Anda di halaman 1dari 11

D.

Kearifan dalam Kebijakan


Perkembangan konstelasi politik dan ekonomi di Indonesia selama beberapa
dasawarsa terakhir menampakan ketigaa kecenderungan utama. Pertama, meningkatnya
kemakmuran dengan semakin terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan ekonomi masyarakat.
Kedua, meluasnya kekuasaan birokrasi pasa setiap jenjang administrasi pemerintah. Dan
yang terakhir, meningkatnya kekuatan politik bagi para eksekutif dalam jajaran
pemerintahan. Meningkatnya kekuatan politis para eksekutif berarti ninggat pula peranan
birokrat dan administrator dalam penentuan kebijakan-kebijakan menyangkut masyarakat
luas. Di sebagai besar negara industri terlihat pula bahwa para eksekutif pemerintahan
senantiasa menjadi sorotan publik berkenaan dengan kebijakan-kebijakan penting yang
diambilnya. Boleh dikatakan bahwa sekarang ini kita tengah menyaksikan zaman eksekutif
dalam pemerintahan ( executive era of goorment). Maka akan sangan relevan jika di sini kita
bahas landasan-landasan etis bagi para pengambil keputusan publik tersebut.
Apabila orang mempertanyakan landasan etis bagi kebijakan-kebijakan yang diambil
seorang pejabat pemerintah, yang pertama-tama dibicarakan adalah legistimasi kekuatan
pemaksa (coercive power) untuk mengatur sebagai dari hak-hak warga negara. Keharusan
bagi setiap warga negara untuk memiliki akta kelahiran, untuk memiliki kartu tanda
penduduk, memiliki sertifikat bagi tanag yang didiaminya, membanyar pajak sesuai peraturan
yang ditetapkannya, kewajiban belajar bagi setiap usia anak sekolah, izin usaha dagang bagi
para pedanag atau pengusaha, dan sebagainya, sesungguhnya merupakan pengabsahan diri
tindakan paksa aparatur negara berdasarakan kekuasaan yang diperoleh dari lembaga
legislatif. Oleh sebab itu, sifat arif (wise) dalam pemerintah karena kedudukannya akan
menentukan keputusan-keputusan yang membatasi orang lain. Permasalahan yang dihadapi
para pejabat memang seringkali begitu rumit, karna mereka tidak hanya diwajibkan
mengawasi segi-segu teknis, tetapi juga segi-segi menejerial yang menyangkut hubungan
antar manusia. Setiap keputusan yang di buat harus sesuai dengan tuntutan rasa keadilan,
tidak menjatuhkan harga diri orang lain, dan membawah perkembangan ke arah yang baik
bagi orgganisasi pemerintah itu sendiri. Keputusan seperti itu jelas hanya akan dapat di
perbuat oleh pribadi-pribadi yang memiliki kearifan.
Makin tinggu kedudukan seorang pejabat, makin dituntut syarat kearifan itu karena ia
akan semakin banyak terlibat dalam bidang menejerial ketimbang bidang teknis. Logikanya
ialah bahwa semakin tinggi jabatan seseorang semakin banyak orang lain yang akan di
pengaruhi oleh keputusan-keputusan pejabat tersebut, sehungga semakin besar resiko
ketidakpuasan diantara para bawahan dan masyarakat, pejabar yang arif ialah pejabat yang
mampu menjaga keputusan-keputusannya diterima oleh sebagian besar orang dengan
landasan kebenaran yang hakiki.
Argumentasi lain yang dapat dikemukakan bagi utamanya sikap atif dalam ngambil
kebijakan ialah bahwa pejabat memiliki kewajiban berkenaan dengan sumber daya atau
sumber keuangan negara. Dan jika membicarakan sumber daya atau sumber keuangan
negara, berati membicarakan milik rakyat. Roda pemerintah hanya dapat berputar bila
keuangan negara terisi, dan untuk sebagaian besar sumber keuangan itu berdasar dari pajak
yang ditarik dari rakyat. Oleh karena itu, setiap pejabat harus menyadari bahwa uang
pemerintahan pada dasarnya adalah uang rakyat sehingga setiap penggunaan uang pemerintah
harus dipertanggungjawabkan sebagaimana mestinya. Kaidah etika jelas tidak mengizinkan
