Anda di halaman 1dari 30

2.1.

Tinjauan Penelitian Terdahulu

Pada bagian ini akan disajikan beberapa penelitian terdahulu

yang relevan dengan rencana penelitian disertasi ini. Sesuai dengan topik

penelitian ini, maka penelitian terdahulu yang dikemukakan di sini adalah yang

berkaitan dengan pengukuran kualias jasa, kepuasan dan loyalitas pelanggan dan

hal-lain yang mendukung penelitian ini.

1. Parasuraman, Zeithaml dan Berry (1988) : "SERVQUAL : A Multiple Item

Scale for Measuring Customer Perception of Service Quality", dalam Journal

of Retailing, Vol. 64(1), 1988: 12-36.

Penelitian yang dilakukan oleh Parasuraman, et al (1988) melakukan

peenelitian dengan dua tahap. Tahap pertama terdiri dari 1). dengan menyingkat

instrumen yang mampu membedakan antar responden yang memiliki persepsi

kualitas yang berbeda pada beberapa kategori, 2). mengevaluasi dimensi skala dan

pembuktian keandalan instrument. Tahap kedua terutama untuk menkonfirmasi

sifat dan melibatkan evaluasi kembali dengan menyingkat dimensi dan keandalan

skala dengan menganalisis data dari empat sampel yang independen.

Pada tahap pertama, menggunakan analisis factor dengan teknik oblique

diperoleh hasil pengelompokan dari 10 dimensi menjadi menjadi 6 factor yang

terdiri dari a. tangibles, b. reliability, c.responsiveness, d. comunication,

credibility, security, competence, cousrtasy, e. understanding/knowing customers

dan f. acces. Dari 97 item instrument yang valid sebanyak 54.

Hasil perhitungan dengan menggunakan tahap kedua, kualitas jasa diukur

melalui enam dimensi, yaitu tangibels, reliability responsiveness, assurance, dan

empathy, dengan pendekatan atau paradigma disconfirmation. Dari 34 item

80
instrument yang digunakan hanya 22 yang valid. 22 item instrument untuk

mengukur kualitas jasa inilah yang dinamakan sebagai SERVQUAL. Dalam

penelitian ini kualitas jasa dikonseptualisasikan sebagai selisih antara persepsi

dengan ekspektasi, yaitu nilai yang diterima pelanggan dikurangi dengan nilai

yang diharapkan oleh pelanggan, sehingga dikenal dengan perception minus

expectation.

Perceived
Service
Reliability
Perceived
Responsiveness
Service
Empathy Quality
Assurance
Tangibles Perceived
Service

Gambar. 2. 6. Model SERVQUAL (Parasuraman, Zeithaml dan Berry


(1988)

Penelitian yang dilakukan oleh ketiga penulis menggunakan empat jenis

perusahaan penyedia jasa yaitu bank, kartu kredit, pemeliharaan dan perbaikan

serta telepon jarak jauh. Walaupun demikian, dalam pembahasannya, ketiga

penulis juga menggambarkan tentang kemungkinan penggunaan pada

bidang-bidang lain selain institusi jasa yang mereka teliti. Jenis-jenis perusahaan

penyedia jasa lain, seperti perdagangan eceran (retail), juga dapat menggunakan

instrumen SERVQUAL sebagai alat untuk mengukur dan melacak kualitas jasa.

Dua kelemahan dari penelitian yang dilakukan oleh Parasuraman, et al.,

(1988) yang menjadi perdebatan umum meliputi : Penggunaan paradigma

disconfirmation dimana pengukuran berdasarkan selisih (discreancy) perception

minus espectation.

81
Kelemahan : Cara pengukuran yang digunakan membuat para pelanggan

sulit untuk menentukan nilai kualitas jasa yang diharapkan, karena ada

kemungkinan apa yang diinginkan pelanggan merupakan kondisi yang ideal

sehingga sulit untuk digambarkan. Sedangkan dalam instrumen keinginan

pelanggan ditentukan memiliki batas maksimum.

Kualitas jasa dipersamakan sebagai sikap dimana kualitas dipandang

sebagai evaluasi secara keseluruhan dari suatu produk, dari berbagai cara sama

dengan sikap. Tingkat generalisasi yang terlalu dipaksakan melebihi batas-batas

yang ditelitinya, seperti menyebutkan bahwa SERVQUAL dapat digunakan pada

berbagai bidang jasa, di luar bank, kartu kredit, pemeliharaan dan perbaikan, serta

telepon jarak jauh.

Persamaan / perbedaan dengan penelitian ini :

Persamaan: Penelitian ini terletak pada tema pokoknya, yaitu menentukan faktor

factor yang mendasari kualitas jasa.

Perbedaan: Selain menyangkut obyek penelitian juga menyangkut konsep

kualitas jasa itu sendiri. Parasuraman, et al. (1998)

menggunakan paradigma discrepancy atau disconfirmation yang

mengukur kualitas berdasarkan perception minus expectation,

sedangkan penelitian ini kualitas jasa diukur hanya dengan

menggunakan persepsi atau kinerja kualitas penyedia jasa yang

dipersepsikan oleh pengguna jasa. Selain itu penelitian ini telah

mengadopsi tentang pandangan yang lebih jauh tentang jasa, yaitu

bahwa kualitas jasa dipandang sebagai konstruk multidimensi dan

multilevel sehingga pendekatannya adalah secara hierarkhis.

