Anda di halaman 1dari 50

MAKALAH TEKNIK-TEKNIK KONSELING

PENDEKATAN COGNITIVE BEHAVIOR THERAPY

Disusun oleh : Kelompok 7

1. Nur Eka Oktaviana Putri (2111080062)

2. Pinka Ollyvia Ananda (2111080156)

PROGRAM STUDI BIMBINGAN KONSELING PENDIDIKAN ISLAM

FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI RADEN INTAN LAMPUNG

2023
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah yang Maha pengasih lagi Maha penyayang, yang telah memberi
rahmat serta Hidayah-Nya kepada kami sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini. Tak
lupa sholawat serta salam tetap terlimpahkan kepada junjungan Nabi Muhammad SAW sang
pemilik ukhwah.

Kami membuat makalah ini berdasarkan pembagian dari salah satu tugas mata kuliah
Teknik-Teknik Konseling . Kami juga mengucapkan banyak terimakasih kepada Dosen
Pengampuh Tika Febriyani M.Pd , yang telah membantu memberikan referensi dan pendapat
dalam pembuatan makalah ini.

Kami menyadari bahwa dalam pembuatan makalah ini masih banyak kekurangan karena
kami masih dalam tahap belajar. Oleh karena itu, kami dengan terbuka akan menerima kritik
dan saran yang bersifat membangun demi kesempurnaan dan adanya perbaikan. Kami
berharap semoga makalah ini bermanfaat bagi teman-teman pembaca.
DAFTAR ISI

PENDEKATAN BEHAVIOR …………………………………………………………....i

KATA PENGANTAR .............................................................................................................


ii

DAFTAR ISI.................................................................. .........................................................


iii

BAB I PENDAHULUAN ........................................................................................................


1

A. Latar Belakang .................................................................... ...........................................


1

B. Tujuan
Penulisan ................................................................................. ...........................2

BAB II PEMBAHASAN ................................................................................... ……..4

A. Pandangan Tentang Manusia ..........................................................................................


4

B. Konsep Dasar ..................................................................................................................4

C. Tujuan Konseling ............................................................................................................8

D. Peran dan Fungsi Konselor .............................................................................................


8

E. Tahap-Tahap Konseling ..................................................................................................9

F. Teknik-Teknik Konseling .............................................................................................


12

BAB III PENUTUP ................................................................................................................45


A. KESIMPULAN .................................................................................................. .............. 45

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................................47


BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pendekatan behavior berawal pada tahun 1950-an dan awal 1960-an, dan
merupakan perubahan radikal dari perspektif psikoanalisis yang dominan.
Gerakan terapi behavior berbeda dengan pendekatan terapi lainnya dalam
penerapan prinsip-prinsip pengkondisian klasik dan operan (yang akan
dijelaskan segera) pada pengobatan berbagai perilaku bermasalah. Saat ini,
sulit untuk menemukan konsensus tentang definisi terapi behavior karena
bidang ini telah berkembang, menjadi lebih kompleks, dan ditandai oleh
keragaman pandangan. Memang, seiring dengan berkembangnya terapi
perilaku, terapi ini semakin tumpang tindih dalam beberapa hal dengan
pendekatan psikoterapi lainnya (Wilson, 2008). Pembahasan yang disajikan
di sini didasarkan pada sketsa historis terapi behavior dari Spiegler dan
Guevremont (2003).
Terapi Behavior tradisional muncul secara bersamaan di Amerika Serikat,
Afrika Selatan, dan Inggris pada tahun 1950-an. Meskipun mendapat kritik
keras dan perlawanan dari psikoterapis psikoanalisis, pendekatan ini tetap
bertahan. Fokusnya adalah untuk menunjukkan bahwa teknik-teknik
pengkondisian perilaku efektif dan merupakan alternatif yang layak untuk
terapi psikoanalisis. Pada tahun 1960-an, Albert Bandura mengembangkan
teori pembelajaran sosial, yang menggabungkan pengkondisian klasik dan
operan dengan pembelajaran observasional. Bandura menjadikan kognisi
sebagai fokus yang sah untuk terapi Behavior. Selama tahun 1960-an,
sejumlah pendekatan perilaku kognitif bermunculan, dan mereka masih
memiliki dampak yang signifikan pada praktik terapi (lihat Bab 10).
Terapi Behavior kontemporer muncul sebagai kekuatan utama dalam
psikologi selama tahun 1970-an, dan memiliki dampak yang signifikan
terhadap pendidikan, psikologi, psikoterapi, psikiatri, dan pekerjaan sosial.
Teknik-teknik perilaku diperluas untuk memberikan solusi bagi masalah-

1
masalah bisnis, industri, dan pengasuhan anak. Dikenal sebagai "gelombang
pertama" dalam bidang perilaku, teknik terapi Behavior dipandang sebagai
pengobatan pilihan untuk banyak masalah psikologis. Tahun 1980-an
ditandai dengan pencarian cakrawala baru dalam konsep dan metode yang
melampaui teori belajar tradisional. Para ahli terapi Behavior terus menguji
metode mereka dengan penelitian empiris dan mempertimbangkan dampak
dari praktik terapi terhadap klien dan masyarakat luas. Perhatian yang lebih
besar diberikan pada peran emosi dalam perubahan terapeutik, serta peran
faktor biologis dalam gangguan psikologis.
Dua perkembangan yang paling penting dalam bidang ini adalah (1)
kemunculan terapi behavior kognitif yang terus berlanjut sebagai kekuatan
utama dan (2) penerapan teknikteknik perilaku dalam pencegahan dan
pengobatan gangguan yang berhubungan dengan kesehatan. Pada akhir
tahun 1990-an, Asosiasi untuk Terapi Behavior dan Kognitif (ABCT)
(sebelumnya dikenal sebagai Asosiasi untuk Kemajuan Terapi Perilaku)
mengklaim keanggotaannya sekitar 4.300 orang.
Deskripsi ABCT saat ini adalah "organisasi keanggotaan yang terdiri dari
lebih dari 4.500 profesional kesehatan mental dan mahasiswa yang tertarik
dengan terapi Behavior berbasis empiris atau terapi Behavior kognitif."
Perubahan nama dan deskripsi ini menunjukkan pemikiran saat ini untuk
mengintegrasikan terapi perilaku dan kognitif. Terapi kognitif dianggap
sebagai "gelombang kedua" dari tradisi perilaku. Pada awal tahun 2000-an,
"gelombang ketiga" dari tradisi perilaku muncul, memperluas cakupan
penelitian dan praktik. Perkembangan terbaru ini meliputi terapi Behavior
dialektis, pengurangan stres berbasis kesadaran, terapi kognitif berbasis
kesadaran, dan terapi penerimaan dan komitmen.

B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan pandangan tentang manusia?
2. Apa itu konsep dasar?

2
3. Apa sajakah tujuan konseling?
4. Bagaimana peran dan fungsi konselor?
5. Apa peran fungsi dan konselor?
6. Apa saja tahap-tahap konseling?
7. Apa saja teknik-teknik konseling?

C. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui pengertian pandangan tentang manusia
2. Untuk mengetahui apa itu konsep dasar
3. Untuk mengetahui apa saja tujuan behavioral dalam konseling
4. Untuk mengetahui bagaimana peran dan fungsi konselor
5. Untuk mengetahui apa saja peran fungsi konselor
6. Untuk mengetahui ada berapa tahap-tahap konseling

3
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pandangan Tentang Manusia


Pendekatan behavioral didasarkan pada pendangan ilmiah tentang
tingkah laku manusia yang menekankan pada pentingnya pendekatan
sistematik dan terstruktur pada konseling (Rosjidan, 1994, p. 8).
Pendekatan behavioral ber- pandangan bahwa setiap tingkah laku dapat
dipelajari. Proses belajar tingkah laku adalah melalui kematangan dan
belajar (Rosjidan, 1994, p. 10). Selanjutnya tingkah laku lama dapat diganti
dengan tingkah laku baru. Manusia dipandang memiliki potensi untuk
berperilaku baik atau buruk, tepat atau salah. Manusia mampu melakukan
refleksi atas tingkah lakunya sendiri, dapat mengatur serta mengontrol
perilakunya dan dapat belajar tingkahlaku baru atau dapar mempengaruhi
perilaku orang lain

B. Konsep Dasar
Salah satu studi yang paling penting dalam perkembangan pendekatan
behavioral adalah studi yang dilakukan oleh Watson dan Rayner (1920)
yang menggunakan anak sebagai subyek tentang rasa takut yang dipelajari
(conditioned). Saran-saran penelitian ini menjadi teknik-teknik inti dalam
konseling behavioral (Rosjidan, 1994, p. 4). Penggunaan istilah behavioral
counseling pertama kali dikemukakan oleh Krumboltz dari the Standford
University pada tahun 1964. Pada dekade 1950an pengalaman konseling
merupakan filsafat hidup yang menekankan pada segi hubungan dan setting
wawancara. Dapat dikatakan bahwa konseling kurang memperhatikan
metodologi ilmiah seperti observasi dan eksperimen. Hubungan konselor
dan konseli dipandang sebagai metode konseling atau jantungnya konseling
(Rosjidan, 1994, p. 4). Pada kenyataannya, konseling membutuhkan

4
penguasaan metode dan teknik-teknik ilmiah yang melandasi konselor
dalam merencanakan, melaksanakan dan mengevaluasi proses konseling.

