menentukan konsep kualitas jasa pegadaian dan meneliti pengaruh kualitas jasa
pegadaian terhadap kepuasan, nilai dan loyalitas pelanggan sebagai pengguna jasa
pegadaian. Sebagai titik awal, penelitian ini akan mencoba untuk menentukan
pegadaian terhadap kepuasan, nilai dan Loyalitas pelangga pada Perum Pegadaian
mengalami berbagai fase. Hal ini sesuai dengan pendapat Gronroos (1998; 328)
86
dimensi, yaitu Technical Quality dan Functional Quality. Konsep pengukuran
membandingkan antara jasa yang diinginkan dan jasa yang diterima atau
tentang interaksi yang berlangsung selama deliveri time jasa tersebut. Sementara
kualitas tehnis menggambarkan hasil dari tindakan pelayanan atau sesuatu yang
sebagai kesenjangan (gap) antara level jasa yang diinginkan pelanggan dan
persepsi level jasa yang diterima oleh pelanggan. Gronroos (1998; 328)
menggunakan bahwa terdapat dua dimensi yaitu dimensi fungsional quality dan
kualitas dapat digambarkan oleh dimensi yang terdiri dari Tangibles, Reliability,
Empathy, yang dikenal dengan SERVQUAL, yaitu suatu instrumen yang dirancang
SERVQUAL terdiri dari 5 variabel dan 22 item (Parasuraman, 1988: 106), sebagai
berikut:
87
1. Tangibles (Bukti nyata) yaitu fasilitas fisik, perlengkapan dan
jasa sesuai dengan yang dijanjikan, dimana kinerja jasa harus sesuai dengan
pelanggan dan memberikan jasa tepat waktu sesegera mungkin tanpa harus
pelanggan tersebut.
(1988) berdasarkan gap model. Instrumen untuk kualitas jasa ini segera mendapat
tanggapan dan kritik dari berbagai pihak. Salah satunya adalah dari Cronin dan
Taylor (1992; 56) yang menyatakan bahwa kualitas jasa dapat dikonseptualkan
88
“kinerja” lah yang menentukan kualitas jasa bukannya “kinerja + harapan” dan
hanya mengukur kinerja saja. Studi yang dilakukan oleh Cronin dan Taylor
(1992) menyimpulkan bahwa SERVPERF dapat menjadi alat yang baik untuk
lebih sederhana, terdiri dari 22 item yang hanya mengukur bagian persepsi dari
1. Physical Aspects (Aspek fisik) yaitu tampilan fisik dari fasilitas yang dimiliki
oleh penyedia jasa, misalnya gedung, tata letak perlengkapan, dan lain-lain.
memberikan jasa yang sesuai dengan janji dan melakukannya dengan baik
tanpa kesalahan.
dan penerima jasa yang berhubungan dengan sopan santun, suka menolong,
89
dihadapi oleh pelanggannya, menangani keluhan dan komplain pelanggan dan
lain-lain.
tentang dimensi yang menyusun kualitas jasa, berkembang pula pendapat lain
dengan cara menambah atau mengajukan model lain, antara lain model hierarkhis,
jasa yang dikemukakan oleh Cronin dan Taylor (1993) dengan beberapa
90
Physical Problem Relia Personal
bility
Policy Interactionti
Aspect Solving ons
Rust dan Oliver (1994) dalam Brady & Cronin (2001; 35) mengusulkan
mengadopsi model tiga dimensi yang dikemukakan oleh Oliver dan Rust (1994),
Brady dan Cronin (2001; 37) mengembangkan model baru yang merupakan
kombinasi antara Model Multilevel yang digagas oleh Dabholkar, Thorpe dan
Rentz (1996 ) dan menamakannya dengan Model Hierarkhis, yang terdiri dari tiga
tangibles, dan valences. Berikut ini model penelitian Brady dan Cronin (2001)
91
SERVICE
QUALITY
Interaction Physical
Quality Env.
