Anda di halaman 1dari 24

KEDUDUKAN ANAK LUAR KAWIN DALAM PEWARISAN

MENURUT KUHPERDATA

DISUSUN OLEH:

NURMA CHRISMAWANTIKA HERLAMBANG

1312100017

DOSEN PENGAMPU

Merline Eva Lyanthi, S.H., M.KN

PROGRAM STUDI S1 ILMU HUKUM

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS 17 AGUSTUS 1945 SURABAYA

TAHUN 2023/2024
Daftar Isi

Daftar Isi.................................................................................................................................ii

Pendahuluan...........................................................................................................................1

A. Latar Belakang..................................................................................................................1

B. Rumusan Masalah.............................................................................................................4

Tinjauan Pustaka...................................................................................................................5

A. Tinjauan Umum Hukum Waris......................................................................................5

B. Pengertian Anak Luar Kawin..........................................................................................5

Pembahasan............................................................................................................................7

A. Anak Luar Nikah yang Diakui menurut KUHPerdata.................................................7

B. Hak dan Kedudukan Anak Luar Nikah yang Diakui Terhadap Warisan menurut

KUHPerdata...........................................................................................................................9

C. Warisan dan Bagian Mutlak yang Diperbolehkan Anak Luar Kawin......................16

D. Yang Mewarisi Harta Peninggalan Anak Luar Kawin...............................................17

E. Contoh Kasus...................................................................................................................18

Penutup.................................................................................................................................19

A. Kesimpulan......................................................................................................................19

B. Saran................................................................................................................................20

Daftar Pustaka.....................................................................................................................21

ii
Pendahuluan
A. Latar Belakang
Masyarakat terdiri dari manusia baik sebagai perorangan (individu) atau kelompok
manusia yang telah berhimpun untuk berbagai keperluan dan tujuan. Kehidupan manusia
dalam perjalanannya mengalami tiga peristiwa penting, yaitu ketika ia lahir, menikah, dan
meninggal dunia. Perkawinan merupakan suatu peristiwa penting dalam kehidupan
manusia. Melalui perkawinan, manusia dapat membangun dan membina sebuah keluarga
yang bahagia serta melanjutkan keturunan. Perkawinan menimbulkan akibat hukum bagi
pihak suami dan istri dalam perkawinan, antara lain mengenai hubungan hukum di antara
suami dan istri, terbentuknya harta benda perkawinan, kedudukan dan status anak yang
sah, serta hubungan pewarisan. Akibat hukum perkawinan tersebut hanya dapat diperoleh
apabila perkawinan dilakukan secara sah memenuhi ketentuan Pasal 2 Ayat (1) dan Ayat
(2) UUP, yaitu perkawinan dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan
kepercayaannya, serta dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Melalui suatu perkawinan diharapkan sekali hadirnya keturunan yaitu anak.

Berbicara mengenai pewarisan berkaitan dengan peristiwa hukum, yaitu kematian.


Setelah peristiwa kematian tersebut, timbullah akibat hukum ialah masalah bagaimana
pengurusan dan kelanjutan hak-hak dan kewajiban-kewajiban seseorang yang meninggal
dunia tersebut. Penyelesaian hak dan kewajiban seseorang yang meninggal diatur oleh
hukum waris. Harta peninggalan adalah kekayaan yang berupa seluruh aktiva dan pasiva
yang ditinggalkan Pewaris yang dapat berpindah kepada para ahli waris. Dalam harta
peninggalan tersebut, termasuk didalamnya harta benda perkawinan. Dalam KUHPerdata
diatur bahwa harta benda kedua mempelai suami istri menjadi milik bersama sejak
perkawinan dilangsungkan, kecuali kalau diadakan perjanjian kawin untuk menyimpang
dari prinsip tersebut

R Wirjono Prodjodikoro, memberikan batasan-batasan mengenai warisan, antara lain:

1. Seseorang yang meninggalkan warisan (Erflater) pada saat orang tersebut


meninggal dunia.
2. Seseorang atau beberapa ahli waris (Erfenaam), yang mempunyai hak
menerima kekayaan yang ditinggalkannya itu.
3. Harta warisan (nalaten schap), yaitu wujud kekayaan yang ditinggalkan dan
selalu beralih kepada ahli waris tersebut.

1
Ahli waris menurut hukum waris barat dibagi menjadi empat golongan dengan
bagiannya yang masing-masing diatur dalam KUHPerdata, yaitu:

1. Ahli Waris Golongan Satu, yaitu: anak-anak dan keturunannya serta suami
atau istri yang hidup terlama.
2. Ahli Waris Golongan Dua, yaitu: orang tua, saudara laki-laki, saudara
perempuan, dan keturunan saudara laki dan perempuan tersebut.
3. Ahli Waris Golongan Tiga, yaitu: sekalian keluarga dalam garis lurus ke atas,
baik dari garis ayah maupun ibu.
4. Ahli Waris Golongan Empat, yaitu: keluarga sedarah lainnya dalam garis
menyimpang sampai derajat ke enam

Selain ahli waris yang masuk dalam golongan di atas, anak luar kawin diakui
termasuk pula sebagai ahli waris. Melihat dari pengertian anak sah dalam UUP, dapat
diasumsikan bahwa anak luar kawin adalah anak yang tidak dilahirkan dalam atau sebagai
akibat perkawinan yang sah dan hanya mempunyai hubungan keperdataan dengan ibunya
saja. Tidak selamanya anak terlahir dari suatu perkawinan yang sah, banyak pula
fenomena yang terjadi di dalam masyarakat di mana anak lahir di luar perkawinan.
Hal ini banyak terjadi dan akan mengakibatkan status anak yang beragam. Apabila
pernikahannya sah, anak yang terlahirpun tentunya akan sah. Apabila hasil dari
perkawinan yang tidak sah, akan memberikan status anak luar kawin bagi anak yang
baru dilahirkannya. Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai
hubungan perdata denganibunya dan keluarga ibunya. Ketentuan inipun berlaku bagi
anak yang dilahirkan dari perkawinan yang tidak dicatatkan. Perkawinan yang tidak
dicatat dapat diartikan bahwa peristiwa perkawinan tersebut tidak pernah ada
sehingga anak yang lahir di luar perkawinan tersebut menurut undang-undang
dikategorikan sebagai anak luar kawin. Status hukum dari seorang anak luar kawin
hanya akan mempunyai hubungan keperdataan dari ibu dan keluarga ibunya saja,
sedangkan dengan ayah biologis dan keluarganya anak luar kawin sama sekali tidak
mempunyai hubungan keperdataan. Demikian pula dalam hal pembuatan identitas
diri anak berupa akta kelahiran, maka dalam akta kelahiran anak luar kawin akan
tercatat bahwa anak tersebut adalah anak luar kawin dengan hanya mencantumkan
nama ibunya saja, sedangkan nama bapaknya tidak tercantum.