82
Sementara itu Parasuraman, et al (1988) masih menggunakan konsep

kualitas jasa sebagai konstruk multidimensi saja.

2. Cronin dan Taylor (1992), "Measuring Service Quality : A

Reexamination and Extension" Journal of Marketing Vol. 56, pp. 55-68.

Penelitian yang dilakukan oleh Cronin dan Taylor (1992) merupakan

replikasi dari Parasuraman, et al., (1988) dengan menggunakan sampel

perusahaan dari bidang jasa perbankan, pengendalian hama, binatu dan makanan

cepat saji. Instumen yang digunakan adalah instrumen dalam SERVQUAL, tetapi

analisisnya dilakukan dengan menggunakan perbandingan beberapa model yang

dibuat dari instrumen tersebut. Dengan menggunakan alat analisis yang lebih

baik, yaitu confirmatory factor analysis dan structural equation modeling,

Cronin dan Taylor mampu melakukan uji model dengan baik.

Cronin dan Taylor (1992) memandang bahwa kinerja dari 22 item pada

SERVQUAL sudah memadai dalam menentukan domain kualitas jasa dan

mereka memutuskan untuk menggunakan item performance yang sama

untuk menguji instrumen alternatif dari SERVQUAL.

Empat (4) model diuji dalam penelitian ini, yaitu :

SQ = (Performance - Expectation)

SQ = Importance*(Performance - Expectation)

SQ = (Performance)

SQ = Importance*(Performance)

Hasil pengujian menunjukkan bahwa model ketiga, yaitu

SQ= (Performance), memiliki indeks kesesuaian model yang terbaik dan mampu

menjelaskan lebih banyak varians. Dengan demikian mereka menyimpulkan

83
bahwa instrumen terbaik yang dapat digunakan untuk mengukur kualitas jasa

adalah berdasarkan kinerja saja, yaitu komponen persepsi dari instrumen

SERVQUAL. Selanjutnya, karena kualitas jasa diukur berdasarkan kinerja

jasa dari penyedia jasa maka instrumen yang mereka usulkan dinamakan sebagai

SERVPERF (Service Performance).

Beberapa keunggulan dapat diperoleh dengan instrumen ini, yaitu :

1. Jumlah item menjadi lebih sedikit, hanya 22 item saja, yaitu item pada

persepsi pada SERVQUAL

2. Terhindar dari kemungkinan bias akibat kesulitan responden menentukan

ekspektasi dari kualitas jasa.

Struktur model penelitian Model 1

Servive
quality

Consumer Overal service Purchase


satisfaction quality
intention

Struktur model penelitian Model 2

Perceived
service
quality

Consumer Overal service Purchase


satisfaction quality
intention

84
Gambar. 2. 7. Model SERVPERF (Cronin dan Taylor, 1992)

Hasil lain yang diperoleh dari penelitian Cronin dan Taylor (1992) adalah

penentuan hubungan antara kualitas jasa, kepuasan pelanggan dan purchase

intention. Mereka menyimpulkan bahwa koefisien path yang menghubungkan

antara kualitas jasa dan kepuasan pelanggan serta koefisien path yang

menghubungkan kepuasan pelanggan dengan purchase intention adalah signifikan

dan lebih besar dari koefisien path yang menghubungkan kualitas jasa dengan

purchase intention dan kepuasan pelanggan dengan kualitas jasa. Dengan

demikian mereka menyimpulkan bahwa kualitas jasa merupakan cikal bakal bagi

kepuasan pelanggan dan kepuasan pelanggan akan meningkatkan berpengaruh

positif terhadap purchase intention.

Persamaan / perbedaan dengan penelitian ini :

Persamaan : Dengan penelitian ini adalah dalam hal paradigma pengukuran

kualitas jasa yang bersandarkan pada kinerja kualitas jasa yang

dipersepsikan oleh pengguna jasa.

Perbedaan : Meliputi jenis dan jumlah dimensi yang mendasari kualitas jasa,

obyek penelitian, dan pendekatan konseptualisasi jasa sebagai

konstruk multilevel dan variabel penelitian. Variabel penelitian

dalam penelitian ini lebih diperluas dibandingkan dengan variabel

yang digunakan oleh Cronin dan Taylor (1992), dengan

menambahkan nilai pelanggan dan loyalitas pelanggan sebagai

variabel dependen.

85
3. Dabholkar, Thorpe dan Rentz (1996) : "A Measure of Service Quality

for Retail Store : Scale Development and Validation" dalam Journal of the

Academy of Marketing Science, Vo. 24(1) : 3-16.

Keraguan terhadap generalisasi hasil penelitian Parasuraman, et al (1996)

menjadi motivasi bagi Dabholkar, et al (1996) melakukan penelitian khusus yang

menggunakan sampel dari bidang perdangangan eceran (retail). Mereka

menganggap bahwa perdagangan ritel memiliki karakteristik yang khas, dimana

jenis produk yang ditawarkan dapat berupa jasa dan barang sekaligus, dengan

tingkat variasi komposisi yang beragam. Dengan demikian memerlukan alat ukur

kualitas jasa yang tersendiri. Ketiga penulis menggunakan konsep pengukuran

kualitas jasa dengan menggunakan persepsi pelanggan sebagai ukuran kualitas

jasa. Adapun dimensi yang digunakan berbeda dengan SERVQUAL, yaitu

physical aspect, reliability, personal interaction, problem solving dan policy.

