims invited attitudes towards
Riau University students. This indicates the importance of the press as a messenger for
the sustainability of the international community so that it can be concluded that the
mass media can influence a person's attitude through the news it publishes.

Keywords: International News, Rohingya, Attitude, Student, Riau University

PENDAHULUAN

Myanmar (alias Burma) dikenal tidak hanya karena perjuangannya untuk


demokrasi, yang dipimpin oleh pemenang Hadiah Nobel Perdamaian Aung San Suu
Kyi, tetapi juga baru-baru ini karena penderitaan Muslim Rohingya, yang dianiaya
oleh masyarakat mayoritas Buddha di Myanmar. Kesengsaraan Muslim Rohingya
telah meningkat dengan pengusiran mereka dari tanah air mereka di wilayah timur laut
negara itu, dekat perbatasan dengan Bangladesh. Penyebab mereka telah menjadi
masalah kemanusiaan di tingkat internasional. Bagi orang luar, cukup mengejutkan
bahwa umat Buddha yang umumnya tidak dikenal memiliki ideologi politik yang kuat
bisa berubah menjadi radikal dan bahkan kekerasan. Meskipun Myanmar mengalami
perubahan politik yang signifikan menuju pemerintahan yang demokratis, nasib
Muslim Rohingya belum menunjukkan tanda-tanda perbaikan. Kekerasan terhadap
Muslim Rohingya semakin parah, menjadi gerakan anti-Islam yang diperkuat oleh
pemerintah. Pusat Penelitian Pew (Pew) menilai Myanmar di antara yang tertinggi di
dunia pada indeks permusuhan sosial (SHI) dan indeks permusuhan pemerintah
(GHI)1.
1
lPew lResearch lCenter. l2016. lLatest lTrends lin lReligious lRestrictions land lHostilities. lWashington
lDC: lPew lResearch lCenter. lhttps://www.pewforum.org/2015/02/26/religioushostilities/.
Sebagai negara multi-etnis, Myanmar telah lama rentan terhadap konflik sosial,
terutama masalah agama. Konflik Buddha-Muslim memiliki sejarah panjang di
Myanmar, dimulai sejak kedatangan Muslim dari Teluk Bengal ke wilayah Arakan
pada abad ke-14. Selama 49 tahun pemerintahan junta militer (1962-2011), Muslim
Myanmar, terutama yang beretnis India, sangat dibatasi kebebasan beragamanya baik
dari masyarakat maupun pemerintah. Anehnya, diskriminasi terburuk yang berujung
pada persekusi terhadap Muslim Rohingya terjadi pada 2012, hanya setahun setelah
pembubaran pemerintahan militer. Kerusuhan yang dipimpin biksu juga meningkat
pada awal 2013 di beberapa bagian Negara Bagian Rakhine. Polisi yang sebagian
besar beragama Buddha Rakhine dilaporkan tidak melakukan banyak upaya untuk
menghentikan serangan dan, dalam banyak laporan, bahkan dituduh terlibat dalam
kekerasan2. Organisasi hak asasi manusia akhirnya menggambarkan Rohingya sebagai
“etnisyang paling tertindas di dunia” 3. Isu yang paling mendasar adalah bahwa
pemerintahan Myanmar sekarang menganggap Muslim Rohingya sebagai orang tanpa
kewarganegaraan, karena mereka tidak dapat memberikan dokumentasi untuk
membuktikan bahwa mereka telah tinggal di Negara Bagian Arakan selama lebih dari
60 tahun.

Rohingya, kelompok etnis minoritas yang sebagian besar Muslim di Myanmar


yang mayoritas beragama Buddha, melarikan diri dari tuntutan sejarah dan
pelanggaran hak asasi manusia, baik dalam hokum maupun praktik4. Terlepas dari
pembatasan perjalanan pada lembaga kemanusiaan oleh pemerintah Myanmar, krisis
pengungsi Rohingya mendapatkan perhatian global yang signifikan melalui gambar
grafis, video, dan cerita dari Negara Bagian Rakhine5. Selanjutnya, laporan investigasi
yang diterbitkan oleh outlet berita terkemuka untuk membangkitkan perhatian
internasional terhadap apa yang disebut oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB)
sebagai “contoh buku teks tentang pembersihane tnis”6. Namun, untuk kemanusiaan,
pertanyaan apakah liputan media internasional membantu kebijakan luar negeri dan
memulai intervensi kemanusiaan untuk menghentikan masuknya pengungsi masih
belum jelas dan rumit.

Perhatian media internasional adalah alat penting untuk memulai proses


mobilisasi dan pembentukan opini masyarakat internasional dengan menyoroti
pelanggaran hak asasi manusia yang mengerikan di bagian-bagian terpencil dunia.
Studi ini berpendapat bahwa peningkatan perhatian media terhadap krisis pengungsi