2
Sistem hukum Indonesia tentang pewarisan anak-anak diluar kawin mengalami
perubahan, peluang yang diberikan Pasal 55 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan yang mengatur bilaasal usul anak tidak dapat dibuktikan dengan
akta otentik maka mengenai hal itu akan ditetapkan dengan putusan pengadilan yang
berwenang. Selanjutnya Pasal 43 Ayat (1) bahwa, hubungan anak dengan seorang laki-
laki sebagai bapak tidak semata-mata karena adanya ikatan perkawinan, namun menurut
Undang-Undang ini dapat juga didasarkan pada pembuktian adanya hubungan
darah antara anak dengan laki-laki tersebut sebagai bapak. Dengan demikian terlepas
dari soal prosedur/administrasi perkawinannya, anak yang dilahirkan harus mendapat
perlindungan hukum, jika tidak demikian yang dirugikan adalah anak yang dilahirkan
diluar perkawinan, padahal anak tersebut tidak berdosa karena kelahirannya diluar
kehendaknya. Faktor yang melatar belakangi kelahiran anak luar kawin yang tidak sah
adalah usia dari ayah dan ibunya yang masih dibawah batas usia yang belum cukup umur
untuk melaksanakan perkawinan, karena belum siap secara ekonomi, adanya perbedaan
keyakinan, dan kepercayaan, akibat terjadinya pemerkosaan tidak memperoleh restu dari
kedua orang tuanya, atau pria yang terikat perkawinan dengan perempuan lain dan tidak
mendapatkan ijin untuk menikah lagi, dan juga dari pergaulan bebas.

Ketua Majelis Hakim Mahfud MD menyatakan anak lahir di luar hubungan


pernikahan atau di luar hubungan resmi tetap memiliki hubungan dengan ayahnya.
Setelah adanya putusan ini, wanita bisa menuntut pria yang menghamilinya untuk
memberi nafkah anaknya. "Karena itu, ayah biologis harus bertanggung jawab.
Perempuan juga bisa menuntut pria yang menghamilinya untuk menafkahi anaknya.
Mahkamah Konstitusi menetapkan bahwa anak yang lahir di luar perkawinan masih punya
hubungan dengan ayah secaraperdata. Kemudian, status anak tersebut tetap sah secara
hukum. Putusan MK disebutkan, "anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai
hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai
ayahnya.

Beberapa ketentuan peraturan perundangan tersebut diatas yang menjadi dasar hukum
hak atas anak tetap masih membutuhkan peran KUH-Perdata sebagai salah satu sumber
hukum dalam pembagian hak dan kedudukan anak luar nikah. Sebagaimana diatur dalam
Pasal 280 KUHPerdata yang berbunyi : “dengan pengakuan terhadap anak di luar kawin,
terlahirlah hubungan perdata antara anak itu dan bapak atau ibunya” Hal ini sejalan juga
dengan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 46/PUUVIII/2010 mengenai status anak luar

3
nikah, yang berdampak baik dalam hal kedudukan secara yuridis seorang ayah terhadap
anaknya apabila dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau
alat bukti lain yang menurut hukum mempunyai hubungan darah termasuk hubungan
perdata dengan keluarga ayahnya.

Terkait kedudukan dari anak luar kawin merupakan masalah yang harus dipecahan
mengingat banyaknya dampak dari masalah tersebut, bukan saja berhubungan dengan
hukum tetapi juga menimbulkan permasalahan sosial yaitu seperti sulitnya memperoleh
hak waris dari orang tua biologisnya dan dalam mendapatkan hak sipilnya seperti hak
untuk mendapatkan identitas seperti nama dan kewarganegaaraan sebagaimana halnya
dengan anak-anak yang sah.

Berdasarkan penjelasan tersebut diatas, maka dapat kita cari tahu tentang
bagaimanakah aturan mengenai status anak luar nikaht tersebut dalam sistem perundang-
undangan yang berlaku di Indonesia, teristimewa tentang bagaimanakah hak dan
kedudukan anak di luar nikah yang telah diakui dalam pewarisan menurut KUHPerdata.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah ketentuan anak luar nikah yang diakui menurut KUH-Perdata?
2. Bagaimanakah hak dan kedudukan anak di luar nikah yang diakui dalam
pewarisan menurut KUH-Perdata?
3. Apa saja bagian warisan yang diperbolehkan anak luar kawin?
4. Siapa yang mewarisi harta peninggalan anak luar kawin?

4
Tinjauan Pustaka

A. Tinjauan Umum Hukum Waris


Hukum waris adalah kumpulan aturan hukum mengenai kekayaan yang timbul dari
kematian seseorang, yaitu prpindahan kekayaan yang ditinggalkan oleh almarhum dan
akibat dari pengalihan tersebut kepada mereka yng telah memperolehnya, baik dalam
hubungan antar mereka dengan mereka, maupun dalam hubungan antara mereka dengan
pihak ketiga. Di dalam KUH Perdata tidak ada Pasal tertentu yang memberikan definisi
mengenai Hukum Waris. Kita hnya dapat memahami sebagaimana dikatakan secara
singkat bahwa pewarisan hanya berlangsung karena kematian, maka pngertian Hukum
Waris yang kita dapat ambil dari KUH Perdata yaitu tanpa adanya seseorang yang mati
dan meninggalkan harta kekayaan maka tidak terjadi masalah pewarisan.
Adapun mengenai waris diatur didalam buku kedua yang pertama tama disebut di
dalam Pasal 830 KUH Perdata yakni: “Pewarisan hanya berlangsung karena kematian”.
Jelasnya, menurut Pasal ini rumusan/definisi hukum waris mencakup masalah yang begitu
luas. Pengertian yang dapat dipahami dari kalimat singkat tersebut ialah jika seseorang
meninggal dunia, maka seluruh hak dan kewajibannya beralih/ berpindah kepada ahli
warisnya.(Hijawati & Rizayusmanda, 2021)
Hukum waris menurut KUH Perdata adalah aturan hukum yang mengatur tentang
perpindahan hak kepemilikan harta kekayaanya itu, merupakan keseluruhan hak-hak dan
kewajiban. Secara istilah warisan adalah segala sesuatu (harta) peninggalan yang di
tinggalkan pewaris kepada ahli waris. Warisan tersebut merupakan sejumlah harta
kekayaan yang ditinggalkan seseorang yang mninggal dunia berupa aktiva dan pasiva.

B. Pengertian Anak Luar Kawin


Anak luar kawin mewaris bersama-sama dengan ahli waris golongan lain, baik dari
golongan I, II, III atau dengan golongan IV, serta jiwa mewaris dengan golongan yang
berlainan derajad. Namun ada kemungkinan seorang pewaris tidak meninggalkan ahli
waris dari golongan I sampai golongan IV, akan tetapi hanya meninggalkan anak luar
kawin. Dalam hal keadaan yang demikian, maka anak luar kawin yang diakui oleh pewaris
secara sah akan mewaris seluruh harta warisan (Pasal 865 B.W).