pejabat menggunakan uang pemerintah untuk kepentingan pribadi sebab hal ini berarti
menanggung jalannya pemerintahan dan menyalahgunakan kepercayaan rakyat. Pejabat yang
menggunakan uang pemerintah untuk diri sendiri berarti telah merusak etika sosialnya sebab
ia menggunakan rakyak untuk kepentingan pribadi. Kesadaran mengenai landasan etika ini
perlu direnungkan lagi oleh para pejabat yang ditugasi mengurus proyek-proyek yang
menggunakan uang negara. Banyak aparat pimpinan proyek yang menggunakan uang yang
diserahkan sepadanya merupakan uang ekstra atau bahkan uang pribadi sehingga mereka
seolah-oleh bebas menggunakannya tanpa disertai pertimbangan-pertimbangan rasional untuk
proyek yang sedang digarap. Sikap-sikap seperti ini jelas tidak dibenarkan karena tidak
menggambarkan kehendak rakyat dalam penggunaan uang negara.
Tanggung jawab seseorang pejabat pemerintahan dengan demikian bukan hanya
kepada organisasi yang di kelolahnya atau kepada atasannya saja tetapi juga kepada warga
negara yang secara langsung atau tidak langsung terkena kebijakan yang diambilnya.
Pemahaman mengenai tanggang jawab terhadap keputusan bagi para manajer atau pejabat
pemerintah memang berbeda dari yang ada pada para manajer swasta. Cakupan konsenkuensi
dari kebijakan publik hampir tidak terbatas. Warwick mengungkapkan esensi tanggung jawab
kebijakan publik itu sebagai berikut.
The discretion of administrators goes beyond carrying out the intentiors of
legislatiors or the superiors in the organization, not only because often there are on
intentions to discover, but also because often administrators can and should take the
initiative ini proposing and mobilizing support for them.
Jadi, jika seorang pejabat pemerintah mengambil suatu kebijakan, dia tidak hanya
menentukan kelompok sasaran yang akan memperoleh manizat dari kebijakan tersebut tatapi
juga kelompok yang akan melaksabakan keputusan tersebut tetapi juga kelompok yang akan
melaksabakan keputusan tersebut dalam aktivitas-aktivitas teknisnya. Seorang Pimpinan
proyek yang menentukan kelayakan suatu proyek perumahan rakyat, misalnya, di samping
harus memutuskan siapa saja yang boleh menempati fasilitas rumah-rumah yang dibangun
juga harus memutuskan bagaimana kriteria untuk memenangkan tender proyek secara
objektif dan siapa pelaksana proyek fisiknya. Tentu saja pelaksanaan proyek tersebut
mempunyai preferensi sendiri. Seorang bupati yang merencanakan program pengadaan air
bersih selain harus mempertimbangkan kelompok rakyat yang paling membutuhkan
prasarana tersebut juga harus menentukan pihak-pihak yang menjadi pelaksana proyek
tersebut dan bagaimana reputasi mereka. Objektifitas dalam menilai reputasi pelaksanaan
proyek itu sendiri jelas membutuhkan pemikiran dan kearifan yang matang.
Metode-metode yang dipakai dalam pembuatan kebijakan bisa beranekaragam, dan
masing-masing mengandung konsekunsi yang harus diterima. Seseorang pejabat dapat saja
menggunakan ancaman untuk mengambil keputusan, tetapi ketidakpuasan publik yang
merasa tidak dihargai pendapatnya merupakan hal yang harus dipertimbangkan. Sebaliknya,
kebijakan-kebijakan partisipatif mungkin akan lebih memberikan kepuasan bagi keinginan
publik untuk berpendapat sendiri, tetapi mengambil keputusan jelas membutuhkan waktu
lebih lama. Kepura-puraan atau kesungguhan seorang pejabat pejabat terhadap pemecahan
masalah-masalah rakyat juga dapat diketahui dari kebijakan-kebijakan yang akan diambilnya.
Ini sebabkan karena pada dasarnya kebijakan publik adalah kebijakan kolektif, kebijakan
yang melibatkan dan berpengaruh pada banyak pihak. Bagan 5.2 memperlihatkan gambaran
tentang arah dan jelas kebijakan yang mungkin dilakukan oleh seorang pejabat.