2
lInternationallCrisislGroup.l(2013). l2013. le lDark lSide lof lTransition: lViolence lAgainst lMuslims
lin lMyanmar.
3
lKelly, lLiam. l2016. l“Myanmar: lWho lAre lthe lRohingya?” lNewsweek. lhttps://www.
lnewsweek.com/explainer-who-are-rohingya-541575
4
lMedecins lSans lFrontieres. l(2017). lMyanmar/Bangladesh: lMSF lsurveys lestimate lthat lat lLEAST
l6,700 lRohingya lwere lkilled lduring lthe lattacks lin lMyanmar: lMsf. lRetrieved lMarch l15, l2021,
lfrom lhttps://www.msf.org/myanmarbangladesh-msf-surveys-estimate-least-6700-rohingya-were-killed-
during-attacks-myanmar
5
lNeuman, lS. l(2018). lAP linvestigation ldetails lshocking lmassacre, lmass lgraves lof lMyanmar
lRohingya. lRetrieved lMarch l15, l2021, lfrom
lhttps://www.npr.org/sections/thetwo-way/2018/02/01/582323591/ap-investigation-details-shocking-
massacre-mass-graves-of-myanmar-rohingya
6
lMahmood lSS, lWroe lE, lFuller lA, lLeaning lJ l(2017) lThe lRohingya lpeople lof lMyanmar: lhealth,
lhuman lrights, land lidentity. lLancet l389(10081):1841–1850. lhttps://doi.org/10.1016/s0140-
6736(16)00646-2
Rohingya meningkatkan kemungkinan intervensi kemanusiaan untuk mengurangi
jumlah pengungsi Rohingya yang melarikan diri dari kekerasan di Myanmar. Dengan
meningkatnya jumlah liputan media, ini akan memobilisasi tekanan internasional
untuk menghentikan penyebab masuknya pengungsi dan berpotensi memulai berbagai
intervensi kemanusiaan yang bertujuan untuk melindungi hak asasi manusia Rohingya
di Myanmar.

Media memiliki peran penting dalam membangun opini publik. Media diyakini
dapat memimpin atau mengikuti opini publik7. Biasanya, media adalah mode informasi
utama dan bertindak sebagai 'sumber pendidikan' bagi sebagian besar penduduk, oleh
karena itu, mempengaruhi sikap dan pendapat orang tentang berbagai isu8. Migrasi
adalah fenomena global yang melibatkan perpindahan orang dari tempat asalnya ke
tempat lain karena berbagai alasan. Pergerakan tersebut dapat dikaitkan dengan banyak
alasan termasuk peluang pendapatan yang lebih baik, standar hidup yang lebih baik,
perubahan demografis, dan sebagainya. Oleh karena itu, alasannya terkadang dikaitkan
dengan ketidaksetaraan dalam peluang perkembangan, kesenjangan pendapatan,
peluang hidup yang lebih menarik9. Namun, migrasi tidak selalu bersifat sukarela.
Terkadang orang terpaksa pindah karena alasan lain seperti krisis politik, perubahan
iklim. Migrasi semacam itu melibatkan lebih banyak kesulitan dalam penyesuaian dan
tekanan psikologis.

Peran media idealnya adalah menyampaikan informasi faktual dan terkadang


mengungkap realitas peristiwa trans-folding. Mengubah dan mengubah ideologi dan
persepsi masyarakat serta menjadi mercusuar pendidikan adalah tugas yang cukup
sulit. Respon audiens terhadap pesan media sangat subjektif dan unik, tingkat
pengaruh yang diberikan tidak seragam di antara audiens. Pengalaman, pendidikan,
derivasi pengetahuan dari sumber alternatif adalah apa yang berkontribusi pada tingkat
penerimaan di Audiens. Dengan demikian memperbesar tanggung jawab dan
menekankan kekuatan yang dimiliki Media. Baik dengan memberikan representasi
faktual tentang fakta yang bebas dari mitos dan stereotip atau dengan generalisasi dan
penyebaran informasi yang salah/berita bohong.

Empati adalah faktor yang menarik individu untuk membantu profesi dan
memainkan peran penting dalam memahami nuansa pengalaman orang lain. Empati
adalah kemampuan kompleks yang memungkinkan individu untuk memahami dan
merasakan keadaan emosional orang lain, menghasilkan perilaku welas asih. Empati
membutuhkan kapasitas kognitif, emosional, perilaku, dan moral untuk memahami dan
menanggapi penderitaan orang lain. Belas kasih adalah respons lembut terhadap
persepsi penderitaan orang lain. Belas kasih tidak dapat ada tanpa empati, karena
mereka adalah bagian dari persepsi dan tanggapan yang sama yang menggerakkan
manusia dari pengamatan ke tindakan.

7
lSoroka, lS. lN., l& lWlezien, lC. l(2010). lDegrees lof ldemocracy: lPolitics, lpublic lopinion, land
lpolicy. lCambridge lUniversity lPress.
8
lEstrada, lE. lP., lEbert, lK., l& lLore, lM. lH. l(2016). lApathy land lantipathy: lMedia lcoverage lof
lrestrictive limmigration llegislation land lthe lmaintenance lof lsymbolic lboundaries. lSociological
lForum, l31(3), l555–576
9
lCastles, lS. land lMiller, lM.J., l2009. lThe lage lof lmigration: linternational lpopulation lmovements
lin lthe lmodern lworld. lBasingstoke: lPalgrave lMacMillan
Prosesnya melibatkan baik negara asal maupun negara tuan rumah, oleh karena
itu, aspek yang berbeda perlu diperhatikan. Media memainkan peran penting dalam
mengangkat gambaran dalam membentuk empati kepada para pembacanya dalam hal
seperti eksodus yang terjadi pada masyarakat Rohingya. Apakah suatu negara
menerima migrant atau memberikan suaka kepada mereka sering kali sesuai dengan
opini publik yang terutama dipengaruhi oleh penggambaran situasi dan wacana politik
oleh media10. Oleh karena itu, penggambaran media dan ideology politik dapa tjuga
mempengaruhi masuknya migran ke wilayah tertentu.