Anak luar kawin menurut hukum dianggap tidak sah, meskipun demikian anak
tersebut boleh memperoleh haknya, akan tetapi bukan waris, misalnya berupa hibah dan
sedekah, dikarenakan anak tersebut dianggap anak luar nikah yang hanya memiliki

5
hubungan perdata dengan ibu dan keluarga ibunya saja, terkecuali terhadap anak luar
kawin yang diakui (vide pasal 862- 866 KUH-Perdata).

Di samping itu anak luar kawin tersebut juga berhak atas nafkah alimentasi atau hak
nafkah atas anak luar kawin, termasuk anak yang dilahirkan dari perzinahan dan anak
sumbang (Lihat Pasal 867 B.W). Kendati demikian, khusus anak zina dan anak sumbang
tidak mungkin memiliki hubungan secara yuridis dengan ayah kandungnya karena orang
tua dari anak tersebut dilarang oleh undang-undang untuk memberikan pengakuan.

Dalam hal demikian yang berlangsung dalam kehidupan bermasyarakat yang menjadi
perhatian merupakan tugas dari aparat Negara dalam menangani masaalah tersebut serta
penjamin adanya kepastian hukum. oleh sebab itu melalui saluran hukum yang berlaku
dan yang tersedia, langkah hukum yang ditempuh dalam hal ini.

6
Pembahasan
A. Anak Luar Nikah yang Diakui menurut KUHPerdata
Yang dimaksud anak luar kawin adalah anak luar kawin di luar anak sumbang dan
anak zinah yang mempunyai hubungan hukum dengan pewaris dan untuk selanjutnya
disebut anak luar kawin saja. Sedang anak zinah dan anak sumbang meski merupakan
anak luar kawin, akan tetapi karena tidak dapat diakui maka tidak mempunyai kedudukan
dan hak waris atas harta peninggalan orang tuanya.

Pengakuan yang dimaksudkan dalam KUH Perdata disini adalah pengakuan yang
dilakukan oleh kedua orangtua dari anak luar kawin, dipertegas dalam Pasal 280 KUH
Perdata bahwa “dengan pengakuan yang dilakukan terhadap anak luar kawin, timbulah
hubungan perdata antara si anak dan bapak atau ibunya”. Menurut pasal 272 BW bahwa
anak-anak luar kawin yang dapat diakui adalah anak yang dilahirkan oleh seorang ibu
tetapi yang tidak dibenihkan oleh seorang pria yang berada dalam ikatan perkawinan sah
dengan ibu si anak tersebut dan tidak termasukdi dalam kelompok anak zinah dan anak-
anak sumbang.

Menurut KUH Perdata ada tiga (3) tingkatan status hukum dari anak luar kawin,
yaitu:

1. Anak di luar perkawinan, anak ini belum diakui oleh kedua orangtuanya
2. Anak di luar pekawinan yang telah diakui oleh salah satu atau kedua orangtuanya
3. Anak di luar perkawinan itu menjadi anak sah, sebagai akibat kedua orangtuanya
melangsungkan perkawinan sah.

Jika pasangan kedua orangtua yang telah melangsungkan perkawinan belum


memberikan pengakuan terhadap anaknya yang lahir sebelum perkawinan, maka
pengesahan anak hanya dapat dilakukan dengan surat pengesahan dari Kepala Negara.
Adapun bentuk pengakuan atas anak luar kawin haruslah dilakukan melaui instasi yang
telah ditunjuk dalam hal ini Kantor Catatan Sipil, dan dituangkan dalam bentuk akta
kelahiran anak, akta perkawinan oang tua, dan/atau diperbolehkan dalam akta yang dibuat
oleh seorang Notaris.

Adapun yang sekarang perlu mendapat keterangan ialah hukum waris seorang anak di
luar kawin tapi yang diakui oleh si ayah/ dan oleh si ibu. Sebelum membicarakan pasal-
pasal yang bersangkutan, perlu ditegaskan sekali lagi bahwa hukum waris dari anak ini

7
hanya terdapat antara ia sendiri dengan orang tua yang mengakuinya. Pasal 863 : jika
pewaris meninggalkan keturunan yang sah atau seorang isteri/suami maka bagiannya
adalah 1/3 dari bagian jika ia itu anak sah. Dengan kata lain jika ia mewaris bersama-sama
dengan waris golongan 1.(Sistem & Di, 2017)

Pasal 250 KUH-Perdata, dijelaskan bahwa : “Anak yang dilahirkan atau dibesarkan
selama perkawinan, memperoleh si suami sebagai ayahnya”. Selanjutnya dalam pasal 272
dijelaskan bahwa anak di luar kawin kecuali yang dilahirkan dari perzinahan, disahkan
oleh perkawinan yang menyusul dari ayah dan ibu mereka, bila sebelum melakukan
perkawinan mereka telah melakukan pengakuan secara sah terhadap anak itu, atau bila
pengakuan itu terjadi dalam akta perkawinannya sendiri. Dan dalam pasal 280 dijelaskan
lagi bahwa anak di luar kawin memperoleh hubungan perdata dengan ayah atau ibunya
melalui pengakuan.

Ada 3 (tiga) sarana yang diperkenankan oleh KUH-Perdata sebagai tempat pengakuan
anak luar kawin. Pertama, pengakuan yang dilakukan dengan menggunakan akta
perkawinan orang tua anak luar kawin tersebut. Artinya, dalam akta perkawinan kedua
orang tua anak tersebut ada klausula tentang tentang pengakuan anak mereka yang telah
lahir sebelum mereka melangsungkan perkawinan sah. Kedua, pengakuan anak dengan
menggunakan akta kelahiran anak luar kawin itu sendiri, dan ketiga adalah pengakuan
berdasarkan akta otentik yang khusus dibuat untuk itu. Ketiga sarana pengakuan anak luar
kawin tersebut diatur dalam pasal 281 KUH-Perdata (buku I).

