Anda di halaman 1dari 60

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Landasan Teoritis

2.1.1. Pengertian Jasa

Jasa sering dipandang sebagai suatu fenomena yang rumit, karena kata jasa itu

sendiri mempunyai banyak pengertian, mulai dari pelayanan personal (personal Ser-

vice) sampai jasa sebagai suatu produk. Sejauh ini sudah banyak pakar pemasaran yang

telah berusaha mendefinisikan jasa. Berikut ini akan di kemukakan beberapa di-

antaranya :

Kotler, (1997; 83) jasa adalah setiap tindakan atau perbuatan yang dapat

ditawarkan oleh suatu pihak kepada pihak lain, yang pada dasarnya bersifat tidak berwujud

(Intangibility) dan tidak menghasilkan kepemilikan sesuatu. Perubahan kondisi mungkin

saja terjadi dan produksi jasa bisa saja berhubungan atau bisa pula tidak berkaitan dengan

pihak lain.

Payne (2001; 8) jasa adalah merupakan suatu kegiatan yang memiliki beberapa

unsur tidak berwujud (intangibility) yang berhubungan dengannya, yang melibatkan beber-

apa interaksi dengan konsumen atau dengan properti dalam kepemilikannya, dan tidak

menghasilkan transfer kepemilikan. Perubahan kondisi mungkin saja terjadi dan produksi

jasa bisa saja berhubungan atau bisa pula tidak berkaitan dengan produk fisik.

Zithaml dan Bitner (1996 dalam Yasid, 2001; 4) mengatakan bahwa jasa adalah

mencakup semua aktivitas ekonomi yang outputnya bukanlah produk atau konstruk fisik,

yang secara umum konsumsi dan produksinya dilakukan pada waktu yang sama (simultan),

dan nilai tambah yang diberikannya dalam bentuk yang secara prinsip intangible (kenya-

manan, hiburan, kecepatan dan kesehatan) bagi pembeli pertamanya.


80
Jasa merupakan pemberian suatu kinerja atau tindakan tak kasat mata dari satu pi-

hak kepada pihak lain. Pada umumnya jasa di produksi dan dikonsumsi secara bersamaan,

dimana interaksi pemberi jasa dan panorama jasa mempengaruhi hasil jasa tersebut.

2.1.2. Klasifikasi Jasa

Sebagai konsekuensi dari adanya berbagai macam variasi bauran pemasaran antara

barang dan jasa, maka klasifikasi jasa dapat dilakukan berdasarkan tujuh kriteria seperti

yang dikemukakan oleh Lovelock ( 1987, dalam Tjiptono, 2002; 8 ) yaitu :

1. Segmen Pasar

Berdasarkan segmen pasar, jasa dapat dibedakan menjadi jasa kepada konsumen

akhir (misalnya taksi, asuransi jiwa dan pendidikan) dan jasa kepada konsumen

organisasional (misalnya jasa akuntansi dan perpajakan, jasa konsultasi manajemen

dan jasa konsultasi hukum).

2. Tingkat keberwujudan (Tangibility)

Kriteria ini berhubungan dengan tingkat keterlibatan produk fisik dengan konsumen.

Berdasarkan kriteria ini jasa dapat dibedakan menjadi 3 (tiga) macam yaitu :

a. Rented good service

Dalam jenis ini, konsumen menyewa dan menggunakan produk-produk tertentu

berdasarkan tarif tertentu selama jangka waktu tertentu pula. Konsumen hanya

dapat menggunakan produk tersebut, karena kepemilikannya tetap berada

pada pihak perusahaan yang menyewakannya (misalnya penyewaan mobil, laser

disc, villa dan apartemen).

b. Owned goods service

81
Pada owned goods service produk-produk yang dimiliki konsumen direparasi,

ditingkatkan unjuk kerjanya atau dipelihara/ dirawat oleh perusahaan jasa. Je-

nis jasa ini juga mencakup perubahan bentuk pada produk yang dimiliki kon-

sumen misalnya jasa reparasi (arloji, mobil, sepeda motor, computer), pencucian

mobil, perawatan taman, pencucian pakaian dan lain-lain.

3. Keterampilan penyedia jasa

Berdasarkan tingkat keterampilan penyedia jasa, dimana jasa terdiri atas profes-

sional service (misalnya konsultan manajemen, konsultan hukum, konsultan pajak,

dokter) dan nonprofessional service (misalnya sopir taksi dan penjaga malam). Pada

jasa yang memerlukan keterampilan tinggi dalam proses operasinya, pelanggan cen-

derung sangat selektif dalam memilih penyedia jasa. Hal inilah yang menyebabkan para

professional dapat “mengikat” para pelanggannya. Sebaliknya jika tidak memer-

lukan keterampilan tinggi, seringkali loyalitas pelanggan rendah karena pe-

nawarannya sangat banyak.

4. Tujuan organisasi jasa

Berdasarkan tujuan organisasi, jasa dapat dibagi menjadi commercial service atau profit

service (misalnya penerbangan, bank dan jasa parsel) dan nonprofit service (mis-

alnya sekolah, yayasan dana bantuan, panti asuhan, perpustakaan dan museum).

5. Regulasi

Dari aspek regulasi, jasa dapat dibagi menjadi regulated service (misalnya pialang,

angkutan umum, dan perbankan) dan nonregulated service (misalnya makelar, catering

dan pengecetan rumah).

6. Tingkat intensitas karyawan

82
Berdasarkan tingkat intensitas karyawan (keterlibatan tenaga kerja), jasa dapat

dikelompokkan menjadi dua macam, yaitu equipment based service (misalnya cuci mo-

bil otomatis, jasa sambungan telepon jarak jauh, ATM dan binatu) dan people-based

service (misalnya pelatih sepak bola, satpam, jasa akuntan, konsultan manajemen dan

konsultan hukum).

7. Tingkat kontak penyedia jasa dan pelanggan

Berdasarkan tingkat kontak ini, secara umum jasa dapat dibagi menjadi high

contact (misalnya universitas, bank, dokter dan pegadaian) dan low contact

service (misalnya bioskop).

Pada jasa yang tingkat kontak dengan pelanggan tinggi, keterampilan interpersonal

karyawan harus diperhatikan oleh perusahaan jasa, karena kemampuan membina hubungan

sangat dibutuhkan dalam berurusan dengan orang banyak (misalnya keramahan, sopan

santun, komunikasi), sebaliknya pada jasa yang tingkat kontak dengan pelanggan rendah,

justru keahlian tehnis karyawan yang paling penting.

2.1.3. Karakteristik Jasa

Zeithaml dan Bitner (1996, dalam Yasid, 2001; 27) mengemukakan bahwa ada 4

(empat) karakteristik yang melekat pada jasa yang paling sering dijumpai sehingga mem-

bedakannya dengan produk barang adalah :

1. Tidak berwujud (intangibility) yaitu jasa bersifat abstrak dan tidak memiliki wujud ny-

ata,

2. Heterogenitas (heterogenity) yaitu jasa merupakan variabel non standar dan sangat

bervariasi,

83
3. Tidak dapat dipisahkan (inseprability) yaitu jasa pada umumnya dihasilkan dan

dikonsumsi pada saat yang bersamaan, dengan partisipasi konsumen dalam proses

tersebut,

4. Tidak tahan lama (perishability) yaitu jasa tidak mungkin disimpan sebagai persedi-

aan.

Kemajuan perekonomian dunia saat ini semakin kondusif terhadap pertum-

buhan sektor jasa, dimana pemasaran jasa telah meningkat dalam dekade terakhir ini seir-

ing dengan meningkatnya persaingan. Sedangkan permasalahan pemasaran yang dihadapi

selalu terkait dengan karakteristik jasa tersebut. Oleh karena itu strategi yang diterapkan

dalam pemasaran jasa meliputi dua sisi, yakni peningkatan kualitas dari jasa itu sendiri

dan sisi pengguna jasa, yaitu dengan mengadakan pengelolaan hubungan dengan pelang-

gan.

Pemasaran jasa pada dekade terakhir ini menunjukkan suatu pola kearah pe-

masaran yang berfokus pada mempertahankan pelanggan yang dikenal dengan relationship

marketing. Relationship marketing adalah upaya menarik dan mempertahankan pelang-

gan dengan mempertimbangkan perspektif tentang bagaimana cara perusahaan meman-

dang hubungan mereka dengan pelanggannya yang selalu berubah-ubah, dengan siap pe-

rusahaan berinteraksi dan kesadaran akan kualitas (Payne, 2001; 38).

2.1.4. Karakteristik Jasa Perum Pegadaian

Perum Pegadaian merupakan salah satu lembaga keuangan non bank yang

memberikan pinjaman kepada masyarakat golongan menengah ke bawah telah berkiprah

selama kira-kira satu abad lamanya. Didirikan di Sukabumi (Jawa Barat) pada tanggal 31

Maret tahun 1901 pada masa pemerintahan Belanda dengan Staatsblad (Stbld) No. 31.

84
Pada masa tersebut usaha pegadaian merupakan monopoli pemerintah. Aturan dasar

pegadaian (Pandhuis Reglement) ditetapkan pada tahun 1905 dengan Stbl. No. 490. Atas

dasar peraturan tersebut jawatan pegadaian diberi nama Pandhuis Dienst.

Praktek pegadaian yang menerapkan prosedur perolehan pinjaman yang mudah dan

bunga yang rendah menjadi daya tarik masyarakat. Sedangkan prosedur pelayan

disesuaikan dengan sikap dan perilaku masyarakat Indonesia yang tingkat kehidupannya

dianggap masih sederhana (Sethyon, 2001).

Pada masa penjajahan Jepang jawatan pegadaian bernama sitji eigeikyuku

digunakan oleh penguasa saat itu untuk membiayai perang. Akibatnya banyak barang

milik masyarakat yang menjadi agunan atas pinjaman mereka habis terkuras, namun upaya

penyelamatan masih tetap ada. Dengan demikian pada masa pendudukan Jepang

pegadaian sudah tidak berfungsi lagi.

Dengan Peraturan Pemerintah No. 178 tanggal 3 Mei 1961, Jawatan Pegadaian

diubah statusnya menjadi Perusahaan Negara Pegadaian. Selama masa pergolakan

pemberontakan G30S PKI kondisi PN Pegadaian mengalami kerugian besar, sehingga

untuk penyelamatannya dilakukan dengan Instruksi Presiden No.12/1967 dan sejumlah

peraturan perundang-undangan lainnya hingga dikeluarkan UU No. 9 tahun 1969 yang

mengatur bentuk-bentuk usaha negara menjadi tiga bentuk, yakni : Perjan, Perum dan

Persero. Berdasarkan PP No. 9/1969, maka PN Pegadaian resmi menjadi

Perusahaan Jawatan (Perjan) Pegadaian dengan dikeluarkannya SK Menteri Keuangan

No. KEP-664/MKIV/9/1969 tanggal 20 September 1969.

Perubahan status dari Perjan menjadi Perum dilakukan melalui Peraturan

Pemerintah No. 10/1990 tanggal 10 April 1990. Dengan status Perum ini, maka tujuan dan

misi perusahaan ditegaskan : disamping memupuk keuntungan juga membantu pemerintah

85
dalam pembangunan dan ekonomi, berupa pemberian kredit skala kecil atas dasar hukum

gadai kepada masyarakat berpenghasilan menengah ke bawah. Tugasnya mencegah

terjadinya praktek riba, rentenir dan gadai gelap di masyarakat (Sethyon, 2002; 99).

Setelah menyandang status Perum, maka seluruh aset dipisahkan dari administrasi

departemen keuangan dan sejak saat itu Perum Pegadaian menjadi mandiri, termasuk

menentukan arah dan identitasnya sendiri.

Produk yang ditawarkan oleh Perum Pegadaian terdiri dari enam (6) kategori.

Berdasarkan urutan pentingnya adalah sebagai berikut:

1. Kredit Gadai yaitu fasilitas pinjaman berdasarkan hukum gadai dengan prosedur

pelayanan yang mudah, aman dan cepat. Kredit gadai ini merupakan alternatif yang

dapat digunakan oleh masyarakat yang tidak memiliki akses ke lembaga perbankan.

2. Jasa Titipan yaitu fasilitas sejenis safe deposit box dengan tujuan untuk melindungi

surat-surat atau barang berharga lainnya selama pemiliknya meninggalkan rumah atau

menghendaki perlindungan yang lebih aman dibandingkan dengan disimpan di rumah.

3. Galeria 24 yaitu toko emas berkesan eksklusif yang menyediakan perhiasan emas

dengan jaminan kadar emas yang benar dan disain perhiasan yang modern.

4. Jasa Persewaan Gedung merupakan upaya pemanfaatan aset secara optimal

5. Jasa Taksiran/Sertifikasi bertujuan untuk melindungi masyarakat dari kemungkinan

pemalsuan.

6. Penjualan keping emas ONH dimaksudkan untuk melindungi nilai uang masyarakat

yang ingin menunaikan ibadah haji dari gejolak perubahan nilai tukar mata uang yang

dapat merugikan.

Selain produk dengan ciri khas yang menonjol tersebut, Perum Pegadaian memiliki

orientasi kepada pelanggannya dari makna logo pegadaian, yaitu : "melindungi dan

86
membantu masyarakat, keseimbangan, keterbukaan, kejujuran, kesederhanaan,

kepraktisan, kemudahan, dan kecepatan, merupakan ciri utama pelayanan kepada

pelanggan". Dengan makna tersebut, Perum Pegadaian senantiasa menciptakan dan

menyediakan produk dan jasa yang dapat memenuhi kebutuhan nasabah, senantiasa

meningkatkan kepuasan nasabah dengan cara sedapat mungkin menjaga keseimbangan

antara harga / biaya yang dikeluarkan oleh nasabah dalam memperoleh produk dan jasa

pegadaian (Sethyon, 2001).

Menurut Ismail dan Ahmad (1997; 5) yang melakukan penelitian di Malaysia,

mendapatkan beberapa karakteristik yang mendorong orang menggunakan jasa pegadaian

(pawnshop) dalam mendapatkan pinjaman. Beberapa faktor tersebut antara lain : (a) biaya

transportasi dan biaya tunggu, (b) peraturan suku bunga, (c) kemiskinan, (d) efek dari

liberalisasi bidang keuangan, (e) lamanya pinjaman, (f) kerahasiaan pinjaman, (g) dan jam

kerja.