Mengingat bahwa kepuasan kualitas jasa selain sebagai konstruk yang

multidimensi, mereka juga memandang adanya subdimensi yang menyusun

dimensi yang mendasari kualitas jasa tersebut. Melalui jajak pendapat

berdasarkan pengalaman pelanggan, mereka menemukan enam (6) subdimensi

yang mendukung tiga (3) dimensi dari enam dimensi utama. Keenam subdimensi

tersebut adalah : appearance, convenience, promise doing it right, inspiring

confidence, dan couteous/helpful.

86
Physical Problem Relia Personal
bility
Policy Interactionti
Aspect Solving ons

Appea Conveni Doing it IInspiring Courteous/


rance ence Promise right Confidence Helpful
s

Gambar. 2. 8. Model Kualitas Jasa pada Perdagangan Eceran (Dabholkar,


Thorpe dan Rentz, 1996)
Dengan menggunakan confirmatory factor analysis mereka berhasil

membuktikan hipotesis penelitiannya. Secara singkat hasil penelitian mereka

membuktikan adanya struktur hierarkhis dalam kualitas jasa pada perdagangan

eceran.

Keterbatasan dari instrumen yang dinamakan sebagai Retail Service

Quality Scale ini adalah adanya perubahan konsisi atau aspek-aspek yang

demikian dinamis di bidang perdagangan eceran. Perubahan aspek tersebut dapat

menyebabkan satu atau beberapa dimensi dari kualitas jasa perdaganan eceran ini

menjadi tidak relevan lagi.

Persamaan / perbedaan dengan penelitian ini:

Persamaan : Penelitian ini adalah dalam hal paradigma pengukuran kualitas jasa

yang bersandarkan pada kinerja kualitas jasa yang dipersepsikan

oleh pengguna jasa dan konseptualisasi kualitas jasa sebagai

konstruk multidimensi dan multilevel.

87
Perbedaan : Meliputi dimensi yang mendasari kualitas jasa, variabel penelitian

dan obyek penelitian. Variabel penelitian dalam penelitian ini lebih

diperluas dibandingkan dengan variabel yang digunakan oleh

Dabholkar, et al., (1996), dengan menambahkan kepuasan

pelanggan, nilai pelanggan dan loyalitas pelanggan sebagai variabel

dependen. Sedangkan perbedaan dimensi adalah dalam jumlah

dimensi dan subdimensi yang mendasari kualitas jasa.

4. Brady dan Cronin (2001) : "Some New Thoughts on Conceptualizing

Perceived Service Quality: Hierarchical Approach" dalam Journal of

Marketing, Vol. 65 (Juli 2001) : 34-49

Brady dan Cronin (2001) memandang bahwa perdebatan dan polemik

yang terjadi menyangkut konseptualisasi kualitas jasa sebagai sesuatu yang tidak

akan ada ujungnya. Mereka mengamati perkembangan polemik tentang

konseptualisasi kualitas jasa dan mengamati adanya tiga tema pokok yang

berkaitan dengan pengukuran kualitas jasa :

Tema pertama ; menyangkut upaya modifikasi dengan cara membuang

komponen expectation dari SERVQUAL seperti yang dilakukan oleh Cronin dan

Taylor (1992), menambah dimensi pada komponen expectaion atau

menggunakan metode alternatif untuk mengukur kualitas jasa seperti penggunaan

conjoint analysis oleh Carman (2000, dalam Brady dan Cronin (2001).

Tema kedua ; Adanya peningkatan minat terhadap penggunaan dimensi

yang dikemukakan oleh Rust dan Oliver (1994), yaitu model dengan tiga

88
komponen: Service Product, Service Delivery, dan Service Environment.

Kompnen Service Product dan Service Delivery dari model ini identik dengan

dimensi yang dikemukakan Gronroos (1984) yaitu Technical Quality dan

Functional Quality.

Tema ketiga; berkaitan dengan adanya perombakan struktur dari konstruk

kualitas jasa. Adanya berbagai penelitian yang melaporkan adanya struktur yang

tidak konsisten pada SERVQUAL mendorong Dabholkar, et al, (1996)

mengusulkan konsep hierarkhis dari kualitas jasa di bidang perdagangan ritel.

Mereka mengajukan suatu konsep pengukuran kualitas jasa dengan lima dimensi

dimana tiga dimensi diantaranya memiliki subdimensi. Dengan demikian kualitas

jasa untuk perdagangan ritel yang mereka usulkan terdiri dari (1) persepsi

pelanggan terhadap kualitas secara keseluruhan, (2) lima dimensi utama yang

menyusun kualitas jasa ritel, dan (3) enam subdimensi yang menyusun tiga

dimensi utama. Konsep lima dimensi dan enam subdimensi diusulkan oleh

Dabholkar, et al (1996).