Dalam perkembangannya masalah anak luar kawin perlu pula ditinjau dari Undang-
undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan pasal 43 ayat 1 yang menyatakan bahwa
“Anak yang lahir diluar perkawinan yang hanya mempunyai hubungan perdata dengan
ibunya dan keluarga ibunya”. Menurut peraturan perundang-undangan No 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan seorang anak luar kawin hanya akan memiliki hubungan hukum dan
kekeluargaan baik yang berkenaan dengan biaya kehidupan, pendidikan, beserta seluruh
konsekuensinya termasuk menjadi ahli waris dengan ibunya saja, bukan dengan bapaknya.
Kecuali kemudian dilakukan sebuah pengakuan. Pengakuan menurut pandangan Undang-
undang Perkawinan terhadap seorang anak luar kawin sesungguhnya adalah suatu
perbuatan hukum yang hanya dapat dilakukan oleh seorang bapak atas anak yang
dilahirkan diluar perkawinan yang sah menurut hukum, atau dengan kata lain seorang anak
luar kawin hanya memiliki hubungan hukum keperdataan, kekeluargaan dan seluruh

8
konsekuensinya dengan wanita yang melahirkannya dan juga dengan keluarga wanita
tersebut, bukan dengan bapaknya.(Triwati et al., 2022)

9
B. Hak dan Kedudukan Anak Luar Nikah yang Diakui Terhadap Warisan
menurut KUHPerdata
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, KUHPerdata atau
Burgerlijk Wetboek (BW) dan Kompilasi Hukum Islam (KHI). Hukum waris bagi yang
beragama Islam diatur dalam KHI, sedangkan bagi yang tidak beragama Islam diatur
dalam KUH Perdata.

Menurut Ali Afandi, dalam bukunya “Hukum Waris Hukum Keluarga Hukum
Pembuktian” (hal. 40) menyebutkan bahwa Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
(Burgerlijk Wetboek) mengadakan 3 penggolongan terhadap anak-anak:

1. Anak sah, yaitu seorang anak yang lahir di dalam suatu perkawinan;
2. Anak yang lahir di luar perkawinan, tapi diakui oleh seorang ayah dan/atau seorang
ibu. Di dalam hal ini antara si anak dan orang yang mengakui itu timbul pertalian
kekeluargaan. Pertalian kekeluargaan ini hanya mengikat orang yang mengakui
anak itu saja. Jadinya, keluarga lain dari orang yang mengakui itu, tidak terikat
oleh pengakuan orang lain. Anak dari golongan ini, jika ayah dan ibunya kawin,
lalu menjadi anak sah;
3. Anak lahir di luar perkawinan, dan tidak diakui, tidak oleh ayah maupun oleh
ibunya. Anak ini menurut hukum tidak punya ayah dan tidak punya ibu. Terhadap
anak di luar kawin yang tidak diakui, karena tidak mempunyai keluarga maka juga
tidak ada ketentuan tentang hukum warisnya.

Pasal 862 s.d. Pasal 866 KUH Perdata menyatakan, Jika yang meninggal
meninggalkan keturunan yang sah atau seorang suami atau istri, maka anak-anak luar
kawin mewarisi 1/3 bagian dari bagian yang seharusnya mereka terima jika mereka
sebagai anak-anak yang sah (Pasal 863 KUH Perdata); Jika yang meninggal tidak
meninggalkan keturunan maupun suami atau istri, tetapi meninggalkan keluarga sedarah,
dalam garis ke atas (ibu, bapak, nenek, dst.) atau saudara laki-laki dan perempuan atau
keturunannya, maka anak-anak yang diakui tersebut mewaris 1/2 dari warisan. Namun,
jika hanya terdapat saudara dalam derajat yang lebih jauh, maka anak-anak yang diakui
tersebut mendapat 3/4 (Pasal 863 KUH Perdata)(KUSPRANINGRUM, 2017)

Bagian anak luar kawin harus diberikan lebih dahulu. Kemudian sisanya baru
dibagibagi antara para waris yang sah ( Pasal 864 KUH Perdata); Jika yang meninggal
tidak meninggalkan ahli waris yang sah, maka mereka memperoleh seluruh warisan

10
( Pasal 865 KUH Perdata; Jika anak luar kawin itu meninggal dahulu, maka ia dapat
digantikan anak-anaknya (yang sah) ( Pasal 866 KUH Perdata). Pengaturan KUH Perdata,
waris mewaris hanya berlaku bagi anak luar kawin yang diakui oleh ayah dan/atau ibunya.
Tanpa pengakuan dari ayah dan/atau ibu, anak luar kawin tidak mempunyai hak mewaris.

Dalam Pasal 42 Bab IX Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tersebut dijelaskan


bahwa anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dan atau sebagai akibat perkawinan
yang sah. Yang termasuk dalam kategori Pasal ini adalah : 1. Anak yang dilahirkan oleh
wanita akibat suatu perkawinan yang sah. 2. Anak yang dilahirkan oleh wanita didalam
ikatan perkawinan dengan tenggang waktu minimal 6 (enam) bulan antara peristiwa
pernikahan dengan melahirkan bayi. 3. Anak yang dilahirkan oleh wanita didalam ikatan
perkawinan yang waktunya kurang dari kebiasaan kehamilan tetapi tidak di ingkari
kelahirannya oleh suami

Pada prinsipnya seorang anak luar kawin dan anak sah pada umumnya tidak memiliki
pembedaan yang nyata dalam hukum positif di Indonesia, Baik anak luar kawin maupun
anak sah. keduanya masuk dalam katagori anak. Sebagai mana pada umumnya anak anak
lainnya di Indonesia maka anak luar kawin pun berhak mendapatkan perlindungan dari
negara melalui peraturan perundang undangan yang berkaitan dengan anak.

Beberapa peraturan hukum positif di Indonesia yang terkait dengan persoalan


kedudukan dan perlindungan anak luar kawin, antara lain seperti yang diterangkan dalam
tulisan Prinst yang mengatakan bahwa Undang-undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang
Kesejahteraan Anak pasal 2 sampai dengan 9 mengatur hakhak anak atas keejahteraan,
sebagai berikut:

1. Hak atas kesejahteraan, perawatan, asuhan dan bimbingan. Anak berhak atas
keejahteraan, perawatan, asuhan dan bimbingan berdasar kasih sayang baik dalam
keluarganya maupun didalam asuhan khusus, untuk tumbuh dan berkembang dengan
wajar.
2. Hak atas pelayanan Anak berhak atas pelayanan untuk mengembangkan kemampuan
dan kehidupan sosialnya sesuai dengan kebudayaan dan kepribadian bangsa untuk
menjadi warga Negara yang baik dan berguna (Pasal 4 ayat 2 UU Nomor 4 Tahun
1979).