Ciri-ciri utama konseling behavioral yang dikemukakan oleh Krumboltz


(1965) adalah sebagai berikut:

• Proses pendidikan.
Konseling merupakan proses pendidikan. Dengan kata lain, konseling
membantu konseli mempelajari tingkah laku baru untuk memecahkan
masalahnya. Konseling menggunakan prinsip-prinsip belajar dan
prosedur belajar yang efektif untuk membentuk dasar-dasar pemberian
bantuan kepada konseli (Rosjidan, 1994, p. 5-6).
• Teknik dirakit secara individual.
Teknik konseling yang digunakan pada setiap konseli berbeda-beda ter-
Gantung pada masalah dan karakteristik konseli. Dalam proses
konseling,Penentuan tujuan konseling, proses asesmen, dan teknik-
teknik dibangun
• Metodologi ilmiah.
Tematis, kuantifikasi data dan kontrol yang tepat (Rosjidan, 1994, p. 6).
Oleh konseli dengan bantuan konselor (Rosjidan, 1994, p. 6). Konseling
behavioral dilandasi oleh metode ilmiah dalam melakukan asesmen dan
evaluasi konseling. Konseling ini menggunakan observasi Sis

Pendekatan behavioral didasari oleh pandangan ilmiah tentang tingkah


laku manusia yaitu pendekatan yang sistematik dan terstruktur dalam
konseling. Pandangan ini melihat individu sebagai produk dari
kondisioning sosial, sedikit sekali melihat potensi manusia sebagai
produser lingkungan (Corey, 1986, p. 175). Pada awalnya pendekatan ini
hanya mempercayai hal yang dapat diamati dan diukur sebagai sesuatu
yang sah dalam pengukuran kepribadian tradical behaviorism). Kemudian

5
pendapat ini dikembangkan lebih lanjut yang mulai menerima fenomena
kejiwaan yang abstrak seperti id, ego, dan ilusi (methodological
behaviorism). Pendekatan ini memandang perilaku yang malasuai
(malajusted) sebagai hasil belajar dari lingkungan secara keliru.

Konseling behavioral dikenal juga dengan modifikasi perilaku yang


dapat diartikan sebagai tindakan yang bertujuan untuk mengubar perilaku.
Modifikas perilaku dapat pula diartikan sebagai usaha menerapkan prinsip-
prinsip belajar maupun prinsip-prinsip psikologi hasil eksperimen lain pada
perilaku manusia (Bootzin, 1975 dalam Sukadji 1983, p. 1). Menurut
Wolpe, modifikasi perilaku adalah prinsip-prinsip belajar yang telah teruji
secara eksperimental untuk mengubah perilaku yang tidak adaptif.
Kebiasaan-kebiasaan yang tidak adapti dilemahkan dan dihilangkan,
perilaku adaptif ditimbulkan dan dikukuhkan (Sukadji 1983, p. 3).
Selanjutnya, terapi ini berfokus pada perilaku yang tampak dan spesink.
Dalam konseling, tingkah laku diidentifikasi dengan cermat dan tujuan-to-
juan konseling diuraikan dengan spesifik. Dalam konseling, konseli belajar
perilaku baru dan mengeliminasi perilaku yang maladaptif, memperkuat
serti mempertahankan perilaku yang diinginkan, dan membentuk pola
tingkah laku dengan memberi ganjaran atau reinforcement yang
menyenangkan segera setelah tingkah laku yang diharapkan muncul. Ciri
unik terapi tingkah laku adalah lebih berkonsentrasi pada proses tingkah
laku yang teramati/tampak dan spesifik fokus pada tingkah laku kini dan
sekarang. Pendekatan ini berasumsi bahwa semua tingkah laku baik yang
adaptif maupun maladaptif dapat dipelajari. Selain itu, belajar merupakan
cara efektif untuk mengubah tingkah laku maladapot (Corey, 1986, p. 177).

Modifikasi perilaku memiliki kelebihan dalam menangani masalah-


masalah yang dialami oleh individu, yaitu:

• Langkah langkah dalam modifikasi perilaku dapat direncanakan terlebih


dabulu. Rencana ini dapat dibicarakan bersama konseh

6
• Perincian pelaksanaan dapat diubah selama treatmen doesuaikan dengan
keburuhan konseli
• Bila berdasarkan evaluasi sebuah teknik gagal memberikan perubahan
pada konseli, teknik tersebut dapat diganti dengan teknik lain.
• Teknik-teknik konseling dapat dijalaskan dan diatur secara rasional serta
dapat diprediksi dan dievaluasi secara objektif.
• Waktu yang dibutuhkan lebih singkat (Sukadji, 1983, p. 10-11).

Dalam memahami tingkah laku, terdapat beberapa model tingkah laku


yang dipengaruhi oleh teori-teori psikologi. Model-model tingkah laku
tersebut antara lain:

• Model psikodinamika
Yaitu, tingkah laku manusia ditentukan kehidupan dinamika intra-psikis
individu (id, ego, superego). Contohnya: id: aku mau makan sekarang,
superego: jangan lakukan itu, menurut peraturan, tidak boleh makan
ketika jam pelajaran, dan ego: sekarang harus realistis tentang ini dan
melakukan pengujian realita tentang kemungkinan pemenuhan id.

• Model biofisik
Yaitu, tingkah laku ditentukan oleh organisasi neurologi, belajar
perseptual motor, kesiapan fisiologi, integrasi dan perkembangan
sensori.
• Model lingkungan
Yaitu, tingkah laku ditentukan oleh interaksi antara individu dan
lingkungan. Menurut pandangan sosiologi: tingkah laku ditentukan oleh
pengaruh ling- kungan, sedangkan pandangan ekologi: tingkah laku
ditentukan oleh hu- bungan antara organisme dengan lingkungan.
• Model tingkah laku
Yaitu, tingkah laku dapat diobservasi dan diukur. Tingkah laku
disebabkan oleh tekanan tekanan lingkungan, asumsi: tingkah laku
adalah konsekuensi dari prinsipprinsip penguatan (reinforcement)
(Walker & Shea, 1984).

7
C. Tujuan Konseling
Tujuan konseling behavioral berorientasi pada pengubahan atau
modifikasi perilaku konseli, yang di antaranya untuk:

• Menciptakan kondisi-kondisi baru bagi proses belajar


• Penghapusan hasil belajar yang tidak adaptif
• Memberi pengalaman belajar yang adaptif namun belum dipelajari
• Membantu konseli membuang respons-respons yang lama yang merusak
diri atau maladaptif dan mempelajari respons-respons yang baru yang
lebih sehat dan sesuai (adjustive).
• Konseli belajar perilaku baru dan mengeliminasi perilaku yang
maladaptif, memperkuat serta mempertahankan perilaku yang
diinginkan
• Penetapan tujuan dan tingkah laku serta upaya pencapaian sasaran
dilakukan bersama antara konseli dan konselor

Dalam perumusan tujuan konseling, terdapat beberapa hal yang harus


diperhatikan, yaitu: tujuan konseling dirumuskan sesuai keinginan konseli,
konselor harus bersedia membantu konseli mencapai tujuan konseli, harus
mempertimbangkan kemampuan konseli untuk mencapai tujuan (Huber &
Millman, 1972).
Selain itu Cormier dan Cormier (1979) mengatakan bahwa konselor dan
konseli bersama-sama mengidentifikasi risiko yang berhubungan dengan
tujuan dan menilai risiko tersebut, bersama mendiskusikan kebaikan yang
diperoleh dari tujuan, dan konselor membantu konseli menjabarkan
bagaimana dia akan bertindak di luar cara-cara sebelumnya.

D. Peran dan Fungsi Konselor


Peran konselor dalam konseling behavioral berperan aktif, direktif dan
meng gunakan pengetahuan ilmiah untuk menemukan solusi dari persoalan

8
individu. Konselor behavioral biasanya berfungsi sebagai guru, pengarah
dan ahli yang mendiagnosa tingkah laku yang maladaptif dan menentukan
prosedur yang mengatasi persoalan tingkah laku individu. Dalam proses
konseling, konseli yang menentukan tingkah laku apa (what) yang akan
diubah, sedangkan konselor menentukan cara yang digunakan untuk
mengubahnya (bow) (Corey, 1986, p. 180).

Selain itu, konselor juga sebagai model bagi kliennya. Bandura


mengatakan bahwa sebagian besar proses belajar terjadi melalui
pengalaman langsung yang didapat melalui observasi langsung terhadap
tingkah laku orang lain. La berpendapat bahwa dasar fundamental proses
belajar tingkah laku adalah imitasi; dengan demikian, konselor adalah
model signifikan bagi kliennya (Corey, 1986, p. 180).

E. Tahap-Tahap Konseling
Tingkah laku yang bermasalah dalam konseling behavioral adalah
tingkah laku yang berlebihan (excessive) dan tingkah laku yang kurang
(deficit). Tingkah laku yang berlebihan seperti: merokok, terlalu banyak
main games, dan sering memberi komentar di kelas. Adapun tingkah laku
yang deficit adalah terlambat masuk sekolah, tidak mengerjakan tugas dan
bolos sekolah. Tingkah laku excessive dirawat dengan menggunakan teknik
konseling untuk menghilangkan atau mengurangi tingkah laku, sedangkan
tingkah laku deficit diterapi dengan menggunakan teknik meningkatkan
tingkah laku.

Konseling behavioral memiliki empat tahap yaitu melakukan asesmen


Lassessment), menentukan tujuan (goal setting), mengimplementasikan
teknik technique implementation), dan evalusi dan mengakhiri konseling
(evaluation termination) (Rosjidan, 1994, p. 25).

9
1. Melakukan Asesmen (Assessment)

Tahap ini bertujuan untuk menentukan apa yang dilakukan oleh konseli
pada saat ini. Asesmen dilakukan adalah aktivitas nyata, perasaan dan
pikiran kon seli. Kanfer dan Saslow (1969) mengatakan terdapat tujuh
informasi yang digal dalam asesmen, yaitu:

• Analisis tingkah laku yang bermasalah yang dialami konseli saat ini.
Tingkah laku yang dianalisis adalah tingkah laku yang khusus.
• Analisis situasi yang di dalamnya masalah konseli terjadi. Analisis ini
mencoba untuk mengidentifikasi peristiwa yang mengawali tingkah laku
dan mengikutinya (antecedent dan consequence) sehubungan dengan
masalah konseli.
• Analisis motivasional.
• Analisis self control, yaitu tingkatan kontrol diri konseli terhadap
tingkah laku bermasalah ditelusuri atas dasar bagaimana kontrol itu
dilatih dan atas dasar kejadiankejadian yang menentukan keberhasilan
self-control.
• Analisis hubungan sosial, yaitu orang lain yang dekat dengan kehidupan
konseli diidentifikasi juga hubungannya orang tersebut dengan konseli
Metode yang digunakan untuk mempertahankan hubungan ini dianalisis
juga
• Analisis lingkungan fisik-sosial budaya. Analisis ini atas dasar norma-
norma dan keterbatasan lingkungan (Rosjidan, 1994, p. 25).