Bagian 5.2. Apa yang baik? Siapa yang menentukan?


Sikap terhadap objek,individu, atau kelompok

Wilayah
Kebijakan

Simbolis

Hakikat
Dalam membuat kebijakan, seorang pejabat dapat menggunakan interpretasinya
terhadap gagasan tertentu, individu maupun kelompok secara positif maupun negatif. Karna
itu gambaran simbolis ini dapat menghasilakan sikap penguasa maupun peniadaan. Demikian
pula, dalam esensi kebijakan yang diambilnya dia dapat melibatkan atau tidak melibatkan
kelompok maupun objek tertentu tertentu dalam proses kebijakan. Keputusan berarti memilih
satu alternatif dan melepaskan alternatif yang lain. Seorang walikota mungkin lebih memilih
untuk membangun taman kota untuk menambah kerapian dan keindahan kota. Akan tetapi,
demikian dia berarti telah mengurangi anggaran untuk memberikan santunan kesejahteraan
sosial. Atau sebaliknya, dia mungkin mengambil prioritas untuk membangun perumahan
kumuh bagi gelandangan atau melaksanakan rehabilitas sosial. Namun itu berarti bahwa
anggaran untuk prasaranan jalan-jalan di perkotaan akan berkurang. Di dalam setiap
kebijakan publik selalu terdapat ambigiuitas. Akan tetapi, seperti telah dijelaskan di muka
pedoman yang harus tetap dipegang ialah bahwa acuan utamanya adalah kepentingan umum,
atau kesejahteraan bagi sebanyak mungkin warga negara.

1. Optimisme
Sifat ini hendaknya tidak ditafsirkan sebagai kesenangan untuk menganggap enteng
semua masalah, tetapi suatu kecenderungan untuk beramsumsi tentang kemungkinan untuk
mendapatkan hasil-hasil yang positif, ialah mengandung keyakinan bahwa peluang untuk
memecahkan persoaalan akan selalu ada. Optimisme dimaksudkan untuk menunjukan pada
sikap administrator untuk melihat urusan pemerintahan sebagai urusan yang harus
dilaksanakan dengan iktikad baik,kejujuran, dan kompetensi. Tanpa optimisme seperti ini,
pemerintahan mengaburkan tugas-tugas yang menyangkut kepentingan Perorongana akan
cenderung dominan. Kejujuran melandasi optimisme itu akan menghindarkan kecemburuan
sosial akan sumber daya kolektif, dan politk menjadi persaingan di antara individu, lembaga,
atau kelompok-kelompok kepentingan untuk memperoleh kekuasaan dan sumber daya.

2. Keberanian ( Courage )
Sifat ini memerlukan kekuatan Pribadi dan komitmen yang benar. Pembuatan
kebijakan harus berani menolak tekanan-tekanan yang tidak sah dari para politis, pengaruh
kelompok-kelompok kepentingan yang kuat, atau intimidasi dari para parak dan orang-orang
yang mengandalakan favoritisme, suatu komitmen untuk mempertahankan proses legal,
seperti yang digarisakan dalam hukum dan kebijakan yang lebih tinggi, ketika berhadapan
dengan orang-orang yang hendak mengeruk sumber daya negara dan memanfatkan
kedudukan membutuhkan kelugasan atau impersonalita. Namun, impersonalitas disini bukan
berarti melupakan sifat kemanusian dan kepekaan. Keberaniaan juga mengandung arti adanya
ketabahan dalam menjalankan tugas-tugas negara dengan kompotensi yang netral.

