Etika Komunikasi
Etika Komunikasi
Wilayah
Kebijakan
Simbolis
Hakikat
Dalam membuat kebijakan, seorang pejabat dapat menggunakan interpretasinya
terhadap gagasan tertentu, individu maupun kelompok secara positif maupun negatif. Karna
itu gambaran simbolis ini dapat menghasilakan sikap penguasa maupun peniadaan. Demikian
pula, dalam esensi kebijakan yang diambilnya dia dapat melibatkan atau tidak melibatkan
kelompok maupun objek tertentu tertentu dalam proses kebijakan. Keputusan berarti memilih
satu alternatif dan melepaskan alternatif yang lain. Seorang walikota mungkin lebih memilih
untuk membangun taman kota untuk menambah kerapian dan keindahan kota. Akan tetapi,
demikian dia berarti telah mengurangi anggaran untuk memberikan santunan kesejahteraan
sosial. Atau sebaliknya, dia mungkin mengambil prioritas untuk membangun perumahan
kumuh bagi gelandangan atau melaksanakan rehabilitas sosial. Namun itu berarti bahwa
anggaran untuk prasaranan jalan-jalan di perkotaan akan berkurang. Di dalam setiap
kebijakan publik selalu terdapat ambigiuitas. Akan tetapi, seperti telah dijelaskan di muka
pedoman yang harus tetap dipegang ialah bahwa acuan utamanya adalah kepentingan umum,
atau kesejahteraan bagi sebanyak mungkin warga negara.
1. Optimisme
Sifat ini hendaknya tidak ditafsirkan sebagai kesenangan untuk menganggap enteng
semua masalah, tetapi suatu kecenderungan untuk beramsumsi tentang kemungkinan untuk
mendapatkan hasil-hasil yang positif, ialah mengandung keyakinan bahwa peluang untuk
memecahkan persoaalan akan selalu ada. Optimisme dimaksudkan untuk menunjukan pada
sikap administrator untuk melihat urusan pemerintahan sebagai urusan yang harus
dilaksanakan dengan iktikad baik,kejujuran, dan kompetensi. Tanpa optimisme seperti ini,
pemerintahan mengaburkan tugas-tugas yang menyangkut kepentingan Perorongana akan
cenderung dominan. Kejujuran melandasi optimisme itu akan menghindarkan kecemburuan
sosial akan sumber daya kolektif, dan politk menjadi persaingan di antara individu, lembaga,
atau kelompok-kelompok kepentingan untuk memperoleh kekuasaan dan sumber daya.
2. Keberanian ( Courage )
Sifat ini memerlukan kekuatan Pribadi dan komitmen yang benar. Pembuatan
kebijakan harus berani menolak tekanan-tekanan yang tidak sah dari para politis, pengaruh
kelompok-kelompok kepentingan yang kuat, atau intimidasi dari para parak dan orang-orang
yang mengandalakan favoritisme, suatu komitmen untuk mempertahankan proses legal,
seperti yang digarisakan dalam hukum dan kebijakan yang lebih tinggi, ketika berhadapan
dengan orang-orang yang hendak mengeruk sumber daya negara dan memanfatkan
kedudukan membutuhkan kelugasan atau impersonalita. Namun, impersonalitas disini bukan
berarti melupakan sifat kemanusian dan kepekaan. Keberaniaan juga mengandung arti adanya
ketabahan dalam menjalankan tugas-tugas negara dengan kompotensi yang netral.
Tidak mudah memang bagi pembuat keputusan bersikap arif dalam mengambil
kebijakan. Para pejabat biasanya berada ditengah berbagai macam kepentingan yang
terkadang saling bertolak belakang, baik kepentingan atasan, pihak swasta, aparat regislatif
atau perumusan peraturan perundangan, lembaga-lembaga sosial nonpemerintah, maupun
kepentingan masyarat luas. Untuk membuat kebijakan yang memuaskan semua pihak
memang bukan pekerjaan yang ringan . Untuk menggabarkan kompleksnya persoalan-
persoalan publik, berikut ini diuraikan salah satu contoh kasus aktual, yaitu kasus
pencemaran sungai tapak di kotamadyan semarang yang pernah menjadi idu nasional pada
tahun 1991.
Sejumlah pablik di sepanjang sungai tapak terbukti telah mencerminkan sungai
tersebut kurang lebih 15 tahun. Dalam kurung waktu tersebut warga masyarakat tidak berani
melaporkan kepada pemerintah karna tidak tahu prosedur untuk melaporkannya. Akan tetapi,
kecemasan memuncakan mereka sepakat untuk menyerahkan kasus tersebut ke LBH agar di
proses secara hukum. LBH yang kemudian mengadu ke DPRD ternyata justru diingatkan
bahwa pernah ada tuntutan warga masyarakat mengenai pencemaran yang dimenangkan di
pengadilan sehingga masyarakat dengan LBH sebagai kuasa hukum mereka diharapakan
sehingga warga tapak berhati-hati dan jeli dalam masalah tersebu. Upaya kekeluargaan pun
termyata beralan alon karna pihak pemilik pablik tak pernah mau datang dalam pertemyan
yang direncanakan. Pemilik pablik tetep ngotot bahwa pihaknya tidak melakukan pencemara.