2.1. 5. Pengertian Kualitas dan Konseptualitas Jasa

2.1.5.1. Pengertian Kualitas

Kualitas (quality) merupakan konstruk yang penting dalam dunia bisnis, termasuk

di dalam bisnis jasa. Banyak definisi yang dapat digunakan untuk menjelaskan pengertian

kualitas dan berbagi konteks. Di dalam penelitian manajemen, kualitas harus

dikonseptualisasikan dengan suatu definisi operasional sehingga dapat diukur dengan suatu

instrumen yang diciptakan untuk keperluan tersebut.

Goetsch dan Davis (dalam Yamit, 2002; 9) mengemukakan bahwa kualitas

merupakan suatu kondisi dinamis yang berhubungan dengan produk jasa, manusia, proses

dan lingkungan yang memenuhi atau melebihi harapan. Sedangkan Parasuraman, et al.,

87
(1990) mengemukakan bahwa kualitas merupakan ukuran penilaian menyeluruh atas

tingkat suatu pelayanan yang baik. Selain itu Joseph M. Juran (dalam Tjiptono, 2002; 8)

mendefinisikan kualitas sebagai kecocokan dengan selera (fitness for use). Dari beberapa

definisi tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa kualitas menekankan orientasi pada

pemenuhan harapan pelanggan.

2.1.5.2. Konseptualisasi Kualitas Jasa

Sejak tahun 1980an, kualitas pelayanan atau jasa telah diketahui memiliki pengaruh

terhadap peningkatan profitabilitas dan dipandang sebagai sisi penting dari persaingan.

Dengan kualitas jasa pelayanan yang baik perusahaan dapat meraih profitabilitas melalui

mekanisme menghasilkan penjualan berulang, umpan balik dari mulut kemulut yang

positif, kesetiaan pelanggan dan diferensiasi produk yang bersaing, Macalaran dan

McGowan, (1999; 36). Kualitas jasa sangat ditekankan pada perusahaan pada sektor jasa

keuangan, kesehatan, dan sebagai cara untuk mengendalikan kinerja dan mengatasi aspek

intangible dari jasa. Akibatnya, penekanan ini cenderung untuk memfokuskan diri pada

karakteristik jasa yang unik dan terutama pada peranan pekerja dari organisasi pada

bagian produksi dan bagian jasa, Berry, et al., (1991, dalam Maclaran dan McGowan,

1999; 36). Di dalam literatur, kualitas jasa sering kali dikaitkan relevansinya dengan

organisasi bisnis yang besar dengan struktur birokrasi yang sering kali menyebabkan

buruknya komunikasi pelanggan dan tidak adanya respon terhadap kebutuhan pelanggan,

Zeithaml et al., (1988, dalam Maclaran dan McGowan, 1999; 36 ).

Berdasarkan penelusuran literatur, konseptualisasi tentang kualitas jasa mengalami

perkembangan yang sangat pesat sejak tahun 1980. Dimulai dengan konseptualisasi oleh

Gronroos (1998) yang dinamakan sebagai "the Nordic Model), yaitu sebagai berikut :

88
Kosep pertama tentang kualitas jasa ini mengusulkan konsep dua dimensi, yaitu

technical, quality dan functional quality. Pengukuran kualitas adalah dengan

memperbandingkan antara expected service dan peceived service.

Konsep kedua dikemukakan oleh Rust dan Oliver (1994 dalam Brady dan Cronin,

2001) dengan konsep tiga dimensi, yitu service paroduct, service delivery dan service

environment. Lebih lanjut mereka memandang bahwa persepsi keseluruhan dari kualitas

jasa berdasarkan evaluasi pengguna jasa terhadap tiga dimensi tersebut yang meliputi :

1. Interaksi pelanggan dengan pekerja functional quality (Gronroos, 1998),

2. Lingkungan jasa tempat berlangsungnya pertukaran jasa,

3. Bentuk jasa itu sendiri atau outcome yang diterima oleh pengguna jasa.

Konsep ketiga, dikemukakan oleh Parasuraman, et al., (1984) yang kemudian

direvisi pada tahun 1988 menggunakan paradigma disconfirmation. Berdasarkan konsep

tersebut maka kualitas jasa merupakan selisih antara nilai yang diterima dengan nilai yang

diharapkan pada lima dimensi yaitu : tangibles, reliability, responsiveness, assurance, dan

empathy. Konsep ini walaupun mengundang banyak kritik namun banyak pula yang

mendukungnya.

Konsep keempat, yang dikemukakan oleh Dabholkar, et al., (1996; 6),

mengusulkan bahwa kualitas jasa merupakan konstruk multidimensi dan multilevel.

Konsep ini melahirkan konsep pengukuran kualitas jasa beradasarkan dimensi dan

subdimensi. Walaupun konsep ini mendapat banyak dukungan, namun permasalahan

yang muncul adalah bagaimana menentukan faktor-faktor atau subdimensi yang

mendasarinya. Dabholkar, et al., (1996) secara hati-hati tidak ingin membuat generalisasi

hasil penelitiannya, tetapi menyebutkan bahwa konseptualisasi kualitas jasa yang

dikemukannya berlaku untuk pada bidang perdagangan eceran.

89
2.1.5.3. Pengukuran Kualitas Jasa

Berdasarkan konsep-konsep tentang kualitas jasa yang dikemukakan di atas, maka

berbagai instrumen dikembangkan untuk memperoleh gambaran tentang kualitas jasa dari

berbagai sektor industri jasa. Beberapa instrumen yang dikembangkan disajikan sebagai

berikut :

1) SERVQUAL-PZB (instrumen Sercive Quality yang dikembangkan oleh

Parasuraman, Zeithaml dan Berry, 1988).

Pengukuran kualitas jasa tampaknya sulit dilakukan karena menyangkut

karakteristik jasa yang khas yaitu sifat tidak berwujud (intangibility), keberagaman

(heterogenity), tidak dapat dipisahkan (inseparability), dan tidak tahan lama

(perishability). Secara konseptual, kualitas jasa didefinisikan sebagai keputusan global

atau sikap yang berhubungan dengan seluruh keunggulan atau superioritas dari

pelayanan Parasuraman, et al., (1995).

Untuk pertama kalinya, Parasuraman, et al., (1985; 17), biasa disingkat sebagai

PZB, mengungkapkan pengukuran kualitas jasa dengan menggunakan instrumen 10

dimensi yang terdiri dari 97 item pertanyaan. Kesepuluh dimensi tersebut adalah

tangibles, reliablity, responsiveness, communication, credibility, security, competence,

courtesy, undestanding/knowing the customer dan access. Melalui penelitian

selanjutnya, Parasuraman, et al., (1988; 23) berhasil meringkas model 10 dimensi

tersebut menjadi model 5 dimensi dengan 22 item pertanyaan.yang terdiri dari dimensi

tangibles, reliability, responsiveness, assurance, dan empathy.

Kualitas jasa melibatkan suatu perbandingan antara harapan (expectation)

konsumen dengan jasa yang diterima (perception) konsumen atas kinerja pelayanan

90
yang sebenarnya, Parasuraman, et al., (1988). Selanjutnya Parasuraman, et al., (1988;

23) telah mencoba untuk mengukur masalah yang kompleks ini dengan

mengembangkan suatu skala yang dapat diukur yang dinamakan SERVQUAL. Lima

dimensi telah diidentifikasi dalam skala yang meliputi : tangible; reliability;

responsiveness; assurance; dan empathy.

Seperti yang telah dikemukakan di atas, kualitas jasa dihubungkan dengan

kepuasan pelanggan yang menikmati jasa, dengan mengukur perbedaan antara harapan

(expectation) dan persepsinya (perception) terhadap kinerja jasa tersebut. Perbedaan-

perbedaan yang ada dinyatakan dalam bentuk gap atau kesenjangan sebagai berikut :

Kesenjangan 1: Kesenjangan antara harapan konsumen dan persepsi manajemen.


Kesenjangan ini terjadi karena manajemen perusahaan salah
mengerti atau tidak memahami benar apa yang menjadi harapan
pelanggan.

Kesenjangan 2: Kesenjangan antara persepsi manajemen terhadap harapan


konsumen dan spesifikasi kualitas jasa. Kesenjangan ini terjadi
karena adanya kesalahan persepsi manajemen dalam
menterjemahkan harapan para pelanggan secara tepat ke dalam
bentuk standar kualitas pelayanan.

Kesenjangan 3: Kesenjangan antara spesifikasi kualitas jasa dan penyampaian jasa.


Kesenjangan ini terjadi karena ketidakmampuan sumber daya
manusia perusahaan dalam memenuhi standar kualitas layanan yang
telah ditetapkan.

Kesenjangan 4: Kesenjangan antara penyampaian jasa dan komunikasi eksternal.


Kesenjangan ini terjadi karena perusahaan tidak mampu memenuhi
janji-janjinya yang dikomunikasikan secara eksternal melalui
berbagai promosi.

91
Kesenjangan 5: Kesenjangan antara jasa yang dirasakan dengan yang diharapkan.
Kesenjangan ini terjadi karena tidak terpenuhinya harapan
pelanggan atas pelayanan yang telah diterima atau dirasakan.

Komunikasi dari Kebutuhan Pengalaman


mulut ke mulut personal yang lalu
KONSUMEN

Jasa yang
diharapkan

Gap 5
MANAJEMEN MEN
PENYEDIA JASA

Jasa yang
dirasakan

Gap 4
Penyampaian Komunikasi
jasa Perusahaan dgn
konsumen

Gap 3

Gap 1
Penyebaran
spesifikasi

Gap 2

Persepsi manajemen
atas harapan konsumen

Gambar 2.1. Model Kualitas Jasa (Parasuraman, Zeithaml dan Berry, 1985)

92
SERVQUAL telah dikenal luas dan diterapkan di berbagai tempat pelayanan dalam

dekade terakhir, seperti perawatan kesehatan, klinik gigi, sekolah bisnis, rumah sakit,

jaringan ritel besar, perbankan, dry cleaning, dan rumah makan cepat saji. Tetapi,

kemungkinan penyamarataan dari dimensi-dimensi SERVQUAL di seluruh industri jasa

yang berbeda masih terus dipertanyakan. Selain itu, diperlukan instrumen yang saling

melengkapi untuk mengukur ekspektasi dan persepsi secara terpisah sebagai nilai yang

berbeda dianggap tidak tepat dalam hal reliabilitas dan panjangnya kuisioner (Carman,

1990).

X1

X2

X3
Tangibles
X4

X5

X6

X7
Reliability
X8

X9

X10

X11 Responsi-
X12 veness SERVICE QUALITY
X13

X14

X15

X16
Assurance

X17

X18

X19
Empathy
X20

X21

X22

93
Gambar 2. 2. Ukuran Service Quality (SERVQUAL) (Parasuraman, Zeithaml dan Berry,
1988: )

Walaupun model SERVQUAL telah menerima banyak kritik, model ini terus

digunakan dan merupakan model yang paling luas diterapkan untuk mengukur kualitas

jasa. Model ini diadopsi untuk banyak industri yang berbeda, misalnya pada pusat

pelayanan kesehatan, penerbangan, perbankan, perdagangan eceran dan lain-lain. Masalah

utama yang berkaitan dengan model SERVQUAL, berkenaan dengan pengembangan

perusahaan, adalah bahwa model tersebut digunakan tanpa kecuali dalam konteks

organisasi yang besar seperti Goodyear, Dupont, Disney World, Federal Express dan

National Westminter Bank, Macalaran dan McGowan, (1999; 37), atas kenyataan ini

mereka mempertanyakan apakah model SEVQUAL dapat diterapkan untuk perusahaan

kecil dan apakah instrumen SERVQUAL itu sendiri dan penekanannya pada sistem

manajemen yang ramping memberikan pengukuran yang realistis dari kualitas jasa untuk

pemilik bisnis usaha kecil.

Setelah SERVQUAL di usulkan oleh Parasuraman, et al., (1988), beberapa kritik

diarahkan terhadapnya. Sebagai contoh, Carman (1990; 1) berpendapat bahwa

SERVQUAL bukan alat ukur yang bersifat generik yang dapat diterapkan dalam segala

jenis jasa dan perlu disesuaikan untuk jenis jasa tertentu. Babakus dan Boller (1992, dalam

Cronin, et al., 1994; 126) juga menyatakan bahwa dimensi dari kualitas jasa tergantung

pada jenis jasa yang sedang dipelajari. Sebagai tambahan, di dalam analisis empirisnya,

ukuran yang hanya berdasarkan persepsi memiliki korelasi yang lebih tinggi dengan

kualitas jasa secara keseluruhan bila dibandingkan dengan SERVQUAL. Temuan ini juga

didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Cronin dan Taylor (1992). Cronin dan

94
Taylor (1992) dan Teas (1993) mempertanyakan validitas dari SERVQUAL dan

mengusulkan model alternatif

Berdasarkan suatu kajian literatur, Cronin dan Taylor (1992; 56) berpendapat

bahwa SERVQUAL mempunyai kelemahan yaitu menggabungkan antara kepuasan dan

sikap. Mereka menyatakan bahwa kualitas jasa dapat dikonseptualkan sebagai “sama

dengan sikap” dan dapat dioperaionalkan dengan model “kesesuaian-nilai penting”

(adequacy-importance model). Secara khusus mereka mempertahankan bahwa “kinerja”

yang menentukan kualitas jasa, bukannya “kinerja + harapan” dan bahwa pengembangan

suatu ukuran alternatif yang dinamakan SERVPERF yang hanya mengukur kinerja saja. Di

dalam studi empiris mereka, SERVQUAL kelihatannya memiliki suatu kecocokan yang

sangat baik hanya di dalam dua dari empat industri yang diteliti, sedangkan SERVPERF

memiliki kecocokan yang sangat baik di dalam keempat industri tersebut. Hasil yang sama

juga diperoleh dari analisis regresi.

Kritik terhadap SERVQUAL juga datang dari Teas (1993; 18) yang menyatakan

bahwa ukuran harapan (expectation) dari SERVQUAL mengukur harapan normatif dan

sama dengan kondisi standar ideal di dalam literatur kepuasan pelanggan, selanjutnya

bahwa standar ideal dapat diinterpretasikan dalam dua cara yaitu : titik ideal yang

ditentukan di dalam model titik ideal klasik dan titik ideal yang layak (feasible).