Dalam kegiatan asesmen ini konselor melakukan analisis ABC

A = Antecedent (pencetus perilaku)

B = Behavior (perilaku yang dipermasalahkan)

Tipe tingkah laku

Frekuensi tingkah laku

Durasi tingkah laku

10
Intensitas tingkah laku
Data tingkah laku ini menjadi data awal (baseline data) yang akan
diban- dingkan dengan data tingkah laku setelah intervensi

C = Consequence (konsekuensi atau akibat perilaku tersebut)

Contoh

A = Terlambat bangun pagi.


B = Terlambat masuk sekolah 30 meit setelah jam belajar pertama
dimulai, sebanyak 6 kali dalam sebulan
C= Tidak mengikuti pelajaran jam pertama, kurang memahami
materi pelajaran pada jam pertama

2. Menetapkan Tujuan (Goal setting)

Konselor dan konseli menentukan tujuan konseling sesuai dengan


kesepakatan bersama berdasarkan informasi yang telah disusun dan dianalisis.
Burks dan Engelkes (1978) mengemukakan bahwa fase goal setting disusun
atas tiga lang- kah, yaitu: (1) membantu konseh untuk memandang
masalahnya atas dasar tujuan-tujuan vang dinginkan, (2) memperhatikan
tujuan konseli berdasarkan kemungkman hambatan-hambatan situasional
tujuan belajar yang dapat di-terima dan dapat diukur, dan (3) memecahkan
tujuan ke dalam sub-tujuan dan menyusun tujuan menjadi susunan yang
berurutan (Rosjidan, 1994, p. 261 3. Implementasi Teknik (Technique
Implementation)

Setelah tujuan konseling dirumuskan, konselor dan konseli menentukan


strateg belajar yang terbaik untuk membantu konseli mencapai perubahan
tingka laku yang diinginkan. Konselor dan konseli mengimplementasikan
teknik. Teknik konseling sesuai dengan masalah yang dialami oleh konseli
(tingkah lak excessive atau deficit). Dalam implementasi teknik konselor
membandingkan perubahan tingkah laku antara baseline data dengan data
intervensi

11
4. Evaluasi dan Pengakhiran (Evaluation – Termination)

Evaluasi konseling behavioural merupakan proses yang


berkesinambungan Evaluasi dibuat atas dasar apa yang konseli perbuat.
Tingkah laku konseli digunakan sebagai dasar untuk mengevaluasi
efektivitas konselor dan efektivitas tertentu dari teknik yang digunakan.
Terminasi lebih dari sekadar mengakhir konseling. Terminasi meliputi:
• Menguji apa yang konseli lakukan terakhir
• Eksplorasi kemungkinan kebutuhan konseling tambahan
• Membantu konseli mentransfer apa yang dipelajari dalam konseling ke
tingkah laku konseli
• Memberi jalan untuk memantau secara terus menerus tingkah laku
konseli (Rosjidan, 1994, p. 25).

Selanjutnya, konselor dan konseli mengevaluasi implementasi teknik


yang telah dilakukan serta menentukan lamanya intervensi dilaksanakan
sampa tingkah laku yang diharapkan menetap.

F. Teknik-Teknik Konseling
Teknik konseling behavioral terdiri dari dua jenis, yaitu teknik untuk
meningkatkan tingkah laku dan untuk menurunkan tingkah laku. Teknik
untuk meningkatkan tingkah laku antara lain: penguatan positif, token
economy, pem- bentukan tingkah laku (shaping), pembuatan kontrak
(contingency contrac- ting), Sedangkan teknik konseling untuk menurunkan
tingkah laku adalah: penghapusan (extinction), time-out, pembanjiran
(flooding), penjenuhan (satia- tion), hukuman (punishment), terapi aversi
(aversive therapy), dan disensitisasi sistematis.

1.a Penguatan Positif (Positive Reinforcement)

Penguatan positif (positive reinforcement) adalah memberikan


penguatan yang menyenangkan setelah tingkah laku yang diinginkan
ditampilkan yang bertujuan agar tingkah laku yang diinginkan cenderung

12
akan diulang, meningkat dan menetap di masa akan datang (Walker &
Shea, 1984). Reinforcement positif, yaitu peristiwa atau sesuatu yang
membuat tingkah laku yang dikehendaki berpeluang diulang karena
bersifat disenangi. Dalam memahami penguatan positif, perlu dibedakan
dengan penguatan negatif (negative reinforcement) yaitu menghilangkan
aversive stimulus (negative reinforcement) yang biasa dilakukan agar
tingkah laku yang tidak diinginkan berkurang dan tingkah laku yang
diinginkan meningkat.
Reinforcement negatif, yaitu peristiwa atau sesuatu yang membuat
tingkah laku yang dikehendaki kecil peluang untuk diulang.
Reinforcement dapat bersifat tidak menyenangkan atau tidak memberi
dampak pada perubahan tingkah laku tujuan

(Sukadji, 1983, p. 12).

Contoh reinforcement negatif adalah: Alice bangun tengah malam dan


menangis (aversive stimulus), ia ingin tidur bersama orangtuanya. Agar
alice ber-henti menangis dan tidur, orangtuanya memperbolehkannya
untuk tidur bersama mereka. Dengan memperbolehkan Alice tidur di
tempat tidur orangtuanya me ningkatkan perilaku menangis dan tidur
bersama orangtua.
Klasifikasi Tingkah Laku Awal Konsekuensi Kemungkinan
Efek

Reinforcement Ria membersihkan Orang tua ria Ria akan


Positif kamarnya memberi pujian terus
membersihkan
kamarnya
Reinforcement Bob mengelyh Orang tua bob Bob akan terus
Negatif tentang kakak membolehkan tidak masuk
kelas yang tidak masuk sekolah
memukul dan ia sekolah
tidak mau masuk
sekolah

13
1.b Prinsip-Prinsip Penerapan Penguatan Positif (Reinforcement Positive)

Dalam menggunakan penguatan positif, konselor perlu


memperhatikan prinsip- prinsip reinforcement agar mendapatkan hasil
yang maksimal. Prinsip-prinsip reinforcement antara lain:

• Penguatan positif (positive reinforcement) tergantung pada


penampilan Tingkah laku yang diinginkan.
• Tingkah laku yang diinginkan diberi penguatan segera setelah tingkah
laku tersebut ditampilkan.
• Pada tahap awal, proses perubahan tingkah laku yang diinginkan
diberi penguatan setiap kali tingkah laku tersebut ditampilkan.
• Ketika tingkah laku yang dunginkan sudah dapat dilakukan dengan
baik, penguatan diberikan secara berkala dan pada akhirnya
dihentikan. .
• Pada tahap awal, penguatan sosial selalu diikuti dengan penguatan
yang berbentuk benda.
1.c Hubungan Penguatan (Reinforcement) dan Tingkah Laku

• Reinforcement diikuti oleh tingkah laku (Grandma’s law).


• Tingkah laku yang diharapkan harus diberi reinforcement segera
setelah ditampilkan.
• Reinforcement harus sesuai dan bermakna bagi individu atau
kelompok yang diberi reinforcement.
• Pujian atau hadiah yang kecil tapi banyak lebih efektif dari yang besar
tapi sedikit.
1.d Jenis-Jenis Penguatan (Reinforcement)

Terdapat tiga jenis reinforcement yang dapat digunakan untuk


modifikasi ting. Kah laku, yaitu:

• Primary reinforcer atau uncondition reinforcer, yaitu reinforcement


yang Langsung dapat dinikmati misalnya makanan dan minuman.

14
• Secondary reinforcer atau conditioned reinforcer. Pada umumnya
tingkah laku manusia berhubungan dengan ini, misalnya uang,
senyuman, pujian, medali, pin, hadiah, dan kehormatan.
• Contingency remforcement, yaitu tingkah laku tidak menyenangkan
dipakai sebagai syarat agar anak melakukan tingkah laku
menyenangkan, misalnya kerjakan dulu PR baru nonton TV.
Reinforcement ini sangat efektif dalam modifikasi tingkah laku.
1.e Penerapan Penguatan Positif Yang Efektif

Untuk menerapkan penguatan positif yang efektif, konselor perlu


memper-tim- bangkan beberapa syarat, di antaranya adalah:

• Memberikan penguatan dengan segera


• Penguatan akan memiliki efek yang lebih bermakna bila diberikan
segera setelah tingkah laku yang diinginkan dilakukan oleh konseli.
Alasan pem berian penguatan dengan segera adalah untuk
menghindari terdapat tingkah laku lain yang menyela tingkah laku
yang diharapkan. Dengan demikian, tujuan pemberian penguatan
terfokus pada tingkah laku yang diharapkan.
• Memilih penguatan yang tepat
• Mengatur kondisi situasional
• Menentukan kuantitas penguatan
• Memilih kualitas dan kebaruan penguatan
• Memberikan sampel penguatan
• Menangani persaingan asosiasi
• Mengatur jadwal penguatan
• Mempertimbangkan efek penguatan terhadap kelompok
• Menangani efek kontrol kontra
1.f Langkah-Langkah Pemberian Penguatan (Reinforcement)

Adapun langkah-langkah penerapan reinforcement positif adalah sebagai


berikut:

1. Mengumpulkan informasi tentang permasalahan melalui analisis ABC


 Antecedent (pencetus perilaku)

15
 Behavior (perilaku yang dipermasalahkan; frekuensi, intensitas,
dan durasi)
 Consequence (akibat yang diperoleh dari perilaku tersebut)
2. Memilih perilaku target yang ingin ditingkatkan
3. Menetapkan data awal (baseline) perilaku awal
4. Menentukan reinforcement yang bermakna
5. Menetapkan jadwal pemberian reinforcement
6. Penerapan reinforcement positif
1.g Ilustrasi Kasus
• Rika sering terlambat masuk sekolah
• Ibu tidak berhasil mendorong Rika untuk siap lebih cepat

• Ibu mempersiapkan hadiah dengan menyatakan “Kalau Rika siap


tepat jam 6.30, akan mendapat boneka cantik.”
• Pada saat Rika siap jam 6.30, ibu memberi boneka cantik. Hal ini
dilakukan beberapa kali sampai terbentuk perilaku yang diharapkan
atau target perilaku.
• Kelemahannya adalah bila dalam jangka waktu lama hadiah boneka
di-Hilangkan, anak memiliki kemungkinan akan kembali terlambat.
• Perilaku yang muncul semata-mata karena hadiah. Hal ini merupakan
prin- sip belajar Classical Conditioning Pavlov
• Bila menggunakan prinsip operant conditioning Skinner.
Reinforcement dr-Berikan pada saat anak secara mandiri berperilaku
yang diharapkan. Perilaku Akan cenderung menetap, karena
kesadaran muncul dari diri sendiri
1.h Jadwal Pemberian Penguatan

Dalam pemberian reinforcement, terdapat beberapa bentuk jadwal


pemberian reinforcement yang dibutuhkan sesuai dengan karakteristik
konseli.
• Penguat berkelanjutan (continuous reinforcement), yaitu diberikan
setiap kali tingkah laku muncul. Bila reinforcement dihentikan maka
tingkah laku Akan cepat hilang.