11
3. Hak atas pemeliharaan dan perlindungan Anak berhak atas pemeliharaan dan
perlindungan, baik semaasa dalam kandungan maupun sesudah dilahirkan ( Pasal 2
ayat 3 UU Nomor 4 Tahun 1979).
4. Hak atas perlindungan lingkungan hidup Anak berhak atas perlindungan terhadap
lingkungan hidup yang dapat membahayakan atau menghambat pertumbuhan dan
perkembangannya dengan wajar ( Pasal 2 ayat 4 UU Nomor 4 Tahun 1979).
5. Hak mendapat pertolongan pertama Dalam keadaan yang membahayakan, anaklah
yang pertama-tama berhak mendapat pertolongan dan bantuan dan perlindungan
( Pasal 4 ayat 3 UU Nomor 4 Tahun 1979).
6. Hak memperoleh asuhan Anak yang tidak mempunyai orang tua berhak memperoleh
asuhan oleh negara, atau orang, atau badan lain ( Pasal 4 ayat 3 UU Nomor 4 Tahun
1979).
7. Hak memperoleh bantuan Anak yang tidak mampu berhak memperoleh bantuan, agar
dalam lingkungan keluarganya dapat tumbuh dan berkembang dengan wajar ( Pasal 5
ayat 1 UU Nomor 4 Tahun 1979)
8. Hak diberi pelayanan dan asuhan Anak yang mengalami masalah kelakuan diberi
pelayanan dan asuhan yang bertujuan mendorong guna mengatasi hambatan yang
terjadi dalam masa pertumbuhan dan perkembangannya. (Pasal 6 ayat 1 UU Nomor 4
Tahun 1979).
9. Hak memperoleh pelayanan khusus Anak cacat berhak memperoleh pelayanan khusus
untuk mencapai tingkat pertumbuhan dan perkemangan sejauh batas kemampuan dan
kesanggupannya ( Pasal 7 UU Nomor 4 Tahun 1979)
10. Hak mendapat bantuan dan pelayanan Anak berhak mendapat bantuan dan pelayanan
yang betujuan mewujudkan kesejahteraan anak menjadi hak setiap anak, tanpa
membedakan jenis kelamin, agama, pendidikan dan kedudukan sosial.

Bila kita melihat pada azas pewarisan dalam KUH Perdata maka disana terdapat satu
azas yang menyatakan Syarat agar Anak luar kawin dapat mewaris adalah anak luar kawin
tersebut haruslah diakui secara sah. Sehingga dapat dipahami disini bahwa seorang anak
luar kawin baru akan mendapat haknya khususnya atas pembagian harta warisan milik
orangtua kandungnya, apabila Ayah biologisnya ini mengakui secara yuridis keabsahan
dari Anak luar kawin tersebut. Maka tidak terlalu berlebihan rasanya jika penulis mencoba
menggarisbawahi bahwa pengakuan terhadap anak luar kawin oleh seorang ayah biologis
adalah merupakan bentuk sebuah perlindungan tersendiri bagi seorang anak luar kawin.

12
Pertanyaan yang muncul terkait dengan hak mewaris anak luar kawin adalah berapa
besar bagian yang dapat diterima oleh anak luar kawin, ataudengan pertanyaan lain berapa
besar hak waris anak luar kawin jika mereka mewaris dengan ahli waris lainnya yang sah?.
Menurut Klaassen, Eggens dan Polak10 hak anak luar kawin terhadap harta warisan orang
tua yang mengakuinya pada asasnya adalah sama dengan anak sah. Mereka (anak luar
kawin yang diakui) adalah benar-benar sebagai ahli waris yang mempunyai hak saissine,
hak heredetatis petition dan hak untuk menuntut pemecahan warisan. Akan tetapi apabila
diteliti lebih lanjut ternyata persamaannya hanyalah sampai di situ saja karena dalam hal
selebihnya bagian mereka tidak sama antara satu dengan anak satu. Mereka (anak luar
kawin) tidak berada dibawah kekuasaan orang tua, tetapi dibawah kekuasaan perwalian,
sehingga hak dan bagian mereka di dalam warisan pun tidak sama besarnya dan
selanjutnya pengakuan hanya menimbulkan hubungan hukum antara si anak dengan orang
tua yang mengakui saja, jadi tidak termasuk dengan keluarga yang mengakuinya.

1. Bagian Anak Luar Kawin Jika Mewaris Bersama Ahli Waris Golongan I
Apabila pewaris meninggal dunia dengan meninggalkan keturunan yang sah
dan/atau suami/isteri yang hidup terlama, maka anak luar kawin yang diakuinya
mewaris sepertiga bagian dari yang mereka sedianya harus mendapat seandainya
mereka adalah anak sah (pasal 863 B.W. bagian pertama). Keturunan atau anak-
anak yang sah dan atau suami /isteri pewaris yang masih hidup terlama adalah
termasuk ahli waris golongan I. jadi di sini diatur pewarisan anak luar kawin
bersamasama dengan golongan I. dalam hal demikian anak luar kawin menerima
sepertiga dari hak yang mereka sedianya terima seandainya mereka sebagai anak
sah. Jadi cara menghitung hak bagian anak luar kawinadalah mengandaikan
mereka sebagai anak sah lebih dahulu, baru kemudian dihitung haknya sebagai
anak luar kawin.
Misalnya seorang pewaris meninggalkan sejumlah harta dan tiga orang anak-anak
sah serta seorang isteri yang hidup terlama.Di samping itu pewaris juga
meninggalkan seorang anak luar kawin yang sudah diakui.Pembagiannya adalah
anak luar kawin tersebut dihitung seakan-akan dia anak yang sah, sehingga bagian
masing ahli waris adalah seperlima.Akan tetapi khusus untuk anak luar kawin
maka bagiannya adalah sepertiga kali seperlima, sehingga yang diterima oleh anak
luar kawin adalah seperlimabelas bagian dari harta peninggalan (pasal 863 KUH-
Perdata). Sedang sisa harta peninggalan yang berjumlah empat belas per lima belas

13
bagian dibagi bersama di antara para ahli waris yang sah, yaitu tiga anak-anaknya
dan isterinya
2. Bagian Anak Luar Kawin Jika Mewaris Bersama Ahli Waris Golongan II dan III
Apabila seorang pewaris tidak meninggalkan keturunan yang sah dan juga tidak
ada suami/isteri yang hidup terlama, akan tetapi pewaris tersebut meninggalkan
keluarga sedarah dalam garis ke atas maupun saudara laki-laki dan perempuan atau
meninggalkan keturunan saudara, dengan meninggalkan anak luar kawin, maka
berapa bagian anak luar kawin dan bagaimana cara pembagiannya. Menurut pasal
863 B.W dikatakan bahwa apabila anak luar kawin mewaris bersama-sama dengan
ahli waris golongan II atau golongan III, maka anak luar kawin mendapat setengah
atau separoh dari harta warisan.
3. Bagian Anak Luar Kawin Jika Mewaris Bersama Ahli Waris Golongan IV
Bagian anak luar kawin akan semakin besar jika dia mewaris dengan ahli waris
dari golongan yang derajatnya lebih jauh lagi dari pewaris. Menurut Pasal 863 ayat
1 B.W dikatakan bahwa bagian anak luar kawin apabila hanya ada sanak saudara
dalam derajat yang lebih jauh adalah tiga per empat.Maksud kata “sanak saudara
dalam derajat yang lebih jauh” dalam pasal 863 (1) B.W tersebut adalah ahli waris
golongan IV. Sebagai contoh jika seorang pewaris tidak meninggalkan saudara-
saudara dan orang tua (ibu-bapak), akan tetapi pewaris mempunyai paman dan bibi
dari pihak bapak maupun dari pihak ibu atau keturunannya sampai derajat keenam/
saudara sepupu atau saudara misan (bhs jawa), maka bagian anak-anak luar kawin
adalah tiga per empat dari harta warisan, sedang sisa harta warisan yang
seperempat dibagi bersama di antara para ahli waris golongan IV yaitu paman dan
bibi, atau keturunannya/saudara sepupu atau misanan tersebut.
Dari ketentuan mengenai bagian warisan anak luar kawin seperti tesebut diatas
maka dapat dikatakan bahwa semakin dekat derajad ahli waris sah yang mewaris
bersama-sama dengan anak luar kawin, maka semakin kecil bagian yang diterima
oleh anak luar kawin.Sebaliknya semakin jauh derajad hubungan ahli waris yang
sah dengan pewaris yang mewaris dengan anak-anak luar kawin, maka bagian yang
diperoleh anak luar kawin semakin besar. Hal ini adalah wajar karena meski
menjadi anak luar kawin, namun hubungan antara anak luar kawin dengan Pewaris
adalah lebih dekat dibandingkan dengan ahli waris golongan II, III dan golongan
IV meski mereka adalah ahli waris yang sah menurut undang-undang, sehingga