Dalam hal ini, peneliti tertarik untuk melihat bagaimana pemberitaan


Internasional menyajikan berita krisis Rohingya dan bagaimana gambaran sikap
mahasiswa Universitas Riau terhadap peristiwa yang terjadi pada Rohingya yang telah
dimuat oleh banyak sekali media massa untuk mengetahui sikapnya terhadap hal
tersebut.

METODE PENELITIAN

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif dan studi
kepustakaan. Teknologi pengumpulan data mengekstrak informasi dari berbagai
sumber tertulis, seperti buku, artikel, jurnal, dan dokumen, tergantung pada masalah
yang sedang dipelajari.

Metode yang digunakandalamartikeliniadalahmetodekualitatifdan studiliteratur.


Penelitian yang menggunakan metode kualitatif dirancang untuk mengkonstruksi
realitasdanmemahamimakna,danpenelitiansangatmemperhatikan proses, peristiwa, dan
keaslian. Studiiteratur digunakan sebagai cara untuk mengintegrasikan data yang
diperoleh selama penelitian sehingga maknanya dapat dipahami secara optimal.
Teknik pengumpulan data adalah teknik untuk memperkuat argumentasi artikel ini
dengan mengekstrak informasisesuai dengan masalah penelitian dari berbagai sumber
yang diterbitkan seperti buku, makalah, jurnal, jurnal, dan dokumen.

Pada metode kualitatif, pengumpulan data dilakukan melalui literature review.


Literature review ini menganalisis jurnal,berita, text book, dan ebook yang relevan
dengan pembahasan mengenai pemberitaan krisis Rohingya pada berita Internasional.
Selain itu juga dilakukan wawancara kepada 3 narasumber yang diambil secara acak
sebagai perwakilan mahasiswa Universitas Riau untuk mengetahui bagaimana
gambaran sikap mahasiswa Universitas Riau terhada ppermasalahan global yang salah
satunya adalah persekusi uma tmuslim di Rohingya.

TEMUAN DAN PEMBAHASAN

Pada 2017, terjadi peningkatan hampir tiga kali lipat pengungsi Rohingya
menjadi 932.204, di mana The New York Times menerbitkan sejumlah artikel
sebanyak127, sementara The Guardian telahmeliputhaltersebutsejak2018 dengan 229
artikel. Krisis Rohingyasendiridimulai pada 25 Agustus 2017, ketika diduga
organisasi Rohingya bersenjata (Arakan Rohingya Salvation Army) menyerang kantor
10
lMusarò, lP., l& lParmiggiani, lP. l(2017). lBeyond lblack land lwhite: lThe lrole lof lmedia lin
lportraying land lpolicing lmigration land lasylum lin lItaly. lInternational lReview lof lSociology, l27(2),
l241-260.
polisi dan pejabat pemerintah11. Dalam serangkaian peristiwa yang digambarkan oleh
PBB sebagai “contoh konkritdalam pembersihan etnis”12, militer membalas dengan
tanpa pandang bulu menargetkan warga sipil saat mereka membakar desa, menembak
anak-anak dan wanita, memperkosa wanita, menjarah, dan memblokir bantuan
kemanusiaan bantuan13. Bukti menunjukkan bahwa telah terjadi pengumpulanpasukan
dan peningkatan Islamofobia yang disponsori militer selama berminggu-minggu
sebelumnya, menunjukkan bahwa operasi militer telah direncanakan sebelumnya
untuk mengusir sebagian besar Rohingya keluar dari negara itu14.

Muslim Rohingya menghadapi kondisi yang parah dan menunggu tanggapan


atas seruan ke banyak organisasi bantuan kemanusiaan internasional. Seorang petugas
Human Rights Watch mengatakan lebih dari 1.500 bangunan dihancurkan di
Maungdaw saja selama Oktober dan November 2016. Amnesty International menuduh
militer telah membunuh warga sipil, memperkosa perempuan, dan meratakan desa-
desa15. PBB mencatat bahwa lebih dari 3.000 anak-anak yang kekurangan gizi parah di
Myanmar dapat meninggal tanpa bantuan. Berton-ton bantuan makanan dan medis dari
berbagai organisasi dan negara kemanusiaan internasional telah ditangguhkan oleh
pemerintah militer. Kelompok hak asasi manusia telah menggambarkan perilaku
militer sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan 3. Saat itu, nasib Muslim Rohingya
sebagai kelompok etnis yang paling rentan masih belum pasti seperti sebelumnya.
Bersama dengan ribuan orang yang meninggalkan negara itu, lebih dari 100.000 orang
Rohingya tinggal di kamp-kamp interniran yang disediakan oleh UNHCR di Sittweon
pantai barat16. Sambil menunggu negosiasi organisasi internasional dengan pemerintah,
mereka hidup dengan keterbatasan fasilitas yang diberikan oleh bantuan internasional.