16
• Penguat berselang seling (intermittent Reinforcement), yaitu
diberikan selang-seling yaitu:
 Interval tetap (fixed interval): reinforcement diberi berselang
teratur, misalnya setiap 5 menit. Lama-lama merpati enggan
mematuk/mematuk setelah 5 menit.
 Interval berubah (variable interval): reinforcement diberikan
dalam Waktu tidak tentu, misalnya berselang 3, 4, 5, 6, dan 7
menit. Peng- hapusan lebih lambat dibanding interval tetap.
 Perbandingan tetap (fixed ratio): reinforcement sesudah respons
yang Dikehendaki muncul kesekian kalinya, misalnya setelah
patukan ke 10 Atau ke 12, dan seterusnya.
 Perbandingan berubah (variable ratio): reinforcement diberi secara
acak sesudah 8, 9, 10, 11, 12 kali patukan dengan rata-rata sama
dengan fixed ratio.
Penghapusan pada rasio variabel paling lambat terjadi.

2.a Kartu Berharga (Token Economy)

Kartu berharga token economy) merupakan teknik konseling


behavioral yang didasarkan pada prinsip operant conditioning Skinner
yang termasuk di dalamnya adalah penguatan. Token economy adalah
strategi menghindari pemberian reinforcement secara langsung, token
merupakan penghargaan yang dapat ditukar kemudian dengan berbagai

17
barang yang diinginkan oleh Konseli. Kartu berharga (roken economy)
dapat diterapkan di berbagai seting dan populasi seperti dalam seting
individual, kelompok dan kelas, juga pada berbagai populasi mulai dari
anak-anak hingga orang dewasa (Corey, 1986, p. 185). Token economy
bertujuan untuk mengembangkan prilaku adaptif melalui pemberian
reinforcement dengan token. Ketika tingkah laku yang diinginkan telah
cenderung menetap, pemberian token dikurangi secara bertahap (Corey,
1986, p. 185).

Agrass (1978) mengatakan bahwa konselor sebaiknya memberikan


variasi cadangan reinforcement (back-up reinforces) untuk
meningkatkan perilaku. Ia memberikan catatan bahwa substansi utama
token adalah target perilaku yang teridentifikasi dengan jelas dan
berbagai barang atau hak istimewa (priviledge) yang akan didapatkan
oleh konseli (dalam Corey, 1986, p. 185). Pemilihan reinforcement
tergantung pada kebutuhan dan minat konseli. Menurut Corey, token
economy dapat diaplikasikan untuk membentuk tingkah laku ketika
penghargaan dan berbagai reinforcement sosial (intangible) tidak
berhasil di- gunakan. Penggunaan roken sebagai reinforcer untuk
membentuk tingkah laku memiliki beberapa keuntungan, antara lain:

• Token tidak mengurangi nilai insentif, terutama ketika kekuatan


pemerolehan (earning power) dan nilainya meningkat seiring dengan
peningkatan peri- laku.
• Token dapat mengurangi penundaan antara tingkah laku yang
diinginkan dengan hadiah (reward).
• Token dapat digunakan sebagai motivator konkrit (concrete
motivator) untuk mengubah tingkah laku tertentu. Token adalah
bentuk dari penguatan positif.
• Individu memiliki kesempatan untuk menentukan bagaimana
menggunakan token yang didapatkan. Token economy dapat
mengarahkan ke peningkatan moral konseli dan staf.

18
• Sistem token dapat memungkinkan untuk mengukur penguatan sosial.
• Token menjadi jembatan antara institusi dan kehidupan di luar
sekolah (Corey, 1986, p. 185).

Ayllon dan Azrin (1968) mengusulkan beberapa arahan untuk


program penerapan token economy yang efektif dalam sebuah institusi,
misalnya sekolah. Penerapan token economy harus diterapkan oleh
seluruh staf sekolah secara konsisten. Pada beberapa kasus, data
penelitian menunjukkan efek langsung dan memiliki kekuatan penerapan
token untuk banyak masalah tingkah laku. Selain itu, penerapan token
harus memiliki sistem yang jelas seperti tingkah laku spesifik yang
diharapkan dan token yang didapatkan, sehingga partisipan dapat
mengetahui langkah-langkah yang dapat dilakukan untuk membantu diri
mereka (Corey, 1986, p. 186).

Untuk meningkatkan efektivitas token, token economy secara


bertahap dikurangi dan diganti dengan penguatan sosial, seperti pujian
sebagai cara meningkatkan motivasi internal karena kehidupan nyata
individu tidak me- nerapkan sistem token economy. Selain di institusi,
token economy dapar pula diterapkan di kelas dan di rumah (Corey,
1986, p. 186). Token economy dapat berbentuk hadiah dalam bentuk
kartu berharga setiap kali tingkah laku dikehendaki muncul. Misalnya
memakai pakaian, makan, belajar, mengatur tempat tidur sendiri.
Reinforcement diatur dalam interval atau ratio dan dapat divariasi
dengan hukuman yaitu mengambil kembali token yang telah didapatkan
bila melakukan kesalahan. Setelah token mencapai jumlah tertentu, lalu
dapat ditukar dengan reinforcement primer yang disukai.

2.b Langkah-langkah penerapan token economy, yaitu:

Penggunaan token economy mengikuti langkah-langkah sebagai berikut:

• Membuat analisis ABC.


• Menetapkan target perilaku yang akan dicapai bersama konseli.

19
• Penetapan besaran harga atau poin token yang sesuai dengan perilaku
target.
• Penetapan saat kapan token diberikan kepada konseli.
• Menetapkan perilaku awal program.
• Memilih reinforcement yang sesuai bersama konseli.
• Memilih tipe token yang akan digunakan, misalnya: bintang, stempel,
dan Kartu.
• Mengidentifikasi pihak yang terlibat dalam program seperti staf
sekolah, Guru, relawan, siswa, anggota token economy.
• Menetapkan jumlah dan frekuensi penukaran token, misal 25-75
token per Orang, dan menurun sampai 15-30 token perhari.
• Membuat pedoman pelaksanaan token economy (perilaku mana yang
akan diberi penguatan, bagaimana cara memberi penguatan dengan
token, kapan waktu pemberian, berapa jumlah token yang bisa
diperoleh, data apa yang harus di catat, kapan dan bagaimana data
dicatat, siapa administratornya, dan bagaimana prosedur evaluasinya).
• Pedoman diberikan kepada konseli dan staf.
• Lakukan monitoring.
Reward Waktu Poin

Meminjam buku cerita 2 hari 20

Menonton filem 1 kali 30

Main di time zone 1 kali 50

3.a Pembentukan (Shaping)

Shaping adalah membentuk tingkah laku baru yang sebelumnya


belum di- tampilkan dengan memberikan reinforcement secara
sistematik dan langsung setiap kali tingkah laku ditampilkan. Tingkah
laku diubah secara bertahap de-ngan memperkuat unsurunsur kecil
tingkah laku baru yang diinginkan secara berturut-turut sampai
mendekati tingkah laku akhir. Pada anak autistik yang tingkah laku
motorik, verbal, emosional, dan sosial kurang adaptif. Konselor

20
membentuk tingkah laku yang lebih adaptif dengan memberi
reinforcement primer maupun sekunder

3.b Langkah-Langkah Penerapan Shaping


• Langkah-langkah pembentukan tingkah laku (shaping) adalah sebagai
berikut:
• Membuat analisis ABC.
• Menetapkan target perilaku spesifik yang akan dicapai bersama
konseli.
• Tentukan bersama jenis reinforcement positif yang akan digunakan.
Membuat perencanaan dengan membuat tahapan pencapaian perilaku
mulai dari perilaku awal sampai perilaku akhir (misalnya bolos
menjadi tidak Bolos).
• Perencanaan dapat dimodifikasi selama berlangsungnya program
shaping
• Penetapan waktu pemberian reinforcement pada setiap tahap program,
Misal setelah berapa kali percobaan perilaku target dalam satu tahap.
3.c Penerapan Perencanaan Shaping
• Konseli harus diberitahu sebelum perencanaan dilakukan
• Beri penguatan segera pada saat awal perilaku
• Jangan pindah ke tahap berikut sebelum konseli menguasai perilaku
pada satu tahap.
• Bila belum yakin penguasaan perilaku konseli, dapat digunakan
aturan perpindahan tahap bila sudah benar 6 dari 10 percobaan.
• Jangan terlalu sering memberi penguatan pada satu tahap, dan tidak
memberi penguatan pada tahap lainnya.
• Kalau konseli berhenti bekerja, maka konselor dapat berpindah cepat
ke tahap berikut. Mungkin tahapan tidak tepat atau reinforcement
tidak efektif.
• Cek efektivitas penguatan.
• Atau apakah tahapan terlalu rendah.
• Atau perpindahan tahap terlalu cepat, sehingga harus kembali pada
tahap Sebelumnya.