14
oleh karenanya anak-anak luar kawin akan mendapat bagian yang lebih besar dari
harta warisan orang tua yang sudah mengakuinya.
4. Bagian Anak Luar Kawin Jika Mewaris Menjadi Satu-Satunya Ahli Waris
Uraian pada beberapa bab di atas adalah jika anak luar kawin mewaris bersama-
sama dengan ahli waris golongan lain, baik dari golongan I, II, III atau dengan
golongan IV, serta jika mewaris dengan golongan yang berlainan derajad. Namun
ada kemungkinan seorang pewaris tidak meninggalkan ahli waris dari golongan I
sampai golongan IV, akan tetapi hanya meninggalkan anak luar kawin. Dalam hal
keadaan yang demikian, maka anak luar kawin yang diakui oleh pewaris secara sah
akan mewaris seluruh harta warisan (Pasal 865 B.W). Anak luar kawin menurut
hukum dianggap tidak sah, meskipun demikian anak tersebut boleh memperoleh
haknya, akan tetapi bukan waris, misalnya berupa hibah dan sedekah, dikarenakan
anak tersebut dianggap anak luar nikah yang hanya memiliki hubungan perdata
dengan ibu dan keluarga ibunya saja, terkecuali terhadap anak luar kawin yang
diakui (vide pasal 862-866 KUH-Perdata).(Nilai et al., 2015)

Disamping itu anak luar kawin tersebut juga berhak atas nafkah alimentasi atau hak
nafkah atas anak luar kawin, termasuk anak yang dilahirkan dari perzinahan dan
anak sumbang (Lihat Pasal 867 B.W).kendati demikian, khusus anak zina dan anak
sumbang tidak mungkin memiliki hubungan secara yuridis dengan ayah
kandungnya karena orang tua dari anak tersebut dilarang oleh undang-undang
untuk memberikan pengakuan. Dalam hal demikian yang berlangsung dalam
kehidupan bermasyarakat yang menjadi perhatian merupakan tugas dari aparat
Negara dalam menangani masaalah tersebut serta penjamin adanya kepastian
hukum. oleh sebab itu melalui saluran hukum yang berlaku dan yang tersedia,
langkah hukum yang ditempuh dalam hal ini Pengujian Undang-undang terhadap
Undang-Undang Dasar 1945 adalah merupakan hal yang tepat apabila
undangundang yang diuji materil tersebut bertentangan dengan Konstitusi. (dalam
hal iniyang diajukan untuk diuji materil adalah UUP No.1 tahun 1974 pasal 43 ayat
(1)).
Perkembangan hukum terkait dengan anak luar kawin, termasuk anak zina dan
anak sumbang diberikan oleh Mahkamah Konstitusi melalui Putusan Nomor:
46/PUU-VIII/2010. Putusan tersebut menyatakan pada intinya menyatakan dua hal
yaitu:

15
Pertama, Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan yang menyatakan “anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya
mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya”, bertentangan
dengan Undang-Undang DasarNegara Republik Indonesia tahun 1945 sepanjang
dimaknai menghilangkan hubungan perdata dengan laki-laki yang dapat dibuktikan
berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut
hukum ternyata mempunyai hubungan darah sebagai ayahnya.
Kedua,menyatakan Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974
Tentang Perkawinan tersebut tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, sehingga
ayat tersebut harus dibaca : “anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya
mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan
laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan
teknologi dan/atau alat bukti lain yang menurut hukum mempunyai hubungan
darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya”. Dengan demikian
maka anak luar kawin di samping mempunyai hubungan perdata dengan ibunya
dan keluarga ibunya, juga mempunyai hubungan perdata dan hubungan darah
dengan laki-laki sebagai ayahnya dan Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut
diisyaratkan harus dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi
dan/atau alat bukti lain menurut hukum.
Melalui putusan tersebut memberikan kepastian terhadap penegakan hukum yang
ada bahwa siapa saja warga Negara Indonesia dapat menuntut haknya bilamana
terdapat ketidaksesuaian yang dirasakan didalam kehidupan bermasyarakat
maupun lingkungan keluarga, sehingga langkah-langkah hukum yang diambil oleh
pemohon uji materil adalah sudah tepat. Dengan demikian, dengan adanya Putusan
Mahkamah Konstitusi (MK) ini bukan dapat diartikan sebagai melegalkan
perzinahan akan tetapi putusan MK tersebut untuk melindungi hak-hak seorang
anak yang lahir dari perkawinan yang tidak tercatat oleh Negara. Karena selama ini
anak luar nikah memiliki nasib yang sengsara dan tidak diakui hukum secara
legal.Sehingga pada intinya putusan MK ini untuk membela hak anak yang
terlantarkan. Oleh karena itu, putusan MK ini tidak melegalkan perzinahan, tetapi
hanya menegaskan adanya hubungan perdata antara anak yang dilahirkan dengan
ayah dan ibunya.

16
C. Warisan dan Bagian Mutlak yang Diperbolehkan Anak Luar Kawin
Untuk bagian anak luar kawin ini masih dipengaruhi oleh ahli waris yang bersama-
sama tampil dengannya. Jadi untuk mengetahui berapa bagian yang diterima anak luar
kawin tersebut, harus kita lihat dengan siapa ia mewarisi atau dengan golongan ahli waris
yang mana ia mewarisi. Mengenai bagaimana bagian mutlak yang diterima oleh anak luar
kawin diatur dalam pasal 865 menentukan :”Jika pewaris meninggalkan keturunan yang
sah atau seorang suami atau istri, maka anak luar kawin mewarisi 1/3 (sepertiga) bagian
yang mereka terima sedianya harus mendapatkannya andai kata mereka adalah anak sah.