Rohingya yang sebagian besar merupakan etnis minoritas Muslim di Myanmar,


telah disebut sebagai Minoritas yang paling teraniaya di dunia. Krisis dimulai ketika
pemerintah Myanmar menolak kewarganegaraan mereka pada tahun 2014 dan
mengeluarkan mereka dari sensus tahun 2014. Karena kekerasan komunal, mereka
mulai meninggalkan rumah mereka, tetapi eksodus massal mereka dimulai pada 2017
ketika mereka menderita karena kekejaman bersenjata. National Geographic
melaporkan bahwa setidaknya 500.000 orang Rohingya melarikan diri dari negara itu
11
lSouthwick lK l(2018) lStraining lto lprevent lthe lRohingya lgenocide: la lsociology lof llaw
lperspective. lGenocide lStud lPrev l12(3):119–142. lhttps://doi.org/10.5038/1911-9933.12.3.1572
12
lOffice lof lthe lHigh lCommissioner lfor lHuman lRights l(OHCHR). l(2017). lDarker land lmore
ldangerous: lhigh lcommissioner lupdates lthe lhuman lrights lcouncil lon lhuman lrights lissues lin l40
lcountries. lRetrieved lfrom lhttps://www.ohchr.org/EN/NewsEvents/Pages/DisplayNews.aspx?
NewsID=22041&LangID=E
13
lRevesz, lR. l(2017). lDoctors lreport lhorrifying lgang lrape lattacks lon lRohingya lMuslim lrefugees.
lRetrieved lfrom lhttps://www.independent.co.uk/news/world/asia/doctors-un-rohingya-muslim-women-
refugees-burma-rape-sexual-violence-a7965251.html
14
lSouthwick lK l(2018) lStraining lto lprevent lthe lRohingya lgenocide: la lsociology lof llaw
lperspective. lGenocide lStud lPrev l12(3):119–142. lhttps://doi.org/10.5038/1911-9933.12.3.1572
15
lHuman lRights lWatch. l(2017). lCrimes lagainst lhumanity lby lBurmese lsecurity lforces lagainst
lthe lRohingya lMuslim lpopulation lin lNorthern lRakhine lState lsince lAugust l25, l2017. lRetrieved
lfrom lhttps://www.hrw.org/news/2017/09/25/crimes-against-humanity-burmese-security-forces-against-
rohingya-muslim-population#:~:text=Human%20Rights%20Watch%20has%20found,against
%20humanity%20under%20international%20law.Return lto lref l2017 lin larticle
16
lBodetti, lAustin. l2016. l“Inside lMyanmar’s lRohingya lCamps: lWhat lIt lLooks llike lto lBe la
lRefugee lin lYour lOwn lCountry.” le lWorld lfrom lPRX. lhttps://www.
lpri.org/stories/2016-03-09/inside-myanmars-rohingya-camps-what-it-looksbe-refugee-your-own-country
untuk mencari suaka di negara tetangga Bangladesh selama periode Agustus-
September 2017. Meskipun peristiwa baru-baru ini telah menjelaskan dan melihat
krisis yang intensif, Rohingya bukanlah hal baru dalam penganiayaan. Krisis Muslim
Rohingya tidak hanya menyangkut masalah agama dan etnis tetapi juga masalah
kemanusiaan. Banyak organisasi internasional yang secara aktif terlibat dan
menanggapi masalah ini, termasuk beberapa organisasi kemanusiaan dan keagamaan.
Ini termasuk Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Organisasi Kerjasama Islam (OKI)
dan Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN).

PBB percaya bahwa krisis Rohingya di Myanmar adalah masalah kemanusiaan.


Berdasarkan fakta bahwa ratusan Rohingya telah melarikan diri ke negara tetangga dan
juga kondisi mengerikan di negara bagian Rakhine, PBB percaya bahwa Myanmar
ingin mengusir seluruh penduduk Rohingya. Banyak penasihat internasional
menyebutnya genosida. Berbagai tindakan dan intervensi telah dilakukan oleh badan-
badan PBB, seperti United Nations High Commissioner for Refugees (UNHCR) dan
International Organization for Migration (IOM), untuk mengurangi krisis kemanusiaan
lebih lanjut. Sejak November 2019, kasus Rohingya telah masuk ke Mahkamah
Internasional (IJC), dengan tuduhan Myanmar telah melanggar Konvensi Genosida
1948. Permintaan telah diajukan kepada Pengadilan untuk memerintahkan tindakan
sementara untuk mencegah dan melindungi masyarakat dari bahaya lebih lanjut. Pada
Januari 2020, ICJ memberikan langkah-langkah sementara ini dan mengharuskan
Myanmar untuk “mengambil semua tindakan dalam kekuasaannya” untuk melindungi
Rohingya dari genosida. Setelah empat bulan, hanya ada sedikit tindak lanjut yang
berarti dari kepatuhan Myanmar terhadap perintah IJC17.

Dalam berbagai media, Organisasi Kerjasama Islam (OKI) mengecam keras


pelanggaran hak asasi manusia terhadap Muslim Rohingya di negara bagian Rakhine.
Sejak meningkatnya insiden Muslim Rohingya di negara bagian Rakhine pada tahun
2012, OKI telah mengambil beberapa tindakan kemanusiaan dan politik untuk
mengurangi potensi memburuknya situasi. Selain bantuan kemanusiaan, IPHCR telah
meminta semua negara anggota OKI untuk mendesak Myanmar menegakkan dan
melindungi hak-hak Muslim Rohingya dan menyuarakan keprihatinan mereka di
forum internasional. Beberapa upaya yang dilakukan oleh OKI dan badan-badannya
dalam masalah Rohingya adalah: Sekjen OKI mengecam kekerasan di Myanmar pada
tahun 2012, utusan khusus OKI untuk Myanmar pergi ke Amerika Serikat untuk
mendapatkan dukungan untuk masalah Rohingya pada tahun 2015, OKI mengusulkan
Resolusi Hak Asasi Manusia Rohingya yang kemudian diadopsi oleh Hak Asasi
Manusia PBB Dewan pada tahun 2015. Sekretaris Jenderal OKI bertemu Aung San
Suu Kyi pada tahun 2016 dan OKI menyerukan Pertemuan Darurat di New York,
Brussels dan Jenewa untuk mengatasi krisis. Sekjen OKI mengunjungi Uni Eropa
untuk bertemu Pejabat Tinggi pada 2017 dan OKI mengangkat penderitaan Rohingya
di UNHRC di Jenewa pada 2019. Dalam pertemuan khusus OKI di Malaysia pada
Januari 2017, pemerintah Myanmar mengumumkan penyesalannya bahwa Perdana
Menteri Malaysia memprakarsai dan menjadi tuan rumah pertemuan itu untuk
memanfaatkan krisis negara lain demi kepentingan politik. Tanpa solusi yang jelas