Walaupun demikian, ia berpendapat bahwa pengukuran spesifikasi (P-E; perception minus

expectation) dalam SERVQUAL tidak cocok dengan titik ideal klasik atau dengan titik

ideal layak. kemudian ia mengidentifikasi masalah yang berhubungan dengan

operasionalisasi dari konsep harapan dalam jasa. Di dalam makalahnya, ia mengusulkan

untuk model evaluasi kinerja (EP model) dan model normatif kualitas (NQ model). Model

evaluasi kinerja menggabungkan konsep titik ideal klasik menjadi model persepsi kualitas,

95
sedangkan model normatif kualitas mengintegrasikan konsep titik ideal klasik dengan

konsep harapan dari SERVQUAL yang direvisi. Hasil penelitian empiris mengindikasikan

bahwa kriteria dan validitas konstruk dari model EP lebih tinggi dari pada validitas

konkuren dan validitas konstruk dari SERVQUAL dan normatif quality model. Dalam

memberikan tanggapan terhadap kritik Cronin dan Taylor (1992), Parasuraman et al.,

(1994) mempertahankan pendapat mereka bahwa penelitian terdahulu memberikan

dukungan kuat terhadap konseptualisasi dan bukti empiris untuk kualitas jasa sebagai

deiscrepancy antara expectations dan perceptions. Terhadap kritik Teas (1993),

Parasuraman et al., (1994; 116) menyatakan bahwa spesifikasi P-E sangat berguna jika

sifat dari jasa adalah vector attribute, yaitu titik ideal dari kepuasan pelanggan tanpa batas,

tetapi akan bermasalah jika titik ideal kepuasan pelanggan ada pada batas tertentu. Mereka

menyatakan bahwa karena pelanggan cenderung mempertimbangkan item-item di dalam

SERVQUAL sebagai vector attributes, maka persoalan yang disebutkan oleh Teas (1993)

tidak terlalu berat.

2) SERVPERF - CT (instrumen Service Performance yang dikembangkan oleh Cronin

dan Taylor, (1992)

Adanya perbedaan mendasar antara barang (goods) dan jasa (service), banyak

akademisi pemasaran membuat pembedaan yang jelas antara retailing (misalnya

department stores, boutiques) dan perusahaan jasa (misalnya penerbangan, restoran).

Perbedaan ini tidaklah benar karena kesemuanya merupakan retailer, oleh karena itu

diusulkan cara pembedaan dengan menggolongkan retailer menjadi “pengecer barang”

(goods retailer) dan “pengecer jasa” (service retailer) Mehta et al., (2001). Dengan

demikian dapat dibedakan antara pengecer yang lebih menonjolkan komponen barang dan

96
sedikit komponen jasa (misalnya, department stores) atau lebih banyak komponen jasa

dan sedikit komponen barang (misalnya., salon), tetapi retailer sendiri mempunyai

komponen jasa yang berbeda-beda.

Suatu penelitian yang dilakukan oleh Cronin dan Taylor (1992; 64) telah

menemukan bahwa dengan hanya menggunakan kuesioner yang mengukur persepsi

pelanggan terhadap kinerja pelayanan atau service performance lebih baik dari pada

pengukuran tradisional SERVQUAL. Skala dalam instrumen SERVPERF, adalah bagian

persepsi dari instrumen SERVQUAL, telah membuktikan suatu konsep pengukuran yang

lebih valid atas kualitas pelayanan, karena validitasnya dan bukti atas validitas

diskriminannya. Wall dan Payne (1973 dalam Siu dan Ceung, 2001; 88) juga menyatakan

bahwa terdapat kesulitan ketika orang diminta untuk menunjukkan “tingkat yang

diinginkan” (expectation) dari suatu pelayanan dan “tingkatan yang ada” (perception) dari

jasa tersebut. Babakus dan Boller, (1992 dalam Siu dan Cheung (2001; 88) telah

menemukan bahwa kualitas pelayanan ketika diukur dalam skala SERVQUAL, secara

signifikan lebih bersandar pada nilai persepsi dari pada nilai ekspektasi.

Dukungan terhadap model SERVPERF muncul dari Lowndes dan Dawes (1999)

yang mencoba untuk melakukan penelitian dengan metode mystery shopping pada pusat-

pusat perdagangan ritel, cara ini memberikan sumbangan pada pemantauan kualitas dari

pelayanan pelanggan yang ditawarkan, mengevaluasi staf, dan mengidentifikasi kelemahan

dari proses penyerahan jasa. Dengan melakukan mystery shopping sebanyak dua kali, yaitu

tahun 1997 dan 1998, mereka mendapatkan bahwa instrumen SERVPERF yang digunakan

dalam penelitiannya menunjukkan hasil yang konsisten. Dengan hasil ini mereka

menyatakan bahwa instrumen SERVPERF dapat diadopsi dalam kegiatan mystery

shopping.

97
3) RSQS - DTR (Modifikasi SERVQUAL oleh Dabholkar, Thorpe dan Rentz, 1996)

Dabholkar, Thorpe dan Rentz (1996) mencoba untuk mengemukakan solusi dari

perdebatan SERVQUAL lawan SERVPERF dengan mengembangkan instrumen yang dapat

digunakan untuk mengukur kualitas pada perdagangan ritel yang dinamakan Retail Service

Quality Scales (RSQS). Mereka menjalankan penelitian kualitatif dengan menggunakan

metodologi yang berbeda, yaitu fenomena, wawancara, wawancara eksploratif mendalam,

dan melacak pelanggan melalui toko langganannya. Dengan menggabungkan temuan-

temuan kualitatif ini dengan literatur yang ada serta SERVQUAL, mereka mengusulkan

bahwa kualitas jasa ritel memiliki faktor berstruktur hirarkis. Hasil modifikasi instrumen

SERVQUAL ini menghasilkan lima dimensi dasar dimana tiga dari dimensi tersebut

memiliki subdimensi.

Kelima dimensi tersebut adalah (1) physical aspects, memiliki dua subdimensi,

yaitu appearance dan convenience; (2) reliability memiliki dua subdimensi, yaitu promises

dan doing it right; (3) personal interaction memiliki dua subdimensi, yaitu inspiring

confidence dan couteous/helpful, (4) problem solving, dan (5) policy. Dimensi Physical

aspect menunjukkan tampilan dari fasilitas fisik (misalnya tampilan umum dari toko dan

kebersihan dari prasarana umumnya) dan convenience yang ditawarkan kepada pelanggan

dengan tata letak fasilitasnya. Dimensi Reliabilitas dipandang sebagai kombinasi dari

janji untuk menepati janji dan melakukan segala sesuatunya dengan benar. Dimensi

Personal interaction menunjukkan persepsi pelanggan apakah mereka merasa ada

intimidasi, tekanan atau merasa tidak nyaman selama berbelanja. Subdimensi helpful/

couteousness menunjukkan rasa persahabatan dari personil toko dan kemampuannya

membantu ketika dibutuhkan. Dimensi Problem solving diarahkan pada penanganan

98
barang-barang yang dikembalikan dan penukaran serta keluhan yang disampaikan oleh

pelanggan. Yang terakhir, dimensi Policy menunjukkan pada aspek kualitas jasa yang

secara langsung dipengaruhi oleh kebijakan toko (misalnya jam operasi yang tepat, kredit,

kebijakan penukaran, kualitas dari barang yang dijual) Dabholkar, at al., (1996; 6-7).

Physical Proble Reliabi Personal


spect m lity Policy Interaction
Solving s

Appea Conve Promises Doing it Inspiring Courteous


Confi dence Helpful
rance nience right

Gambar 2. 3. Model Retail Service Quality berjenjang (Dabholkar, Thorpe dan


Rentz, 1996: 7)

Model RSQS-DTR ini mengusulkan ukuran kualitas ritel yang terdiri dari 28 item,

dimana 17 item berasal dari SERVQUAL-PZB dan 11 item dikembangkan dari kajian

literatur dan penelitian kualitatif yang dilakukan oleh mereka. Lima item dari

99
SERVQUAL-PZB dinilai tidak tepat dengan kondisi bisnis ritel dan kemudian dikeluarkan

dari instrumen.

Selanjutnya, Dabholkar, et al., (1996; 13) menyatakan bahwa instrumen yang

dibuatnya cocok untuk mempelajari bisnis ritel yang menawarkan campuran produk dan

jasa seperti departemen store atau specialty stores. Untuk memperbaiki skala pengukuran

kualitas ritel ini, mereka juga menyarankan dilakukan penelitian kualitatif lebih lanjut.

Modifikasi dapat dilakukan dengan menambah atau mengurangi item atau mungkin juga

dengan mengubah struktur hirarkisnya.

4) SERVPERF-TPR (instrumen kinerja jasa pada peritel produk tehnik, Mehta,

Han, Lalwani dan Mehta, 2001).

Para praktisi dan akademisi menyadari akan perbedaan yang ada di dalam industri

ritel yang merupakan perpaduan antara penawaran barang dan jasa, dimana karakteristik

ritel sebagai penyedia jasa akan sangat bervariasi menurut kombinasi kedua jenis produk

tersebut. Oleh karena itu pengunaan SERVQUAL dan SERVPERF untuk bidang jasa dalam

perdagangan ritel masih terus dipertanyakan. Beberapa ahli mencoba untuk merumuskan

kembali dimensi yang tepat untuk ukuran kualitas dalam perdagangan ritel yang tidak

murni sebagai penyedia jasa saja, tetapi juga menawarkan barang yang berwujud.

Walaupun SERVQUAL telah diuji secara empiris dalam sejumlah studi yang melibatkan

bidang jasa “murni”, tetapi model SERVQUAL belum berhasil di adaptasikan dan

divalidasi di dalam jasa perdagangan eceran, Mehta, et al., (2001). Hal ini juga sesuai

dengan penyataan Parasuraman, et al., (1988) tentang keterbatasan sebagai berikut “…

prosedur yang digunakan untuk memperbaiki instrumen diarahkan oleh tujuan untuk

memperoleh skala yang lebih ringkas dimana item-item yang digunakan akan sangat

100
berguna untuk berbagai jenis perusahaan jasa. Berdasarkan rancangannya, model ini akan

mempertahankan item-item yang umum dan relevan dengan semua perusahaan jasa yang

dilibatkan dalam studi ini (bank, kartu kredit, perusahaan perbaikan dan perawatan dan

perusahaan telpon) hal ini tentu sudah menghilangkan item-item yang berhubungan

dengan “barang” yang relevan untuk beberapa perusahaan tetapi tidak untuk semua

perusahaan”. Selanjutnya, ketepatan SERVPERF yang dikemukakan oleh Cronin dan

Taylor (1992) juga dipertanyakan walaupun model ini mengungguli model SERVQUAL

untuk memberikan prediksi tentang behavioral intentions.

Mehta et al., (2001; 7) melakukan upaya untuk mengadakan rekonsiliasi antara

model RSQS-DTR dan SERVPERF dengan melakukan penelitian pada bisnis perdagangan

ritel untuk produk-produk elektronik. Dengan analisis faktor terhadap data yang dihasilkan

maka diusulkan instrumen yang dinamakan SERVPERF-TPR yang terdiri dari lima

dimensi yang terdiri dari 21 item. Item yang dihasilkan tersebut berasal dari 33 item

gabungan model RSQS-DTR dan SERVPERF. Kelima dimensi tersebut adalah: (1)

service personnel, (2) physical aspects, (3) merchandise, (4) confidence, dan (5) parking.

5) SERVPERF-RSSC (Instrumen Kinerja Kualitas untuk pusat pertokoan Regional

dan Subregional, regional and sub-regional shopping centres, Sit dan Birch, 2000)

Dengan pertimbangan bahwa suatu pusat pertokoan merupakan suatu kelompok

dari bisnis ritel dan dipasarkan sebagai gabungan dari keseluruhannya, maka Sit dan Birch

(2000; 1192) mencoba untuk mengidentifikasi kualitas jasa dalam konteks pusat

pertokoan. Karakteristik lain yang membedakan adalah bahwa shopping centre

merupakan outlet yang menjual barang dan jasa. Selain itu, biasanya sebuah pusat

pertokoan menyediakan satu tempat parkir yang digunakan bersama. Sit dan Birch (2000;

101
1192) melakukan penelitian di Australia dengan menggunakan dua dari tujuh kategori

shopping centre, yaitu : city shopping centre, super regional, major regional, regional

centre, sub-regional centre, neighbourhood centre, dan market.

Hasil penelitian Sit dan Birch (2000; 1195) menyarankan suatu model kualitas jasa

pusat pertokoan dengan empat dimensi dan 10 subdimensi : (1) Acessibility dengan dua

sub dimensi, yaitu macro-accessibility, dan micro-accessibility, (2) Physical environment

terdiri dari empat subdimensi yaitu: ambient conditions, design structure, informative

signage, dan security, (3) Retail mix; dan (4) Personal interaction yang terdiri dari empat

sub dimensi, yaitu: reliability, assurance, empathy dan responsiveness.

Gambar 2. 4.Empat dimensi untuk Performance for Regional and Sub-regional


Shopping Centres (Sit and Birch, 2000; 1195).

6) Model RSQS-SC (instrumen Retail Service Quality Scales yang dimodifikasi oleh

Siu dan Cheung, 2001)

Perdebatan mengenai alat ukur atau instrumen yang dapat diterapkan pada

perdagangan ritel terus berlanjut, pengujian model-model baru, modifikasi model lama dan

penyeuaian-penyesuaian dengan kondisi ritel yang diteliti terus dilakukan. Sementara itu

102
dugaan adanya pengaruh faktor budaya sudah mendapat perhatian oleh Siu dan Cheung

(2001) yang mencoba untuk mengembangkan model Retail Service Quality Scales yang

sesuai dengan budaya di Hongkong.

Siu dan Cheung (2001; 88) menemukan enam dimensi untuk instrumen Retail

Service Quality Scales, terdiri dari 25 item yaitu : (1) Personal interaction 8 item, (2)

Policy 6 item, (3) Physical appearance 3 item, (4) Problem solving 3 item, (5) Promises 2

item dan (6) Convenience 3 item. Dari keenam dimensi tersebut policy dan physical

appearance memiliki pengaruh paling besar. Policy dipandang sebagai dimensi yang paling

menguntungkan pelanggan dan memiliki dampak positif terhadap perilaku konsumsi di

masa depan. Sedangkan terhadap dimensi physical appearance dan promises dapat

berdampak negatif terhadap kualitas jasa ritel jika tidak memenuhi keinginan pelanggan.