Quality
banyak penelitian yang disesuaikan dengan obyek penelitian, dan kondisi yang
193) yang mengganti dimensi policy dengan dua dimensi baru, yakni
Sedangkan Siu dan Cheung (2001; 91-92) mengganti dimensi reliability dengan
Dari uraian di atas, terlihat adanya tiga tema pokok yang berkaitan dengan
komponen expectation dari SERVQUAL seperti yang dilakukan oleh Cronin dan
Taylor (1992, dalam Brady dan Cronin (2001; 35) yang menambah dimensi pada
92
kualitas jasa seperti penggunaan conjoint analysis oleh Carman (2000, dalam
dimensi yang dikemukakan oleh Rust dan Oliver (1994, dalam Brady dan Cronin
(2001; 35), yaitu model dengan tiga komponen: Service Product, Service
Delivery dari model ini identik dengan dimensi yang dikemukakan oleh Gronroos
kualitas jasa. Adanya berbagai penelitian yang melaporkan adanya struktur yang
suatu konsep pengukuran kualitas jasa dengan lima dimensi dimana tiga dimensi
93
Selanjutnya, ketiga tema tersebut di atas mendorong Brady dan Cronin
yang menyusun konsep kualitas jasa dan sembilan subdimensi dari ketiga dimensi
3. Lima puluh dua (52) item pengukuran yang terdiri dari kombinasi reliability,
yang dilakukan oleh Brady dan Cronin (2001) serta karakteristik jasa pegadaian
94
maka penelitian disertasi ini mengusulkan model instrumen kualitas jasa
jasa pada jasa pegadaian tersusun secara khierarkhis, terdiri dari tiga dimensi dan
Hasil Akhir. Dimensi Kualitas Interaksi disusun oleh tiga subdimensi, yaitu
Sedangkan dimensi Hasil Akhir terdiri dari tiga subdimensi, yaitu Kecepatan
dan proses penebusan kembali barang gadaian yang berlangsung cepat tanpa
dimasukkan atas dasar adanya jaminan kemudahan dalam memperoleh kredit dari
Perum Pegadaian.
95
Confirmatory factor analysis Structural Model (path analysis)
VARIABEL VARIABEL
VARIABEL
DIMENSI
SUBDIMENSI
Gambar3.1. KERANGKA PERMIKIRAN PENELITIAN PADA PERUM PEGADAIAN
95
96
3.2. Hipotesis Penelitian
sebelumnya, maka secara umum hipotesis dalam penelitian adalah : Apakah kualitas
jasa yang terdiri atas kualitas interaksi, kualitas lingkungan fisik dan kualitas hasil
Berdasarkan hal tersubut di atas, maka hipotesis dalam penelitian ini dapat
diberikan oleh perusahaan (Hartline dan Ferrell, 1996; 52), sedangkan Farrell,
Souchon dan Durden (2001; 11) menyebutkan bahwa pelanggan akan mengevaluasi
kualitas jasa yang ditawarkan oleh perusahaan berdasarkan atas apa yang dilakukan
oleh pekerjanya (perilaku pegawai) daripada apa yang dipikirkan atau dirasakan oleh
pegawai tersebut (sikap pegawai), walaupun sebenarnya sikap dan perilaku pekerja
saling berkaitan. Zemke dan Woods (1998) menjelaskan bahwa adalah sangat penting
96
Pada perusahaan yang bergerak di bidang jasa, perilaku pekerja yang
berhubungan dengan jasa dipengaruhi oleh kepuasan kerja (Bettencourt dan Brown,
1997, dalam Farrel at..al, 2001; 2) dan semangat kerja (Kelley dan Hoffman, 1997).
Perilaku pelayanan para pegawai akan menjadi ukuran perilaku yang terjadi selama
kualitas pelayanan (Farrell, at.al, 2001; 2). Walaupun demikian, sampai saat ini tidak
ada konsensus di dalam literatur yang berkenaan dengan apa sebenarnya pengaruh
perilaku dari pegawai pelayanan (Bitner et al., 1990 dalam Farrel, at.al,, 2001; 2).
menyebutkan banyak sekali variabel yang diteliti hanya dalam kelompok kecil saja.
Ketika perilaku pegawai pelayanan diteliti dalam kelompok kecil, akan berbahaya
mengabaikan hal-hal lain yang secara potensial penting, misalnya perilaku pegawai
dan efeknya terhadap persepsi pelanggan terhadap kualitas jasa. Akibatnya, dalam
persepsi pelanggan terhadap kualitas jasa, maka perlu suatu konsep yang lebih luas
dan lengkap.