Tanpaknya para pemilik panrik pencemaran itu telah melobi sejumlah oknum pejabat
pemerintah sehingga proses penyelesaian kekeluargaan tetap terkamtung-kantung.
Warga tapak rupanya belum mau berhentik. Mereka bersama LBH melopor ke kotak
pos 5000 dan mendatangi kantor Mentru kependudukan dan Lingkungan Hidup. Bukan itu
saja, sekitar 15 LSM di jawa tenagh mai turun tangan untuk membahas persoalan tersebut
untuk membela warga Tapak. Tanggal 26 April 1991, kasus Tapak mencapai klimaksnya
setelah 100 LSM sepakat memboikot pablik dan produk perusahaan pencemar linkungan
sungai tapak tersebut. Maka semakin banyaklah pihak yang terlibat dalam kasus tersebut,
antara lain kejaksaan Tinggi Jateng, polda dan sejumlah pejabat kalangan legislatif maupun
eksekutif. Kebanyakan tokoh kemucian mendukung warga masyarakat tapak dan
dilaksanakannya tuntutan ganti-rugi atau tuntutan pidana terhadap pemilik-pemilik pablik
yang mencemari kawasan Tapak itu. Perjuangan masyarakat untuk memenangkan kasus
tersebut mungkin memang tidak impas dengan ganti-rugi yang mereka terima, tetapi
keberhasilan mereka tentunya merupakan kemenangan moral yang berpengaruh luas.
Ada beberapa pelajaran yang dapat dipetik dari kasus ini. Hal yang pertama tentu saja
menyangkut diperlukannya. Undang-Undang No. 4/ 1984 tentang ketentuan pokok
pengelolahan libgkungan hidup. Pasal-pasal Perundang-undangan tidak akan ada artinya jika
aparat pemerintah tidak berniat atau tidak punya keneranian untuk menerapkannya secara
konsekuen. Dalam kasus Tapak ini keberanian aparat pemerintah-kepolisian dan kejaksaan
untuk meneruskan kasus tersebut ke pengadilan dan menuntaskannya sesuai hukum yang
berlaku merupakan faktor yang menentukan kedua, untuk membuat kebijakan Yang baik
seseorang pejabat haruslah memiliki intergritas dan mental yang kokoh. Sebgai pejabat
pemerintah ternyata masih tergiur oleh bujukan-bujukan yang datang dari orang-orang yang
ingin membelokan persturan. Dalam kasus Tapak, sebuah harian lokal memberikan bahwa
secara diam-diam ada seorang pemilik pablik yang membujuk warga Tapak,agar
membatalkan gugutannya dengan dalil bahwa gugatan itu pasti gagal ( kedaulatan rakyat, 15
januari, 14 februari, dan 2 april 1991). Pelajaran yang ketiga adalah bahwa pihak-pihak yang
terlibat dalam pembuatan kebijakan bisa jadi akan sangat banyak dengan kepentinganya yang
berbeda-beda, dan masalahnya sendiri semakin luas. Pembuat kebijakan harus mampu
menengahi kepentingan-kepntingan tersebut dan mengambil prakarsa kebijakan secara tepat.
Dalam kasus diatas tampak adanya tarik-menarik antarbergabagai kepemtingan yaitu,
kepentingan miliki pabrik pencemaran lingkungan, oknum aparat yang mencoba
memanfaatkan kesempatan untuk kepemtingan pribadi, kepentingan warga masyarakat yang
didukung LBH dan LSM, serta kepentingan khusus dari berbagai kekuatan politik. Lembaga-
lembaga pemerintah yang turur campur juga datang dari berbagai unsur, mulai pemda,
kepolisian, kejaksaan, penelitian dari perguruan tinggi, hingga kementrian KLH dan aparat
pengawasan pusat. Namun, diantara berbagai macam kepentingan tersebut tampak bahwa
aprisiasi masyarakat merupakan kebijakan legitimasi yang paling kuat bagi kebijakan-
kebijakan yang diambil aparat pemerintah.
Kearifan dalam mengambil kebijakan publik ditentukan pula oleh aparat untuk tidak
begitu saja mempercayai informasi yang datang dari satu pihak. Setiap persoalan, lebih-lebih
menyangkut kepentingan masyarakat, perlu ditelusuri secara tuntas dan segala
konsekuensinya harus diantisipasi sebelum keputusan dijatuhkan. Pejabat hendaknya tidak
hanya berpegang pada laporan-laporan di atas kertas yang diberikan oleh bawahan. Dia perlu
melihat tanggapan dari lembaga-lembaga yang lain, merujuk pada peraturan hukum yang ada,
melihat pemberitaan pers tentang masalah yang bersamgkutan, mencermati, keluhan-keluhan
warga masyarakat melalu rublik-rublik pikiran pembaca di surat kabar atau pengaduan-
pengaduan langsung, dan akhirnya mengambil keputusan berdasarkan wawasan manajerial
yang holistik.
E. Etos Kerja
Pembicaraam yang berkadar filcsofiada