21
• Bila untuk melanjutkan konseli mendapat kesulitan, maka dilatih
ulang Pada tahap yang dirasa sulit.
3.d Faktor Yang Mempengaruhi Efektivitas Shaping

Faktor-faktor yang mempengaruhi efektivitas pembentukan tingkah


laku (shaping) antara lain:

• Spesifikkan perilaku akhir yang ingin dicapai. Ketepatan pemilihan


perilaku Yang spesifik akan mempengaruhi ketepatan hasil.
• Memilih perilaku awal. Hal ini bertujuan untuk menetapkan level
pencapaian awal yang dimiliki, karena program shaping bertujuan
untuk mencapai perilaku secara bertahap.
• Memilih tahapan shaping, mulai perilaku awal bergerak ke perilaku
akhir. Contoh pada anak belajar mengucap kata daddy. Mulai dari
daa-da-da- dad-dad-ee- daddy.
 Tidak ada pedoman yang ideal; berapa kali percobaan dari satu
langkah ke langkah berikutnya.
 Tidak ada pedoman yang ideal; berapa banyak tahapan yang harus
digunakan pada program shaping
 Penetapan ditentukan fleksibel sesuai kecepatan belajar konseli
• Ketepatan jarak waktu perpindahan tahapan.
 Perpindahan dari langkah pertama ke langkah berikutnya harus se
suai dengan tahapan, jangan terlalu cepat dan jangan terlalu
lambat. Upayakan pindah saat perilaku sudah mantap
 Penetapan setiap tahapan jangan terlalu dekat/kecil jaraknya
 Tapi kalau terlanjur terlalu cepat pindah tahap dan perilaku yang
di- harapkan hilang atau tidak muncul, maka kembali ke tahap
sebelumnya

22
4.a Pembuatan Kontrak (Contingency Contracting)

Pembuatan kontrak adalah mengatur kondisi sehingga konseli


menampilkan tingkah laku yang diinginkan berdasarkan kontrak antara
konseli dan konselor.

4.b Prinsip Dasar Kontrak


• Kontrak disertai dengan penguatan.
• Reinforcement diberikan dengan Segera.
• Kontrak harus dinegosiasikan secara terbuka dan bebas serta
disepakati Antara konseli dan konselor.
• Kontrak harus fair.
• Kontrak harus jelas (target tingkah laku, frekuensi, lamanya kontrak).
• Kontrak dilaksanakan secara terintegrasi dengan program sekolah.
4.c Langkah-Langkah Pembuatan Kontrak
• Pilih tingkah laku yang akan diubah dengan melakukan analisis ABC.
• Tentukan data awal (baseline data) (tingkah laku yang akan diubah).
• Tentukan jenis penguatan yang akan diterapkan.
• Berikan reinforcement setiap kali tingkah laku yang diinginkan
ditampilkan Sesuai jadwal kontrak.
• Berikan penguatan setiap saat tingkah laku yang ditampilkan
menetap. Contoh kontrak 1
Senin Selasa Rabu Kamis Jumat Jumlah

Tidak
terlambat

Contoh kontrak 2
Kontrak tingkah laku
Tingkah laku yang bermasalah
....................................................................................................................
................
...

23
....................................................................................................................................
...
Tingkah laku yang diinginkan
....................................................................................................................................
...
....................................................................................................................................
...
Sangsi
....................................................................................................................................
...
....................................................................................................................................
...
Hadiah
....................................................................................................................................
...
....................................................................................................................................
...
Tanda tangan Siswa
:
.........................................................................................................................
Guru :
.........................................................................................................................
Pihak lain yang terlibat :
...............................................................................................

Contoh kontrak 3
Saya, .......... pada tanggal..........menyatakan bahwa saya setuju
melakukan hal-hal dibawah ini:
....................................................................................................................
................ ...
....................................................................................................................
................

24
...

........................................
........................................
Tanda tangan siswa Tanda tangan guru
Usaha saya dianggap berhasil bila:
....................................................................................................................
................
...
....................................................................................................................
................
...
Bila saya telah berhasil melakukan hal diatas, maka saya akan
mendapatkan
....................................................................................................................
................
...
....................................................................................................................
................
...
Tanggal berakhitnya kontrak, ........................................

........................................
........................................
Tanda tangan siswa Tanda tangan guru

25
5.a Penokohan (Modeling)

Modeling berakar dari teori Albert Bandura dengan teori belajar


sosial. Peng gunaan teknik modeling (penokohan) telah dimulai pada
akhir tahun 50-an, meliputi tokoh nyata, tokoh melalui film, tokoh
imajinasi (imajiner). Beberapa yang istilah yang digunakan adalah
penokohan (modeling), peniruan (imitation), dan belajar melalui
pengamatan (observational learning). Penokohan istilah menunjukkan
terjadinya proses belajar melalui pengamatan (observational learning)
terhadap orang lain dan perubahan terjadi melalui peniruan. Peniruan
(mitation) menunjukkan bahwa perilaku orang lain yang diamati, yang
ditiru, lebih merupakan peniruan terhadap apa yang dilihat dan diamati.
Proses belajar melalui pengamatan menunjukkan terjadinya proses
belajar setelah mengamati perilaku pada orang lain

Modeling merupakan belajar melalui observasi dengan menambahkan


atau mengurangi tingkah laku yang teramati, menggeneralisir berbagai
pengamatan sekaligus, melibatkan proses kognitif. Terdapat beberapa
tipe modeling, yaitu: modeling tingkah laku baru yang dilakukan melalui
observasi terhadap model tingkah laku yang diterima secara sosial
individu memperoleh tingkah laku baru. Modeling mengubah tingkah
laku lama yaitu dengan meniru tingkah laku model yang tidak diterima
sosial akan memperkuat/memperlemah tingkah laku tergantung tingkah
laku model itu diganjar atau dihukum. Modeling simbolik yaitu
modeling melalui film dan televisi menyajikan contoh tingkah laku,
berpotensi sebagai sumber model tingkah laku. Modeling kondisioning
banyak dipakai untuk mempelajari respons emosional. Pengamat
mengobservasi model tingkah laku emosional yang mendapat penguatan.
Muncul respons emosional yang sama dan ditujukan ke obyek yang ada
didekatnya saat ia mengamati model. Contoh emosi seksual yang timbul
akibat nonton film porno dilampiaskan ke obyek yang ada di dekatnya,
perkosaan atau pelecehan.

26
5.b Proses Penting Modeling
• Perhatian, harus fokus pada model. Proses ini dipengaruhi asosiasi
pengamat dengan model, sifat model yang atraktif, arti penting
tingkah laku yang diamati bagi si pengamat.
• Representasi, yaitu tingkah laku yang akan ditiru harus disimbolisasi
dalam ingatan. Baik bentuk verbal maupun gambar dan imajinasi.
Verbal memungkinkan orang mengevaluasi secara verbal tingkah
laku yang diamati, mana yang dibuang dan mana yang dicoba
lakukan. Imajinasi memungkinkan dilakukan latihan simbolik dalam
pikiran.
• Peniruan tingkah laku model, yaitu bagaimana melakukannya? Apa
yang harus dikerjakan? Apakah sudah benar? Hasil lebih pada
pencapaian tujuan belajar dan efikasi pembelajar.
• Motivasi dan penguatan. Motivasi tinggi untuk melakukan tingkah
laku Model membuat belajar menjadi efektif. Imitasi lebih kuat pada
ttingka Laku yang diberi penguatan daripada dihukum.
5.c Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam penerapan penokohan
(modeling)
• Ciri model seperti; usia, status sosial, jenis kelamin, puan, penting
dalam meningkatkan imitasi. Keramahan, dan kemampuan, penting
dalam meningkatkan imitasi.
• Anak lebih senang meniru model seusianya daripada model dewasa.
• Anak cenderung meniru model yang standar prestasinya dalam
jangkauannya.
• Anak cenderung mengimitasi orang tuanya yang hangat dan terbuka.
Gadis lebih mengimitasi ibunya.
5.d Prinsip-Prinsip Modeling
• Belajar bisa diperoleh melalui pengalaman langsung dan bisa tidak
llangsun Dengan mengamati tingkah laku orang lain berikut
konsekuensinya.
• Kecakapan sosial tertentu bisa diperoleh dengan mengamati dan
mmenconto Tingkah laku model yang ada.

27
• Reaksi-reaksi emosional yang terganggu bisa dihapus dengan
mengamati orang lain yang mendekati obyek atau situasi yang
ditakuti tanpa mengalami akibat menakutkan dengan tindakan yang
dilakukannya.
• Pengendalian diri dipelajari melalui pengamatan atas model yang
ddikena Hukuman.
• Status kehormatan model sangat berarti.
• Individu mengamati seorang model dan dikuatkan untuk mencontoh
tingkah Laku model.
• Modeling dapat dilakukan dengan model simbol melalui film dan alat
visual lain.
• Pada konseling kelompok terjadi model ganda karena peserta bebas
meniru Perilaku pemimpin kelompok atau peserta lain.
• Prosedur modeling dapat menggunakan berbagai teknik dasar
modifikasi perilaku.
Kasus yang diterapi dengan modeling antara lain: penderita fobia,
keter- gantungan atau kecanduan obat-obatan, ketergantungan atau
kecanduan alko- hol, gangguan kepribadian berat psikosis, kesulitan anak
adaptasi di sekolah, dan takut sekolah.

5.e Pengaruh Modeling


• Pengambilan respons atau keterampilan baru dan memperlihatkannya
dalam perilaku baru.
• Hilangnya respons takut setelah melihat tokoh melakukan sesuatu
yang menimbulkan rasa takut konseli, tidak berakibat buruk bahkan
berakibat positif.
• Melalui pengamatan terhadap tokoh, seseorang terdorong untuk
melakukan sesuatu yang mungkin sudah diketahui atau dipelajari dan
tidak ada hambatan.
5.f Macam-Macam Penokohan
• Penokohan nyata (live model) seperti: terapis, guru, anggota keluarga
atau tokoh yang dikagumi dijadikan model oleh konseli.