Gronroos (1982, dalam Brady dan Cronin, 2001; 38) menyatakan bahwa
sikap, perilaku dan keahlian dari pegawai yang menangani bidang pelayanan
merupakan faktor yang digunakan dalam mengukur kualitas jasa. (Bitner,1990, dalam
Brady dan Cronin 2001; 38) menyarankan bahwa sikap dan perilaku dari personalia
97
selanjutnya mereka menambahkan bahwa persepsi ini selanjutnya akan digabungkan
dengan evaluasi pelanggan tentang kualitas tehnis dan lingkungan jasa untuk
perusahaan. Jasa merupakan sumberdaya yang sangat berharga, dan jika pelanggan
perusahaan dan beralih kepada pihak lain. Untuk produk berupa barang, jasa yang
menyertainya diukur dalam bentuk kebebasan dari rasa tidak nyaman dan nilai
tambah dari suatu produk, sedangkan pada produk berupa jasa itu sendiri, maka
Jasa merupakan interaksi yang kompleks antar berbagai faktor yang secara
langsung berhubungan dengan pertukaran jasa dengan pelanggan dan proses internal
organisasi. Mengingat bahwa pada dasarnya jasa merupakan produk yang tidak
berwujud (intangibles), dan dicirikan oleh sifat yang tidak dapat dipisahkan
98
(inseparability), maka interaksi interpersonal yang berlangsung selama penyerahan
jasa sering kali memiliki dampak yang terbesar terhadap persepsi kualitas dari jasa
tersebut, Farrell, Souchon dan Durden, (2001; 10), Bitner, Booms dan Mohr, 1994
antara pegawai bidang jasa dan pelanggan dan unsur kunci dari pertukaran jasa
tersebut. Surprenan dan Solomon dalam Brady dan Cronin (2001; 38) menyatakan
bahwa kualitas jasa lebih merupakan hasil dari suatu proses daripada hasil akhirnya.
Dengan demikian, terdapat suatu dukungan yang kuat terhadap dimensi kualitas
kepadanya. Oleh karena itu di dalam penelitian ini diajukan hipotesis sebagai
berikut:
Studi kualitatif dari Brady dan Cronin (2001; 39) membuktikan bahwa tiga
faktor yang mempengaruhi kualitas yang dirasakan dari dimensi lingkungan fisik
(2000;184), Brady dan Cronin, (2001; 39). Kenyamanan merupakan kondisi yang
99
berkaitan dengan aspek nonvisual seperti suhu udara di dalam ruangan, adanya
pemandangan yang menyenangkan, dan musik (Bitner, 1990 dalam Sharma dan
Jasa yang ditawarkan oleh Perum Pegadaian terdiri dari usaha pokok kredit
gadai, usaha jasa titipan, galeri 24 (toko mas pegadaian), usaha persewaan gedung,
usaha jasa taksiran/setifikasi dan usaha penjualan keping mas ONH (Sethyon, 2002).
Oleh karena itu faktor keamanan menjadi perhatian utama agar pelanggan yang
“kondisi atmosfir” yang terdiri dari ambience, design, dan social factors (Baker at.al
1994, dalam Sharma dan Stafford, 2000; 184). Ketiga komponen tersebut diadopsi
oleh Brady dan Cronin (2001) menjadi subdimensi dari dimensi Physical
kredibilitas penyedia jasa (Bitner, 1992; dalam Brady dan Cronin, 2001 ; 39),
Sharma dan Stafford, (2000 ; 164). Berdasarkan penjelasan ini dapat dinyatakan
100
bahwa lingkungan fisik dari suatu penyedia jasa dapat dijadikan ukuran dari kualitas
Hasil penelitian Brady dan Cronin (2001 ; 45), Siu dan Cheung (2001 ; 95)
menunjukkan bahwa kualits jasa secara langsung ditentukan oleh kualitas lingkungan
fisik penyedia jasa. Oleh karena itu, di dalam penelitian ini diajukan hipotesis
sebagai berikut:
Untuk dimensi kualitas hasil akhir terdiri dari tiga subdimensi yang akan diuji
dalam penelitian ini. Ketiganya adalah Kecepatan Proses, Jaminan dan Pemecahan
masalah. Dua subdimensi yaitu Kecepatan Proses dan Jaminan diadopsi disini untuk
responsiveness dan assurance pada SERVQUAL. Oleh karena itu dukungan terhadap
Zeithaml dan Berry (1988), telah pula membuktikan bahwa kecepatan pelayanan dan
jasa.
Cronin dan Taylor (1992), Dabholkar, Thorpe dan Rentz (1996), Siu dan Cheung
101
(2001) menunjukkan bahwa Pemecahan Masalah sebagai salah satu dimensi dalam
H.8: Kecepatan proses mempunyai kontribusi terhadap kualitas hasil akhir jasa
pegadaian.
H.9: Jamian yang diberikan mempunyai kontribusi terhadap kualitas hasil akhir jasa
pegadaian.