17
lAmnesty. l2020. l“Myanmar lFails lto lProtect lRohingya lAfter lWorld lCourt lOrder.”
lhttps://www.amnesty.org/en/latest/news/2020/05/myanmar-governmentfails-to-protect-rohingya-after-
world-court-order/
untuk tragedi apartheid ini, OKI telah meminta PBB untuk mengadopsi resolusi untuk
memaksa pemerintah Myanmar menyelesaikan masalah secara tegas (Slodkowski
2017). Pada tahun 2020 OKI menyambut baik keputusan bulat yang diambil oleh
International Court of Justice (ICJ) untuk memerintahkan pemerintah Myanmar
mengambil langkah-langkah sementara untuk mencegah tindakan genosida lebih lanjut
terhadap Rohingya18.

Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN) juga telah berjuang


untuk menyelesaikan krisis tersebut. Pada tahun 2017, para menteri luar negeri negara-
negara ASEAN menyatakan keprihatinan atas perkembangan di Rakhine State dan
mengutuk kekerasan di kawasan yang telah mengakibatkan penghancuran rumah,
perpindahan sejumlah besar orang dan hilangnya nyawa warga sipil 19. Namun, ada
ketidaksepakatan internal atas pernyataan tersebut karena tidak mengidentifikasi
Rohingya sebagai salah satu komunitas yang terkena dampak20. ASEAN juga
mendesak pemerintah Myanmar untuk merevisi undang-undang kewarganegaraan
tahun 1982 untuk memberikan kewarganegaraan penuh kepada Rohingya dan
mengakui mereka sebagai etnis resmi21. Namun demikian, banyak kritikus yang
mendorong ASEAN untuk memperluas upayanya. Hal ini disebabkan oleh fakta
bahwa ASEAN cenderung menggunakan langkah-langkah lunak, yang dikenal sebagai
“ASEAN Way.” Ini termasuk prinsip-prinsip kedaulatan, non-intervensi dan
pengambilan keputusan konsensus, sebagaimana diabadikan dalam berbagai perjanjian
dan deklarasi ASEAN. Anggota Parlemen ASEAN untuk Hak Asasi Manusia
mengkritik Laporan ASEAN, “Tim Tanggap dan Penilaian Darurat,” karena diduga
menodai penganiayaan terhadap Rohingya22. Banyak pengamat juga prihatin bahwa
krisis sosial ekonomi di Myanmar dan juga kegagalan negara untuk memberikan
perlindungan dapat memicu jenis ekstremisme dan radikalisme agama yang telah
terjadi di negara lain.

Dalamliputanlain, negara-negara mayoritas Muslim menanggapi secara agresif


krisis di Myanmar. Indonesia, Malaysia dan Turki termasuk di antara yang paling
responsif. Ratusan pengungsi Rohingya telah bermukim di beberapa wilayah di
Indonesia dan Malaysia. Selain mengecam persekusi terhadap Rohingya, Presiden
Indonesia Joko Widodo telah mengirimkan sekitar 34 ton bantuan kemanusiaan untuk
pengungsi Rohingya di Bangladesh. Menteri Luar Negeri Retno Marsudi mengunjungi
Myanmar dan Bangladesh pada September 2017 untuk membahas situasi tersebut
dengan Penasihat Negara Aung San Suu Kyi dan Perdana Menteri Sheikh Hasina.

18
lOrganization lof lIslamic lCooperation. l2020. l“OIC lWelcomes lICJ lDecision lOrdering lMyanmar
lto lStop lGenocide lAgainst lRohingya.” lOIC lwelcomes lICJ ldecision lordering lMyanmar lto lstop
lgenocide lagainst lRohingya. lhttps://www.oicoci.org/topic/ampg.asp?t_id=23137&t_ref=13911&lan=en
19
lASEAN. l2017. l“ASEAN lChairman’s lStatement lon le lHumanitarian lSituation lin lRakhine
lState.” lASEAN l| lOne lVision lOne lIdentity lOne lCommunity. lhttps:// lasean.org/asean-chairmans-
statement-on-the-humanitarian-situation-inrakhine-state/
20
lABS-CBN lNews. l2017. l“Malaysia lDisputes lCayetano’s lASEAN lChair lStatement lon
lRohingya.” lhttps://news.abs-cbn.com/overseas/09/25/17/malaysiadisputes-cayetanos-asean-chair-
statement-on-rohingya
21
lAiroldi, lDonna. l2017. l“UNHCR lChief lUrges lMyanmar lto lGrant lRohingya lCitizenship.”
lReuters. lhttps://www.reuters.com/article/us-asia-refugeesidUSKBN19S1VJ
22
lAljazeera. l2019. l“Asean lMust lNot lTurn la lBlind lEye lto lRohingya lCrisis: lRights lGroups.”
lASEAN lNews. lhttps://www.aljazeera.com/news/2019/6/19/aseanmust-not-turn-a-blind-eye-to-
rohingya-crisis-rights-groups
Perdana Menteri Malaysia Najib Razak menyebut penganiayaan terhadap Rohingya
sebagai genosida dan mengirimkan banyak bantuan untuk pengungsi Rohingya di
Bangladesh. Malaysia juga bersikeras pada sikap yang lebih kuat dari ASEAN
terhadap pelanggaran hak asasi manusia Myanmar. Selain itu,pemberitaan Turki
melaporkanbahwa Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan dan Perdana Menteri Binali
Yildrim juga menggambarkan penganiayaan Rohingya sebagai genosida. Saat
mengunjungi kamp pengungsi Rohingya pada tahun 2017, dimana Emine Erdogan dan
Menteri Luar Negeri Mevlüt Avuşoğlu berjanji untuk mengirim 1.000 ton pasokan
bantuan23.