Oleh karena itu mereka terinspirasi untuk melakukan rekonsiliasi terhadap

konsep-konsep pengukuran kualitas jasa yang sudah ada. Brady dan Cronin

(2001) mengusulkan penggunaan tiga dimensi pokok yang menyusun konsep

kualitas jasa dan sembilan subdimensi dari ketiga dimensi pokok tersebut, sebagai

berikut:

Konsep kualitas jasa berdasarkan persepsi pelanggan terdiri dari: 3 (tiga)

dimensi utama : Interaction Quality, Physical Environment Quality, dan Outcome

Quality. Dimensi Interaction Quality dibagi menjadi subdimensi Attitude,

Behavior, dan Expertise variabel ini didasarkan pada pendapatn Bitner, Booms

89
dan Tetreault (1990) Gronroos (1990) Bitner (1990). Dimensi Physical

Environment Quality dibagi menjadi Ambient Condition, Design, dan Social

Factors subdimensi ini didasarkan pada Baker (1986), Baker, Grewal dan

Parasuraman (1994), Bitner (1990,), Spangenberg, Crowley (1992) Aubert-

Gamet dan Cova (1999), Grove dan Fisk (1997). Sedangkan dimensi Outcome

Quality terdiri dari subdimensi Waiting Time, Tangibles dan Valence didasarkan

pada Carman (2000), Gronroos (1982, 1984, 1990), Rust dan Oliver (1994).

Gronroos (1984), Hui dan Tse (1996), Katz, Larson dan Larson (1991), Taylor

(1994), dan Hui dan Tse (1996). Lima puluh dua (52) item pengukuran yang

terdiri dari kombinasi reliability, responsiveness dan empathy untuk masing-

masing subdimensi. Sampel yang digunakan dari empat industri jasa: makanan

cepat saji, fotografi, taman hiburan, dan dry cleaning

SERVICE
QUALIT
Y
Interaction Physical
Quality Env.
Quality

Atti- Beha Exper- Amb. Desig Soc. Wait. Tangi Valen


tude - tise Cond n Fact time bles -ce
vior .

Gambar. 2. 9. Model Kualitas Jasa (Brady dan Cronin, 2001)

Berdasarkan penelitian dari Brady dan Cronin (2001) diperoleh hal penting yaitu

konseptualisasi kualitas jasa yang tunggal dan menyeluruh dalam kerangka kerja

90
multidimensi. Secara kolektif nampak bahwa hasil-hasil penelitian ini

memberikan kontribusi terhadap disiplin ilmu di berbagai bidang.

Yang pertama, kami memberikan bukti bahwa pelanggan membentuk

persepsi kualitas layanan dengan dasar evaluasi mereka terhadap tiga dimensi

primer: kualitas lingkungan, hasil, interaksi. Untuk hasil dan interaksi diadaptasi

dari aliran Nordic, khususnya gagasan Gronroos (1982, 1984) yang

mengungkapkan bahwa kualitas layanan diuji sesuai dengan evaluasi pelanggan

terhadap hasil dan terhadap interaksi dengan karyawan pelayanan. Dimensi primer

ketiga merefleksikan pengaruh lingkungan layanan terhadap persepsi kualitas.

Oleh karena itu, kami menawarkan bukti empiris untuk konseptualisasi tiga-

komponen kualitas layanan Rust & Oliver (1994).

Yang kedua, hasil kualitatif dan empiris penelitian kami mengindikasikan

bahwa tiga dimensi primer tersusun dari berbagai sub-dimensi. Pelanggan

mendasarkan evaluasi dimensi primer kepada penilaian tiga sub-faktor yang saling

berhubungan. Kombinasi dari semua ini membentuk persepsi pelanggan

keseluruhan mengenai kualitas pelayanan. Berdasarkan temuan ini, nampak

bahwa konseptualisasi hirarkis kualitas pelayanan adalah sesuai.

Yang ketiga, hasil penelitian mengindikasikan bahwa reliabilitas,

responsivitas dan empati penyedia layanan memegang peran penting didalam

penyediaan kualitas layanan yang baik, seperti disarankan oleh aliran Amerika

(Parasuraman, Zeithaml, dan Berry 1985, 1988). Namun kami beranggapan

bahwa kesemuanya ini merupakan perubah (modifier) sub-sub dimensi, kebalikan

dari determinan langsung. Implikasinya adalah bahwa kesemuanya menunjukkan

bagaimana tiap-tap subdimensi dievaluasi (reliabel atau tidak, responsif atau tidak,

91
dan seterusnya), sementara itu sub-sub dimensi menjawab persoalan bahwa

layanan harus reliabel, responsif dan empatis.

Penelitian ini mencatat dua tujuan penting. Pertama, mengumpulkan

berbagai konseptualisasi kualitas layanan kedalam kerangka kerja tunggal,

komprehensif dan multidimensional dengan dasar teoritis yang kuat. Yang kedua,

penelitian kami menjawab perilaku penelitian kualitas pelayanan dan dapat

membantu mengurangi kebuntuan. Hasil penelitian menunjukkan nilai yang

signifikan karena tingginya tingkat kualitas layanan berhubungan erat dengan

berbagai macam hasil oranisaional kunci, termasuk market share yng tinggi

(Buxxell dan Gale, 1987), profitabilitas yang relatif membaik (Kearn dan Nadler

1992), loyalitas pelanggan yang membaik (Zeithaml, Berry, dan Parasuraman

1996), realisasi premi harga yang kompetitif (Zeithaml, Berry dan Parasuraman

1996), serta profitabilitas pembelian yang semakin baik (Zeithaml, Berry, dan

Parasuraman 1996).