H.10: Pemecahan masalah mempunyai kontribusi terhadap kualitas hasil akhir jasa
pegadaian.
Dimensi kualitas hasil akhir identik dengan dimensi technical quality pada
penelitian Gronroos (1998; 328) dan dimensi outcome quality pada penelitian Brady
dan Cronin (2001). Hasil penelitian Gronroos (1998; 328) menemukan bahwa
kualitas jasa yang diterimanya. Demikian pula hasil yang ditemukan oleh Brady dan
Cronin, (2001; 45) dimana model dengan tiga dimensinya berhasil dibuktikan bahwa
temuan tersebut maka dalam penelitian ini diajukan hipotesis sebagai berikut:
H.11: Persepsi pelanggan terhadap kualitas hasil akhir jasa pegadaian secara
langsung menentukan persepsi pelanggan terhadap kualitas jasa pegadaian.
102
Kata kepuasan (satisfaction) memiliki arti penting dalam konsep pemasaran,
sehingga sangat mudah didapatkan didalam literatur pemasaran dan literatur lainnya,
dan memiliki pengertian yang sangat mendalam sehingga menjadi tujuan atau sasaran
yang ingin dicapai oleh organisasi bisnis moderen seperti sekarang ini. Istilah
satisfaction dalam bahasa Inggris muncul pada abad ketigabelas yang diperkirakan
berasal dari bahasa Latin “satis” yang artinya cukup dan “facere” yang artinya
melakukan (Parker dan Mathews, 2001). Penggunaan istilah “satisfaction” dalam era
moderen saat ini cenderung meluas dan berkaitan dengan kata-kata “satisfactory”
yang sangat spesifik. Engel et al. (1995) menyatakan bahwa kepuasan pelanggan
sebagai evaluasi purna-beli terhadap alternatif yang dipilih yang memberikan hasil
bahwa kepuasan adalah sikap pengguna jasa terhadap kualitas jasa berdasrkan pada
menyarankan bahwa kualitas jasa dan kepuasan pengguna jasa merupakan konstruk
yang berbeda.
Sementara itu penelitian Churchil dan Surprenant (1982, dalam Cronin dan
Taylor, 1992) yang menguji efek dari harapan, kinerja dan disconfirmasi terhadap
103
kepuasan menyimpulkan bahwa kinerja kualitas secara terpisah menentukan
Pola hubungan antara kualitas dan kupuasan banyak diteliti oleh berbagai
kalangan. Hasil penelitian Cronin dan Taylor (1992; 282 ) melaporkan bahwa di
dalam analisis struktural mereka untuk hubungan sebab akibat antara kepuasan,
kualitas jasa secara keseluruhan, dan purchase intention, di mana kualitas jasa
kualitas jasa dan purchase intention tidak signifikan. Hasil penelitian Brady dan
yaitu pola hubungan mutu jasa dengan kepuasan. Pola hubungan ini berlaku secara
lintas budaya. Temuan ini memberikan implikasi kepada praktek manajemen bahwa
para praktisi harus memberikan ukuran mutu sebagai cara untuk memperbaiki
penilaian terhadap kepuasan. Hasil penelitian James (1994; 36) menyatakan bahwa
positif.
dengan kepuasan pelanggan menunjukkan angka yang positif dan signifikan pada
level 1%.
104
H.12: Kualitas jasa pegadaian berpengaruh positif dan signifikan terhadap kepuasan
pelanggan.
H.13: Kualitas jasa pegadaian berpengaruh positif dan signifikan terhadap nilai
pelanggan.
H.14: Kualitas Jasa Pegadaian berpengaruh positif dan signifikan terhadap loyalitas
pelanggan.
Pegadaian
beberapa bukti bahwa sumber dari kepuasan pelanggan adalah kualitas. Kepuasan
pelanggan mengukur sampai sejauh mana harapan pelanggan dapat dipenuhi oleh
Pelanggan yang menerima apa yang diharapkan sangat mungkin untuk puas,
selebihnya jika harapan tersebut terlampaui boleh jadi pelanggan akan sangat puas.