Jika si pewaris tak meninggalkan keturunan maupun suami atau istri, akan tetapi
meninggalkan keluarga sedarah dalam garis atas, atau saudara laki-laki dan perempuan
atau keturunan mereka, maka anak luar kawin mewarisi ¾ (tiga perempat) dari warisan.
Dengan perkataan lain bagian anak luar kawin dapat disimpulkan sebagai berikut :

a. 1/3 bagian mereka seandainya mereka anak-anak sah, kalau mereka mewarisi dengan
golongan ahli waris 1.
b. ½ dari warisan, kalau mereka mewarisi dengan golongan ahli waris II dan III.
c. ¾ dari warisan, kalau mereka mewarisi dengan golongan ke IV.

Bagian dari anak luar kawin adalah merupakan bagian kelompok, yang dimaksud dalam
hal ini adalah seandainya anak luar kawin tersebut satu orang, maka seluruh bagian
tersebut adalah untuk dirinya sendiri. Kalau anak luar kawin tersebut ada dua orang, maka
bagian yang diterapkan untuk anak luar kawin tadi akan dibagi dua menurut banyaknya
ahli waris luar kawin, dan kalau ada tiga orang maka dengan demikian bagian tadi dibagi
tiga sama rata begitu juga sampai seterunya. Menurut KUHPerdata bahwasanya bagian
anak luar kawin harus diberikan lebih dahulu. Lalu warisan selebihnya harus dibagi antara
para ahli waris yang sah, dengan cara seperti ditentukan di dalam Undang-undang.

Dalam hal ini undang-undang menetapkan dalam hal bagian mutlak tersebut, seperti diatur
dalam pasal 914 KUHPerdata, yang menyatakan, dalam garis lurus ke bawah, apabila
pewaris hanya meninggalkan anak yang sah satu-satunya saja maka terdirikah bagian
mutlak atas setengah dari harta peninggalan untuk bagian anak tersebut, dan seandainya
ada dua orang, maka bagian mutlak itu adalah masingmasing 2/3 dari apa yang sedianya
yang diwarisi oleh mereka masing-masing dari pewarisan. Tiga orang atau lebih maka
akan mendapat tiga perempat (3/4) dari pewarisan. Maksud ditentukannya bagian mutlak

17
(legitieme portie) ini, adalah untuk melindungi para ahli waris menurut undang-undang
dalam garis lurus dari tindakan pewaris yang tidak bertanggungjawab

D. Yang Mewarisi Harta Peninggalan Anak Luar Kawin


Di dalam uraian di atas sudah ditentukan bagaimana jika anak luar kawin sebagai ahli
waris. Pada uraian berikut ini akan dilanjutkan tentang bagaimana mengatur dari harta
peninggalan seorang anak luar kawin yang telah meninggal dunia. Apabila seorang anak
luar kawin meninggal dunia dan ia ada meninggalkan keturunan ataupun suami atau istri
yang hidup terlama, maka harta warisan diwariskan seperti setiap harta peninggalan
lainnya. Maksudnya adalah : orang-orang yang terpanggil untuk menjadi ahli waris anak
luar kawin tersebut adalah orang keturunan yang sah suami istri yang hidup terlama.

Dalam hal ini timbul pertanyaan, kalau pewaris (anak luar kawin) itu tidak ada
meninggalkan keturunan maupun suami atau istri, siapa yang mewarisi harta
peninggalannya tersebut ?

Untuk itu kalau anak luar kawin tidak ada meninggalkan ahli waris keturunannya
maupun istri dan suami yang hidup terlama, maka yang mewarisi harta peninggalannya
adalah bapak atau ibu yang telah mengakuinya, ataupun mereka berdua mewarisi
setengahnya, jika kedua telah mengakuinya (pasal 870 KUHPerdata). Dan jikalau hanya si
bapak yang mengakuinya, maka ia mewarisi seluruh harta peninggalan anak luar
kawinnya tersebut, atau kalau hanya si ibu yang mengakuinya, maka si ibu akan mendapat
seluruh harta peninggalan anak luar kawinnya yang diakui tersebut. Jika masih juga ada
keturunan luar kawin dari pewaris (anak luar kawin), maka keturunan luar kawin itu
mewarisi mereka menurut cara bagaimana ditentukan dalam pasal 863 KUHPerdata.

Dalam pasal 871 KUHPerdata, disebutkan, jika seorang anak luar kawin meninggal
dunia, dengan tak meninggalkan keturunan, maupun suami atau istri, sedangkan kedua
orang tua telah dahulu, maka barang-barang yang dulu diwariskan dari orang tua itu, jika
masih ada dalam wujudnya, akan pulang kembali kepada keturunan yang sah dari bapak
atau ibunya. Hal yang demikian itu berlaku juga terhadap hakhak si meninggal (pewaris)
untuk menuntut kembali sesuatu, jika ini telah dijualnya dengan uang belum dibayar.
Ketentuan dari pasal 871 KUHPerdata, tersebut adalah merupakan pengecualian terhadap
pasal 849 KUHPerdatra, bahwa untuk pewaris tidaklah penting dari mana datangnya
barang-barang itu.(Ayu et al., 2022)

18
Oleh karena itu maka pasal 871 KUHPerdata, tidak boleh diperluas berlakunya.
Keturunan sah dari orang tua tidak berhak atas harta yagn diperoleh anak luar kawin itu
sebagai hadiah, demikian juga dengan harta penjualan barang yang telah dibayar dengan
barang-barang yang telah dibeli dengan uang hasil penjualan itu.

E. Contoh Kasus
Perubahan dalam sistem hukum positif di Indonesia mengenai hak mewaris anak yang
lahir diluar perkawinan, dimulai dengan adanya khasus Machica Mochtar menikah siri
dengan Moerdiono pada 20 Desember 1993.3 Buah dari pernikahan itu lahir seorang anak
laki-laki yang diberi nama Iqbal Ramadhan. Keduanya memutuskan berpisah pada 1998.
Setelah itu, Machica hanya sendirian membesarkan dan menafkahi anaknya. Pada Juli
2008 keluarga besar Moerdiono melalui jumpa pers menegaskan jika Iqbal bukanlah darah
dagingnya. Memperjuangkan hak Iqbal sebagai seorang anak, wanita (machica) yang
melahirkan anaknya (Iqbal) mengajukan judicial review ke MK. Machica menguji Pasal 2
ayat 2 dan Pasal 43 ayat 1 dalam UU 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Pasal itu
mengatur anak yang dilahirkan di luar pernikahan yang hanya memiliki hubungan dengan
perdata dengan ibu dan keluarga ibu. Setelah melewati serangkaian pemeriksaan, akhirnya
uji materi itu diputus pada 17 Februari 2012. Majelis hakim MK mengabulkan
permohonan uji materi Machica Mochtar. Dengan begitu seluruh anak di Indonesia
memiliki hubungan perdata dengan ayah biologisnya.