Persamaan / perbedaan dengan penelitian ini:

Persamaan : Paradigma pengukuran kualitas jasa yang bersandarkan pada kinerja

kualitas jasa yang dipersepsikan oleh pengguna jasa. Konsep

kualitas jasa yang digunakan dalam penelitian Brady dan Cronin

(2001) dan penelitian ini adalah bahwa kualitas jasa merupakan

konstruk multidimensi dan multi level, sehingga kedua penelitian

menganut pendekatan yang sama pula, yaitu pendekatan hierarkhis.

Perbedaan : Meliputi obyek penelitian, dan variabel penelitian. Variabel penelitian

dalam penelitian ini lebih diperluas dibandingkan dengan variabel yang digunakan

oleh Brady dan Cronin (2001), adalah dengan menambahkan kepuasan

92
pelanggan, nilai pelanggan dan loyalitas pelanggan sebagai variabel dependen.

Selain itu perbedaan penting adalah dalam hal subdimensi yang menyusun

dimensi kualtis jasa. pada penelitian ini, sebagian besar subdimensi yang

digunakan diadopsi dari Brady dan Cronin (2001) tetapi beberapa subdimensi

diganti dan disesuaikan dengan obyek penelitian.

5. Brady, Cronin, Thomas (2000) : "Assesing the effects of quality, value, and
customer satisfaction on consumer behavioral intentions in service environment :
dalam, Journal of retailing, Vol. 76: 193 – 218.

Penelitian ini menggabung dan membangun pengaruh variabel

pengorbanan, kualitas layanan, kepuasan pelanggan, dan nilai pelanggan terhadap

loyalitas pelanggan. Variabel pengorbanan diukur berdasarkan Heskett, Sasser,

Hart (1990), Zeithal (1988), Doddds, Monroe, and Grewal (1991) dengan

menggunakan skala likert sembilan point. Variabel ini terdiri dari tiga item

pertanyaan. Variabel Kualitas jasa berdasarkan babakus and Boller (1992),

Brown, Churchill, and peter (1993) Carman (1990), Cronin and Taylor (1992),

Prasuraman, Zeithal, and Berry (1988). Variabel kualitas jasa diidentifikasi

dengan menggunakan 10 dimensi. Variabel nilai pelanggan didasarkan pada

penelitian Zeithaml’s (1988), variabel ini terdiri dari dua pertanyaan tentang

apakah fasilitas dapat memberikan kepuasan kepada pelanggan. Variabel

kepuasan pelanggan mengacu pada Olliver (1997) variabel ini terdiri dari dua

dimensi. Pertama SAT1 (berdasarkan emosi) yang terdiri dari lima subdimensi

(interest, enjoyment, surprise, anger dan shame) dan SAT2 (berdasarkan evaluasi)

yang terdiri dari tiga pertanyaan. Sedangkan loyalitas pelanggan didasarkan pada

93
Zeithal, Berry, and Parasuraman (1996), terdiri dari tiga pertanyaan. Penelitian

ini menguji secara simultan terhadap loyalitas pelanggan. Berikut ini model

penelitian dari Brady, Cronin, Thomas (2000) :

Gambar : Model secara menyeluruh

Sacrifice

Service
value

Service Behavioral
quality Ittention

Satisfacti
on

Dari penelitian ini dapat diketahui ada pengaruh secara langsung dari

service value terhadap loyalitas pelanggan (behavioral intention) demikian juga

dengan kepuasan pelanggan (satisfaction) berpengaruh secara significant

terhadap loyalitas pelanggan. Sedangkan kualitas jasa (service quality) dan nilai

plenggan (service value) berpengaruh secara tidak langsung terhadap loyalitas

pelanggan.

Persamaan : Penelitian Brady, Cronin, Thomas (2000) menggunakan variabel

kualitas jasa layanan, nilai pelanggan, kepuasan pelanggan dan loyalitas

pelanggan. Keempat variabel tersebut juga digunakan dalam penelitian ini.

94
Perbedaan : Masing-masing subdimensi dan pertanyaan yang digunakan dalam

penelitian Brady, Cronin, Thomas (2000) berbeda dengan penelitian ini. Dalam

penelitian ini peneliti menggunakan dimensi kualitas interaksi, kualitas

lingkungan fisik dan kualitas hasil akhir yang digunakan untuk mengidentifikasi

kualitas jasa layanan berdasarkan penelitian Brady dan Cronin (2001).

6. Albert Caruana, 2002, Service loyalty: The effects of service quality and the
mediating role of customer satisfaction dalam European Journal of Marketing,
(hal : 36)

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendefinisikan konsep tentang

loyalitas jasa dan hubungannya dengan kualitas jasa dan kepuasan pelanggan.

Hubungan antara kualitas jasa dan kepuasan pelanggan berdasarkan hasil

penelitian dari Gronross (1084, 1990) dan Parasuraman et al. (1985,1988, 1994).