3. Keadilan yang berwatak kemurahan hati ( Fairnees Tempered With Charity )


Baily menggambarkan sikaf ini sebagai kualitas moral yang paling penting bagi
pejabat publik. Sifat ini menunjukan kemampuan untuk menyimbangkan komitmen atau
orang atau kelompok sasaran dengan perlakuan baku yang sama serta suatu kepekaan atas
perbedaam individual. Apabila seseorang ditugaskan untuk melayani masyarakat, ia harus
mampu menimbang kepantasan bagi setiap individu masyarakat tersebut. Aparatur
pemerintahan yang tidak melengkapi pelaksanaan aturan dan prosedur dengan nilai
kemanusian akan menciptakan birokrasi mirip robot yang mengasingkan rakyat dari
pemerintahnya sendiri.
Oleh karena itu kearifan seorang pemimpin sangat dibutuhkan bagi perumus
kebijakan yang baik. Kepekaan dan empati terhadap kebutuhan masyarakat juga merupakan
syarat yang penting karena bagaimanapun juga pejabat publik harus melayani manusi,
tentunya punya martabat, harga diri dan perasaan. Dalam melayani masyarakat umum, yang
perlu selalu diperhatikan ialah ketentuan mengenai keadilan prosedural. Telah dikemukan
bahwa pelaksanaan keadilan prosedural merupakan salah saatu unsur penilaian kinerja
birokrasi dari sudut legimitasi politik. Keadilan prosedural mempersoalkan akses dan
perlakukan ( acces and treatment). Kelompok sasaran hendaknya dilibatkan dalam pembuatan
aturan main dengan penghakimannya dan berlaku bagi semua. Kasus-kasus yang berkenaan
interaksi antar individu-individu dengan aparatur pemerintah haruslah diperlakukan secara
seragam dan tanpa dikrisminasi ketentuan-ketentuan seperti inilah yang seharusnya menjadi
landasan reformasi hukum administratif guna menuju sistem administrasi yang demokratis
karna sebagaian orang tentunya mendapat keuntungan inheren melalu akses dan karna
perilakj birokrasi sendiri begitu mudah untuk disalahgunakan demi kepentingan khusus maka
reformasi yang terpenting ialah dilaksanakanyan public hearing secara insentif serta
mekanisme evaluasi yang berkesenimbungan. Perubahan-perubahan reformasi tersebut
kesemuanya harus mengarah pada persamaan kesempatan ( egualization of opportunities).
Pada dasarnya kebijakan publik serdiri dari serangkaian proses pemilikian dan
penentuan prioritas. Lahirnya landasan ilmu yang mendukung rasionalitas pengambilan
keputusan, baik itu ilmu psikologi,antropologi,pilitik, ekonomi maupun sosiologi,
sesungguhnya juga merupakan hasil dari proses pemilihan. Pilihan-pilahan keputusan juga
dibuat atas nama kehendak individu maupun kolektif dengan berlandasan harapan atas masa
depan dan perkiraan atas konsenkuensi dari tindakan yang di lakukan sekarang. Maka di
dalam perilaku pengambilan keputusan atau pembuatan kebijakan ada tiga pertanyaan yang
mesti dijawab. Siapa yang membuat keputusan? Apa sajakah preferensi yang ada pada
pembuatan keputusan mengenai konsenkuensi dari alternatif-alternatif keputusan yang ada?
Jika kita hendak mengubah perilaku, maka kita harus mengubah pembuatan keputusan,
preferensi-prreferensinya, dan harapan-harapannya. Sudah barang tentu kaidah etis
mengandaikan bahwa para pembuat kebijakan publik akan meletakan preferensi pada
kemakmuran dan kebaikan masyarakat luas, dan meletakan harapannya pada kemajuan
masyarakat,bangsa,dan negara. Namun untuk membuat keputusan-keputusan yang tepat
seorang pejabat harus pula memiliki kepastian intelektual yang memandai. Teori pilihan
melihat pembuatan keputusan sebagai suatu tindakan yang disengajah ( tidak berlangsung
dengan sendirinya) yang berdasarkan emapat hal sebagai berikut ini:
1. Peraturan tentang alternatif-alternatif tindakan.
Pembuat keputusan harus memahami sejumlah alternatif untuk bertindak. Alternatif-
alternatif tersebut dirumuskan berdasarkan situasi dam dipahami sebagai sesuatu yang
tidak mendua atau tidak mengandung ketaksaan (unambiguosly).
2. Peraturan tentang konsekuensi.
Pembuat keputusan memahami konsenkuensi-konsenkuensi dari tindakan-tindakan
alternatif, atau setidak-tidaknya memiliki pegangan atas probabilitas keberhasilan atau
kegagalan tindakan tersebut.
3. Peraturan preferensi yang kosisten
Pembuat keputusan memiliki fungsi-fungsi objektif yang memungkinkan
konsekuensi-konsekuensinya dari alternatif tindakan dapat dibandingkan dengan
nilai-nilai subjektif mereka.
4. Aturan keputusan
Para pembuat keputusan harus memakai aturan-aturan untuk memilih sebuah
alternatif tindakan berdasarkan konsekuensi dan preferensi mereka.