7) Hierarchical Perceived Service Quality (Brady dan Cronin, 2001)

Suatu gagasan terbaru muncul dari Brady dan Cronin (2001) yang berupaya untuk

melakukan rekonsiliasi terhadap pertentangan pendapat mengenai kualitas jasa, dengan

mengusulkan gagasan dengan pendekatan hierarchis. Konseptualisasi kualitas jasa yang

dikemukakan oleh Brady dan Cronin (2001; 36) menggunakan konsep tiga dimensi

(interaction quality, physical environment quality dan outcome quality) yang digunakan

oleh Rust dan Oliver (1994, dalam Brady dan Cronin, 2001), yang dikombinasikan dengan

konsep hierarkhis dari Dabholka, et al., (1996), dan subdimensi yang baru yang diusulkan

terdiri dari sembilan yaitu attitude, behavior, expertise, ambient conditions, design, social

factors, waiting time, tangibles, dan valences. Sedangkan untuk item atau indikator

digunakan item-item yang ada pada SERVQUAL, yaitu dimensi reliability dan

responsiveness, dengan melakukan kombinasi-kombinasi tertentu.

103
2.1.6. Pengertian Kepuasan Pelanggan

Kata kepuasan (satisfaction) memiliki arti penting dalam konsep pemasaran, dan

biasanya dikaitkan dengan suatu semboyan “memuaskan kebutuhan dan keinginan

pelanggan”. Istilah “kepuasan pelanggan” sudah demikian populernya sehingga sangat

mudah di dapatkan di dalam literatur pemasaran dan literatur lainnya dan memiliki

pengertian yang sangat mendalam sehingga menjadi tujuan atau sasaran yang ingin dicapai

oleh organisasi bisnis moderen seperti sekarang ini. Istilah satisfaction dalam bahasa

Inggris muncul pada abad ketiga belas yang diperkirakan berasal dari bahasa Latin “satis”

yang artinya cukup dan “facere” yang artinya melakukan, Parker dan Mathews, 2001; 38).

Penggunaan istilah “satisfaction” dalam era moderen saat ini cenderung meluas

dan berkaitan dengan kata-kata “satisfactory” (kesesuaian), dan “satisfy” (membuat

menjadi menyenangkan). Akan tetapi istilah “kepuasan pelanggan” di dalam manajemen

pemasaran sendiri memiliki pengertian yang sangat spesifik.

Oliver (1997, dalam James G. Barnes, 2001; 64) menyatakan bahwa kepuasan

adalah tanggapan pelanggan atas terpenuhinya kebutuhannya. Hal ini berarti penilaian

bahwa suatu bentuk keistimewaan dari suatu barang atau jasa ataupun barang/jasa itu

sendiri, memberikan tingkat kenyamanan yang terkait dengan pemenuhan suatu kebutuhan

termasuk, termasuk kebutuhan di bawah harapan atau memenuhan kebutuhan melebihi

harapan pelanggan.

Sehingga dengan demikian maka kepuasan pelanggan adalah merupakan target

yang berubah-uabah, sehingga diperlukan adanya suatu gambaran yang lebih jelas

mengenai apa kenutuhan pelanggan dalam setiap mengadakan transaksi dengan suatu

perusahaan.

104
Engel et al., (1995; 210) menyatakan bahwa kepuasan pelanggan sebagai evaluasi

purna-beli terhadap alternatif yang dipilih yang memberikan hasil yang sama atau

melampaui harapan pelanggan. Sedangkan Kotler (1997; 36) memasukkan unsur kinerja

di dalamnya, sehingga dikatakan bahwa kepuasan pelanggan merupakan tingkat perasaan

seseorang setelah membandingkan kinerja yang dirasakan dibandingkan dengan harapan.

Dengan pengertian tersebut terlihat bahwa ada dua unsur yang menentukan kepuasan

pelanggan, yaitu kinerja jasa yang ditawarkan dan kinerja jasa yang diharapkan. Jika

kinerja jasa yang ditawarkan sama dengan kinerja yang diharapkan atau bahkan dapat

melampaui kinerja yang diharapkan, maka pengguna jasa akan merasa terpuaskan.

Dengan demikian kepuasan pelanggan akan dirasakan setelah konsumen menggunakan

jasa yang ditawarkan.

Kepuasan pelanggan dikenal sebagai hal yang sangat berhubungan dengan ‘nilai’

dan ‘harga’ sedangkan kualitas jasa tidak selalu tergantung pada nilai dan harga. Semakin

puas pelanggan semakin toleran ia terhadap kenaikan harga (elastisitas harga yang

menurun), dengan demikian menghasilkan profit. Kepuasaan pelanggan didasarkan secara

konseptual, pada penggabungan dari atribut kualitas jasa dan atribut (misalnya harga dan

convenience (Cronin dan Taylor, 1992: 285 ).

Tinjauan tentang kepuasan pelanggan ini dalam berbagai literatur terbagi menjadi

dua kutub. Kutub pertama menyebutkan bahwa kepuasan pelanggan sebagai suatu proses,

sedangkan kutub kedua memandang kepuasan pelanggan merupakan suatu hasil.

2.1.6.1. Kepuasan Pelanggan Sebagai Proses

Diskripsi tentang kepuasan pelanggan yang banyak digunakan saat ini adalah

diskripsi kepuasan pelanggan sebagai suatu proses, yaitu suatu evaluasi barang/jasa yang

105
diterima/dirasakan dengan apa yang diharapkan Tse dan Wilton, (1988, dalam Parker dan

Mathews, 2001; 38 ). Dengan mengandalkan kepuasan sebagai suatu proses, maka

defisnisi kepuasan pelanggan akan memusatkan pada asal-usul atau hal-hal yang

membangkitkan kepuasan dari pada menjelaskan kepuasan itu sendiri. konsekwensinya,

sebahagian besar penelitian telah diarahkan pada pemahaman proses kognitif yang

digunakan dalam evaluasi kepuasan.

Diskripsi di atas muncul dari teori discrepancy namun dalam perkembangannya

juga dipengaruhi oleh teori contrast dimana pelanggan akan menggabungkan setiap

perbedaan antara harapan dan evaluasi produk (Martin, 1999; 324-328). Selanjutnya

mereka juga mengupas lebih lanjut mengenai teori yang mendasari kepuasan pelanggan

dan perkembangannya, antara lain paradigma “expectation-disconfirmation”, “value-

percept disparity theory” dan “equity theory”. Disconfirmation positif menghasilkan

peningkatan kepuasan, sedangkan disconfirmation negatif menghsilkan efek yang

sebaliknya. Dalam kesimpulannya ia menyatakan bahwa jika berdasarkan teori-teori di

atas maka kepuasan merupakan suatu hasil dari pembandingan secara inter-personal dari

pada hasil pembandingan intra-personal. Beberapa penelitian mendukung paradigma

disconfirmation ini, tetapi sebahagian lainnya tidak mendukung. Sebagai contoh, Churchil

dan Surprenant (1982 dalam Parker dan Mathews, 2001; 39) menemukan bahwa baik

disconfirmation maupun expectation tidak memiliki efek pada kepuasan pelanggan untuk

barang yang dapat bertahan lama. Sedangkan Poisz dan Van Grumbkow (1988 dalam

Parker dan Mathews, 2001; 39) memandang kepuasan merupakan selisih (discrepancy)

antara yang diamati dengan yang diinginkan. Dari keterangan di atas dapat dijelaskan

bahwa kepuasan pelanggan dihasilkan dari proses perbandingan antara kinerja barang /

106
jasa yang dirasakan oleh konsumen dibandingkan dengan apa yang diharapkannya.

Pendapat ini melahirkan paradigma disconfirmation.

Teori value-percept memandang kepuasan sebagai respons emosional yang dipicu

oleh proses evaluasi yang bersifat kognitif (berdasarkan perasaan). Keinginan pelanggan

akan berkisar antara nilai-nilai mereka (kebutuhan, keinginan, dan harapan) dan obyek

evaluasinya. Pengembangan teori ini mengikut-sertakan konsep desire congruency,

Spreng at al., (1996, dalam Parker dan Mathews, 2001; 39).

Teori lain yang digunakan untuk menjelaskan tentang kepuasan adalah equity

theory. Menurut teori ini, seseorang akan merasa puas bila rasio hasil (outcome) yang

diperolehnya dibandingkan dengan input yang digunakan dirasakan fair atau adil. Dengan

kata lain, kepuasan terjadi apabila konsumen merasakan bahwa rasio hasil terhadap input

yang dikeluarkannya proporsional. Dengan demikian, dalam kasus ini, kepuasan

merupakan suatu hasil dari perbandingan inter-personal daripada sebagai perbandingan

intra-personal, Merton dan Laazrsfeld, (1950, dalam Parker dan Mathews, 2001; 39).

2.1.6.2. Kepuasan Sebagai Hasil

Perkembangan terakhir menunjukkan adanya pembaharuan terhadap perhatian yang

memusatkan pada sifat dari kepuasan itu sendiri. Beberapa sifat yang mendasari kepuasan

tersebut meliputi : emosi (emotion), pemenuhan kebutuhan (fulfilment), kondisi (state).

Dari sudut pandang emosi., Oliver, (1981 dalam Parker dan Mathews, 2001; 39)

mengatakan bahwa kepuasan dipandang sebagai unsur yang mengandung kejutan yang

berasal dari pengalaman memiliki atau mengkonsumsi suatu produk atau jasa. Sedangkan

peneliti lainnya memandang kepuasan sebagai respon yang memiliki pengaruh terhadap

pengalaman mengkonsumsi dari jasa / barang. Sudut pandang ini mengakui input dari

107
proses perbandingan kognitif tetapi selanjutnya menyatakan bahwa hal tersebut hanya

salah satu saja dari faktor yang menentukan “kondisi” kepuasan.

Dari sudut pandang teori pemenuhan kebutuhan atau teori perilaku yang mengacu

kepada teori Maslow, kepuasan dapat dipandang sebagai titik akhir dari proses motivasi,

dimana perilaku seseorang diarahkan kepada pencapaian prestasi atau tujuan yang relevan.

Dengan demikian “kepuasan pelanggan dapat dianggap sebagai respons terhadap

pemenuhan kebutuhan pelanggan” Rust dan Oliver, (1994 dalam Parker dan Mathews,

2001; 39).

Dari sudut pandang kepuasan sebagai suatu kondisi (state), empat kondisi akan

diperoleh sehubungan dengan kepuasan yang terkait dengan pembangkitan rasa (arousal)

puas dan penguatan rasa puas (reinforcement), Oliver, (1989 dalam Parker dan Mathews,

2001; 39. Derajat yang paling rendah dari pembangkitan rasa puas dikategorikan sebagai

“satisfaction-as-contentment” (kepuasan sekedar rasa puas hati) sebagai hasil dari

mendapatkan produk / jasa secara tepat, sehingga kategori ini dipandang sebagai perasaan

yang pasif, (Rust dan Oliver, 1994 dalam Parker dan Mathews. 2001; 39). Sedangkan

derajat kepuasan yang lebih tinggi dinamakan “satisfaction-as-surprise” atau kepuasan

sebagai perasaan yang mengejutkan, yang dapat bersifat positif (menggembirakan) atau

bersifat negatif (mengejutkan). Adanya penguatan perasaan yang positif, rasa puas

menunjukkan “satisfaction-as-pleasure” atau kepuasan sebagai kesenangan yang dicari,

dimana produk atau jasa membuat kondisi yang menentramkan. Sedangkan penguatan

yang bersifat negatif menghasilkan “satisfaction-as-relief’ atau kepuasan sebagai

penghilang rasa yang tidak menyenangkan.

2.1.6.3. Pola Hubungan Kualitas Jasa dan Kepuasan Pelanggan

108
Sudah tidak diragukan lagi bahwa terdapat hubungan yang erat antara kualitas jasa

dengan kepuasan pelanggan. Isu tentang pola hubungan antara kualitas jasa dan kepuasan

pelanggan sempat menjadi perdebatan di kalangan para peneliti. Di satu pihak menyatakan

bahwa kualitas jasa akan melahirkan kepuasan pelanggan. Sementara pihak lain

menyatkan bahwa kepuasan pelanggan sebagai penentu kualitas jasa. Parasuraman, et al.,

(1988) mengkonseptualisasikan kualitas jasa yang dirasakan adalah sebagai evaluasi dari

jasa dalam jangka panjang, sedangkan kepuasan merupakan evaluasi transaksi-spesifik.

Berdasarkan konseptualisasi ini, mereka menyatakan bahwa kejadian kepuasan pelanggan

terhadap waktu menghasilkan persepsi terhadap kualitas jasa. peneliti lain mendukung

argumen bahwa kepuasan pelanggan menghasilkan kualitas jasa. Sebagai contoh, Bitner

(1990, dalam Cronin dan Taylor, 1992) mengembangkan suatu model evaluasi jasa dan

secara empiris mendukung efek kepuasan terhadap kualitas jasa. Bertentangan dengan

perspektif ini, beberapa peneliti lain berpendapat dan secara empiris mendukung bahwa

kualitas jasa yang dirasakan merupakan cikal bakal terhadap kepuasan pelanggan. Cronin

dan Taylor (1992) melaporkan bahwa di dalam analisis struktural mereka untuk hubungan

sebab akibat antara kepuasan, kualitas jasa secara keseluruhan, dan purchase intention,

koefisien path untuk hubungan kualitas jasa dengan kepuasan, dan kepuasan dengan

purchase intention semuanya signifikan, sedangkan koefisien path dari kepuasan ke

kualitas jasa dan purchase intention tidak signifikan.

Walaupun demikian timbul perdebatan tentang pola hubungan dari keduanya.

Pembahasan lebih lanjut mengenai kualitas jasa dan hubungannya dengan kepuasan

pelanggan telah menarik minat para peneliti untuk menguji bentuk hubungan antara

keduanya. Secara sederhana, dapat dinyatakan bahwa perdebatan berkisar pada apakah

seorang manajer:

109
1. Harus memfokuskan kepada upaya memberikan jasa yang berkualitas dan berbagai

komponennya (faktor tehnis, fungsi, dan faktor lingkungan) sebagai cara menciptakan

behavioral intention, atau

2. Lebih baik menekankan pada pentingnya pengukuran kepuasan emosional (Brady dan

Roberston, 2001; 55).