Sementara literatur-literatur saat ini masih terbatas pada motivasi dan


efektivitas intervensi kemanusiaan dalam menghentikan genosida. Studi baru-baru ini
menunjukkan bahwa intervensi yang secara langsung menantang rezim adalah satu-
satunya jenis respons militer yang efektif untuk memperlambat atau menghentikan
genosida yang disponsori negara, daripada intervensi tidak memihak yang tidak
efektif24. Demikian pula, tanggapan non-militer, seperti liputan media dan kampanye
oleh organisasi bantuan, berdampak kecil pada misi genosida penguasa militer
Myanmar. Faktanya, para ahli telah menemukan bahwa intervensi dapat
mempersingkat konflik, tetapi mungkin mempercepat pelaku untuk meningkatkan
kebijakan genosida mereka dalam jangka waktu tersebut. Pola ini ditemukan di
Myanmar, di mana misi militer pembersihan etnis dimulai pada 2015 dan tingkat
keparahannya meningkat tajam antara 2017 dan 2018, setelah munculnya tekanan dan
kepentingan internasional. Kebijakan masa depan harus fokus pada secara langsung
menahan atau melucuti senjata militer dan menghapus mereka dari kekuasaan untuk
mengurangi kekejaman terhadap Rohingya di Myanmar24.

Mengenai hal tersebut, wawancara juga dilakukan kepada 3 mahasiswa


Universitas Riau untuk mengetahui gambaran sikap dalam pemberitaan Rohingya.
Terdapat 3 narasumber yakni AF dan D yang keduanya adalah perempuan, sementara
M adalah laki-laki. Ketiganya merupakan mahasiswa Universitas Riau dan dipilih
secara acak oleh peneliti serta dilakukan wawancara secara langsung. Ketiganya
merupakan mahasiswa dengan tingkatan yang berbeda-beda, dimana AF adalah
mahasiswi semester 1, M adalah mahasiswa semester 3 dan D adalah mahasiswi
semester 5.

Mengenai pemberitaan Rohingya, narasumber AF berpendapat bahwa media


internasional yang pertama kalinya dia mendapatkan informasia dalah melalui BBC
yang dia baca dari sebuah link atau tautan internet yang dibagikan oleh salah satu
anggota keluarga di grup media social yaitu Whatsapp. Sementara M mengetahui
berita tersebut melalui poster-poster bantuan donasi Rohingya yang tersebar di masjid-
masjid yang dia kunjungi. Pada narasumber D, dia mengetahui informasi tersebut
melaluisitus berita CNN internasional. Dari ketiga narasumber, dua diantaranya
mengetahui informasi mengenai krisis yang terjadi

23
lJones, lDorian. l2017. l“Turkish lEnvoy lVisits lBangladesh lto lHelp lRohingya lRefugees lfrom
lMyanmar.” lVOA lEnglish. lhttps://www.voanews.com/eastasia-paciëc/turkish-envoy-visits-bangladesh-
help-rohingya-refugees-myanmar
24
lKrain lM l(2005) lInternational lintervention land lthe lseverity lof lgenocides land lpoliticides. lInt
lStud lQ l49(3):363–387
Ketiga narasumber kemudian ditanya mengenai sikap mereka terhadap
pemberitaan tersebut. Allport25mencirikan sikap sebagai 'kesiapan mental dan saraf'
dan berpendapat bahwa itu adalah 'konsep/konstruksi yang paling khas dan sangat
diperlukan dalam psikologi social kontemporer'. Hal itu terutama dibuktikan dalam
kaitannya dengan disposisi evaluatif dan penilaian seseorang tentang 'objek' (misalnya
makhluk, benda, peristiwa, ide, masalah, atau tindakan) yang diturunkan, setidaknya
sebagian, dari pengalaman atau situasi mereka. NarasumberAF berpendapat bahwa
sikapnya pada saat pertama kali membaca berita tersebut, perasaannya ikut sedih
melihat foto-foto yang ditampilkan oleh wartawan. Beberapa foto yang menunjukkan
anak-anak sedang tersiksa juga bahkan hamper membuatnya menangis. Pada
narasumber M, Ketika dia membaca mengenai hal tersebut, awalnya dia kurang
memahami apa itu Rohingya dengan segala peristiwa yang dia lihat melalui poster-
poster hingga akhirnya dia mencoba membuka situs portal berita nasional yakni
Kompas untuk membaca mengenai hal tersebut. Kemudian narasumber M merasa
tergerak untuk ikut segera menyumbang dengan menghubungi pihak-pihak yang
terdapat poster yang dia lihat pertama kali. Sementara pada narasumber D, ketika
pertama kali membaca berita tersebut, dia merasakan hal yang sama dengan
narasumber AF yakni merasakan kesedihan yang luar biasa ketika mengetahui
perlakuan yang diberikan kepada orang-orang Rohingya.