Dalam model membuat keputusan yang sempurna diasumsikan bahwa pembuatan


keputusan mengetahui setiap alternatif dari suatu keputusan, memahami masing-masing
konskeuensinya, memiliki wawasan subjektif yang utuh tentang konskeunsi-konskuens
tersebut, dan pemilihan keputusan dilakukan dengan menyeleksi alternatif yang mengandung
nilai harapan tertinggi. Sturktur asumsi yang sama juga mendasari rekayasa keputusan
mocem. Analisasi operasi, ilmu manajemen, teori keputusan, dan ancangan-ancangan analitis
yang lain pada dasarnya dimaksudkan untuk membuat pilihan yang rasional. Analisis yang
rasional atas pemilihan alternatif itu dapat Itu dapat di manfaatkan untuk berbagai bentuk
kebijakan publik sejak penentuan jalur penerbangan, lokasi gudang instalasi pemerintah,
pemilihan sumber energi, peraturan antren di loker-loker pemerintah, serta sebagai solusi atas
masalah-masalah publik yang kompleks. Untuk mampu menghasilkan keputusan-keputusan
yang baik, tentu saja wawasan holistik akan banyak membantu pejabat publik, dia hatus jeli
mengamati segenap aspek yang terkait, dan siap menanggung Konskeunsi yang suatu
keputusan yang gagal. Nasihat yang dapat dianjurkan bagi seorang pembuat keputusan publik
tetap sejalan dengan rasionalitas diatas, yaitu : tentukan secara tepat alternatif-alternatifnya;
rumuskan dengan jelas preferensi-preferensi anda; perkiraan konsekuensi-konsekuensiyang
mungkin timbul dari setiap alternatif probabilitas kerjannya; terakhir pilih alternatif yang
memaksimalkan nilai yang di harapkan.
Para pejabat membuat kebijakaan hendaknya memiliki kemampuan untuk belajar dari
kesalahan yang pernah di buat dan melihat setiap permasalahan secara serius. Kearifan juga
mengandung arti bahwa pembuat keputusan tidak bertindak gegabah dan menanggapi ringan
suatu persoalan. Dalam hal ini Lesy mengemukakan tiga macam bahaya berikut ini dalam
meninjau suatu isu kebijakan.
1. Bahaya karna memecahkan masalah secara umum
Masalah-masalah yang dijadikan contoh kasus teoretis yang dijadikan acuan etis oleh
para penulis atau pembuat keputusan terdahulu sering kali bersifat tipikal. Kesulitan
timbul karna sebagai masalah yang harus dihadapi oleh pejabat publik bukanlah
masalah tipikal. Di dalam setiap masalah., senantiasa terdapat sisi unik yang
membedakan kasus nyata dari kasus-kasus tipikal yang pernah terjadi. Oleh karena
itu, pengambil kebijakan yang baik tidak pernah memecahkan masalah secara umum.
Pemecahan masalah tidak dapat mengambil gelarisasi sebagai pedoman, jadi kita
tidak dapat memulai pemecahan masalah dengan ungkapan”biasanya” menurut
pengalaman yang sudah-sudah”, pada umumnya”, atau pengadaian-pengadaian lain
yang tidak objektif. Salah satu unsur pokok pemilihan alternatif secara rasional adalah
keseriusan dalam menelaah persoalan.
2. Bahaya karena menerima secara buta teori-teori formal tentang pembuatan kebijakan.
Orang yang di anggap sudah tau banyak dan perpengalaman tetapi tidak akrab dengan
praktik pembuatan keputusan yang sesunggunyaa masih akan menemui kegagalan.
Betapapun semburnanya cara berpikir seseorang kalau hanya mengandalkan teori-
teori formal dia tidak akan menghasilkan keputusan-keputusan yang baik. “” atau
yang terlalu berpegang pada teori dan kaidah hukum formal akan gagal
mengangisipasi tiga hal berikut ini yang memengaruhi proses pembuatan kebijakan.
a. Akumulasi preseden dan kebiasaan-kebiasaan tak tertulis.
Pembuatan keputusan yang kurang dekat dengan persoalan aktual akan gagal
melihat situasi yang sesungguhnya. Ini disebabkan karena interpretasi yang
ditambahkan pada setiap sistem perundang-undangan akan semakin banyak, dan
untuk menenukan inti kaidah yang asli orang tentunya membutuhkan interaksi
langsung dengan situasi sehari-hari.
b. Pemerintahan yang tak tampak
Pemerintahan yang tak tampak adalah organisasi-organisasi swasta yang dengan
kekuatan finansialnya punya kemampuan untuk memberi “hadiah” atau
“menghukum” para politis. Dan keputusan-keputusan yang memengaruhi
kepentingan-kepentingan swasta tertentu mungkin lebih banyak dibuat oleh
kelompok-kelompok penekan atau tokoh-tokoh lobby yang kuat.
c. Kemustahilan operasional.
Dalam pemerintahan, aktivitas yang harus dilakukan begitu banyak sehingga
pejabat-pejabat yang bertanggung jawab tidak sempet melakukan pemeriksaan
terinci dan lebih sering langsung menandatangi laporan-laporan yang dibuat oleh
bawahan. Kebanyakan pejabat sudah tidak menguasi lagi pemecahan masalah
tingkat operasional.
Oleh karena itu, orang pengambil kebijakan yang baik bukan saja untuk menguasai kiat
untuk membuat keputusan secara teoritis serta kaidah-kaidah hukum yang mendasarinya,
tetapi juga perlu membina interaksi secara langsung dengan persoalan-persoalan aktual.