Pertanyaan di atas muncul dari temuan-temuan empiris dan teori perilaku

konsumen yaitu :

1. Beberapa penelitian menawarkan penilaian teoritis dan bukti empiris yang mendukung

hubungan kualitas jasa terhadap kepuasan. Pola hubungan ini menunjukkan bahwa

kualitas jasa sebagai cikal bakal bagi kepuasan. Jika hubungan ini diterapkan pada

penyedia jasa, maka evaluasi terhadap kualitas jasa yang lebih sering akan mendorong

munculnya behavioral intention. Kerangka kerja ini diusulkan oleh Lazarus, (1991

dalam Brady dan Robertson, 2001; 55) yang didasari oleh hasil penelitian Cronin dan

Taylor (1992) hal yang sama juga dikemukakan oleh Parasuraman, et al., (1988).

2. Perspektif yang lebih baru lagi, yang dikemukakan oleh Dabholkar, et al.,

(1996).mengindikasikan bahwa kepuasan mungkin merupakan efek dari situasi tertentu.

dalam hal ini, terdapat suatu arah yang sifatnya non recursive antara konstruk

kepuasan dan kualitas. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa situasi pelayanan

tertentu akan mengarahkan kepada hubungan kualitas dengan kepuasan. Brady dan

Roberts (2001; 55) menyebutkan bahwa penelitian yang dilakukan oleh Dabolkar pada

1995, menunjukkan bahwa jenis pelanggan akan mempengaruhi pola hubungan antara

kualitas dan kepuasan. Sebagai contoh, pelanggan yang secara umum dicirikan

sebagai pelanggan berorientasi kognitif cenderung mengevaluasi kualitas dari jasa

kemudian diikuti dengan pengembangan penilaian kepuasannya. Untuk pelanggan yang

110
selalu mengevaluasi seperti ini, hubungan sebab akibat diharapkan bahwa kualitas

sebagai cikal bakal dari kepuasan, yaitu kualitas dengan kepuasan. Sebaliknya,

pelanggan jasa yang secara emosional dikendalikan oleh kecenderungan pada penilaian

efektivitas, dengan demikian penilaian terhadap kepuasan akan mendahului penilaian

terhadap kualitas, dan pola hubungan yang diharapkan adalah kepuasan terhadap

kualitas pelayanan.

Teori terakhir yang telah dibuktikan di dalam literatur menyebutkan bahwa suatu

hubungan langsung antara kualitas jasa dan behavioral intention dimana kepuasan

bertindak sebagai cikal-bakal dari kualitas jasa (misalnya hubungan kepuasan dengan

kualitas jasa).

Pertanyaan di atas telah medorong Brady dan Robertson (2001; 56) untuk meneliti

pola hubungan kualitas dengan kepuasan secara lintas-budaya. hasilnya menujukkan

bahwa terdapat hubungan kualitas jasa dengan kepuasan. Pola hubungan ini berlaku secara

lintas budaya. Temuan ini memberikan implikasi kepada praktek manajemen bahwa para

praktisi harus memberikan ukuran kualitas sebagai cara untuk memperbaiki penilaian

terhadap kepuasan. Dengan demikian, jika hal ini dilakukan maka ini merupakan metode

yang paling efektif untuk menciptakan behavioral intention yang menguntungkan.

Selnes (1993, dalam Athanassopoulos, 2000; 194) menunjukkan hubungan antara

kepuasan, reputasi merek, dan loyalitas. Reputasi merek dianggap sebagai persepsi

kualitas yang terkait dengan nama produk atau perusahaan yang memberikan jasa. Di

bidang jasa keuangan, reputasi merek terutama dikaitkan dengan dimensi kepuasan

pelanggan yang sering diistilahkan sebagai “corporate quality”. Salah satu kunci dari

nama merek adalah bahwa hal ini dapat memfasilitasi pilihan yang terkait dengan waktu

ketika pelanggan tidak dapat membedakan karakteristik yang membedakan diantara

111
jasa/produk yang diberikan. Di dalam bidang jasa, nama merek sering dihubungkan

dengan reputasi perusahaan dibandingkan dengan produk atau jasa secara individual.

Parasuraman, at al., (1996; 42) berpendapat bahwa jika kualitas jasa dihubungkan dengan

mempertahankan pelanggan pada tingkat agregat, maka hal ini harus dapat dideteksi dari

respon perilaku pelanggan secara individu.

2.1.8. Kepuasan Pelanggan dan Perilaku Pembelian

Perubahan lingkungan perdagangan ritel yang demikian cepat dicirikan oleh

tingginya kompetisi yang terjadi baik di kalangan pedagang ritel domestik maupun

masuknya perusahaan ritel dengan jaringan internasional. Kondisi tersebut mengharuskan

para pedagang ritel melakukan diferensiasi untuk memenuhi kebutuhan pelanggannya

lebih baik dari pesaingnya untuk meraih dan mempertahankan pangsa pasar. Dengan kata

lain, para pelaku bisnis ritel harus terus menerus melakukan perbaikan dalam rangka

menciptakan daya saing dalam memerikan nilai yang tinggi kepada pelanggan, karena pada

dasarnya upaya pemasaran tidak hanya bertujuan untuk memikat calon pembeli sebanyak-

banyaknya saja tetapi yang lebih penting lagi adalah mempertahankan pelanggan yang

sudah ada dengan menyediakan barang dan jasa yang memnuhi kriteria kualitas yang

diinginkan oleh pelanggan. Paradigma pemasaran yang berorientasi kepada pelanggan

telah terbukti cukup handal untuk mempertahankan pelanggan yang sudah ada.

Selama dua dekade yang lalu, manajemen kepuasan pelanggan telah muncul

sebagai suatu strategi yang harus dijalankan oleh sebahagian besar perusahaan. Mencapai

peringkat kepuasan pelanggan yang lebih tinggi telah dijadikan tujuan perusahaan.

Selanjutnya pada dekade 1990-an orang mulai menyadari bahwa penentuan kepuasan

pelanggan merupakan alat strategis untuk mempertahankan pelanggan yang secara

112
langsung mempengaruhi profit (Mittal dan Kamakura, 2000; 131). Dengan demikian

banyak pelaku bisnis berupaya untuk meneliti hubugan antara kepuasan pelanggan dengan

perikalu pembelian berulang yang dilakukan oleh pelanggan karena perilaku tersebut

merupakan indikasi kepuasan terhadap barang/jasa yang dibelinya.

Dorongan untuk mempertahankan pelanggan ini didasari kenyataan bahwa

mempertahankan pelanggan lebih murah daipada mendapatkan pelanggan baru, juga lebih

murah daripada mempertahankan pelanggan yang baru diperoleh Reichheld , (1996 dalam

Mittal dan Kamakura, 2000; 131).

Perilaku konsumen adalah sesuatu fenomena yang kompleks, karena menyangkut

banyak variabel yang mempengaruhinya serta kecenderungannya untuk saling berinteraksi.

Dengan demikian menentukan hubungan antara perilaku pembelian berulang dengan

kepuasan pelanggan tidaklah mudah. Secara teoritis tingkat kepuasan berhubungan

dengan perilaku pembelian berulang, tetapi hubungan ini sulit untuk diamati karena

perilaku pelanggan dipengaruhi oleh karakteristik pelanggan (Mittal dan Kamakura, 2000;

131).

Mengingat bahwa perilaku pelanggan merupakan suatu fenomena yang kompleks,

maka untuk mempermudah analisis perilaku konsumen, telah dikembangkan berbagai

model perilaku konsumen yang tujuan utamanya adalah : (1) untuk membantu dalam

mengembangkan teori yang mengarahkan penelitian perilaku konsumen, (2) sebagai bahan

dasar untuk mempelajari pengetahuan perilaku konsumen yang terus berkembang.

113
Umpan Balik Bagi
Konsumen
Komunikasu
Individu

Pengaruh-Pengaruh Pembuatan Keputusan Tanggapan


Lingkungan Konsumen Konsumen

Penerapan Dari
Perilaku Konsumen
Pada Strategi
Pemasaran
Umpan Balik Bagi
Pemasaran

Gambar. 2. 5. Model perilaku konsumen (Sumber : Assael 1992, dalam Sutisna. 2001:6)
Model Perilaku Konsumen pada gambar 2. 5 diatas menunjukkan adanya interaksi

antara pemasar dengan konsumennya. Komponen pusat dari model tersebut adalah

pengambilan keputusan yang terdiri atas proses merasakan dan evaluasi informasi merek

produk, mempertimbangkan alternatif merek dapat memenuhi kebutuhan konsumen, dan

pada akhirnya memutuskan merek apa yang akan dibeli.

Terdapat 3 (tiga) faktor yang mempengaruhi pilihan konsumen yaitu:

1. Faktor individu, artinya pilihan untuk membeli suatu produk dengan merek tertentu

dipengaruhi oleh hal-hal yang ada pada diri konsumen. Kebutuhan, persepsi terhadap

karakteristik merek, sikap, kondisi demografis, gaya hidup dan karakterisitik

kepribadian individu akan mempengaruhi pilihan inidividu terhadap berbagai alternatif

merek yang tersedia.

2. Faktor lingkungan konsumen, yaitu pilihan konsumen terhadap merek dipengaruhi oleh

lingkungan yang mengitarinya. Konsumen dalam membeli suatu produk , mungkin

didasari oleh banyak pertimbangan misalnya, membeli suatu merek tertentu karena

114
meniru teman sekolahnya atau mungkin juga tetangganya. Jadi interaksi sosial yang

dilakukan oleh konsumen tersebut, akan turut mempengaruhi pilihannya terhadap suatu

merek yang akan dibelinya.

3. Faktor stimulus pemasaran atau strategi pemasaran, dimana pemasar berusaha untuk

mempengaruhi konsumen dengan menggunakan stimulus-stimulus pemasaran,

misalnya, iklan agar konsumen bersedia memilih merek yang ditawarkan.

Selanjutnya Pemasar harus mengevaluasi strategi pemasaran yang dilakukan

dengan melihat respon konsumen untuk memperbaiki strategi pemasaran dimasa yang akan

datang.

Menurut Mittal dan Kamakura (2000; 132) karakteristik pelanggan akan

menentukan: (1) batas ambang kepuasan, (2) adanya bias respon, dan (3) hubungan

satisfaction-retention yang bersifat non-linier. Dijelaskan bahwa pelanggan dengan

karakteristik yang berbeda memiliki perbedaan yang bersifat sistematis dalam ambang

kepuasan (satisfaction threshold) dan bias respons. Mereka juga membuktikan sifat

hubungan non linier antara kepuasan pelanggan dan perilaku pembelian berulang yang

disebabkan oleh karakteristik pelanggan. Adapun karakteristik pelanggan yang

dimasukkan dalam penelitian mereka adalah jenis kelamin, tingkat pendidikan, status

perkawinan, area tempat tinggal, umur, dan jumlah anak. Sedangkan Engel, et al., (1995)

menyebutkan bahwa pembelian berulang berhubungan dengan : (1) pemecahan masalah

berulang, dan (2) pengambilan keputusan kebiasaan (habitual decision making). Dari

perspektif kebiasaan, pembelian berulang didasarkan kepada loyalitas merek (brand

loyalty) dan kebiasaan yang didasarkan pada inertia, yaitu perubahan harga atau adanya

label “baru”.

115
Mempertahankan pelanggan merupakan hal penting dalam strategi pemasaran.

Secara tradisional, mempertahankan pelanggan dipandang sebagai hasil dari keberhasilan

pemasaran, atau dengan kata lain bahwa mempertahankan pelanggan ini dipandang

sebagai hasil sampingan dari pemasaran. Dengan demikian organisasi yang berfokus pada

upaya mendapatkan pelanggan memiliki tujuan yang dinyatakan secara eksplisit dengan

istilah meningkatkan pangsa pasar. Hal ini pada gilirannya diasumsikan akan

meningkatkan kekuatan dan profitabilitas organisasi. Sepanjang pangsa pasar terus

berkembang, maka hal ini dapat diterima dan pemasar dipandang telah bekerja dengan

baik.

Dalam kaitan dengan mempertahankan pelanggan ini, O’Maley (1998; 48)

mencoba untuk menentukan definisi dari loyalitas pelanggan. Sebahagian besar literatur

menyebutkan bahwa kepuasan pelanggan merupakan pendekatan dari ukuran loyalitas,

dimana kepuasan pelanggan diasumsikan mempengaruhi minat membeli. Akan tetapi

penelitian mengindikasikan hal yang terlalu disederhanakan jika dikatakan bahwa

pelanggan yang tidak puas akan tidak loyal (beralih kepada pihak lain) dan pelanggan

yang puas akan loyal. Reichheld dalam O’Maley (1998; 53) menemukan bahwa walaupun

merasa “puas” atau “sangat puas” banyak pelanggan yang tetap beralih kepada pihak lain.

Suatu penelitian di Inggris yang dikemukakan oleh O’Maley (1998; 48) menyebutkan

bahwa walaupun 85 persen dari pelanggan otomotif dilaporkan merasa puas, hanya 40

persen saja yang mengulang pembelian, dan 66 persen dari pelanggan barang kemasan

yang menyukai merek terkenal telah membeli barang dari merek lain. Perilaku seperti itu

disebabkan karena adanya variabel pilihan, convenience, harga dan pendapatan.

Assael (1995; 133) menyebutkan bahwa “loyalitas menunjukkan suatu

komitmen terhadap merek yang tidak hanya direfleksikan dengan sekedar mengukur

116
perilaku kontinyu”. Ukuran perilaku bersifat terbatas dalam menentukan faktor-faktor

yang mempengaruhi pengulangan pembelian. Atau dengan kata lain, ukuran perilaku tidak

cukup untuk menjelaskan bagaimana dan mengapa loyalitas merek berkembang dan / atau

berubah, pengulangan pembelian yang tinggi mungkin merefleksikan kendala situasi,

seperti misalnya merek yang ditimbun oleh pedagang ritel, sedangkan pengulangan

pembelian yang rendah secara sederhana merefleksikan situasi penggunaan yang berbeda,

mencari variasi, atau tidak adanya preferensi merek di dalam unit pembelian Dick dan

Basu, (1994, dalam O’Maley, 1998; 49).