Kedua penelitian ini menyatakan bahwa kualitas jasa yang dirasakan merupakan

hasil dari perbandingan konsumen yang memiliki harapan kualitas dan hasil

kualitas. Berikut ini model penelitian Albert Caruana, 2002 :

Gambar …. Model penelitian Albert Caruana, 2002

Mediator

Kepuasan
Pelanggan

Kualitas Loyalitas
Jasa jasa

Variabel Variabel dependen 95


independen
Penelitian ini hubungan antara ketiga variable tersebut dengan beberapa

tahap. 1). hubungan antara kualitas jasa (variable independent) terhadap kepuasan

pelanggan (mediator). 2). hubungan antara kualitas jasa (variable independent)

terhadap loyalitas jasa (dependent). 3). hubungan antara kepuasan pelanggan

(variable independent) terhadap loyalitas jasa (dependent). Hasil penelitian ini

menunjukkan bahwa ada hubungan yang cukup signifikan dari ketiga model

tersebut.

Lebih jauh penelitian ini juga membahas uji beda dengan menggunakan

ANOVA . Tujuannya adalah untuk melihat apakah ada perbedaan yang cukup

signifikan dari loyalitas jasa, kualitas jasa, dan kepuasan pelanggan berdasarkan

tingkat pendiDikan dan usia dari responden. Dari hasil perhitungan diperoleh

hasil bahwa berdasarkan tingkat pendidikannya terdapat perbedaan yang cukup

signifikan demikian juga bila dari usia dari respondennya.

Penelitian ini memberikan kontibusi bagi ilmu pengetahuan dengan

menyediakan informasi bahwa kepuasan pelanggan merupakan variable

moderating antara kualitas jasa dengan loyalitas jasa. Oleh karena itu dalam

bisnis, manajemen harus memberikan perhatian pada kepuasan pelanggan.

Pemahaman hasil penelitian ini dapat membantu perusahaan dalam memastikan

target pemasaran secara lebih baik.

Dari uji ANOVA berdasarkan jenjang pendidikan dan usia dapat

diperoleh informasi bahwa loyalitas jasa sangat dipengaruhi oleh kelas social.

96
Dengan mengetahui perbedaan kelas social mampu membedakan preferensi

loyalitas jasa dan implikasinya pada pemasaran. Tipe analisis ini dapat

mengidentifikasi segment mana yang potensial dapat merusak atau

membesarkan target pemasaran.

Persamaan : Penelitian Albert Caruana, 2002 menggunakan variable kualitas jasa,

kepuasan pelanggan dan loyalitas jasa, dimana variabel kepuasan pelanggan

dijadikan sebagai variable moderating

Perbedaan: penelitian Albert Caruana, 2002 hanya menggunakan pengujian

secara parsial hubungan antara 1). hubungan antara kualitas jasa (variable

independent) terhadap kepuasan pelanggan (mediator). 2). hubungan antara

kualitas jasa (variable independent) terhadap loyalitas jasa (dependent). 3).

hubungan antara kepuasan pelanggan (variable independent) terhadap loyalitas

jasa (dependent). Sementara dalam penelitian ini dengan menambahkan variable

nilai pelanggan dan dengan menggunakan pengujian secara silmultan. Dalam

penelitian Albert Caruana, 2002 untuk melihat segmen pasar juga didasarkan

pada jenjang pendidikan serta usia dari responden sementara dalam penelitian ini

hanya dibedakan berdasarkan lokasi penelitian.

7. Wiliams, Julian Gould, 1999, The impact of employee Pperformance Cues


on Guest loyalty, perceived value and service quality. Dalam the services
industries jurnal, Juli 1999 (hal 97).

Penelitian ini membahas pengaruh kinerja karyawan berdasarkan persepsi

pelanggan terhadap kualitas jasa, nilai dan loyalitas pelanggan. Variabel kualitas

jasa didasarkan pada penelitian dengan mereduksi instrumen pertanyaan

97
Parasuraman, Zeithaml, Berry (1994) dari 22 menjadi 21. Williamns mengurangi

pertanyaan tentang “maintaining error free record”. Variable Value didasarkan

pada Zeithal (1988), Broderick et. Al (1997), Rrust and oliver (1994). Variabel

loyalitas pelanggan didasarkan pada Zeithaml (1996) dengan menggunakan 13

item pertanyaan yang meliputi loyalitas kepada perusahaan, kecenderungan

kepada pergantian, Pengharapan untuk dibayar lebih, respon masalah eksternal,

dan respon masalah internal.

Lokasi penelitian ini adalah pelanggan hotel. Hotel yang dijadikan obyek

penelitian ini terdiri dari dua tempat yang masing-masing memiliki kualitas

pelayanan dan lokasi yang berada di tengah ibu kota. Masing-masing hotel

memiliki kamar tidur sejumlah 103 dan 141 dan masing-masing memiliki

karyawan kurang lebih 65. Dalam penelitian ini diidentifikasi pada enam

departemen yaitu restaurant, reception, bar, room service, leisure and

housekeeping.

98
Berikut model penelitian dari Wiliams, Julian Gould (1999) :

Model kinerja karyawan dalam penelitian Williams

Leisure

House Keeping Service quality

Room service

Quest loyality

restaurant

reception value

Bar

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kinerja karyawan mempunyai

pengaruh yang signifikan terhadap kualitas dan nilai jasa pelanggan. Semua

departemen menunjukkan hasil yang sama kecuali pada departemen Bar. Kinerja

Bar mungkin dihasilkan oleh interaksi antara staff bar dengan tamu di hotel ini.