3. Bahaya karena mengabaikan masalah persuasi


Persuasi atau pendapat orang lain merupakan hal yang penting bagi perumusan
kebijakan maupun bagi kritikus kebijakan. Pembuat kebijakan yang tidak pernah
memperhatikan pendapat orang lain akan kehilanganimformasi akurat yang mungkin
telah diperoleh orang lain tersebut. Di samping itu, penerimaan usul dan pendapat
orang lain senenarnya bisa menjadi sarana paling ampuh untuk memperoleh dulungan
orang tersebut. Keterbukaan terhadap saran dan pendapat orang lain dengan demikian
menpunyai manfaat ganda, yaitu memperoleh informasi yang mungkin belum
tercakup dalam dasar kebijakan, serta untuk menumbuhkan suasana demokratis dalam
pembuatan kebijakan.

Tidak mudah memang bagi pembuat keputusan bersikap arif dalam mengambil
kebijakan. Para pejabat biasanya berada ditengah berbagai macam kepentingan yang
terkadang saling bertolak belakang, baik kepentingan atasan, pihak swasta, aparat regislatif
atau perumusan peraturan perundangan, lembaga-lembaga sosial nonpemerintah, maupun
kepentingan masyarat luas. Untuk membuat kebijakan yang memuaskan semua pihak
memang bukan pekerjaan yang ringan . Untuk menggabarkan kompleksnya persoalan-
persoalan publik, berikut ini diuraikan salah satu contoh kasus aktual, yaitu kasus
pencemaran sungai tapak di kotamadyan semarang yang pernah menjadi idu nasional pada
tahun 1991.
Sejumlah pablik di sepanjang sungai tapak terbukti telah mencerminkan sungai
tersebut kurang lebih 15 tahun. Dalam kurung waktu tersebut warga masyarakat tidak berani
melaporkan kepada pemerintah karna tidak tahu prosedur untuk melaporkannya. Akan tetapi,
kecemasan memuncakan mereka sepakat untuk menyerahkan kasus tersebut ke LBH agar di
proses secara hukum. LBH yang kemudian mengadu ke DPRD ternyata justru diingatkan
bahwa pernah ada tuntutan warga masyarakat mengenai pencemaran yang dimenangkan di
pengadilan sehingga masyarakat dengan LBH sebagai kuasa hukum mereka diharapakan
sehingga warga tapak berhati-hati dan jeli dalam masalah tersebu. Upaya kekeluargaan pun
termyata beralan alon karna pihak pemilik pablik tak pernah mau datang dalam pertemyan
yang direncanakan. Pemilik pablik tetep ngotot bahwa pihaknya tidak melakukan pencemara.
Tanpaknya para pemilik panrik pencemaran itu telah melobi sejumlah oknum pejabat
pemerintah sehingga proses penyelesaian kekeluargaan tetap terkamtung-kantung.
Warga tapak rupanya belum mau berhentik. Mereka bersama LBH melopor ke kotak
pos 5000 dan mendatangi kantor Mentru kependudukan dan Lingkungan Hidup. Bukan itu
saja, sekitar 15 LSM di jawa tenagh mai turun tangan untuk membahas persoalan tersebut
untuk membela warga Tapak. Tanggal 26 April 1991, kasus Tapak mencapai klimaksnya
setelah 100 LSM sepakat memboikot pablik dan produk perusahaan pencemar linkungan
sungai tapak tersebut. Maka semakin banyaklah pihak yang terlibat dalam kasus tersebut,
antara lain kejaksaan Tinggi Jateng, polda dan sejumlah pejabat kalangan legislatif maupun
eksekutif. Kebanyakan tokoh kemucian mendukung warga masyarakat tapak dan
dilaksanakannya tuntutan ganti-rugi atau tuntutan pidana terhadap pemilik-pemilik pablik