Dick dan Basu, (1994 dalam O’Maley (1998; 49-50) mengemukakan bahwa

konsep loyalitas terdiri dari empat kategori, yakni: tidak loyal, loyalitas rancu

(spurious loyalty), loyalitas terpendam (latent loyalty), dan loyalitas berkelanjutan

(sustainable loyalty). Di dalam pasar yang sudah mapan, perusahaan menggeser fokus

mereka dari upaya menarik pelanggan baru kearah pengelolaan hubungan dengan

pelanggan yang sudah ada. Tujuan inti dari manajemen hubungan pelanggan (customer

relation management) adalah untuk meningkatkan loyalitas pelanggan. Konsumen akan

loyal jika dia memiliki sikap yang kuat terhadap pemasok tertentu melebihi

kompetitornya. Sikap loyal menghasilkan perilaku pembelian yang loyal dan "word-of -

mouth" yang positif. Dalam hal ini loyalitas akan menghasilkan pendapatan yang tinggi

dan melindungi perusahaan dari tindakan persaingan yang membuat pelanggan yang loyal

berdasarkan asset yang bernilai tinggi di dalam pasar yang bersaing. Perusahaan

menginginkan untuk menggunakan bauran pemasaran untuk meningkatkan loyalitas

pelanggan. Selebihnya, instrumen yang terkait seperti program loyalitas, per-

lakuan personal, dan direct mail terutama bertujuan untuk meningkatkan loyalitas pelang-

gan. Investasi di dalam manajemen loyalitas ini sangat penting jika pelanggan menghadapi

117
keleluasaan dalam mengelola dana, karena mereka tidak terikat oleh kontrak atau teknik

produk.

2.1.9. Pengertian Nilai Pelanggan

Pendapat yang berbeda-beda tentang apa yang merupakan suatu nilai tidaklah

mengejutkan, karena nilai sangat bersifat pribadi. Apa yang bernilai bagi seseorang belum

tentu bernilai bagi orang lain.

Menurut Valarie zeithaml dan Mary jo Bitner, (2000 dalam James G. Barnes,

2001; 104) mengatakan bahwa pelanggan memandang nilai dalam beragam cara yang

berbeda yaitu :

1. Harga yang murah

2. Apapun yang saya inginkan dalam sebuah produk atau jasa,

3. Kualitas yang saya dapat sebagai ganti harga yang saya bayar

4. Apa yang saya dapat sebagai ganti apa yang saya beri.

Sedangkan menurut Morris Holbrook (1994, dalam James G. Barnes, 2003)

mengamati bahwa nilai adalah preferensi yang bersifat relative (komparatif, personal dan

situasional) yang memberi cirri pada pengalaman seseorang dalam berinteraksi dengan be-

berapa obyek.

Nilai Pelanggan adalah selisih antara manfaat yang diperoleh konsumen dari pro-

duk dan yang dikonsumsinya dengan pengorbanan yang dilakukan oleh konsumen untuk

memperoleh manfaat tersebut. Manfaat yang diperoleh dan pengorbanan yang dilakukan

oleh konsumen ditentukan oleh kualitas hubungan antara produsen dengan para pemasok,

antara produsen dengan para mitra bisnisnya, dan antara produsen dengan konsumen-

118
nya. Oleh karena itu formula Costomer Value yang dikemukan oleh Greg Bounds, (1994

dalam Mulyadi, 1998; 34) adalah sebagai berikut :

Customer Value = Manfaat - Pengorbanan

Nilai Pelanggan di definisikan sebagai pengkajian secara menyeluruh manfaat dari

suatu produk yang didasarkan pada persepsi pelanggan atas apa yang telah diterima oleh

pelanggan dan yang telah diberikan oleh produk / jasa tersebut.

Selain kepuasan pelanggan, faktor lain yang dapat dipertimbangkan mem-

pengaruhi loyalitas pelanggan adalah nilai yang diterima oleh pelanggan dalam setiap

transaksinya dengan pihak penyedia jasa. Tidak ada produk atau jasa yang bernilai tinggi

dengan sendirinya tetapi harus melalui proses penciptaan nilai dari pelanggan

(Zins, 2001; 2889). Woodruff (1997, dalam Zins, 2001; 2890) menyatakan : Nilai pelang-

gan adalah rasa suka dan evaluasi pelanggan terhadap atribut produk, atribut kinerja,

dan konsekwensi yang muncul dari penggunaan fasilitas dalam mencapai tujuan dan mak-

sud pelanggan dalam situasi yang dihadapinya … yang menghubungkan produk dengan

situasi dan konsekwensi terkait yang dialami oleh pelanggan yang berorientasi pada tujuan.

Definisi lain yang relevan untuk menjelaskan nilai pelanggan adalah yang

dikemukakan oleh Zeithaml (1988) yang menyarankan untuk memperlakukan nilai sebagai

imbalan (tradeoff) hubungan antara "give" dan "get", yaitu selisih antara pengorbanan dan

perolehan.

Komponen “give” tidak terbatas pada kontribusi finansial pelanggan saja tetapi

meliputi semua pengorbanan (fisik, psikologis dan waktu) yang diperlukan untuk mem-

peroleh pengalaman konsumsi yang diinginkan. Di dalam bidang jasa, kualitas bi-

asanya diidentitifikasikan sebagai komponen "get".

119
Pelanggan membutuhkan pelayanan serta manfaat dari produk atau jasa tersebut.

selain uang, pelanggan juga mengeluarkan waktu dan tenaga guna mendapatkan suatu

produk, karena walaupun suatu jasa berkualitas serta memuaskan pelanggan, namun

belum tentu jasa tersebut bernilai bagi pelanggan. Semakin bernilai suatu jasa, maka se-

makin bertambahlah kebutuhan pelanggan yang dapat dipenuhi oleh jasa tersebut. Pelang-

gan semakin loyal bila jasa yang diberikan bernilai baginya (relatif dengan yang diperki-

rakan akan diterimanya dari pesaing).

Seth Newman Gross, 1991 (dalam Rangkuti, 2002; 31) mengembangkan suatu

model yang menunjukkan bahwa konsumen memilih (membeli atau tidak) suatu produk /

jasa berdasarkan 5 (lima) komponen nilai yaitu :

1. Nilai fungsi

Manfaat suatu produk / jasa dikaitkan dengan kemampuan produk/jasa tersebut un-

tuk memenuhi fungsinya dari sudut pandang pertimbangan ekonomi.

2. Nilai sosial; manfaat suatu produk/jasa dikaitkan dengan kemampuan produk/ jasa

tersebut untuk mengidentikkan penggunanya dengan suatu kelompok sosial ter-

tentu.

3. Nilai emosi; manfaat suatu produk dikaitkan dengan kemampuan produk / jasa terse-

but untuk membangkitkan perasaaan atau emosi penggunanya.

4. Nilai efisien; manfaat suatu produk / jasa dihubungkan dengan kemam-

puan produk/jasa tersebut untuk memenuhi keingintahuan pemakainya.

5. Nilai kondisi; manfaat suatu produk dikaitkan dengan kemampuan produk tersebut un-

tuk memenuhi keperluan penggunanya pada saat dan kondisi tertentu.

Di dalam manajemen tradisional, produsen produk dan jasa berpandangan bahwa

kelangsungan hidup dan perkembangan organisasi ditentukan oleh kemampuan organ-

120
isasi tersebut di dalam memproduksi dan menyediakan produk dan jasa, terlepas dari

apakah produk dan jasa tersebut menghasilkan manfaat bagi customer atau tidak. Oleh

karena itu, di masa lalu sering kita dengan ungkapan “ Kami menjual apa yang dapat kami

buat”, Sedangkan dalam manajemen kontemporer berpandangan bahwa suatu organ-

isasi akan dapat mempertahankan kelangsungan hidup dan memiliki kesempatan untuk

berkembang, jika organisasi tersebut mampu memproduksi dan menyediakan produk dan

jasa yang menghasilkan nilai bagi pelanggan. Sehingga ungkapan yang dipakai adalah :

Kami membuat apa yang dibutuhkan oleh pelanggan”.

Di dalam lingkungan bisnis, dimana pelanggan memegang kendali bisnis maka

paradigma customer value mengfokuskan semua sumberdaya yang dikuasai oleh oganisasi

untuk menghasilkan nilai untuk memenuhi kebutuhan pelanggan sehingga dengan

demikian dalam setiap proses tahap proses manajemen, kegiatan ditujukan untuk meng-

hasilkan value bagi pelanggan. Proses manajemen yang berhasil adalah proses yang

mampu menghasilkan satisfied customer.

Mulyadi (1998; 35) mengatakan bahwa di dalam lingkungan bisnis yang di-

dalamnya pelanggan memegang kendali bisnis, maka organisasi akan berhasil sebagai

Wealth creating institution apabila :

1. Mendesain produk dan jasa yang menghasilkan nilai bagi pelanggan.

2. Memproduksi produk dan jasa tersebut serta mendistribusikannya ke pelanggan

dengan proses operasi yang cost effiective.

3. Memasarkan dan menjual produk dan jasa tersebut secara efektif kepada pelanggan.

Jika diperhatikan ketiga syarat untuk menjadikan perusahaan sukses sebagai wealth

creating institution tersebut diatas, tidak satupun syarat yang tidak berkaitan dengan

121
pelanggan. Sehingga dengan demikian, pergeseran paradigma ke customer value, akan

memberikan jaminan bagi organisasi perusahaan untuk berhasil sebagai pencipta kekayaan.

Untuk mewujudkan keberhasilan konsep customer value, maka Mulyadi (1998; 39)

menyatakan bahwa seluruh personil organisasi meyakini bahwa :

1. Bisnis merupakan suatu mata rantai yang menghubungkan pemasok dengan

pelanggan,

2. Pelanggan merupakan tujuan pekerjaan.

3. Sukses merupakan hasil penilaian terhadap suara pelanggan.

Selanjutnya Mulyadi (1998) mengatakan bahwa untuk mewujudkan paradigma

customer value perlu ditanamkan adanya personal value yang cocok dengan paradigma

tersebut yaitu :

1. Integritas, yaitu kemampuan seseorang untuk mewujudkan apa yang telah

dikatakan menjadi suatu realitas, dalam situasi apapun.

2. Kesediaan untuk melayani, Jika diyakini bahwa fokus perusahaan adalah

pelanggan, maka tidak ada alasan yang menopang keberadaan suatu organisasi dalam

mewujudkan paradigma costomer value adalah kesediaan untuk melayani, karena

kesediaan untuk melayani adalah merupakan tindakan yang terpuji dalam

berhubungan dengan pelanggan.

3. Kerendahan hati, yaitu dimana pelanggan hanya dapat tercipta jika setiap anggota or-

ganisasi memiliki personal value, karena kerendahan hati adalah merupakan sikap

mental yang mampu menerima seseorang dan menjadikan orang menem -

patkan diri pada posisi yang mampu menerima setiap kelainan dalam berhubungan

dengan pelanggan.

122
2.1.10. Loyalitas Pelanggan

Kajian dari sejumlah literatur tentang kepuasan pelanggan menunjukkan

beberapa bukti bahwa pusat sumber dari kepuasan pelanggan adalah kualitas. Kepuasan

pelanggan mengukur sampai sejauh mana harapan pelanggan dapat dipenuhi oleh

transasksi yang dilakukan. Di lain pihak, loyalitas pelanggan mengukur seberapa

besar kecenderungan pelanggan untuk kembali melakukan transaksi dan juga men-

gukur tingkat keinginan pelanggan tersebut untuk melakukan aktivitas sebagai "mitra"

dengan memberikan rekomendasi kepada orang lain.

Pelanggan yang menerima apa yang diharapkannya sangat mungkin untuk puas, se-

lebihnya jika harapannya tersebut terlampaui boleh jadi pelanggan akan sangat puas.

Kepuasan pelanggan ini merupakan syarat bagi loyalitas, tetapi pelanggan yang puas

belum tentu menjadi pelanggan yang loyal. Di pasar termasuk di dalam perdagangan

eceran, pelanggan sering kali membeli dari berbagai perusahaan secara teratur, suatu

fenomena yang dinamakan sebagai polygamous loyalty dalam hal ini, membeli dalam

jumlah banyak tidak mencerminkan perilaku loyal.

Loyalitas pelanggan merupakan suatu konsep yang banyak ditinjau dalam peneli-

tian perilaku konsumen. Leanne, Souchon dan Thirkell (2001) menyebutkan bahwa loyali-

tas pelanggan memiliki dua elemen, yakni elemen perilaku dan elemen sikap. Dengan

pendekatan pada elemen perilaku, definisi loyalitas pelanggan mejadi dangkal. Loyalitas

hanya ditunjukkan berdasarkan pola pembelian saja, dan pendekatan ini mendefinisikan

loyalitas berdasarkan level pembelian dari produk tertentu atau merek dalam kerangka

waktu tertentu. Konseptualisasi loyalitas pelanggan melalui pendekatan elemen sikap dapat

memberikan definisi loyalitas yang lebih baik.

123
Assael (1995; 131-132) menyebutkan bahwa “loyalitas menunjukkan suatu komit-

men terhadap merek yang tidak hanya direfleksikan dengan sekedar mengukur perilaku

kontinyu”. Ukuran perilaku bersifat terbatas dalam menentukan faktor-faktor yang

mempengaruhi pengulangan pembelian. Atau dengan kata lain, ukuran perilaku tidak

cukup untuk menjelaskan bagaimana dan mengapa loyalitas merek berkembang dan / atau

berubah, pengulangan pembelian yang tinggi mungkin merefleksikan kendala situasi,

seperti misalnya merek yang ditimbun oleh pedagang ritel, sedangkan pengulangan

pembelian yang rendah secara sederhana merefleksikan situasi penggunaan yang

berbeda, mencari variasi, atau tidak adanya preferensi merek di dalam unit pembelian

Dick dan Basu, 1994 (dalam O’Maley, 1998; 50). Selanjutnya mereka megemukakan kon-

sep loyalitas yang terdiri dari empat kategori, yakni: tidak loyal, loyalitas rancu (spu-

rious loyalty), loyalitas terpendam (latent loyalty), dan loyalitas berkelanjutan (sustain-

able loyalty).