28
• Penokohan simbolik (symbolic model) seperti: tokoh yang dilihat
melalui film, video atau media lain.
• Penokohan ganda (multiple model) seperti: terjadi dalam kelompok,
seorang anggota mengubah sikap dan mempelajari sikap baru setelah
mengamati anggota lain bersikap.
5.g Langkah-Langkah
• Menetapkan bentuk penokohan (live model, symbolic model, multiple
model).
• Pada live model, pilih model yang bersahabat atau teman sebaya
konsell yang memiliki kesamaan seperti: usia, status ekonomi, dan
penampilan fsik. Hal inı penting terutama bagi anak-anak.
• Bila mungkin gunakan lebih dari satu model.
• Kompleksitas perilaku yang dimodelkan harus sesuai dengan tingkat
perilaku konseli. Kombinasikan modelıng dengan aturan, instruksı,
behavioral rehearsal, dan penguatan.
• Pada saat konseli memperhatikan pcnampilan tOKOn berikan
penguata alamiah.
• Bila mungkin buat desain pelatihan untuk Konseli menirukan model
secara tepat, sehingga akan mengarahkan konseli pada penguatan
alamiah. Bila tidak maka buat perencanaan pemberian penguatan
untuk setiap peniruan tingkah laku yang tepat.
• Bila perilaku bersifat kompleks, maka episode modeling dilakukan
mulai dari yang paling mudah ke yang lebih sukar.
• Skenario modeling harus dibuat realistik.
• Mclakukan pemodelan di mana tokoh menunjukkan perilaku yang
menim bulkan rasa takut bagi konselı (dengan sikap manis, perhatian,
bahasa yang lembut dan perilaku yang menyenangkan konseli).

Tingkah laku yang dimoditikası dengan modeling adalah agresif,


merokok, membolos, tidak mengerjakan tugas, terlambat masuk sekolah,
berbicara sem- barangan (nyeletuk), meminjam barang teman tanpa izin,
fobia, dan takut.

29
6.a Pengelolaan Diri (Self Management)

Pengelolaan diri (self management) adalah prosedur di mana individu


mengatur perilakunya sendiri. Pada teknik ini individu terlibat pada
beberapa atau ke seluruhan komponen dasar yaitu: menentukan perilaku
sasaran, memonitor perilaku tersebut, memilih prosedur yang akan
diterapkan, melaksanakan prosedur tersebut, dan mengevaluasi
efektivitas prosedur tersebut (Sukadjı, 1983, p. 96).

Masalah-masalah yang dapat ditangani dengan menggunakan teknik


pengelolaan diri (self management) di antaranya adalah:

• Perilaku yang tidak berkaitan dengan orang lain tetapi mengganggu


orang lain dan diri sendiri.
• Perilaku yang yang Sering muncul tanpa diprediksi waktu
kemunculannya, sehingga kontrol dan orang lain menjadi kurang
efektif. Seperti menghentikan merokok dan diet.
• Perilaku sasaran berbentuk verbal dan berkaitan dengan evaluasi diri
dan kontrol diri. Misalnya terlalu mengkritik diri sendiri.

Tanggung jawab atas perubahan atau pemeliharaan tingkah laku


adalah tanggung 1awab konseli. Contohnya adalah konseli yang sedang
menulis skripsi (Sukadji, 1983, p. 95). Dalam penerapan teknik
pengelolaan diri (self management) tanggung awab keberhasilan
konseling berada di tangan konseli. Konselor berperan sebagai pencetus
gagasan, fasilitator yang membantu merancang program serta motivator
bagi konseli (Sukadji, 1983, p. 96).

Dalam pelaksanaan pengelolaan diri biasanya diikuti dengan


pengaturan lingkungan untuk mempermudah terlaksananya pengelolaan
diri. Pengaturan lingkungan dimaksudkan untuk menghilangkan faktor
penyebab (antecedent) dan dukungan untuk perilaku yang akan
dikurangi. Pengaturan lingkungan dapat berupa:

30
• Mengubah lingkungan hsik sehingga perilaku yang tidak dikehendaki
sulit dan tidak mungkin dilaksanakan. Misalnya orang yang suka
“ngemil” mengatur lingkungan agar tidak tersedia makanan yang
memancing keinginan untuk “ngemil”.
• Mengubah lingkungan sosial sehingga lingkungan sosial ikut
mengontrol tingkah laku konseli.
• Mengubah lingkungan atau kebiasaan sehingga menjadi perilaku yang
tidak dikehendaki hanya dapat dilakukan pada waktu dan tempat
tertentu saja (Sukadi, 1983, p. 97-98).
6.b Tahap-Tahap Pengelolaan Diri

Pengelolaan diri biasanya dilakukan dengan mengikuti langkah-


langkah sebagai berikut:

• Tahap monitor diri atau observasi diri

Pada tahap ini konseli dengan sengaja mengamati tingkah lakunya


sendiri serta mencatatnya dengan teliti. Catatan ini dapat
menggunakan daftar cek atau catatan observasi kualitatif. Hal-hal
yang perlu diperhatikan oleh konseli dalam mencatat tingkah laku
adalah trekuensi, intensitas, dan durasi tingkah laku.

• Tahap evaluasi diri

Pada tahap ini konseli membandingkan hasil catatan tingkah laku


dengan target tingkah laku yang telah dibuat oleh konseli.
Perbandingan ini bertujuan untuk mengevaluasi efektivitas dan
efisiensi program. Bila program tersebut tidak berhasil, maka perlu
ditinjau kembali program tersebut, apakah target tingkah laku yang
ditetapkan memiliki ekspektasi yang terlalu tinggi, perilaku yang
ditargetkan tidak cocok, atau penguatan yang diberikan tidak sesuai.

• Tahap pemberian penguatan, penghapusan atau hukuman

Pada tahap ini konseli mengatur dirinya sendiri, memberikan


penguatan, menghapus dan memberikan hukuman pada diri sendiri.

31
Tahap ini merupakan tahap yang paling sulit karena membutuhkan
kemauan yang kuat dari konseli untuk melaksanakan program yang
telah dibuat secara kontinyu (Sukadji, 1983, p. 99-101).

7.a Penghapusan (Extinction)

Penghapusan (extinction) adalah menghentikan reinforcement pada


tingkah laku yang sebelumnya diberi reintorcement.
Klasifikasi Tingkah laku Konsekuensi Kemungkinan efek
awal

Extinction Jim mencuci Ayahnya tidak Jim akan berhenti


(Penurunan) mobil ayahnya peduli mencuci mobil
ayahnya

Extinction Jason meletakan Joe tidak Jason akan berhenti


(Penurunan) lem ditempat memperdulikannya meletakkan lem di
duduk joe kursi

temantemannya

7.a Langkah-Langkah
• Tentukan tingkah laku yang akan dihentikan dengan analisis ABC.
• Bila tingkah laku itu ditampilkan, guru atau orangtua diam dan tidak
memberikan indikasi bahwa guru atau orangtua melihat tingkah laku
tersebut.
• Extincition akan lebih kuat bila dikombinasikan dengan teknik
penguatan positif.
7.b Faktor yang mempengaruhi pelaksanaan penghapusan
• Kontrol terhadap pemberi penguatan bagi perilaku yang akan
diturunkan/ dihapuskan. Saat perilaku diabaikan jangan sampai ada
orang lain yang memberi perhatian/penguatan pada perilaku yang
tidak diharapkan.
• Penurunan perilaku dikombinasi dengan penguatan positif bagi
perilaku altrnatif. Penguatan diberi secara gradual. Misalnya saat anak
menangis menjerit-jerit diabaikan, kemudian setelah anak diam

32
menangis selama 15 detik 25 detik I menit kemudian diberi penguatan
positif.
• Lakukan pada situasi yang memaksimalkan program extinction dan
me minimalkan situasi yang memungkinkan pihak lain memperkuat
perilaku yang tidak diharapkan. Misalnya anak temper tantrum di
super marker akan sulit ditenangkan dibandingkan dilakukan di
rumah.
• Memberi instruksi dengan membuat aturan. Contoh suami setiap
pulang kantor selalu mengeluh kemacetan lalu lintas. Istri
mengatakan “Tono, Kemacetan terjadi setiap hari dan tidak ada yang
bisa dilakukan dengan mengeluh. Saya lebih suka bicara dengan
kamu tentang hal lain. Tapi kalau Satu saat nanti kamu pulang dan
komplain lagi tentang lalu lintas, saya akan mengabaikannya”. Ini
perlu dilakukan beberapa kali agar benar-benar 1ar menurun.
• Extinction akan berlangsung cepat setelah diikuti continuoHS
reinforcement pemberian penguatan setiap kali perilaku diharapkan
muncul. Contohnya anak meminta perhatian saat ibu sedang bicara di
telepon, ibu mengabaikan. Begitu anak diam dan tenang, ibu langsung
memperhatikan dan memberikan apa yang dibutuhkan anak.
• Pemberian continuous reinforcement pada extinction akan lebih cepat
menurunkan perilaku yang tidak diharapkan dibandingkan
intermittent reinforcement
• Extinction bisa menghasilkan perilaku agresi. Hal ini dapat
diminimalisir apabila mengkombinasi antara penghapusan
(extinction) dengan penguatan positif (positive reinforcement) bagi
perilaku alternatif yang muncul.
• Perilaku yang sudah hilang dapat muncul kembali setelah beberapa
waktu. Ini disebut spontaneous recovery. Bila hal ini terjadi maka
perlu dilakukan kembali atau dilanjutkan program penghapusan
(extinction).

33
• Prinsip penting dalanm modihkasi tingkah laku adalah: bila ingin
perilaku muncul lebih sering maka beri dia penguatan. Bila ingin
perilaku menurun atau hilang, maka abaikanlah.

8.a Pembanjiran (Flooding)

Pembanjiran (flooding) merupakan teknik modifikasi perilaku


berdasarkan prin sip teori yang dikemukakan oleh B. E. Skinner.
Pembanjiran (Flooding) adalah membanjiri konseli dengan situasi atau
penyebab kecemasan atau tingkah laku tidak dikehendaki, sampai
konseli sadar bahwa yang dicemaskan tidak terjadi. Banjiran harus
dilakukan hati-hati karena mungkin akan terjadi reaksi emosi cangat
tingg1. Pembanjiran sesuai untuk menangani kasus fobia. Tujuannya
untuk sa enurunkan tingkat rasa takut yang ditimbulkan, dengan
menggunakan stimulus menu vang dikondisikan (condition stimulus)
yang dimunculkan secara berulang-ulang ya cehingga terjadi penurunan,
tanpa memberi penguatan (reinforcement).