19
Penutup
A. Kesimpulan
Setiap anak luar kawin yang diakui menurut Undang-Undang, dapat mewarisi dari
orang tua yang mengakuinya dan juga dari keluarga sedarah dari orang tuanya, akan
tetapi dalam hal mewaris dari keluarga sedarah dari orang tuanya ini anak luar kawin
tersebut sangat kecil kemungkinan baginya. Dalam hal pembagian harta warisan anak luar
kawin terhadap harta peninggalan orang tua yang mengakuinya akan tampil bersama-
sama dengan golongan ahli waris yang berhak mewaris. Anak luar kawin (yang
diperbuahkan dengan seorang lain dari pada istri atau suaminya sebelum perkawinan)
yang diakui sepanjang perkawinan, tidak dapat merugikan istri atau suami itu, maupun
anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan mereka dalam hal pewaris dari orang tuanya.

Setiap anak yang dilahirkan di luar suatu ikatan perkawinan yang sah adalah
merupakan anak luar kawin. Berdasarkan ketentuan KUH Perdata Anak luar kawin
dianggap tidak mempunyai hubungan hukum apapun dengan orang tuanya apabila tidak
ada pengakuan dari ayah maupun ibunya, dengan demikian bila anak luar kawin tersebut
diakui maka ia dapat mewaris harga peninggalan dari orang tua yang mengakuinya, dan
tentunya pembagian warisan berdasarkan Undang-Undang. Akan tetapi, di satu sisi juga
dengan berlakunya UndangUndang Perkawinan yaitu UU No. 1 tahun 1974 (Pasal 43
ayat 1), maka anak luar kawin yang tidak diakui pun dengan otomatis mempunyai
hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya. Dengan demikian, maka
keharusan seorang ibu untuk mengakui anak luar kawinnya seperti yang disebutkan
dalam Burgerlijk Wetboek adalah tidak diperlukan lagi. Begitu juga telah ditegaskan di
dalam Putusan MK Nomor 46/PUUVIII/2010 tersebut yang juga merupakan bahagian
dari reformasi hukum, sehingga si anak juga mempunyai hubungan yuridis dengan ayah
biologisnya apabila dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan teknologi dan/atau
alat bukti lain menurut hukum.

Pengakuan terhadap anak luar kawin sangat penting dilakukan oleh seorang ayah
guna terciptanya hubungan perdata antara anak dengan ayahnya sedangkan terhadap
ibunya menurut pasal 282 ayat 2 KUH Perdata yang menyatakan bahwasanya anak
perempuan yang belum dewasapun diperbolehkan untuk mengakui anak luar kawinnya.
Karena hal ini anak tersebut secara biologis sudah mempunyai hubungan perdata dnegan
ibunya tersebut tanpa adanya suatu pengakuan karena faktor kelahirannya. Anak luar

20
kawin yang dapat diakui adalah berdasarkan Pasal 272 B.W, yakni : “Anak luar nikah
yang dapat diakui adalah anak yang dilahirkan oleh seorang ibu yang tidak dibenihkan
oleh seorang pria yang berada dalam ikatan perkawinan sah dengan ibu si anak tersebut
dan tidak termasuk di dalam kelompok anak zinah dan anak-anak sumbang.

B. Saran
Dalam usaha pembentukan hukum waris secara nasional, perlu kiranya diperhatikan
mengenai status dan kedudukan dari pada anak luar kawin tersebut. Hendaknya
pembuatan undangundang dapat membuat suatu peraturan hukum dalam peraturan dari
pada anak terutama tentang tata cara pengakuan dan pengesahannya, sehingga dengan
demikian dapat tercipta suatu kepastian hukum terhadap kedudukan anak luar kawin
tersebut, dan juga dalam hal pembagian harta warisan hendak diadakan suatu perubahan
dalm hal pembagiannya, sehingga tidak begitu nampak perbedaan yang sangat mencolok
antara anak luar kawin dengan anak yang sah. Adalah kiranya kita sebagai manusia yang
hidup bermasyarakat berdampingan satu dengan yang lain bisa saling memperlihatkan
toleransi saling peduli antar sesama manusia dnegna mengedepankan nilai-nilai dan
norma-norma kehidupan, baik orang dewasa, anak muda, ataupun hubungan orang tua
dengan anaknya, dengan tidak saling membedabedakan satu sama lain maupun
diskriminasi. Konversi Hak Anak yang diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia melalui
Keputusan Nomor 36 Tahun 1990 yang mengemukakan tentang prinsip-prinsip umum
perlindungan anak, yaitu nondiskriminasi, kepentingan terbaik anak, kelangsungan hidup
dan tumbuh kembang dan menghargai partisipasi anak. Prinsip-prinsip tersebut juga
terdapat di dalam ketentuan Undang-Undang Nomor 35 tahun 2014 tentang Perubahan
atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang dibentuk
oleh pemerintah agar hak-hak anak dapat diimplementasikan di Indonesia.

21
Daftar Pustaka

Ayu, I., Pratiwi, P., Sudiatmaka, K., & ... (2022). Kedudukan Hak Waris Anakluar Kawin
Ditinjau Dari Pasal 863 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPERDATA)(Studi
Kasus Desa Batuagung Jembrana). E-Journal Komunikasi Yustisia, 5(1), 75–87.
https://ejournal.undiksha.ac.id/index.php/jatayu/article/view/45931

Hijawati, H., & Rizayusmanda, R. (2021). Hak Dan Kedudukan Anak Luar Nikah Yang
Diakui Terhadap Warisan Tanah Ditinjau Dari Hukum Perdata. Solusi, 19(1), 126–137.
https://doi.org/10.36546/solusi.v19i1.333

KUSPRANINGRUM, E. (2017). Kedudukan dan Perlindungan Anak Luar Kawin


Kedudukan Dan Perlindungan Anak Luar Kawin Dalam Perspektif Hukum Di Indonesia
Risalah Hukum , Edisi Nomor 3 , Juni 2006 ISSN 0216-969X Kedudukan dan
Perlindungan Anak Luar Kawin. Risalah Hukum, 26, 26–32.

Nilai, P., Waris, H., Luar, T. A., Diakui, K., Pradipta, V., & Martinelli, I. (2015). Vidya
Pradipta & Imelda Martinelli.

Sistem, M., & Di, H. (2017). Hak Mewaris Anak Di Luar Perkawinan Menurut Sistem
Hukum Di Indonesia. Lex Crimen, 5(4), 119–126.

Triwati, N., Ginting, M. R., & Silalahi, R. (2022). Kedudukan anak di luar perkawinan dalam
pewarisan menurut kuh perdata. Jurnal Rectum, 4(1), 157–173.

22

Anda mungkin juga menyukai