Tabel. 2. 1. Penggolongan loyalitas pelanggan


Tidak ada Loyalitas Loyalitas
Kategori Loyalitas Rancu
Loyalitas Terpendam Berkelanjutan
Hubungan
Rendah Rendah Tinggi Tinggi
Sikap
Pengulangan
Perilaku Pengulangan Pengulang Pengulangan
pembelian
langganan pembelian tinggi pembelian rendah pembelian tinggi
rendah
Menjadi Konsumen ingin Individu senang
pelanggan menjadi pelang-gan memiliki
Tidak
perusahaan tetapi tetap, tetapi hubung-an
menjadi
tidak memiliki hu- mungkin tidak dengan peru-
pelanggan
bungan sikap yang mampu, lokasi toko sahaan, adanya
Manifestasi tetap dan
tinggi. Mungkin tidak terjang-kau, rasa kebersama-
tidak ingin
di-sebabkan oleh tidak ada merek an dengan
menjadi
fak-tor lain seperti yang men-jadi perila-ku
pelanggan
loka-si, tidak ada favoritnya dan lain- berlanggan yang
pilihan lain tinggi
Manajemen Loyalitas yang Upaya manjerian Loyalitas harus
dapat ran-cu tidak dapat sebaiknya berfo-kus terus diperkuat
berupaya un- dian-dalkan. pada peme-cahan secara terus me-
Implikasi
tuk Konsumen jelas- hambatan untuk nerus dan nilai
membangkit- jelas akan beralih meningkat-kan yang ditawarkan
kan loyalitas jika ada tawaran perilaku ber- harus tetap dapat
124
rancu yang lebih baik langganan diterima
Sumber : Dick dan Basu, 1994 ( dalam O’Maley, 1998:50)

Selain kepuasan pelanggan, faktor lain yang dapat dipertimbangkan mempengruhi

loyalitas pelanggan adalah nilai yang diterima oleh pelanggan dalam setiap melakukan

transaksi dengan pihak penyedia jasa. Tidak ada produk atau jasa yang bernilai tinggi

dengan sendirinya tetapi harus melalui proses penciptaan nilai dari pelanggan (Zins, 2001;

2890).

Woodruff (1997; 142) mengatakan bahwa nilai pelanggan adalah rasa suka dan

evaluasi pelanggan terhadap atribut produk, atribut kinerja, dan konsekwensi yang

muncul dari penggunaan fasilitas dalam mencapai tujuan dan maksud pelanggan

dalam situasi yang dihadapi yang menghubungkan produk dengan situasi dan konsekwensi

terkait yang dialami oleh pelanggan yang berorientasi pada tujuan.

125
2.2. Tinjauan Penelitian Terdahulu

Rancangan Penelitian
Judul Artikel/
Peneliti Tujuan Jenis dan Hasil Temuan Kekuatan dan Kelemahan
Populasi dan
Penelitian Pengukuran Alat analisis
Sampel
Variabel
Variabel penelitian:
a.Tahap 1 : 6 factor
yang terdiri dari a.
tangibles, b. relia-
bility, c.respon-
siveness, d. comu-  Alat ukur kualitas jasa dengan
nication, credibil- menggunakan paradigma
 Judul ity, security, com- disconfirmation : perception  Kelemahan
SERVQUAL : A petence, cousrtasy, minus expectation (P-E). SERVQUAL ; bukan
Multiple-Item e. understanding/  Konseptualisasi kualitas jasa alat ukur yang
200 responden
Scale for knowing cus- yang dirasakan adalah sebagai bersifat generik yang
dewasa dari lima
Measuring tomers dan f. ac- evaluasi dari jasa dalam jangka dapat diterapkan
perusahan penyedia
A. Parasuraman Customer ces tangibles. panjang. dalam segala jenis
jasa yang berbeda : a.analsis Factor
Valarie A. Perceptions of Jumlah item dari  Instrumen untuk mengukur jasa sehingga perlu
appliance repair and b. One way
Zeithaml dan Service Quality 97 menjadi 54. kualitas jasa yang dinamakan disesuaikan untuk
maintenance, retail anova
Leonard L Berry b. Tahap kedua : 5 SERVQUAL yang terdiri dari jenis jasa tertentu.
banking, long- c. Regresion
(1988)  Tujuan factor yang terdiri lima dimensi: tangibles,  Kekuatan
distance telephone,
Konseptualisasi reliability, reliability, responsiveness, SERVQUAL adalah
security brokerage,
kualitas jasa dan responsiveness, assurance dan Empathy. bahwa dimensinya
and credit cards.
Menentukan assurance dan  Kepuasan merupakan evaluasi banyak digunakan
dimensi dari Empathy. Jumlah transaksi-spesifik. pada berbagai jenis
kualitas jasa item dari 34  Kepuasan pelanggan industri jasa.
menjadi 22 item menghasilkan persepsi terhadap
Pengukuran kualitas jasa
respons : skala
Likert 7 point, 1 =
sangat tidak setuju,
hingga 7 = sangat
setuju

7
Rancangan Penelitian
Judul Artikel/
Peneliti Tujuan Jenis dan Hasil Temuan Kekuatan dan Kelemahan
Populasi dan
Penelitian Pengukuran Alat analisis
Sampel
Variabel
 Alat ukur kualitas jasa
yang berdasarkan
paradigme perceived
 Keunggulan penelitian
service quality, yaitu
 Judul Merupakan ini adalah penggunaan
mengukur kualitas jasa
Measuring penelitian replikasi. alat analisis yang lebih
berdasarkan kinerja jasa
Service Quality: Semua item yang baik dari
yang dirasakan oleh
A digunakan oleh  SERVPERF lebih
pengguna jasa.
Reexamination Parasuraman, akurat dibandingkan
Confirmatory  Alat ukur kualitas jasa
and Extension 660 responden dari Zeithaml dan Berry dengan SERVQUAL
factor analysis, yang dinamakan
empat jenis industri (1988) tangibles,  Tingkat generalisasi di
J.Joseph Cronin Structural SERQUAL (Service
 Tujuan jasa: bank, reliability, luar keempat industri
Jr.dan Steven Equation Quality) dan SERVPERF
Menguji ulang pengendalian hama, responsiveness, jasa yang menjadi suyek
A.Taylor (1992) Modeling; (Service Quality
penelititan binatu dan makanan assurance dan penelitian.
Oblimin oblique Perceived)
terdahulu, cepat saji Empathy.  Membatsi hanya pada
factor rotation  koefisien path untuk
pengukuran Pengukuran respons dua perusahaan dengan
kualitas jasa  kepuasan
kualitas jasa : skala Likert 7 pangsa pasar tertinggi
 purchase intention
hanya point, 1 = sangat dikhawatirkan
semuanya signifikan
berdasarkan tidak setuju, hingga mempengaruhi
 koefisien paath dari
persepsi. 7 = sangat setuju distribusi variabel.
kepuasan  kualitas jasa
 purchase intention
tidak signifikan.

8
Rancangan Penelitian
Judul Artikel/ Kekuatan dan
Peneliti Hasil Temuan
Tujuan Penelitian Populasi dan Jenis dan Pengukuran Kelemahan
Alat analisis
Sampel Variabel
Lima dimensi Kualitas Jasa
 Instrumen untuk
 Judul Ritel: physical aspects,
mengukur kualitas jasa pada Kondisi industri
A Measure of Service reliability, personal
perdagangan ritel (Retail ritel yang terdiri
Quality for Retail interaction, problem solving
Service Quality) yang dari produk
Dabholkar, Stores: Scale 227 responden dari dan policy digunakan dalam
terdiri dari lima dimensi barang dan jasa
Pratibha A., Development and 7 retail dari 2 penelitian ini. Dari lima
Confiormatory enam subdimensi akan akan
Dayle I. Validation. departement store dimensi tersebut tiga dimensi
factor analysis  Variabel kualitas jasa berpengaruh
Thorpe and (chain store) di yang pertama diuji untuk
(LISREL) merupakan variabel laten terhadap
Joseph O.  Tujuan Amerika Serikat strukturnya dengan
yang berstruktur hierarkhis penentuan item-
Rentz. (1996) Menentukan dimensi Bagian Selatan memberikan subdimensi baru,
yang terdiri dari first order item
yang mendasari yaitu : appearance,
factors dan second order pengukuran
kualitas jasa pada convenience promises, doing
factors. kualitas jasa.
perdagangan reiel it right, inspriring confidence,
dan courteous/helpful

9
Rancangan Penelitian
Hasil Temuan Kekuatan dan Kelemahan
Judul Artikel/ Populasi dan Jenis dan Pengukuran Alat
Peneliti
Tujuan Penelitian Sampel Variabel analisis
Studi yang
pertama
mengambil
sampel 1247 o Ada pengaruh secara langsung dari
yang terdiri dari
Assesing the ef- service value terhadap loyalitas o Penelitian ini telah
spectator dan
fects of quality, Variabel yang pelanggan (behavioral intention) mengembangkan instrumen
participation
value, and cus- digunakan yaitu o Kepuasan pelanggan (satisfaction) kualitas jasa dalam tiga
sport, dan Structure
Brady, Cronin, tomer satisfac- pengorbanan, kualitas berpengaruh secara significant terhadap dimensi kualitas interaksi,
entertainment equation
Thomas tion on con- layanan, kepuasan loyalitas pelanggan. kualitas lingkungan fisik
Modelling
(2000) sumer behav- pelanggan, nilai o kualitas jasa (service quality) dan nilai dan kualitas hasil akhir
Studi yang (LISREL)
ioral intentions pelanggan, loyalitas pelanggan (service value) berpengaruh sangat berbeda dengan
kedua
in service envi- pelanggan secara tidak langsung terhadap penelitian sebelumnya.
mengambil
ronment loyalitas pelanggan
sebanyak 697
yang terdiri dari
health, long
distance carrier,
dan fast food

10
Rancangan Penelitian
Judul Artikel/
Peneliti Hasil Temuan Kekuatan dan Kelemahan
Tujuan Penelitian Populasi dan Jenis dan Pengukuran
Alat analisis
Sampel Variabel
o Penelitian ini merupakan
o Kualitas jasa merupakan
rekonsiliasi dari
konstruk dengan struktur
perdebatan antara
hierarkhis sebagai third-order
penganut paradigma
factor yang memiliki tiga
disconfirmation
dimensi: kualitas interaksi,
(SERVQUAL) yang
kualitas lingkungan fisik
digagas oleh Parasuraman,
dankualitas hasil akhir; dan
o Judul Zeithaml dan Berry (1988)
sembilan subdimensi: attitude,
Some New dengan paradigma
Tiga dimensi dari behavior, expertise, ambient
Thoughts on perceived service quality
kualitas jasa diadopsi conditions, design, social
Conceptualizing (SERVPERF) yang
dari penelitian Rust dan factors, waiting time, tangibles,
Perceived Service digagas oleh Cronin dan
Oliver (1994) : dan valence
Quality: Taylor. Rekonsiliasi
interaction quality, o pelanggan membentuk
Hierarchical 1149 responden dilakukan dengan
physical environment persepsi kualitas layanan memasukkan dimensi,
Approach dari Empat jenis
Michael K. quality, dan outcome Confirmator dengan dasar evaluasi mereka subdimensi dan item-item
industri jasa:
Brady dan J. quality; ditambah y factor terhadap tiga dimensi primer: pengukuran dari keduanya
o Tujuan makanan cepat
Joseph Cronin struktur hierarchis analysis kualitas lingkungan, hasil, plus model Rust dan
Konseptualisasi saji, proses foto,
Jr. (2001) dengan sembilan (LISREL) interaksi Oliver (1994)
kualitas jasa taman hiburan,
subdimensi: attitude, o tiga dimensi primer tersusun o mengumpulkan berbagai
dengan pendekatan dan binatu
behavior, expertise, dari berbagai sub-dimensi.
hierarakhis dan konseptualisasi kualitas
ambient conditions, Pelanggan mendasarkan
rekonsiliasi layanan kedalam kerangka
design, social factors, evaluasi dimensi primer kepada
perdebatan yang kerja tunggal,
waiting time, tangibles, penilaian tiga sub-faktor yang
terus berlangsung komprehensif dan
dan valence saling berhubungan. Kombinasi
mengenai kualitas multidimensional dengan
dari semua ini membentuk dasar teoritis yang kuat
jasa
persepsi pelanggan keseluruhan o menjawab perilaku
mengenai kualitas pelayanan
penelitian kualitas
o reliabilitas, responsivitas dan
pelayanan dan dapat
empati penyedia layanan membantu mengurangi
memegang peran penting kebuntuan
didalam penyediaan kualitas
layanan yang baik

11
Rancangan Penelitian
Hasil Temuan Kekuatan dan Kelemahan
Judul Artikel/ Populasi dan Jenis dan Pengukuran Alat
Peneliti
Tujuan Penelitian Sampel Variabel analisis
o Kebijakan dianggap sebagai
o Penelitian ini merupakan
dimensi yang paling
upaya untuk menentukan
menguntungkan bagi konsumen dan
Dimensi ukuran faktor-faktor spesifik
o Judul A memiliki pengaruh positif terhadap
mutu pelayanan ritel pada bidang
Measure of prilaku konsumsi di masa yang
yang diteliti yakni : perdagangan ritel
Retail Service akan datang
200 orang personal interaction o Keenam dimensi yang
Quality o Konsumen target tidak puas dengan
responden, (interaksi pribadi), diuji lemah dalam
penampilan fisik dan janji. Fasilitas,
terdiri dari 100 policy (kebijakan), menjelaskan perbedaan
Noel Y.M Siu o Tujuan peralatan dan perlengkapan tidak
wanita dengan physical aspect Explorator minat untuk membeli
dan Jeff Tak- Menentukan cukup menarik bagi pelanggan
umur rata-rata (penampilan fisik), y Factor dan memberi
Hing Cheung dimensi dengan penampilan fisik yang
29 tahun dan assurance (jaminan), Analysis rekomendasi
2001 kualitas jasa menekanan penampilan toko dan
100 pria dengan problem solving o Keenam dimensi masih
pada umur rata-rata (pemecahan perlengkapannya dalam gaya
lemah dalam
perdagangan Inggris klasik kuno tidak menarik
31 tahun masalah), dan menjelaskan perilaku
ritel dalam conformance bagi konsumen target yang
belanja sehingga
tatanan tergolong usia muda. Sebaliknya,
(kenyamanan). kualitas jasa bukan
budaya Asia kelompok yang paling puas adalah
merupakan alat untuk
kelompok berusia 35 tahun atau
menciptakan perilaku
lebih dan tingkat pendapatannya di
belanja.
atas $30.000.