Sikap sendiri memiliki tiga komponen yakni kognitif (misalnya keyakinan atau
pengetahuan), komponen afektif (misalnya perasaan atau emosi), dan komponen
perilaku (misalnya kecenderungan yang dapat mempengaruhi apakah dan bagaimana
bertindak)26.Dari ketiga jawaban yang diterima, dapat dikatakan bahwa narasumber AF
dan D menunjukkan sikap afektif. Respon afektif sendiri selalu berkaitan dengan
emosi. Hal ini ditunjukkan oleh kedua narasumber dengan mengungkapkan ekspresi
kesedihannya ketika membaca berita mengenai krisis yang terjadi pada Rohingya.
Sementara pada narasumber M, sikap yang ditunjukkan adalah berupa perilaku,
dimana narasumber melakukakan sesuatu karena dipengaruhi oleh berita yang dia baca
yakni ikut berdonasikepada korban-korban Rohingya.

Narasumber AF juga mengatakan bahwa baginya, sangat penting pemberitaan


yang dilakukan pada korban Rohingya mengingat bahwa isu ini adalah salah satu isu
internasional yang harus mampu disampaikan kepada semua khalayak. Alasannya,
karena kekerasan etnis tidak dibenarkan dalam ajaran maupun agama manapun
sehingga negara-negara lain setidaknya harus ikut turun tangan untuk membantu
korban-korban yang teraniaya. Sementara bagi narasumber M, berita seperti ini
memang penting untuk dikabarkan kepada banyak khalayak. Baginya, berita ini
merupakan salah satu cara untuk membuka mata terhadap apa yang terjadi di dunia
saatini. Pada narasumber D, dia menyatakan bahwa pemberitaan yang dilakukan oleh
media mengenai Rohingya telah dilakukan dengan baik, namun baginya masih ada
aspek-aspek yang harus mampu membangkitkan semangat untuk mau membantu atau
berkontribusi ketika membaca berita tersebut.

25
lAllport, lG. l1935. l“Attitudes.” lIn lA lHandbook lof lSocial lPsychology, ledited lby lC.
lMurchinson, l789–844. lWorcester, lMA: lClark lUniversity lPress.
26
lMarcinkowski, lTom l& lReid, lAlan l(2019) lReviews lof lresearch lon lthe lattitude–behavior
lrelationship land ltheir limplications lfor lfuture lenvironmental leducation lresearch, lEnvironmental
lEducation lResearch, l25:4, l459-471, lDOI: l10.1080/13504622.2019.1634237
Gambaran sikap mahasiswa yang dapat diketahui dari hasil pembahasan diatas
adalah sikap terhadap kelompok luar juga sangat sedikit dipengaruhi oleh bentuk
artikel. Hal ini juga sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Kratochvil27 yang
menyatakan hal yang serupa. Selain itu, dua dari tiga narasumber juga menunjukkan
sikap afektif, dimana penilaian yang diberikan oleh narasumber berkaitan dengan sikap
dan nilai. Penilaian afektif mencakup watak perilaku seperti perasaan, minat, sikap,
emosi, dan nilai.

KESIMPULAN

Berdasarkan analisis yang dilakukan peneliti pada pembahasan diatas, dapat


disimpulkan bahwa pemberitaan Internasional pada Muslim Rohingya dan gambaran
sikap pada mahasiswa Universitas Riau dapat dikatakan sebagai berikut:

1) Pemberitaan Internasional mengenai Muslim Rohingya telah dilakukan oleh


banyak pihak, dari pihak pers yang komersil sendiri seperti The New York
Times, The Guardian, Aljazeera, BBC hingga CNN maupun dari badan
internasional seperti ASEAN, OIC dan OHCHR.
2) Gambaran umum sikap mahasiswa Universitas Riau mengenai pemberitaan
Internasional Muslim Rohingya dua dari tiga narasumber lebih dominan
kepada sikap afektif, dimana penilaian yang berkaitan dengan sikap dan nilai
mencakup watak perilaku seperti perasaan, minat, sikap dan emosi.

Pemberitaan oleh media Internasional mengenai krisis yang dialami oleh


Muslim Rohingya mampu mengundang sikap terhadap mahasiswa Universitas Riau.
Hal ini menandakan bahwa pentingnya pers sebagai salah satu penyampai pesan untuk
keberlangsungan masyarakat internasional sehingga untuk dapat disimpulkan bahwa
media massa mampu mempengaruhi sikap seseorang melalui pemberitaan yang
diterbitkannya.