8.b Cara-Cara Penerapan Pembanjiran (Flooding)

Terdapat dua cara melakukan pembanjiran yang dijadikan alternatif


bagi konselor dalam menerapkan pembanjiran (flooding).
• Invivo.

Yaitu, konselor mencoba membawa konseli hadir pada situasi atau


stimulus yang menimbulkan rasa rakut dengan segera selama terapi
berlangsung, dilakukan selama 1 jam atau lebih setiap sesinya,
disertai pencegahan terhadap perilaku untuk menghindari atau lari
dari situasi tersebut. Pada kasus-kasus dengan tingkat rasa takut yang
sangat tinggi, flooding dapat dilakukan secara bertahap. Misal takut
akan ketinggian, dimulai dengan mengajak konseli melihat ke jendela
dari ruang lantai 1, lantai 2, sampai ke lantai 10.

• Imajeri

34
Yaitu, stimulus yang menakutkan bisa dihadirkan juga dengan
memba- yangkan, konselor akan membuat gambaran situasi yang
semakin me ningkatkan rasa takut dan semakin mencemaskan.
Pengalaman konseli membayangkan tanpa disertai akibat yang
dahsyat dapat menurunkan ting kat rasa takutnya, dan ia akan siap
menghadapi situasi sebenarnya. Teta pi berdasarkan pendapat ahli,
proses mengalami langsung lebih efektif. Tekn ik ini biasa digunakan
untuk kasus-kasus fobia, obsesif, psikotik. Tekn ik looding
dikembangkan oleh Stampfl 1975 dengan nama terapi implosif.
8.c Prosedur terapi implosif

Langkah-langkah penerapan terapi implosif adalah:

• Pencarian stimulus yang memicu gejala.


• Menaksir Bagaimana gejala-gejala berkaitan dan bagaimana gejala-
gejala membentuk perilaku konseli.
• Meminta konseli membayangkan sejelas-jelasnya apa yang dijabarkan
tanpa disertai celaan atas kepantasan situasi yang dihadapl.
• Bergerak semakin dekat kepada ketakutan paling kuat yang dialami
konseli, dan meminta konseli untuk membayangkan apa yang paling
ingin di- hindarinya.
• Mengulang prosedur tersebut sampai kecemasan tidak muncul lagi
dalam diri konseli.

9.a Penjenuhan [Satiation]

Penjenuhan (satiation) adalah varian flooding untuk self control.


Kontrol diri (self control) berasumsi bahwa tingkah laku dipengaruhi
variabel eksternal. Kontrol diri adalah bagaimana individu mengontrol
variabel eksternal yang menentukan tingkah laku. Hal ini dilakukan
dengan memindahkan atau meng- hindar (removinglavoiding) dari
situasi berpengaruh buruk. Memperkuat diri (reinforce oneself) yaitu
memberi reinforcement kepada diri sendiri, terhadap “prestasi” dirinya.

35
Janji nonton kalau prestasi belajar baik. Self punishment yaitu
menghukum diri sendiri bisa hukuman fisik atau mengurangi hak-haknya
seperti menonton TV atau membeli makanan atau barang yang
diinginkannya.

Penjenuhan (satiation) adalah membuat diri jenuh terhadap suatu


tingkah laku, sehingga tidak lagi bersedia melakukannya. Menurunkan
atau menghi- langkan tingkah laku yang tidak diinginkan dengan
memberikan reinforcement Semakin banyak dan terus menerus, sehingga
individu mera-sa puas dan ak akan melakukan tingkah laku yang tidak
dinginkan lagi.

Contoh:
• Ani suka sekali makan permen, untuk menurunkan kebiasaan
tersebut, ia diberi permen sebanyak-banyaknya sampai ia tidak ingin
lagi permern, karena nilai permen sudah berkurang.
• Agus selalu meminjam alat tulis temannya tanpa izin. Pada hari
penerapan satiation, guru mempersiapkan alat tulis di meja Agus.
Setelah jam pertama guru memberi lagi tiga alat tulis, hal ini
berlangsung sampai jam sekolah berakhir. Pada batas tertentu, Agus
tidak memburuhkan alat rulis lagi, karena nilai dari alat rulis tersebut
sudah berkurang

10.a Hukuman [Punishment]

Hukuman atau punishment merupukan intervensi operant-


conditioning yang digunakan konselor untuk mengurangi tingkah laku
yang tidak diinginkan. Hukuman terdiri dari stimulus yang tidak
menyenangkan sebagai konsekuensi dari tingkah laku. Skinner
berkeyakinan bahwa hukuman kerap kali digunakan bukan untuk
menghilangkan tingkah laku yang tidak dinginkan tetapi hanya
mengurangi kecenderungan tingkah laku. Ketika hukuman dihilangkan
maka tingkah laku tersebut akan muncul kembali (Corey, 1986, p.
186).

36
Klasifikasi Tingkah laku Konsekuensi Kemungkinan efek
awal
Punishement Gina duduk Gina dicubit ibu Gina tidak lagi
(Hukuman) setiap kali duduk duduk ditangan
ditangan kursi
ditangan kursi kursi

Akan tetapi, hukuman memiliki efek emosional yang negatif seperti


kema rahan dan depresi. Bila hukuman digunakan harus diiringi
dengan penguatan Positif. Pada penelitian yang dilakukan oleh Skinner
menunjukkan bahwa penguatan positif memberikan efek yang lebih
efektif dibanding aversif dan hukuman (Corey, 1986, p.
186).

10.b Hal-hal yang harus diperhatikan

Dalam pemberian punishment terdapat beberapa prinsip yang harus


diperhatikan yaitu:
• Hukuman diberikan segera setelah perilaku yang tidak dinginkan
muncul pada satu situasi, agar individu sedikit memiliki keinginan
untuk mengulang kembali perilaku tersebut bila berada pada situasi
yang sama.
• Penerapan punisbment dalam pengubahan tingkah laku, lebih kepada
fungsi konsekuensi yang memberi efek penurunan perilaku.
• Pemberian hukuman bisa dilakukan sebagai tambahan atas
konsekuensi tingkah laku
(tambahan tugas) atau penghilangan sesuatu yang menyęnangkan
bagi siswa (mengikuti kegiatan ekstrakurikuler diganti dengan tugas
tambahan).
10.c Efek samping emosional pemberian hukuman
• Tingkah laku yang tidak dinginkan hanya ditekan saat ada
hukuman,
• Jika tingkah laku alternatif tidak muncul, konseli akan menarik diri.
• Pengaruh hukuman bisa jadi digeneralisasi pada tingkah laku lain
yang berkaitan dengan tingkah laku yang dihukum. Misal anak

37
dihukum karena terlambat, jadi tidak suka sekolah, semua pelajaran,
semua guru dsb.
Terdapat tiga metode operan yang digunakan untuk mengurangi
perilaku, yaitu time-0ut, overcorrection dan response cost.
1. Hukuman fisik

Bentuknya bisa stmulus aversif, hukuman aversif, aversif


sederhana. Jenis hukuman aversit yaitu kejut listrik (electric shock),
suara keras, diber amoniak, ditarik rambutnya, dan cubit yang
disebut unconditioned punishers

2. Timeout

Yaitu pemberian hukuman dengan memisahkan individu dari situas

3. Reprimands

Stimulus verbal negatit Jangan! Tu jelek!) diterapkan saat perilaku


yang tidak diharapkan muncul.

4. Response cost

Membebankan “biaya” apabila individu melakukan perilaku yang


tidak diharapkan, misalnya tidak boleh pinjam buku perpustakaan,
dan memberi tugas tambahan di rumah. Biasa digunakan sebagai
bagian dari penerapan token economy, dengan pengurangan atau
pemotongan nilai token.

Jenis hukuman fsik, time out, dan reprimands banyak digunakan


untuk mengubah perilaku agresit atau sebagai stimulasi diri anak
dengan gangguan perkembangan.

38
11.a Time-Out

Merupakan teknik menyisihkan peluang individu untuk


mendapatkan penguatan positif. Teknik ini biasa digunakan di kelas, di
mana siswa yang berperilaku tidak diharapkan diasingkan atau
dipindahkan dari siswa-siswa yang lain pada waktu yang spesiik dan
terbatas. Sehingga dalam keadaan terasing, individu tidak lagi
berupaya untuk melakukan perilaku yang dapat menarik perhati an
guru maupun temantemannya.
11.b Tipe-Tipe Time Out
• Exchusionary atau ekslusi
Memindahkan individu dari situasi yang memberi peluang
mendapat pe. Nguatan untuk waktu singkat ke dalam ruang time
Out. Lamanya waktu time out sebaiknya tidak terlalu lama.
Berdasarkan hasil penelitian, lima menit adalah waktu yang efektit
dalam pemberian time out. Kalau dalam siatuasi belajar di kelas,
berarti individu dipindahkan dari ruang kelas. Atau dipindahkan ke
ruang time out tertentu (isolasi) misalnya perpustakaan atau ruang
lain.

• Nonexclusionary

Individu dipindahkan untuk beberapa saat pada situasi dengan


sedikit penguatan. Contoh ketika siswa mengganggu kelas, tidak
diperbolehkan berpartisipasi dalam aktivitas kelas dan diabaikan
oleh guru selama beberapa saat. Setelah itu boleh kembali
berpartisipasi. Dapat disebut observational; menempatkan siswa di
luar aktivitas (tidak boleh mengikuti) tapi ia masih bisa melihat
aktivitas tersebut.

Contoh: menempatkan siswa di pojok kelas atau menyuruhnya


menundukkan kepala atau tetap di tempat duduk tapi tidak boleh
ikut aktivitas beberapa saat.

39
Contoh format time-out
Siswa : ..............................................................................................
Guru : ..............................................................................................
Tanggal : ..............................................................................................