12
Rancangan Penelitian
Hasil Temuan Kekuatan dan Kelemahan
Judul Artikel/ Populasi dan Jenis dan Pengukuran Alat
Peneliti
Tujuan Penelitian Sampel Variabel analisis

o Dalam berbagai literature pemasaran


jasa, jasa sering digambarkan seperti
tak berwujud (intagibility), berbagai
Marketing macam (heterogeneity), pemakaian
services : the produksi yang tidak dapat dipisahkan
case of missing (inseparability of consumption from
product production ketidakmungkinan
untuk menjaga persediaan (impossi-
Mendiskusikan bility to keep services in stock)
solusi tentang padahal dua yang pertama tidak
masalah yang o Kualitas jasa yang hanya pada jasa, sedangkan sisanya
dihadapi Kajian literatur dirasakan merupakan proses alami pada jasa.
o Model yang dibangun
pelanggan yang yang didasarkan o Pengalaman jasa
Christian hanya didasarkan pada
pada saat yang pada the Nordic o Jasa yang Deskriptif o Kunci sukses dalam pemasaran jasa
Gronross jurnal-jurnal yang telah
sama juga School of mar- diharapkan kualitatif terletak pada produk, pasar dan pe-
(1998) ada belum diuji secara
memenuhi keting o Teknik kualitas rusahaan. Ketiganya harus berjalan
empiris
tujuan o Fungsi kualitas secara bersamaan.
pemasaran
dalam konteks o Gronsoss menawarkan model interak-
pelayanan dan tif marketing dengan menghindari
implikasi dari adanya produk yang tidak dikehen-
pemasaran jasa daki oleh pasar dengan menghubun-
yang mengikuti gan antara perusahaan (pemasaran
karakteristik yang full time) dengan pelanggan dan
pemakaian jasa pengembangan teknologi yang berke-
lanjutan. Sehingga kualitas jasa yang
diharapkan pelanggan biss tercapai .
artinya antara harapan dan kenyataan
sesuai.

13
Rancangan Penelitian
Hasil Temuan Kekuatan dan Kelemahan
Judul Artikel/ Populasi dan Jenis dan Pengukuran Alat
Peneliti
Tujuan Penelitian Sampel Variabel analisis
Lokasi
penelitian ini
adalah o kinerja karyawan mempunyai
pelanggan hotel
pengaruh yang signifikan terhadap o Obyek yang dijadikan
yang ada di ibu
kualitas dan nilai jasa pelanggan penelitian (hotel) hanya
kota yang
o Semua departemen menunjukkan dua buah sehingga
masing-masing
The impact of hasil yang sama kecuali pada hasilnya tidak bisa
memiliki
employee departemen Bar. Kinerja Bar digeneralisasi untuk
kualitas kinerja karyawan
Performance mungkin dihasilkan oleh interaksi hotel-hotel yang lain.
Wiliams, pelayanan dan persepsi pelanggan
Cues on Guest Multiple antara staff bar dengan tamu di hotel
Julian Gould, lokasi yang kualitas jasa,
loyalty, regression ini o Frekuensi dan
19 berada di tengah nilai pelanggan
perceived value o kinerja karyawan berpengaruh panjangnya interaksi
ibu kota loyalitas pelanggan
and service secara langsung terhadap loyalitas tamu dengan karyawan
hotel memiliki
quality pelanggan. Hal ini membuktikan masing-masing hotel
kamar tidur
bahwa untuk menjadi hotel yang berbeda padahal hal ini
sejumlah 103
mampu bersaing diperlukan bisa mempengaruhi
dan 141 dan
keunggulan kompetetif dengan kinerja karyawan
masing-masing
memiliki meningkatkan kualitas pelayanannya
karyawan
kurang lebih 65

14
Rancangan Penelitian
Hasil Temuan Kekuatan dan Kelemahan
Judul Artikel/ Populasi dan Jenis dan Pengukuran Alat
Peneliti
Tujuan Penelitian Sampel Variabel analisis

o kualitas jasa yang dirasakan o hanya menggunakan


Service loyalty:
pengujian secara parsial
The effects of merupakan hasil dari perbandingan
konsumen yang memiliki harapan hubungan antara 1).
service quality
hubungan antara kualitas
and the kualitas dan hasil kualitas
o kepuasan pelanggan merupakan jasa (variable
mediating role
independent) terhadap
of customer variable moderating antara kualitas
kepuasan pelanggan
satisfaction Structural jasa dengan loyalitas jasa
Kepuasan Pelanggan (mediator). 2). hubungan
Equation o berdasarkan tingkat pendidikannya
Albert Caruana Bank Kualitas Jasa antara kualitas jasa
Mendefinisikan Modelling terdapat perbedaan yang cukup
(2002) Sampelnya 183 Loyalitas jasa (variable independent)
konsep tentang (LISREL) signifikan demikian juga bila dari terhadap loyalitas jasa
loyalitas jasa ANOVA usia dari respondennya (dependent). 3).
dan o loyalitas jasa sangat dipengaruhi hubungan antara
hubungannya oleh kelas social. Dengan kepuasan pelanggan
dengan kualitas mengetahui perbedaan kelas social (variable independent)
jasa dan mampu membedakan preferensi terhadap loyalitas jasa
kepuasan loyalitas jasa dan implikasinya (dependent).
pelanggan pada pemasa o

15
Rancangan Penelitian
Hasil Temuan Kekuatan dan Kelemahan
Judul Artikel/ Populasi dan Jenis dan Pengukuran Alat
Peneliti
Tujuan Penelitian Sampel Variabel analisis
o Sebagian besar literature membahas
o Jurnal ini hanya
kualitas jasa secara detail terutama
Service Quality Team work memberikan ide
ketika menguji dampak prilaku
Enhancement: Adaptability peneltiain di masa
karyawan yang berhubungan dengan
The Role Of Em- Assurance mendatang
persepsi kualitas jasa pelanggan
Andrew Far- ployees' Service Civility berdasarkan hasil-
rell, Anne Sou- Behaviours Customer orientation hasil penelitian
o Memberikan pemahaman secara kon-
chon & Geof- Empathy Deskriptif terdahulu
Kajian literatur septual mengenai prilaku karyawan
frey Durden Membahas pri- Recovery kualitatif o Hipotesis yang
yang dapat meningkatkan persepsi
(2001) laku karyawan Reliability diberikan Farrel
pelanggan terhadap kualitas jasa
melalui pen- Responsivenes semuanya perlu diuji
ingkatan kuali- Spontaneity secara empiris
o Dalam penelitian ini diperkenalkan
tas jasa Tangibles dengan melakukan
hipotesis (pendugaan awal) sebagai
penelitian.
pedoman untuk melakukan riset di
masa depan

16
Rancangan Penelitian
Hasil Temuan Kekuatan dan Kelemahan
Judul Artikel/ Populasi dan Jenis dan Pengukuran Alat
Peneliti
Tujuan Penelitian Sampel Variabel analisis

The Effect of Re- o Atsmospher toko dapat


tail Atmospherics meningkatkan persepsi kualitas o Studi ini hanya
on Customers’ pelanggan
mengevaluasi pengaruh
Perceptions of
atsmospher toko
Salespeople and o Pengaruh lingkungan toko pada
terhadap persepsi
Customer Persua- level tertentu dapat mempengaruhi pelanggan pada pelayan.
sion: penjual retail. Hail ini memberikan
Availability o Astmospher hanya
Arun Sharma An Empirical In- sugesti bahwa suasana dan design
Evaluasi produk didefinisikan pada ruang
Thomas F. vestigation Multiple toko berhubungan secara positif
Retail Loyalitas pelanggan lingkup prestise dan
Stafford regrression dengan pelanggan dan penjual.
Atsmospher toko discount.
(2000) Mengevaluasi
Ketersedian penjual o Perlu dilakukan
pengaruh o Penelitian ini juga dapat
lingkungan toko investigasi secara
membuktikan bahwa pengurangan
pada persepsi mendalam terhadap
jumlah penjual tidak berhubungan
pelanggan dan responden agar proses
secara significant dengan prilaku
image toko persepsi pelanggan dapat
pembelian pelanggan.
diketahui denga benar.

17
Rancangan Penelitian
Hasil Temuan Kekuatan dan Kelemahan
Judul Artikel/ Populasi dan Jenis dan Pengukuran Alat
Peneliti
Tujuan Penelitian Sampel Variabel analisis
The management of
customer-contact ser- o Variabel yang
vice employees: An
digunakan bisa
empirical investiga-
digunakan untuk
tio
o komitmen menguji di bidang
o manajer yang mempunyai komitmen
manajemen kualitas jasa yang lain
Mengavuluasi respon terhadap kualitas jasa lebih mungkin
o kualitas jasa (seperti bank, ansuransi,
sikap dan prilaku Populasi menguasai prilaku karyawan mereka
o pemberdayaan rumah sakit)
hubungan antara karyawan dan dan penggunaan evaluasi berdasarkan
o Riset ini bisa
karyawan dengan manager di 9 o evaluasi prilaku.
Hartline, kembangkan dengan
pelanggan yang da- hotel yang berdasarkan o Penggunaan pemberdayaan memiliki
Michael D; Confirmat menghubungkan lebih
pat mempengaruhi berjumalh prilaku konsekuensi nilai positif dan negatif
Ferrell, O C ory analisis lanjut hubungan antara
persepsi kualitas jasa Sampelnya o aturan konflik dan daam mengatur karyawan
(1996) kepercayaan diri (self
terhadap mereka, berjumlah 561 ambiguitas o Untuk meningkatkan persepsi
efficacy dengan
hubungan diantara karyawan dan o kepercayaan diri kualitas jasa karyawan, manajer harus kepuasan kerja)
mereka dengan tiga 236 manajer o kepuasan kerja meningkatkan kepribadian, kepuasan o Perlu dilakukan lebih
mekanisme kontrol hotel o adaptasi kerja, mengurangi konflik dan
manajerial yang for- lanjut penelitian tentang
o kualitas jasa yang ambiguitas karyawan
mal (pemberdayaan, pengaruh pemberdayaan
dirasakan terhadap motivasi
evaluasi berdasarkan
prilaku, dan komit- karyawan, usaha, dan
men manajemen ter- kinerja.
hadap kualitas jasa

18
Hubungan antara penelitian terdahulu dan sekarang
Hasil
Hasil Pengujian Penelitian Dukungan Bantahan Temuan Baru
Sekarang
Kontribusi Sikap Pegawai Terhadap Kualitas Interaksi (+) sign Hartline dan Ferrell (1996), Brady dan Cronin Farrell, Souchon dan Durden
(2001) (2001)
Kontribusi Perilaku Pegawai Kualitas Interaksi (+) sign Hartline dan Ferrell (1996), Farrell, Souchon
dan Durden (2001), Brady dan Cronin (2001)
Kontribusi Keahlian Pegawai Terhadap Kualitas Interaksi (+) sign Brady dan Cronin (2001)
Kontribusi Kualitas Interaksi Terhadap Kualitas Jasa (+) sign Farrell, Souchon dan Durden (2001), Brady
dan Cronin (2001)
Kontribusi Kenyamanan Ruangan Terhadap Kualitas (+) sign Brady dan Cronin (2001), Sharma dan
Lingkungan Fisik Stafford, (2000)
Kontribusi Keamanan Gudang Terhadap Kualitas (+) sign Brady dan Cronin (2001), Sethyon (2002)
Lingkungan Fisik
Kontribusi Kualitas Lingkungan Fisik Terhadap Kualitas (+) sign Sharma dan Stafford (2000), Brady dan
Jasa Cronin (2001), Siu dan Cheung (2001) 
Kontribusi Kecepatan Proses Terhadap Kualitas Hasil (+) sign Parasuraman, Zeithaml dan Berry (1988)
Akhir
Kontribusi Jamian Terhadap Kualitas Hasil Akhir (+) sign Parasuraman, Zeithaml dan Berry (1988)
Kontribusi Pemecahan Masalah Terhadap Kualitas Hasil (+) sign Cronin dan Taylor (1992), Dabholkar, Thorpe
Akhir dan Rentz (1996), Siu dan Cheung (2001)
Kontribusi Kualitas Hasil Akhir Jasa Terhadap Kualitas (+) sign Gronroos (1998), Brady dan Cronin, (2001
Jasa
Hubungan Kualitas Jasa Dengan Kepuasan Pelanggan. (+) sign Cronin dan Taylor (1992) James (1994),
Caruana, Albert (2000), Brady dan Cronin
(2000), Brady dan Robertson (2001)
Hubungan Kualitas Jasa Dengan Nilai Pelanggan. (+) sign Brady dan Cronin (2000).
Hubungan Kualitas Jasa Dengan Loyalitas Pelanggan. (+) sign Brady dan Cronin (2000)
Hubungan Kepuasan Pelanggan Dengan Loyalitas (+) sign Brady dan Cronin (2000), Patterson dan
Pelanggan Spreng (2001)
Hubungan Nilai Pelanggan Dengan Kepuasan Pelanggan (+) sign Brady dan Cronin (2000), Patterson dan
Spreng (2001)
Hubungan Nilai Pelanggan dengan Loyalitas Pelanggan (+) sign Brady dan Cronin (2000), Patterson dan
Spreng (2001)
19
Hubungan simultan antara kualitas jasa, nilai pelanggan, V
kepuasan pelanggan dengan loyalitas pelanggan secara
simultan
Perbedaan preferensi kualitas jasa, nilai pelanggan, V
kepuasan pelanggan dengan loyalitas pelanggan antara
makasar dengan malang

Perbedaan Kondisi Wilayah Terhadap Kualitas Jasa, Kepuasan, Nilai Dan Loyalitas Pelanggan

Rata-rata Selisih
No Hasil Pengujian Malang Makasar (harga mutlak) Keterangan

1 Sikap Karyawan 16.415 16.760 0.345 Signifikan


2 Perilaku Karyawan 16.560 16.205 0.355 Signifikan
3 Keahlian Karyawan 16.025 15.990 0.035 Tidak Signifikan
4 Kualitas Interaksi 49.000 48.955 0.045 Tidak Signifikan
5 Keamanan Gudang 16.530 16.200 0.330 Signifikan
6 Kenyamanan Ruangan 16.535 17.050 0.515 Signifikan
7 Kualitas Lingkungan Fisik 33.065 33.250 0.185 Tidak Signifikan
8 Kecepatan Proses 17.205 16.435 0.770 Signifikan
9 Jaminan 15.715 16.345 0.630 Signifikan
10 Pemecahan Masalah 16.215 16.345 0.130 Tidak Signifikan
11 Kualitas Hasil Akhir 49.135 49.125 0.010 Tidak Signifikan
12 Kualitas Jasa 188.375 190.265 1.890 Tidak Signifikan
13 Kepuasan Pelanggan 21.675 21.375 0.300 Tidak Signifikan
14 Nilai pelanggan 19.320 20.740 1.420 Signifikan
15 Loyalitas Pelanggan 16.180 16.820 0.640 Signifikan

20

Anda mungkin juga menyukai