yang mencemari kawasan Tapak itu. Perjuangan masyarakat untuk memenangkan kasus
tersebut mungkin memang tidak impas dengan ganti-rugi yang mereka terima, tetapi
keberhasilan mereka tentunya merupakan kemenangan moral yang berpengaruh luas.
Ada beberapa pelajaran yang dapat dipetik dari kasus ini. Hal yang pertama tentu saja
menyangkut diperlukannya. Undang-Undang No. 4/ 1984 tentang ketentuan pokok
pengelolahan libgkungan hidup. Pasal-pasal Perundang-undangan tidak akan ada artinya jika
aparat pemerintah tidak berniat atau tidak punya keneranian untuk menerapkannya secara
konsekuen. Dalam kasus Tapak ini keberanian aparat pemerintah-kepolisian dan kejaksaan
untuk meneruskan kasus tersebut ke pengadilan dan menuntaskannya sesuai hukum yang
berlaku merupakan faktor yang menentukan kedua, untuk membuat kebijakan Yang baik
seseorang pejabat haruslah memiliki intergritas dan mental yang kokoh. Sebgai pejabat
pemerintah ternyata masih tergiur oleh bujukan-bujukan yang datang dari orang-orang yang
ingin membelokan persturan. Dalam kasus Tapak, sebuah harian lokal memberikan bahwa
secara diam-diam ada seorang pemilik pablik yang membujuk warga Tapak,agar
membatalkan gugutannya dengan dalil bahwa gugatan itu pasti gagal ( kedaulatan rakyat, 15
januari, 14 februari, dan 2 april 1991). Pelajaran yang ketiga adalah bahwa pihak-pihak yang
terlibat dalam pembuatan kebijakan bisa jadi akan sangat banyak dengan kepentinganya yang
berbeda-beda, dan masalahnya sendiri semakin luas. Pembuat kebijakan harus mampu
menengahi kepentingan-kepntingan tersebut dan mengambil prakarsa kebijakan secara tepat.
Dalam kasus diatas tampak adanya tarik-menarik antarbergabagai kepemtingan yaitu,
kepentingan miliki pabrik pencemaran lingkungan, oknum aparat yang mencoba
memanfaatkan kesempatan untuk kepemtingan pribadi, kepentingan warga masyarakat yang
didukung LBH dan LSM, serta kepentingan khusus dari berbagai kekuatan politik. Lembaga-
lembaga pemerintah yang turur campur juga datang dari berbagai unsur, mulai pemda,
kepolisian, kejaksaan, penelitian dari perguruan tinggi, hingga kementrian KLH dan aparat
pengawasan pusat. Namun, diantara berbagai macam kepentingan tersebut tampak bahwa
aprisiasi masyarakat merupakan kebijakan legitimasi yang paling kuat bagi kebijakan-
kebijakan yang diambil aparat pemerintah.
Kearifan dalam mengambil kebijakan publik ditentukan pula oleh aparat untuk tidak
begitu saja mempercayai informasi yang datang dari satu pihak. Setiap persoalan, lebih-lebih
menyangkut kepentingan masyarakat, perlu ditelusuri secara tuntas dan segala
konsekuensinya harus diantisipasi sebelum keputusan dijatuhkan. Pejabat hendaknya tidak
hanya berpegang pada laporan-laporan di atas kertas yang diberikan oleh bawahan. Dia perlu
melihat tanggapan dari lembaga-lembaga yang lain, merujuk pada peraturan hukum yang ada,
melihat pemberitaan pers tentang masalah yang bersamgkutan, mencermati, keluhan-keluhan
warga masyarakat melalu rublik-rublik pikiran pembaca di surat kabar atau pengaduan-
pengaduan langsung, dan akhirnya mengambil keputusan berdasarkan wawasan manajerial
yang holistik.

E. Etos Kerja
Pembicaraam yang berkadar filcsofiada

Anda mungkin juga menyukai