Oleh karena diperlukan penelitian lebih lanjut mengapa hal ini bisa terrjadi.

Disamping itu penelitian ini juga dapat menunjukkan bahwa kinerja karyawan

tidak berpengaruh secara langsung terhadap evaluasi tamu dalam tarif

Hasil yang kedua menunjukkan bahwa kinerja karyawan berpengaruh

secara langsung terhadap loyalitas pelanggan. Hal ini membuktikan bahwa untuk

99
menjadi hotel yang mampu bersaing diperlukan keunggulan kompetetif dengan

meningkatkan kualitas pelayanannya.

Ada beberapa kelemahan dalam penelitian ini, 1). Obyek yang dijadikan

penelitian (hotel) hanya dua buah sehingga hasilnya tidak bisa digeneralisasi

untuk hotel-hotel yang lain. 2). Frekuensi dan panjangnya interaksi tamu dengan

karyawan masing-masing hotel berbeda padahal hal ini bisa mempengaruhi

kinerja karyawan.

Persamaan : Penelitian dari Wiliams, Julian Gould, (1999) menggunakan

loyalitas pelanggan dengan menggunakan instrumen dari Parasuraman, Zeithaml,

Berry (1994). Dalam penelitian ini juga memasukkan variable nilai pelanggan,

kualitas jasa, nilai pelanggan dan loyalitas pelanggan

Perbedaan : Obyek penelitiannya berupa hotel. Dalam penelitian ini

digunakan pegadaian sebagai obyek dalam mengambil penelitian. Dalam

penelitian ini tidak memasukkan variable kepuasan pelanggan. Pengukuran

variable kualitas jasa juga tidak memasukkan unsur dimensi kualitas interaksi,

kualitas lingkungan fisik dan kualitas hasil akhir.

8. Noel Y.M. Siu dan Jeff Tak-Hing Cheung 2001. A measure of retail service
quality. Marketing Intelligence & Planning 19/2 [2001] 88-96

Siu dan Cheung mencoba untuk mengaplikasikan skala pengukuran pada

perdagangan ritel yang sebelumnya telah dikembangkan dan divalidasi di

Amerika Serikat, dengan penelitian di Hong Kong. Penelitian ini dilaksanakan

pada sutu perdagangan ritel yang memiliki jaringan internasional dan sangat

100
populer. Dengan menggunakan analisis faktor penelitian ini menghasilkan enam

dimensi ukuran mutu pelayanan ritel, yakni : personal interaction (interaksi

pribadi), policy (kebijakan), physical aspect (penampilan fisik), assurance

(jaminan), problem solving (pemecahan masalah), dan conformance

(kenyamanan).

Di antara keenam dimensi itu, kebijakan dianggap sebagai dimensi yang

paling menguntungkan bagi konsumen dan memiliki pengaruh positif terhadap

perilaku konsumsi di masa yang akan datang. Penemuan yang berhubungan

dengan karakteristik demografis telah mengungkap beberapa fenomena.

1. Perbedaan gender tampak dalam dimensi penampilan fisik dan interaksi

pribadi, bahwa untuk perempuan memiliki persepsi lebih rendah dari pada

laki-laki. Hal ini menegaskan bahwa kebutuhan akan interaksi pribadi dan

penampilan fisik lebih tinggi bagi perempuan ketika menggambarkan

jaringan toko.

2. Kelompok berusia 35 tahun atau diatasnya mendukung penampilan fisik

jaringan toko dan pelayanannya yang dapat diandalkan. Tetapi, kelompok

berusia 24-35, menunjukkan suatu nilai persepsi yang relatif rendah dari

pada kedua kelompok lainnya.

Kesimpulan yang dapat ditarik dari penelitian ini adalah bahwa konsumen

target dari retailer tidak puas dengan penampilan fisik dan janji. Fasilitas,

peralatan dan perlengkapan tidak cukup menarik bagi pelanggan dengan

penampilan fisik yang menekanan penampilan toko dan perlengkapannya dalam

gaya Inggris klasik kuno tidak menarik bagi konsumen target yang tergolong usia

101
muda. Sebaliknya, kelompok yang paling puas adalah kelompok berusia 35 tahun

atau lebih dan tingkat pendapatannya di atas $30.000.

Dalam hal pengaruh mutu pelayanan terhadap prilaku konsumsi di masa

yang akan datang, penemuan ini menunjukkan bahwa keenam dimensi itu lemah

dalam menjelaskan perbedaan minat untuk membeli dan memberi rekomendasi.

Hal ini menegaskan bahwa kualitas pelayanan bukan satu-satunya senjata dalam

menciptakan minat untuk membeli. Barang dagangan, periklanan, dan harga

mungkin merupakan variabel alternatif dalam menjelaskan prilaku di masa

mendatang. Tetapi, dengan menyediakan pelayanan berkualitas bagi konsumen,

seharusnya dapat meningkatkan keyakinan konsumen maupun kepuasan

berbelanja atas retailer.

Persamaan / perbedaan dengan penelitian ini:

Persamaan : Dengan penelitian ini adalah dalam hal paradigma pengukuran

kualitas jasa yang bersandarkan pada kinerja kualitas jasa yang

dipersepsikan oleh pengguna jasa.