Waktu Tingkah laku Tingkah laku Tingkah


sebelum time- selama laku setelah
Masuk Keluar out timeout time out

11.c Langkah-Langkah Time Out

Terdapat beberapa langkah yang dapat dijadikan acuan bagi


konselor dan guru dalam melakuk time out, yaitu: .
• Menseleksi perilaku spesihk yang akan diubah, misalnya: lompat
dari bangku.

• Memaksimalkan kondisi untuk memunculkan perilaku alternatif,


sehingga dapat diberi penguatan saat ini dilakukan individu sebagai
pengganti peri laku yang tidak diharapkan.

• Meminimalisır penyebab timbulnya perilaku yang mendapat


hukuman, dengan mengidentihkasi di awal program. Serta
menghilangkan peluang munculnya penguatan bagi perilaku yang
tidak diharapkan.
• Memilih hukuman yang efektif, dengan memastikan menghukum
segera saat perilaku tidak diharapkan muncul, dan diberikan setiap
kali perilaku tersebut muncul, dan tidak diberikan bersamaan
dengan penguatan.

40
• Penerapan hukuman dilakukan dengan aturan yang jelas; beritahu
konseli semua program yang akan dilakukan, dan katakan ia akan
diberi hukuman segera setiap kali perilaku tidak diharapkan
muncul, dan akan mendapat penguatan. Hindari hukuman diberi
bersamaan dengan reinforcement, administrasikan dengan baik
pemberian hukuman.
• Program dilakukan dengan langkah dan aturan main yang jelas,
lakukan pencatatan data, dan lakukan pemantauan.

12.a Terapi Aversi

Pada kontrol diri aversi dilakukan sendiri oleh konseli, tetapi pada
terapi pengaturan kondisi aversi dilakukan terapis. Misalnya remaja
senang berkelahi, ditunjukkan foto teman yang kesakitan, saat yang
sama diberi kejutan listrik yang menimbulkan rasa sakit. Dengan terapi
aversi diharapkan terjadi proses pembalikan reinforcement dari
perasaan senang atau bangga menyakiti orang Lain, menjadi
reinforcement seperti iba, takut, rasa berdosa melihat orang lain terluka
dan merasa sakit karena listrik. Stimuli yang tidak disukai (aversive
stimuli) akan menciptakan stimulus yang tidak menyenangkan
bersamaan dengan stimulus yang ingin dikontrol.
Terapi aversi merupakan teknik yang bertujuan untuk meredakan
gangguan gangguan behavioral yang spesifik, melibatkan
pengasosiasian tingkah laku simtomatik dengan suatu stimulus yang
menyakitkan sampai tingkah laku yang tidak diinginkan terhambat
kemunculannya. Stimulus aversi biasanya berupa hukuman dengan
kejutan listrik atau ramuan yang membuat mual. Kendali aversi bisa
melibatkan penarikan penguatan positit atau penggunaan hukuman.

Area penggunaan aversi adalah untuk tingkah laku maladaptif an-


tara lain; ketergantungan alkohol, obat-obatan, merokok, obsesi,
kompulsi, berjudi, homoseksualitas, penyimpangan seksual seperti

41
pedofilia. Merupakan teknik utama untuk alkoholik, melalui pemberian
ramuan yang menimbulkan mual ke dalam alkohol yang diminum.
Prosedur aversif menyajikan cara-cara menahan respons maladaptif
pada satu periode, sehingga ada kesempatan untuk memperoleh
tingkah laku alternatif yang adaptif.

12.b Hal yang harus diperhatikan dalam penggunaan terapi aversi

Beberapa poin di bawah ini perlu menjadi perhatian bagi konselor


dalam menerapkan terapi aversi, di antaranya adalah:

• Hukuman jangan sering digunakan, meskipun konseli


menginginkannya. Apabila masih ada alternatif baiknya digunakan
cara-cara pemberian rein forcement positif, untuk mengurangi efek
samping hukuman.
• Bila menggunakan hukuman, perumusan tingkah laku alternatif
harus spesifik dan jelas.
• Selain itu hukuman digunakan dengan cara cara yang tidak
mengakibatkan konseli merasa ditolak sebagai pribadi.
• Konseli harus tahu bahwa konsekuensi aversif diasosiasikan dengan
tingkah laku maladaptif spesifik.
12.c Jenis konseling aversi

Berbagai media yang dapat dilakukan dalam pelaksanaan konseling aversi


yaitu:

• Aversi kimia, yaitu dengan memasukkan bahan kimia yang


menimbulkan mual ke dalam alkohol.
• Kejutan listrik, yaitu dengan menggunakan 2 elektroda yang
dipasang di lengan, betis, atau jari
• Covert Sensitization, yaitu dengan meminta konseli membayangkan
perilaku maladaptif yang biasa dilakukan dan akibat negatif untuk
menimbulkan rasa menyesal atau merasa bersalah.

42
13.a Disensitisasi Sistematis

Disensitisasi sistematis digunakan untuk menghapus rasa cemas dan


tingkah laku menghindar. Disensitisasi sistematis dilakukan dengan
menerapkan pengkondisian klasik yaitu dengan melemahkan kekuatan
stimulus penghasil kecemasan, gejala kecemasan bisa dikendalikan
dan dihapus melalui penggantian stimulus. Melibatkan teknik
relaksasi. Melatih konseli untuk santai dan meng asosiasikan keadaan
santai dengan pengalaman pembangkit kecemasan yang dibayangkan
atau divisualisasi.

13.b Langkah-langkah
• Analisis tingkah laku yang membangkitkan kecemasan. Menyusun
tingkat kecemasan.
• Membuat daftar situasi yang memunculkan/meningkatkan taraf
kecemas asan mulai dari yang paling rendah paling tinggi.
• Melatih relaksasi konseli yang digariskan Yacobsen dan dituraikan
rinci oleh Wolpe yaitu dengan berlatih pengenduran orot dan bagian
tubuh dengan titik berat wajah, tangan, kepala, leher, pundak,
punggung, perut, dada, dan anggota badan bagian bawah.
• Konseli mempraktikkan 30 menit setiap hari, hingga terbiasa untuk
santai ntai dengan cepat.
• Pelaksanaan desensitisasi konseli dalam santai dan mata tertutup.
• Meminta konseli membayangkan dirinya berada pada satu situasi
yang netral, menyenangkan, santai, nyaman, tenang. Saat konseli
santai diminta membayangkan situasi yang menimbulkan
kecemasan pada tingkat yang paling rendah.
• Dilakukan terus secara bertahap sampai tingkat yang memunculkan
rasa cemas, dan dihentikan.

43
• Kemudian dilakukan relaksasi lagi sampai konseli santai, diminta
mem- bayangkan lagi pada situasi dengan tingkat kecemasan yang
lebih tinggi dari sebelumnya.
• Terapi selesai apabila konseli mampu tetap santai ketika
membayangkan situasi yang sebelumnya paling menggelisahkan
dan mencemaskan.
• Cocok untuk kasus fobia, takut ujian, impotensi, frigiditas,
kecemasan neurotik, ketakutan yang digeneralisasi.
13.c Penyebab kegagalan disensitisasi sistematis
• Namun, disensitisasi sistematis mungkin saja tidak berhasil
dilakukan pada beberapa konseli yang disebabkan oleh:
• Konseli yang mengalami kesulitan dalam melakukan relaksasi
• Tingkatan kecemasan yang tidak relevan atau tidak tepat saat
disstun bersama konseli
• Ketidak memadaian dalam membayangkan (Wolpe 1969)

44
BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN
Perkembangan pendekatan behavior diawali pada tahun 1950-an dan
awal 1960-an sebagai reaksi menentang perspektif psikoanalisis yang
dominan. Pendekatan behavioral terdiri dari tiga trend utama, yaitu: trend l:
kondisio- ning klasikal (classical conditioning), trend I1: kondisioning
operan (operant conditioning), dan trend Il: terapi kognitif (cognitive
therapy). Terdapat tiga proses yang dipakai untuk regulasi diri yaitu:
memanipulasi eksternal, memonitor, dan mengevaluasi tingkah laku
internal. Tingkah laku merupakan hasil pengaruh resiprokal faktor
eksternal dan internal.

Tahap-tahap proses regulasi internal mengikuti tahapan adalah:


observasi diri, penilaian tingkah laku, standar pribadi, perbandingan sosial,
orang lain, dan kolektif serta respons diri (self response). Struktur
kepribadian manusia terdiri dari: sistem self (self system), regulasi diri (self
regulation), efikasi diri (self effication), dan efikasi kolektif (collective
effcacy) Sumber efikasi diri berasal dari: pengalaman menguasai suatu
prestasi, pengalaman vikarius, persuasi sosial, dan pembangkitan emosi.

45
Penggunaan istilah bebavioral counseling pertama kali dikemukakan
oleh Krumboltz pada tahun 1964. Pendekatan behavioral berpandangan
bahwa setiap tingkah laku dapat dipelajari. Model-model tingkah laku
adalah model psikodinamika, model biofisik Ik, model lingkungan, dan
model tingkah laku. Peran konselor dalam konseling behavioral adalah
aktif, direktif dan menggunakan pengetahuan ilmiah untuk menemukan
solusi dari persoalan individu. Konseling behavioral memiliki empat tahap
yaitu: assessment, goal setting, technique implementation, dan evaluation-
termination.

Teknik konseling behavioral terdiri dari dua jenis, yaitu teknik untuk
meningkatkan tingkah laku dan untuk menurunkan tingkah laku. Teknik
untuk meningkatkan tingkah laku antara lain: penguatan positif, token
economy, pembentukan tingkah laku (shaping), pembuatan kontrak
(contingency contracting), Sedangkan teknik konseling untuk menurunkan
tingkah laku adalah: penghapusan (extinction), time-ou, pembanjiran
(flooding), penjenuhan (satiation), hukuman (punishment), terapi aversi
(aversif therapy), dan disensitisasi sistematis.

46
DAFTAR PUSTAKA

Gantian Komalasari, Eka Wahyuni, & Karsih. (2016). Teori dan Teknik
Konseling. Jakarta Barat: Indeks

47

Anda mungkin juga menyukai