Kepuasan pelanggan ini merupakan syarat bagi loyalitas, tetapi pelanggan yang puas
belum tentu menjadi pelanggan yang loyal. Di pasar, termasuk di dalam perdagangan
eceran, pelanggan sering kali membeli dari berbagai perusahaan secara teratur, suatu
fenomena yang dinamakan sebagai polygamous loyalty dalam hal ini, membeli
105
Loyalitas pelanggan merupakan suatu konsep yang banyak ditinjau dalam
bahwa loyalitas pelanggan memiliki dua elemen, yakni elemen perilaku dan elemen
sikap. Dengan pendekatan pada elemen perilaku saja, definisi loyalitas pelanggan
menjadi dangkal. Loyalitas hanya ditunjukkan berdasarkan pola pembelian saja, dan
pelanggan melalui pendekatan elemen sikap dapat memberikan definisi loyalitas yang
lebih baik.
komitmen terhadap merek yang tidak hanya direfleksikan dengan sekedar mengukur
faktor yang mempengaruhi pengulangan pembelian. Atau dengan kata lain, ukuran
perilaku tidak cukup untuk menjelaskan bagaimana dan mengapa loyalitas merek
merefleksikan kendala situasi, seperti misalnya merek yang ditimbun oleh pedagang
situasi penggunaan yang berbeda, mencari variasi, atau tidak adanya preferensi merek
Dick dan Basu, (1994 dalam O’Maley 1998; 50) mengemukakan konsep
loyalitas yang terdiri dari empat kategori, yakni: tidak loyal, loyalitas rancu (spurious
106
loyalty), loyalitas terpendam (latent loyalty), dan loyalitas berkelanjutan (sustainable
loyalty).
Hasil temuan ini mendukung penelitian yang dilakukan oleh Cronin et al.
(1997) yang telah melakukan studi empiris menguji hubungan antara kualitas jasa,
menghubungkan kualitas jasa dan purchase intentions. Hasil temuan ini juga
didukung oleh penelitian Cronin (2002). Riset ini membahas tentang pengaruh
positif . Lebih lanjut riset ini juga menyatakan bahwa kualitas jasa, nilai pelanggan
berikut:
Pelanggan.
pelanggan dalam penelitian dilakukan oleh Brady dan Cronin (1997), Patterson dan
Spreng (2001), tidak dijelaskan secara detail. Akan tatapi karena nilai pelanggan
107
sering dijadikan sebagai alat strategis dalam memuaskan pelanggan yang pada
sebagai ukuran rasio dari manfaat yang dirasakan dan biaya yang dikeluarkan.
Sementara itu pelanggan masa kini menghadapi banyak pilihan produk dan jasa yang
dapat mereka beli dimana mereka selalu memilih berdasarkan persepsi mereka
hasil akhir dari perasaan pembeli yang berhadapan dengan kinerja perusahaan yang
harapannya terpenuhi atau terlampaui. Pelanggan yang puas akan menjadi loyal,
membeli lebih banyak, kurang sensitif terhadap harga, dan biasanya memberikan
rantai nilai dan sistem deliveri nilai secara keseluruhan dimana pelanggan
pelanggan.
mempengaruhi loyalitas pelanggan adalah nilai yang diterima oleh pelanggan dalam
setiap transaksinya dengan pihak penyedia jasa. Tidak ada produk atau jasa yang
bernilai tinggi dengan sendirinya tetapi harus melalui proses penciptaan nilai dari
pelanggan (Zins, 2001). Woodruff (1997, dalam Zins, 2001; 2890) menyatakan
108
bahwa nilai pelanggan adalah rasa suka dan evaluasi pelanggan terhadap atribut
produk, atribut kinerja, dan konsekwensi yang muncul dari penggunaan fasilitas
dalam mencapai tujuan dan maksud pelanggan dalam situasi yang dihadapinya yang
menghubungkan produk dengan situasi dan konsekwensi terkait yang dialami oleh
Definisi lain yang relevan untuk menjelaskan nilai pelanggan adalah yang
dikemukakan oleh Zeithaml (1988 dalam Cronin et al., 1997; 376) yang menyarankan
untuk memperlakukan nilai sebagai imbalan hubungan antara "give" dan "get", yaitu
selisih antara pengorbanan dan perolehan. Komponen “give” tidak terbatas pada
komponen "get".
Berkaitan dengan topik ini, Cronin et al,. (1997) telah melakukan studi
empiris yang meneliti hubungan antara kualitas jasa, pengorbanan, dan nilai
bahwa nilai pelanggan menjadi variabel antara yang menghubungkan kualitas jasa
antara nilai pelanggan dengan kepuasan pelanggan dan loyalitas pelanggan sebagai
berikut.
109
H.16: Nilai pelanggan berpengaruh positif dan signifikan terhadap kepuasan
pelanggan.
H.17: Nilai pelanggan berpengaruh positif dan signifkan terhadap loyalitas
pelanggan
110