Perbedaan : Meliputi dimensi yang mendasari kualitas jasa, obyek penelitian,

pendekatan konseptualisasi jasa sebagai konstruk multilevel dan variabel

penelitian. Variabel penelitian dalam penelitian ini lebih diperluas dibandingkan

dengan variabel yang digunakan oleh Siu dan Cheung (2001), dengan

menambahkan nilai pelanggan dan loyalitas pelanggan sebagai variabel dependen.

Sementara itu Siu dan Cheung (2001) mencoba untuk menjelaskan perbedaan

perilaku pelanggan berdasarkan faktor ekonomi dan budaya pelanggan.

102
9. Gronross, Christian, 1998, Marketing services : the case of missing

product. Dalam jurnal of business & industrial marketing, vol 13, (pp. 322 –

338).

Dalam berbagai literature pemasaran jasa, jasa sering digambarkan

dengan karakteristik seperti tak berwujud (intangibility), bermacam-macam

(heterogeneity), pemakaian produksi yang tidak dapat dipisahkan (inseparability

of consumption from production), ketidakmungkinan untuk menjaga persediaan

(impossibility to keep services in stock) padahal intangibility, heterogeneity tidak

hanya pada jasa. inseparability of consumption from production dan impossibility

to keep services in stock merupakan proses alami pada jasa. Sehingga seringkali

perusahaan salah dalam mengidentifikasi kebutuhan pelanggan. Hal inilah yang

sering disebut sebagai missing product.

Oleh karena itu kunci sukses dalam pemasaran jasa terletak pada produk,

pasar dan perusahaan. Ketiganya harus berjalan secara bersamaan. Dalam kondisi

yang normal pemasaran (termasuk penjualan) bertanggung jawab atas barang

yang akan diperjualbelikan. Produk yang dibuat oleh perusahaan harus

dikembangkan dan dibuat sesuai dengan selera pasar. Demikian juga dengan

perusahaan harus mampu memberikan bukti sesuai dengan produk yang telah

dijanjikan kepada pelanggan. Berikut ini modelnya :

103
Perusahaan
(Pemasaran/staff
pemasaran

Pengembangan produk Memberikan janji kepada


yang berkelanjutan pelanggan

produk Menjaga janji Pasar


Penampilan produk

Disamping itu Gronsoss juga menawarkan model interaktif marketing

dengan menghindari adanya produk yang tidak dikehendaki oleh pasar dengan

menghubungan antara perusahaan (pemasaran yang full time) dengan pelanggan

dan pengembangan teknologi yang berkelanjutan. Sehingga kualitas jasa yang

diharapkan pelanggan bias tercapai . artinya antara harapan dan kenyataan sesuai

dengan kenyataan. Berikut ini model Gronsoss untuk mengeliminasi missing

product :

Perusahaan
(Full time Pemasaran /
salesman

Pengembangan produk yang Memberikan janji kepada


berkelanjutan, pemasaran pelanggan
internal

Teknology Menjaga janji pelanggan


Penampilan produk

104
Disamping Gronsoss juga menawarkan konsep kualitas jasa yang

dirasakan pelanggan dengan menghubungkan antara jasa yang diharapkan

(seperti komunikasi dengan pasar, image, kebutuhan pelanggan), pengalaman

jasa dengan teknik kualitas dan fungsi dari kualitas itu sendiri. Berikut ini konsep

yang tawarkan oleh Gronsoss :

Persamaan : Penelitian ini merupakan salah satu upaya dalam mengidentifikasi

kebutuhan pelanggan terutama missing product dengan, sehingga kualitas jasa

yang diharapkan pelanggan bisa tercapai. Penelitian ini juga memasukkan variable

kualitas jasa sebagai variable

Perbedaan : Gronsoss melakukan studi literatur yang didasarkan pada the

Nordic School of marketing sementara dalam penelitian ini didasarkan pada hasil

penelitian langsung di lapangan. Konsep Gronsoss hanya mencari trade of

antara kualitas jasa yang dirasakan dengan pengalaman dan harapan sementara

dalam penelitian ini kualitas jasa diidentifikasi sebagai variable independent dan

pengaruhnya terhadap kepuasan, nilai, dan loyalitas pelanggan.

10. Andrew Farrell, Anne Souchon & Geoffrey Durden, 2001, Service Quality
Enhancement: The Role Of Employees' Service Behaviours. July 2001

Penelitian ini membahsa tentang prilaku karyawan melalui peningkatan

kualitas jasa

105
Adaptability

Assurance

Customer orientation

Empathy

Costomers
TEAMWORK Recovery service quality Satisfaction
perceptions

Reliability

Responsivenes

Spontaneity

Tangibles

106
107
10. Andrew Farrell, Anne Souchon & Geoffrey Durden, 2001, Service Quality

Enhancement: The Role Of Employees' Service Behaviours. July 2001

Penelitian ini membahsa tentang prilaku karyawan melalui peningkatan

kualitas jasa

Adaptability

Assurance

Customer orientation

Empathy

Costomers
TEAMWO Recovery service Satisfaction
RK quality
Reliability perceptions

Responsivenes

Spontaneity

Tangibles

108
109

Anda mungkin juga menyukai