DAFTAR PUSTAKA
ABS-CBN News. 2017. “Malaysia Disputes Cayetano’s ASEAN Chair Statement on
Rohingya.” https://news.abs-cbn.com/overseas/09/25/17/malaysiadisputes-
cayetanos-asean-chair-statement-on-rohingya
Airoldi, Donna. 2017. “UNHCR Chief Urges Myanmar to Grant Rohingya
Citizenship.” Reuters. https://www.reuters.com/article/us-asia-
27
lKratochvíl, lTomáš.l(2016). lThe lInfluence lof lMass lMedia lNews lon lthe lAttitude ltowards
lPeople lwith lMental lDifficulties.lBachelorlThesis.lBrno.
refugeesidUSKBN19S1VJ
Aljazeera. 2019. “Asean Must Not Turn a Blind Eye to Rohingya Crisis: Rights
Groups.” ASEAN News.
https://www.aljazeera.com/news/2019/6/19/aseanmust-not-turn-a-blind-eye-to-
rohingya-crisis-rights-groups
Allport, G. 1935. “Attitudes.” In A Handbook of Social Psychology, edited by C.
Murchinson, 789–844. Worcester, MA: Clark University Press.
Amnesty. 2020. “Myanmar Fails to Protect Rohingya After World Court Order.”
https://www.amnesty.org/en/latest/news/2020/05/myanmar-governmentfails-
to-protect-rohingya-after-world-court-order/
ASEAN. 2017. “ASEAN Chairman’s Statement on e Humanitarian Situation in
Rakhine State.” ASEAN | One Vision One Identity One Community. https://
asean.org/asean-chairmans-statement-on-the-humanitarian-situation-inrakhine-
state/
Bodetti, Austin. 2016. “Inside Myanmar’s Rohingya Camps: What It Looks like to Be
a Refugee in Your Own Country.” e World from PRX. https://www.
pri.org/stories/2016-03-09/inside-myanmars-rohingya-camps-what-it-looksbe-
refugee-your-own-country
Castles, S. and Miller, M.J., 2009. The age of migration: international population
movements in the modern world. Basingstoke: Palgrave MacMillan
Estrada, E. P., Ebert, K., & Lore, M. H. (2016). Apathy and antipathy: Media coverage
of restrictive immigration legislation and the maintenance of symbolic
boundaries. Sociological Forum, 31(3), 555–576
Human Rights Watch. (2017). Crimes against humanity by Burmese security forces
against the Rohingya Muslim population in Northern Rakhine State since
August 25, 2017. Retrieved from
https://www.hrw.org/news/2017/09/25/crimes-against-humanity-burmese-
security-forces-against-rohingya-muslim-population#:~:text=Human
%20Rights%20Watch%20has%20found,against%20humanity%20under
%20international%20law.Return to ref 2017 in article
International Crisis Group. (2013). 2013. e Dark Side of Transition: Violence Against
Muslims in Myanmar.
Jones, Dorian. 2017. “Turkish Envoy Visits Bangladesh to Help Rohingya Refugees
from Myanmar.” VOA English.
https://www.voanews.com/eastasia-paciëc/turkish-envoy-visits-bangladesh-
help-rohingya-refugees-myanmar
Kelly, Liam. 2016. “Myanmar: Who Are the Rohingya?” Newsweek. https://www.
newsweek.com/explainer-who-are-rohingya-541575
Krain M (2005) International intervention and the severity of genocides and
politicides. Int Stud Q 49(3):363–387
Kratochvíl, Tomáš. (2016). The Influence of Mass Media News on the Attitude
towards People with Mental Difficulties. Bachelor Thesis. Brno.
Mahmood SS, Wroe E, Fuller A, Leaning J (2017) The Rohingya people of Myanmar:
health, human rights, and identity. Lancet 389(10081):1841–1850.
https://doi.org/10.1016/s0140-6736(16)00646-2
Marcinkowski, Tom & Reid, Alan (2019) Reviews of research on the attitude–
behavior relationship and their implications for future environmental education
research, Environmental Education Research, 25:4, 459-471, DOI:
10.1080/13504622.2019.1634237
Medecins Sans Frontieres. (2017). Myanmar/Bangladesh: MSF surveys estimate that
at LEAST 6,700 Rohingya were killed during the attacks in Myanmar: Msf.
Retrieved March 15, 2021, from https://www.msf.org/myanmarbangladesh-
msf-surveys-estimate-least-6700-rohingya-were-killed-during-attacks-
myanmar
Musarò, P., & Parmiggiani, P. (2017). Beyond black and white: The role of media in
portraying and policing migration and asylum in Italy. International Review of
Sociology, 27(2), 241-260.
Neuman, S. (2018). AP investigation details shocking massacre, mass graves of
Myanmar Rohingya. Retrieved March 15, 2021, from
https://www.npr.org/sections/thetwo-way/2018/02/01/582323591/ap-
investigation-details-shocking-massacre-mass-graves-of-myanmar-rohingya
Office of the High Commissioner for Human Rights (OHCHR). (2017). Darker and
more dangerous: high commissioner updates the human rights council on
human rights issues in 40 countries. Retrieved from
https://www.ohchr.org/EN/NewsEvents/Pages/DisplayNews.aspx?
NewsID=22041&LangID=E
Organization of Islamic Cooperation. 2020. “OIC Welcomes ICJ Decision Ordering
Myanmar to Stop Genocide Against Rohingya.” OIC welcomes ICJ decision
ordering Myanmar to stop genocide against Rohingya.
https://www.oicoci.org/topic/ampg.asp?t_id=23137&t_ref=13911&lan=en
Pew Research Center. 2016. Latest Trends in Religious Restrictions and Hostilities.
Washington DC: Pew Research Center.
https://www.pewforum.org/2015/02/26/religioushostilities/.
Revesz, R. (2017). Doctors report horrifying gang rape attacks on Rohingya Muslim
refugees. Retrieved from
https://www.independent.co.uk/news/world/asia/doctors-un-rohingya-muslim-
women-refugees-burma-rape-sexual-violence-a7965251.html
Soroka, S. N., & Wlezien, C. (2010). Degrees of democracy: Politics, public opinion,
and policy. Cambridge University Press.
Southwick K (2018) Straining to prevent the Rohingya genocide: a sociology of law
perspective. Genocide Stud Prev 12(3):119–142. https://doi.org/10.5038/1911-
9933.12.3.1572
Southwick K (2018) Straining to prevent the Rohingya genocide: a sociology of law
perspective. Genocide Stud Prev 12(3):119–142. https://doi.org/10.5038/1911-
9933.12.3.1572

Anda mungkin juga menyukai